49
Berita DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920 PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN APLIKASINYA Jakondar Bakara ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA Toni Samiaji KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) Soegiyono DITERBITKAN OLEH: LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920

Berita DIRGANTARA - LAPAN

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920

PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN

APLIKASINYA Jakondar Bakara

ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH

GUNUNGAPI SLAMET Susanto, Suwarsono

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear

GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA Toni Samiaji

KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP

ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) Soegiyono

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920

Page 2: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

VOL. 12 NO. 2 JUNI 2011

PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL DAN

APLIKASINYA .................................................................................................... Jakondar Bakara

ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN WILAYAH

GUNUNGAPI SLAMET ................................................................................ Susanto, Suwarsono

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK

ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI ........... Varuliantor Dear

GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA ..................................................... Toni Samiaji

KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP

ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI) .................................. Soegiyono

38 – 47

48 – 59

60 – 67

68 – 75

76 – 82

DITERBITKAN OLEH:

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA

BERITA DIRGANTARA VOL. 12 NO. 2 HLM. 38 - 82 JAKARTA, JUNI 2011 ISSN 1411-8920

Page 3: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita

DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA

DIRGANTARA

Keputusan Kepala LAPAN

Nomor: KEP/096/II/2011

Tanggal: 8 Februari 2011

Penanggung Jawab:

Sekretaris Utama LAPAN

Pemimpin Umum:

Karo Kerjasama dan

Hubungan Masyarakat

Sekretaris:

Ka. Bag. Hubungan Masyarakat

Ka. Subbag Publikasi

Penyunting Penyelia:

Heru Supriyatno

Penyunting Pelaksana:

Abdul Rahman

Gatot Winarso

Jiyo

Waluyo Eko Cahyono

Euis Susilawati

Geni Rosita

VOL.12 NO.2 JUNI 2011 ISSN 1411-8920

DARI MEJA PENYUNTING

Sidang pembaca yang terhormat,

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 12, No. 2, Juni 2011 dapat

hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian.

Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu,

“Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global dan Aplikasinya” ditulis

oleh Jakondar Bakara. Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi

penentuan posisi kepada pengguna yang dikendalikan dari stasiun

pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat dilakukan berdasarkan 4

(empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis lintang, ketinggian

dan waktu; “Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah

Gunungapi Slamet” ditulis oleh Susanto, Suwarsono. Sistem operasi alarm

bencana alam melalui analisis gunungapi memberikan informasi tentang

geomorphologis, daerah bahaya dan kondisi penutup lahan, hal ini

digunakan data Landsat ETM+ tanggal 19 September 2001 pada wilayah

gunungapi Slamet; “Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link

Establishment (ALE) Berbasis Manajemen Frekuensi” ditulis oleh

Varuliantor Dear. Penggunaan sistem Automatic Link Establishment (ALE)

merupakan salah satu solusi untuk mengatasi perubahan frekuensi kerja

komunikasi radio High Frequency (HF) akibat dinamika lapisan ionosfer.

Namun, proses penentuan frekuensi kerja dalam sistem ALE masih perlu

ditingkatkan akibat banyaknya frekuensi yang diuji setiap waktunya; “Gas

CO2 di Wilayah Indonesia” ditulis oleh Toni Samiaji. Perubahan konsentrasi

gas CO2 di atmosfer yang merupakan bagian dari siklus karbon adalah

penting untuk diteliti. Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi

protokol Kyoto, dipandang perlu untuk menginformasikan keadaan gas

CO2. Emisi maupun konsentrasi gas CO2 di Indonesia cenderung naik,

tetapi Indonesia masih mempunyai penyerap gas CO2 yaitu hutan dan

lautan.

Artikel terakhir ditulis oleh Soegiyono dengan judul “Kajian

Kedaulatan Negara di Ruang Udara Terhadap Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI)”. Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944, menegaskan

bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas

ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Secara yuridis formal wilayah

kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-

undangan yang mengatur secara khusus namun secara parsial telah diatur

dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Penyunting

Alamat Penerbit/Redaksi :

LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1

Rawamangun, Jakarta Timur 13220

Telepon : 4892802 (Hunting)

Fax : (012) 4894815

Email : [email protected]

[email protected]

Website: http://www.lapan.go.id

Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang

kedirgantaraan.

Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer

mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan

kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.

Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan

sumbernya.

Page 4: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47

38

PERKEMBANGAN SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL

DAN APLIKASINYA

Jakondar Bakara

Peneliti Bidang Pengkajian Kedirgantaraan Nasional, LAPAN

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Satelit navigasi global memancarkan sinyal navigasi penentuan posisi kepada

pengguna yang dikendalikan dari stasiun pengendali di Bumi. Penentuan posisi dapat

dilakukan berdasarkan 4 (empat) dimensi, yaitu berdasarkan garis bujur, garis

lintang, ketinggian dan waktu. Saat ini negara-negara mengembangkan sistem satelit

navigasi global Global Navigation Satellite Systems (GNSS). GNSS yang telah

dikembangkan antara lain: (i) Global Positioning System (GPS) milik Amerika Serikat, di

mana secara efektif telah menyediakan layanan global, dan (ii) Global Navigation

Satellite System (GLONASS) milik Rusia (Uni Soviet), juga telah efektif menyediakan

layanan global. Sedangkan GNSS yang sedang dikembangkan adalah (i) Sistem Galileo

milik Eropa yang dikembangkan Uni Eropa bekerjasama dengan European Space

Agency (ESA), (ii) Sistem navigasi regional Beidou, dikembangkan Cina, (iii) Sistem

navigasi India Regional Navigational Satellite System (IRNSS) dikembangkan oleh India,

dan (iv) Quasi-Zenith System Satellite (QZSS) akan dikembangkan oleh Jepang. Negara-

negara terus melengkapi dan meningkatkan kemampuan GNSS sehingga dapat di

gunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. GNSS telah dimanfaatkan untuk tujuan

militer, transportasi/angkutan, baik darat, laut, maupun udara, dan digunakan untuk

penentuan geografis, pemantauan gunung berapi dan penelitian.

1 PENDAHULUAN

Sistem satelit navigasi global

GNSS terdiri dari segmen antariksa,

segmen pengendali dan segmen

pengguna. Segmen antariksa (satelit)

memancarkan sinyal navigasi kepada

segmen pemakai, yang dikendalikan

stasiun pengendali di Bumi. Satelit

navigasi terdiri dari konstelasi satelit

dengan cakupan global. Fungsi satelit-

satelit tersebut mengirim sinyal ke

receiver yang dipasang di pesawat

terbang, kapal laut, kendaraan bermotor

dan manusia, untuk dapat menentukan

posisi-posisi mereka.

Satelit navigasi mempunyai ke-

mampuan untuk memberikan informasi

tentang posisi lokasi geografis dan

sinkronisasi waktu dalam penggunaan

sinyal real time dari satelit navigasi yang

mengorbit. Posisi yang ditentukan terdiri

dari 4 (empat) dimensi yaitu garis bujur,

garis lintang, ketinggian, dan waktu

(Justin Borton, 2010). Satelit navigasi

juga digunakan dalam berbagai sektor

yaitu penelitian/survey, precision farming/

ketelitian dalam pertanian, mendukung

pencarian dan penyelamatan, ilmu

kebumian, manajemen transportasi,

pergantian waktu yang tepat, manajemen/

pelacakan/anti pencurian. Sistem GNSS

terus berkembang dan kemudian juga

digunakan dalam berbagai sektor, seperti

pengangkutan, keamanan, pengawasan,

dan industri.

Berbagai sistem GNSS yang telah

dikembangkan antara lain: (i) GPS milik

Amerika Serikat, di mana secara efektif

telah menyediakan layanan global, (ii)

Sistem GLONASS milik Rusia (Uni

Soviet), juga telah efektif menyediakan

layanan global. Sedangkan sistem GNSS

yang sedang dikembangkan adalah

(i) Sistem Galileo milik Eropa yang

dikembangkan Union Europe (UE)

bekerjasama dengan ESA. Sistem navigasi

Page 5: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)

39

regional Beidou dikembangkan negara

Cina, (iii) Sistem navigasi IRNSS

dikembangkan oleh India, dan (iv) QZSS

akan dikembangkan oleh Jepang.

