46
Nama Wahana : RSUD Dr.Soeratno Gemolong Topik : Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) Tanggal (kasus) : 12 April 2013 Nama pasien : Tn. S (60 th) No. RM : 000075 Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Endah Sri P.H., M.Kes. Tempat Presentasi : RSUD Dr.Soeratno Gemolong Objektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia √ Bumil Deskripsi : Autoanamnesis dengan penderita dilakukan pada tanggal 12 April 2013 pukul 10.30 WIB di Poliklinik Umum RSUD Dr. Soeratno Gemolong dan didukung dengan catatan medis. Pasien datang dengan keluhan sejak kemarin malam tidak dapat buang air kecil (BAK). Ia merasa sakit pada perut bagian bawah. Sejak 4 bulan yang lalu, penderita mengalami kesulitan BAK, tidak lampias dan sering kencing pada malam hari. Sebelumnya penderita telah beberapa kali berobat ke dokter, namun belum sembuh. Tujuan : BORANG PORTOFOLIO

Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penyakit ini sering menyerang pria lanjut usia yang perlu diwaspadai sejak dini.

Citation preview

Page 1: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Nama Peserta : dr. Ahimsa Yoga Anindita

Nama Wahana : RSUD Dr.Soeratno Gemolong

Topik : Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)

Tanggal (kasus) : 12 April 2013

Nama pasien : Tn. S (60 th) No. RM : 000075

Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Endah Sri P.H., M.Kes.

Tempat Presentasi : RSUD Dr.Soeratno Gemolong

Objektif Presentasi :

Keilmuan √ Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka √

Diagnostik √ Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia √ Bumil

Deskripsi :

Autoanamnesis dengan penderita dilakukan pada tanggal 12 April 2013 pukul 10.30

WIB di Poliklinik Umum RSUD Dr. Soeratno Gemolong dan didukung dengan

catatan medis.

Pasien datang dengan keluhan sejak kemarin malam tidak dapat buang air kecil

(BAK). Ia merasa sakit pada perut bagian bawah. Sejak 4 bulan yang lalu, penderita

mengalami kesulitan BAK, tidak lampias dan sering kencing pada malam hari.

Sebelumnya penderita telah beberapa kali berobat ke dokter, namun belum sembuh.

Tujuan :

o Menegakkan diagnosis BPH

o Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien BPH

o Penatalaksanaan dan Edukasi pada pasien dan keluarga pasien mengenai BPH

Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka √ Riset Kasus √ Audit

Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos

BORANG PORTOFOLIO

Page 2: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Data pasien: Nama: Tn. S (laki-laki) Nomor Registrasi: 000075

Nama klinik: RSUD Dr. Soeratno Gemolong Telp:

-

Terdaftar sejak: -

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Pasien datang dengan keluhan tidak dapat buang air

kecil (BAK) sejak kemarin malam. Sebelum keluhan ini muncul, pasien merasa memang

ada keluhan saat BAK, keluhan dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu, antara lain

pasien saat ingin BAK, tidak dapat menahannya kemudian pasien tergesa ke kamar kecil

kemudian saat ingin memulai BAK pasien menunggu beberapa saat, pancaran kencing

juga dirasakan lebih lemah daripada sebelum-sebelumnya, kadang saat BAK terputus,

setelah BAK selesai menetes dan merasa kurang puas karena terasa masih ada sisa

kencing di dalam. Pasien juga akhir-akhir ini merasa lebih sering BAK, terutama pada

malam hari dan terkadang terasa nyeri jika BAK, namun tidak terasa panas.

2. Riwayat Pengobatan : Pasien beberapa kali sudah berobat ke dokter, namun belum

sembuh.

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit : Pasien belum pernah sakit seperti ini

sebelumnya.

4. Riwayat Keluarga : Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama

dengan pasien.

5. Riwayat pekerjaan : Pasien saat ini sudah tidak bekerja, sebelumnya bekerja

sebagai petani

Page 3: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN) :

Pasien tinggal bersama anak-anaknya dan beberapa cucunya. Pasien merupakan

ayah dari 6 orang anak dan suami dari 1 orang istri. Kondisi rumah pasien berlantai

keramik, tidak dibersihkan setiap hari, terdapat jendela, ventilasi, kamar mandi

seminggu sekali dikuras dan WC menggunakan septic tank, tersedia tempat

pembuangan sampah.

7. Lain-lain: (diberi contoh : PEMERIKSAAN FISIK, PEMERIKSAAN

LABORATORIUM dan TAMBAHAN YANG ADA, sesuai dengan FASILITAS

WAHANA

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 April 2013

A. Keadaan Umum Sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup, berat badan 62

kg

B. Tanda Vital Tensi : 140/90 mmHg

Nadi : 80x/ menit, irama reguler

Frekuensi Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,5 0C

C. Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),

teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-), ikterik (-)

D. Kepala Bentuk mesocephal dan rambut tidak beruban

E. Mata Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3

mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus

(-/-)

F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid

(-), nyeri tekan tragus (-)

G. Hidung Napas cuping hidung (-/-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi

Page 4: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

penghidu sulit dinilai, sianosis (-/-)

H. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-), lidah

tifoid (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir

(-)

I. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,

pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-),

distensi vena-vena leher (-)

J. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri,

retraksi (-), pernapasan torakoabdominal, sela iga melebar (-),

pembesaran KGB axilla (-/-)

Jantung :

Inspeksi Iktus kordis tidak tampak

Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra

Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra

Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra

Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra

→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-),

gallop (-). Bunyi jantung I > Bunyi jantung II, di SIC V 1 cm

medial linea medioklavikula sinistra dan SIC IV linea parasternal

sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi jantung I di SIC II linea

parasternal dextra et sinistra.

Pulmo :

Page 5: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar (-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar, retraksi (-)

Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri

Perkusi Sonor / Sonor

Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus paru (-/-), krepitasi (-/-)

K. Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra (-),

L. Abdomen :

Inspeksi Dinding perut sejajar dari dinding thorak, distended (-), venektasi (-), sikatrik (-)

Auskultasi Bising usus (+) normal

Perkusi Timpani, pekak alih (-)

Palpasi Supel, nyeri tekan daerah suprapubik (+), terasa ingin kencing (+) jika suprapubik ditekan, NKCV (-/-)

M. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

N. Ekstremitas Krepitasi (-)

Akral dinginOedema

_ _

_ _

_ _

- -

O. Rectal Toucher Prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri

simetris dan tidak didapatkan nodul

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium Darah

Page 6: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Pemeriksaan 12-04-13 Satuan Rujukan

Hb 12.5 g/dl 13-16

HCT 35 40-48

RBC 4.5 106/l 4.5-5.5

WBC 6.7 103/l 5-10

AT 264 103/l 150-400

MCV 87.2 /um 80.0-96.0

MCH 29.7 pg 28.0-33.0

MCHC 34 g/dL 33.0-36.0

Eosinofil 0.05 % 0.00-4.00

Basofil 0.1 % 0.00-2.00

Netrofil 68 % 55.0-80.0

Limfosit 31.8 % 22.00-44.00

Monosit 0.05 % 0.00-7.00

Ureum 23 mg/dl 10-50

Creatinin 0.7 mg/dl 0.6-1.1

B. Pemeriksaan Radiologis

(tidak dilakukan)

C. Pemeriksaan Elektrokardiografi

Sinus ritmis, HR 80 kali/menit, tidak tampak kelainan

PENATALAKSANAAN

- Pemasangan kateter

Page 7: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

- Infus RL 20 tpm makro

- Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam

- Injeksi Metamizol 1 g ekstra

- Injksi Ceftriaxon 1 g/12 jam

- Finasteride 1 x 5 mg

- Prazosin 2 x 1 mg

- Konsul Sp. B untuk dipertimbangkan terapi operatif

DAFTAR PUSTAKA

Nasution I. 2007. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

Semarang: Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Priyanto J.E. 2007. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang: Sub Bagian Bedah Urologi FK

UNDIP.

Rahardjo D. 2007. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan.

Jakarta: Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto

Mangunkusumo.

Soebadi D.M. 2006. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH. Surabaya: SMF/Lab. Urologi RSUD

Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga.

Sjamsuhidajat R. and de Jong W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Tenggara T. 2000. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Dalam: Majalah

Kedokteran Indonesia. Volume 48. Jakarta: IDI.

Tortora G.J. and Anagnostaskos N.P. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11.

New York: Harper&Row, Publishers.

HASIL PEMBELAJARAN

A. Kelenjar Prostat

B. Definisi BPH

C. Epidemiologi BPH

D. Etiopatogenesis BPH

E. Manifestasi Klinik BPH

Page 8: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

F. Pemeriksaan Laboratorium BPH

G. Pemeriksaan Radiologi BPH

H. Pemeriksaan Penunjang Lain BPH

I. Komplikasi BPH

J. Penatalaksanaan BPH

RINGKASAN HASIL PEMBELAJARAN

Page 9: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA (BPH - BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

A. PENDAHULUAN

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada

populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah

urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas

usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian

menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami

hiperplasia prostat (Tenggara, 2000).

Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk

mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang

paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu

operasi. Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi

dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda,

kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang

menolak operasi. Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia,

sebenarnya adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia

yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah

(Rahardjo, 2007).

B. KELENJAR PROSTAT

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian

proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya

sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan

jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5

cm.Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus : lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus

anterior, lobus posterior. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus

posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius

kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna

abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Mc

Page 10: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer,

zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian

besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari

spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona

tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan

karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang

bermuara dikanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.

Disebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum

triangulare inferior dan disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia

denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika

seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan

memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari

prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal. (Tortora dan

Anagnostaskos, 2007)

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari: kapsul anatomi, jaringan stroma

yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler, jaringan kelenjar yang terbagi atas 3

kelompok bagian, bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya. Bagian tengah disebut

kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone Di sekitar uretra

disebut periurethral gland. Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis: kapsul

anatomis, kapsul chirurgicum; ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya

(outer zone) sehingga terbentuk kapsul, kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler

antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat. BPH

sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan

kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius

(lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu

keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit

mengandung jaringan kelenjar. (Tortora dan Anagnostaskos, 2007)

C. DEFINISI

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar

Page 11: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

periuretral. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi

pria lanjut usia. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT

dan karena proses aging (menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi

dan iritasi saluran kemih (Tenggara, 2000).

D. EPIDEMIOLOGI

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum

usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari

lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai

usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar

negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan

pengobatan untuk hiperplasia prostat (Rahardjo, 2007).

E. ETIOPATOGENESIS

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia

prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya

dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat

antara lain sebagai berikut (Rahardjo, 2007) :

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak

terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen

(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan

bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara

hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan

terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer

dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang

terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron

diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang

Page 12: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan

konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan

potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran

prostat.

2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar

prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth

factor, transforming growth factor beta 1, transforming growth factor beta 2, dan

epidermal growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-Sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati

Program kematian sel(apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis

terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami

apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel sekitarnya kemudian didegradasi oleh

enzim lisosom.

Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel

dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat

dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostast baru dengan yang mati dalam keadaan

seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis

menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga

menyebabkan pertambahan massa prostat.

4. Teori Sel Stem (Stem Cell Hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang

dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel

dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu

dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat

berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga

terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga

menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral

prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydrotestosteron (DHT)

Page 13: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian

dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh

globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam

keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam

“target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam

sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi

5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi

“hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini

mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam

inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.

RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan

kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma

pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular

budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona

preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang

terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan

adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa

tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari

jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of

embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood.

F. MANIFESTASI KLINIK

Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif.

1. Gejala Obstruktif

Disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak

oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup

kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah

(Priyanto, 2007) :

a. Harus menunggu pada permulaan miksi (hesitancy)

Page 14: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

b. Pancaran miksi yang lemah (poor stream)

c. Miksi terputus (intermittency)

d. Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)

e. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying).

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara

mengukur: residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan dan

pancaran urin atau flow rate.

2. Gejala Iritatif

Disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna

pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena

pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering

berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah (Priyanto, 2007) :

a. Bertambahnya frekuensi miksi (frequency)

b. Kencing sering pada malam hari (nocturia)

c. Miksi sulit ditahan (urgency)

d. Nyeri pada waktu miksi (dysuria)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Gejala iritatif yang

sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada

malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh

menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra.

Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar.

Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir

miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada

akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga

penderita tidak mampu lagi miksi.

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus sphingter ani,

reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di

dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:

konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), adakah asimetris,

adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba sulcus medianus prostate, adakah

Page 15: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

krepitasi. Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal

seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.

Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan

diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi

(Priyanto, 2007).

Pemeriksaan fisik vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah

inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus

pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan

gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,

fimosis, condiloma di daerah meatus (Priyanto, 2007).

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba

masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan

supra simfisis (Priyanto, 2007).

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi, darah: ureum dan kreatinin, elektrolit, blood urea

nitrogen, Prostate Specific Antigen (PSA), gula darah. Urin : kultur urin + sensitifitas test,

urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik, sedimen.

Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau

inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna dalam mencari jenis kuman

yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa

antimikroba yang diujikan.

Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai

saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan

adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-

buli (buli-buli neurogenik). Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar

penanda tumor prostate specific antigen (PSA) (Priyanto, 2007).

H. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis BPH, natara

Page 16: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

lian (Priyanto, 2007) :

1. Pielografi Intravena (IVP)

Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya

indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat).

2. Sistogram Retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka

sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

3. Transrectal Ultrasonography of the Prostate (TRUSP)

Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan

pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi

prostat.

4. Pemeriksaan Sistografi

Memberikan keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang

uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN

1. Residual Urin

Residual urine yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini

dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau dapat

ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi. Pengukuran dengan kateterisasi

lebih akurat dibandingkan dengan USG setelah miksi, tetapi tidak mengenakkan bagi

pasien dan memiliki komplikasi. Tujuh puluh delapan persen pria normal memiliki

residu urin kurang dari 5 ml dan semua pria normal memiliki residu urin tidak lebih

dari 12 ml (Priyanto, 2007).

2. Pancaran Urin (Uroflowmetry)

Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau

dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

Pemeriksaan yang lebih teliti adalah dengan pemeriksaan urodinamika karena

dengan pemeriksaan ini dapat dibedakan pancaran urin yang lemah tersebut

disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot

Page 17: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

detrusor (Priyanto, 2007).

J. KOMPLIKASI

Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut: inkontinensia

paradoks, batu kandung kemih, hematuria, sistitis, pielonefritis, retensi urin akut atau kronik,

refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal (Priyanto, 2007).

K. PENATALAKSANAAN

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong

oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari

pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam

penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang

merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak

memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif. Terapi

konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok. Kesulitan pengobatan

konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari

obat. Beberapa metode penatalaksanaan BPH antara lain :

1. Observasi (Watchful Waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.

Kadang-kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah ringan

dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun.

Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau

tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah (Tenggara, 2007).

2. Medikamentosa

a. Penghambat Adrenergik Alfa

Seperti kita ketahui persarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat

dan kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama

mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha

adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika,

otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga

menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila

serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah

Page 18: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga

pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat

teratasi (Nasution, 2007; Tenggara, 2000).

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2×10

mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik

bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah

Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Jadi kelompok obat

penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek

dan akan lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif

segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat

sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator

untuk masuk kedalam tahap perawatan “watch and wait” (Nasution, 2007).

b. Fitoterapi

Untuk kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi

farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal.

Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit

dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini sehingga diperlukan terapi

komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut fitoterapi. Disebut

demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan

pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang. Namun secara empirik,

manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.

1) Saw Palmetto Berry

Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens

adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat

tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu

back to nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi

terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan

perbaikan klinis dalam hal: frekuensi nokturia akan berkurang, aliran

kencing akan bertambah lancar, volume residu dikandung kencing akan

berkurang, gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir akan berkurang.

Page 19: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia

akan: menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir

reseptor androgen, bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara

menghambat aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase (Soebadi,

2006).

2) Pumpkin Seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman

dan Austria sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini

ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH

didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan

ekstraks Serenoa repens (Soebadi, 2006).

c. Hormonal

Pada tingkat suprahipofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu

obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar

dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor

dengan membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-

mula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor,

pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi

setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH

akan menurun.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen

yang mekanisme kerjanya mencegah hidrolisis testosteron menjadi DHT dengan

cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk

mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen

yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT

berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak

menurun. Penurunan kadar zat aktif dihidrotestosteron ini menyebabkan

mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finasteride (Proscar)

dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride

mengurangi volume prostat sampai 30%.

Obat antiandrogen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat

Page 20: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

yang mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor

DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh

obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone

15 mg2 kali/hari dan Anandron.

Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat:

mengurangi enzim dihidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme

steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha

reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah Megestrol asetat

160 mg empat kali sehari dan MPA (medroxyprogesterone acetate) 300-500

mg/hari (Nasution, 2007).

3. Tindakan Operatif

a. Prostatektomi Suprapubik Infravesika (Metode Freyer)

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.

Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat

diangkat dari atas (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).

b. Prostatektomi Transperineal (Metode Freyer)

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini

lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.

Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh

bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah

penglihatan langsung, angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta

ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien

sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi

karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia,

impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari cara ini. Kerugian lain

adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta  bidang

operatif terbatas (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).

c. Prostatektomi Retropubik Infravesika (Metode Millin)

Adalah suatu teknik yang lebih  umum dibanding pendekatan suprapubik

dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus

pubis  dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini

Page 21: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang

keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat,

infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah

tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden

hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis.

Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan

spingter kandung kemih lebih sedikit (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007).

d. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)

Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan

cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup

oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang

dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang

sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga

cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang

terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya

hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma

TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran

somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera

diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma

dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.

Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus

membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu

beberapa operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum

reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik.

Penggunaan cairan non ionic lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko

hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik

urologi di Indonesia lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi.

Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat operasi,

pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut. Penyulit saat operasi meliputi

perdarahan, sindroma TURP, dan perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi

Page 22: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

perdarahan dan infeksi lokal atau sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi

inkontinensia urin, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan striktura uretra

(Priyanto, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2007; Tenggara, 2000).

e. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)

TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan

pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai

pembesaran lobus medius, pada pasien yang umurnya masih muda, dan tidak

diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh

Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi

mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-buli-sampai ke

verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan

lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan

TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax

meskipun tidak sebaik TURP.

Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya

karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan USG

transrektal, dan pengukuran kadar PSA (Priyanto, 2007).

f. LASER Prostatectomy

Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG,

KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare fibre, right angle

fibre, atau intersitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami

koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi.

Jika dibandingkan dengan pembedahan, pemakaian Laser ternyata lebih

sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis,

penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama, tetapi

kemampuan dalam meningkatkan perbaikan gejala miksi maupun pancaran

maksimal tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang

2% setiap tahun. Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk

pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan

disuria pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat

miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate lebih rendah dari pada pasca

Page 23: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

TURP.

Penggunaan pembedahan dengan energi Laser telah berkembang dengan

pesat akhir-akhir ini. Penelitian klinis memakai Nd:YAG menunjukkan hasil yang

hampir sama dengan cara desobstruksi TURP, terutama dalam perbaikan skor

miksi dan pancaran urine. Meskipun demikian efek lebih lanjut dari Laser masih

belum banyak diketahui. Teknik ini dianjurkan pada pasien yang memakai terapi

antikoagulan dalam jangka waktu lama atau tidak mungkin dilakukan tindakan

TURP karena kesehatannya (Priyanto, 2007).

g. Elektroevaporasi

Cara elektrovaporisasi prostat hampir mirip dengan TURP, hanya saja

teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang

cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisisai kelenjar prostat. Teknik ini

cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa

tinggal di rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada

prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang

lebih lama (Priyanto, 2007).

h. Thermotherapy

Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro

pada frekuensi 915-1293 MHz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan

di dalam uretra. Dengan pemanasan > 450C sehingga menimbulkan destruksi

jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Makin tinggi

suhu di dalam jaringan prostat makin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi

makin banyak menimbulkan efek samping. Prosedur ini seringkali tidak

memerlukan perawatan di rumah sakit, namun masih harus memakai kateter

dalam jangka waktu lama. Sering kali diperlukan waktu 3-6 minggu untuk menilai

kepuasan pasien terhadap terapi ini. Tidak banyak menimbulkan perdarahan

sehingga cocok diindikasikan pada pasien yang memakai terapi antikoagulansia.

Cara memanaskan prostat sampai 44,5 oC – 47 oC ini mulai diperkenalkan

dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral

yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan

gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi

Page 24: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos

dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi

berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana

proximal dari balon dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan

gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan

dilakukan antara 1-3 jam. Mekanisme yang pasti mengenai efek pemanasan

prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih harus dibuktikan

ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada reseptor alpha yang

berada pada leher vesika dan prostat. Tersedia dua macam alat yaitu Prostatron

yang menggunakan gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini

disebut dengan Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat

yang lain menggunakan radio capacitive frequency yang dapat memanaskan

prostat sampai 44,5°C - 47°C selama 3 jam (TURF) (Priyanto, 2007).

1) Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan

microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene

akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak

merusak mukosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mukosa

tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang (Priyanto, 2007).

2) Trans Urethral Radio-Capacitive Frequency (TURF)

Dengan memancarkan gelombang “radio frequency” yang panjang

gelombangnya lebih besar daripada tebalnya prostat juga arah dari

gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh elektrode yang ditempel

diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai

lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat

pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan

selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar (Priyanto, 2007).

i. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan

dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan

melalui operasi terbuka (transvesikal). Konsep dilatasi dengan balon ini ialah

Page 25: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:

prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar, kapsul prostat

diregangkan, tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut,

reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak.

TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat sementara (Priyanto,

2007).

j. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk

menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik

guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal,

tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.

Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas

sampai mencapai 1000C, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem

ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke

dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anastesi topikal xylocaine

sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.

Pasien seringkali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin,

dan epididimo-orkitis (Priyanto, 2007).

k. Stent Urethra

Pada hakikatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja

kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral

dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath).

Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan

dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya,

panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang

panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan

bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas

dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi

infravesikal yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara

apabila kondisi penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang

Page 26: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

lebih invasif.

Stent prostat dipasang pada uretra pars prostatika untuk mengatasi

obstruksi karena pembesaran prostat. Strent dipasang intraluminal di antara leher

buli-buli dan di sebelah proksimal verumontetum sehingga urin dapat leluasa

melewati lumen uretra pars prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau

permanen. Yang temporer dipasang selama 3-36 bulan dan terbuat dari bahaan

yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini

dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.

Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy,

nikel atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh

urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anastesi

umum atau regional.

Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin

menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent

dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.

Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi

berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak pada daerah penis

(Priyanto, 2007).

l. High Intensity Focused Ultrasound (HIFU)

Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat

berasal dari gelombang ultra dari transduser piezokeramik yang mempunyai

frekuensi 0,5-10MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal

dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anastesi umum. Data

klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Qmax rata-rata

meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan

sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sekitar 10% setiap tahun

(Priyanto, 2007)

Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu kontrol

secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada

tindakan apa yang telah dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchful

waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui

Page 27: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS

(International Prostatic Symptom Score), uroflometri, dan residu urin pasca miksi.

Pada pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus dikontrol pada

minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun

untuk menilai perubahan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat

reseptor adrenergik-α harus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan

melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urin pasca miksi. Kalau terjadi

perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan dapat diteruskan.

Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap tahun. Pasien yang telah

menerima pengobatan medikamentosa dan tidak menunjukkan adanya perbaikan perlu

dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.

Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca

operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3

bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapatkan terapi invasive

minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu yang lama, yaitu setelah

6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasive

minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin

untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu.

.

SOAP

Page 28: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

A. SUBJEKTIF

Pasien datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil (BAK) sejak kemarin malam.

Sebelum keluhan ini muncul, pasien merasa memang ada keluhan saat BAK, keluhan

dirasakan sejak sekitar 4 bulan yang lalu, antara lain pasien saat ingin BAK, tidak dapat

menahannya kemudian pasien tergesa ke kamar kecil kemudian saat ingin memulai BAK

pasien menunggu beberapa saat, pancaran kencing juga dirasakan lebih lemah daripada

sebelum-sebelumnya, kadang saat BAK terputus, setelah BAK selesai menetes dan merasa

kurang puas karena terasa masih ada sisa kencing di dalam. Pasien juga akhir-akhir ini

merasa lebih sering BAK, terutama pada malam hari dan terkadang terasa nyeri jika BAK,

namun tidak terasa panas.

B. OBJEKTIF

Dari pemeriksaan fisik, diperoleh abnormalitas sebagai berikut :

1. Palpasi abdomen diperoleh nyeri tekan suprapubik dan terasa ingin kencing jika

suprapubik ditekan

2. Rectal Toucher (RT) diperoleh prostat teraba membesar, konsistensi kenyal, lobus

kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul

Dari pemeriksaan penunjang tidak diperoleh kelainan yang mendukung diagnosis BPH.

C. ASSESSMENT

Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar

periuretral. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi

pria lanjut usia. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti, beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT

dan karena proses aging (menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi

dan iritasi saluran kemih.

Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju

pancaran urin, dan volume residu urin yang besar. Derajat beratnya obstruksi pada

hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran besar prostat melainkan ditentukan oleh

volume residu urin dan laju pancaran urin waktu miksi. Guna menentukan derajat

Page 29: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti rektal grading,

berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan berdasarkan pembesaran kedua

lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat

dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa

volume urin yang digunakan untuk menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.

Pasien tersebut didiagnosis BPH karena keluhan subjektif dan pemeriksaan objektif

mengarah ke diagnosis BPH. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium memang tidak

diperoleh kelainan, artinya BPH yang dialami pasien tersebut belum mengalami komplikasi

seperti misalnya infeksi saluran kemih, batu daluran kemih, atau sampai pada gagal ginjal.

Pemilihan terapi sementara ini diberi beberapa metode, yaitu rawat inap untuk dapat

terpasang kateter agar retensi urin dapat tertangani, kemudian diberikan antibiotik intravena

untuk mencegah infeksi oleh karena retensi urin yang terjadi sebelumnya, dan beberapa

pengobatan suportif dan definitive. Terapi suportif untuk mencegah iritasi lambung dan

mengurangi rasa nyeri, sedangkan terapi definitive diberika peroral dengan penghambat alfa

adrenergik (Prazosin) dan terapi hormonal untuk menghambat aktivitas 5-alfa reduktase

(Finasteride) sesuai dengan dosis yang telah ditetapkan. Untuk terapi operatif, dilakukan

konsultasi kepada spesialis bedah agar dipertimbangkan pemilihan terapi operatif yang tepat

untuk pasien tersebut.

Edukasi ke pasien dan keluarga pasien jelas diperlukan. Setelah dijelaskan secara sngkat

dan jelas mengenai penyakit dan penatalaksanaan BPH pada pasien tersebut, maka

hendaknya diberikan beberapa edukasi yang menyangkut perubahan gaya hidup pada pasien

BPH. Secara umum untuk perubahan gaya hidup, misalnya pembatasan jumlah cairan yang

diminum agar kurang dari 2000 mL, menghindari minuman yang mengandung alkohol dan

kafein, membatasi minum di malam hari (diusahakan minum terakhir adalah setelah makan

malam), diusahakan dapat BAK setiap 3 jam dengan sistem “double voiding” (artinya

setelah BAK yang pertama, hendaknya menunggu dan BAK lagi untuk yang kedua), tetap

aktif beraktivitas dan menjaga kehangatan tubuh karena suhu udara yang dingin dan

immobilitas dapat mempermudah terjadinya retensi urin. Dalam hal diet, dianjurkan kepada

pasien untuk makan buah, sayur, dan makanan tinggi kandungan asam lemak omega-3 serta

menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan asam lemak trans. Secara khusus

Page 30: Benign Prostate Hyperplasia (Pembesaran Prostat Jinak / BPH)

antara lain dengan menghindari obat-obatan yang memperburuk gejala artinya menghindari

obat-obatan yang memiliki efek diueresis (misalnya diuretik untuk hipertensi) dan efek

melemahkan pancaran miksi karena menghambat relaksasi otot kandung kemih

(antihistamin dan dekongestan).

Dilakukan beberapa latihan khusus untuk pasien dengan melatih otot dasar panggul,

latihan ini dilakukan dengan cara mengkontraksikan otot dasar panggul sampai pancaran

miksi lemah dan berhenti, kemudian kontraksi diteruskan sampai kira-kira 20 detik

kemudian relaksasi. Cara ini dilakukan 5-15 kontraksi sekali melakukan latihan dan

dilakukan 3 sampai 5 kali tiap hari. Latihan ini efektif untuk membantu memperkuat otot

dasar panggul sehingga kemampuan berkemih menjadi lebih membaik.

D. PLANNING

1. Diagnosis : BPH

2. Penatalaksanaan :

a. Pemasangan kateter

b. Infus RL 20 tpm makro

c. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam

d. Injeksi Metamizol 1 g ekstra

e. Injeksi Ceftriaxon 1 g/12 jam

f. Finasteride 1 x 5 mg

g. Prazosin 2 x 1 mg

h. Konsul Sp. B untuk dipertimbangkan terapi operatif