23
BENIGN INTRAKRANIAL HIPERTENSI 1. ANATOMI SEREBRI Otak adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak dan sel saraf didalamnya dipercayai dapat memengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan mengenai otak memengaruhi perkembangan psikologi kognitif. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan serebellum Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

Benign Intrakranial Hipertensi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

benign

Citation preview

BENIGN INTRAKRANIAL HIPERTENSI

1. ANATOMI SEREBRI

Otak adalah struktur pusat pengaturan yang memiliki volume sekitar 1.350cc dan terdiri

atas 100 juta sel saraf atau neuron. Otak mengatur dan mengkordinir sebagian besar

gerakan, perilaku dan fungsi tubuh homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah,

keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh. Otak dan sel saraf didalamnya dipercayai

dapat memengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan mengenai otak memengaruhi

perkembangan psikologi kognitif. Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti

pengenalan, emosi. ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran

lainnya.

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum

dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri

dari pons,medula oblongata dan serebellum

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan

fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.

Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons

bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan

kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum

bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan..

Vaskularisasi

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini

beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willis. Vena-vena

otak tidak mempunyai jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus

cranialis.

Sirkulasi Arteri Serebral

Sirkulasi serebral arteri dibagi ke dalam sirkulasi serebral anterior dan sirkulasi serebral

posterior. Ada dua pasangan utama dari arteri yang memasok arteri ke serebral dan

serebelum: arteri karotis internal dan arteri vertebralis.

Sirkulasi serebral anterior dan posterior saling berhubungan melalui arteri kommunikans

posterior. Mereka adalah bagian dari sirkulus Willis yang menyediakan sirkulasi

cadangan ke otak. Jika sewaktu-waktu salah satu arteri tersumbat, sirkulus Willis

menyediakan interkoneksi antara sirkulasi serebral anterior dan posterior, memberikan

darah ke jaringan yang mungkin akan mengalami iskemik.

Fungsi sirkulus Willis adalah untuk mendistribusikan darah yang mengandung oksigen

masuk melalui arteri basilaris dan arteri karotis interna, ke wilayah-wilayah otak melalui

tiga pasang arteri, yaitu arteri serebri anterior, media dan posterior. Lingkaran ini penting

karena memungkinkan untuk darah yang akan kembali diarahkan melalui arteri

kommunikans anterior dan arteri kommunikans posterior. Mempertahankan suplai darah

ini penting karena meskipun otak hanya terdiri dari sekitar 2% dari total massa tubuh,

tetapi otak membutuhkan sekitar 20% darah dari output darah dari jantung, dan jika otak

kekurangan pasokan ini selama lebih dari beberapa menit sel otak akan menjadi rusak

secara permanen.

Sirkulasi serebral anterior adalah suplai darah ke bagian anterior otak. Hal ini disuplai

oleh arteri berikut:

Arteri karotis interna: Pembuluh nadi besar adalah cabang kiri dan kanan dari arteri

karotis di leher yang masuk tengkorak, berbeda dengan cabang karotis eksternal yang

memperdarahi wajah. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri serebri anterior

dan terus membentuk arteri serebri media.

Arteri serebri anterior (ACA)

- Arteri kommunikans anterior: Menghubungkan kedua arteri serebri anterior.

Arteri serebri media (MCA)

Sirkulasi serebral posterior merupakan suplai darah ke bagian posterior otak, termasuk lobus

oksipital, serebelum dan batang otak. Hal ini disuplai oleh arteri berikut:

Arteri vertebralis: Cabang arteri yang lebih kecil dari arteri subklavia yang terutama

mensuplai bahu, dada bagian samping dan lengan. Dua arteri vertebralis menyatu

menjadi arteri basilaris.

- Arteri serebeli posterior inferior (Pica)

Arteri basilaris: Mensuplai otak tengah, serebelum, dan bercabang menjadi arteri

serebri posterior

- Arteri serebeli anterior inferior (AICA)

- Cabang pontine

- Arteri serebeli superior (SCA)

Arteri serebri posterior (PCA)

Arteri kommunikans posterior

Drainase vena serebri

Drainase vena dari otak besar dapat dipisahkan menjadi dua subdivisi: superfisial dan profunda.

Sistem superfisial terdiri dari sinus vena dural. Sinus dural, oleh karena itu terletak di permukaan

otak besar. Yang paling menonjol dari sinus adalah sinus sagital superior yang mengalir pada

bidang sagital bawah garis tengah otak, posterior dan inferior terhadap torcula, membentuk

pertemuan sinus, di mana drainase superfisial bergabung dengan sinus yang terutama

mengalirkan ke sistem vena profunda. Dari sini, dua sinus melintang yg terbagi dalam dua

cabang dan bergerak lateral dan inferior dalam kurva berbentuk S yang membentuk sinus

sigmoid yang terus akan membentuk dua vena jugularis. Di leher, vena jugularis berjalan paralel

di atas arteri karotis dan mengalirkan darah ke vena cava superior

Drainase vena profunda, terdiri dari pembuluh darah di dalam struktur-struktur dalam otak, yang

bergabung di belakang otak tengah untuk membentuk vena Galen. Vena ini menyatu dengan

sinus sagital inferior untuk membentuk sinus lurus yang kemudian bergabung dengan sistem

vena superfisial yang disebutkan di atas pada pertemuan dari sinus.

2. DEFINISI

Benign Intrakranial Hipertensi atau pseudotumor serebri adalah suatu kelainan neurologi

yang ditandai dengan peningkatan tekanan intracranial akibat peningkatan tekanan cairan

serebrospinalis tanpa adanya bukti infeksi, massa intracranial, hidrosefalus, atau patologi

intracranial lainnya.

3. ETIOLOGI

Idiopatik

Namun sebagian besar kasus BIH terjadi pada wanita muda yang mengalami obesitas,

persentasi jauh lebih kecil pada pria yang sehat.

Pasien dengan indeks masa tubuh yang tinggi dan berat badan yang terus meningkat akan

meningkatkan risiko. Terdapat beberapa keadaan medis yang menyebabkan pseudotumor

serebri, yaitu :

Penyakit

● Penyakit Addison

● Hipoparatiroid

● PPOK

● Gagal jantung kanan dengan hipertensi pulmonal

● Sleep apnea

● Gagal ginjal

● Anemia defisiensi besi

Obat - obatan

● Tetrasiklin

● Vitamin A

● Kortikosteroid

● Growth Hormone

● Chlordecone

● Asam Nalidiksat

● Lithium

● Implan

Obstruksi drainase vena

● Trombosis sinus venosus

● Trombosis vena jugularis

4. EPIDEMIOLOGI

Pasien pseudotumor serebri dengan papilledema terjadi sekitar 1 : 100.000 per tahun pada

populasi umum dan 19,3 : 100.000 per tahun pada wanita obesitas umur 20 – 44 tahun. Pasien

pseudotumor serebri biasanya adalah wanita muda obesitas dengan nyeri kepala kronik ,

laboratorium normal, dan pemeriksaan neurologis normal (kecuali papiledema). Lebih dari 90%

pasien pseudotumor mengalami obesitas, dan lebih 90% adalah perempuan usia subur.

5. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala pasien pseudotumor serebri adalah sakit kepala (94%), obstruksi visual transien

(68%), tinnitus (58%), photopsia (54%), dan nyeri retrobulbar (44%). Diplopia (38%) dan

kehilangan penglihatan (30%) kurang umum didapatkan pada pseudotumor serebri, tetapi

beberapa dari gejala-gejala ini memang sering terjadi.

Nyeri kepala terjadi hampir pada semua pasien. Nyeri kepala tersebut digambarkan

sebagai nyeri kepala berdenyut dan dirasakan setiap hari. Pasien dapat terbangun karena

nyerinya dan biasanya berlangsung selama berjam-jam. Nyeri biasanya dirasakan pada bagian

frontal, terasa lebih berat saat berbaring. Mual umum terjadi tetapi muntah jarang terjadi. Nyeri

kepala biasanya dilaporkan sebagai nyeri kepala terburuk yang pernah dialami oleh pasien.

Selain itu, sindrom nyeri kepala lain juga sering berdampingan, seperti nyeri kepala yang

merupakan rebound akibat penggunaan analgesic berlebihan.

Obstruksi visual transien adalah episode penglihatan kabur sementara yang biasanya

berlangsung kurang dari 30 detik dan diikuti oleh monokuler atau binokuler. Penyebab gela ini

dianggap karena transien iskemi di nervus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan

jaringan.

Tinnitus yang terjadi biasanya terdengar berdenyut (ditemukan pada sekitar 60% pasien)

dan unilateral.

Papilledema adalah tanda kardinal dari pseudotumor serebri. Edema diskus optikus baik

secara langsung maupun tidak langsung adalah penyebab hilangnya penglihatan pada

pseudotumor serebri. Semakin tinggi derajat dari papilledema, semakin buruk terjadinya

kehilangan penglihatan, namun pada masing-masing pasien tingkat keparahan kehilangan

penglihatan tidak dapat diprediksi secara akurat dari derajat keparahan papilledema. Hal tersebut

dapat sebagian dijelaskan oleh bukti bahwa ketika papiledem menyebabkan terjadinya

kematian/kerusakan akson, papiledem yang terjadi akan berkurang.

Diplopia horizontal terjadi pada sekitar 33% pasien pseudotumor serebri, dan paralisis saraf

keenam yang ditemukan sekitar 10% - 20%. Gangguan motilitas sering terjadi akibat kerusakan

saraf keenam tersebut, namun kerusakan nervus lainnya pun pernah dilaporkan. Diagnosis

pseudotumor serebri harus dicurigai pada pasien dengan gangguan motilitas okular selain

kerusakan pada saraf keenam

Ketajaman visual biasanya normal pada pasien dengan edema papil, kecuali ketika kondisi

berlangsung sangat lama dan parah atau ketika diskus optikus yang edema menyebabkan ablasio

retina serosa. Pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan optotipi Snellen tidak sensitif terhadap

derajat/keparahan hilangnya penglihatan yang ditemukan dengan pemeriksaan perimetri dan

terhadap derajat keparahan papiledem yang terjadi

Gangguan lapang pandang pada pseudotumor serebri sama dengan yang dilaporkan terjadi

pada papilledema karena penyebab lain. Gangguan yang paling umum adalah pelebaran bintik

buta dan hilangnya lapang pandang di bagian inferonasal dari bidang visual yang juga bersamaan

dengan penyempitan isopters. Hilangnya lapang pandang mungkin progresif dan berat, sehingga

dapat menyebabkan kebutaan. Hilangnya lapang pandang di bagian temporal biasanya bertahap,

namun kehilangan penglihatan akut dapat saja terjadi.

6. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi pseudotumor serebri sebagian besar merupakan spekulatif. Meskipun sebagian

besar ahli bedah saraf mengobati pseudotumor serebri menggunakan diuretik atau pengalihan

cairan serebrospinal untuk menurunkan tekanan intrakranial, masih belum pasti apakah penyakit

ini disebabkan oleh gangguan hidrodinamika cairan serebrospinal (seperti kelebihan produksi

atau malabsorpsi) atau etiologi lainnya.