Makalah ini bertujuan untuk menguraikan

perkembangan satelit navigasi global

dan aplikasinya.

2 SISTEM SATELIT NAVIGASI GLOBAL

2.1 Global Positioning System (GPS)

Pada tahun 1973, Angkatan Laut

Amerika Serikat bekerjasama dengan

Angkatan Udaranya mengembangkan

sistem satelit navigasi pertama yang

disebut dengan Defence Navigation Satellite

System (DNSS) (Paul Kimppi, 2007). Satelit

Transit merupakan sistem satelit navigasi

yang pertama untuk DNSS. Pada awalnya

satelit ini digunakan untuk penentuan

lokasi dalam rangka mendukung operasi

kapal-kapal selam, mendukung misil

balistik Amerika Serikat, tetapi kemudian

juga digunakan oleh kapal-kapal untuk

keperluan ilmiah.

Program satelit Transit berakhir

pada tanggal 31 Desember 1996, dan

kemudian fungsinya diambil alih oleh

GPS/Navstar. GPS/Navstar yang telah

diluncurkan tahun 1978 merupakan

suatu konstelasi yang terdiri dari 24

satelit pada 6 bidang orbit digunakan

untuk menentukan setiap lokasi obyek

dan penentuan waktu di Bumi secara

akurat. GPS/Navstar ini dioperasikan

dan dikendalikan Komando Antariksa

Angkatan Udara Amerika Serikat. Di

samping melayani keperluan militer

Amerika Serikat juga telah melayani

pengguna sipil secara global. Sistem

GPS/Navstar mampu memberikan infor-

masi posisi lokasi dengan tingkat kete-

litian 1-5 meter melalui receiver kode

A/C, dan dapat memberikan tingkat

ketelitian 10-30 cm melalui receiver carrier

(Introduction to the Global Positioning

System for GIS and TRAVERSE, 1996).

Konstelasi satelit GPS/Navstar

beroperasi pada orbit-orbit lingkaran

dengan ketinggian 10.900 nautical miles

(nm) atau sama dengan 20.200 km

dengan umur satelit rata-rata 7,3 tahun-

7,8 tahun. Navstar/GPS juga membawa

peralatan sistem deteksi nuklir. Selain

dimanfaatkan Amerika Serikat dan Eropa

Barat, DGPS juga telah dimanfaatkan

Jepang, China, Polandia, Afrika Selatan

dan sejumlah negara di kawasan lain

untuk keperluan penerbangan sipil,

yaitu dengan memasang peralatan dapat

penerima sinyal dan menentukan posisi

lokasi yang sangat teliti dan tepat

(Kemppi, Paul, 2007).

GPS Navstar yang telah beroperasi

secara penuh pada tahun 1994, dimana

segmen kendali GPS/Navstar terdiri atas

suatu jaringan yang dijejak dari stasiun

pengendali Master Control Station (MCS)

di Colorado Springs, Colorado. Stasiun

Pengendali ini digunakan untuk menen-

tukan dan memprediksi satelit, penem-

patan, memonitor waktu dan sistem

integritas. Informasi yang dikirim ke

MCS, kemudian menghasilkan pem-

baharuan pesan untuk masing-masing

satelit GPS secara teratur. Satelit tersebut

kemudian mensinkronkan waktu dan

melakukan penyesuaian model orbital

internal.

Konstelasi GPS pada tanggal 28

Mei 2007 terdiri dari 30 satelit yang

meliputi 15 satelit Blok IIA, 12 satelit

Blok IIR dan 3 satelit Blok IIR-M.

Pelayanan penentuan posisi yang tersedia

terdiri dari pelayanan standard melalui

frekuensi L1 A/C (frekuensi L1 dengan

kode A/C) dan pelayanan penentuan

posisi untuk kepentingan Militer Amerika

Serikat melalui frekuensi gabungan L1

P(Y) (frekuesnsi L1 dengan Kode P(Y))

dan L2 P(Y) (frekuensi L2 dengan kode

P(Y). Program GPS dimasa mendatang

(2015) pelayanan ditingkatkan untuk

penentuan posisi standard melalui

frekuensi L1 A/C ditingkatkan pada

pelayanan penentuan posisi standard

melalui frekuensi L1 C/A (frekuensi L1

kode A/C), L2C (frekuensi L2 kode C),

Page 6: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47

40

dan frekuensi L5. Kemudian untuk

pelayanan kepentingan Militer Amerika

Serikat untuk pelayanan penentuan

posisi yang tepat melalui gabungan

frekuensi L1 P(Y) (frekuensi L1 dengan

kode P(Y), frekuensi L2 P(Y) (frekuensi

L2 dengan kode P(Y), frekuensi L1M

(frekuensi L1 dengan kode M), dan

frekuensi L2M frekuensi L2 kode M

(Tabel 2-2). Masing-Masing satelit mem-

punyai suatu kode yang berbeda kode

C/A, yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi sumber sinyal. Kode P

adalah suatu kode menyiarkan pada

10.23 Mhz. Lebih lanjut pada tahun

2008 Satelit GPS diluncurkan lagi setelah

dimodernisasi dengan meningkatkan

kemampuan dan meningkatkan per-

tambahan umur menjadi 12 tahun

(Kemppi, Paul, 2007).

2.2 Global Navigation Satellite System (GLONASS)

GLONASS adalah sistem satelit

navigasi global milik Uni Soviet (Rusia)

yang pengembangannya telah dimulai

pada tahun 1976 (GLONASS, 2011).

GLONASS mulai operasional pada tahun

1991, walaupun pengembangan konstelasi

secara penuh terselesaikan tahun 1996.

Satelit GLONASS terdiri dari konstelasi

24 satelit, dari jumlah konstelasi satelit

tersebut, untuk sementara 7 satelit

masih di matikan, dan 17 satelit telah

beroperasi (Paul Kimppi, 2007).

Satelit berada dalam 3 bidang

orbit di mana kedudukan satelit dengan

satelit lainnya terpisah dengan jarak

120°. Satelit beroperasi pada ketinggian

19.100 km di atas permukaan Bumi,

dengan inklinasi 64.8° dan siklus per-

putaran satelit mengelilingi Bumi 11

jam 15 menit.

Satelit GLONASS memberikan

pelayanan kepentingan Militer melalui

frekuensi L-Band, frekuensi L1 dengan

kode P, dan frekuensi L2 dengan kode P.

Pelayanan pesan penentuan posisi

melalui frekuensi L1 dengan Code C/A.

Satelit GLONASS memancarkan sinyal

dengan Code- C/A menggunakan carier

frekunensi. Frekuensi L1 antara 1,597-

1,617 MHZ dan frekuensi L2 antara

1,240-1,260 MHZ. GLONASS masa

mendatang (2015) ditingkatkan pada

pelayanan dalam ketelitian penentuan

posisi melalui frekuenasi L1, L2, dan

frekuensi yang ke-3 (3rd Signal).

Kemudian untuk kepentingan militer

untuk pelayanan dalam ketelitian tinggi,

Melalui frekuensi L1, dan L2. Stasiun

Pengendali GLONASS seluruhnya di-

tempatkan di Uni Soviet (Rusia). Pusat

pengendalian di darat berlokasi di Moscow

dan Stasiun Telemetry dan tracking yang

disebut Receiving Monitor Stations (RMS)

berlokasi di St. Petersburg, Ternopol, dan

Eniseisk. Satelit GLONASS dapat menyiar-

kan data melalui stasiun pengendali di

darat, namun demikian Sistem Satelit

GLONASS belum mampu berdiri sendiri

untuk satelit penetuan posisi, masih

menggunakan sistem rangkap GPS+

GLONASS terutama untuk para peng-

guna/pemakai dalam Real Time Kinematic

GPS (RTK-GPS), penerima yang dapat

menggunakan satelit GLONASS untuk

meningkatkan penentuan posisi ber-

integrasi dengan satelit GPS, dan telah

terbukti sangat menguntungkan di

dalam suatu lingkungan yang mem-

punyai suatu jarak yang sulit dicover

satelit. Dalam peningkatan pengembangan

sistem GLONASS dapat ditingkatkan ke

dalam sistem komersil yang mampu

bersaing di dalam pasar umum peng-

guna sistem GNSS (Paul Kimppi, 2007).

2.3 Galileo

Saat ini Uni Eropa (European

Union atau EU) bekerjasama dengan

badan antariksa Eropa atau ESA sedang

mengembangkan program GNSS Galileo.

Pembagian tugas adalah sebagai berikut;

Page 7: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)

41

UE adalah bertanggung jawab untuk

dimensi politik dan untuk pengaturan

sasaran program pengembangan, kemu-

dian ESA secara teknis mengembangkan

dan mensahkan sistem satelit. Pengem-

bangan program GNSS Gallieo ini

dilatarbelakangi karena para pengguna

navigasi satelit tidak mempunyai alternatif

pilihan selain menggunakan GPS atau

GLONASS. Untuk ini maka pada tahun

1990-an Eropa merasa perlu untuk

memiliki sendiri sistem satelit navigasi

global (ESA, 2010). Satelit pertama yaitu

Galileo In-Orbit Validation Element-A

(GIOVE-A diluncurkan pada tanggal 28

Desember 2005, dan satelit kedua

GIOVE-B diluncurkan bulan April 2008

(Veri Ilham, 2009).

Satelit awal ini digunakan untuk

mengumpulkan data untuk dipakai oleh

jaringan satelit Galileo nantinya dan

sekaligus mempersiapkan posisi orbit

satelit-satelit berikutnya. Setelah sistem

satelit navigasi Galileo beroperasi secara

penuh, sistem ini akan memiliki

beberapa pemonitor stasiun Bumi dan

30 satelit (27 satelit aktif dan 3 satelit

sebagai backup), akan mengorbit dan

memberikan arah yang lebih tepat lagi

pada pengguna peralatan navigasi.

Galileo akan memberikan data

yang lebih cepat dan akurat hanya

dalam radius 1 meter, dibandingkan

dengan GPS yang hanya mampu mem-

berikan keakuratan dalam radius 3 meter.

Seperti halnya GPS dan GLONASS, Galileo

akan memberikan service navigasi ke

masyarakat umum untuk digunakan

pada telpon mobile (HP, Ponsel) canggih,

peralatan-peralatan personal navigasi

dan peralatan navigasi lainnya yang

membutuhkan data dari satelit (Veri

Ilham, 2009). Program satelit Galileo yang

terdiri dari konstelasi 30 satelit navigasi

yang akan ditempatkan dalam 3 bidang

orbit di orbit MEO, sebagaimana dapat

dilihat dalam Gambar 2-1 (ESA, 2010).

Gambar 2-1: Konstelasi 30 satelit navigasi

Sistem satelit GALILEO akan

memberikan pelayanan seperti berikut;

(l) Layanan terbuka (Open Servise-OS)

yaitu layanan yang bebas untuk setiap

pengguna, melalui frekuensi E5A, E5B

dan frekuensi E2-L1-E1, (ii) Layanan

aplikasi Safety-Of-Life (SOL) yaitu untuk

aplikasi keselamatan transportasi. Layan-

an SOL tersedia untuk para pemakai

yang dilengkapi dengan dual-frequency

bersertifikat penerima pada frekuensi L1

dan E5, (iii) Layanan komersil pada

frekuensi C diarahkan pada aplikasi

yang lebih tinggi dibanding dengan

layanan terbuka OS. Layanan komersil

C menggunakan dua sinyal tambahan

pada frekuensi E5B dan E6 bersama-

sama dengan frekuensi O untuk mencapai

capaian lebih baik. Pengaturan layanan

untuk publik akan digunakan dengan

kelompok government-authorised seperti

polisi, dan penjaga pantai. Sistem satelit

GALILEO memiliki jaringan stasiun

sensor, dan akan termonitor di seluruh

dunia. Memiliki 2 (dua) stasiun pengendali

yang berlokasi di Eropa. Data tersedia

untuk para pemakai dimanapun melalui

satelit GALILEO atau terpusat melalui

sistem kendali GALILEO.

Perbandingan pelayanan dan

frekuensi yang tersedia pada sistem

GPS, GLONASS, GALILEO Tahun 2003,

dan Rencana Program Peningkatan

Tahun 2015, dapat dilihat pada Tabel 2-2.

Page 8: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47

42

Tabel 2-2: PELAYANAN DAN FREKUENSI YANG TERSEDIA PADA SISTEM GPS, GLONASS, GALILEO TAHUN 2003, DAN RENCANA PROGRAM PENINGKATAN TAHUN 2015

GPS GLONASS GALILEO

Services 2003

2015 2003 2015 2003 2015

Basic Positioning (unencrypted)

SPS L1 C/A

SPS L1 C/A L2C L5

SP L1

SP L1 L2 3rd Signal

OS L1 E5a E5a

Integrity/safety (unencrypted)

Integrity message

SoL L1 E5b E5a

Commercial/ valueadded (encrypted)

CS E6

Security/military (unencrypted)

PPS L1 P(Y) L2 P(Y)

PPS L1 P(Y) L2 P(Y) L1 M L2 M

HP L1 L2

HP L1 L2 Unknown

PRS L1 E6

SPS-Standard Positioning Service, PPS-Precise Position Service, SP-Standard Precision, HP-High Precision, OS-Open Service, SoL-Safety of Life service, CS-Commercial Service, PRS – Public Regulated Service

Sumber: C.Seynat, A. Kealy, K. Zhang, 2004

2.4 Sistem Satelit Navigasi Beidou

Sistem satelit navigasi Beidou

adalah sistem satelit navigasi yang

sedang dikembangkan China untuk

menentukan lokasi bagi keperluan

militer. China mengembangkan satelit

Beidou ini untuk mengurangi keter-

gantungannya terhadap sistem satelit

navigasi GPS dan GLONASS. Sistem

Beidou generasi pertama terdiri dari dua

satelit yaitu satelit Beidou-1 A dan

satelit Beidou-1B yang diluncurkan

masing-masing pada Oktober 2000 dan

Desember 2000. Sedangkan sistem

Beidou generasi kedua yaitu Beidou -2A,

Beidou-2B, dan Beidou-2C diluncurkan

masing-masing pada tanggal 24 Mei

2003, 3 Pebruari 2007, dan 14 April

2007.

Walaupun kemampuan Beidou

ini masih kurang dibanding sistem GPS

milik Amerika Serikat dan sistem

GLONASS milik Rusia, namun telah

dapat mengurangi ketergantungan China

terhadap kedua sistem tersebut. Setelah

peluncurannya satelit Beidou-2C pada

bulan April 2007 ke GEO, sistem satelit

Beidou ini namanya diganti menjadi

sistem Compass atau China’s Compass

Navigation Satellite System (CNSS). Pada

tahun 2015 direncanakan, China akan

memiliki konstelasi satelit Compass

(Beidou) sebanyak 30 satelit yang

berada pada Medium Earth Orbit (MEO)

(Inside GNSS News, 2009). Empat satelit

Beidou sebelumnya berada di orbit

GEO. CNSS nantinya akan terdiri dari

lima satelit di GEO dan 30 (tiga puluh)

satelit di MEO.

Satelit Beidou yang telah dilun-

curkan sampai dengan tahun 2011

dapat dilihat pada Tabel 2-3.

