15
Paralisis Wajah pada Pasien Bell’s Palsy Pendahuluan Pada skenario 2 PBL kali ini, dikatakan bahwa seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan keluhan timbul secara tiba-tiba dan membuat dirinya cemas. Keluhan yang disampaikan oleh pasien dalam skenario PBL tersebut berhubungan dengan gangguan persarafan pada wajah, yang diinervasi oleh nervus kranialis ke VII yaitu nervus facialis. Penyakit yang berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan antara lain Bell’s palsy dan stroke. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai anatomi dan fungsi dari nervus fasialis yang mempersarafi dan membedakan gejala paralisis wajah pada penyakit-penyakit yang manifestasi klinisnya hampir sama. Pembahasan Anamnesis Pasien Anamnesis dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien. Setiap jawaban dari pasien akan membantu penegakkan diagnosis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta terapi dan edukasi. Pertanyaan yang ditanyakan selama anamnesis harus meliputi keluhan utama, keluhan penyerta, penyakit saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, serta riwayat pribadi dan sosial. 1 Pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien laki-laki 25 tahun seperti pada kasus antara lain: 1,2

BELL'S PALSY.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Paralisis Wajah pada Pasien Bells PalsyParalisis Wajah pada Pasien Bells Palsy

PendahuluanPada skenario 2 PBL kali ini, dikatakan bahwa seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan keluhan timbul secara tiba-tiba dan membuat dirinya cemas. Keluhan yang disampaikan oleh pasien dalam skenario PBL tersebut berhubungan dengan gangguan persarafan pada wajah, yang diinervasi oleh nervus kranialis ke VII yaitu nervus facialis. Penyakit yang berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan antara lain Bells palsy dan stroke. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai anatomi dan fungsi dari nervus fasialis yang mempersarafi dan membedakan gejala paralisis wajah pada penyakit-penyakit yang manifestasi klinisnya hampir sama.

PembahasanAnamnesis Pasien Anamnesis dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien. Setiap jawaban dari pasien akan membantu penegakkan diagnosis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta terapi dan edukasi. Pertanyaan yang ditanyakan selama anamnesis harus meliputi keluhan utama, keluhan penyerta, penyakit saat ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, serta riwayat pribadi dan sosial.1 Pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien laki-laki 25 tahun seperti pada kasus antara lain:1,2 Sejak kapan Anda mengalami gangguan ini? Apakah Anda bisa mengerutkan dahi Anda? Apakah Anda bisa memejamkan mata Anda dengan sempurna? Apakah Anda bisa menggembungkan pipi Anda? Apakah Anda bisa menunjukkan gigi geligi Anda? Apakah Anda pernah menjalani operasi kelenjar parotis sebelumnya? Apakah Anda pernah terserang cacar baru-baru ini?

Pemeriksaan Fisik dan Gejala KlinisFungsi motorikDalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral (supranuklear), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.3 Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya, sebab otot-otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis terlihat adanya asimetri. 3 Suruh penderita memejamkan mata. Bila lumpuhnya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila terdapat parese, penderita tidak dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang normal yang tidak dapat memejamkan matanya satu persatu. 3 Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan bibir, menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah ada simteri. Perhatikan sudut mulutnya. Suruh penderita bersiul. Penderita yang tadinya dapat bersiul menjadi tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila kepadanya diberi rangsang nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m. master). 3 Gejala Chvostek. Gejala Chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok nervus VII. Ketokan dilakukan di bagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot yang disarafinya. Pada tetanus didapatkan gejala Chvostek positif, tetapi ia dapat juga positif pada orang normal. Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya nervus fasialis terhadap rangsang mekanik. 3

Fungsi pengecapanKerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian laiinnya, yaitu ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.Kerusakan pada atau di atas nervus petrosus major dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi ludah. 3

Beberapa penyebab gangguan saraf VIIGangguan saraf VII jenis sentral kebanyakan disebabkan oleh stroke. Sedangkan gangguan saraf VII jenis perifer dapat disebabkan antara lain oleh paralise idiopatis (Bells palsy), tumor di sudut serebelopontin, otitis media, meningitis karsinomatosa, tumor parotis, dan fraktur dasar tulang tengkorak. 3

Hasil pemeriksaan laboratoriumDiagnosis Bells palsy biasanya dapat dibuat secara klinis pada pasien dengan presentasi tipikal, pasien yang tidak memiliki faktor risiko atau gejala pendahulu untuk sebab lain paralisis fasial, tidak adanya lesi kutan dari herpes zoster di kanal telinga luar, dan pemeriksaan neurologis normal kecuali nervus fasial. Dalam kasus yang atipikal, tes untuk diabetes mellitus, titer Lyme, angiotensin-converting enzyme, foto toraks untuk dugaan sarkoidosis, dan pungsi lumbal untuk kemungkinan Guillain-Barre syndrome, atau MRI. MRI sering menunjukkan adanya pembengkakan dan penajaman nervus fasial pada kasus Bells palsy idiopatik.3,4

Working DiagnosisDiagnosis kerja atau working diagnosis saya untuk kasus kali ini ialah Bells palsy.

EpidemiologiBells palsy diperkirakan berkontribusi 60-75% dari seluruh kasus paralisis fasial unilateral akut, dengan 63% menderita pada sisi kanan wajah. Bells palsy juga bisa rekuren, dengan rentang persentase rekurensi 4-14%. Meskipun Bells palsy bilateral dapat terjadi, namun hal itu sangat jarang terjadi. Hal itu hanya berkontribusi sekitar 23% dari seluruh kasus paralisis fasial bilateral dan skala terjadinya kurang dari 1 %. Mayoritas pasien dengan paralisis fasial bilateral memiliki sindrom Guillain-Barr, sarkoidosis, penyakit Lyme, meningitis, atau neurofibroma bilateral.4Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi terkena Bells palsy daripada orang tanpa diabetes. Oleh karena itu, mengukur kadar gula darah pada saat diagnosis Bells palsy dapat mendeteksi diabetes yang tak terdiagnosis. Pasien dengan diabetes 30% lebih mungkin hanya mengalami perbaikan parsial dibandingan dengan pasien non-diabetes. Bell palsy juga sering ditemukan pada orang-orang immunocompromised dan wanita preeclampsia. 4 Bells palsy dapat diderita sama besar kemungkinannya baik pada pria maupun wanita. Namun, wanita muda usia 10-19 tahun ditemukan lebih mungkin menderita Bells palsy daripada pria di kelompok usia yang sama. Wanita hamil memiliki risiko 3,3 kali lebih tinggi terkena Bells palsy daripada wanita yang tidak hamil; Bells palsy terjadi paling sering di trimester ketiga. 4Secara umum, Bells palsy umum terjadi pada orang dewasa. Predominansi yang sedikit lebih tinggi ditemukan pada pasien di atas 65 tahun (59 kasus per 100.000 orang) dan insiden yang lebih rendah ditemukan pada anak di bawah usia 13 tahun (13 kasus per 100.000 orang). Insiden terendah ditemukan pada anak di bawah usia 10 tahun dan insiden tertinggi ditemukan pada orang di atas usia 60 tahun. Usia puncak berada pada rentang 20 dan 40 tahun. 4

PatogenesisOtot-otot dahi mendapatkan persarafan supranuklearnya dari kedua hemisfer serebri, tetapi otot-otot ekspresi wajah lainnya dipersarafi secara unilateral, yaitu oleh korteks presentralis kontralateral. Jika jaras supranuklear desendens terganggu hanya pada satu sisi, misalnya oleh infark serebri, kelumpuhan wajah yang ditimbulkan tidak mengganggu otot-otot dahi: pasien dapat menaikkan alisnya dan memejamkan matanya dengan kuat. Jenis kelumpuhan wajah ini disebut kelumpuhan n. fasialis sentral. Namun, pada lesi nuklear atau lesi perifer semua otot-otot ekspresi wajah pada sisi lesi menjadi lemah. Dengan demikian, seseorang dapat membedakan kelumpuhan fasialis sentral dari kelumpuhan fasialis nuklear atau perifer melalui tampilan klinisnya. Nukleus motorik nervus fasialis tidak hanya dipersarafi oleh korteks fasialis tetapi juga oleh diensefalon, yang berperan besar pada ekspresi wajah terkait emosi. Input yang lebih lanjut berasal dari basal ganglia; pada gangguan basal ganglia (misalnya pada penyakit Parkinson), dapat terjadi hipomimia atau amimia. Selain itu juga terdapat berbagai sindrom diskinetik yang mengenai otot-otot ekspresi wajah dengan jenis gerakan abnormal yang berbeda: antara lain spasme hemifasial, dyskinesia fasialis, dan blefarospasme. Lokasi lesi penyabab sindrom ini masih belum diketahui. 5 Kelumpuhan nervus fasialis idiopatik (Bells Palsy). Gangguan nervus fasialis yang paling sering ini terjadi pada sekitar 25 dari 100.000 orang per tahun. Penyebabnya masih belum diketahui. Gangguan ini ditandai dengan paresis flasid pada semua otot ekspresi wajah (termasuk otot-otot dahi), serta manifestasi lain yang sesuai dengan lokasi lesi. Diagnosis banding penting pada kasus kelumpuhan wajah akut, karena tidak semua kasus bersifat idiopatik; 10% kasus terjadi akibat herpes zoster optikus, 4% terjadi akibat otitis media, dan 2% akibat berbagai jenis tumor (tumor parotis, neurinoma, dan lainnya).5Bells palsy berhubungan dengan adanya herpes simplex virus (HSV) 1 dalam cairan endoneural dan otot auricular posterior, sebagai dugaan adanya reaktivasi virus di ganglion genikulatum. Namun, peran sebab dari HSV pada Bells palsy masih belum dapat dibuktikan sepenuhnya. Meningkatnya insiden Bells palsy juga dilaporkan pada beberapa resipien vaksin influenza intranasal yang inaktif (inactivated intranasal influenza vaccine), dan hal itu menjadi hipotesis dapat terjadi akibat enterotoksin Escherichia coli yang digunakan sebagai ajuvan atau untuk reaktivasi virus tersebut.6 (Lihat Gambar 1)

Gambar 1. Kelumpuhan wajah unilateral pada pasien Bells palsy

Stroke iskemik, parese nervus VII sentral, dan Transient Ischemic Attack (TIA) Lesi iskemik parenkim otak disebabkan oleh kurangnya suplai darah otak yang berlangsung lebih dari beberapa detik, biasanya baik oleh blokade pembuluh darah yang memberikan suplai (arterial), atau, yang lebih jarang, oleh hambatan aliran vena yang menyebabkan stasis darah di otak, dengan gangguan sekunder penghantaran oksigen dan nutrien. Apabila sumbatan aliran darah ini terjadi lebih dari beberapa menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan otak. Ketika aliran darah kembali normal dengan cepat, jaringan otak dapat mengalami perbaikan sepenuhnya dan gejala-gejala yang dialami penderita hanya sementara; ini disebut serangan iskemi sementara atau transient ischemic attack (TIA). Standar definisi TIA adalah tanda-tanda neurologis dan gejala-gejala yang kembali pulih dalam 24 jam di luar fakta bahwa terdapat kerusakan otak permanen; sedangkan stroke terjadi bila tanda dan gejala neurologis berlangsung lebih dari 24 jam.5,6 Pada stroke iskemik, gejala kelumpuhan otot motorik tergantung dari di bagian mana terjadi lesi (infark) pada otak. Infark pada bagian posterior kapsula interna atau basis pontis menyebabkan kelumpuhan pada wajah, lengan, dan tungkai (pure motor hemiparesis). Infark pada bagian ventral thalamus akan menyebabkan hilangnya kemampuan sensorik penderita (pure sensory stroke). Infark pada bagian ventral pons atau kapsula interna akan menyebabkan ataxic hemiparesis, sedangkan infark pada bagian ventral pons atau genu kapsula interna dapat menyebabkan disartria dan clumsy hand. Kelumpuhan wajah yang terjadi pada stroke termasuk dalam kelumpuhan sentral yang pada wajah tidak melibatkan otot dahi, sehingga penderita masih dapat mengerutkan dahi atau alis. 5,6 (Lihat Gambar 2)

Gambar 2. Kelumpuhan wajah pada lesi perifer (kiri) dan lesi sentral (kanan)

Gangguan pada n. fasialis dapat dikelompokkan sebagai berikut: Paralisis perifer. Gangguan ini disebut sebagai Bells Palsy yang merupakan gangguan fungsional nervus fasialis yang paling sering dijumpai. Biasanya disebabkan oleh infeksi virus sepanjang perjalanannya di dalam kanalis fasialis. Paralisis ini akan menyebabkan kelumpuhan flasid otot-otot ekspresi wajah termasuk dahi, dan disertai dengan keluhan lainnya sesuai dengan segmen saraf mana yang terlibat. Penyebab lain paralisis fasialis perifer adalah tumor intracranial, otitis media, mastoiditis, fraktus os. Petrosus, inflamasi kelenjar parotis, iatrogenik ketika operasi parotis. Paralisis nuklear. Nukleus nervus fasialis dapat rusak akibat penyakit degeneratif (paralisa bulbar progresiva, siringobulbar), gangguan sirkulasi, proses inflamasi (polio, ensefalitis), tumor pons, dan perdarahan pons. Paralisis supranuklear. Gangguan yang paling sering terjadi adalah di kapsula interna yang disebabkan oleh infark, sumbatan a. karotis atau a. serebri media, perdarahan, tumor, dan sebagainya. Spasme otot wajah. Kelainan ini disebut juga sebagai tic facialis. Gejalanya berupa otot-otot wajah yang bergerak secara spontan, tidak terkendali.

