Upload
nguyenbao
View
219
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
10
kewajiban lain (misalnya kewajiban kepada keluarga) menjadi terganggu. Hal
tersebut terjadi karena satu kewajiban menghalangi kewajiban lain, diantaranya
karena timpangnya penggunaan waktu antara pekerjaan dengan keluarga.
Ketimpangan waktu tersebut dapat memunculkan rasa kekecewaan terhadap
pekerjaan. Persepsi pekerja akan keseimbangan waktu merupakan hal intrinsik
yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Pemahaman akan
keseimbangan penggunaan waktu antara urusan pekerjaan dengan keluarga
dituangkan dalam Work-Life Balances.
Berbagai penelitian mengenai keseimbangan waktu, ditemukan banyak
“benturan-benturan” tanggung jawab dan komitmen antara kewajiban kerja
dengan kewajiban lainnya. Di Amerika Serikat, lebih dari 80 % responden
penelitian, usia 20 - 39 tahun lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga
(Radcliff Public Policy Center; dalam Lockwood, 2003), sehingga terjadi
ketimpangan waktu pada kehidupan pribadi, yang diantaranya menyebabkan
ketidak-harmonisan keluarga bahkan perceraian. Usaha-usaha peningkatan
kesejahteraan organisasi sekaligus meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan
anggota organisasi dapat digali melalui dukungan organisasi terhadap Work-Life
Balances Initiatives, karena Work-Life Balances Initiatives sangat berpengaruh
terhadap psikis pekerja (Landauer, dalam Lockwood, 2003). Sebanyak 45 %
pekerja DuPont yang diarahkan dengan program Work-Life (suatu program agar
pekerja mampu menangani kewajiban pribadi dengan flexibilitas waktu kerja)
oleh perusahaan, diketahui hasilnya adalah banyak diantara pekerja setuju dan
sukarela untuk bekerja lebih keras untuk perusahaan ketika ada permintaan
tugas dan mau bertahan dengan perusahaan. Hal ini karena pekerja merasa
lebih puas karena diberi kesempatan untuk menyeimbangkan kewajiban pribadi
11
dengan pekerjaan (Landauer, dalam Lockwood, 2003). Bertolak dari hal tersebut,
diketahui bahwa dukungan organisasi akan keseimbangan waktu meningkatkan
rasa terikat (engaged) pekerja kepada organisasi, yang dapat meningkatkan
kepuasan kerja karena pekerja tersebut merasa lebih mampu untuk
menyeimbangkan waktu antara urusan pekerjaan dengan urusan keluarga.
Studi Pendahuluan Kancah
Lembaga Pendidikan X adalah sebuah Lembaga Kedinasan BUMN yang
memiliki sejarah yang sejalan dengan semangat perjuangan dan masa-masa
sesudahnya. Perjuangan nasional untuk menasionalisasi perusahaan asing,
terkait pergolakan fisik tahun 1945 - 1950, mengakibatkan banyak tenaga dan
staf ahli asing meninggalkan Indonesia karena faktor keamanan, diantaranya
akibat dari pendudukan Jepang, agresi militer Belanda serta pengakuan
kedaulatan RI yang menyebabkan berubahnya status kepemilikan perusahaan-
perusahaan asing menjadi milik Negara Indonesia. Guna mengisi kekurangan
tenaga ahli tersebut, maka pemerintah mendirikan sekolah kedinasan di Pulau
Jawa. Seiring dengan peningkatan permintaan pendidikan dan konsultansi, maka
oleh Menteri Pertanian RI pada tahun 1970 sekolah kedinasan tersebut
ditingkatkan menjadi Lembaga berdasar SK Menteri Pertanian RI No.
38/Kpts/2/1970. Tugas pokok Lembaga Pendidikan X adalah menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan dan konsultansi untuk petugas anggota BUMN perkebunan
di seluruh Indonesia.
Penggolongan sumberdaya manusia Lembaga Pendidikan X, terdiri atas
Pekerja Pimpinan dan Pekerja Pelaksana, sedangkan berdasar fungsinya,
terbagi dalam Tenaga Profesional, yaitu Pekerja Pimpinan yang memiliki
12
fungsional untuk melakukan konsultansi, pengajaran dan pelatihan, serta Tenaga
Administrasi, yaitu pekerja yang bertugas melakukan pekerjaan dan kegiatan non
pelatihan. Pelayanan Lembaga Pendidikan X mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, dengan semakin besarnya permintaan akan Diklat maupun konsultansi
kepada Lembaga Pendidikan X, baik dari Lingkup BUMN sedinas, BUMN lain
dinas maupun Non BUMN. Pelayanan permintaan tersebut dilayani baik di dalam
Lembaga maupun dilokasi dimana klien berada, sehingga Tenaga Profesional
Lembaga Pendidikan X seringkali melakukan perjalanan dinas.
Bertolak belakang dengan permintaan layanan, jumlah pekerja Lembaga
Pendidikan X tidak sebanding dengan permintaan klien, karena jumlah pekerja
yang cenderung turun sedangkan permintaan pelayanan cenderung naik.
Ketimpangan ini diantaranya terjadi karena terdapat beberapa pekerja yang
pensiun normal, mengajukan pensiun dini, meletakkan jabatan, cuti luar
tanggungan maupun tugas belajar di luar negeri. Berikut adalah tabel permintaan
pelayanan pendidikan dan konsultansi dalam 8 tahun terakhir:
Tabel 1 : Jumlah Realisasi Pelayanan Lembaga Pendidikan X (2007 - 2013)
Jenis Pelayanan Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Kursus Jabatan 23 23 23 24 27 28 28 28 Kursus Penyegar 214 171 210 225 167 180 182 185 Konsultansi 64 96 97 103 97 93 112 113
Sumberdaya Manusia dalam 8 tahun terakhir adalah sebagai berikut:
Tabel 2 : Jumlah Tenaga kerja Lembaga Pendidikan X 2005 – 2013 (Data Juli 2013)
Pekerja Lembaga Tahun
2005 2006 2007 2008 - 2010 2011 2012 2013
Tenaga Profesional 65 72 71 70 67 69 62 Tenaga Administrasi 342 325 231 202 177 171 170
Tabel diatas mengindikasikan adanya keadaan yang tidak seimbang antara
jumlah Tenaga Profesional dengan permintaan pelayanan dari klien, ketidak
seimbangan ini sebagai imbas dari belum tuntasnya proses regenerasi di
13
Lembaga Pendidikan X khususnya dalam regenerasi di bidang spesifikasi
kompetensi, karena banyak Tenaga Profesional Lembaga Pendidikan X sedang
menempuh pendidikan Master dan Doktor, baik di dalam maupun di luar negeri.
Keadaan yang tidak seimbang antara kuantitas Pekerja dengan permintaan
pelayanan menyebabkan Tenaga Profesional yang ada dimaksimalkan untuk
melayani permintaan klien, sehingga Tenaga Profesional Lembaga Pendidikan X
menangani beberapa tugas sekaligus. Kondisi tersebut berdampak dengan tidak
imbangnya pembagian waktu kerja dengan waktu keluarga, yang diasumsikan
Tenaga Profesional lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja untuk
urusan pekerjaan daripada urusan keluarga / pribadi. Jumlah total Tenaga
Profesional Lembaga Pendidikan X pada tahun 2013 yang berjumlah 62 orang,
Peneliti berasumsi bahwa jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah
permintaan klien, sehingga penggunaan waktu Tenaga Profesional menjadi tidak
imbang antara kewajiban pekerjaan dengan kewajiban keluarga.
Sebagai sebuah Lembaga Kedinasan, Lembaga Pendidikan X ditahbiskan
sebagai sebuah institusi Non Profit, sehingga sumber pendanaan untuk beban
operasional selama ini berasal dari perusahaan BUMN Anggota dan sumber
pendapatan lain yang sah. Melalui semangat kemandirian, iuran operasional
semakin mengecil dan ditargetkan pada tahun 2017 Lembaga Pendidikan X akan
mandiri dalam hal finansial. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penilaian
kinerja Tenaga Profesional di dasarkan atas tiga hal yaitu:
Tabel 3 : Aspek Penilaian Pekerja Lembaga Pendidikan X (2005 - 2013)
No. Aspek Penilaian Bobot (%) Parameter
1. Operasional 60 Mengajar, HKE, Studi Kasus, dll 2. Dinamis 30 Pengembangan Diri 3. Finansial 10 Kontribusi Keuangan
14
Aspek finansial dalam penilaian kinerja terkait kontribusi Tenaga Profesional
terhadap keuangan Lembaga, dimana Tenaga Profesional diberikan target
kontribusi dengan batasan tertentu kepada Lembaga dan target ini berkaitan
dengan besaran rewards yang akan diterima oleh Tenaga Profesional.
