Upload
ahimsa-yoga-anindita
View
151
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penyakit ini sering menyerang pria lanjut usia yang perlu diwaspadai sejak dini.
Nama Peserta : dr. Ahimsa Yoga Anindita
Nama Wahana : RSUD Dr.Soeratno Gemolong
Topik : Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
Tanggal (kasus) : 12 April 2013
Nama pasien : Tn. S (60 th) No. RM : 000075
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Endah Sri P.H., M.Kes.
Tempat Presentasi : RSUD Dr.Soeratno Gemolong
Objektif Presentasi :
Keilmuan √ Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka √
Diagnostik √ Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia √ Bumil
Deskripsi :
Autoanamnesis dengan penderita dilakukan pada tanggal 12 April 2013 pukul 10.30
WIB di Poliklinik Umum RSUD Dr. Soeratno Gemolong dan didukung dengan
catatan medis.
Pasien datang dengan keluhan sejak kemarin malam tidak dapat buang air kecil
(BAK). Ia merasa sakit pada perut bagian bawah. Sejak 4 bulan yang lalu, penderita
mengalami kesulitan BAK, tidak lampias dan sering kencing pada malam hari.
Sebelumnya penderita telah beberapa kali berobat ke dokter, namun belum sembuh.
Tujuan :
o Menegakkan diagnosis BPH
o Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien BPH
o Penatalaksanaan dan Edukasi pada pasien dan keluarga pasien mengenai BPH
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka √ Riset Kasus √ Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
BORANG PORTOFOLIO
Data pasien: Nama: Tn. S (laki-laki) Nomor Registrasi: 000075
Nama klinik: RSUD Dr. Soeratno Gemolong Telp:
-
Terdaftar sejak: -
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Pasien datang dengan keluhan tidak dapat buang air
kecil (BAK) sejak kemarin malam. Sebelum keluhan ini muncul, pasien merasa memang
ada keluhan saat BAK, keluhan dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu, antara lain
pasien saat ingin BAK, tidak dapat menahannya kemudian pasien tergesa ke kamar kecil
kemudian saat ingin memulai BAK pasien menunggu beberapa saat, pancaran kencing
juga dirasakan lebih lemah daripada sebelum-sebelumnya, kadang saat BAK terputus,
setelah BAK selesai menetes dan merasa kurang puas karena terasa masih ada sisa
kencing di dalam. Pasien juga akhir-akhir ini merasa lebih sering BAK, terutama pada
malam hari dan terkadang terasa nyeri jika BAK, namun tidak terasa panas.
2. Riwayat Pengobatan : Pasien beberapa kali sudah berobat ke dokter, namun belum
sembuh.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit : Pasien belum pernah sakit seperti ini
sebelumnya.
4. Riwayat Keluarga : Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama
dengan pasien.
5. Riwayat pekerjaan : Pasien saat ini sudah tidak bekerja, sebelumnya bekerja
sebagai petani
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :
Pasien tinggal bersama anak-anaknya dan beberapa cucunya. Pasien merupakan
ayah dari 6 orang anak dan suami dari 1 orang istri. Kondisi rumah pasien berlantai
keramik, tidak dibersihkan setiap hari, terdapat jendela, ventilasi, kamar mandi
seminggu sekali dikuras dan WC menggunakan septic tank, tersedia tempat
pembuangan sampah.
7. Lain-lain: (diberi contoh : PEMERIKSAAN FISIK, PEMERIKSAAN
LABORATORIUM dan TAMBAHAN YANG ADA, sesuai dengan FASILITAS
WAHANA
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 April 2013
A. Keadaan Umum Sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup, berat badan 62
kg
B. Tanda Vital Tensi : 140/90 mmHg
Nadi : 80x/ menit, irama reguler
Frekuensi Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
C. Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-), ikterik (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal dan rambut tidak beruban
E. Mata Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus
(-/-)
F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid
(-), nyeri tekan tragus (-)
G. Hidung Napas cuping hidung (-/-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi
penghidu sulit dinilai, sianosis (-/-)
H. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-), lidah
tifoid (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir
(-)
I. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-),
distensi vena-vena leher (-)
J. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,
retraksi (-), pernapasan torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-). Bunyi jantung I > Bunyi jantung II, di SIC V 1 cm
medial linea medioklavikula sinistra dan SIC IV linea parasternal
sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi jantung I di SIC II linea
parasternal dextra et sinistra.
Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar, retraksi (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Sonor / Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus paru (-/-), krepitasi (-/-)
K. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-),
L. Abdomen :
Inspeksi Dinding perut sejajar dari dinding thorak, distended (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Timpani, pekak alih (-)
Palpasi Supel, nyeri tekan daerah suprapubik (+), terasa ingin kencing (+) jika suprapubik ditekan, NKCV (-/-)
M. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
N. Ekstremitas Krepitasi (-)
Akral dinginOedema
_ _
_ _
_ _
- -
O. Rectal Toucher Prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri
simetris dan tidak didapatkan nodul
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan 12-04-13 Satuan Rujukan
Hb 12.5 g/dl 13-16
HCT 35 40-48
RBC 4.5 106/l 4.5-5.5
WBC 6.7 103/l 5-10
AT 264 103/l 150-400
MCV 87.2 /um 80.0-96.0
MCH 29.7 pg 28.0-33.0
MCHC 34 g/dL 33.0-36.0
Eosinofil 0.05 % 0.00-4.00
Basofil 0.1 % 0.00-2.00
Netrofil 68 % 55.0-80.0
Limfosit 31.8 % 22.00-44.00
Monosit 0.05 % 0.00-7.00
Ureum 23 mg/dl 10-50
Creatinin 0.7 mg/dl 0.6-1.1
B. Pemeriksaan Radiologis
(tidak dilakukan)
C. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Sinus ritmis, HR 80 kali/menit, tidak tampak kelainan
PENATALAKSANAAN
- Pemasangan kateter
- Infus RL 20 tpm makro
- Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
- Injeksi Metamizol 1 g ekstra
- Injksi Ceftriaxon 1 g/12 jam
- Finasteride 1 x 5 mg
- Prazosin 2 x 1 mg
- Konsul Sp. B untuk dipertimbangkan terapi operatif
DAFTAR PUSTAKA
Nasution I. 2007. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Semarang: Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Priyanto J.E. 2007. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang: Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
Rahardjo D. 2007. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan.
Jakarta: Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo.
Soebadi D.M. 2006. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH. Surabaya: SMF/Lab. Urologi RSUD
Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga.
Sjamsuhidajat R. and de Jong W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tenggara T. 2000. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Dalam: Majalah
Kedokteran Indonesia. Volume 48. Jakarta: IDI.
Tortora G.J. and Anagnostaskos N.P. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11.
New York: Harper&Row, Publishers.
HASIL PEMBELAJARAN
A. Kelenjar Prostat
B. Definisi BPH
C. Epidemiologi BPH
D. Etiopatogenesis BPH
E. Manifestasi Klinik BPH
F. Pemeriksaan Laboratorium BPH
G. Pemeriksaan Radiologi BPH
H. Pemeriksaan Penunjang Lain BPH
I. Komplikasi BPH
J. Penatalaksanaan BPH
RINGKASAN HASIL PEMBELAJARAN
HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA (BPH - BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)
A. PENDAHULUAN
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah
urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas
usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami
hiperplasia prostat (Tenggara, 2000).
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk
mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu
operasi. Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi
dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda,
kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang
menolak operasi. Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia,
sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia
yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
(Rahardjo, 2007).
B. KELENJAR PROSTAT
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan
jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5
cm.Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus : lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus
anterior, lobus posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus
posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius
kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna
abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Mc
Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari
spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona
tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang
bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.
Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum
triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia
denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika
seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan
memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari
prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. (Tortora dan
Anagnostaskos, 2007)
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari: kapsul anatomi, jaringan stroma
yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler, jaringan kelenjar yang terbagi atas 3
kelompok bagian, bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya. Bagian tengah disebut
kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone Di sekitar uretra
disebut periurethral gland. Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis: kapsul
anatomis, kapsul chirurgicum; ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul, kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler
antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH
sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan
kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius
(lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu
keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit
mengandung jaringan kelenjar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)
C. DEFINISI
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar
periuretral. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi
pria lanjut usia. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT
dan karena proses aging (menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi
dan iritasi saluran kemih (Tenggara, 2000).
D. EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari
lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai
usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar
negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan
pengobatan untuk hiperplasia prostat (Rahardjo, 2007).
E. ETIOPATOGENESIS
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
antara lain sebagai berikut (Rahardjo, 2007) :
1. Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak
terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara
hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth
factor, transforming growth factor beta 1, transforming growth factor beta 2, dan
epidermal growth factor.
3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-Sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
Program kematian sel(apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel sekitarnya kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostast baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Teori Sel Stem (Stem Cell Hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dihydrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
“target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi
5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
“hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam
inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.
RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang
terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa
tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of
embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood.
F. MANIFESTASI KLINIK
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.
1. Gejala Obstruktif
Disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak
oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah
(Priyanto, 2007) :
a. Harus menunggu pada permulaan miksi (hesitancy)
b. Pancaran miksi yang lemah (poor stream)
c. Miksi terputus (intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying).
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur: residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan dan
pancaran urin atau flow rate.
2. Gejala Iritatif
Disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah (Priyanto, 2007) :
a. Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)
b. Kencing sering pada malam hari (nocturia)
c. Miksi sulit ditahan (urgency)
d. Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Gejala iritatif yang
sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada
malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh
menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra.
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar.
Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi.
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sphingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di
dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), adakah asimetris,
adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba sulcus medianus prostate, adakah
krepitasi. Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan
diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi
(Priyanto, 2007).
Pemeriksaan fisik vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan
gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus (Priyanto, 2007).
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba
masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis (Priyanto, 2007).
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi, darah: ureum dan kreatinin, elektrolit, blood urea
nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), gula darah. Urin : kultur urin + sensitifitas test,
urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik, sedimen.
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis kuman
yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai
saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan
adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-
buli (buli-buli neurogenik). Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar
penanda tumor prostate specific antigen (PSA) (Priyanto, 2007).
H. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis BPH, natara
lian (Priyanto, 2007) :
1. Pielografi Intravena (IVP)
Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat).
2. Sistogram Retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
3. Transrectal Ultrasonography of the Prostate (TRUSP)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat.
4. Pemeriksaan Sistografi
Memberikan keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang
uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
1. Residual Urin
Residual urine yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau dapat
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi. Pengukuran dengan kateterisasi
lebih akurat dibandingkan dengan USG setelah miksi, tetapi tidak mengenakkan bagi
pasien dan memiliki komplikasi. Tujuh puluh delapan persen pria normal memiliki
residu urin kurang dari 5 ml dan semua pria normal memiliki residu urin tidak lebih
dari 12 ml (Priyanto, 2007).
2. Pancaran Urin (Uroflowmetry)
Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
Pemeriksaan yang lebih teliti adalah dengan pemeriksaan urodinamika karena
dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan pancaran urin yang lemah tersebut
disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot
detrusor (Priyanto, 2007).
J. KOMPLIKASI
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut: inkontinensia
paradoks, batu kandung kemih, hematuria, sistitis, pielonefritis, retensi urin akut atau kronik,
refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal (Priyanto, 2007).
K. PENATALAKSANAAN
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong
oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari
pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam
penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang
merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif. Terapi
konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok. Kesulitan pengobatan
konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari
obat. Beberapa metode penatalaksanaan BPH antara lain :
1. Observasi (Watchful Waiting)
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah ringan
dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun.
Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah (Tenggara, 2007).
2. Medikamentosa
a. Penghambat Adrenergik Alfa
Seperti kita ketahui persarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat
dan kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama
mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha
adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika,
otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga
menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila
serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah
pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga
pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat
teratasi (Nasution, 2007; Tenggara, 2000).
