45
Berakhirnya masa Orde Baru I. Lahirnya Orde Baru Peristiwa G 30 S/PKI membawa bencana pada pemerintahan Orde Lama, sebab ketidak tegasan pemerintah terhadap para pemberontak membawa dampak negatif pada pemerintah. Ketidakpuasan rakyat makin meningkat karena ekonomi makin terpuruk, keamanan rakyat juga tidak terjamin. Akibatnya dengan dipelopori oleh mahasiswa terjadi berbagai demonstrasi. Untuk lebih mengkoordinasi demonstasinya para mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), sedangkan para pelajar membentuk KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Pada 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi di depan gedung DPR-GR, dengan tuntutan (TRITURA) : 1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya 2. Bersihkan kabinet Dwi Kor dari unsur-unsur PKI 3. Turunkan harga barang Ternyata pemerintah tidak menuruti tuntutan para demonstran, pemerintah tidak membubarkan kabinet tetapi hanya mereshufle Kabinet Dwi Kora menjadi Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan atau yang lebih dikenal dengan kabinet seratus menteri. Pembentukan kabinet ini membuat rakyat semakin tidak puas sebab masih banyak tokoh yang diduga terlibat peristiwa G 30 S masih dilibatkan dalam kabinet seratus menteri. Untuk menggagalkan pelantikan kabinet, pada 24 Februari 1966 para mahasiswa memblokir jalan yang akan dilalui para menteri. Karena tindakan mahasiswa itu terjadi bentrokan dengan pihak keamanan, akibatnya seorang mahasiswa yang bernama ARIEF RAHMAN HAKIM gugur terkena tembakan pasukan keamanan. Sehari setelah insiden itu, pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan. Pembubaran KAMI tidak menyurutkan tekat para mahasiswa, bahkan mahasiswa membentuk LASKAR ARIEF RAHMAN HAKIM yang menggelar aksi demonstrasi. Untuk mengatasi krisis politik yang tak kunjung reda, pada 10 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dengan para utudan partai politik. Dalam pertemuan itu presidn presiden meminta agar partai politik turut mengecam tindakan para

Berakhirnya Masa Orde Baru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah

Citation preview

Page 1: Berakhirnya Masa Orde Baru

Berakhirnya masa Orde Baru

   I.      Lahirnya Orde BaruPeristiwa G 30 S/PKI membawa bencana pada pemerintahan Orde

Lama, sebab ketidak tegasan pemerintah terhadap para pemberontak membawa dampak negatif pada pemerintah. Ketidakpuasan rakyat makin meningkat karena ekonomi makin terpuruk, keamanan rakyat juga tidak terjamin.

Akibatnya dengan dipelopori oleh mahasiswa terjadi berbagai demonstrasi. Untuk lebih mengkoordinasi demonstasinya para mahasiswa membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), sedangkan para pelajar membentuk KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Pada 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi di depan gedung DPR-GR, dengan tuntutan (TRITURA) :

1.     Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya2.    Bersihkan kabinet Dwi Kor dari unsur-unsur PKI3.    Turunkan harga barang

Ternyata pemerintah tidak menuruti tuntutan para demonstran, pemerintah tidak membubarkan kabinet tetapi hanya mereshufle Kabinet Dwi Kora menjadi Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan atau yang lebih dikenal dengan kabinet seratus menteri. Pembentukan kabinet ini membuat rakyat semakin tidak puas sebab masih banyak tokoh yang diduga terlibat peristiwa G 30 S masih dilibatkan dalam kabinet seratus menteri.

Untuk menggagalkan pelantikan kabinet, pada 24 Februari 1966 para mahasiswa memblokir jalan yang akan dilalui para menteri. Karena tindakan mahasiswa itu terjadi bentrokan dengan pihak keamanan, akibatnya seorang mahasiswa yang bernama ARIEF RAHMAN HAKIM gugur terkena tembakan pasukan keamanan. Sehari setelah insiden itu, pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan. Pembubaran KAMI tidak menyurutkan tekat para mahasiswa, bahkan mahasiswa membentuk LASKAR ARIEF RAHMAN HAKIM yang menggelar aksi demonstrasi.

Untuk mengatasi krisis politik yang tak kunjung reda, pada 10 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dengan para utudan partai politik. Dalam pertemuan itu presidn presiden meminta agar partai politik turut mengecam tindakan para demonstran, tetapi oleh Ajudan Presiden yaitu Brigjend Sabur pasukan itu dianggap akan menyerbu istana negara.

Dalam menyikapi keadaan negara yang semakin gawat, pada 11 Maret 1966 di Istana Negara diadakan sidang Pleno Kainet Dwi Kora Yang Disempurnakan. Para menteri yang akan menghadiri sidang ini mengalami kesulitan karena mereka dihadang oleh para demonstran. Untuk menjaga keamanan sidang maka prajurit RPKAD ditugaskan menjaga istana secara kamuflase, tetapi oleh Adjudan Presiden yaitu Brigjend Sabur pasukan itu dianggap akan mnyrerbu istana negara

Page 2: Berakhirnya Masa Orde Baru

Akhirnya bersdama dengan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I soebandrino dan Waperdam III Chairul Saleh. Salah, presiden mengungsi ke Istana Bogor. Setelah pemimpin sidang diserahkan kpada Waperdam II Dr. J. Leimena.

Karena situasi negara yang semakin gawat dan kewibawaan pemerintah yang semakin merosot, dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang tinggi unutk memulihkan situasi negara maka tiga perwira tinggi Agkatan Darat, yaitu Mayjend Basuki Rahmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Mahmud berinisiatif menemui presiden di Istana Bogor setelah sebelumnya meminta ijin kepada Letjen Soeharto. Pertemuan itu menghasilkan suatu konsep surat perintah kepada MEN/PANGAD LETJEN SOEHARTO, untuk atas nama presiden mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itulah yang pada akhirnya dikenal sebagai SUPER SEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret).