Page 9: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)

43

Tabel 2-3: SATELIT BEIDOU (SAMPAI DENGAN 10 APRIL 2011)

Tanggal Peluncuran Nama Satellite Nama Sistem

31 Oktober 2000 BeiDou-1A

BeiDou-1 21 Desember 2000 BeiDou-1B

25 Mei 2003 BeiDou-1C

3 Pebruari 2007 BeiDou-1D

14 April 2007 Compass-M1

BeiDou-2 (Compass)

15 April 2009 Compass-G2

17 Januari 2010 Compass-G1

2 Juni 2010 Compass-G3

1 Agustus 2010 Compass-IGSO1

1 Nopemver 2010 Compass-G4

18 Desember 2010 Compass-IGSO2

10 April 2011 Compass-IGSO3

Sumber: Globaltimes.cn, April 10 2011

2.5 Quasi-Zenith Sistem Satelit (QZSS)

Pada tahun 2003, Jepang sebagai

negara yang maju secara teknologi

memulai sebuah proyek dengan nama

Quasi-Zenith System Satellite (QZSS)

atau dalam bahasa Jepang Jun-Ten-Cho

(Miljenko, 2007). QZSS akan meningkat-

kan kinerja GPS dalam dua cara, yaitu

peningkatan ketersediaan sinyal GPS,

dan peningkatan performa GPS (men-

cakup akurasi dan keaslian sinyal GPS)

(Service of QZSS).

QZSS terdiri dari 3 (tiga) satelit

dan akan memberikan layanan posisi

satelit secara regional serta komunikasi

dan broadcasting. Setiap satelit akan

berada dalam 3 bidang orbit yang

berbeda, di mana mempunyai kemiringan

45 derajat terhadap Geostationary Orbit

(GEO). Satelit pertama yang diberi nama

Michibiki telah diluncurkan pada tanggal

11 September 2010. Diharapkan QZSS

ini akan beroperasi secara penuh pada

tahun 2013. Pada Gambar 2-2 posisi

satelit terlihat pada angka 3 (tiga).

Dalam orbitnya tersebut, satelit

QZSS akan melengkapi sistem GNSS

lainnya yang selama ini digunakan

Jepang. Selain itu QZSS akan mencakup

wilayah Australia dan daerah Asia.

Sistem satelit QZSS diaplikasikan untuk

menyediakan layanan berbasis komuni-

kasi (video, audio, dan data), dan informasi

posisi. (Quasi-Zenith Satellite System, 2008)

Gambar 2-2: Orbit QZSS (Sumber: Geo-

metry of Zenith Satellites, 2001)

2.6 India Regional Navigation Satellite

System (IRNSS)

IRNSS adalah sistem satelit

navigasi yang dikembangkan oleh badan

antariksa India India Space Research

Organisation (ISRO) yang berada di

bawah kontrol pemerintah India.

Pemerintah menyetujui proyek pem-

bangunan ini pada bulan Mei 2006, dan

dijadwalkan sistem satelit navigasi ini

akan selesai dan dapat diimplemen-

tasikan pada tahun 2014.

Konstelasi IRNSS akan terdiri dari

7 (tujuh) satelit, 3 (tiga) di antaranya di

Page 10: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47

44

orbit GEO (34º E, 83º E dan 131,5º E),

dan 4 (empat) di GSO dengan kemiringan

29 derajat terhadap bidang ekuator

seperti yang ditunjukkan pada gambar

2-3b. Semua satelit akan terus terlihat

di wilayah India selama 24 jam setiap

hari. Diagram rinci tentang konfigurasi

sistem IRNSS, ditunjukkan sebagaimana

pada Gambar 2-3c. Sistem IRNSS akan

menyediakan dua jenis layanan, yaitu

Service Standard Positioning (SPS), dan

Restricted Service for Special User (layanan

terbatas untuk pengguna khusus).

Kedua layanan ini akan disediakan pada

frekuensi band L5 dan S-band, sebagai-

mana ditunjukkan pada Gambar 2-3.

Aplikasi satelit ini digunakan untuk

pemetaan, penentuan posisi dan akurasi

cuaca yang lebih baik. (Sumber: Satellite

Navigation, 2010)

Gambar 2-3: Pelayanan regional (a), konstelasi IRNSS (b), dan sistem konfigurasi IRNSS

(c) (Sumber : Indian Regional Navigation Satellite System, 2011)

a)

b)

c)

Page 11: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)

45

3 APLIKASI SISTEM SATELIT NAVI-GASI GLOBAL

Satelit navigasi global diaplikasikan

untuk keperluan militer dan untuk

keperluan sipil, antara lain (Global

Positioning System, 2009):

a. Militer

Sistem satelit navigasi global digunakan

untuk keperluan perang, seperti

menuntun arah bom, atau mengetahui

posisi pasukan berada. Dengan cara

ini maka bisa mengetahui teman dan

lawan untuk menghindari salah target

ataupun menentukan pergerakan

pasukan. Salah satu contoh dalam

perlombaan senjata antar benua

ICBM (Intercontinental Ballistic Missile)

maka dalam menentukan lokasi

yang tepat dari lokasi misil yang di

tembakkan oleh musuh. Maka dengan

mengetahui lokasi secara tepat bisa

menghancurkan musuh beserta

seluruh perangkat persenjataan

mereka.

b. Sipil

Sistem satelit navigasi global diguna-

kan sebagai alat navigasi seperti

kompas. Beberapa jenis kendaraan

telah dilengkapi dengan sistem

satelit navigasi global seperti GPS

untuk alat bantu navigasi dengan

menambah peta, sehingga bisa

digunakan untuk memandu

pengendara. Dengan demikian,

pengendara bisa mengetahui jalur

mana yang sebaiknya dipilih untuk

mencapai tujuan yang diinginkan.

Teknologi ini telah digunakan di

Indonesia. Dengan kelengkapan

data yang ada, berbagai kemungkinan

rute perjalanan dapat diperoleh. Hal

ini sangat membantu apabila saat

terjebak kemacetan, dan dengan

mudah dapat mengambil jalan

terdekat, karena perangkat navigasi

secara otomatis akan me-rerouting

jalur baru untuk sampai ketujuan.

Di samping itu juga sistem GPS

navigasi dapat dipasang di pesawat

terbang, kapal laut, tank, kapal

selam, mobil, truk, dan yang lainnya.

Sistem satelit navigasi global juga

dapat digunakan dalam sistem

informasi geografi seperti dalam

pembuatan peta, antara lain untuk

mengukur jarak perbatasan, ataupun

sebagai referensi pengukuran.

Beberapa contoh penggunaan

menawarkan display peta yang di

pandu sistem satelit GPS. Setelah

terhubung dengan sistem GPS,

maka semua peta yang lengkap

dengan nama jalan dan tempat

layanan publik pun akan terlihat di

monitor.

Sistem satelit navigasi global (seperti

GPS) juga dapat digunakan untuk

pemantauan gempa. Dengan kete-

litian yang tinggi bisa digunakan

untuk memantau pergerakan tanah,

yang ordenya hanya milimeter dalam

setahun. Selain itu, juga dapat

digunakan untuk pemantauan

pergerakan tanah yang bermanfaat

untuk memperkirakan terjadinya

gempa, baik pergerakan vulkanik

ataupun tektonik.

Sistem satelit navigasi global (seperti

GPS) juga dapat digunakan sebagai

pelacak kendaraan. Dengan bantuan

GPS, pemilik kendaraan/pengelola

armada bisa mengetahui keberadaan

kendaraan serta arah pergerakannya.

Sistem ini telah digunakan di

Indonesia, di mana polisi dapat

meringkus seorang pencuri mobil

dengan bantuan sistem GPS yang

dipasang di mobilnya.

Sistem satelit navigasi global

(seperti GPS) juga dapat digunakan

untuk studi Ionosfer dan Troposfer.