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2×10
mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik
bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah
Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Jadi kelompok obat
penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek
dan akan lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat
sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator
untuk masuk kedalam tahap perawatan “watch and wait” (Nasution, 2007).
b. Fitoterapi
Untuk kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi
farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal.
Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit
dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini sehingga diperlukan terapi
komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut fitoterapi. Disebut
demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan
pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang. Namun secara empirik,
manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.
1) Saw Palmetto Berry
Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens
adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat
tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu
back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.
Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi
terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan
perbaikan klinis dalam hal: frekuensi nokturia akan berkurang, aliran
kencing akan bertambah lancar, volume residu dikandung kencing akan
berkurang, gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir akan berkurang.
Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia
akan: menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir
reseptor androgen, bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara
menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase (Soebadi,
2006).
2) Pumpkin Seeds (Cucurbitae peponis semen)
Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman
dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini
ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH
didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan
ekstraks Serenoa repens (Soebadi, 2006).
c. Hormonal
Pada tingkat suprahipofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu
obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar
dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor
dengan membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-
mula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor,
pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi
setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH
akan menurun.
Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen
yang mekanisme kerjanya mencegah hidrolisis testosteron menjadi DHT dengan
cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk
mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen
yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT
berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak
menurun. Penurunan kadar zat aktif dihidrotestosteron ini menyebabkan
mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finasteride (Proscar)
dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride
mengurangi volume prostat sampai 30%.
Obat antiandrogen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat
yang mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor
DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh
obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone
15 mg2 kali/hari dan Anandron.
Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat:
mengurangi enzim dihidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme
steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha
reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah Megestrol asetat
160 mg empat kali sehari dan MPA (medroxyprogesterone acetate) 300-500
mg/hari (Nasution, 2007).
3. Tindakan Operatif
a. Prostatektomi Suprapubik Infravesika (Metode Freyer)
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat
diangkat dari atas (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).
b. Prostatektomi Transperineal (Metode Freyer)
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh
bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah
penglihatan langsung, angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta
ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien
sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia,
impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain
adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang
operatif terbatas (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).
c. Prostatektomi Retropubik Infravesika (Metode Millin)
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini
cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang
keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat,
infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah
tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden
hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis.
Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan
spingter kandung kemih lebih sedikit (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).
d. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan
cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup
oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang
sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera
diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma
dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus
membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu
beberapa operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum
reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik.
Penggunaan cairan non ionic lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko
hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik
urologi di Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi,
pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut. Penyulit saat operasi meliputi
perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi
perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi
inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra
(Priyanto, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007; Tenggara, 2000).
e. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan
pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai
pembesaran lobus medius, pada pasien yang umurnya masih muda, dan tidak
diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh
Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi
mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli-sampai ke
verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan
lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan
TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax
meskipun tidak sebaik TURP.
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya
karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan USG
transrektal, dan pengukuran kadar PSA (Priyanto, 2007).
f. LASER Prostatectomy
Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG,
KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle
fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi.
Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih
sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,
penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama, tetapi
kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun pancaran
maksimal tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang
2% setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan
disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat
miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca
TURP.
Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan
pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang
hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor
miksi dan pancaran urine. Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih
belum banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi
antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan
TURP karena kesehatannya (Priyanto, 2007).
g. Elektroevaporasi
Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja
teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang
cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini
cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa
tinggal di rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada
prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang
lebih lama (Priyanto, 2007).
h. Thermotherapy
Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1293 MHz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan
di dalam uretra. Dengan pemanasan > 450C sehingga menimbulkan destruksi
jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Makin tinggi
suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi
makin banyak menimbulkan efek samping. Prosedur ini seringkali tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit, namun masih harus memakai kateter
dalam jangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai
kepuasan pasien terhadap terapi ini. Tidak banyak menimbulkan perdarahan
sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi antikoagulansia.
Cara memanaskan prostat sampai 44,5 oC – 47 oC ini mulai diperkenalkan
dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral
yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan
gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi
dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos
dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi
berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana
proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan
gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan
dilakukan antara 1-3 jam. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan
prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan
ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang
berada pada leher vesika dan prostat. Tersedia dua macam alat yaitu Prostatron
yang menggunakan gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini
disebut dengan Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat
yang lain menggunakan radio capacitive frequency yang dapat memanaskan
prostat sampai 44,5°C - 47°C selama 3 jam (TURF) (Priyanto, 2007).
1) Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan
microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene
akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak
merusak mukosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mukosa
tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang (Priyanto, 2007).
2) Trans Urethral Radio-Capacitive Frequency (TURF)
Dengan memancarkan gelombang “radio frequency” yang panjang
gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari
gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang ditempel
diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai
lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat
pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan
selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar (Priyanto, 2007).
i. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan
dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan
melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah
mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:
prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat
diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut,
reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak.
TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara (Priyanto,
2007).
j. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik
guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal,
tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 1000C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anastesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien seringkali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin,
dan epididimo-orkitis (Priyanto, 2007).
k. Stent Urethra
Pada hakikatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja
kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral
dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath).
Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan
dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya,
panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang
panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan
bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas
dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi
infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara
apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang
lebih invasif.
Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Strent dipasang intraluminal di antara leher
buli-buli dan di sebelah proksimal verumontetum sehingga urin dapat leluasa
melewati lumen uretra pars prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau
permanen. Yang temporer dipasang selama 3-36 bulan dan terbuat dari bahaan
yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini
dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.
Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,
nikel atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh
urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anastesi
umum atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent
dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi
berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak pada daerah penis
(Priyanto, 2007).
l. High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultra dari transduser piezokeramik yang mempunyai
frekuensi 0,5-10MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal
dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anastesi umum. Data
klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Qmax rata-rata
meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan
sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sekitar 10% setiap tahun
(Priyanto, 2007)
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu kontrol
secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada
tindakan apa yang telah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchful
waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS
(International Prostatic Symptom Score), uroflometri, dan residu urin pasca miksi.
Pada pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol pada
minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun
untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat
reseptor adrenergik-α harus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan
melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi
perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan.
Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien yang telah
menerima pengobatan medikamentosa dan tidak menunjukkan adanya perbaikan perlu
dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca
operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3
bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasive
minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah
6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasive
minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin
untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu.
.
SOAP
A. SUBJEKTIF
Pasien datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil (BAK) sejak kemarin malam.
Sebelum keluhan ini muncul, pasien merasa memang ada keluhan saat BAK, keluhan
dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu, antara lain pasien saat ingin BAK, tidak dapat
menahannya kemudian pasien tergesa ke kamar kecil kemudian saat ingin memulai BAK
pasien menunggu beberapa saat, pancaran kencing juga dirasakan lebih lemah daripada
sebelum-sebelumnya, kadang saat BAK terputus, setelah BAK selesai menetes dan merasa
kurang puas karena terasa masih ada sisa kencing di dalam. Pasien juga akhir-akhir ini
merasa lebih sering BAK, terutama pada malam hari dan terkadang terasa nyeri jika BAK,
namun tidak terasa panas.
B. OBJEKTIF
Dari pemeriksaan fisik, diperoleh abnormalitas sebagai berikut :
1. Palpasi abdomen diperoleh nyeri tekan suprapubik dan terasa ingin kencing jika
suprapubik ditekan
2. Rectal Toucher (RT) diperoleh prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, lobus
kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul
Dari pemeriksaan penunjang tidak diperoleh kelainan yang mendukung diagnosis BPH.
C. ASSESSMENT
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar
periuretral. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi
pria lanjut usia. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT
dan karena proses aging (menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi
dan iritasi saluran kemih.
Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju
pancaran urin, dan volume residu urin yang besar. Derajat beratnya obstruksi pada
hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran besar prostat melainkan ditentukan oleh
volume residu urin dan laju pancaran urin waktu miksi. Guna menentukan derajat
pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti rektal grading,
berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan berdasarkan pembesaran kedua
lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat
dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa
volume urin yang digunakan untuk menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.
Pasien tersebut didiagnosis BPH karena keluhan subjektif dan pemeriksaan objektif
mengarah ke diagnosis BPH. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium memang tidak
diperoleh kelainan, artinya BPH yang dialami pasien tersebut belum mengalami komplikasi
seperti misalnya infeksi saluran kemih, batu daluran kemih, atau sampai pada gagal ginjal.
Pemilihan terapi sementara ini diberi beberapa metode, yaitu rawat inap untuk dapat
terpasang kateter agar retensi urin dapat tertangani, kemudian diberikan antibiotik intravena
untuk mencegah infeksi oleh karena retensi urin yang terjadi sebelumnya, dan beberapa
pengobatan suportif dan definitive. Terapi suportif untuk mencegah iritasi lambung dan
mengurangi rasa nyeri, sedangkan terapi definitive diberika peroral dengan penghambat alfa
adrenergik (Prazosin) dan terapi hormonal untuk menghambat aktivitas 5-alfa reduktase
(Finasteride) sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan. Untuk terapi operatif, dilakukan
konsultasi kepada spesialis bedah agar dipertimbangkan pemilihan terapi operatif yang tepat
untuk pasien tersebut.
Edukasi ke pasien dan keluarga pasien jelas diperlukan. Setelah dijelaskan secara sngkat
dan jelas mengenai penyakit dan penatalaksanaan BPH pada pasien tersebut, maka
hendaknya diberikan beberapa edukasi yang menyangkut perubahan gaya hidup pada pasien
BPH. Secara umum untuk perubahan gaya hidup, misalnya pembatasan jumlah cairan yang
diminum agar kurang dari 2000 mL, menghindari minuman yang mengandung alkohol dan
kafein, membatasi minum di malam hari (diusahakan minum terakhir adalah setelah makan
malam), diusahakan dapat BAK setiap 3 jam dengan sistem “double voiding” (artinya
setelah BAK yang pertama, hendaknya menunggu dan BAK lagi untuk yang kedua), tetap
aktif beraktivitas dan menjaga kehangatan tubuh karena suhu udara yang dingin dan
immobilitas dapat mempermudah terjadinya retensi urin. Dalam hal diet, dianjurkan kepada
pasien untuk makan buah, sayur, dan makanan tinggi kandungan asam lemak omega-3 serta
menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan asam lemak trans. Secara khusus
antara lain dengan menghindari obat-obatan yang memperburuk gejala artinya menghindari
obat-obatan yang memiliki efek diueresis (misalnya diuretik untuk hipertensi) dan efek
melemahkan pancaran miksi karena menghambat relaksasi otot kandung kemih
(antihistamin dan dekongestan).
Dilakukan beberapa latihan khusus untuk pasien dengan melatih otot dasar panggul,
latihan ini dilakukan dengan cara mengkontraksikan otot dasar panggul sampai pancaran
miksi lemah dan berhenti, kemudian kontraksi diteruskan sampai kira-kira 20 detik
kemudian relaksasi. Cara ini dilakukan 5-15 kontraksi sekali melakukan latihan dan
dilakukan 3 sampai 5 kali tiap hari. Latihan ini efektif untuk membantu memperkuat otot
dasar panggul sehingga kemampuan berkemih menjadi lebih membaik.
D. PLANNING
1. Diagnosis : BPH
2. Penatalaksanaan :
a. Pemasangan kateter
b. Infus RL 20 tpm makro
c. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
d. Injeksi Metamizol 1 g ekstra
e. Injeksi Ceftriaxon 1 g/12 jam
f. Finasteride 1 x 5 mg
g. Prazosin 2 x 1 mg
h. Konsul Sp. B untuk dipertimbangkan terapi operatif