Upload
yogi-dwi-irawan
View
34
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
2. Batasan Kerahasiaan
Informasi harus diberikan kepada pasien, kecuali kalau dokter beranggapan
pasien dalam keadaan tidak mampu menerima informasi, maka informasi dapat
diberikan kepada keluarga pasien, tetapi dengan syarat ada persetujuan dari
pasien, dalam arti tanpa persetujuan pasien tidak boleh doberikan kepada orang
lain, meski pun keluarganya.
Dokter mengetahui bahwa rahasia kedokteran yang tidak boleh disampaikan
kepada keluarga pasien, karena takut dipersalahkan oleh keluarga pasien maka
memberitahukan kepada keluarga pasien, tidak dapat dijadikan alas an, tetap
dokter harus terlebih dahulu meminta persetujuan pasien (Supriadi, 2001).
Wajib simpan rahasia kedokteran tercantum dua kali di dalam UU Pradok,
yaitu pasal 48 ayat (1) sampai dengan ayat (3), dan pasal 51 huruf c UU
Pradok. Segala sesuatu yang diketahui tentang pasien harus dirahasiakan,
bahkan sampai setelah pasien tersebut meninggal dunia, demikian isi pasal 51
huruf c UU Pradok. Kewajiban ini boleh disampingi berdasar pasal 48 ayat (2)
UU Pradok yang mengizinkan rahasia kedokteran dibuka untuk hal-hal sebagai
berikut:
A. Untuk kepentingan kesehatan pasien, misalnya pasien menderita kanker
stadium lanjut yang kemungkinan harapan sembuh sangat tipis. Bila hal ini
diketahui oleh pasien, akan membuat pasien merasa cemas, sehingga akan
mempengaruhi kestabilan jiwanya. Dalam hal demikian, biasanya dokter
terpaksa mengatakan penyakit pasien kepada keluarganya, dan tidak
mengatakannya kepada pasien sendiri. Hal ini diizinkan berdasar pasal 48
ayat (2) UU Pradok, sehingga perbuatan dokter dalam hal ini tidak dapat
dipidana.
B. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, misalnya dokter terkena tuntutan pasal 360 KUHP,
kemudian disidik oleh polisi. Maka penjelasan dokter kepada polisi tentang
penyakit pasien yang kemudian menimbulkan cacat atau luka berat tersebut
dibenarkan oleh pasal 48 ayat (2), sehingga dokter tidak dapat dipidana
dengan tuduhan membuka rahasia kedokteran.
C. Untuk pemintaan pasien sendiri, misalnya pasien adalah peserta asuransi
kesehatan yang akan mendapat biaya perawatan atas sakitnya bila pasien
mengajukan kepada perusahaan asuransi tersebut dengan data yang
membuat kronologis penyakit yang dideritanya. Dalam hal demikian,
biasanya pasien akan meminta kepada dokter tentang hal tersebut dan
membawanya ke pihak asuransi. Dokter yang memenuhi permintaan pasien
untuk memberikan data tentang penyakitnya semacam ini, juga diizinkan
oleh pasal 48 ayat (2) UU Pradok sehingga ia tidak dapat dipidana.
D. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, misalnya adanya penyakit
yang bisa membahayakan kepentingan orang banyak, yang harus dilindungi
dari penyebaran penyakit tersebut. Dalam hal terjadi demikian, maka
undang-undang memerintahkan dokter untuk membuka rahasia jabatannya
agar masyarakat dapat terlindungi atau mengadakan pencegahan terhadap
penyakit yang berbahaya tersebut, seperti: demam berdarah, flu burung,
TBC.
Perbuatan dokter yang membuka rahasia jabatannya diluar 4 alasan tersebut,
dapat dikenakan ancaman pidana 1 tahun kurungan atau denda paling banyak
Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) berdasarkan pasal 79 butir c UU
Pradok (Isfandyarie, 2006).
Contoh lain dalam praktik sehari-hari dengan pengorbanan kepentingan
suatu pihak harus dilakukan untuk kepentingan pihak lainnya ialah:
A. Seorang supir yang menderita sakit ayan (epilepsi), yang jika penyakitnya
bangkit pada waktu sedang menjalankan tugasnya, pasti sangat
membahayakan tidak saja terhadap dirinya sindiri, tetapi lebih-lebih lagi
terhadap keselamatan umum.
B. Seorang guru yang menderita penyakit tuberculosis aktif yang dapat
menular kepada murid-murid pada waktu ia mengajar.
C. Seorang pembantu rumah tangga yang menderita penyakit gonorea atau
hepatitis B yang tugasnya mengasuh beberapa anak kecil, sehingga
kemungkinan besar sekali ia akan menulari mereka.
Dalam ketiga hal tersebut di atas, berbagai alasan yang dipergunakan untuk
melepaskan rahasia jabatan harus kokoh dan kuat, sehingga dapat meyakinkan
orang lain (termasuk hakim yang mungkin selalu ikut campur tangan jika
seandainya dokter itu kelak diadukan).
Kalau seandainya pasien menderita penyakit yang tidak sukar disembuhkan,
kepadanya dapat diberi cuti dahulu sampai ia sembuh. Sebelum sembuh, ia
dilarang melakukan pekerjaan. Bila penyakit tidak dapat disembuhkan dan
tetap merupakan bahaya bagi orang lain (misalnya epilepsi), sebelum
melanggar rahasia pekerjaan, dokter dapat memberikan penerangan
sepenuhnya kepada pasien supaya persoalannya dapat dipahami benar-benar.
Pasien diyakinkan bahwa penyakitnya membahayakan orang lain supaya ia
dengan rela menerima pemberhentian dari pekerjaannya dengan ketentuan
yang berlaku dalam soal ini. Bila rahasia jabatan terpaksa dilanggar setelah
segala ikhtiar dilakukan tanpa hasil, hal ini hendaknya disalurkan ke sebuah
majelis penguji kesehatan resmi yang tugasnya antara lain menentukan apakah
seseorang itu sehat atau menderita penyakit.
Kewajiban dokter dalam keadaan terpaksa serupa itu ialah memberitahukan
kepada majikan si sakit, bahwa ia menganggap si sakit perlu diperiksa
kesehatannya oleh majelis tersebut. Dengan jalan ini, majelis penguji kesehatan
yang menurut undang-undang tugasnya memang menguji kesehatan orang,
dapat melaporkan kepadanya secara bebas. Tanpa melanggar pasal 322 KUHP,
penyakit yang diderita oleh orang yang diuji itu dapat diteruskan kepada
majikannya. Mungkin nama penyakitnya (diagnosis) tidak perlu disampaikan
kepada majikannya, cukup kalau dokter menerangkan atas sumpah jabatannya
bahwa si pagawai menderita penyakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja
terus, dapat menular, atau membahayakan orang lain dan karena itu dokter
menasihati supaya diberhentikan dari pekerjaannya. Jika ia seorang pegawai,
kepadanya dapat diberikan cuti dahulu, bermula dengan gaji yang penuh atau
sebagaian, kemudian baru diberhentikan dengan hak pensiun penuh atau
sebagian menurut lamanya dalam jabatan atau dengan mendapatkan uang
sokongan atau pesangon (Jusuf, 2008).
Isfandyarie, Anny. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Edisi
2. Prestasi Pustakaraya. Jakarta
Jusuf Hanafiah, M. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC.
Jakarta
Supardi, WC. 2001. Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung.