Upload
vukhue
View
218
Download
0
Embed Size (px)
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
2.1.1 Insidensi & Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki,
insidennya berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH
meningkat dari 20% pada laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia
51-60 tahun hingga lebih dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun.
Meskipun bukti klinis belum muncul, namun keluhan obstruksi juga
berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun + 25% laki-laki mengeluh
gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat hingga usia
75 tahun dimana 50% laki-laki mengeluh berkurangnya pancaran atau
aliran pada saat berkemih. (Cooperberg, 2013).
Gambar 2.1. Angka Kejadian BPH Berdasarkan Usia di Beberapa Negara (Roehrborn, 2012).
2
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar, selama tahun 2013
terdapat 103 pasien dengan BPH yang menjalani operasi, dari total 1161
pasien urologi yang menjalani operasi.
Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa
penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras.
Kira-kira 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi
BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat
autosomal dominan, dimana penderita yang memiliki orangtua menderita
BPH memiliki resiko 4x lipat lebih besar dibandingkan dengan yang
normal. (Cooperberg, 2013).
2.1.2 Anatomi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak inferior dari
buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Berbentuk
seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan berat kurang lebih 20
gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang
terbagi dalam beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral,
zona transitional, zona preprostatik dan zona anterior (Mc Neal, 1970).
Secara histopatologi, kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan
stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh
darah, saraf dan jaringan interstitial yang lain. Prostat menghasilkan suatu
cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan
3
ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior
untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruh volume
ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatis dan
parasimpatis dari plexus prostatikus. Pleksus prostatikus menerima
masukan serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan simpatis dari
nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis meningkatkan
sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatis
menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti
pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi pada otot polos
prostat, kapsula prostat dan leher buli-buli. Pada tempat tersebut banyak
terdapat reseptor adrenergic α. Rangsangan simpatis mempertahankan
tonus otot polos tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak
atau berubah menjadi tumor ganas, dapat terjadi penekanan uretra
posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
(Cooperberg, 2013).
2.1.3 Etiologi
Etiologi BPH belum sepenuhnya dimengerti, tampaknya bersifat
multifaktor dan berhubungan dengan endokrin. Prostat terdiri dari elemen
epithelial dan stromal dimana pada salah satu atau keduanya dapat
muncul nodul hiperplastik dengan gejala yang berhubungan dengan BPH.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
4
hiperplasia prostat adalah:
1) Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosteron di dalam sel prostat oleh 5α-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
2) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun sedangkan
kadar estrogen relative tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
progesteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam
prostat berperan didalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel
baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat
jadi lebih besar.
3) Interaksi stromal-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensasi dan pertumbuhan
5
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma,
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin atau autokrin serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu sendiri menyebabkan terjadinya proliferasi
sel-sel epitel maupun sel stroma.
4) Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai pada
prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang
mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
masa prostat.
5) Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ektensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen
sehingga jika hormone ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.
6
Observasi dan penelitian pada laki-laki jelas mendemontrasikan
bahwa BPH dikendalikan oleh sistem endokrin, di mana kastrasi
mengakibatkan regresi pada BPH dan perbaikan keluhan. Pada penelitian
lebih lanjut tampak korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan
estrogen dengan volume pada BPH. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan estrogen pada proses penuaan yang mengakibatkan induksi
dari reseptor androgen yang menjadikan prostat lebih sensitif pada
testosteron bebas. Namun belum ada penelitian yang mendemontrasikan
peningkatan reseptor estrogen level pada penderita BPH. (Cooperberg,
2013).
6) Teori Inflamasi
Sejak tahun 1937, terdapat hipotesa bahwa BPH merupakan peyakit
inflamasi yang dimediasi oleh proses imunologi. Uji klinis terbaru juga
menunjukkan adanya hubungan antara proses inflamasi pada prostat
dengan LUTS. Di Silverio mendapatkan 43% gambaran inflamasi pada
histopatologi dari 3942 pasien BPH (De Nunzio, dkk. 2011). Sementara
penelitian dari Daniels, dkk. menemukan adanya prostatitis pada 83% dari
pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis memiliki
risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger, 2008).
Data penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan inflamasi kronik
pada prostat memiliki risiko lebih tinggi terhadap progresifitas BPH dan
terjadinya retensi urin. Pada pasien dengan volume prostat yang kecil,
hanya yang disertai dengan proses inflamasi yang mengalami gejala
7
obstruksi. Inflamasi prostat juga dikaitkan dengan pembesaran volume
prostat, semakin berat derajat inflamasi, semakin besar volume prostat
dan semakin tinggi nilai IPSS. Sampai saat ini masih belum dapat
dijelaskan efek inflamasi terhadap LUTS (De Nunzio, dkk. 2011).
2.1.4 Patologi
BPH terbentuk pada zona transisional. Merupakan proses hiperplasi
akibat dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik tampak pola
pertumbuhan yang berbentuk noduler yang terdiri dari jaringan stromal dan
ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen dan otot polos. (Cooperberg,
2013).
Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang
beragam menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi
dengan α-bloker memberikan respons yang baik pada pasien BPH dengan
komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang dominan
adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α reduktase
inhibitor. Penderita BPH dengan komponen dominan kolagen kurang
respon terhadap medikamentosa.
8
Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Prostat (Cooperberg, 2013)
Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar pada
prostat yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule. Kapsul ini
memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan juga merupakan
batas dilakukannya prostatektomi terbuka.