Salah satu mekanisme yang dijelaskan terdahulu adalah adanya edema serebri. Dalam

beberapa kasus hal ini memang terbukti. Namun, selanjutnya studi patologis dan MRI tidak

mendukung adanya edema serebri sebagai penyebabnya. Terdapat beberapa laporan adanya

hubungan pseudotumor serebri dengan intoksikasi vitamin A. Sering didapatkan kadar vitamin

A, retinol, dan protein pengikat retinol yang tinggi pada cairan serebrospinal pasien pseudotumor

serebri. Oleh karena itu, kebihan retionol atau protein pengikatnya pada cairan serebrospinal

dianggap dapat mengganggu penyerapan cairan serebrospinal.

Obesitas dan komplikasinya telah dikaitkan denganp patofisiologi pseudotumor serebri. Sleep

apnea merupakan konsekuensi yang sering terjadi pada obesitas. Sebuah laporan kasus dimana

seorang pasien dengan pseudotumor serebri memiliki pemantauan tekanan intracranial secara

simultan dengan oksimetri, menunjukkan peristiwa apnoe episodik dikaitkan dengan peningkatan

yang signifikan dalam tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intracranial ini mungkin karena

vasodilatasi akibat hiperkapnoe dari episode apnea. Obesitas sentral juga dianggap sebagai faktor

untuk terjadinya pseudotumor serebri. Distribusi lemak abdominal akan meningkatkan tekanan

intra-abdomen, pengisisan jantung, pleura, dan tekanan vena sentral, yang semuanya berpotensi

untuk meningkatkan tekanan vena intrakranial. Beberapa karya Karahalios telah melakukan

pengukuran tekanan atrium kanan pada pasien dengan dugaan pseudotumor cerebri. Dia

menemukan bahwa lima pasien dengan anatomi sinus venosus dural yang normal telah memiliki

tekanan atrium kanan yang tinggi. Tekanan tinggi di dalam jantung tersebut dapat membuat

tekanan yang tinggi pula pada sinus vena intrakranial. Nadkarni memeriksa dua wanita usia

subur yang gemuk dan diperiksa untuk pseudotumor serebri. Venografi intrakranial pada pasien

ini menunjukan tekanan yang meningkat pada sinus venosus intrakranial dan terjadi juga

peningkatan tekanan atrium kanan. Hal ini membuat anggapan bahwa tekanan atrium tinggi

sebenarnya disebabkan habitus tubuh pasien obesitas. Kedua pasien tersebut kemudian menjalani

operasi bariatrik untuk mencapai penurunan berat badan. Sekitar satu tahun kemudian, evaluasi

klinis pasien ini menunjukkan bahwa pseudotumor serebri mereka telah sembuh. Pengukuran

ulang tekanan sinus vena dural intrakranial telah menunjukkan bahwa tekanan tersebut kembali

normal. Hasil operasi bariatrik tersebut adalah penurunan tekanan atrium kanan, yang

menyebabkan penurunan tekanan sinus venosus intrakranial, dan pada akhirnya menurunkan

tekanan intrakranial.

Teori patofisiologi yang paling diterima dari pseudotumor serebri adalah terdapatnya

obstruksi drainase vena intrakranial. Namun, ini masih diperdebatkan apakah obstruksi drainase

vena tersebut adalah mekanisme primer atau sekunder dari proses patologis lain.

7. DIAGNOSIS

Diagnosis diambil berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan

penunjang. Terdapat kriteria diagnostik untuk pseudotumor serebri dimana kriteria

tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Dandy. Pasien yang memenuhi kriteria

ini didiagnosis memiliki bentuk idiopatik. Kriteria tersebut adalah:

Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah,

papilledema).

Tidak adanya temuan pada pemeriksaan neurologis, kecuali adanya paresis nervus VI

unilateral atau bilateral.

Tidak adanya deformitas, perpindahan, atau obstruksi dari sistem ventrikel dan studi

neurodiagnostic dinyatakan normal, kecuali peningkatan tekanan cairan serebrospinal

(> 250 mm air pada pasien obesitas).

Pasien sering terjaga dan menjadi waspada.

