7
BELAJAR PADA TELEVISI prikitiew!!!" begitulah teriak boy, bocah mungil berusia 7 tahun sepulang dari sekolah. Gaya dan lagaknya persis pelawak Sule dalam Komedi Opera Van Java. Kontan saja sang Mama yang melihat gaya anaknya tertawa terbahak-bahak diikuti oleh seisi rumah yang melihat tingkah lucu bocah itu. "Jurus 1000 Bayangan!!!" teriak Ado yang baru berusia 6 tahun sambil memperagakan gaya Naruto, pendekar jepang di televisi yang belakangan ini digandrungi anak-anak. Seraya melompat dan berputar, Ado beraksi dengan begitu gagahnya seraya berlari-lari mengelilingi ruang tamu di rumahnya. Ayah ibunya pun tersenyum geli sambil memperhatikan lagak anaknya. Dua cuplikan adegan di atas mungkin tidak asing bagi Anda semua. Bahkan mungkin adegan itu justru sedang dan sering terjadi di rumah Anda sendiri. Sangat mungkin pula adegan tersebut menjadi ‘ritual’ menarik dalam acara kumpul bersama keluarga Anda. Namun, sadarkah Anda apa yang menyebabkan anak-anak Anda berperilaku demikian? Tahukah Anda bahwa sebenarnya mereka sedang memperagakan ‘hasil belajar’ dari apa yang dipelajari di rumah Anda, tetapi bukan melalui Anda? Bukan pula melalui guru sekolah atau

Belajar Pada Televisi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

parenting

Citation preview

Page 1: Belajar Pada Televisi

BELAJAR PADA TELEVISI

prikitiew!!!" begitulah teriak boy, bocah mungil berusia 7 tahun sepulang dari sekolah.

Gaya dan lagaknya persis pelawak Sule dalam Komedi Opera Van Java. Kontan saja

sang Mama yang melihat gaya anaknya tertawa terbahak-bahak diikuti oleh seisi rumah

yang melihat tingkah lucu bocah itu.

"Jurus 1000 Bayangan!!!" teriak Ado yang baru berusia 6 tahun sambil memperagakan

gaya Naruto, pendekar jepang di televisi yang belakangan ini digandrungi anak-anak.

Seraya melompat dan berputar, Ado beraksi dengan begitu gagahnya seraya berlari-lari

mengelilingi ruang tamu di rumahnya. Ayah ibunya pun tersenyum geli sambil

memperhatikan lagak anaknya.

Dua cuplikan adegan di atas mungkin tidak asing bagi Anda semua. Bahkan mungkin

adegan itu justru sedang dan sering terjadi di rumah Anda sendiri. Sangat mungkin pula

adegan tersebut menjadi ‘ritual’ menarik dalam acara kumpul bersama keluarga Anda.

Namun, sadarkah Anda apa yang menyebabkan anak-anak Anda berperilaku demikian?

Tahukah Anda bahwa sebenarnya mereka sedang memperagakan ‘hasil belajar’ dari apa

yang dipelajari di rumah Anda, tetapi bukan melalui Anda? Bukan pula melalui guru

sekolah atau guru sekolah minggu, tetapi oleh ‘guru’ yang selalu hadir di rumah Anda

sendiri, yakni ‘guru bertombol’ alias televisi.

‘Guru’ ini siap beraksi tiap waktu tanpa mewajibkan anak-anak mengenakan seragam

sekolah, mengharuskan anak duduk di dalam kelas dan membaca buku. ‘Guru’ ini

bukan saja dinantikan anak-anak. Lebih dari itu, ‘guru’ ini bahkan dicari dan dikejar-

kejar. Bahkan sekalipun bila orangtua melarangnya, anak-anak akan berusaha

melanggar larangan itu dengan keberanian yang tidak terduga untuk menanggung resiko

pelanggaran mereka.

Page 2: Belajar Pada Televisi

Televisi memang layak memperoleh gelar sebagai ‘guru bertombol’. Mengapa? Karena

guru yang konvensional serta orangtua telah ‘dikudeta’ olehnya dan perannya diambil

alih. Bukankah televisi dan acara yang disajikannya mempunyai daya edukasi (didik)

yang luar biasa, di samping memberikan informasi dan rekreasi (hiburan)? Tetapi

cobalah perhatikan apa yang diajarkannya sebelum Anda menentukan sikap

terhadapnya.

Harus diakui bahwa memang ada unsur pendidikan yang bersifat positif yang diberikan

televisi. Seperti acara Si Bolang (bocah petualang), laptop si Unyil atau Hand Made

yang mengajarkan berbagai ketrampilan pada anak. Meskipun demikian, kita tetap perlu

berhati-hati untuk menyimpulkan bahwa televisi memang merupakan alat pendidikan

yang baik bagi anak. Sebab yang posiitif tersebut sangat sedikit jumlahnya

dibandingkan acara yang negatif dampaknya bagi anak-anak. Kenyataan menunjukkan

bahwa televisi memberikan banyak pengaruh negatif atas perilaku, perkataan, pola

pikir, sikap, dan gaya hidup anak.

Pernah kejadian seorang ibu dengan panik berteriak karena anaknya yang berusia 7

tahun membawa pisau dan mengacung-acungkannya ke arah pembantu karena

pembantu minta anak tersebut untuk tidak mengganggu adiknya. Ia berteriak,"Saya

bunuh kamu ….!" Gaya yang pernah dilihatnya di televisi. Perlu waktu cukup lama

untuk dapat memperoleh kembali pisau itu dan menenangkan kedua belah pihak. Lalu

ada juga berita tentang seorang anak yang matanya ditusuk dengan jari oleh kakaknya

karena ia meniru jurus film kungfu yang pernah dilihatnya di televisi. Di tempat lain,

setelah menonton acara tinju, seorang ayah melihat anaknya terus menyerang adik-

adiknya. Dan masih banyak lagi kisah nyata lainnya sehubungan dengan meningkatnya

kekerasan pada perilaku anak-anak karena menonton televisi.

Sebenarnya mengapa TV yang bisa memberi efek buruk ? Pokok permasalahan yang

paling besar, sebenarnya adalah ketidakmampuan seorang anak kecil membedakan

dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang sebenarnya. Bagi orang yang sudah dewasa,

tidak ada masalah, sebab ia tahu apa yang sungguh-sungguh terjadi di dunia atau yang

Page 3: Belajar Pada Televisi

hanya fiksi belaka. Bila orang dewasa melihat film – film aksi atau horor, mereka tahu

apa yang mungkin atau apa yang tidak mungkin. Orang dewasa tahu bahwa tokoh

Rambo, Frankenstein, Zombie, dan lain-lain adalah karangan saja. Orang dewasa juga

tahu bahwa orang tidak dibunuh atau dipukul sungguh-sungguh dalam film. Sebaliknya,

seorang anak kecil kebanyakan belum mengenal dan mengetahui apa itu akting, apa itu

efek film, atau apa itu tipuan kamera… dan lain sebagainya. Bagi mereka, anak-anak

ini, dunia di luar rumah adalah dunia yang seperti apa yang ada di TV, yang mereka

lihat setiap kali.

Di mata anak-anak, kekerasan yang ada menjadi hal yang biasa, dan boleh-boleh saja

dilakukan apalagi terhadap orang yang bersalah,karena memang itu semua ditunjukkan

dalam film-film. Bahkan ada kecenderungan bahwa orang yang melakukan kekerasan

terhadap "orang jahat" adalah suatu tindakan yang heroik, tidak peduli dengan prosedur

hukum yang seharusnya berlaku. Hal ini pernah dibuktikan di Amerika Serikat, di mana

penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa karena terlalu banyak menonton TV,

anak dapat jadi beranggapan bahwa kekerasan adalah hal yang wajar, dan bagian dari

hidup sehari-hari. Dan sebagai akibatnya, mereka menjadi lebih agresif dan memiliki

kecenderungan untuk memecahkan tiap persoalan dengan jalan kekerasan terhadap

orang lain.

Efek lain dari terlalu banyak menonton TV, adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif.

Mereka kurang beraktivitas, tetapi hanya duduk di depan TV, dan melihat apa yang ada

di TV. Baik secara fisik maupun mental, anak menjadi pasif, karena memang orang

yang menonton TV tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar dan melihat

apa yang ada di TV. Kemampuan berpikir dan kreatifitas anak tidak terasah, karena ia

tidak perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya bila ia membaca buku atau

mendengar musik. Hal lain yang menyertai kepasifan ini adalah anak cenderung jadi

lebih gemuk, bahkan bisa overweight karena mereka biasanya menonton TV sambil

makan kudapan (cemilan), terus menerus tanpa terasa.

Page 4: Belajar Pada Televisi

Bagaimana Solusinya ?

Untuk anak yang masih sangat kecil, ia belum bisa membedakan antara siaran TV

atau rekaman video yang diputar. Orang tua dapat memilihkan film (video) yang

menarik dan mendidik anak, sesuai usianya itu. Akan tetapi ada satu hal yang harus

diingat, jangan memutarkan video yang kita sendiri belum lihat, minimal ketahui persis

apa isinya.

Periksalah jadwal acara TV, sehingga kita bisa mengatur jadwal film / acara apa

yang akan ditonton bersama anak. Atau paling tidak, kalau tidak bisa menemaninya

menonton, kita tetap tahu acara apa yang ia tonton. Dengan mencari dan melihat resensi

atau ulasan mengenai film atau acara itu, kita juga akan tahu kira-kira seperti apa isi

acaranya, dan akhirnya kita dapat mempertimbangkan pantas tidak acara itu dilihat anak

kita

Dengan menemani anak menonton TV, kita dapat mengajaknya membahas apa yang

ada di TV, dan membuatnya mengerti bahwa apa yang ada di TV tidak semua sama

dengan apa yang ada sebenarnya. Orang tua juga akan semakin erat hubungan

komunikasinya dengan anak.

Diskusikan dan bantulah anak memperoleh manfaat dari acara TV, dengan

menuntunnya mengambil nilai positif dari acara tersebut. Dengan memanfaatkan saat-

saat ini , bahkan orang tua dapat mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak.

Terakhir jika Anda tidak bisa meminimalisir dampak buruk televisi sebaiknya Anda

jual televisi Anda atau tidak ada televisi di rumah sama sekali, masih banyak media

pendidikan dan hiburan lain yang bisa dinikmati anak tanpa bahaya yang begitu

mengancam sebagaimana televisi, contohnya komputer atau VCD. Jadi terserah Anda.