Keberhasilan pemenuhan target tersebut menyebabkan perbedaan besaran
rewards antar Tenaga Profesional dan menyebabkan banyak Tenaga Profesional
yang terpacu untuk memenuhi target dengan bekerja secara flextime.
Jumlah 62 orang tersebut adalah jumlah total keseluruhan Tenaga
Profesional, namun jumlah riil yang ada berjumlah kurang dari 62 orang, karena
terdapat Tenaga Profesional yang menjabat dalam Dewan Pimpinan, menjalani
tugas belajar maupun cuti. Berdasar jumlah Tenaga Profesional tersebut, Peneliti
berasumsi bahwa jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah permintaan
klien, sehingga terjadi ketimpangan antara kewajiban kerja terhadap kewajiban
keluarga. Hal ini terlihat dengan banyaknya Tenaga Profesional yang menangani
beberapa tugas sekaligus, melakukan pekerjaan lintas Biro, sering melakukan
perjalanan dinas, bekerja pada hari libur dan pulang Kantor melebihi waktu yang
ditetapkan. Peneliti berasumsi bahwa kondisi tidak seimbang antara waktu
bekerja dengan waktu keluarga, rentan menimbulkan keadaan yang disebut
sebagai Work-Life Imbalances yang berujung kepada turunnya tingkat kepuasan
Tenaga Profesional terhadap Lembaga.
Kepuasan Kerja
Dewasa ini, banyak sekali teori untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu
organisasi, salah satunya ditinjau dari seberapa jauh tingkat kepuasan pekerja
terhadap pekerjaannya. Kepuasan terhadap pekerjaan berkaitan dengan
15
kebahagiaan. Pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif (Hawthorne,
dalam Saari & Judge, 2004). Kepuasan kerja tidak hanya semata berkaitan
dengan besaran imbalan ekstrinsik semata, karena banyak faktor yang
mempengaruhi karena kepuasan kerja adalah hal yang sangat individu (Robbins,
dalam Almigo, 2004). Kepuasan pekerja ialah perasaan menyeluruh tentang
pekerjaan dan merupakan sikap individu terhadap pekerjaan mereka, sebagai
hasil dari persepsi pekerja terhadap pekerjaan tersebut seperti lingkungan,
kebijakan dan kompensasi (Pratama, 2012).
Kepuasan kerja ialah keseluruhan rekapitulasi evaluasi penilaian seseorang
terhadap keseluruhan lingkungan kerjanya (Weiss, dkk, dalam Chan, 2007) dan
merupakan sebuah reaksi kognitif, afektif dan penilaian individu terhadap
pekerjaannya (Spector, dalam Chan, 2007). Locke (Randhawa, 2007)
menyatakan kepuasan kerja adalah hal yang menyenangkan atau keadaan
emosi positif yang sebagai hasil penilaian suatu pekerjaan atau pengalaman
kerja yang dialaminya. Kepuasan kerja yang dirasakan oleh pekerja berkaitan
erat dengan sikap pekerja tersebut terhadap pekerjaannya, dan tercermin dari
sikap kerja ke arah positif. Semakin tinggi kepuasan pekerja maka akan semakin
positif hasil kerjanya (Dudija, 2009).
Salah satu keadaan yang mampu menimbulkan emosi positif sehingga
mampu membuat pekerja bahagia adalah perasaan aktual pekerja untuk dapat
memenuhi kewajiban terhadap pekerjaan dan keluarga, diantaranya melalui
keseimbangan pembagian waktu yang tepat antara kewajiban kerja dan
kewajiban keluarga. Pekerja dengan keseimbangan waktu yang baik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan, akan memiliki Employee Engagement
yang tinggi (Bakker dkk, 2001) dan akan mempengaruhi kepuasan pekerja
16
terhadap pekerjaannya. Kepuasan pekerja terhadap terhadap pekerjaannya,
berkaitan dengan bagaimana pekerja mempersepsi pekerjaannya, seperti
tantangan, tanggungjawab, imbal balik dan kebijakan organisasi (misalnya
kebijakan dukungan keseimbangan waktu kerja dan pribadi), karena kepuasan
kerja dan kepuasan hidup adalah resiprokal, dimana kepuasan kerja
mempengaruhi kepuasan hidup dan sebaliknya (Saari dan Judge, 2004)
sehingga kepuasan berkait dengan hal-hal yang bersifat psikis, karena terkait
dengan “Intrinsic Job Characteristics”, sehingga dapat dikatakan dipengaruhi
oleh Core-Self Evaluation, Persepsi terhadap Pekerjaan dan Traits Personal
(Saari & Judge, 2004), Traits Personal diantaranya kesadaran dan ekstraversi
(Judge, dkk, dalam Saari & Judge, 2004).
Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh persepsi pekerja sejauh-mana
keseimbangan waktu antara bekerja dan urusan pribadi yang dituangkan ke
dalam Work-Life Balances. Chan (2007) menyatakan ada empat faktor Family
Friendly Policies yang mempengaruhi kepuasan pekerja dan dapat disamakan
dengan Work-Life Balances Initiatives, Yaitu :
a. Pemampatan hari kerja per minggu (tetap sesuai standard jam kerja)
b. Flextime, yaitu pengaturan kerja yang “fleksibel” dan sesuai aturan, sehingga
memungkinkan pekerja menyeimbangkan tanggung jawabnya.
c. Kebijakan Ijin, memungkinkan pekerja berada diluar tempat kerja untuk
urusan pribadi namun tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya.
d. Program Asistensi Pekerja, sehingga organisasi mengenali interaksi antara
pekerjaan dan pribadi, beserta tawaran bantuan solusi masalah.
17
Keempat faktor Family Friendly Policies sejalan dengan hasil penelitian
mengenai hubungan antara keseimbangan waktu terhadap kepuasan kerja,
diantaranya oleh Lockwood (2003) dan Amarakoon & Wickramasinghe (2009)
yang menyatakan bahwa kebijakan organisasi untuk untuk menyeimbangkan
waktu pekerja antara bekerja dan rumah tangga, dapat meningkatkan kepuasan
pekerja tersebut terhadap organisasinya
Locke (Riyono, 1991), menyatakan beberapa dimensi yang mempengaruhi
kepuasan kerja, yaitu :
a. Pekerjaan itu sendiri : sejauhmana kerja dianggap menarik, memberikan
pelajaran, menantang, tanggung jawab
b. Upah : meliputi jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari upah,
seperti keadilan, kesesuaian, metode
c. Promosi : sejauhmana kesempatan untuk berkembang, dasar acuannya
d. Pengakuan : misalnya pujian atau feedback atas kinerja
e. Kesejahteraan : fasilitas yang diberikan dari pemberi kerja, misalnya bonus
tahunan, jaminan kesehatan, Santuan Hari Tua
f. Kondisi kerja : meliputi jam kerja, waktu istirahat, peralatan.
g. Penyeliaan kerja: Kemampuan penyelia untuk mengawasi, mempengaruhi,
membantu dan mendukung pekerjaan.
h. Rekan kerja : meliputi kompetensi dan kerjasama rekan kerja.
Dimensi-dimensi yang mempengaruhi kepuasan kerja Locke, oleh Luthans
(Riyono, 1991) dikerucutkan menjadi lima dimensi yang lebih tepat sasaran
mengenai kepuasan kerja, yaitu : Pekerjaan itu sendiri (termasuk didalamnya
adalah kondisi kerja), Upah (termasuk kesejahteraan), Promosi, Penyeliaan
18
(pengelolaan pekerja, pengakuan, masukan) dan Rekan kerja. Kepuasan kerja
dapat mempengaruhi individu untuk meletakkan jabatan (Mobley, dalam
Randhawa, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi pekerja untuk
meletakkan jabatan diantaranya adalah usia, kepuasan kerja, usia jabatan,
harapan dan komitment organisasi, namun faktor Kepuasan kerja menduduki
peringkat tertinggi (Randhawa, 2007). Salah satu urgensi dari peningkatan
kepuasan kerja adalah memberikan keuntungan bagi organisasi itu sendiri,
diantaranya mereduksi keinginan pekerja untuk meletakkan jabatan (Mobley,
dalam Randhawa, 2007) dan (Chan, 2007) yang dikhawatirkan akan membawa
kerugian bagi organisasi.
Work-Life Balances Initiatives
Pemahaman Work-Life Balances sangat bervariatif dan merupakan suatu
fenomena yang rumit, namun secara garis besar merujuk kepada suatu keadaan
yang mengandung pentingnya keseimbangan antara kewajiban pribadi dengan
kewajiban luar pribadi. Guest (Amarakoon & Wickramasinghe, 2009)
mengidentifikasi dua domain Work‐Life Balances, yaitu level organisasi dan
individual. Work-Life Balances adalah cara memelihara keseimbangan antara
ditempat kerja dan di rumah (De Cieri, dkk, 2002). Work-Life Balances adalah
tingkatan dimana individu merasa seimbang antara rasa keterikatan dan rasa
puas tehadap peran tanggung jawab pekerjaannya dan keluarga (Greenhaus,
Collins dan Shaw, 2003)”.
Sverko dkk (2002) merujuk Work-Life Balances sebagai sebuah harmonisasi
ataupun kepuasan akan perencanaan antara bekerja dan berkeluarga. Moss,
Smyrnios & Tharenou (Chan, 2007) mendefinisikan sebagai segala keuntungan
19
dan kondisi kerja yang dirancang oleh organisasi agar pekerja mampu
menyeimbangkan kehidupan kerja dan kehidupan pribadinya. Menurut Chan
(2007) Work-Life Balances sama dengan Family Friendly Policies, yaitu suatu
kebijakan untuk menyeimbangkan waktu antara bekerja dan keluarga, selama
pekerja tersebut memenuhi segala kewajiban terhadap organisasi. Lockwood
(2003) menyatakan Work-Life Balances sebagai suatu keadaan individu yang
seimbang antara tuntutan pekerjaan maupun tuntutan kehidupan personal.
Berdasar berbagai definisi diatas, dapat Peneliti simpulkan bahwa Work-Life
Balances adalah sebuah kesadaran akan pentingnya keseimbangan
penggunaan waktu antara pekerjaan dengan kegiatan pribadi, dimana pekerja
didukung oleh organisasi untuk melakukan aktivitas pribadinya demi kepuasan
dan keberhasilan pribadi serta organisasi.
Work-Life Initiatives adalah salah satu matra dari Work-Life Balances yang
merupakan kebijakan organisasi untuk memudahkan pekerja menyelesaikan
pekerjaan dan sekaligus menyelesaikan tanggung jawab pribadinya (Lockwood,
2003) dan hal pertama yang dilakukan sebelum sebuah organisasi
mengimplementasi Work-Life Balances Initiatives, adalah kesiapan dan
keterbukaan kultur organisasi untuk mendukung hal tersebut, karena tantangan
yang terpenting adalah equitabilitas (Lockwood, 2003). Pemberi kerja harus
menyadari ada pergeseran rewards dari ekstrinsik ke arah intrinsik yang lebih
menyentuh sisi psikis pekerja. Untuk mengetahui Work-Life Balances Initiatives
dan kesiapan organisasi dalam mendukung program tersebut, dapat ungkap
dengan mengukur Konsekuensi Negatif Pada Karier, Tuntutan Waktu
Organisasi, Harapan Organisasi Yang Mencampuri Tanggung Jawab
Keluarga dan Dukungan Personal Manajerial.
20
Menurut Lockwood (2003) Implementasi Work-Life Balances Initiatives
secara tepat guna, berpengaruh kepada Penghematan waktu, yaitu waktu yang
dihemat untuk memecahkan masalah personal / pekerjaan, ketika pekerja
diberikan fasilitas mengenai parenting, pendidikan dll. Selanjutnya berpengaruh
terhadap retensi kerja, hal ini terkait solusi konflik retensi, sehingga pekerja dapat
mengambil keputusan untuk tetap tinggal dengan perusahaan karena imbangnya
pekerjaan dan pribadi, Work-Life Balances juga dapat meningkatkan Motivasi
dan Produktivitas, karena terkait dengan motivasi dan produktivitas, sebanyak
45% responden pria dan 50% wanita menolak promosi jika posisi baru
mengurangi waktu pribadi / keluarga (Lockwood, 2003), kemudian berkurangnya
absensi sebagai penerapan Flexible Work Options dan Family Leave Policies
dan yang terakhir mampu menurunkan biaya perawatan kesehatan akibat stress
sebagai akibat semakin seimbangnya waktu individu.
Byrne (2005) menyatakan lima aspek yang terkait dengan Work-Life
Balances, yaitu : Pekerjaan (Work), Keluarga (Family), Lingkungan sosial
(Friends), kesehatan (Health) dan semangat (Spirit). Titik berat dalam Work-Life
Balances adalah pada banyaknya waktu yang digunakan dalam tiap domain
(Sverko dkk, 2002) dan sekurangnya memiliki tiga komponen yang harus
diseimbangkan, yaitu : Time Balances, keseimbangan waktu pekerja antara
keluarga (teman dan dirinya) dan organisasinya, Involvement Balances,
keseimbangan keterlibatan psikis pekerja antara keluarga dan organisasinya dan
Satisfaction Balances, keseimbangan tingkat kepuasan pekerja antara keluarga
dan organisasinya. Work-Life Balances dapat dibedakan dari sudut pandang
pekerja, yaitu dilema pekerja di dalam mengelola kewajiban kepada organisasi
dan keluarga, sedangkan dari sudut pandang Pemberi Kerja, yaitu tantangan
21
untuk menciptakan Supportive Company Culture yang mampu membuat pekerja
tetap fokus pada tugasnya (ketika ditempat tugas) namun mampu berperan
seimbang terhadap keluarga.
Dari berbagai definisi diatas, Peneliti memaklumkan bahwa Work-Life
Balances adalah sebuah kesadaran akan pentingnya sebuah keseimbangan
penggunaan waktu antara pekerjaan dengan kegiatan pribadi, dimana pekerja
didukung oleh organisasi untuk melakukan aktivitas pribadinya demi kepuasan
dan keberhasilan pribadi serta organisasi. Dukungan personal maupun
organisasi sangat berpengaruh terhadap pekerja dalam menyelesaikan konflik
kepentingan antara pekerjaan dan keluarga, dimana ada perbedaan yang sangat
signifikan antara pekerja yang didukung keluarga dengan pekerja yang tidak
didukung oleh keluarga dalam menyelesaikan tugas pribadi dan pekerjaan
(Friedman dan Greenhaus, dalam Lockwood, 2003). Dukungan personal tersebut
diantaranya diperoleh dengan kualitas dan kuantitas waktu untuk bersama
keluarga. Sehingga kombinasi dukungan keluarga dan organisasi tentunya akan
lebih baik dalam mengurangi “benturan-benturan” tanggung jawab yang ada.
Ketimpangan waktu antara pekerjaan dengan keluarga, dapat meruncing
menjadi konflik, diantaranya menyebabkan stress dan penurunan moral (Carlson,
dkk dalam Lockwood, 2003). Work-Life Balances sejalan dengan Work-Life
Conflict, dan dapat menimbulkan efek negatif bagi orang yang mengalaminya.
Ketika seorang pekerja mengalami kesulitan menjaga keseimbangan waktu,
keterlibatan fisik, psikis dan harapan yang diberikan keluarga dan organisasi
kepada dirinya, maka mengakibatkan Work-Life menjadi ImBalances, sehingga
muncul keadaan yang disebut sebagai Work-Life Conflict.
22
Konflik adalah ekspresi proses pertentangan antara para pihak yang saling
tergantung, sehingga para pihak yang terlibat dalam suatu aktivitas, bergantung
kepada aktivitas pihak lainnya (Wirawan, 2010). Work-Life Conflict dibedakan
menjadi dua bentuk, Work To Family dan Family To Work (Lockwood, 2003).
Work-Life Conflict adalah stresor akibat tekanan ketimpangan antara kerja dan
keluarga sebagai hasil tarik-ulur antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga
(Carlson dkk, dalam Lockwood, 2003), dengan indikasi sebagai berikut : turunnya
kesehatan fisik, mental serta kepuasan hidup, stress dan kelelahan emosi,
keinginan katarsis, meningkatnya kecemasan, depresi dan perasaan lelah/
psikosomatis, sehingga Work-Life Conflict berkaitan dengan kesehatan pekerja
(Frone dkk, dalam European Agency For Safety And Health At Work, 2011) dan
menjadi sebuah masalah besar di Eropa dengan sekitar seperempat warga
Eropa terganggu oleh Work-Life Conflict, dengan 27% pekerja di Eropa merasa
menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja, 28% merasa lebih banyak
menghabiskan waktu bersama keluarga, 36 % merasa tidak cukup waktu untuk
teman, keluarga dan kegiatan sosial dan 51% responden merasa tidak cukup
waktu untuk melakukan hobi dan hal pribadi (Kotowska dkk, European Agency
For Safety And Health At Work, 2011).
Employee Engagement
Implementasi Work-Life Balancess Initiatives dalam sebuah organisasi, akan
membuat pekerja semakin bertanggung jawab dan terikat (engaged) pada
pekerjaan dan akan memberikan keuntungan daya saing yang kritis pada
organisasi (Vance, 2006). Komitmen dan rasa terikat tersebut dijelaskan dalam
konsep Employee Engagement dan memiliki definisi yang sangat bervariatif.
23
Gallup Organization (Dicke, 2007) mendefinisikan sebagai bekerja dengan
semangat dan merasa terikat dengan sangat dalam kepada organisasinya.
Corporate Executive Board, Washington DC, menyatakan Engagement sebagai
suatu keadaan dimana individu secara emosi dan pikiran jernih commit (rela
melakukan pekerjaan) terhadap organisasinya sebagaimana yang diukur dengan
dengan tiga perilaku utama : Say, Stay And Strive (Bhalerao, 2013 dan
Jawaharrani, 2010). Employee Engagement merujuk kepada Keadaan Psikis
(keterlibatan, komitmen, saling melengkapi dll), Konstrak Performansi (perilaku
yang tampak, prososial, OCB, dll), disposisi (aspek positif) atau variasi kombinasi
ketiganya (Macey & Schneider, 2008).
Employee Engagement berkaitan dengan tingkat perhatian, keterikatan dan
favor seseorang ketika mengerjakan tugas yang diberikan. Rasa keterikatan ini
berkaitan dengan perasaan pekerja terhadap organisasinya. Dorongan / motivasi
instrinsik ini akan membuat pekerja mengambil sikap, misalnya untuk menyukai
dan terikat kepada institusinya. Ketika pekerja telah sukarela dan merasa terikat
(engaged) dengan Institusinya, maka dalam diri pekerja tersebut akan tumbuh
suatu kesadaran akan kelangsungan bisnis institusinya, dimana dengan
kesadaran inilah yang menjadikan pekerja berusaha dengan sebaik mungkin,
memberikan kemampuan terbaiknya dan melakukan tugas dengan sepenuh
hati, sebagai hasil dari dorongan / motivasi intrinsik dari dalam dirinya sendiri.
Kahn (Nusatrio dan Suharnomo, 2008) menyatakan Engagement merupakan
gagasan multidimensi, karena berkait dengan dengan emosi, kognitif dan fisik
yang terikat kepada perusahaan. Sejalan dengan itu, Macey & Scheider (2008)
menyatakan engagement adalah sebuah disposisi orientasi terhadap
pengalaman dunia luar dari titik pandang tertentu (misalnya, efektivitas positif,
24
antusiasme) dan akan dicerminkan ke dalam Psychological state engagement.
Gambar dibawah memperlihatkan bahwa kondisi tempat kerja (yang diantaranya
dinyatakan dalam Positive Views Of Life And Work : misalnya tentang
keseimbangan waktu kerja) akan berpengaruh kepada state engagement dan
behavioral engagement seseorang.
Trait Engagement State Engagement Behav. Engagement (Positive views of life & work ) (Feeling of energy, absorption ) (Extra-role behavior) Proactive Personality Satisfaction (Affective) OCB Autotelic Personality Involvement Proactive/person Trait Positive Affect Commitment Role Expansion conscientiousness Empowerment Adaptive
Gambar 1:
Framework For Understanding The Elements Of Employee Engagement
Menurut Vance (2006) terdapat sepuluh tema yang sering digunakan untuk
mengukur Engagement dalam organisasi, umumnya dengan menilai Level
keterikatan pekerja dengan perilaku organisasi. Kesepuluh tema tersebut adalah:
Bangga Terhadap Organisasinya, Kepuasan Terhadap Pemberi Kerja, Kepuasan
Kerja, Kesempatan Untuk Melakukan Terbaik Dalam Pekerjaan Yang
Menantang, Pengakuan dan Masukan Positif Atas Kontribusi, Dukungan
Personal Atasan, Upaya Melewati Batas Minimum, Mengerti Kaitan Antara
Pekerjaan dan Misi Organisasi, Prospek Masa Depan Untuk Berkembang serta
Intensi Untuk Bertahan Dengan Pekerjaan. Penerapan Work-Life Balances
secara signifikan mengarahkan rasa keterikatan, semangat moral pekerja,
meningkatkan kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas (Lockwood,
2003), sehingga Work-Life Balances Initiatives merupakan alat yang efektif untuk
Employee Attribute Variety, Chalenge, Autonomy
Transformational Leadership
Trust