Berdasar surat perintah itu, Letjen Soeharto mengambil beberapa langkah, yaitu :

1.     Terhitung mulai tanggal 12 Maret 1966, PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang

2.    Mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwi Kora Yang Disempurnakan yang diduga terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI

3.    Membersihkan MPRS dan lembaga negara yang lain dari unsur-unsur G 30 S/PKI dan menempatkan peranan lembaga-lembaga itu sesuai dengan UUD 1945

Dalam sidang MPRS tanggal 20 Juni 1966 MPRS menolak pidato pertanggung jawaban Presiden Soekarno yang berjudul “Nawaksara” (Sembilan pasal), sebab pidato pertanggung jawaban Presiden Soekarno tidak menyinggung masalah PKI atau peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Selanjutnya MPRS melaksanakan Sidang Istimewa tanggal 7-12 Maret 1967. Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat Ketetapan penting, diantaranya Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru. Orde Baru lahir dengan tekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pada Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

II.      Kehidupan Politik Semasa Pemerintahan Orde BaruPada tanggal 25 Juli 1966 Soeharto mmbentuk Kabinet Ampera

sebagai pengganti Kabinet Dwi Kora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis, maka diselenggarakan pemilihan umum. Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru dilaksanakan tahun 1971, dan diikuti oleh

Page 3: Berakhirnya Masa Orde Baru

sembilan partai politik dna satu Golongan karya. Pemilu di Masa Orde Baru telah berlangsung 5 kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992. Untuk menjamin kebebasan pemilih dalam memberikan suara, pemilu Indonesia pun menganut ASAS LUBER.

Sejak pemilu 1971 sampai tahun 1977, kemenangan dalam pemilu selalu diraih oleh Golkar. Hal ini disebabkan Golongan Karya mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan ABRI.

Untuk memperkuat kedudukan Golkar sebagai motor penggerak Orde Baru dan untuk melanggengkan kekuasaan maka pada tahun 1973 diadakan fusi partai-partai politik. Fusi partai dilaksanakan dalam dua tahap berikut ini :

1.     Tanggal 5 Januari 1963 kelompok NU, Parmusi, PSII, dan Perti menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

2.    Tanggal 10 Januari 1963, kelompok Partai Katolik, Perkindo, PNI, dan IPKI menggabungkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya pembaruan dalam politik luar negeri :

1.     Indonesia kembali menjadi anggota PBB2.    Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)3.    Normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak 17

September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan tersebut merupakan hasil perundingan Bangkok (29 Mei-1 Juni 1966)

4.    Pelopor berdirinya ASEANDampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru :

         Pemerintah mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekuasaan lembaga kepresidenan membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat

         Situasi keamanan pada masa Orde Baru relative aman dan terjaga dengan baik karena pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan PancasilaDampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru :

         Terbentuknya pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralis

         Pemerintahan Orde Baru gagal memberikan pelajaran demokrasi yang baik dan benar kepada rakyat Indonesia

         Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya

         Dwifungsi ABRI terlalu mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh personal TNI dan Polri

         Adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemahIII.      Perkembangan Dalam Bidang Ekonomi

Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan

Page 4: Berakhirnya Masa Orde Baru

kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah beorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflansi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanay kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflansi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Cara yang ditempuh adalah :

a.    Stabilitasi dan Rehabilitasi EkonomiStabilitasi berarti mengendalikan inflansi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi kea rah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila

b.    Kerja Sama Luar NegeriKeadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia

c.    Pembangunan NasionalDilakukan pembangunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan teriptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Isi Trilogi Pembangunan adalah sebagai berikut :

1.     Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2.    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi3.    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis

Pelaksanaan pembangunan nasional dilakukan secara bertahap, yaitu :  Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun  Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun),

merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan.Selama masa Orde Baru terdapat 6 Plita, yaitu :

1.     Pelita IDilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru. Tujuanny adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sasaran utamanya adalah Pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian

2.    Pelita II

Page 5: Berakhirnya Masa Orde Baru

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun kempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%

3.    Pelita IIIDilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan

4.    Pelita IVDilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik beratnya pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan

5.    Pelita VDilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya

6.    Pelita VIDilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh

Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan

pemerintahan terencana dengan baik dan hasilnya pun dapat terlihat secara konkrit

  Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras)

  Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyatDampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :

  Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam

Page 6: Berakhirnya Masa Orde Baru

  Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam

  Pembangunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata

IV.      Perkembangan Dalam Bidang Sosial-BudayaMasa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses

untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun-tahun awal 1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal tahun 170-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50 tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.

Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan., fasilitas pendidikan dasar sudah semakin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur sekolah dasar. Fasilitas sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung anak Indonesia yang berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat menuju pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang. Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahun 1990-an.

Dampak dari pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya tingkat pendidikan angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh angkatan kerja tidak atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang tidak atau belum sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun waktu yang sama angkatan kerja yang berpendidikan SMA ke atas adalah meningkat dari 2,8% dari seluruh angkatan kerja menjadi hamper 15%. Peningkatan mutu angkatan kerja akan mempunyai dampak yang luas bagi laju pembangunan di waktu-waktu yang akan datang.

Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar golongan dsb) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik, maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa). Dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan, jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir dan batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan penghayatan terhadap Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan terwujudlah

Page 7: Berakhirnya Masa Orde Baru

Pancasila dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia. Untuk melaksanaan semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal, maupun non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.

Faktor penyebab munculnya reformasi

Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama adanya ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awal Orde Baru. Tekad awal Orde Baru pada saat munculnya adalah melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Setelah Orde Baru mengendalikan pemerintahan, maka muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan dampak negatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Penyelewengan yang dilakukan selalu direkayasa sehingga hal tersebut seolah-olah sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.

a. Krisis politikDemokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Kedaulatan rakyat berada di tangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Pada UUD 1945 pasal 2 telah disebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Namun pada dasarnya secara de jure kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh MPR sebagai wakil-wakil rakyat, tetapi secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa. Sebagian anggota DPR itu diangkat berdasarkan hubungan kekeluargaan (nepotisme), misalnya istri, anak, atau kerabat dekat para pejabat tinggi. Oleh karena itu, keputusan DPR/MPR dapat diatur oleh pihak penguasa.Reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap 5 paket Undang-Undang politik yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan. Lima paket undang-undang politik itu adalah :

• UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.• UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR.• UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.• UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum.• UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Setahun sebelum pemilu 1997, situasi politik di Indonesia mulai memanas. Pemerintah Orde Baru yang didukung oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha untuk memenangkan pemilu secara mutlak, seperti pada pemilihan umum sebelumnya. Sedangkan tekanan-tekanan terhadap pemerintah Orde Baru semakin berkembang. Baik di kalangan politisi, cendekiawan, maupun dari masyarakat.

Page 8: Berakhirnya Masa Orde Baru

Suhu politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam tubuh PDI. Peristiwa ini terjadi karena adanya penyerbuan terhadap kantor pusat PDI di jalan Diponegoro oleh kelompok PDI yang dipimpin Suryadi. Akibat serangan itu, terjadi bentrokan antara PDI pro-megawati yang masih berkantor di tempat itu dengan kelompok PDI kelompok Suryadi. Bentrokan yang terjadi menimbulakn kerusuhan itu telah memakan korban, baik harta maupun jiwa.

Sepanjang tahun 1996, terjadi pertikaian sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat. Pada bulan Oktober 1996, terjadi kerusuhan di Situbondo (Jawa Timur), bulan Desember 1996 terjadi kerusuhan di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan di Sanggau Ledo yang kemudian meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalimantan Barat). Selanjutnya terjadi ketegangan politik menjelang pemilihan umum 1997. Sedangkan menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.

b. Krisis hukumPada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi ketidakadilan di bidang hukum. Misalnya pada pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah. Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, lembaga pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Selain itu, sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa dan kerabatnya.

Sejak munculnya gelombang reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Dimana masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum, tujuannya agar hukum didudukkan pada posisi yang sebenarnya.

c. Krisis ekonomiKrisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga memengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997 nilai tukar rupiah turun dari Rp2.575,00 menjadi Rp2.603,00 per dolar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 11997, ternyata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai Rp.5.000,00. Bahkan pada bulan Maret 1998 telah mencapai Rp.16.000,00 per dolar Amerika Serikat.

Ketika nilai tukar rupiah terus melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan, yaitu dengan dilikuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu, untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN) dan mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ternyata usaha yang dilakukan pemerintah itu tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat dikembalikan begitu

Page 9: Berakhirnya Masa Orde Baru

saja. Oleh karena itu, pemerintah harus menanggung beban utang yang sangat besar. Keadaan seperti tiu dapat menurunkan kepercayaan dunia Internasional terhadap Indonesia. Walaupun pada awal tahun 1998 pemerintah Indonesia membuat kebijakan uang tetap dan suku bunga bank tinggi, namun krisis moneter tetap tidak dapat teratasi. Akhirnya pada bulan April 1998, pemerintah membekukan tujuh buah bank bermasalah.

Dalam perkembangan berikutnya, nilai tukar rupiah terus melemah dan menembus angka Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Kondisi seperti itu semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun dari luar negeri, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bertambah buruk. Oleh karena itu, krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.

Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah memengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Perusahaan-perusahaan banyak yang tidak mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan banyak terdapat perusahaan yang mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya, akibatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah. Akibatnya, kesenjangan ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin tampak jelas setelah berlangsungnya krisis ekonomi tersebut.

d. Krisis kepercayaanKrisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto. Aksi unjuk rasa damai yang dilakukan oleh kalangan intelektual dan kelompok oposisi pada bulan Maret 1998 semakin berani menyampaikan tuntutannya. Mereka menuntut dilakukannya reformasi total, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun hukum. Bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan juga tidak dapat dihindari sehingga timbul kerugian diantara kedua belah pihak.

PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI

PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI

1. Munculnya Gerakan ReformasiReformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum.Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat,

Page 10: Berakhirnya Masa Orde Baru

berbangsa dan bernegara.

Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :Adili Soeharto dan kroni-kroninya.Amandemen UUD 1945Penghapusan Dwi Fungsi ABRIOtonomi daerah yang seluas-luasnyaSupremasi hukumPemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

2. Kronologi ReformasiPada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII. Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demostrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi kepresidenannya.Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas.Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta untuk mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.

Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Reformasi/ Political and Economic Developments During the Period of Reform FOR CLASS XII IPS Semester 1 HISTORY

Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Reformasi

(Sumber: Ali, Nur. Modul Bahan Ajar Sejarah. Ponorogo: MGMP Gandini.)

Page 11: Berakhirnya Masa Orde Baru

I) Perkembangan cabinet Reformasi

a) Pembentukan Kabinet Reformasi. Setelah B. J. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto, kemudian pada tanggal 22 Mei 1988 Presiden B. J. Habibie mengumumkan susunan cabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet ini dilantik pada tanggal 22 Mei 1998 di Istana Negara. Pengangkatan B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah syah dan konstitusional. Pengangkatan tersebut didasarkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 8 dan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/ MPR/1978 yang menyatakan: “Apabila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya”. Namun, demikian ada juga yang berpendapat bahwa B. J. Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia ketiga adalah tidak syah dan tidak konstitusional. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Dasar 1949 pasal 9 yang menyatakan bahwa “Sebelum Presiden memangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat”. Faktanya B. J. Habibie tidak melakukan hal yang demikian, ia megucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan Personil Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang bukan bersifat kelembagaan.

b) Pemberi Amnesti dan Munculnya Kebebasan Berpendapat.

(1) Mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998 tentang Pemberian Amnesti. Sejumlah tahanan politik seperti SriBintangPamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan sedangkan Budiman Sudhatmiko ketua Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada masa Presiden Abdurahman Wahid.

(2) Membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, tugasnya adala mencari segara sesuatu yang berhubungan dengan kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta.

(3) Mengeluarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang berisi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

(4) Mencabut Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Aksi Subversi dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999.

c) Permasalahan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemunculan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada awalnya merupakan konsep yang diajukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada tanggal 11 November 1968. Dalam pidatonya yang berjudul “Jalan Tengah” Jenderal Nasution mengatakan bahwa tentara juga merupakan kekuatan social-politik yang berperan dalam kegiatan social kemasyarakatan. Naiknya Jebderal Soeharto sebagai pengemban pemerintah Indonesia sejak tahun 1966 membawa doktrin ini sebagai basis landasan penguatan Negara dan lembaga keprresidenannya. Posisi militer pada era Reformasi tidak mendapat tempat yang cukup baik di hati rakyat karena: pertama, selama pemerintahan Orde Baru peranan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sangat mendominasi baik di lembaga eksekutif maupun legislative; Selama pemerintahan Orde Baru,

Page 12: Berakhirnya Masa Orde Baru

fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bukan hanya sebagai integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi juga sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan Orde Baru, ketiga, peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 semakin menyulut sikap antipasti rakyat terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kebijakan presiden B. J. Habibie untuk melakukan Reformasi tentang Dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), antara lain adalah memisahkan Kepolisian Republik Indonesia dari tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mulai dterapkan kemudian dirubah menjadi Tentara Nasional sejak tanggal 5 Mei 1999. Teknisnya Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara berada di bawah payung Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dirubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sedangkan Kepolisian menjadi lembaga yang memiliki otonomi sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kebijakan Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) juga dilakukan dengan mereduksi keberadaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah Kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat semula 75 kursi, dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 dikurangi menjadi 38 kursi, kemudian dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 jumlah kursi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditiadakan.

d) Reformasi Hukum dan Perundang-undangan. Pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 10-13 November 1998 selain mengukuhkan Habibie sebagai presiden Republik Indonesia, juga menghasilkan perombakan besar-besaran terhadap sistem hukum dan perundang-undangan. Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat ini ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat dan mencapai puncaknya dalam peristiwan Tragedi Semanggi (Semanggi I), yang menewaskan 18 orang. Focus perombakan sistem hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam Sidang Istimewa tersebut mengacu pada 12 ketetapan yang terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni:

1) Bagian ketetapan yang terdiri dari enam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) baru, antara lain:

(a) Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok pelaksanaan Reformasi Pembangunan sebagai Haluan Negara.

(b) Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

(c) Tap MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

(d) Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Proses Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

(e) Tap MPR No.XVI/MPR/1998 tentang Penegakkan Hak Asasi Manusia.

Page 13: Berakhirnya Masa Orde Baru

2) Bagian ketetapan yang terdiri dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengubah dan menambah ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lama, antara lain:

(a) Tap MPR No. VII/MPR/1998 yang berisi perubahan dan penambahan terhadap Tap MPR No. I/MPR/1983 tentang Tatib Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.

(b) Tap MPR No. XIV/MPR/1998 yang berisi pperubahan dan penambahan teerhadap Tap MPR No. III/MPR/1983 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum.

3) Bagian ketetapan yang bersifat mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lama, antara lain:

a) Tap MPR No. VIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referandum yang menjaga Undang-undang Dasar 1945. Pencabutan Tap ini berarti pula Undang-undang Dasar 1945 dapat dirubah dan diamandemen.

(b) Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

(c) Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang pencabutan Tap MPR No. V/MPR/1978 tentang Tugas dan Wewenang Presiden selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

(d) Tap MPR No. IX/MPR/1998 yang berisi tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

e) Kebebasan Pers. Presiden B. J. Habibie mengeluarkan kebijakan:

(1) Menghapus Surat Ijin Usaha Percetakan dan Penerbitan (SIUPP) yang pada masa Orde Baru menjadi hal yang menankutkan dalam pers.

(2) Melakukan penyederhanaan tentang penerbitan Pers baru.

(3) Mengeluarkan UU No.9  Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Meskipun Presiden B. J. Habibie telah melakukan liberalisasi partai politik, pemberian kebebasan pers, kebebasan pendapat, dan pencabutan Undang-undang Subversi. Walaupun begitu, Presiden B. J. Habibie juga sempat tergoda untuk meloloskan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya namun tidak dilakukan karena besarnya tekanan politik dan peristiwa Tragedi SemanggiII yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia yakni Yun Hap.

f) Pelaksanaan Pemilihan Umum

Page 14: Berakhirnya Masa Orde Baru

Pemilihan Umum dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Setelah Presiden B. J. Habibie mencabut berbagai Unddang-undang Politik warisan Orde Baru, kemudian dikeluarkan 3 undang-undang Politik baru yang mulai diterapkan pada tanggal 1 Februari 1999, yaitu:

1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, diantaranya dijelaskan bahwa peraturan pemilihan umum bersifat campuran antara sistem proporsional dan sistem distrik.

3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik dengan sistem distrik atau perwakilan dan asas LUBER dan Jurdil (Langsung, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil). Dalam pemilihan umum tahun 199 ada lima paartai yang mengumpulkan suara terbanyak, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diketuai oleh Megawati Soekarno Putri, Partai Golongan Karya (GOLKAR) diketuai oleh Akbar Tanjung, Partai Persatuan Pembangunan diketuai Hamza Haz, Partai Kebangkitan Bangsa diketuai oleh Matori Abdul Djalil dan Partai Amanat Nasional diketuai oleh Amien Rais.

Setelah pemilihan Umum selesai, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 1-21 Oktober 1999, diantaranya diputuskan:

(1) Mengukuhkan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Menolak Pidato Pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie melalui Tap No. III/MPR/1999.

Karena tidak ada partai politik yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 maka  K.H. Abdurrahman Wahid yang diusung oleh Poros Tengah pimpinan Amien Rais (Partai Amanat Nasional/ PAN, Partai Persatuan Pembangunan/ PPP, Partai Bulan Bintang/PBB, dan PK) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 1999. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia akhirnya memilih dan menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 1999. K. H. Abdurrahman Wahid dipilih karena mantan Ketua Umum PBNU ini adalah faktor pemersatu dan peredam arus konflik di masyarakat. Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1999, Megawati Soekarno Putri berhasil meredam arus konflik di bawah/ masyarakat. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999, Presiden K. H. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri membentuk Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional. Masa pemerintahan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ini hanya berlangsung kurang lebih 1 tahun lebih 8 bulan. Beliau diturunkan oleh lawan politik melalui Sidang Istimewa tahun 2001 dengan alasan

Page 15: Berakhirnya Masa Orde Baru

(1) Adanya skandal Buloggate dan Skandal Brunaigate yang sebenarnya tidak terbukti di pengadilan namun skandaal tersebut dijadikan alasan bagi lawan politiknya untuk menjatuhkan beliau.

(2) Pengangkatan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia yakni Komjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polisi Republik Indonesia. Presiden K. H. Abdurrahman Wahid menganggap pengangkatan tersebut adalah hak prerogative presiden tetapi lawan politiknya menganggap bahwa penangkatan tersebut adalah melanggar Tap No.VI/MPR/2000 karena mengangkat Chaeruddin menjadi pemangku jabatan kepala Polisi Republik Indonesia tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.05 Waktu Indonesia Barat (WIB) Presiden K. H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi: Pembekuan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembubaran Partai Golongan Karya (Golkar) dan mempercepat pelaksanaan pemilihan Umum. Dekrit yang dikeluarkan Presiden K. H. Abdurrahman Wahid ternyata tidak mendapat dukungan dari Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia. Bahkan Amien Rais yang semula mendukung K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru berbaalik ara malah mempercepat pelaksanaan Sidang Istimewa pada tanggal 23 Juli 2001. Sidang Istimewa tersebut digelar dengan tujuan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun karena Presiden K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak mau hadir,  akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengukuhkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamza Haz sebagai Wakil Presiden pada masa 2001-2004.

Pemilihan Umum Tahun 2004. Setelah amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, pemilihan umum diatur tersendiri dalam Bab VII B, Pasal 22 E Undang-undang Dasar 1945 sebagai realisasinya dikeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum. Peraturan ini menegaskan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi Pemilihan Umum secara langsung untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat kedua). Pemilihan Umum Tahun 2004 dilaksanakn pada tanggal 5 April 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak adalah Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS). Kemudian dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang nantinya berhasil dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Kemenangan ini merupakan babak baru bagi Indonesia dibawah kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang berlangsung dipilih oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi Presiden Republik Indoensia pada tanggal 20 Oktober 2004, kemudian dibentuklah Kabinet Baru yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

g) Otonomi Daerah

Landasan Formal Yuridis

Page 16: Berakhirnya Masa Orde Baru

(1) Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang menegaskan perlunya mengembangkan otonomi daerah secara luas dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah diselenggarakan menurut asas desentralisasi.

(2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

(3) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinah Daerah yang kemudian direvisi dan disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.

Otonomi Daerah juga meliputi otonomi social-budaya. Tata nilai dan budaya local diberi tempat yang seluas-luasnya untuk berkembang. Otonomi yang seluas-luasnya yang diberikan kepada setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota juga menyangkut masalah pemilihan kepada daerah yang diatur melalui:

(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemilihan Kepala Daerah.

(2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan Kepala Daerah dilaakukan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah).

Keuntungan dan Kelemahan Otonomi Daerah

Dampak Positif Otonomi Daerah:

(1) Menghasilkan suatu sistem pemerintahan yang resposif dan pelayanan umum yang berkualitas, cepat dan efisien.

(2) berpindahnya kekuasaan secara umum dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.

(3) Meningkaatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

(4) Memperpendek dan mempercepat jalur birokrasi.

(5) Memperbesar peranan dan pemberdayaan masyarakat di daerah.

Dampak Negatif Otonomi Daerah:

(1) Terjadinya konflik horizontal antar daerah.

(2) Berpindahnya kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diiringi pula berpindahnya korupsi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

(3) Terjadinya pemborosan anggaran.

(4) terjadi kerusakan lingkungan alam di berbagai daerah.

Page 17: Berakhirnya Masa Orde Baru

(5) mentabukan pendatang dari daerah lain.

h) Pemberantasan Korupsi. Sesuai dengan amanat Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintah Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Presiden B .J. Habibie nantinya mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang pemerintahan Negara yang bersih dari Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme. Namun dalam prakteknya hampir tidak ada perubahan signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), usaha untuk meberantas korupsi mulai berani sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pada tanggal 7 Desember 2004, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjebloskan Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroh Aceh Darussalam) ke rumah tahanan Salemba sebagai tersangka kasus korupsi pembelian 2 helikopter.

i) Gerakan Separatis dan Kerusuhan SARA

1) Lepasnya Provinsi Timor Timur.

a)Integrasi Timor Timur. Pada tanggal 29 November 1975 pemimpin 4 partai politik di Timor Timur yaitu:

(1) Arnoldo Reis Araujo dari Partai Adopeti (Associacao Populer Democratica de Timor)

(2) Fraansisco Xavier Lopez de Cruz dari Partai UDT (Union Democrative de Timor)

(3) Thomas Diaz Xemenes dari Partai Kota (Kilbur Oan Timur Aswain)

(4) Domingos C. Pereira dari Partai Trabilistaa.

Mencetuskaan Proklamasi Balibo yang berisi pernyataan integrasi Timor Timur dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap Proklamasi Kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975 yang dilakukan oleh Partai Fretelin (Frente Revalucionaria de Timor Leste) yang dipimpin oleh Fransisco Xavier do Amaral. Pernyataan integrasi rakyat Timor Timur itu mendaapat reaksi positif dari pemerintahan Republik Indonesiaa. Pada tanggal 17 Juli 1976 secara resmi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia yang ke-27 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976. Gubernur pertamanya Arnoldo Dos Reis Araujo dan wakilnyaa Fransisco Xavier Lopez da Cruz. Kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Tap No. VI/MPR/1978 tentang pengesahan Timor timur sebagai provinsi yang ke-27.

b) Menuju Jajak Pendapat. Meskipun Timor Timur sudah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia, namun pro dan kontraa (pro integrasi dan anti integrasi) sesame penduduk Timor Timur tetap berlangsung. Pro dan kontraa semakin tajam tatkala Insiden Santa Cruz (12 November 1991) yaitu peristiwa penembakan terhadap demonstran di pemakaman Santa Cruz yang pada waktu itu sedang memperingati tewasnya Sebastio Gornes, seorang aktivis pro kemerdekaan. Kemudian tanggal 20 November 1992, Xanana Gusmao ditangkap dengan

Page 18: Berakhirnya Masa Orde Baru

tuduhan sebagai otak demonstrasi di Santa Cruz. Untuk menyelesaikan Timor Timur secara tuntas, maka Presiden B. J. Habibie mengajukan dua opsi “Merdeka atau Otonomi” kepada rakyatTimor Timur. Penentuan dua opsi tersebut dilakukan dengan cara melaksaanakan Jajak pendapat yang natninya dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 dan penyelenggaranyaa dilakukan oleh Misi Perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Timor Timur yang disebut UNAMET (United Nations Mission East Timor). Hasil jajak pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999 oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, yaitu sebagai berikut:

(1) Kubu Pro Kemerdekaan meraih 78,5% suara,

(2) Kubu Pro Integrasi atau Otonomi memperoleh 21,5% suara.

Meskipun di dalam negeri terjadi pro dan kontra terhadap kebijakan Presiden B. J. Habibie tersebut, namun akhirnya pada tanggal 19 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Tap No.V/MPR/1999 yang berisi tentang pengakuan atas hasil pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur yang diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Dengan pengakuan tersebut berarti Timor Timur terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada tanggal 4 Desember 1976 sebagian dari rakyat Aceh menggabungkan diri dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah pimpinan Tengku Hasan Tiro yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Aceh. Keinginan Aceh untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipicu oleh:

(a) Aceh hanya dijadikan sebagai daerah eksploitasi sumber daya alam yang banyak menguntungkan pemerintah pusat dan bangsa asing.

(b) Timbulnya kecemburuan social sebagai akibat program tnasmisi yang mendatangkan orang Jawa dalam jumlah besar yang dianggap sebagai pesaing rakyat Aceh di daerahnya sendiri.

Selain Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga muncul gerakan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang menuntuk kemerdekaan Aceh melalui pelaksanaan referendum. Usaha meredakan ketegangan di Aceh telah diupayakan. Beberapaa perundingan telah dilaksanakan, diantaranya:

(a) Pada tanggal 9 Desember 2002 diadakan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss atas prakarsa Henry Dunant Centre, yang dikemas dalam program “Jeda Kemanusiaan”. Upaya perundingan ini belum dapat mewujudkan kehidupan damai di Aceh.

(b) Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia dengan Fasilisator Crisis Management Initiative pimpinan Martti Ahtisaari, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya menyetujui Nota Kesepahaman (MoU) Perdamaian yang berisi: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia untuk menyerahkan seluruh senjatanya, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk menarik seluruh Tentara Nasional Indonesia yang dikirim ke Aceh,

Page 19: Berakhirnya Masa Orde Baru

Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk memberikan Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia

3) Kerusuan SARA dan terror Bom. Di era reformasi fenomena konflik yang bersuasana SARA memiliki beberapa pola, yaitu pola pertentangan antar penduduk asli dan pendatang (konflik Sambas dan Sampit, Kalimantan), Pola kedua adalah terjadinya pertentangan social dimensi agama seperti antara Islam dan Kristen (Ambon dan Poso), dan Pola lainnya adalah koflik disebabkan oleh faktor eksternal yaitu berkaitan dengan konflik elite baik di tingkat pusat maupun local, ulah provokator dan pengaruh informasi global melalui media masa dan isu dengan selebaran. Selain konflik SARA, juga terjadi terror bom.

II) Perkembangan Sosial dan Ekonomi Pada masa Reformasi. Pembenahan ekonomi pada era reformasi difokuskan lima bidang kerja utama, yaitu:

(1) Melaksanakan rekapitulasi perbankan Indonesia.

(2) Melaksanakan likuidasi (pembubaran) bank yang bermasalah.

(3) Memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga mencapai di bawah Rp 10.000.

(4) Membangun konstruksi baru perekonomian Indonesia.

(5) Melaksanakan syarat reformasi ekonomi yang diberikan oleh IMF (International Monetery Fund) kepada Pemerintah Indonesia.

Dalam pembenahan masalah krisis ekonomi, ternyata menunjukkan hasil yang sangat lamban dibandingkan Negara Asia lainnya, disebabkan oleh:

(1) Berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat dan Negara menjadi sangat kompleks seiring dengan kejatuhan ekonomi tersebut.

(2) Tingginya tingkat intensitas konflik politik internal dalam negeri membuat kosentrasi penangan masalah ekonomi dan social menjadi tidak optimal.

(3) menurunya investasi asing di Indonesia.

(4) Dorongan IMF (International Monetery Fund) untuk menerapkan Structural Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) di Indonesia semakin menambah kesengsaraan rakyat Indonesia.

Apabila dicermati, memburuknya kondisi social dan ekonomi Indonesia pasca reformasi salah satunya dapat dilihat dari poin kebijakan penghapusan subsidi bagi masyarakat yang disodorkan IMF (International Monetery Fund). Proteksionisme  terhadap sector perekonomian dalam negeripun dilarang. IMF (International Monetery Fund) melihat bahwa pereknomian bangsa akan lebih efektif apabila diserahkan pada kekuatan ekonomi pasar. Akan tetapi, di satu sisi

Page 20: Berakhirnya Masa Orde Baru

krisis ekonomi yang melanda Indonesia berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat. Sementara di sisilain, pemerintah tidak boleh memberikan subsidi usaha maupun proteksionisme terhadap sector ekonomi local. Meningkatkan masalah social pun menjaddi tak terhindarkan dari adanya krisis ekonomi ini. Meningkatnya angka pengangguran, melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan makin meningginya akan kriminalias menjadi warna dan krisis multimedia yang dihadapai olehIndonesia pasca reformasi difokuskan pada hal sebagai berikut:

(1) Meningkatkan lapangan  pekerjaan yang seoptimal mungkin. Metode yang diterapkan pemerintah adalah dengan menggalakkan investasi asing sebagai potensi lapangan pekerjaan baru.

(2) menyediakan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

(3) optimalisasi barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

(4) mengoptimalkan sector pendidikan yang bertujuan untuk memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang layak.

(5) memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk akses kesehatan.

Perkembangan Politik Setelah 21 MEI 1998

TUGAS SEJARAH PAS SMA

A. BERAKHIRNYA PEMERINTAHAN ORDE BARU

Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi harus diakui

sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan

prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan

pembangunan mental (character building) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan

maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Klimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)

1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi

1) Faktor Politik

a. Adanya KKN dalam kehidupan pemerintahan.

b. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah Orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme serta

merajalelanya korupsi.

Page 21: Berakhirnya Masa Orde Baru

c. Kekuasaan Orba di bawah Soeharto otoriter tertutup.

d. Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

e. Mahasiswa menginginkan perubahan.

2) Faktor Ekonomi

a. Adanya krisis mata uang rupiah.

b. Naiknya harga barang-barang keutuhan masyarakat.

c. Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.

3) Faktor Sosial Masyarakat: adanya kerusuhan tanggal 13 dan 14 Mei 1998 yang melumpuhkan

perekonomian rakyat.

4) Faktor Hukum: belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga Negara.

2. Tujuan Reformasi

a. Reformasi politik bertujuan tercapainya demokratisasi.

b. Reformasi ekonomi bertujuan meningkatkan tercapainya masyarakat.

c. Reformasi hukum bertujuan tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Reformasi sosial bertujuan terwujudkan integrasi bangsa Indonesia.

3. Krisis Politik

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik.

Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang

oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan

rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum)

kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto

(dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR

itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).

Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah,

DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan

reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam

MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-

undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya:

1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum

2) UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR

3) UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Page 22: Berakhirnya Masa Orde Baru

4) UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum

5) UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan

ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak

mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi

Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.

Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia

(PDI).

Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut

masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan

masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan

bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras

terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-

kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di

tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.

Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya

kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan

umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.

Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang

meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai

Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang

dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan

Soeharto sebagai Presiden.

Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik

Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden

Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.

4. Krisis Hukum

Page 23: Berakhirnya Masa Orde Baru

Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak

munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi

salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat

mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.

5. Krisis Ekonomi

Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga

mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu

untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar

rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0%

dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami

keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk

membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena

pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan

begitu saja.

Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah

menghancurkan keuangan nasional. Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah

mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada

akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini

menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai

melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun,

kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15

januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan

IMF.

Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari

masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu

faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya

merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi

Page 24: Berakhirnya Masa Orde Baru

tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak

swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.

Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin

menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak

sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.

Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara

Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat.

Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih

rendah.

Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh

menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar

demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan

anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan

Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai

bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde

Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang

kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.

Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat

dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan

pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat

dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta

selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan

kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut

ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.

6. Krisis Kepercayaan

Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah

mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para

Page 25: Berakhirnya Masa Orde Baru

mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula

damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu

Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.

Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat

yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.

Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto

mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR

untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan

mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di

penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto

mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka

pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto

mengundurkan diri.

Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat

di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan

perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai

Presiden.

Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak

dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan

diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil

Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung

sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.

Page 26: Berakhirnya Masa Orde Baru

B. JATUH BANGUNNYA PEMERINTAHAN RI SETELAH 21 MEI 1998

Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Dari seratus lebih partai politik yang terdaftar,

hanya 48 partai politik yang dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilihan umum. Lima

besar hasil pemilu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN, dan sekaligus merupakan

lima penyusunan keanggotaan MPR yang menempatkan Amin Rais sebagai ketua MPR dan Akbar

Tanjung sebagai ketua DPR RI. Sidang umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999 menolak laporan

pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie yang disampaikan pada16 Oktober 1999. Faktor penting yang

menyebabkan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie adalah patut diduga bahwa

presiden menguraikan indikator pertumbuhan ekonomi yang tidak akurat dan manipulatif.

Sidang umum MPR juga berhasil mengambil keputusan memilih dan menetapkan K.H.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI masa bakti 1999-2004. Presiden K.H. Abdurrahman

Wahid dalam menjalankan pemerintahan-nya didampingi Wapres Megawati Sukarnoputri. Sidang

umum MPR setelah berhasil menetapkan Presiden dan Wakil Presiden RI juga berhasil membuat

Sembilan ketetapan dan untuk kali pertama melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Presiden

Abdurrahman Wahid menjalankan pemerintahan dengan membentuk cabinet yang disebut Kabinet

Persatuan Nasional. Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berjasa dalam membuka kran

kebebasan berpendapat dalam rangka demokrasi di Indonesia. Rakyat diberi kebebasan seluas-luasnya

untuk berpendapat hingga akhirnya terjadi kebingungan dan kebimbangan mengenai benar dan

tidaknya suatu hal. Pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas dalam memberikan pernyataan terhadap

suatu masalah. Pemerintahan Gus Dur secara umum belum mampu melepaskan bangsa Indonesia

keluar dari krisis yang dialaminya. Fakta yang ada justru menunjukkan makin banyak terjadi

pengangguran, naiknya harga-harga dan bertambahnya jumlah penduduk yang berada di garis

kemiskinan. Disintegrasi bangsa juga makin meluas meskipun telah diusahakan penyelesaian, misalnya

pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Pertentangan DPR dengan lembaga kepresidenan juga makin

transparan. Banyak sekali teguran DPR yang tidak pernah diindahkan Presiden. Puncak pertentangan itu

muncul dalam masalah yang dikenal sebagai Bruneigate dan Buloggate. Kasus Buloggate menyebabkan

lembaga DPR mengeluarkan teguran keras kepada presiden dalam bentuk momerandum I sampai II.

Intinya agar presiden kembali bekerja sesuai GBHN yang telah diamanatkan. Presiden tidak

mengindahkan peringatan DPR tersebut. DPR akhirnya bertindak meminta MPR menggelar sidang

istimewa untuk meminta pertanggungjawaban kinerja presiden. Presiden berusaha menyelesaikan

masalah laporan pertanggungjawaban dengan kompromi politik. Namun, upaya itu tidak mendapat

Page 27: Berakhirnya Masa Orde Baru

sambutan positif lima dari enam partai politik pemenang Pemilu 1999, yaitu PDI Perjuangan, Partai

Golkar, PPP, PAN, dan Partai Bulan Bintang. PKB sebagai basis politik Gus Dur jelas mendukung langkah-

langkahnya. Sikap MPR untuk menggelar sidang istimewa makin tegas setelah presiden secara sepihak

melantik pemangku sementara jabatan Kepala Kepolisisan RI Komisaris Jenderal (Pol) Chaerudin Ismail

menggantikan Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro yang telah dinonaktifkan karena berseberangan

dengan presiden. Padahal sesuai aturan yang berlaku pengangkatan jabatan setingkat Kapolri meskipun

itu hak prerogatif presiden harus tetap berkoordinasi dengan DPR. Presiden sendiri dalam menanggapi

rencana sidang istimewa berusaha mencari kompromi politik yang sama-sama menguntungkan. Namun,

jika sampai tanggal 31 Juli 1998 kompromi ini tidak didapatkan, presiden akan menyatakan Negara

dalam keadaan bahaya. MPR berencana menggelar sidang istimewa mulai tanggal 21 Juli 2001. Presiden

direncanakan akan memberikan laporan pertanggungjawaban pada tanggal 23 Juli 2003. Namun,

presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan Sidang Istimewa MPR tidak sah dan ilegal.

Di lain pihak, beberapa pimpinan partai politik lima besar pemenang pemilu minus PKB mulai

mendekati dan mendorong Wapres Megawati Sukarnoputri untuk maju menjadi presiden. Melihat

perkembangan politik yang tidak menguntungkan tersebut, presiden menengarai adanya

persekongkolan untuk menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Oleh karena itu, presiden segera bertindak

meskipun tidak mendapat dukungan penuh dari kabinetnya untuk mengeluarkan Dekret Presiden pada

tanggal 23 Juli 2001 pukul 1.10 WIB dini hari. Dekret Presiden 23 Juli 2001 pada intinya berisi hal sebagai

berikut.

1. Membekukan MPR dan DPR RI.

2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan-badan

yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.

3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsure-unsur orde baru yang membekukan

Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Bangsa Indonesia menanggapi Dekret Presiden itu dengan penuh kebimbangan. MPR pada

tanggal 23 Juli 2001 pukul 8.00 WIB akhirnya bersikap bahwa dekret tidak sah dan presiden jelas-jelas

telah melanggar haluan Negara yang diembannya. Pernyataan MPR didukung oleh fatwa Mahkamah

Agung yang langsung dibacakan pada Sidang Istimewa MPR itu. Sidang istimewa MPR terus berjalan

meskipun PKB dan PDKB menyatakan walk-out dan tidak bertanggungjawab atas hasil apapun dari

Sidang Istimewa MPR. Fraksi-fraksi MPR yang ada akhirnya setuju memberhentikan Gus Dur sebagai

presiden RI dan menetapkan Megawati sebagai Presiden RI. Keputusan itu dituangkan dalam Tap. MPR

Page 28: Berakhirnya Masa Orde Baru

No. III/MPR/2001. Masa jabatan terhitung sejak dilantik sampai tahun 2004 atau melanjutkan sisa masa

pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Hamzah Haz terpilih menjadi Wapres RI. Presiden

Megawati menjalankan pemerintahan dengan membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Gotong

Royong. Komposisi kabinet ini ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 2001. Persoalan berat yang dihadapi

bangsa Indonesia telah menghadang Presiden Megawati dan kabinetnya untuk diselesaikan secepatnya.

Page 29: Berakhirnya Masa Orde Baru

C. KONDISI SOSIAL & POLITIK INDONESIA SETELAH 21 MEI 1998

Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru bagi penyelesaian

masalah Timor Timur. Pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah

menawarkan pilihan, yaitu pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara kesatuan RI

atau memisahkan diri dari Indonesia. Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York,

Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan tripartite antara Indonesia,

Portugal, dan PBB untuk melakukan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur,

PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak

pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792

penduduk Timor Timur berdasarkan criteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York

dan Dili pada tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk

Timor Timur menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul otonomi khusus

yang ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No.

V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya

Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang

menolak otonomi khusus.

Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap

masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh

dan Papua dilakukan dengan member otonomi khusus pada dua daerah tersebut. Untuk lebih memberi

perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di era kepemimpinan Gus Dur nama Iru=ian Jaya

diganti menjadi Papua. Pemerintah pusat juga member otonomi khusus kepada Papua. Dengan

demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan warga Papua untuk lebih

memaksimalkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih

terjadi usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutaman yang dipimpin oleh Theys H. Eluoy, ketua

presidium dewan Papua. Gerakan Papua merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas

tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum TNI dan Satgas

Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja

oknum yang memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.

Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras.

Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan

hasil maksimal. Pada masa pemerintahan presiden Megawati, Aceh telah mendapatkan otonomi khusus

Page 30: Berakhirnya Masa Orde Baru

dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat

sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok GAM tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka.

Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, seperti penghadangan dan perampokan truk-truk

pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang

memihak Indonesia. Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR

akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum militer diberlakukan di Aceh. Para pendukung

GAM ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga sipil sehingga

diharapkan dapat segera selesai.

Gjolak politik di eras reformasi juga ditandai dengan banyaknya terror bom di Indonesia. Terror

bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang

asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporakporandakan Hotel J.W. Marriot

di Jakarta beberapa waktu lalu. Keadaan yang tidak aman dan banyaknya terror bom memperburuk citra

Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia.

Kondisi politik Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya

hukum dan HAM sebagaimana mestinya. Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang

menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah terselesaikan secara adil

dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi

pergantian pimpinan Negara sejak Soeharto tidak menjadi presiden RI.

D. KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT SEJAK REFORMASI

1. Kondisi Sosial Masyarakat Sejak Reformasi

Sejak krisis moneter yang melan da pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami kerugaian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya.

Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.

Para pekerja yang deberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pengangguran dalam jumlah yang sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah masalah social dalam kehidupan masyarakat.

Page 31: Berakhirnya Masa Orde Baru

Dampak susulan dari pengangguran adalah makin maraknya tindakan tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu hendaknya pemerintah dengan serius menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja yang dapat menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah hendaknya dapat menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut. Masalah pengangguran merupakan masalah social dalam kehidupan masyarakat dan sangat peka terhadap segala bentuk pengaruh.

2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Indonesia

Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk sejak krisis tahun 1997.

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat, pemerintah melihat lima sector kebijakan yang harus digarap, yaitu :

perluasan lapangan kerja secara terus menrus melalui investasi dalam dan luar negeri se efisien mungkin.

Penyediaan barang kebutuhan pokok sehari hari untuk memenuhi permintaan pada harga yang terjangkau.

Penyediaan failitas umum seperti rumah, air minum, listrik, bahan baker, komunikasi, angkutan dengan harga terjangkau.

Penyediaan ruang sekolah, guru dan buku buku untuk pendidikan umum dengan harga terjangkau.

Penyediaan klinik, dokter dan obat onbatan untuk kesehatan umum dengan harga yang terjangkau pula.

Disamping penanganan masalah pengangguran,dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah hendaknya juga memperhatikan harga harga produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka permintaan petani terhadap barang barang non pertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya harga produk pertanian yang tidak merugikan petani, maka para petani yang mampu membeli produk industri non pertanian akan memberi semangat bangkitnya para pengusaha untuk mengembangkan kegiatan perusahaannya.

Pihak pemerintah telah berusaha untuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, pemerintah membuat skala prioritas yang artinya hal mana yang hendaknya dilakukan agar Indonesia keluar dari krisis.

Terpilihnya presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri yang naik menggantikan Gus Dur bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat dengan meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Namun dengan kondisi perekonomian Negara yang ditinggalkan oleh pemerintahan Soeharto, tidak mungkin dapat diatasi oleh seorang

Page 32: Berakhirnya Masa Orde Baru

Presiden dalam waktu singkat. Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.