15
10 kewajiban lain (misalnya kewajiban kepada keluarga) menjadi terganggu. Hal tersebut terjadi karena satu kewajiban menghalangi kewajiban lain, diantaranya karena timpangnya penggunaan waktu antara pekerjaan dengan keluarga. Ketimpangan waktu tersebut dapat memunculkan rasa kekecewaan terhadap pekerjaan. Persepsi pekerja akan keseimbangan waktu merupakan hal intrinsik yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Pemahaman akan keseimbangan penggunaan waktu antara urusan pekerjaan dengan keluarga dituangkan dalam Work-Life Balances. Berbagai penelitian mengenai keseimbangan waktu, ditemukan banyak “benturan-benturan” tanggung jawab dan komitmen antara kewajiban kerja dengan kewajiban lainnya. Di Amerika Serikat, lebih dari 80 % responden penelitian, usia 20 - 39 tahun lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga (Radcliff Public Policy Center; dalam Lockwood, 2003), sehingga terjadi ketimpangan waktu pada kehidupan pribadi, yang diantaranya menyebabkan ketidak-harmonisan keluarga bahkan perceraian. Usaha-usaha peningkatan kesejahteraan organisasi sekaligus meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan anggota organisasi dapat digali melalui dukungan organisasi terhadap Work-Life Balances Initiatives, karena Work-Life Balances Initiatives sangat berpengaruh terhadap psikis pekerja (Landauer, dalam Lockwood, 2003). Sebanyak 45 % pekerja DuPont yang diarahkan dengan program Work-Life (suatu program agar pekerja mampu menangani kewajiban pribadi dengan flexibilitas waktu kerja) oleh perusahaan, diketahui hasilnya adalah banyak diantara pekerja setuju dan sukarela untuk bekerja lebih keras untuk perusahaan ketika ada permintaan tugas dan mau bertahan dengan perusahaan. Hal ini karena pekerja merasa lebih puas karena diberi kesempatan untuk menyeimbangkan kewajiban pribadi

“benturan benturan” tanggung jawab dan komitmenetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70577/potongan/S2-2014... · a. Pemampatan hari kerja per minggu (tetap sesuai standard jam

Embed Size (px)

Citation preview

10

kewajiban lain (misalnya kewajiban kepada keluarga) menjadi terganggu. Hal

tersebut terjadi karena satu kewajiban menghalangi kewajiban lain, diantaranya

karena timpangnya penggunaan waktu antara pekerjaan dengan keluarga.

Ketimpangan waktu tersebut dapat memunculkan rasa kekecewaan terhadap

pekerjaan. Persepsi pekerja akan keseimbangan waktu merupakan hal intrinsik

yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Pemahaman akan

keseimbangan penggunaan waktu antara urusan pekerjaan dengan keluarga

dituangkan dalam Work-Life Balances.

Berbagai penelitian mengenai keseimbangan waktu, ditemukan banyak

“benturan-benturan” tanggung jawab dan komitmen antara kewajiban kerja

dengan kewajiban lainnya. Di Amerika Serikat, lebih dari 80 % responden

penelitian, usia 20 - 39 tahun lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga

(Radcliff Public Policy Center; dalam Lockwood, 2003), sehingga terjadi

ketimpangan waktu pada kehidupan pribadi, yang diantaranya menyebabkan

ketidak-harmonisan keluarga bahkan perceraian. Usaha-usaha peningkatan

kesejahteraan organisasi sekaligus meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan

anggota organisasi dapat digali melalui dukungan organisasi terhadap Work-Life

Balances Initiatives, karena Work-Life Balances Initiatives sangat berpengaruh

terhadap psikis pekerja (Landauer, dalam Lockwood, 2003). Sebanyak 45 %

pekerja DuPont yang diarahkan dengan program Work-Life (suatu program agar

pekerja mampu menangani kewajiban pribadi dengan flexibilitas waktu kerja)

oleh perusahaan, diketahui hasilnya adalah banyak diantara pekerja setuju dan

sukarela untuk bekerja lebih keras untuk perusahaan ketika ada permintaan

tugas dan mau bertahan dengan perusahaan. Hal ini karena pekerja merasa

lebih puas karena diberi kesempatan untuk menyeimbangkan kewajiban pribadi

11

dengan pekerjaan (Landauer, dalam Lockwood, 2003). Bertolak dari hal tersebut,

diketahui bahwa dukungan organisasi akan keseimbangan waktu meningkatkan

rasa terikat (engaged) pekerja kepada organisasi, yang dapat meningkatkan

kepuasan kerja karena pekerja tersebut merasa lebih mampu untuk

menyeimbangkan waktu antara urusan pekerjaan dengan urusan keluarga.