Gangguan pada n. intermedius dapat menimbulkan neuralgia seperti: Neuralgia sluder akibat terangsangnya ganglion pterigopalatina akibat infeksi paranasal. Nyeri terjadi di daerah mata, pangkal hidung, maksila, dan palatum yang menyebar ke leher dan bahu. Dalam kejadian ini biasanya disertai gangguan salvias dan keluarnya air mata. Neuralgia Hunt (Ramsay Hunt Syndrome) akibat gangguan pada ganglion genikulatum akibat herpes zoster. Nyeri timbul di kanalis auditorius, belakang telinga, serta sering disertai paralisa fasialis, gangguan pendengaran, tinnitus, salivasi, dan keluarnya air mata.Gangguan nervus intermedius juga dapat menimbulkan gangguan pengecapan, namun mengingat sensasi pengecapan ditransmisikan oleh beberapa saraf (VII, IX, dan X), maka hilangnya rasa pengecapan ini secara total jarang terjadi. Gangguan pengecapan dapat terjadi akibat meningitis viral, merokok, obat (antikolinergik, amitriptilin, vinkristin, ace inhibitor), penyakit Sjogren, defisiensi vitamin A dan B12, serta miksedema.

Penatalaksanaan FarmakologikUsaha penanganan simtomatik dapat berupa: penggunaan selotip atau bahan perekat lainnya untuk menutup kelopak mata atas selama pasien tidur dan mencegah pengeringan kornea; dan pijitan halus pada otot yang lemah. Glukokortikoid, biasanya diberikan prednisone 60-80 mg perhari selama 5 hari pertama dan kemudian ditingkatkan 5 hari kemudian dapat mempercepat waktu penyembuhan dan meningkatkan hasil fungsional. Percobaan terkini mempublikasikan adanya efek asiklovir (400 mg lima kali perhari untuk 10 hari) dibandingkan dengan dosis tunggal prednisolon untuk pengobatan akut Bells palsy; efek valasiklovir (biasanya 1000 mg perhari untuk 5-7 hari) baik sebagai dosis tunggal atau dalam kombinasi masih tidak diketahui.6

Penatalaksanaan Non-farmakologik dan PencegahanKarena orang-orang dengan Bells palsy biasanya memiliki prognosis yang baik, dank arena perbaikan spontan dari penyakit ini banyak ditemukan, terapi Bells palsy masih kontroversial. Tujuan terapinya adalah untuk meningkatkan fungsi saraf wajah (nervus VII) dan mengurangi kerusakan neuronal. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam memberi terapi pada penderita Bells palsy. Yang paling penting adalah onset gejalanya. Terapi harus dipertimbangkan untuk pasien dengan onset kelumpuhan wajah dalam rentang 1-4 hari.4Pasien dengan Bells palsy sering datang ke bangsal emergensi. Tugas dokter emergensi antara lain memulai terapi awal yang tepat, melindungi mata pasien Bells palsy, memulai terapi dan follow-up yang sesuai. 4 Ada beberapa cara nonfarmakologik yang dipakai sebagai terapi Bells palsy, termasuk terapi fisik (misalnya latihan otot wajah dengan menggerakan dan meregangkan wajah) (Lihat Gambar 3) dan akupuntur. Tidak ada efek samping yang dilaporkan dari terapi-terapi nonfarmakologik ini. Selain dengan terapi fisik dengan melatih otot wajah, dapat pula dilakukan pembedahan. Pilihan pembedahan yang dapat dipertimbangkan sebagai terapi Bells palsy antara lain dekompresi nervus VII, pengangkatan lemak bawah mata (Subocularis oculi fat lift SOOF), transposisi otot temporalis, penggantian saraf wajah (facial nerve grafting), dan pengangkatan alis direk (direct brow lift). 4

Gambar 3. Beberapa gerakan yang dapat membantu perbaikan kelenturan otot-otot wajah.

Kesimpulan Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu pada skenario PBL menderita Bells palsy. Bells palsy merupakan suatu gejala kelemahan otot wajah karena adanya lesi yang mempengaruhi nervus fasialis yang menginervasi daerah wajah. Gejala kelumpuhan pada wajah ini beda dengan kelumpuhan wajah pada stroke. Terapi dapat dilakukan baik secara farmakologik dengan kortikosteroid maupun secara nonfarmakologik yakni dengan senam wajah (terapi fisik) serta pembedahan.

Daftar Pustaka1. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008.p.3-4,64.2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h. 155.3. Lumbantobing SM. Neurologi klinik: pemeriksaan fisik dan mental. Cetakan ke-16. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. h.55,8,60.4. Taylor DC. Bells palsy treatment and management. Medscape 2014. Tersedia dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/1146903-treatment. Diakses pada 20 Januari 2015.5. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topikal neurologi duus. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2012. h.149-52. 6. Hauser SL. Trigeminal Neuralgia, Bells Palsy, and Other Cranial Nerve Disorders. Dalam: Harrisons neurology in clinical medicine. Edisi 2. USA: The McGraw-Hill Companies; 2010. h.379-81.

Carissa Putri Crisdayani 102012446