Satelit tersebut akan memancarkan

sinyal-sinyal gelombang elektro-

magnetik yang sebelumnya diterima

antena receiver GPS akan melewati

medium lapisan-lapisan atmosfer

dan troposfer (Aplication Global

Positioning System-GPS, 2011).

Page 12: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 38-47

46

4 PENUTUP

Dari uraian pada pembahasan

dapat disimpulkan bahwa sampai saat

ini baru terdapat 2 (dua) sistem satelit

navigasi global yang telah beroperasi

dan memberikan pelayanan secara global,

yaitu sistem satelit navigasi global GPS

milik Amerika Serikat dan sistem satelit

navigasi global GLONASS milik Rusia.

Sistem satelit navigasi global tersebut,

utamanya GPS telah dimanfaatkan oleh

berbagai negara, termasuk Indonesia,

untuk berbagai kepentingan baik militer

maupun sipil. Untuk kepentingan militer,

antara lain telah digunakan perang,

sedangkan untuk kepentingan sipil

antara lain digunakan dalam sistem

informasi geografi, pemantauan gempa,

dan untuk pelacak kendaraan. Amerika

Serikat dan Rusia masih terus mening-

katkan kemampuan sistem satelitnya

tersebut sehingga dapat meningkatkan

pelayanannya termasuk untuk kepen-

tingan komersial.

Negara-negara lainnya yang sedang

mengembangkan sistem satelit navigasi-

nya adalah (i) Sistem Galileo milik Eropa

yang dikembangkan Uni Eropa bekerja-

sama dengan European Space Agency

(ESA) direncanakan akan selesai pada

tahun 2015 , (ii) Sistem navigasi regional

Beidou, dikembangkan Cina, juga akan

selesai pada tahun 2015, (iii) Sistem

navigasi India Regional Navi-gational

Satellite System (IRNSS) yang dikembang-

kan oleh India direncanakan akan

selesai pada tahun 2014, dan (iv) Quasi-

Zenith System Satellite (QZSS) yang

dikembangkan oleh Jepang direncanakan

akan beroperasi pada tahun 2013.

DAFTAR RUJUKAN

Aplication Global Positioning System

(GPS), 2011. http://himatesil.ipb.

ac.id/index.php/artikel-sil/116-gps.

Html.

BeiDou 1 Experimental Satellite Navigation

System, 2008. http:// www.

sinodefence.com/space/spacecraft/

beidou1.asp.

Borton, Justin, “GPS Surveying, 2010”

http://archive.cyark.org/gps-

surveying-blog.

Choir, Afdhol, 2011. Aplikasi Global

Positioning System GPS, http://

himatesil.ipb.ac.id/index.php/

artikel-tentang-sil/116-gps.html.

C. Seynat, A. Kealy, K. Zhang, 2004. A

Performance Analysis of Future

Global Navigation Satellite Systems.

ESA, 2010, Galileo : a Constellation of 30

Navigation Satellites, http://www.

esa.int/esaNA/ESAAZZ6708D_gal

ileo_0.html, Last update: 12 May

2010.

ESA, 2010. Why Europe Needs Gallileo,

http://www.esa.int/esaNA/GGG0

H750NDC_galileo_0.html, 12 May

2010.

Global Positioning System (GPS), 2009.

http://kumtukul.blogspot.com/

2009/10/global-positioning-

system-gps.html.

Global navigation satellite system, 2010

http://en.wikipedia.org/wiki

Global_navigation_satellite_system.

GNSS-Global Navication Satellite System,

1990.http://www.sp.se/en/index/

research/time_and_frequency/sid

or/default.aspx.

Globaltimes.cn, April 10 2011. http://

business.globaltimes.cn/industries

/2011-04/642763.html.

Gustav Lindstrong, Giovanni Gasparini,

2003. The Galileo Satellite System

and its Security Implications, http://

www.iss.europa.eu/uploads/media

/occ44.pdf.

Indian Regional Navigation Satellite

System, 2011. http:// www.

insidegnss.com/node/2429.

Introduction to the Global Positioning

System for GIS and TRAVERSE,

1996.http://www.cmtinc.com/gps

book/.

Paul Kimppi, 2007. Nex Generation Satellite

Navigation System. http://www.

activetectonics.coas.oregonstate.

edu/classes/Sonar/Kempi2007.

pdf.

Page 13: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Perkembangan Sistem Satelit Navigasi Global......(Jakondar Bakara)

47

Quasi-Zenith Satellite System, 2008.

http:// en. wikipedia. org/wiki/

Quasi-Zenith_Satellite_System.

Satellite Navigation, 2010. http://en.

wikipedia.org/wiki/Satellite_navi-

gation.

Page 14: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

48

ANALISIS DAERAH BAHAYA DAN PENUTUP LAHAN

WILAYAH GUNUNGAPI SLAMET

Susanto, Suwarsono

Peneliti PUSBANGJA, LAPAN

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Sistem operasi alarm bencana alam melalui analisis Gunungapi memberikan

informasi tentang geomorfologis, daerah bahaya dan kondisi penutup lahan, hal ini

digunakan data Landsat ETM+ tanggal 19 September 2001 pada wilayah Gunungapi

Slamet. Analisis geomorfologis menghasilkan sepuluh pengelompokan bentuk lahan

yaitu: Kawah aktif (V.02.a), Kerucut gunungapi cinder (V.04.a), Lereng gunungapi

(V.05.a), Lereng gunungapi atas (V.05.d), Lereng gunungapi tengah (V.05.c), Lereng

gunungapi bawah( V.05.d. Kaki gunungapi (V.06.a). Dataran kaki gunungapi (V.06.b.),

Medan lava (V.08.a) Gawir sesar pegunungan blok (S.03.d). Dan analisis daerah bahaya

gunungapi, diperoleh tingkat kerentanan tiap-tiap bentuk lahan terhadap bencana

Gunungapi Slamet yang dikelaskan ke dalam tiga tingkat, yaitu sangat rentan, (Kawah

aktif, Kerucut gunungapi cinder, Medan Lava, dan lereng gunungapi atas), rentan

(Lereng gunungapi tengah, Lereng gunungapi bawah, Kaki gunungapi, dan Gawir sesar

pegunungan blok) dan kurang rentan (lereng gunungapi, dan Dataran kaki gunungapi).

Demikian juga hasil analisis penutup lahan diperoleh tujuh kelas penutup yaitu

mulai yang paling luas berturut-turut adalah lahan hutan (10.657 ha), sawah (3.332

ha), tegalan (1.741 ha), perkebunan (1.545 ha), permukiman (418 ha), endapan

piroklastik (305 ha), dan lahan terbuka (65 ha). Tujuan dari tulisan ini menginfor-

masikan dari hasil penelitian tentang analisis Gunungapi Slamet bulan Juni 2003.

1 PENDAHULUAN

Gunungapi Slamet merupakan

salah satu dari 129 gunungapi di

Kepulauan Indonesia yang masih aktif

(www.pu.go.id). Dari jumlah tersebut 15

gunungapi dikategorikan sebagai gunung-

api kritis (sangat potensial untuk meletus).

Bentuk ancaman dari letusan gunungapi

ini berupa korban jiwa dan kerusakan

permukiman/harta/benda. Korban jiwa

dan kerusakan terjadi akibat tertimbun

hasil letusan seperti aliran lava (lava

flow), lemparan batu, abu vulkanis

(ash), awan panas (nuess ardentes), dan

gas-gas beracun.

Mengingat banyaknya gunungapi

aktif di Indonesia tersebut, maka perlu

adanya upaya penanggulangan bencana

letusan dengan pemberian informasi

dini guna mengantisipasi bencana ter-

sebut. Informasi dapat dikontribusikan

dengan menunjukkan lokasi daerah

bahaya menurut zonasi tingkat keren-

tanan dan kondisi penutup lahan.

Informasi lokasi daerah bahaya dan

penutup lahan yang ada diharapkan

dapat menjadi bahan untuk membangun

sistem mitigasi bencana gunungapi di

daerah tersebut dan di sekitarnya. Pada

kegiatan ini gunungapi yang dipantau

adalah Gunungapi Slamet.

