Upload
muslim-sendai
View
1.589
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Materi kajian dwibulanan Keluarga Muslim Indonesia di Sendai, 19 Desember 2010, oleh Fatwa Ramdani
Citation preview
Bencana, perspektif akademik
kontemporer
Definisi
Baik bencana alam atau buatan manusia
yang telah datang menyebabkan dan atau
menghasilkan sebuah perubahan besar
berupa kerusakan fisik yang signifikan,
kehilangan jiwa, atau perubahan drastis
pada lingkungan alam
Dalam akademik kontemporer, bencana
dilihat sebagai konsekuensi dari resiko yg
tidak tepat dikelola. Resiko ini adalah
produk dari bahaya dan kerentanan. Bahaya
yang terjadi di daerah dengan kerentanan
rendah tidak dianggap bencana, seperti
yang terjadi di daerah yang tidak
berpenghuni
Bencana
Alam Manusia
1 http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTURBANDEVELOPMENT/EXTDISMGMT/0,,menuPK:341021~pagePK:149018~piPK:149093~theSitePK:341015,00.html
Negara-negara berkembang menderita kerugian terbesar ketika terjadibencana - lebih dari 95 persen dari semua
kematian yang disebabkan oleh bencana terjadi di negara berkembang, dan kerugian akibat bencana alam adalah 20 kali lebih besar (sebagai persentase dari PDB) di negara-negara berkembang daripada di negara-negara industri 1
Solusi Untuk mengurangi dampak bencana dengan mengadopsi
strategi mitigasi bencana yang cocok. Terutama: meminimalkan potensi resiko bencana dengan mengembangkan
strategi peringatan dini menyiapkan dan melaksanakan rencana pembangunan untuk
memberikan ketahanan terhadap bencana tersebut, memobilisasi sumber daya termasuk komunikasi dan jasa
paramedis untuk membantu dalam rehabilitasi dan recoverypasca-bencana.
Manajemen bencana, di sisi lain meliputi: pra-bencana perencanaan, kesiapan, pemantauan kemampuan
bantuan manajemen termasukprediksi dan peringatan dini
penilaian kerusakan dan manajemen recovery
Musibah, Memahami dengan
keimanan
DEFINISI Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia.
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-
dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1,
hal. 535).
Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan
menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara
yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1,
hal. 431).
Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan,
musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT
memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang
dari Allah SWT, dan atas ijinNya. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah;
dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
Bala’ Secara literal, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan
untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr
al-Shihâh, hal. 65).
Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki
tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu
yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal.
85). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang
berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs.
Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna
cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau
kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam
firman Allah SWT berikut ini:
“Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar
dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 49).
Ayat ini bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari
penyembelihan dan kekejaman Fir’aun. Menurut Ali ash-Shabuni,
bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan
cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; yakni
penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr,
juz 1, hal. 57).
Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah
SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian
untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl
[8]: 17).
Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di
atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman,
yang berujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan
perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-
Baidhawi, juz 3, hal. 97).
Adzab Secara literal, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan
siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl
adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab
biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah
SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami
sediakan bagi mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya.
Namun demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan
dunia. Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami
membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan
adzab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.”
(Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada
perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan
mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan
hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang
kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang
kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin
dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab
yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri
mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).
Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni:
“Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap
mereka, benar-benar Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di
akherat adzab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).
Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan,
bahwa jikalau Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap
Bani Nadzir, niscaya mereka akan diadzab dengan pembunuhan (al-qatl).
Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan
seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah
SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa
hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Penyebab Datangnya ‘AdzabAllah
Pada dasarnya, penyebab datangnya ‘adzab Allah SWT adalah kedzaliman,
kemaksiatan, dan kefasikan. Allah SWT telah menyatakan hal ini di beberapa
ayat; diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya
dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (Qs. al-Qashash [28]: 59).
“maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (Qs. al-Ahqâf [46]: 35).
“Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (Qs. ad-Dukhân [44]: 37).
Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan
kepada penduduk negeri yang melakukan kedzaliman, kemaksiatan, dan
kefasikan. Dengan kata lain, ‘adzab Allah hanya akan dijatuhkan, tatkala
peringatan-peringatan Allah SWT melalui lisan RasulNya telah diabaikan dan
didustakan.
Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan, bahwa ‘adzab Allah
bisa saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah
kemungkaran padahal mereka mampu melakukannya. Dari Adi bin Umairah
dituturkan, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzab orang-orang secara keseluruhan
akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka
melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya,
akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya,
niscaya Allah akan mengadzab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan
semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].
‘Adzab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq dan Dzalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiatan
kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan mengirimkan ‘adzab kepada
penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).
Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada
pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiyat di
dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut
dengan ‘adzab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).
Di ayat lain, Allah SWT telah mendiskripsikan kerusakan di darat dan laut
akibat perbuatan manusia. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm
[30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat
tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang merajalela,
ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat
kemaksiatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-
Baidhawi, juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya
hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiatan manusia. Sebab,
baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu
Katsir, hal. 57).
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan
muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya ‘adzab dari
Allah SWT.
ada Musibah yg jauh lebih
besar
Kehilangan keimanan terhadap Allah SWT
"menempatkan Allah tiada berharga di belakang mereka" (Surat
Huud, 92) dan, dengan demikian, tidak pernah mengaku takut
kepada Allah. Karena mereka tidak bisa "membuat perkiraan yang
tepat perihal Allah", mereka tidak memikirkan Hari Hisab dan Hari
Pembalasan. Bagi mereka, neraka tidak lebih daripada pandangan
yang muncul di buku-buku keagamaan. Tak seorang pun dari
mereka yang berpikir bahwa mereka harus
mempertanggungjawabkan diri di hadapan Allah sesudah kematian
"kerusakan terjadi di masyarakat-masyarakat yang tiada beriman kepada Allah’’
"Kalau engkau ikuti kebanyakan orang di bumi ini, merekaakan menyesatkan engkau dari jalan Allah." (Surat al-An'aam, 116)
Ujian, cermin keimanan
“Patutkah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan dengan
hanya berkata: “Kami beriman”, sedang mereka tidak diuji (dengan
sesuatu cobaan)? Dan sesungguhnya! Kami telah menguji orang-
orang yang terdahulu daripada mereka, maka (dengan ujian yang
demikian), nyata apa yang diketahui Allah tentang orang-orang yang
sebenar-benarnya beriman, dan nyata pula apa yang diketahuiNya
tentang orang-orang yang berdusta.” Surah Al-Ankabut ayat 2-3.
Apakah kita percaya? “Adakah patut kamu menyangka bahwa kamu akan masuk syurga,
padahal belum sampai kepada kamu (ujian dan cobaan) seperti yang
telah berlaku kepada orang-orang yang terdahulu daripada kamu?
Mereka telah ditimpa kepapaan (kemusnahan hartabenda) dan
serangan penyakit, serta digoncangkan (oleh ancaman bahaya
musuh), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
yang ada bersamanya: Bilakah (datangnya) pertolongan Allah?”
Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat (asalkan kamu
bersabar dan berpegang teguh kepada ugama Allah).” Surah Al-
Baqarah ayat 214.
Ada kemudahan selepas itu “Oleh itu, maka (tetapkanlah kepercayaanmu) bahwa sesungguhnya
tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan, (Sekali lagi ditegaskan):
bahwa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran disertai kemudahan.” Surah
Asy-Syarh ayat 5-6.
Dan lihatlah apa firman Allah SWT dalam surah sebelumnya: “Demi
waktu dhuha, Dan malam apabila ia sunyi-sepi, (Bahwa) Tuhanmu
tidak meninggalkanmu, dan Ia tidak benci (kepadamu, sebagaimana
yang dituduh oleh kaum musyrik)” Surah Ad-Dhuha ayat 1-3.
Manakah yg kita pilih?
Mereka yang mendirikan bangunannya atas dasar taqwa dan
keridhaan Allah ataukah yang mendirikan bangunannya di atas
tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya ke dalam api
neraka? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka yang
zalim. (Surat at-Taubah, 109)
“Dan sesungguhnya akan Kami (Allah) berikan cobaan (atau ujian)
kepada kamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan kabarkanlah berita gembira
kepada orang yang sabar. (yaitu) orang yang apabila ditimpa
musibah mereka mengucapkan “Inna Lillahi wa ilahi raji’un (yaitu
sesungguhnya kami ini milik Allah dan kepada-Nya kami kembali).
Mereka itulah orang yang mendapat keampunan dan rahmat dari
Tuhan mereka dan mereka itulah orang yang mendapat petunjuk.”
Namun siapakah yang benar-benar beriman?
SolusiBenar, salah satu bentuk pembenahan diri adalah berusaha semaksimal mungkin
untuk menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarana; seperti;
Mendesain peta zonasi kerentanan,
Membuat master planning yang komprehensif,
Membangun sistem drainase yang baik,
Mendirikan tembok dan bendungan beton yang kokoh, dan lain sebagainya.
Namun, pembenahan harusnya tidak hanya berhenti pada aspek-aspek fisik
seperti ini saja, akan tetapi harus mencakup pula pembenahan spritual yang mampu
mengantarkan kepada ketaqwaan yang hakiki; yakni mentauhidkan Allah SWT dan
menjalankan seluruh syariatNya. Sebab, penyebab utama datangnya ‘adzab adalah
kemaksiatan, bukan semata-mata karena lemah maupun kurangnya sarana dan
prasarana fisik.
• Ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi perbaikan
bumi dan seisinya.
• Mukmin harus menyakini, bahwa seluruh musibah yang menimpa
dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah
yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas Kehendak dan Ijin Allah
SWT. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya
musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiatan yang
dilakukan oleh manusia.
Sesungguhnya, musibah maupun ‘adzab yang ditimpakan Allah SWT kepada
manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah SWT, dan
menjalankan seluruh syariatNya dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai
peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran
dari Allah SWT. Akibatnya, mereka tetap tidak mau berbenah dan
memperbaiki diri. Mereka tetap melakukan kemaksiatan dan menyia-nyiakan
syariat Allah SWT. Mereka lebih percaya kepada kekuatan ilmu dan teknologi
buatan manusia untuk menangkal bencana dan musibah, dari pada Kekuatan
dan Kekuasaan Allah SWT
“Tiada seorang Muslim pun yang ditimpa sesuatu yang menyakitkan
berupa penyakit atau lainnya, melainkan karenanya Allah akan
menghapuskan keburukan-keburukannya sebagaimana pohon yang
menggugurkan daun-daunnya.” (Hadis Riwayat Bukhari)
(Mereka berdoa dengan berkata): Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau
mengirakan kami salah jika kami lupa atau kami tersalah. Wahai Tuhan kami!
Janganlah Engkau bebankan kepada kami bebanan yang berat sebagaimana
yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang yang terdahulu daripada
kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
kami tidak terdaya memikulnya dan maafkanlah kesalahan kami, serta
ampunkanlah dosa kami dan berilah rahmat kepada kami. Engkaulah
Penolong kami; oleh itu, tolonglah kami untuk mencapai kemenangan
terhadap kaum-kaum yang kafir.(2:286)
الحمد هلل رّب العالمينوهللا أعلم
どうもありがとうございました