Studi Pendahuluan Kancah

Lembaga Pendidikan X adalah sebuah Lembaga Kedinasan BUMN yang

memiliki sejarah yang sejalan dengan semangat perjuangan dan masa-masa

sesudahnya. Perjuangan nasional untuk menasionalisasi perusahaan asing,

terkait pergolakan fisik tahun 1945 - 1950, mengakibatkan banyak tenaga dan

staf ahli asing meninggalkan Indonesia karena faktor keamanan, diantaranya

akibat dari pendudukan Jepang, agresi militer Belanda serta pengakuan

kedaulatan RI yang menyebabkan berubahnya status kepemilikan perusahaan-

perusahaan asing menjadi milik Negara Indonesia. Guna mengisi kekurangan

tenaga ahli tersebut, maka pemerintah mendirikan sekolah kedinasan di Pulau

Jawa. Seiring dengan peningkatan permintaan pendidikan dan konsultansi, maka

oleh Menteri Pertanian RI pada tahun 1970 sekolah kedinasan tersebut

ditingkatkan menjadi Lembaga berdasar SK Menteri Pertanian RI No.

38/Kpts/2/1970. Tugas pokok Lembaga Pendidikan X adalah menyelenggarakan

pendidikan, pelatihan dan konsultansi untuk petugas anggota BUMN perkebunan

di seluruh Indonesia.

Penggolongan sumberdaya manusia Lembaga Pendidikan X, terdiri atas

Pekerja Pimpinan dan Pekerja Pelaksana, sedangkan berdasar fungsinya,

terbagi dalam Tenaga Profesional, yaitu Pekerja Pimpinan yang memiliki

12

fungsional untuk melakukan konsultansi, pengajaran dan pelatihan, serta Tenaga

Administrasi, yaitu pekerja yang bertugas melakukan pekerjaan dan kegiatan non

pelatihan. Pelayanan Lembaga Pendidikan X mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun, dengan semakin besarnya permintaan akan Diklat maupun konsultansi

kepada Lembaga Pendidikan X, baik dari Lingkup BUMN sedinas, BUMN lain

dinas maupun Non BUMN. Pelayanan permintaan tersebut dilayani baik di dalam

Lembaga maupun dilokasi dimana klien berada, sehingga Tenaga Profesional

Lembaga Pendidikan X seringkali melakukan perjalanan dinas.

Bertolak belakang dengan permintaan layanan, jumlah pekerja Lembaga

Pendidikan X tidak sebanding dengan permintaan klien, karena jumlah pekerja

yang cenderung turun sedangkan permintaan pelayanan cenderung naik.

Ketimpangan ini diantaranya terjadi karena terdapat beberapa pekerja yang

pensiun normal, mengajukan pensiun dini, meletakkan jabatan, cuti luar

tanggungan maupun tugas belajar di luar negeri. Berikut adalah tabel permintaan

pelayanan pendidikan dan konsultansi dalam 8 tahun terakhir:

Tabel 1 : Jumlah Realisasi Pelayanan Lembaga Pendidikan X (2007 - 2013)

Jenis Pelayanan Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Kursus Jabatan 23 23 23 24 27 28 28 28 Kursus Penyegar 214 171 210 225 167 180 182 185 Konsultansi 64 96 97 103 97 93 112 113

Sumberdaya Manusia dalam 8 tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Tabel 2 : Jumlah Tenaga kerja Lembaga Pendidikan X 2005 – 2013 (Data Juli 2013)

Pekerja Lembaga Tahun

2005 2006 2007 2008 - 2010 2011 2012 2013

Tenaga Profesional 65 72 71 70 67 69 62 Tenaga Administrasi 342 325 231 202 177 171 170

Tabel diatas mengindikasikan adanya keadaan yang tidak seimbang antara

jumlah Tenaga Profesional dengan permintaan pelayanan dari klien, ketidak

seimbangan ini sebagai imbas dari belum tuntasnya proses regenerasi di

13

Lembaga Pendidikan X khususnya dalam regenerasi di bidang spesifikasi

kompetensi, karena banyak Tenaga Profesional Lembaga Pendidikan X sedang

menempuh pendidikan Master dan Doktor, baik di dalam maupun di luar negeri.