Gunungapi Slamet merupakan

salah satu vulkan bertipe strato yang

masih menunjukkan gejala keaktifan

sampai saat ini dan merupakan gunung-

api tertinggi ke 2 di Pulau Jawa setelah

Gunungapi Semeru yaitu dengan keting-

gian 3.432 m (www.volcanolive. com).

Adapun sejarah letusan gunungapi ini

dimulai tahun 1772, dan terakhir meletus

tahun 2000 (www.volcanolive. com). Ber-

dasarkan pengukuran dari citra Landsat

ETM+ path/row 120/065 tanggal 19

September 2001, Kawah Gunungapi

Slamet terletak pada posisi koordinat

Page 15: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

49

7- 14’ 33” Lintang Selatan dan 109- 12’ 37”

Bujur Timur. Jumlah total penduduk

yang bermukim di sekeliling kaki

gunung ini dari 5 kabupaten sebesar

6.919.752 jiwa (BPS, 2001).

Secara administrasi, kompleks

Gunungapi Slamet mancakup daerah-

daerah sebagai berikut:

a. Lereng sebelah utara: Kecamatan

Pulosari Kabupaten Pemalang dan

Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal.

b. Lereng sebelah barat: Kecamatan Cepu

dan Kecamatan Sirampok Kabupaten

Brebes.

c. Lereng sebelah timur: Kecamatan

Karangrejo dan Kecamatan Kutasari

Kabupaten Purbalingga

d. Lereng sebelah selatan: Kecamatan

Cilongok, Kecamatan Banteng, Keca-

matan Baturaden, dan Kecamatan

Sumbang Kabupaten Banyumas.

Data yang diperoleh digunakan

dalam analisis daerah bahaya dan

penutupan lahan diperoleh melalui

analisis citra Landsat ETM+ path/row

120/065 tanggal akuisisi 19 September

2001. Data citra satelit tersebut tersedia

di LAPAN.

2 METODOLOGI

Data yang digunakan dalam

analisis daerah bahaya adalah citra

Landsat ETM+ path/row 120/065 tanggal

akuisisi 19 September 2001. Metodologi

penelitian dilakukan melalui beberapa

pentahapan. Pentahapan pemantauan

aktivitas gunungapi yang dilakukan me-

liputi beberapa kegiatan yaitu sebagai

berikut:

Analisis dan deskripsi geomorfologis

gunungapi dan sekitarnya dengan

menggunakan data Landsat TM dan

Landsat-ETM+. Hasil analisis dan

deskripsi tersebut akan dihasilkan

peta bentuklahan (landforms map) dan

peta daerah bahaya gunungapi.

Analisis perubahan penutup lahan di

daerah gunungapi dan sekitarnya

dengan mengidentifikasi dan meng-

klasifikasi penutup lahan dari 2 data

dengan kurun waktu 5 tahun yaitu

dari tahun 1997-2002, untuk

mengetahui perubahan luasnya.

Analisis konsentrasi pemukiman

dikaitkan dengan tingkat kerentanan

daerah bencana

Analisis dan deskripsi geomor-

fologis dilakukan secara visual (visual

analysis) sedangkan analisis penutup

lahan dilakukan secara dijital (digital

analysis). Untuk mempertajam analisis

citra secara visual untuk bentuklahan

vulkanik dibantu dengan pembuatan

citra komposit warna RGB band 543

dan penajaman spasial highpass filter

sharpen 2 (Wikanti A., 2002). Sedangkan

analisis penutup lahan secara dijital

dilakukan dengan metode klasifikasi

isoclass unsupervised. Piranti lunak

yang digunakan yaitu ER Mapper versi

5.5 yang mempunyai fasilitas untuk

metode-metode tersebut (ER Mapper,

1997).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dibagi

atas 2 bagian berdasarkan metodologi

yang digunakan, yaitu analisis-deskripsi

geomorfologis dan identifikasi-klasifikasi

penutup lahan berikut analisis

perubahannya serta kaitannya dengan

konsentrasi pemukiman.

3.1 Analisis dan Deskripsi Geomor-fologis

3.1.1 Analisis bentuklahan (Landforms)

Geomorfologi merupakan studi

yang mendeskripsi bentuklahan dan

proses yang mengakibatkan terbentuknya

bentuklahan tersebut dan menyelidiki

hubungan timbal balik dari bentuk-

bentuk dan proses ini dalam susunan

keruangan (Zuidam, 1985). Penamaan

klasifikasi bentuklahan didasarkan pada

acuan yang dikeluarkan oleh Fakultas

Geografi dan Bakosurtanal (Badan

Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional)

tahun 2000. Hasil klasifikasi bentuk-

Page 16: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

50

lahan di kompleks Gunung Slamet

secara visual dapat dilihat dalam

Gambar 3-1.

Pada gambar tersebut tercantum

dua buah peta bentuklahan yaitu

sebelah kiri berupa peta dengan simbol

warna dan angka, sedangkan peta

sebelah kanan berupa peta yang

disimbolkan dengan angka dan batas

garis yang ditampakkan pada citra

komposit 543. Penyimbolan warna

untuk bentuklahan asal vulkanik

digunakan warna merah bergradasi dari

tua ke muda dan bentuklahan asal

fluvial digunakan warna biru tua (UGM-

Bakosurtanal, 2000).

Hasil analisis dan deskripsi

geomorfologis dengan menggunakan

data penginderaan jauh (dan Landsat

ETM+ tanggal 19 September 2001,

kawasan gunungapi Slamet dibagi atas

sepuluh bentuklahan (Landforms), masing-

masing yaitu 9 bentuklahan asal vulkanik

yang disimbolkan dengan huruf depan

besar ‘V’ dan 1 bentuklahan asal

struktural disimbolkan dengan huruf

depan besar ‘S’. Kesepuluh bentuklahan

tersebut yaitu sebagai berikut:

Kawah aktif (V.02.a)

Kerucut gunungapi cinder (V.04.a)

Lereng gunungapi (V.05.a)

Lereng gunungapi atas (V.05.b)

Lereng gunungapi tengah (V.05.c)

Lereng gunungapi bawah (V.05.d)

Kaki gunungapi (V.06.a)

Dataran kaki gunungapi (V.06.b)

Medan lava (V.08.a)

Gawir sesar pegununganblok (S.03.d)

Kondisi geomorfologis daerah

pemantauan ditinjau secara umum dari

aspek genesis dan kronologinya,

Gunungapi Slamet merupakan gunungapi

berbentuk strato dengan kawah yang

masih menunjukkan gejala keaktifannya.

Di dalam kawah aktif tersebut telah

muncul kerucut gunungapi cinder

dengan ukuran yang relatif kecil.

Gambar 3-1: Hasil klasifikasi bentuklahan di kompleks Gunungapi Slamet

Page 17: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

51

Bentuklahan kawah aktif (V.02.a)

mencerminkan morfologi kawah gunung-

api yang masih menunjukkan gejala-

gejala keaktifan. Berbentuk seperti

cekungan pada puncak gunungapi dengan

diameter sekitar 1 kilometer. Gejala-

gejala keaktifan tersebut dapat diamati

dari citra dengan mengamati warnanya.

Warna biru pada citra yang terdapat di

bagian puncak gunungapi mengindi-

kasikan warna material yang relatif

masih baru atau segar yang berasal dari

erupsi vulkan berupa lemparan material

piroklastik yaitu ash, tuff, lapili, dan

bomb. Material tersebut terendapkan

hingga mencapai lereng atas dan lereng

tengah. Umumnya semakin jauh jarak

dari pusat erupsi maka konsentrasi

endapan piroklastik semakin berkurang.