2.1.5 Patofisiologi
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan sekunder
akibat dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi dapat dibagi
menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi prostat, obstruksi
mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen uretra atau leher buli,
yang mengakibatkan resistensi bladder outlet. Sebelum pembagian zona
klasifikasi dari prostat, ahli urologi membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus
9
lateral dan 1 lobus medial. Ukuran prostat pada pemeriksaan rectal
toucher (RT) memiliki korelasi yang kurang terhadap timbulnya gejala,
karena pada RT lobus medial kurang atau tidak teraba.
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis keluhan
penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen, yang
dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika diatur
secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker menurunkan tonus ini
dan menimbulkan disobstruksi.
Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari respons
sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih mengakibatkan
hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai penimbunan kolagen,
pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor berbetuk sebagai
trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan terjadinya hernia
mukosa diantara otot detrusor yang mengakibatkan terbentuknya
divertikel. (Cooperberg, 2013)
2.1.6 Gejala Klinis
Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan pada pria
berusia di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya, sekitar 50% mengalami
hiperplasia kelenjar prostat secara histopatlogis. Dari jumlah tersebut,
30-50% mengalami LUTS, yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain.
(Roehrborn, 2008)
10
Gambar 2.3. Hubungan Antara BPH, LUTS, Pembesaran Prostat (BPE), dan Obstruksi Kandung Kemih (BOO) Pada Pria Berusia Lebih Dari 40
Tahun (Roehrborn, 2012).
Gejala BPH terbagi menjadi gejala obstruktif dan iritatif. Gejala
obstruksi berupa hesistansi, penurunan pancaran urin, rasa tidak tuntas
saat berkemih, double voiding, mengejan saat berkemih dan urin menetes
setelah berkemih. Gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi dan nokturia
(Cooperberg, 2013). Gejala-gejala tersebut disebut sebagai gejala saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS).
11
Gambar 2.4. Keluhan LUTS Berdasarkan Usia Pada Tujuh Negara yang Berbeda (Roehrborn, 2008)
LUTS dapat dibagi menjadi gejala penampungan, pengosongan, dan
pasca miksi. Umumnya, LUTS dikaitkan dengan adanya obstruksi yang
diakibatkan oleh pembesaran kelenjar prostat. Namun penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak hanya disebabkan oleh adanya
kelainan pada prostat. Adanya gangguan dari kandung kemih dapat juga
menyebabkan LUTS, misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor,
gangguan kontraktilitas pada fase penampungan, dan penurunan aktivitas
otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik kondisi urologis
maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap adanya LUTS. (EAU
Guidelines, 2014).
Gambar 2.5. Penyebab LUTS pada Pria (EAU Guidelines, 2014).
12
Terdapat beberapa metode kuisioner yang tersedia saat ini bagi para
klinisi untuk mengukur tingkat gejala saluran kemih bagian bawah. Metode
tersebut di antaranya adalah Boyarsky, Madsen–Iversen, Maine Medical
Assessment Program (MMAP), Danish symptom score (DAN-PSS-1), AUA
symptom score, IPSS, Bolognese instrument. (Donovan dkk., 1996)
International Prostate Symptom Score (IPSS), yang dikembangkan
oleh American Urological Association, merupakan kuisioner yang paling
sering digunakan. IPSS merupakan pengembangan dari AUA symptom
score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup.
Telah dilaporkan bahwa IPSS merupakan metode yang dapat dipercaya
dan cukup sederhana, di mana tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan sosial demografi. (Ozturk dkk., 2011)
IPSS dibuat sedemikian rupa sehingga pasien dapat melengkapinya
sendiri, dengan hasil yang lebih baik bila disertai dengan bantuan dari
petugas kesehatan. Ozturk, dkk membuktikan bahwa nilai dari IPSS yang
dilengkapi oleh pasien sendiri dengan nilai IPSS yang dilengkapi oleh
pasien dengan bantuan petugas kesehatan tidak berbeda secara
signifikan. IPSS saat ini telah divalidasi dan diterjemahkan ke dalam
bahasa yang berbeda-beda di banyak negara.
Pedoman dari American Urological Association (AUA) menyatakan
bahwa IPSS merupakan kuisioner yang telah tervalidasi untuk digunakan
dalam menilai tiga gejala penampungan (frekuensi, nokturia, dan urgensi),
13
dan empat gejala pengosongan buli (rasa tidak tuntas, intermiten,
mengedan, dan pancaran yang lemah). IPSS juga menilai tingkat dari
gangguan yang dirasakan, dengan satu pertanyaan tambahan mengenai
kualitas hidup. (McVary dkk., 2010)
IPSS berisi tujuh pertanyaan mengenai gejala dan satu pertanyaan
untuk menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai keluhan secara
kuantitatif dalam skala 0-5. Nilai maksimal dari IPSS adalah 35. Derajat
gejala saluran kemih bagian bawah dikelompokkan menjadi tiga, nilai 0-8
derajat ringan, 9-19 derajat sedang, dan 20 ke atas derajat berat. IPSS
hanya digunakan untuk menilai beratnya gejala, dan bukan merupakan
faktor diagnostik untuk menegakkan adanya BPH. (EAU Guidelines, 2012).
Anamnesa yang lengkap dan mendalam dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi penyebab yang lain seperti ISK, neurogenik bladder,
striktur uretra dan kanker prostat.
Bozdar, dkk. melakukan penelitian mengenai outcome dari TURP
dalam hubungannya dengan LUTS. Dari total 70 pasien dengan BPH yang
disertai dengan keluhan LUTS, rata-rata IPSS pra operasi adalah 22,5
(rentang 20-35). IPSS pasca operasi dievaluasi setelah 6 minggu dan 12
minggu. Pada evaluasi 6 minggu pasca TURP, 81% pasien dengan LUTS
ringan, 15,7% dengan LUTS sedang, dan 2,9% dengan LUTS berat. Pada
evaluasi kedua (12 minggu pasca TURP), terdapat 88,6% pasien dengan
LUTS ringan, 10% dengan LUTS sedang, dan 1,5% dengan LUTS berat.
(Bozdar, 2010). Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai IPSS
14
pasien BPH pasca TURP di Indonesia.
15
Gambar 2.6. International Prostate Symptoms Score (IPSS) dalam Bahasa Indonesia (IAUI Guidelines, 2003)
Sebuah penelitian di Thailand mencoba mencari penyebab LUTS yang
menetap setelah TURP. Hasil penelitian menunjukkan penyebab yang
paling banyak adalah adanya hiperaktivitas detrusor (54%), residual
obstruksi bladder outlet (16%), kelemahan sphincter (8%), dan
hipokontraktilitas detrusor (4%) (Anutrakulchai, 2005).
2.1.7 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis
dilakukan pada semua penderita. Yang dinilai pada colok dubur adalah
ukuran dan konsistensi prostat. Pada pasien BPH, umumnya prostat
teraba licin dan kenyal. Apabila didapatkan indurasi pada perabaan,
waspada adanya proses keganasan, sehingga memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut berupa pemeriksaan kadar Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
transrectal ultrasound serta biopsi. (Cooperberg, 2013).
2.1.8 Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan infeksi dan
hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk evaluasi fungsi ginjal.
Insufisiensi renal didapatkan dari 10% penderita dengan prostatism dan
16
dibutuhkan pemeriksaan saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi renal memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi
pasca operasi. Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal
terapi namun hal ini masih kontroversi. (Cooperberg, 2013).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada
jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya
kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,
inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem
sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari
berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan
kanker prostat (Caroll, dkk., 2013).
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk.,
2013). Dikatakan tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan
nilai PSA (Gui-zhong, dkk., 2013).
Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi saluran
kemih. Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri
dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks, pyelum, dan ureter), dan kandung
kemih (penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih
melalui uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar
dari kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat. (Shoskes, 2011).
2.1.9 Pencitraan
17
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG) dianjurkan
apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi
misalnya hematuria, ISK, insufisiensi renal dan riwayat batu ginjal.
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi digunakan untuk
terapi invasif. Pemeriksaan tambahan berupa cystometrogram dan profil
urodinamik dilakukan pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan
neurologis. Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi merupakan
pemeriksaan tambahan (Cooperberg, 2013).
2.1.10 Diagnosa Banding
Obstruksi saluran kemih bagian bawah lain seperti striktur uretra,
kontraktur pada leher buli, batu buli atau keganasan prostat. Riwayat
instrumentasi uretra, uretritis atau trauma harus dieksklusi untuk
menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur leher buli. Hematuria dan
nyeri umumnya berhubungan dengan batu buli-buli, keganasan prostat
dapat terdeteksi awal dari colok dubur dan peningkatan PSA.
Infeksi saluran kemih dapat menyerupai gejala iritatif dari BPH. Dapat
diidentifikasi dari urinalisis dan kultur, walaupun infeksi saluran kemih ini
dapat merupakan komplikasi dari BPH. Keluhan iritatif juga dapat
berhubungan dengan keganasan kandung kemih terutama karsinoma in
situ, di mana pada urinalisis didapatkan hematuria. Riwayat kelainan
neurologis, stroke, DM dan cedera tulang belakang dapat mengarah ke
neurogenic bladder. Umumnya didapatkan penurunan sensibilitas pada
18
perineum dan ekstremitas inferior dan penurunan tonus sphincter ani dan
reflek bulbokavernosus, mungkin didapatkan perubahan pola defekasi.
(Cooperberg, 2013).
2.1.11 Penatalaksanaan
Terapi spesifik berupa observasi pada penderita gejala ringan hingga
tindakan operasi pada penderita dengan gejala berat. Indikasi absolut
untuk pembedahan berupa retensi urine yang berkelanjutan, infeksi saluran
kemih yang rekuren, gross hematuria rekuren, batu buli akibat BPH,
insufisiensi renal dan divertikel buli. (Cooperberg, 2013).
1) Watchful waiting
Penderita dengan BPH yang simptomatis tidak selalu mengalami
progresi keluhan, beberapa mengalami perbaikan spontan. Watchful
waiting merupakan penatalaksanaan terbaik untuk penderita BPH dengan
nilai IPSS 0-7. Penderita dengan gejala LUTS sedang juga dapat dilakukan
observasi atas kehendak pasien.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa
(adrenergic alfa blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormone
testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase.
19
Selain kedua cara di atas, sekarang banyak dipakai terapi menggunakan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas.
Tabel 2.1. Klasifikasi Terapi Medikamentosa pada BPH (Cooperberg,
2013)
3) Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila pasien BPH mengalami retensi
urin yang menetap atau berulang, inkontinensia overflow, ISK berulang,
adanya batu buli atau divertikel, hematuria yang menetap setelah
medikamentosa, atau dilatasi saluran kemih bagian atas akibat obstruksi
dengan atau tanpa insufisiensi ginjal (indikasi operasi absolut). Selain itu
adanya gejala saluran kemih bagian bawah yang menetap setelah terapi
konservatif atau medikamentosa merupakan indikasi operasi relatif.
(Oelke, M., dkk., 2013).
20
- TURP (Transurethral Resection of the Prostate)
95% terapi operatif dari penderita BPH dapat dilakukan cara
endoskopi, di mana tindakan ini menggunakan pembiusan spinal dan lama
perawatan yang relatif singkat. TURP menjadi gold standard tindakan
operatif pada penderita BPH. Dikatakan TURP dapat mengurangi gejala
saluran kemih bagian bawah dan menurunkan IPSS pada 94,7% kasus.
(Bozdar, 2010).
Di Indonesia, tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
masih merupakan pengobatan terpilih untuk pasien BPH. Pada pasien
dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful
waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur
bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga 90%,
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100% (IAUI Guidelines, 2003).
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan
yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi.
Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari
45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90
menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1% (IAUI Guidelines, 2003).
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress
<1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5- 6,3%, kontraktur
leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil
0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari
21
pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9%
pada kelompok usia 80-84 tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan
manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade
terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfuse
berangsur-angsur menurun (IAUI Guidelines, 2003).
Resiko atau komplikasi dari TURP antara lain ejakulasi retrograde
sekitar 75%, impotensi 5-10%, inkontinensia 1%, dan komplikasi lain berupa
perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli, perforasi dari kapsul
prostat, dan sindrom TURP. (Cooperberg, 2013).
- Transurethral Incicion of the Prostat
Penderita dengan LUTS sedang atau berat dan prostat yang kecil
seringkali memiliki hiperplasia dari komisura posterior (elevasi leher buli),
di mana hal ini merupakan indikasi untuk insisi prostat. Keuntungannya
berupa tindakan lebih cepat, morbiditas lebih rendah dengan resiko
ejakulasi retrograde lebih rendah (25%).
- Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan
tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita dengan
divertikulum buli atau didapatkannya batu buli. Prostatektomi terbuka
dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu suprapubik (Millin procedure) dan
retropubik (Freyer procedure).
4) Terapi Minimal Invasive
- Terapi laser ( TULIP)
22
- Transurethral Electrovaporization of the Prostat
- Microwave Hypertermia
- Transurethral Needle Ablation of the Prostat
- High Intencity Focused Ultrasound
- Stent Intraurethral
2.2. Peran Inflamasi pada BPH
Pada prostat terdapat sel-sel inflamasi (leukosit) yang bertambah
seiring bertambahnya usia. Sel-sel ini terdiri dari limfosit B dan T,
makrofag, dan sel mast. Penyebab adanya infltrasi dari sel inflamasi pada
jaringan prostat masih belum jelas. Beberapa hipotesa telah dikemukakan,
di antaranya adalah infeksi bakteri, infeksi virus, refluks urin dengan
inflamasi kimiawi, faktor makanan, hormone, respon autoimun, dan
kombinasi dari beberapa faktor tersebut (De Nunzio, dkk. 2011).
Telah ditemukan penyebab infeksi seperti E. coli (bakteri gram
negatif), beberapa jenis virus seperti Human Papilloma Virus (HPV), virus
herpes simpleks tipe 2, dan sitomegalovirus, juga organisme yang
menyebar secara seksual seperti Neisseria gonorrhoea, Chlamydia
trachomatis, Treponema pallidum, and Trichomonas vaginalis. Selain
infeksi, refluks urin juga bisa menyebabkan inflamasi dengan adanya
kristal asam urat yang mengaktifkan makrofag dan mencetuskan
pengeluaran sitokin. Penyebab lain yang mungkin adalah respon autoimun.
Dengan adanya trauma pada prostat akibat beberapa etiologi yang telah
disebutkan, lapisan epitel yang rusak akan melepascan antigen yang
23
mencetuskan terjadinya proses autoimun. Estrogen secara umum telah
dipertimbangkan sebagai hormon pro inflamasi, diperkirakan menginduksi
inflamasi dengan mempengaruhi produksi Interferon-γ (IFN-γ) pada
limfosit. Estrogen juga menstimulasi Interleukin 4 (IL-4) yang akan menjadi
growth factor-β (TGF-β). Faktor makanan yang berpengaruh dalam proses
ini adalah makanan yang tinggi lemak, di mana pada percobaan binatang
terbukti meningkatkan distribusi dan aktivitas sel mast dan makrofag pada
prostat (De Nunzio, dkk. 2011).
Proses inflamasi pada prostat mencetuskan pelepasan sitokin.
Sitokin dan faktor pertumbuhan tidak hanya berinteraksi degan efektor
imunologi, namun juga dengan sel epitel dan stroma dari prostat. Kramer
dkk. pertama kali mengkonfirmasi bahwa jaringan BPH mengandung
limfosit T, limfosit B, makrofag yang teraktivasi secara kronis dan
menyebabkan pelepasan sitokin, yang menyebabkan pertumbuhan
fibromuskular pada BPH. Sitokin pro inflamasi yang terlibat di antaranya
adalah Interleukin-6 (IL-6), IL-8, dan IL-5. Pada saat sel T mencapai batas
tertentu, sel-sel di sekitarnya menjadi target dan dihancurkan,
meninggalkan ruang yang digantikan oleh nodul fibromuskuler (De Nunzio,
dkk. 2011).
Penna dkk bahwa sel stroma pada prostat dapat menjadi antigen
yang mengaktivasi alloantigen CD4 untuk memproduksi IFN-γ dan IL-17.
IFN-γ dan IL-17 akan mencetuskan produksi IL-6 dan IL-8, di mana IL-6
merupakan faktor pertumbuhan autokrin dan IL-8 adalah inductor parakrin
24
dari fibroblast growth factor 2 (FGF-2). Keduanya merupakan kunci dari
pertumbuhan sel epitel dan stroma prostat. Selain itu, pro inflamasi TGF-β
telah tebukti meregulasi proliferasi dan diferensiasi stroma pada BPH.
Sumber lain dari mediator inflamasi adalah adanya hipoksia lokal yang
terjadi, di mana mencetuskan adanya neovaskularisasi dan diferensiasi
fibroblas menjadi myofibroblas (De Nunzio, dkk. 2011).
Penelitian dari Daniels, dkk. menemukan adanya prostatitis pada 83%
dari pasien dengan BPH. Dikatakan bahwa pasien dengan prostatitis
memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terjadinya BPH (Krieger,
2008). Penelitian dari REDUCE memiliki hasil yang hampir sama, di mana
disebutkan 21,6% tidak didapatkan inflamasi, 78,4% terdapat inflamasi
(Nickel, dkk. 2008).
Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran
histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak
adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0,
derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul,
derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3
bila terdapat area inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara
menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila
tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila
terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat
infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi
kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio, 2011).
25
Tabel 2.2. Derajat Histologis dan Agresivitas pada Inflamasi Prostat (Sciarra, 2007).
2.3 Prostate Spesific Antigen (PSA) sebagai self-antigen
Pengukuran Prostate Spesific Antigen (PSA) telah digunakan secara
luas untuk mendeteksi dini keganasan dan memonitor terapi pada prostat.
Perlu ditekankan bahwa PSA tidaklah spesifik untuk kanker prostat, namun
PSA secara spesifik diproduksi oleh jaringan prostat. Kelainan pada
prostat selain keganasan juga dapat mempengaruhi kadar PSA serum,
seperti misalnya BPH atau prostatitis. (Amirrasouli dkk., 2010).
PSA adalah glikoprotein yang diproduksi terutama di sel epitel yang
tersusun pada duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada
jaringan prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum. Adanya
kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti penyakit pada prostat,
inflamasi, atau trauma, menyebabkan PSA lebih banyak memasuki sistem
sirkulasi. Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari
berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan
kanker prostat (Caroll, dkk., 2013).
26
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml (Wadgaonkar, dkk.,
2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflamasi pada
jaringan prostat berkorelasi positif dengan nilai PSA. Inflamasi
meningkatkan kadar PSA serum, penyebab paling memungkinkan adalah
adanya kerusakan integritas dari duktus pada prostat yang mengakibatkan
keluarnya PSA dari lumen duktus dan acinus ke interstitial. (Gui-zhong,
dkk., 2013).
Salah satu penelitian awal mengenai kadar PSA dengan inflamasi
histologis dilakukan oleh Brawn (1991), dengan kesimpulan bahwa
inflamasi pada prostat menyebabkan kenaikan kadar PSA serum.
Penelitian oleh Irani (1997) menunjukkan adanya hubungan antara
agresifitas inflamasi dengan peningkatan kadar PSA. Simardi (2004)
menyimpulkan bahwa luasnya inflamasi berkorelasi dengan peningkatan
PSA serum. Kandirali (2007) memodifikasi metode grading dari Irani, dan
menunjukkan adanya hubungan luas dan agresifitas dari inflamasi pada
prostat dengan peningkatan kadar PSA dan PSA density (PSAD) serta
penurunan kadar free PSA (fPSA). Gui-zhong (2013) menggunakan
klasifikasi prostatitis dari National Institute of Health (NIH), menunjukkan
perluasan dan derajat inflamasi berhubungan dengan peningkatan kadar
PSA serum. (Gui-zhong, dkk., 2013).
Pemeriksaan PSA serum yang umum dilakukan adalah PSA serum
total (tPSA). Perbandingan PSA serum total dengan volume prostat
disebut sebagai PSA density (PSAD). Sebagian besar PSA pada plasma
27
berikatan dengan inhibitor serine protease seperti α1-antichymotrypsin,
α1-protease inhibitor, dan α2-macroglobulin. 10%-30% dari PSA total (tPSA)
tidak berikatan dengan protein serum, disebut dengan PSA bebas (free
PSA/fPSA). Rasio fPSA dengan tPSA (fPSA/tPSA) disebut sebagai
persentase fPSA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya persentase
fPSA yang lebih rendah pada pasien dengan kanker prostat. Hal ini dapat
digunakan sebagai pemeriksaan yang lebih spesifik untuk mendeteksi
kanker prostat. Partin, dkk melaporkan bahwa f/tPSA pada serum dapat
lebih akurat dalam membedakan kanker prostat dengan penyakit
nonmalignansi sehingga dapat menghindari adanya biopsi yang tidak
perlu. Nilai normal f/tPSA yang direkomendasikan adalah 0,2-0,25.
(Amirraouli dkk., 2010).
Akhir-akhir ini terdapat dugaan bahwa PSA merupakan suatu
antigen yang menjadi salah satu pencetus terjadinya proses inflamasi
pada jaringan prostat. Sebuah penelitian pada pasien dengan prostatitis,
ditemukan adanya reaksi CD4 sel T dengan plasma seminal, di mana
antigen yang dikenali berasal dari postat. CD4 sel T pada pasien dengan
prostatitis memberikan respon proliferatif terhadap PSA (Ponniah, 2000).
Sampai saat ini, penyebab prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis
kronis masih belum diketahui. Sejak lama, infeksi telah digambarkan
sebagai penyebabnya. Namun pada kenyataannya, banyak pasien dengan
kronik prostatitis gagal diterapi dengan obat antibakterial. Hipotesa bahwa
prostatitis kronis atau sindrom nyeri pelvis kronis merupakan sebuah
28
penyakit autoimun didukung oleh beberapa hasil observasi. Pertama,
sifatnya yang kronis, berulang dan episodik konsisten dengan penyebab
autoimun. Kedua, umumnya pada jaringan prostat ditemukan infiltrat dari
sel-sel inflamasi. Penyebab adanya infiltrat tersebut, dan implikasi dari
keberadaannya masih belum diketahui dengan pasti. Yang ketiga, telah
dibuktikan bahwa CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis kronis atau
dengan sindrom nyeri pelvis kronis memberikan respon proliferatif
terhadap plasma seminal. Terakhir, didapatkan bahwa sitokin proinflamasi
TNF-α dan IL-1β meningkat pada cairan semen pada pria dengan
prostatitis kronis bila dibandingkan dengan pria normal (Ponniah, 2000).
Penelitian mengenai antigen pada prostat yang dapat menjadi target
respon dari T limfosit muncul dari penelitian mengenai imunoterapi pada
kanker prostat. Pertanyaan utamanya adalah apakah imunoterapi dapat
memberikan perbaikan pada penanganan prostatitis dan kanker prostat
(Ponniah, 2000).
2.4. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah sebuah istilah untuk berbagai
kondisi klinis yang bervariasi, mulai dari adanya bakteri pada urin tapa
disertai gejala, sampai infeksi berat pada ginjal yang disertai sepsis. ISK
merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling umum. Diperkirakan
terdapat 150 juta pasien didiagnosa dengan ISK per tahunnya. (Nguyen,
2012).
29
Dalam keadaan normal, urin bersifat steril. Saluran kemih terdiri dari
ginjal, system pengaliran (kaliks, pyelum, dan ureter), dan kandung kemih
(penyimpanan urin). Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih melalui
uretra yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar dari
kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat. (Shoskes, 2011).
Ada beberapa istilah penting dalam membahas ISK. Kontaminasi
adalah adanya organisme yang ada akibat proses pengambilan sampel
atau pada saat proses berkemih. Kolonisasi adalah adanya organisme
dalam urin, namun tidak menyebabkan gejala (bakteriuria asimptomatik).
Dikatakan infeksi saluran kemih bila terdapat reaksi atau respon dari tubuh
terhadap kuman patogen pada saluran kemih. (Shoskes, 2011).
ISK tanpa komplikasi terjadi pada pasien dengan saluran kemih yang
normal. Dikatakan terkomplikasi apabila terdapat infeksi dengan kondisi
yang memungkinkan terjadinya peningkatan bakteri dan penurunan
efektivitas terapi, di mana terdapat salah satu dari kondisi berikut:
- saluran kemih yang abnormal (BPH, batu, neurogenic bladder, dan
sebagainya)
- gangguan kekebalan tubuh
- bakteri multi-drug resistant
Sebagian besar ISK disebabkan oleh naiknya bakteri dari area
periuretra. Terjadinya ISK akibat penyebaran hematogen jarang terjadi,
biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Candida sp,
dan Mycobacterium tuberculosis, dan lebih sering terjadi pada pasien
30
dengan gangguan kekebalan dan pada neonatus. Sebagian besar ISK
disebabkan oleh spesies bakteri tunggal, setidaknya 80% disebabkan oleh
E. coli. Bakteri penyebab lain yang lebih jarang ditemukan adalah
Klebsiella, Proteus, dan Enterobacter. ISK yang didapat dari lingkungan
rumah sakit, organisme penyebab lebih bervariasi, termasuk di antaranya
Pseudomonas and Staphylococcus. (Nguyen, 2012).
Faktor resiko terjadi ISK (Shoskes, 2011) :
- Aliran urin yang menurun, dapat terjadi karena adanya obstruksi
(BPH, ca prostat, striktur uretra, batu), neurogenic bladder, asupan
cairan yang kurang
- Kolonisasi, akibat aktivitas seksual, spermisida, penurunan kadar
estrogen, obat antimikroba
- Peningkatan kuman, akibat kateterisasi, inkontinensia urin, urin
residu
Diagnosa ISK terkadang sulit ditegakkan dan bergantung pada
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin. Pada pemeriksaan urinalisis,
adanya sel darah putih lebih dari tiga per lapangan pandang
mengindikasikan adanya infeksi. Nitrit pada urin diproduksi dari reduksi
nitrat oleh bakteri gram negatif. Gold standard untuk mengidentifikasi ISK
adalah pemeriksaan jumlah bakteri dari kultur urin. Urin harus diambil dan
ditempatkan di wadah steril dan secepatnya dilakukan pemeriksaan kultur.
Apabila pemeriksaan tidak dapat dilakukan dengan cepat, maka urin dapat
disimpan dalam pendingin sampai 24 jam. Bahan kemudian didilusi dan
31
disebarkan dalam plat kultur. Masing-masing bakteri akan membentuk
koloni, jumlah koloni dihitung disesuaikan per milimeter urin (CFU/mL).
Secara umum, jumlah koloni >100.000 CFU/mL dapat menegakkan ISK
dan menyingkirkan kontaminasi, namun beberapa studi menunjukkan
bahwa kultur urin pada pasien ISK yang signifikan secara klinis dapat
menunjukkan jumlah koloni <100.000 CFU/mL. (Nguyen, 2012).
Pemakaian kateter urin menjadi salah satu faktor yang dapat memicu
terjadinya infeksi pada saluran kemih, termasuk reaksi inflamasi pada
jaringan prostat. Pemakaian kateter urin menurut Strategy for the Control
of Antimicrobial Resistance in Ireland (SARI, 2011) adalah intervensi untuk
mengosongkan kandung kemih dengan cara memasukkan kateter.
Pemakaian kateter urin dikategorikan menjadi jangka pendek (kurang dari
atau sama dengan 28 hari) dan jangka panjang (lebih dari 28 hari).
Sementara menurut panduan dari Infectious Diseases Society of America,
dikatakan jangka pendek bila pemakaian kateter urin kurang dari 30 hari,
dan jangka panjang bila pemakaian lebih atau sama dengan 30 hari
(Hooton, dkk. 2010).
Pembentukan biofilm pada permukaan kateter merupakan faktor yang
paling berperan untuk terjadinya bakteriuria. Biofilm adalah material
organik yang terbentuk dari pertumbuhan koloni mikroorganisme yang
memproduksi substansi mukopolisakarida ekstra seluler. Biofilm ini mulai
terbentuk dari sejak pertama kali kateter dimasukkan, di permukaan dalam
dan luar dari kateter. Organisme yang tumbuh dalam biofilm relatif
32
terlindung dari antimikroba dan mekanisme perlindungan tubuh (Nicolle,
2014).
Setelah terjadi kolonisasi periuretra, pathogen urin memiliki akses
menuju kandung kemih melalui uretra, menuju ginjal melalui ureter, dan
menuju prostat melalui duktus ejakulatorius. Uretra dan ureterovesicle
junction adalah mekanisme pertahanan yang mencegah naiknya kuman
pathogen. Di dalam kandung kemih, organisme berkembang dan
bertambah, membuat koloni pada mukosa buli, dan menginvasi
permukaan mukosa. Beberapa mekanisme buli dalam mencegah
bakteriuria adalah (Najar, 2009):
1.Mukopolisakarida yang melapisi epitel buli sehingga mencegah
kolonisasi.
2.Protein Tamm-Horsfall yang merupakan komponon uromucoid
melekat pada P-fimbria dan mencegah kolonisasi.
3.Aliran urin dan kontraksi buli yang mencegah terjadinya stasis urin
dan kolonisasi.
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan salah satu penyebab yang
paling umum pada infeksi yang terkait dengan pelayanan kesehatan, di
mana 80% di antaranya berhubungan dengan pemakaian kateter urin.
Penelitian prospektif pada 100 pasien, yang dilakukan oleh Jayakumar, dkk
(2011), 32% didapatkan pertumbuhan kuman dari kultur urin pada hari
kelima, sementara 68% tidak didapatkan pertumbuhan kuman pada urin
sampai hari ketujuh.
33
2.5 Prostatitis
Prostatitis adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat
disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri. Untuk menentukan penyebab
suatu prostatitis, diambil sampel urin dan getah kelenjar prostat melalui uji
4 tabung yang dilakukan oleh Meares (1976).
Uji 4 tabung terdiri atas :
1. 10 cc pertama, contoh urine yang dikemihkan pertama kali (VB1)
yang dimaksudkan untuk menilai keadaan mukosa uretra.
2. Urine porsi tengah (VB2), yang dimaksudkan untuk menilai mukosa
kandung kemih.
3. Getah prostat yang dikeluarkan melalui masase prostat atau
expressed prostatic secretion (EPS), yang dimaksud untuk menilai
keadaan kelenjar prostat.
4. Terakhir, urine yang dikemihkan setelah masase prostat.
Keempat contoh itu dianalisis secara mikroskopik dan dilakukan kultur
untuk mencari kuman penyebab infeksi.
34
Gambar 2.7. Teknik Pemeriksaan Empat Tabung (Nguyen, 2012).
National Institute of Health (NIH) memperkenalkan klasifikasi
prostatitis dalam 4 kategori yaitu (Krieger, 2008) :
1. Kategori I, prostatitis bakterial akut
2. Kategori II, prostatitis bakterial kronis
3. Kategori III, prostatitis non bakterial kronis atau sindroma pelvik
kronis. Pada kategori ini terdapat keluhan nyeri dan perasaan tidak
nyaman pada daerah pelvis yang telah berlangsung selama 3 bulan.
Kategori ini dibagi menjadi 2 subkategori yaitu, (IIIA) sindroma
pelvik kronis dengan inflamasi dan (IIIB) yaitu sindroma pelvik
kronis tanpa inflamasi.
4. Kategori IV, prostatitis inflamasi asimtomatik
35
2.5.1 Prostatitis Bakterial Akut
Prostatitis bakterial akut adalah inflamasi pada prostat yang
berkaitan dengan ISK. Diperkirakan infeksi diakibatkan oleh adanya infeksi
uretra yang naik ke atas atau refluks dari urin yang terinfeksi pada buli-buli.
Invasi bakteri menyebabkan leukosit (polimorfonuklear, limfosit, sel
plasma, dan makrofag) terlihat di sekitar sel acinus pada prostat. Sering
terjadi edema dan hyperemia pada sel stroma prostat. Pada infeksi yang
berkepanjangan, dapat ditemukan gambaran nekrosis pada bermacam
derajat dan pembentukan abses. (Nguyen, 2012).
Prostatitis bakterial akut lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa,
merupakan diagnosis urologi yang paling umum pada pria di bawah 50
tahun. Gejala umum berupa demam, menggigil, lemas, nyeri sendi, nyeri
otot, nyeri pada punggung bawah atau perineal. Gejala saluran kemih
berupa frekuensi, urgensi, dan disuria. Retensi urin dapat terjadi akibat dari
pembengkakan prostat. Pada pemeriksaan colok dubur, teraba kelenjar
prostat membesar, ireguler dan hangat, disertai dengan nyeri. Hasil
urinalisa menunjukkan adanya sel darah putih dan terkadang sel darah
merah. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya leukositosis. PSA level
biasanya meningkat.
Diagnosa prostatitis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis
dan kultur cairan prostat, uji 4 tabung. Namun pada prostatitis bakterial
akut, masase prostat tidak disarankan karena nyeri dan dapat
menyebabkan bakteremia. Kateter urin melalui uretra juga sebaiknya
36
dihindari. (Nguyen, 2012).
Kuman penyebab paling sering adalah kuman E. coli. Bakteri gram
negatif lain yang menyebabkan adalah Proteus, Klebsiella, Enterobacter,
Pseudomonas, dan Serratia. (Nguyen, 2012). Terapi diberikan antibiotika
yang sensitif terhadap kuman penyebab infeksi dan bila perlu pasien harus
dirawat di rumah sakit guna pemberian obat secara parenteral. Antibiotika
yang dipilih adalah golongan fluroquinolone, trimetoprim–sulfametoksazol
dan golongan aminoglikosida. Setelah keadaan membaik antibiotika per
oral diteruskan hingga 30 hari. (Murphy, 2009).
Jika terjadi gangguan miksi sampai menimbulkan retensi urin,
sebaiknya dilakukan pemasangan kateter suprapubik karena dalam
keadaan ini tindakan pemasangan kateter transuretra kadang-kadang sulit
dan akan menimbulkan infeksi (Murphy, et al., 2009).
2.5.2 Prostatitis bakterial kronis
Prostatitis bakterial kronis terjadi karena adanya infeksi saluran
kemih yang sering berulang. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah
disuria, urgensi frekuensi, nyeri perineal dan kadang-kadang nyeri saat
ejakulasi atau hematospermi. Pada pemeriksaan colok dubur mungkin
teraba krepitasi yang merupakan tanda dari suatu kalkulosa prostat.
Uji 4 tabung tampak pada EPS dan VB3 didapatkan kuman yang lebih
banyak daripada VB1 dan VB2, di samping itu pada pemeriksaan
mikroskopik pada EPS tampak oval fat body.
37
Pada prostatitis bakterial akut, hampir semua antibiotika dapat
menembus dinding plasma epitelium dan masuk ke dalam sel-sel kelenjar
prostat, tetapi pada infeksi kronis tidak banyak jenis antibiotika yang dapat
menembus dinding tersebut. Jenis antimikroba yang dapat digunakan
adalah trimetoprim–sulfametoksasol, doksisiklin, minosiklin, karbenisilin
dan fluoroquinolone Antimikroba diberikan dalam jangka lama hingga
pemeriksaan kultur ulangan tidak menunjukkan adanya kuman (Murphy et
al, 2009).
2.5.3 Prostatitis non bakterial
Sesuai dengan klasifikasi dari NIH, kategori III dibagi menjadi 2
subkategori, yaitu IIIA (prostatitis non bakterial dengan inflamasi) dan IIIB
(prostatitis non bakterial tanpa inflamasi). Prostatitis non bakterial adalah
reaksi inflamasi kelenjar prostat yang belum diketahui penyebabnya
(Krieger, 2008). Beberapa faktor yang dikemukakan menjadi peyebab
prostatitis non bakterial atau nyeri pelvis kronis adalah infeksi, autoimun,
penyakit neurologi dan penyakit psikiatri (Murphy, dkk. 2009).
Sindrom metabolik juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang
mencetuskan terjadinya inflamasi pada prostat. Kupelion dkk (2008) dan
Ozden (2007) menyatakan bahwa pasien dengan sindrom metabolik
secara signifikan berhubungan dengan kadar testosteron yang rendah, dan
memiliki nilai PSA yang lebih tinggi (Gorbachinsky, 2010). Jaringan
adiposa mensekresi berbagai macam substansi bioaktif yang dikenal
38
sebagai adipositokin, yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan
memiliki efek proinflamasi. Ditemukan juga peningkatan kadar sitokin
termasuk resistin, leptin, TNF-α, IL-6, CRP, fibrinogen, dan inhibitor aktivator
plasminogen 1 (PAI-1) pada pasien dengan obesitas (De Nunzio, 2012).