Keadaan yang tidak seimbang antara kuantitas Pekerja dengan permintaan

pelayanan menyebabkan Tenaga Profesional yang ada dimaksimalkan untuk

melayani permintaan klien, sehingga Tenaga Profesional Lembaga Pendidikan X

menangani beberapa tugas sekaligus. Kondisi tersebut berdampak dengan tidak

imbangnya pembagian waktu kerja dengan waktu keluarga, yang diasumsikan

Tenaga Profesional lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja untuk

urusan pekerjaan daripada urusan keluarga / pribadi. Jumlah total Tenaga

Profesional Lembaga Pendidikan X pada tahun 2013 yang berjumlah 62 orang,

Peneliti berasumsi bahwa jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah

permintaan klien, sehingga penggunaan waktu Tenaga Profesional menjadi tidak

imbang antara kewajiban pekerjaan dengan kewajiban keluarga.

Sebagai sebuah Lembaga Kedinasan, Lembaga Pendidikan X ditahbiskan

sebagai sebuah institusi Non Profit, sehingga sumber pendanaan untuk beban

operasional selama ini berasal dari perusahaan BUMN Anggota dan sumber

pendapatan lain yang sah. Melalui semangat kemandirian, iuran operasional

semakin mengecil dan ditargetkan pada tahun 2017 Lembaga Pendidikan X akan

mandiri dalam hal finansial. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penilaian

kinerja Tenaga Profesional di dasarkan atas tiga hal yaitu:

Tabel 3 : Aspek Penilaian Pekerja Lembaga Pendidikan X (2005 - 2013)

No. Aspek Penilaian Bobot (%) Parameter

1. Operasional 60 Mengajar, HKE, Studi Kasus, dll 2. Dinamis 30 Pengembangan Diri 3. Finansial 10 Kontribusi Keuangan

14

Aspek finansial dalam penilaian kinerja terkait kontribusi Tenaga Profesional

terhadap keuangan Lembaga, dimana Tenaga Profesional diberikan target

kontribusi dengan batasan tertentu kepada Lembaga dan target ini berkaitan

dengan besaran rewards yang akan diterima oleh Tenaga Profesional.

Keberhasilan pemenuhan target tersebut menyebabkan perbedaan besaran

rewards antar Tenaga Profesional dan menyebabkan banyak Tenaga Profesional

yang terpacu untuk memenuhi target dengan bekerja secara flextime.

Jumlah 62 orang tersebut adalah jumlah total keseluruhan Tenaga

Profesional, namun jumlah riil yang ada berjumlah kurang dari 62 orang, karena

terdapat Tenaga Profesional yang menjabat dalam Dewan Pimpinan, menjalani

tugas belajar maupun cuti. Berdasar jumlah Tenaga Profesional tersebut, Peneliti

berasumsi bahwa jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah permintaan

klien, sehingga terjadi ketimpangan antara kewajiban kerja terhadap kewajiban

keluarga. Hal ini terlihat dengan banyaknya Tenaga Profesional yang menangani

beberapa tugas sekaligus, melakukan pekerjaan lintas Biro, sering melakukan

perjalanan dinas, bekerja pada hari libur dan pulang Kantor melebihi waktu yang

ditetapkan. Peneliti berasumsi bahwa kondisi tidak seimbang antara waktu

bekerja dengan waktu keluarga, rentan menimbulkan keadaan yang disebut

sebagai Work-Life Imbalances yang berujung kepada turunnya tingkat kepuasan

Tenaga Profesional terhadap Lembaga.

Kepuasan Kerja

Dewasa ini, banyak sekali teori untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu

organisasi, salah satunya ditinjau dari seberapa jauh tingkat kepuasan pekerja

terhadap pekerjaannya. Kepuasan terhadap pekerjaan berkaitan dengan

15

kebahagiaan. Pekerja yang bahagia adalah pekerja yang produktif (Hawthorne,

dalam Saari & Judge, 2004). Kepuasan kerja tidak hanya semata berkaitan

dengan besaran imbalan ekstrinsik semata, karena banyak faktor yang

mempengaruhi karena kepuasan kerja adalah hal yang sangat individu (Robbins,

dalam Almigo, 2004). Kepuasan pekerja ialah perasaan menyeluruh tentang

pekerjaan dan merupakan sikap individu terhadap pekerjaan mereka, sebagai

hasil dari persepsi pekerja terhadap pekerjaan tersebut seperti lingkungan,

kebijakan dan kompensasi (Pratama, 2012).

Kepuasan kerja ialah keseluruhan rekapitulasi evaluasi penilaian seseorang

terhadap keseluruhan lingkungan kerjanya (Weiss, dkk, dalam Chan, 2007) dan

merupakan sebuah reaksi kognitif, afektif dan penilaian individu terhadap

pekerjaannya (Spector, dalam Chan, 2007). Locke (Randhawa, 2007)

menyatakan kepuasan kerja adalah hal yang menyenangkan atau keadaan

emosi positif yang sebagai hasil penilaian suatu pekerjaan atau pengalaman

kerja yang dialaminya. Kepuasan kerja yang dirasakan oleh pekerja berkaitan

erat dengan sikap pekerja tersebut terhadap pekerjaannya, dan tercermin dari

sikap kerja ke arah positif. Semakin tinggi kepuasan pekerja maka akan semakin

positif hasil kerjanya (Dudija, 2009).

Salah satu keadaan yang mampu menimbulkan emosi positif sehingga

mampu membuat pekerja bahagia adalah perasaan aktual pekerja untuk dapat

memenuhi kewajiban terhadap pekerjaan dan keluarga, diantaranya melalui

keseimbangan pembagian waktu yang tepat antara kewajiban kerja dan

kewajiban keluarga. Pekerja dengan keseimbangan waktu yang baik dan

kehidupan sosial yang menyenangkan, akan memiliki Employee Engagement

yang tinggi (Bakker dkk, 2001) dan akan mempengaruhi kepuasan pekerja

16

terhadap pekerjaannya. Kepuasan pekerja terhadap terhadap pekerjaannya,

berkaitan dengan bagaimana pekerja mempersepsi pekerjaannya, seperti

tantangan, tanggungjawab, imbal balik dan kebijakan organisasi (misalnya

kebijakan dukungan keseimbangan waktu kerja dan pribadi), karena kepuasan

kerja dan kepuasan hidup adalah resiprokal, dimana kepuasan kerja

mempengaruhi kepuasan hidup dan sebaliknya (Saari dan Judge, 2004)

sehingga kepuasan berkait dengan hal-hal yang bersifat psikis, karena terkait

dengan “Intrinsic Job Characteristics”, sehingga dapat dikatakan dipengaruhi

oleh Core-Self Evaluation, Persepsi terhadap Pekerjaan dan Traits Personal

(Saari & Judge, 2004), Traits Personal diantaranya kesadaran dan ekstraversi

(Judge, dkk, dalam Saari & Judge, 2004).

Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh persepsi pekerja sejauh-mana

keseimbangan waktu antara bekerja dan urusan pribadi yang dituangkan ke

dalam Work-Life Balances. Chan (2007) menyatakan ada empat faktor Family

Friendly Policies yang mempengaruhi kepuasan pekerja dan dapat disamakan

dengan Work-Life Balances Initiatives, Yaitu :

a. Pemampatan hari kerja per minggu (tetap sesuai standard jam kerja)

b. Flextime, yaitu pengaturan kerja yang “fleksibel” dan sesuai aturan, sehingga

memungkinkan pekerja menyeimbangkan tanggung jawabnya.

c. Kebijakan Ijin, memungkinkan pekerja berada diluar tempat kerja untuk

urusan pribadi namun tetap bertanggung jawab atas pekerjaannya.

d. Program Asistensi Pekerja, sehingga organisasi mengenali interaksi antara

pekerjaan dan pribadi, beserta tawaran bantuan solusi masalah.

17

Keempat faktor Family Friendly Policies sejalan dengan hasil penelitian

mengenai hubungan antara keseimbangan waktu terhadap kepuasan kerja,

diantaranya oleh Lockwood (2003) dan Amarakoon & Wickramasinghe (2009)

yang menyatakan bahwa kebijakan organisasi untuk untuk menyeimbangkan

waktu pekerja antara bekerja dan rumah tangga, dapat meningkatkan kepuasan

pekerja tersebut terhadap organisasinya

Locke (Riyono, 1991), menyatakan beberapa dimensi yang mempengaruhi

kepuasan kerja, yaitu :

a. Pekerjaan itu sendiri : sejauhmana kerja dianggap menarik, memberikan

pelajaran, menantang, tanggung jawab

b. Upah : meliputi jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari upah,

seperti keadilan, kesesuaian, metode

c. Promosi : sejauhmana kesempatan untuk berkembang, dasar acuannya

d. Pengakuan : misalnya pujian atau feedback atas kinerja

e. Kesejahteraan : fasilitas yang diberikan dari pemberi kerja, misalnya bonus

tahunan, jaminan kesehatan, Santuan Hari Tua

f. Kondisi kerja : meliputi jam kerja, waktu istirahat, peralatan.

g. Penyeliaan kerja: Kemampuan penyelia untuk mengawasi, mempengaruhi,

membantu dan mendukung pekerjaan.

h. Rekan kerja : meliputi kompetensi dan kerjasama rekan kerja.

Dimensi-dimensi yang mempengaruhi kepuasan kerja Locke, oleh Luthans

(Riyono, 1991) dikerucutkan menjadi lima dimensi yang lebih tepat sasaran

mengenai kepuasan kerja, yaitu : Pekerjaan itu sendiri (termasuk didalamnya

adalah kondisi kerja), Upah (termasuk kesejahteraan), Promosi, Penyeliaan

18

(pengelolaan pekerja, pengakuan, masukan) dan Rekan kerja. Kepuasan kerja

dapat mempengaruhi individu untuk meletakkan jabatan (Mobley, dalam

Randhawa, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi pekerja untuk

meletakkan jabatan diantaranya adalah usia, kepuasan kerja, usia jabatan,

harapan dan komitment organisasi, namun faktor Kepuasan kerja menduduki

peringkat tertinggi (Randhawa, 2007). Salah satu urgensi dari peningkatan

kepuasan kerja adalah memberikan keuntungan bagi organisasi itu sendiri,

diantaranya mereduksi keinginan pekerja untuk meletakkan jabatan (Mobley,

dalam Randhawa, 2007) dan (Chan, 2007) yang dikhawatirkan akan membawa

kerugian bagi organisasi.

Work-Life Balances Initiatives

Pemahaman Work-Life Balances sangat bervariatif dan merupakan suatu

fenomena yang rumit, namun secara garis besar merujuk kepada suatu keadaan

yang mengandung pentingnya keseimbangan antara kewajiban pribadi dengan

kewajiban luar pribadi. Guest (Amarakoon & Wickramasinghe, 2009)

mengidentifikasi dua domain Work‐Life Balances, yaitu level organisasi dan

individual. Work-Life Balances adalah cara memelihara keseimbangan antara

ditempat kerja dan di rumah (De Cieri, dkk, 2002). Work-Life Balances adalah

tingkatan dimana individu merasa seimbang antara rasa keterikatan dan rasa

puas tehadap peran tanggung jawab pekerjaannya dan keluarga (Greenhaus,

Collins dan Shaw, 2003)”.

Sverko dkk (2002) merujuk Work-Life Balances sebagai sebuah harmonisasi

ataupun kepuasan akan perencanaan antara bekerja dan berkeluarga. Moss,

Smyrnios & Tharenou (Chan, 2007) mendefinisikan sebagai segala keuntungan

19

dan kondisi kerja yang dirancang oleh organisasi agar pekerja mampu

menyeimbangkan kehidupan kerja dan kehidupan pribadinya. Menurut Chan

(2007) Work-Life Balances sama dengan Family Friendly Policies, yaitu suatu

kebijakan untuk menyeimbangkan waktu antara bekerja dan keluarga, selama

pekerja tersebut memenuhi segala kewajiban terhadap organisasi. Lockwood

(2003) menyatakan Work-Life Balances sebagai suatu keadaan individu yang

seimbang antara tuntutan pekerjaan maupun tuntutan kehidupan personal.

Berdasar berbagai definisi diatas, dapat Peneliti simpulkan bahwa Work-Life

Balances adalah sebuah kesadaran akan pentingnya keseimbangan

penggunaan waktu antara pekerjaan dengan kegiatan pribadi, dimana pekerja

didukung oleh organisasi untuk melakukan aktivitas pribadinya demi kepuasan

dan keberhasilan pribadi serta organisasi.

Work-Life Initiatives adalah salah satu matra dari Work-Life Balances yang

merupakan kebijakan organisasi untuk memudahkan pekerja menyelesaikan

pekerjaan dan sekaligus menyelesaikan tanggung jawab pribadinya (Lockwood,

2003) dan hal pertama yang dilakukan sebelum sebuah organisasi

mengimplementasi Work-Life Balances Initiatives, adalah kesiapan dan

keterbukaan kultur organisasi untuk mendukung hal tersebut, karena tantangan

yang terpenting adalah equitabilitas (Lockwood, 2003). Pemberi kerja harus

menyadari ada pergeseran rewards dari ekstrinsik ke arah intrinsik yang lebih

menyentuh sisi psikis pekerja. Untuk mengetahui Work-Life Balances Initiatives

dan kesiapan organisasi dalam mendukung program tersebut, dapat ungkap

dengan mengukur Konsekuensi Negatif Pada Karier, Tuntutan Waktu

Organisasi, Harapan Organisasi Yang Mencampuri Tanggung Jawab

Keluarga dan Dukungan Personal Manajerial.

20

Menurut Lockwood (2003) Implementasi Work-Life Balances Initiatives

secara tepat guna, berpengaruh kepada Penghematan waktu, yaitu waktu yang

dihemat untuk memecahkan masalah personal / pekerjaan, ketika pekerja

diberikan fasilitas mengenai parenting, pendidikan dll. Selanjutnya berpengaruh

terhadap retensi kerja, hal ini terkait solusi konflik retensi, sehingga pekerja dapat

mengambil keputusan untuk tetap tinggal dengan perusahaan karena imbangnya

pekerjaan dan pribadi, Work-Life Balances juga dapat meningkatkan Motivasi

dan Produktivitas, karena terkait dengan motivasi dan produktivitas, sebanyak

45% responden pria dan 50% wanita menolak promosi jika posisi baru

mengurangi waktu pribadi / keluarga (Lockwood, 2003), kemudian berkurangnya

absensi sebagai penerapan Flexible Work Options dan Family Leave Policies

dan yang terakhir mampu menurunkan biaya perawatan kesehatan akibat stress

sebagai akibat semakin seimbangnya waktu individu.

Byrne (2005) menyatakan lima aspek yang terkait dengan Work-Life

Balances, yaitu : Pekerjaan (Work), Keluarga (Family), Lingkungan sosial

(Friends), kesehatan (Health) dan semangat (Spirit). Titik berat dalam Work-Life

Balances adalah pada banyaknya waktu yang digunakan dalam tiap domain

(Sverko dkk, 2002) dan sekurangnya memiliki tiga komponen yang harus

diseimbangkan, yaitu : Time Balances, keseimbangan waktu pekerja antara

keluarga (teman dan dirinya) dan organisasinya, Involvement Balances,

keseimbangan keterlibatan psikis pekerja antara keluarga dan organisasinya dan

Satisfaction Balances, keseimbangan tingkat kepuasan pekerja antara keluarga

dan organisasinya. Work-Life Balances dapat dibedakan dari sudut pandang

pekerja, yaitu dilema pekerja di dalam mengelola kewajiban kepada organisasi

dan keluarga, sedangkan dari sudut pandang Pemberi Kerja, yaitu tantangan

21

untuk menciptakan Supportive Company Culture yang mampu membuat pekerja

tetap fokus pada tugasnya (ketika ditempat tugas) namun mampu berperan

seimbang terhadap keluarga.

Dari berbagai definisi diatas, Peneliti memaklumkan bahwa Work-Life

Balances adalah sebuah kesadaran akan pentingnya sebuah keseimbangan

penggunaan waktu antara pekerjaan dengan kegiatan pribadi, dimana pekerja

didukung oleh organisasi untuk melakukan aktivitas pribadinya demi kepuasan

dan keberhasilan pribadi serta organisasi. Dukungan personal maupun

organisasi sangat berpengaruh terhadap pekerja dalam menyelesaikan konflik

kepentingan antara pekerjaan dan keluarga, dimana ada perbedaan yang sangat

signifikan antara pekerja yang didukung keluarga dengan pekerja yang tidak

didukung oleh keluarga dalam menyelesaikan tugas pribadi dan pekerjaan

(Friedman dan Greenhaus, dalam Lockwood, 2003). Dukungan personal tersebut

diantaranya diperoleh dengan kualitas dan kuantitas waktu untuk bersama

keluarga. Sehingga kombinasi dukungan keluarga dan organisasi tentunya akan

lebih baik dalam mengurangi “benturan-benturan” tanggung jawab yang ada.

Ketimpangan waktu antara pekerjaan dengan keluarga, dapat meruncing

menjadi konflik, diantaranya menyebabkan stress dan penurunan moral (Carlson,

dkk dalam Lockwood, 2003). Work-Life Balances sejalan dengan Work-Life

Conflict, dan dapat menimbulkan efek negatif bagi orang yang mengalaminya.

Ketika seorang pekerja mengalami kesulitan menjaga keseimbangan waktu,

keterlibatan fisik, psikis dan harapan yang diberikan keluarga dan organisasi

kepada dirinya, maka mengakibatkan Work-Life menjadi ImBalances, sehingga

muncul keadaan yang disebut sebagai Work-Life Conflict.

22

Konflik adalah ekspresi proses pertentangan antara para pihak yang saling

tergantung, sehingga para pihak yang terlibat dalam suatu aktivitas, bergantung

kepada aktivitas pihak lainnya (Wirawan, 2010). Work-Life Conflict dibedakan

menjadi dua bentuk, Work To Family dan Family To Work (Lockwood, 2003).

Work-Life Conflict adalah stresor akibat tekanan ketimpangan antara kerja dan

keluarga sebagai hasil tarik-ulur antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga

(Carlson dkk, dalam Lockwood, 2003), dengan indikasi sebagai berikut : turunnya

kesehatan fisik, mental serta kepuasan hidup, stress dan kelelahan emosi,

keinginan katarsis, meningkatnya kecemasan, depresi dan perasaan lelah/

psikosomatis, sehingga Work-Life Conflict berkaitan dengan kesehatan pekerja

(Frone dkk, dalam European Agency For Safety And Health At Work, 2011) dan

menjadi sebuah masalah besar di Eropa dengan sekitar seperempat warga

Eropa terganggu oleh Work-Life Conflict, dengan 27% pekerja di Eropa merasa

menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja, 28% merasa lebih banyak

menghabiskan waktu bersama keluarga, 36 % merasa tidak cukup waktu untuk

teman, keluarga dan kegiatan sosial dan 51% responden merasa tidak cukup

waktu untuk melakukan hobi dan hal pribadi (Kotowska dkk, European Agency

For Safety And Health At Work, 2011).

Employee Engagement

Implementasi Work-Life Balancess Initiatives dalam sebuah organisasi, akan

membuat pekerja semakin bertanggung jawab dan terikat (engaged) pada

pekerjaan dan akan memberikan keuntungan daya saing yang kritis pada

organisasi (Vance, 2006). Komitmen dan rasa terikat tersebut dijelaskan dalam

konsep Employee Engagement dan memiliki definisi yang sangat bervariatif.

23

Gallup Organization (Dicke, 2007) mendefinisikan sebagai bekerja dengan

semangat dan merasa terikat dengan sangat dalam kepada organisasinya.

Corporate Executive Board, Washington DC, menyatakan Engagement sebagai

suatu keadaan dimana individu secara emosi dan pikiran jernih commit (rela

melakukan pekerjaan) terhadap organisasinya sebagaimana yang diukur dengan

dengan tiga perilaku utama : Say, Stay And Strive (Bhalerao, 2013 dan

Jawaharrani, 2010). Employee Engagement merujuk kepada Keadaan Psikis

(keterlibatan, komitmen, saling melengkapi dll), Konstrak Performansi (perilaku

yang tampak, prososial, OCB, dll), disposisi (aspek positif) atau variasi kombinasi

ketiganya (Macey & Schneider, 2008).

Employee Engagement berkaitan dengan tingkat perhatian, keterikatan dan

favor seseorang ketika mengerjakan tugas yang diberikan. Rasa keterikatan ini

berkaitan dengan perasaan pekerja terhadap organisasinya. Dorongan / motivasi

instrinsik ini akan membuat pekerja mengambil sikap, misalnya untuk menyukai

dan terikat kepada institusinya. Ketika pekerja telah sukarela dan merasa terikat

(engaged) dengan Institusinya, maka dalam diri pekerja tersebut akan tumbuh

suatu kesadaran akan kelangsungan bisnis institusinya, dimana dengan

kesadaran inilah yang menjadikan pekerja berusaha dengan sebaik mungkin,

memberikan kemampuan terbaiknya dan melakukan tugas dengan sepenuh

hati, sebagai hasil dari dorongan / motivasi intrinsik dari dalam dirinya sendiri.

Kahn (Nusatrio dan Suharnomo, 2008) menyatakan Engagement merupakan

gagasan multidimensi, karena berkait dengan dengan emosi, kognitif dan fisik

yang terikat kepada perusahaan. Sejalan dengan itu, Macey & Scheider (2008)

menyatakan engagement adalah sebuah disposisi orientasi terhadap

pengalaman dunia luar dari titik pandang tertentu (misalnya, efektivitas positif,

24

antusiasme) dan akan dicerminkan ke dalam Psychological state engagement.

Gambar dibawah memperlihatkan bahwa kondisi tempat kerja (yang diantaranya

dinyatakan dalam Positive Views Of Life And Work : misalnya tentang

keseimbangan waktu kerja) akan berpengaruh kepada state engagement dan

behavioral engagement seseorang.

Trait Engagement State Engagement Behav. Engagement (Positive views of life & work ) (Feeling of energy, absorption ) (Extra-role behavior) Proactive Personality Satisfaction (Affective) OCB Autotelic Personality Involvement Proactive/person Trait Positive Affect Commitment Role Expansion conscientiousness Empowerment Adaptive

Gambar 1:

Framework For Understanding The Elements Of Employee Engagement

Menurut Vance (2006) terdapat sepuluh tema yang sering digunakan untuk

mengukur Engagement dalam organisasi, umumnya dengan menilai Level

keterikatan pekerja dengan perilaku organisasi. Kesepuluh tema tersebut adalah:

Bangga Terhadap Organisasinya, Kepuasan Terhadap Pemberi Kerja, Kepuasan

Kerja, Kesempatan Untuk Melakukan Terbaik Dalam Pekerjaan Yang

Menantang, Pengakuan dan Masukan Positif Atas Kontribusi, Dukungan

Personal Atasan, Upaya Melewati Batas Minimum, Mengerti Kaitan Antara

Pekerjaan dan Misi Organisasi, Prospek Masa Depan Untuk Berkembang serta

Intensi Untuk Bertahan Dengan Pekerjaan. Penerapan Work-Life Balances

secara signifikan mengarahkan rasa keterikatan, semangat moral pekerja,

meningkatkan kepuasan kerja dan meningkatkan produktivitas (Lockwood,

2003), sehingga Work-Life Balances Initiatives merupakan alat yang efektif untuk

Employee Attribute Variety, Chalenge, Autonomy

Transformational Leadership

Trust