Jangkauan lemparan piroklastik yang

berukuran lebih halus akan menjang-

kau daerah yang lebih jauh dan luas,

dalam hal ini abu vulkan (ash) dan tuff

akan menjangkau daerah yang relatif

lebih jauh dan luas daripada material

lapili dan bomb. Selain itu aliran lava

yang dikeluarkan dari mulut kawah

telah membentuk bentuklahan Medan

lava (V.08.a), meskipun luasan areal

yang dijangkau aliran lava relatif sempit

yaitu sekitar 1 hingga 2 km. Dari citra

bentukan ini dapat diamati dari warna

merah menyala, memiliki bentuk dan

pola memanjang dari mulut kawah.

Arah aliran lava cenderung mengarah ke

baratlaut dan sebagian kecilnya ke arah

timur laut.

Di dalam tubuh kawah aktif telah

tumbuh kerucut gunungapi cinder

(V.04.a) dengan ukuran relatif kecil

yaitu dengan diameter kerucut sekitar

0,5 km. Pada puncak kerucut cinder

tersebut terbentuk pula kawah aktif

dengan diameter sekitar 100 meter dan

juga merupakan bagian dari pusat

aktivitas erupsi vulkan. Pada citra

menampakkan warna merah terang

yang mengindikasikan gejala keaktifan

yang masih terus berjalan.

Lereng Gunungapi Slamet dari

puncak ke arah bawah semakin landai

dan dapat dibedakan menjadi Lereng

gunungapi atas (V.05.b), Lereng

gunungapi tengah (V.05.c), dan Lereng

gunungapi bawah (V.05.d). Kemudian

kearah bawah berturut-turut dapat

dibedakan lagi menjadi Kaki gunungapi

(V.06.a) dan Dataran kaki gunungapi

(V.06.b). Karakteristik utama yang

membedakan bentuklahan tersebut

adalah kemiringan lereng dan posisi

lereng tersebut, di samping proses-

proses yang berlangsung yang juga

memiliki perbedaan. Pada lereng

gunungapi atas dan tengah dari citra

berwarna hijau terang atau hijau

dengan spot-spot berwarna putih.

Kemungkinan besar spot-spot berwarna

putih tersebut mengindikasikan pengaruh

temperatur magma dari pusat erupsi

yang berdampak pada penutup lahan.

Kemungkinan kedua adalah terkonsen-

trasi material piroklastik yang dapat

menjangkau dalam jumlah yang signifikan

di kedua bentuklahan tersebut.

Kemiringan lereng semakin bawah

akan semakin berkurang secara gradual

dari sangat terjal hingga datar-landai

dengan batas-batasnya merupakan takik

lereng (break of slope) yang membentuk

pola linier. Takik lereng yang membentuk

pola linier tersebut hanya dapat diamati

dengan interpretasi visual yang tajam

dan perlu kehati-hatian dalam membuat

delineasi. Kunci interpretasi lainnya

untuk mengetahui posisi takik lereng

tersebut adalah dengan mengamati

adanya jalur-jalur hijau (green belt) yang

merupakan letak pemunculan mata air.

Mata air-mata air pada daerah vulkan

umumnya terbentuk pada takik lereng

daerah dimana batas antara muka air

tanah (water table) menyentuh per-

mukaan tanah (ground surface). Pada

zona jalur hijau tersebut pada citra

menunjukkan penutup lahan dengan

vegetasi yang hijau subur berpola

melingkar mengelilingi lereng gunung.

Page 18: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

52

Tabel 3-1: KLASIFIKASI BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK REKOMENDASI DARI BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM YOGYAKARTA TAHUN 2000

No. SKALA 1 : 25.000 SKALA 1 : 50.000

KODE NAMA BENTUK LAHAN KODE NAMA BENTUK LAHAN

1

V.01 Gunungan strato

V.01.a Gunungapi strato aktif

V.01.b Gunungapi strato tidak aktif

2

V.02

Kawah/Danau Kawah

V.02.a Kawah aktif

V.02.b Danau kawah aktif

V.02.c Kawah tidak aktif

V.02.d Danau kawah tidak aktif

3

V.03

Kawah/Danau kaldera

V.03.a Kaldera aktif

V.03.b Danau kaldera aktif

V.03.c Kaldera tidak aktif

V.03.d Danau Kaldera tidak aktif

4

V.04

Kerucut pegunungan

V.04.a Kerucut gunungapi cinder

V.04.b Kerucut gunungapi piroklasik

V.04.c Kerucut gunungapi abu volkan

V.04.d Kerucut parester

5

V.05

Lereng Gunungapi

V.05.a Lereng gunungapi

V.05.b Lereng gunungapi atas

V.05.c Lereng gunungapi tengah

V.05.d Lereng gunungapi bawah

6

V.06

Kaki Gunungapi

V.06.a Kaki gunungapi

V.06.b Dataran kakigunungapi

V.06.c Kipas Plovio gunungapi

7

V.07

Dataran Gunungapi

V.07.a Dataran gunungapi

V.07.b Dataran flovio gunungapi

V.07.c Dataran antar gunungapi

8 V.08 Medan lava/lahar V.08.a V.08.b

Medan lava

Medan lahar

9

V.09

Gunungapi penrisai

V.09.a Puncak gunungapi perisai

V.09.b Lereng gunungapi perisai

V.09.c Kaki gunungapi perisai

V.09.d Plato lava basalt

V.09.e Aliran lava basalt

10 V.10 Gunungapi bocca V.10.a Gunungapi bocca

V.10.b Kaki gunungapi bocca

11 V.11 Sumbat lava V.11.a Sumbat lava

12 V.12 Leher gungapi V.12.a Leher gunungapi

Sumber : Bakosurtanal

Di kompleks Gunungapi Slamet

juga masih dijumpai sisa-sisa tubuh

vulkan yang tersisa lebih tua yang dapat

diamati dengan jelas pada lereng

sebelah barat. Pada lereng sebelah timur

keberadaan tubuh vulkan tua juga

masih dapat diamati hanya saja hampir

sebagian besar telah tertutupi oleh

material vulkan baru. Untuk penamaan

sisa-sisa tubuh vulkan pada lereng

sebelah barat digunakan nama Lereng

gunungapi (V.05.a).

Bentuklahan lainnya yang ter-

dapat di kompleks Gunungapi Slamet

yaitu bentuklahan struktural Gawir sesar

pegunungan blok (S.03.d). bentuklahan

ini terbentuk pada bidang sesar atau

escarpment dari dua buah sesar naik

Page 19: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

53

dengan arah strike Baratlaut-Tenggara.

Kedua sesar naik tersebut pada peta

dapat diamati dengan jelas pada sisi kiri

atas. Penyebab terjadinya pengangkatan

tubuh vulkan tua tersebut kemung-

kinan besar akibat tenaga endogen

berupa desakan magma ke atas dan

mengenai tubuh vulkan lama. Pola-pola

patahan kecil juga dapat diamati pada

lereng timur Gunungapi Slamet hanya

saja intensitas peng-angkatannya relatif

lebih lemah.

3.1.2 Analisis tingkat kerentanan ben-cana gunungapi tiap-tiap bentuk-lahan (Landforms)

Bentuklahan memainkan peranan

penting dalam pemantauan kerentanan

bencana gunungapi. Apabila dikaitkan

antara unit bentuklahan yang memiliki

karakteristik tertentu terhadap tingkat

kerentanan terhadap letusan gunungapi

maka terdapat keterkaitan yang erat.

Kerentanan bencana untuk kasus

Gunungapi Slamet tiap-tiap bentuklahan

memiliki karakteristik yang khas, ter-

sebut ditunjukkan secara lebih rinci

pada Tabel 3-2.

Berdasarkan tabel tersebut dapat

diketahui bentuklahan yang memiliki

tingkat sangat rentan yaitu Kawah Aktif,

Kerucut gunungapi cinder, Medan Lava,

dan Lereng gunungapi atas. Bentuklahan

yang memiliki tingkat rentan yaitu Lereng

gunungapi tengah, Lereng gunungapi

bawah, Kaki gunungapi, dan Gawir sesar

pegunungan blok. Sedangkan bentuk-

lahan yang memiliki tingkat kurang

rentan yaitu Lereng gunungapi dan

Dataran kaki gunungapi. Namun demikian

tidak semua luasan di tiap-tiap bentuk-

lahan yang masuk kategori rentan dan

sangat rentan termasuk dalam daerah

bahaya letusan. Untuk itu dibuat peta

daerah bahaya letusan gunungapi yang

tentu saja pada sebagiannya akan

mencakup sebagian atau seluruh luasan

pada bentuklahan-bentuklahan yang

memiliki tingkat rentan maupun sangat

rentan.

Tabel 3-2: TINGKAT KERENTANAN BENCANA GUNUNGAPI SLAMET UNTUK TIAP-TIAP

BENTUKLAHAN

No. Bentuk Lahan

Tingkat kerentanan Material Erupsi

Sangat Rentan

Rentan Kurang Rentan

Aliran Lava/lahar

Material Piroklastis

Ash/Tuf Lapili Bom

1. Kawah aktif + - - + + + +

2. Kerucut

gunungapi cinder

+ - - + + + +

3. Medan lava + - - + + + +

4. Lereng gunungapi

atas

+ - - + + + +

5. Lereng gunungapi

tengah

- + - + + + -

6. Lereng gunungapi

bawah

- + - + - - -

7. Kaki gunungapi - + - + - - -

8. Dataran kaki

gunung

- - + - - - -

9. Lereng gunungapi - - + - - - -

10. Gawir sesar

peg.blok

- + - - + + +

Sumber : Analisis

Page 20: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

54

Pembuatan peta daerah bahaya

letusan tersebut digunakan untuk

keperluan mitigasi bencana alam.

Daerah Bahaya Gunungapi Slamet

dikelompokkan ke dalam tiga daerah

bahaya, yaitu Daerah Terlarang, Daerah

Bahaya I, dan Daerah Bahaya II.

Penamaan tersebut mengacu pada

zonasi daerah bahaya letusan gunungapi

yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulka-

nologi. Pembagian ke dalam daerah-

daerah bahaya tersebut disajikan dalam

bentuk peta pada Gambar 3-2.

Daerah Terlarang meliputi daerah-

daerah yang akan terkena dampak

langsung dari erupsi vulkan baik aliran

lava, aliran lahar, jatuhan material

piroklastik, debris avalanche, maupun

awan panas. Daerah-daerah pada Daerah

Terlarang akan terkena atau mengalami

kontak langsung oleh material-material

erupsi tersebut. Pada peta disimbolkan

dengan warna merah. Daerah tersebut

terdapat pada Keseluruhan bentuklahan

Kawah aktif, Kerucut gunungapi cinder,

Medan lava, dan Lereng gunungapi atas.

Pada citra, daerah tersebut menunjukkan

warna merah menyala, biru, dan spot-

spot berwarna terang. Warna merah

menyala mengindikasikan aktivitas

vulkanisme pada kawah yang masih

berlangsung, warna biru menunjukkan

kandungan air yang terdapat pada

endapan-endapan lava dan piroklastik

yang masih baru, dan spot-spot cerah

menunjukkan endapan-endapan piro-

klastik yang masih baru dan bersifat

kering.

Daerah Bahaya I meliputi daerah-

daerah yang kemungkinan besar akan

mengalami dampak serupa pada Daerah

Terlarang, namun memiliki intensitas,

frekuensi dan resiko yang relatif lebih

rendah. Daerah Bahaya I tersebut

secara langsung akan terkena jatuhan

material piroklastik. Pada peta disimbol-

kan dengan warna kuning. Daerah Bahaya

I teragihkan keseluruhan bentuklahan

Lereng gunungapi tengah.

Gambar 3-2: Peta Daerah Bahaya Gunungapi Slamet

Page 21: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

55

Delineasi Daerah Bahaya I

didasarkan atas pemahaman bahwa

daerah tersebut terletak di bawah daerah

Terlarang dan sampai sejauh mana

lemparan material piroklastik masih

mampu menjangkau daerah tersebut

dalam jumlah relatif besar. Menganalisis

kondisi keruangan kompleks Gunungapi

Slamet secara regional, maka daerah-

daerah yang ditetapkan sebagai Daerah

Bahaya I seperti yang ditunjukkan pada

peta.

Pada citra Daerah Bahaya II

meliputi daerah-daerah di luar daerah

Terlarang dan Daerah Bahaya I yang

kemungkinan juga akan terkena dampak

erupsi vulkan meskipun tidak sebesar

pada Daerah Terlarang dan Daerah

Bahaya I yang dalam hal ini akan

dilewati oleh aliran-aliran lava dan lahar

yang bergerak ke bawah. Pada peta

Daerah Bahaya II disimbolkan dengan

warna hijau muda. Daerah-daerah ter-

sebut meliputi keseluruhan lereng

gunungapi bawah, sebagian Kaki

gunungapi, dan sebagian Gawir sesar

pegunungan blok yang lokasinya ber-

dekatan dengan pusat erupsi. Delineasi

didasarkan pula pada lokasi yang

memiliki kemungkinan besar dilalui

aliran-aliran piroklastik, lahar, dan lava.

Aliran piroklastik, lahar, dan lava yang

bergerak menuruni gunung akan ter-

kontrol oleh topografi, yaitu akan melalui

lur-alur sungai. Namun demikian tidak

semua alur-alur sungai pada lereng

gunung akan dilewati oleh aliran lahar

dan lava tersebut. Di sini harus mem-

perhitungkan juga morfologi lain yang

dapat berfungsi sebagai penghambat

atau pembelok aliran lahar dan lava

seperti morfologi vulkan tua yang

terangkat ke atas. Gambar 3-3 menun-

jukkan pola aliran Gunungapi Slamet

yang dapat dibedakan alur-alur sungai

mana yang kemungkinan akan dilewati

oleh aliran piroklastik, lahar, dan lava

sangat besar (disimbolkan dengan

warna merah), menengah (disimbolkan

dengan warna kuning), dan rendah

(disimbolkan dengan warna biru muda).

3.2 Identifikasi dan Klasifikasi Penutup Lahan serta Analisis Konsentrasi Permukiman terhadap Kemung-kinan Terkena Dampak Letusan

Hasil identifikasi dan klasifikasi

penutup lahan Gunungapi Slamet dengan

menggunakan data Landsat-ETM+ tanggal

19 September 2001 yaitu berupa peta

penutup lahan. Jumlah, nama kelas,

dan luasan tiap-tiap kelas penutup

lahan dapat dilihat pada Tabel 3-3 dan

Peta Penutup Lahan dapat dilihat pada

Gambar 3-4. Tabel 3-4 menyajikan

padanan klasifikasi penutup lahan yang

dipakai dalam penelitian ini dengan

standar klasifikasi penutup lahan/

penggunaan lahan yang direkomendasi-

kan oleh Bakosurtanal dan Fakultas

Geografi UGM tahun 2000.

Jumlah kelas penutup lahan

yang terdapat di kompleks Gunungapi

Slamet ada 7 kelas seperti dalam Tabel

3-3 meliputi kelas hutan, perkebunan,

tegalan, sawah, permukiman, lahan

terbuka, dan endapan piroklastik. Dari

hasil analisis dapat diketahui bahwa

luasan penutup lahan dari yang paling

besar ke yang terkecil berturut-turut

yaitu kelas hutan (10.657 Ha), sawah

(3.332 Ha), tegalan (1.741 Ha), perkebunan

(1.545 Ha), permukiman (418 Ha),

endapan piroklastik (305 Ha), dan lahan

terbuka (65 Ha).

Daerah-daerah permukiman di

kompleks Gunungapi Slamet merupakan

permukiman pedesaan dengan berdasar

pada pola-pola distribusinya yang me-

nyebar. