Upload
abu-syafiq
View
34
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Benarkah Boleh Isbal Tanpa Sikap Sombong?Pertanyaan:
Ustadz Abu Abdillah, Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi ilmu ustadz. Saya ada pertanyaan,
apakah penukilan pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani seperti yang dicantumkan di sebuah website
bahwa “Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap sombong” itu valid dari beliau?
Abu Zahroh
Jawaban:
Bismillaah… walhamdulillaah… wash-sholaatu wassalaamu ala Rasuulillaah… wa’ala aalihi washahbihi
waman waalaah…
Memang ada sebagian orang menisbatkan pendapat bolehnya isbal tanpa rasa sombong kepada Al-Hafidz
Ibnu Hajar, padahal itu tidak benar. Sebaliknya, beliau justru menguatkan pendapat yang menyatakan
bahwa larangan itu umum, baik untuk yang sombong maupun tidak. Anda bisa merujuknya ke Fathul Bari,
karya Ibnu Hajar, syarah hadits no: 5788-5791. Beliau membahas masalah ini, dengan panjang lebar.
Diantara perkataan beliau yang menguatkan pendapat haramnya isbal secara umum adalah:
Pertama: Beliau mengatakan bahwa dzahir-nya banyak hadits mengharamkan isbal meski tanpa rasa
sombong.
�ح�اد�يث ه�ذ�ه� و�ف�ي �ن� األ� �ال أ ب �س� ار إ �ز� ء� اإل� �ال� ي ��خ �ل ة ل �ير� �ب م�ا ك� �ال , و�أ ب �س� اإل�
�ر� �غ�ي ء ل �ال� ي ��خ �ح�اد�يث ف�ظ�اه�ر ال �ح�ر�يمه األ� �ض.ا ت �ي أ
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar.
Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.”
(Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Petikan di atas jelas menunjukkan bahwa beliau menguatkan pendapat yang mengatakan isbal dengan
sombong itu dosa besar, sedang isbal yang tanpa sombong meski bukan dosa besar, tapi tetap diharamkan
oleh banyak hadits.
Kedua: Beliau menyebutkan bantahan kepada orang yang menafsiri bahwa larangan isbal hanya bagi
mereka yang sombong, tanpa menjawabnya. Dan ini menunjukkan bahwa beliau sepakat dengannya.
�ف�اد ت �س� �ف�ه�م ه�ذ�ا م�ن� و�ي �ع�ق7ب ال �ن� م�ن� ع�ل�ى الت : إ �ح�اد�يث ق�ال� األ� �ق�ة �م�ط�ل ج�ر ف�ي ال �ال ع�ن� الز� ب �س� �د�ة اإل� �ح�اد�يث� م�ق�ي �األ� �خ�ر�ى ب األ�
ح�ة Fص�ر��م �م�ن� ال �ه� ب ء… ف�ع�ل �ال� ي ��ع�ق7ب و�و�ج�ه خ �ه� الت ن� �و� أ �ان� ل �ك� ك �ذ�ل �م�ا ك ل
�ان� ار ف�ي ك �ف�س� ت �س� �مL ا �م�ة أ ل اء ح�ك�م ع�ن� س� Fس� رL ف�ي الن �ولهن� ج� .ى. ذ�ي م�ع�ن
�ل� ج�ر ف�ه�م�ت� ب �ال ع�ن� الز� ب �س� �ق.ا اإل� و�اء م�ط�ل �ان� س� �م� م�خ�يل�ة ع�ن� ك , ال� أ �ل�ت� أ اء ح�ك�م ع�ن� ف�س� Fس� �ك� ف�ي الن �اج�ه�ن� ذ�ل �ي ت ح� �ل�ى ال� �ال إ ب �س� �ج�ل م�ن� اإل� أ
�ر ت ة س� �ع�و�ر� �ن� ال ة ق�د�مه�ا ج�م�يع , أل� �ن� ع�و�ر� �ي �ه�ا , ف�ب �ن� ل �مهن� أ �ك� ف�ي ح�ك ذ�ل ج�ال ح�ك�م ع�ن� خ�ار�ج Fم�ع�ن�ى ه�ذ�ا ف�ي الر� ف�ق�ط� ال
Fahamnya (Ummu salamah radhiallahu ‘anha) ini, mengandung bantahan bagi mereka yang mengatakan
bahwa: Hadits-hadits larangan isbal yang mutlak itu, harus di-taqyid dengan hadits-hadits lain yang
menyebutkan bahwa ia melakukannya dengan rasa sombong… Bantahan itu bisa dijabarkan: Jika
seandainya larangan isbal itu khusus bagi mereka yang sombong, tentu pertanyaan Ummu Salamah
radhiallahu ‘anha (kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam) tentang hukum wanita meng-isbal-kan
pakaiannya itu tidak ada gunanya sama sekali.
Justru Ummu Salamah menanyakan hal itu, karena ia paham bahwa larangan isbal tersebut itu umum, baik
disertai rasa sombong atau tidak. Ia menanyakan hukum wanita meng-isbal-kan pakaiannya karena
perlunya mereka isbal untuk menutup aurat, karena seluruh kaki wanita adalah aurat, lalu Rasul shallallahu
alaihi wasallam menerangkan bahwa hukum isbal-nya wanita berbeda dengan hukum isbal-nya pria dalam
hal ini saja. (Fathul Bari 13/259-260)
Setelah menyebutkan uraian ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar tidak membantahnya. Ini menunjukkan bahwa beliau
menguatkan pendapat tersebut.
Ketiga: Beliau membantah orang yang menafsiri perkataan Imam Syafi’i untuk membolehkan isbal tanpa
rasa sombong.
Lص� �ذ�ي و�الن ار� ال �ش� �ه� أ �ي �ل ه� إ �ر� �ط�يL ذ�ك �و�ي �ب �ص�ره ف�ي ال اف�ع�يL ع�ن� م�خ�ت الش� �ج�وز : ال� ق�ال� د�ل ي ة ف�ي الس� �ره�ا ف�ي و�ال� الص�ال� ء� غ�ي �ال� ي ��خ �ل �ر�ه�ا ل �غ�ي , و�ل
�ق�و�ل� خ�ف�يف �يL ل �ب �ه� الل�ه ص�ل�ى الن �ي �م� ع�ل ل �ب�ي و�س� �ر أل� �ك ”: ه, و�ق�و�له ا ب �س� ” خ�ف�يف �ي �ف�ي ف�ي ص�ر�يح.ا ل �ح�ر�يم ن الت
Perkataan Imam Syafi’i yang dimaksud oleh Imam Nawawi itu, disebutkan oleh Al-Buwaithi diKitab
Mukhtashor-nya. Imam Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh isbal, baik di dalam sholat atau di luarnya bagi
mereka yang sombong. Sedang bagi yang tidak sombong lebih ringan hukumnya, karena sabda
Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Bakar.” (Ibnu Hajar mengatakan:) Perkataan Imam Syafi’i
“lebih ringan hukumnya”, tidak sharih (tegas) dalam menafikan haramnya (isbal tanpa rasa sombong).
(Fathul Bari 13/266)
Lihatlah bagaimana beliau dengan penuh kesopanan membantah perkataan ulama yang kurang tepat
dalam menafsiri perkataan Imam Syafi’i tersebut.
Keempat: Beliau menjelaskan hikmah diharamkannya isbal, yang berlaku umum baik bagi yang isbal
dengan rasa sombong atau tidak.
م�ا� �ر� ف�أ �غ�ي ء ل �ال� ي ��خ �ل�ف ال ت �خ� �ن� ف�ي �ح�ال. ف�إ �ان� ال �و�ب ك �سه ق�د�ر ع�ل�ى الث ب ال�
��ه �ن �ك د�له� ل �س� �ظ�ه�ر ال� ف�ه�ذ�ا ي �ح�ر�يم, و�ال� ف�يه� ي �م�ا ت ي �ن� س� �ان� إ �ر ع�ن� ك غ�ي �ذ�ي ق�ص�د �ل �ا �ب�ي و�ق�ع� ك �ن� أل� �ر, و�إ �ك �ان� ب �و�ب ك �د.ا الث ائ �سه ق�د�ر ع�ل�ى ز� ب ال� �ج�ه ق�د� ف�ه�ذ�ا �ت �ع ي �م�ن ر�اف ج�ه�ة م�ن� ف�يه� ال �س� �ه�ي اإل� �ت �ن �ل�ى ف�ي �ح�ر�يم…. إ الت �ج�ه و�ق�د� �ت �ع ي �م�ن 7ه ج�ه�ة م�ن� ف�يه� ال ب �ش� اء� الت Fس� �الن م�ك�ن و�ه�و� ب
� م�ن� ف�يه� أ و�ل, و�ق�د�
� �ح�اك�م ص�ح�ح� األ� ب�ي ح�د�يث م�ن� ال� ة أ �ر� ي �ن� ه�ر� س�ول “أ الل�ه ر�
�ه� الل�ه ص�ل�ى �ي �م� ع�ل ل �ع�ن� و�س� ج�ل ل �ب�س الر� �ل �س�ة ي �ب �ة” ل أ �م�ر� و�ق�د� … ال �ج�ه �ت �ع ي �م�ن �ن� ج�ه�ة م�ن� ف�يه� ال �سه أ ب م�ن ال� ال�
� �أ �ع�ل7ق م�ن� ي �ج�اس�ة ت �ه�, الن ب �ل�ى �ك� و�إ ير ذ�ل �ش� �ح�د�يث…. ع�ن� ي �د ال �ي �ن ع�ب : خ�ال�د ب �ت“ق�ال� �ن م�ش�ي ك
� أ د و�ع�ل�ي� �ر� ه�, ف�ق�ال� ب Lر��ج ف�ع� ل�ي أ �ر� ج�ل: ا �و�بك ر� �ه� ث �ن �ق�ى ف�إ �ن �ق�ى أ �ب , و�أ
�ظ�ر�ت �ذ�ا ف�ن �يL ه�و� ف�إ �ب �ه� الل�ه ص�ل�ى الن �ي �م�ا ع�ل �ن , ف�ق�ل�ت: إ �م� ل د�ة ه�ي� و�س� �ر� ب م�ا
� : أ �ح�اء, ف�ق�ال� و�ة؟ ف�ي� ل�ك م�ل س�� �ظ�ر�ت أ : ف�ن �ذ�ا ق�ال� اره ف�إ �ز� �ل�ى إ إ
�ص�اف �ن �ده أ ن �ه�”. و�س� اق�ي �له�ا س� ه�م ق�ب �Fد. )قال بنت )ر ي األسود( ج� رقم الصحيحة في مخرج قاصر شاهد له لكن األلباني: ضعيف
�ج�ه …(1441 �ت �ع و�ي �م�ن �ض.ا ال �ي �ال ف�ي أ ب �س� �خ�ر�ى ج�ه�ة م�ن� اإل� �و�نه و�ه�ي� أ ك �ة ء, ق�ال� م�ظ�ن �ال� ي ��خ �ن ال �ب �يL ا ب �ع�ر� �ج�وز : ال� ال ج�ل� ي �لر� �ن� ل �ج�او�ز أ �ه� ي �و�ب �ث ب �ع�به �ق�ول ك ه� ال� , و�ي Lر��ج ء أ �ال� ي ��ن� خ �ه�ي , أل� �ه� ق�د� الن �او�ل �ن �ف�ظ.ا ت �ج�وز , و�ال� ل ي �م�ن� �ه� ل �او�ل �ن �م.ا الل�ف�ظ ت �ن� ح�ك �ق�ول أ �له� ال� ي �ث م�ت
� �ن� أ �ك� أل� �ل �ع�ل�ة ت �س�ت� ال �ي ف�ي� ل �ه�ا �ن �ر د�ع�و�ى , ف�إ �م�ة غ�ي ل �ل� م�س� �ته , ب �ط�ال �له إ 7ره ع�ل�ى د�ال�ة ذ�ي �ب �ك انتهى ت
�خ�ص.ا . م�ل
Adapun isbalnya orang yang tanpa rasa sombong, maka keadaannya berbeda. (misalnya) Jika bajunya itu
sesuai ukuran pemakainya, tapi ia menyeretnya, maka tidak jelas (bagiku) hukum haramnya, apalagi jika itu
tanpa disengaja, sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Namun jika bajunya itu melebihi ukuran
pemakainya, maka keharaman itu berlaku padanya, karena masuk dalam israf yang diharamkan.
Larangan isbal ini juga bisa karena isbal itu menyerupai (pakaian) wanita, Alasan ini lebih kuat dari alasan
pertama, karena Imam Hakim telah men-shohih-kan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pria yang mengenakan model pakaian wanita”
Larangan isbal juga bisa karena baju pemakainya tidak aman dari terkena najis, hikmah ini ditunjukkan oleh
hadits. Dari Ubaid bin Khalid, ia berkata: “(Suatu hari) aku berjalan dengan menyeret baju burdahku, lalu
ada orang yang menegurku: ‘Angkatlah bajumu!, sungguh itu lebih menjaga bersih dan awetnya”. Aku pun
menoleh ke arah suara itu, ternyata dia adalah Nabishallallahu alaihi wasallam, lalu aku beralasan: ‘Ini
hanya baju burdah malha‘, maka beliau menimpali: ‘Tidakkah kau meniruku?! ’Ubaid mengatakan: “Lalu ku
lihat beliau, ternyata sarungnya (tinggi) sampai di tengah betisnya.” Larangan isbal juga bisa karena hal itu
termasuk tanda kesombongan, Ibnul Arabi mengatakan: Laki-laki tidak boleh menjulurkan pakaiannya
melewati mata kakinya, lalu berkilah: “Aku tidak menjulurkannya karena sombong!” Karena lafal hadits yang
melarang hal itu telah mencakup dirinya, dan orang yang masuk dalam larangan, tidak boleh membela diri
dengan mengatakan: “Aku tidak mau mengindahkan larangan itu, karena sebab larangannya tidak ada
padaku.” Hal seperti ini adalah klaim yang tidak bisa diterima, sebab tatkala ia menjulurkan pakaiannya,
sejatinya ia menunjukkan karakter kesombongannya. (Fathul Bari13/266-267)
Perhatikan uraian Ibnu hajar di atas, beliau menyebutkan empat hikmah diharamkannya isbal:
(a) Israf harta (yakni menghambur-hamburkannya).
(b) Tasyabbuh (yakni menyerupai) pakaian wanita.
(c) Tidak aman dari najis.
(d) Termasuk tanda kesombongan.
Dan semua hikmah ini berlaku umum bagi siapa saja yang isbal ria, baik dengan rasa sombong atau tidak.
Kelima: Beliau menutup pembahasan masalah isbal dengan mengatakan:
�ن� و�ح�اص�له �ال أ ب �س� �ز�م اإل� �ل ت �س� رL ي �و�ب ج� رL الث �و�ب و�ج� �ز�م الث �ل ت �س� ء ي �ال� ي ��خ ال �و� �م� و�ل �ق�ص�د ل ب�س ي ء الال� �ال� ي ��خ Fده� ال �ؤ�ي ج�ه� م�ا , و�ي �خ�ر� �ح�م�د أ �ن أ �يع ب م�ن� م�ن
�ن ع�ن� آخ�ر و�ج�ه �ب �اء ف�ي ع�م�ر ا �ن �ث ف�ع�ه�: ح�د�يث أ �اك� ر� �ي رL و�إ ار و�ج� �ز� اإل� �ن� رL ف�إ ار ج� �ز� �م�خ�يل�ة م�ن� اإل� ال
“Kesimpulannya, Isbal melazimkan menyeret pakaian, dan menyeret pakaian melazimkan kesombongan,
meski pelakunya tidak bermaksud sombong. Kesimpulan ini juga dikuatkan oleh hadits: ‘Janganlah meng-
isbal-kan sarungmu! Karena meng-isbal-kan sarung termasuk perbuatan sombong.” (Fathul Bari jilid:13, hal:
267).
Inilah pernyataan beliau tentang isbal, jelas sekali dari uraian di atas, beliau tidak membolehkan isbal, meski
tidak dibarengi dengan rasa sombong.
Pertanyaannya: Lalu mengapa ada yang menisbatkan pendapat bolehnya isbal bila tanpa rasa sombong
kepada Al-Hafidz Ibnu Hajar?
Jawabannya: Karena mereka salah dalam memahami ungkapan beliau berikut ini:
�ح�اد�يث ه�ذ�ه� و�ف�ي �ن� األ� �ال أ ب �س� ار إ �ز� ء� اإل� �ال� ي ��خ �ل م�ا ل� ة, و�أ �ير� �ب �ال ك ب �س� اإل�
�ر� �غ�ي ء ل �ال� ي ��خ �ح�اد�يث ف�ظ�اه�ر ال �ح�ر�يمه األ� �ك�ن� ت �ض.ا. ل �ي �د�ل� أ ت �س� �يد� ا �ق�ي �الت ب �ح�اد�يث ه�ذ�ه� ف�ي ء� األ� �ال� ي ��خ �ال �ن� ع�ل�ى ب ق أ �ط�ال� ج�ر ف�ي اإل� �و�ار�د الز� ف�ي ال Lال ذ�م� ب �س� �د ع�ل�ى م�ح�م�ول اإل� �م�ق�ي �ا, ف�ال� ال �ح�ر�م ه�ن �ج�رL ي �ال ال ب �س� �ذ�ا و�اإل� إ
�م� ل ء. ق�ال� م�ن� س� �ال� ي ��خ �ن ال �ب �د ا : م�ف�ه�ومه ع�ب Lر� �ب �ن� ال �ج�رL أ �ر� ال �غ�ي ء ل �ال� ي ��خ ال� ال ��ح�قه �ل �ال� ي �و�ع�يد, إ �ن� ال رL أ �ق�م�يص ج� �ره ال �اب م�ن� و�غ�ي Fي ع�ل�ى م�ذ�م�وم الث
Lل� ح�ال ك .
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar.
Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.
Namun taqyid sombong yang ada dalam hadits-hadits ini, dipakai untuk dalil, bahwa hadits-hadits lain
tentang larangan isbal yang mutlak (tanpa menyebutkan kata sombong) harus dipahami dengan taqyid
sombong ini, sehingga isbal dan menyeret pakaian tidak diharamkan bila selamat dari rasa sombong”.
Ibnu Abdil barr mengatakan: “Mafhum-nya hadits ini menunjukkan, bahwa menyeret pakaian tanpa rasa
sombong tidak masuk dalam ancaman, tapi (mafhum itu tidak berlaku dalam kasus ini), sungguh -
bagaimanapun keadaannya- menyeret baju atau pakaian lainnya itu tercela, (yakni masuk dalam ancaman
yang ada dalam hadits-hadits). (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)
Para pembaca yang dirahmati Allah… Sungguh jika orang itu lebih teliti dalam memahami metode yang
dipakai Ibnu Hajar dalam keterangan di atas, ia akan tahu bahwa beliau sebenarnya melemahkan pendapat
yang membolehkan isbal jika tanpa sombong.
Cobalah anda tinjau ulang redaksi beliau ketika menyebutkan pendapat bolehnya isbal jika tanpa sombong,
beliau menggunakan redaksi “ustudilla“ (lihat tulisan arab yang kami cetak merah dan bergaris bawah), itu
adalah bentuk shighotut tamridh, yakni redaksi yang biasa digunakan oleh para ulama untuk menyebutkan
pendapat yang menurutnya lemah.
Kata “ustudilla“ sendiri berarti: “dipakai untuk dalil”, dari kata ini pembaca akan paham bahwa yang
memakainya sebagai dalil adalah orang lain, bukan Ibnu Hajar. Itulah sebabnya mengapa setelah
menyebutkan pendapat yang dilemahkan itu, beliau langsung menyebutkan perkataan Ibnu Abdil Barr yang
menentang pendapat lemah itu. Jelasnya Ibnu Hajar ingin memupus argumen pendapat yang
dilemahkannya dengan perkataan Ibnu Abdil Barr itu.
Perlu pembaca ketahui, bahwa tujuan Ibnu Hajar menyebutkan pendapat yang dilemahkan beliau, adalah
untuk menjawab dalil-dalil pendapat itu. Oleh karena itu jika pembaca merujuk sendiri ke kitab Fathul
Bari tersebut, anda akan dapati beliau selalu menjawab setiap dalil yang mendukung bolehnya isbal jika
tanpa rasa sombong.
Sekian tulisan ini, semoga bisa menjadi koreksi bagi yang salah, dan menjadi suntikan pengetahuan bagi
yang baru menela’ah… Kurang lebihnya mohon maaf. Semoga bermanfaat.
Wassalam
Ustadz Musyaffa Addariny
Sumber: http://addariny.wordpress.com
Dipublikasi ulang oleh www.KonsultasiSyariah.com
Madinah, 4 Romadhon 1430 / 25 Agustus 2009