Tidak ada penyebab lain dari peningkatan tekanan intrakranial.

Pada pemeriksaan radiologi, MRI sangat dianjurkan kecuali jika ada kontraindikasi

medis. CT Scan dapat dilakukan segera sebelum pungsi lumbal tetapi harus diikuti

dengan MRI jika memungkinkan. Akan didapatkan gambaran ukuran ventrikel yang

normal. Indikator peningkatan tekanan intrakranial pada MRI mencakup sella kosong,

distensi selubung saraf optik, dan penonjolan papila saraf optik ke vitreus. Sering terdapat

malformasi Chiari tipe 1, dimana hal ini lebih sering terjadi pada pasien dengan

pseudotumor serebri dibandingkan pada populasi umum.

Pemeriksaan cairan serebrospinal diperlukan untuk diagnosis dengan mengukur

tekanannya. Penyebab sekunder hipertensi intrkranial mungkin terlewatkan tanpa

pemeriksaan cairan serebrospinal. Tekanan cairan serebrospinal untuk diagnostik harus

250 mm atau lebih pada orang dewasa. Nilai antara 200 dan 250 mm merupakan nilai

intermediate. Pemantauan secara terus menerus kadang-kadang diperlukan karena

tekanan dapat berfluktuasi. Nilai normal tekanan cairan serebrospinal tidak tentu pada

anak-anak, tetapi hipertensi intrakranial diduga jika tekanan lebih besar dari 100 mm

untuk anak di bawah usia 8 tahun, dan lebih dari 200 mm untuk usia 8 sampai 12 tahun

Kadar protein pada cairan serebrospinal dapat normal atau rendah dan pemeriksaan rutin

(termasuk sitologi) direkomendasikan pada lumbal pungsi untuk menyingkirkan

perdarahan, meningitis akut atau kronik, peradangan atau keganasan.

Pemeriksaan oftalmologi yang diperlukan diantaranya tajam penglihatan, pemeriksaan

pupil, lapang pandang, pengukuran tekanan intraokular, pemeriksaan luar dan

funduskopi. Pasien yang mengalami kebutaan permanen umumnya memiliki papiledema

yang berat. Gambaran pada funduskopi sangat membantu untuk melihat keadaan saraf

optik. Eksudat retina dan makula dapat terjadi pada papilledema berat. Eksudat makula

biasanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dan mungkin ada sisa

defisit visual setelah cairan diserap.

8. DIAGNOSIS BANDING

Presentasi klinis dari pseudotumor serebri dapat bervariasi antara pasien. Pemeriksaan

funduskopi untuk mencari papilledema sangat penting untuk mengidentifikasi penyakit

ini. Papilledema menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial dan dapat disebabkan

oleh berbagai etiologi. Penyebab lain peningkatan tekanan intrakranial (seperti lesi massa

tumor atau lainnya) harus disingkirkan sebelum membuat diagnosis pseudotumor serebri.

Salah satu jenis tertentu dari tumor, suatu papiloma pleksus koroideus, secara signifikan

dapat meningkatkan tekanan intrakranial karena overproduksi dari cairan serebrospinal

dan memberikan presentasi yang mirip dengan pseudotumor serebri. Adhesi dari

granulasi arakhnoid akibat infeksi atau perdarahan subarakhnoid dapat menghambat

reabsorpsi cairan serebrospinal dan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

Hidrosefalus obstruktif dari massa atau stenosis aqueduktus serebri harus

dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Obstruksi sinus venosus intrakranial, baik

dari operasi leher, sinus trombosis, atau kompresi vena jugularis, juga harus diselidiki

dengan pencitraan.

9. PENATALAKSANAAN

Semenjak hipertensi intrakranial ditemukan, tindakan yang pertama adalah harus

menghilangkan faktor penyebab, misalnya seperti konsumsi berlebihan dari vitamin

Aatau tetrasiklin, dan mulai diet dengan mengurangi takaran garam pada makanan.

Terapi ini ditujukan untuk mengembalikan dan mencegah kehilangan penglihatan.

Banyak pengobatan telah dilakukan untuk pseudotumor serebri dengan berbagai

keberhasilan. Kehilangan penglihatan adalah satu-satunya komplikasi serius dan dapat

terjadi dari awal perjalanan penyakit

Lumbal pungis berseri

Lumbal pungsi berulang saat ini masih kontroversial. Lumbal pungsi hanya memiliki

efek yang singkat terhadap tekanan cairan serebrospinal, dengan kembalinya tekanan ke

tekanan sebelumnya sekitar 82 menit. Lumbal pungsi mengukur tekanan cairan

serebrospinal hanya pada satu waktu. Karena tekanan cairan serebrospinal berfluktuasi,

informasi ini memiliki penggunaan klinis yang terbatas untuk memodifikasi rencana

perawatan.

Kortikosteroid

Steroid masih kadang-kadang digunakan untuk mengobati penyakit ini, namun

mekanisme kerjanya masih belum jelas. Efek samping yang didapatkan, seperti kenaikan

berat badan, striae, dan jerawat tidak menguntungkan bagi pasien obesitas. Meskipun

pasien yang diobati dengan steroid sering merespon dengan baik, biasanya ada

kekambuhan papilledema dengan cepat sesuai dengan tappering off dosis kortikosteroid

dalam pengobatan ini. Hal ini dapat ditandai dengan adanya penurunan fungsi

penglihatan pasien. Dengan memperlama waktu tappering dosis obat dapat mencegah

kembalinya gejala dan tanda-tanda pada beberapa pasien. Penggunaan steroid jangka

panjang untuk mengobati penyakit ini sebagian besar telah ditinggalkan

Asetazolamide

McCarthy dan Reed menunjukkan bahwa acetazolamide menurunkan aliran cairan

serebrospinal. Gucer dan Vierenstein menggunakan pemantauan tekanan intracranial

sebelum dan sesudah pengobatan pada empat pasien pseudotumor serebri. Mereka

memantau pengobatan acetazolamide dan dua dari pasien tersebut menunjukkan

penurunan tekanan cairan serebrospinal bertahap pada keduanya.

Pengobatan dimulai dengan dosis 0,5 - 1 g/hari dengan dosis terbagi dan secara bertahap

meningkatkan dosis sampai gejala – gejala berkurang, pasien sudah tidak toleran terhadap

efek samping, atau dosis sudah mencapai 3 - 4 g/hari. Kebanyakan pasien merespon

dengan dosis 1 - 2 g/hari. Mekanisme aksi asetazolamide kemungkinan multifaktorial dan

berfungsi untuk mengurangi produksi cairan serebrospinal. Obat ini juga dapat mengubah

rasa makanan dan kadang-kadang menyebabkan anoreksia sehingga membantu dalam

penurunan berat badan. Pasien hampir selalu mengalami kesemutan di jari –jari, kaki, dan

daerah perioral, dan umumnya terjadi malaise. Terjadi batu ginjal pada sebagian kecil

pasien. Asidosis metabolic dengan penurunan bikarbonat serum digunakan untuk

mengukur kepatuhan pasien. Dapat ditemukan efek samping yang serius yaitu anemia

aplastik. Hal ini terjadi pada 1 dari 15.000 pasien yang mengkonsumsi asetazolamid

bertahun – tahun dan biasanya terjadi pada 6 bulan pertama terapi. Anemia aplastik

penggunaan asetazolamid telah dilaporkan paling sering pada orang tua.

Topiramat juga telah digunakan untuk mengobati pseudotumor serebri karena memiliki

aktivitas karbonat anhidrase dan umumnya terjadi penurunan berat badan. Dalam studi

sampai saat ini, obat ini sebanding dengan asetazolamid.

Furosemid

Furosemid juga telah digunakan untuk mengobati pseudotumor serebri. Telah dilaporkan

bahwa furosemid dapat menurunkan tekanan intrakranial. Cara kerjanya adalah sebagai

diuresis dan dengan mengurangi transportasi natrium ke otak. Pemberian furosemid

dimulai dengan dosis 20 mg secara oral dua kali sehari. Secara bertahap dosis

ditingkatkan, jika perlu, sampai maksimal 40 mg secara oral dua kali sehari. Suplemen

kalium diberikan sesuai kebutuhan.

Jika terapi dengan obat – obatan gagal, maka tindakan pembedahan perlu

dipertimbangkan. Dua prosedur utama pada pembedahan yaitu Lumbo - Peritoneal Shunt

(LPS) dan Optic Nerve Sheath Fenestration (ONSF).

10. PROGNOSIS

Penyakit ini dapat self-limitting. Namun, beberapa pasien dapat terus memiliki gejala

seumur hidup. Nyeri kepala menjadi gejala sisa yang paling sering terjadi. Nyeri kepala

tension episodik atau kronis, atau migrain tanpa aura terdapat pada lebih dari dua pertiga

pasien setelah gejala – gejala lain dari hipertensi intracranial hilang, dan seringkali

memerlukan pengobatan jangka panjang.

Terdapat beberapa data prospektif menilai prognosis visual jangka panjang pada

pseudotumor serebri. Prognosis visual umumnya baik, meskipun defek lapang pandang

dapat terus ada pada 50% pasien ketika dinilai dengan perimetri. Defek lapang pandang

yang paling sering terjadi adalah penyempitan umum lapang pandang, hilangnya

lapangan hidung superior atau inferior, skotoma arkuata dan melebarnya bintik buta.

Faktor yang terkait dengan hilangnya penglihatan adalah papilledema derajat tinggi,

papilledema atrofi, perdarahan subretina, hipertensi intraokular, anemia, hipertensi

sistemik dan gagal ginjal. Hilangnya ketajaman penglihatan dan penurunan yang cepat

dari fungsi visual pada awal perjalanan penyakit adalah indikator prognostik yang buruk.

Kebutaan terjadi kurang dari 5% pasien.

Sebagian besar pasien pseudotumor serebri yang disertai papilledema dapat

disembuhkan. Prognosis untuk nyeri kepala pada pasien pseudotumor serebri tanpa

papilledema dapat lebih buruk, walaupun terlihat tidak ada risiko gangguan visual.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2006. hal. 324-7

2. Brazis, P. W., M.D. (2004). Pseudotumor cerebri. Current Neurology and Neuroscience

Reports, 4(2), 111-6. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11910-004-0024-6

3. Friedman DI, Jacobson DM. (2008). Diagnostic criteria for idiopathic intracranial

hypertension. Neurology, 2002;59;1492-1495

4. Young WB, Silberstein SD. Headache and Facial Pain. Dalam: Goetz CG, editor. Textbook of

clinical neurology, edisi ketiga. Philadelphia:Saunders Elsevier, 2007. hal. 1256-8.

5. Wall, M. (2008). Idiopathic intracranial hypertension (pseudotumor cerebri). Current

Neurology and Neuroscience Reports, 8(2), 87-93.

6. Galgano, M. A., & Deshaies, E. M. (2013). An update on the management of pseudotumor

cerebri. Clinical Neurology and Neurosurgery, 115(3), 252-9.

7. Friedman, D. I. (2008). Pseudotumor cerebri presenting as headache. Expert Review of

Neurotherapeutics, 8(3), 397-407.

TUGAS TUTORIAL

BENIGN INTRAKRANIAL HIPERTENSIDan

DISEQUILIBRIUM SINDROM

Pembimbing :Kolonel dr. Heriyanto, Sp. S

Disusun oleh:Vike Poraddwita Yulianti 012096043

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2014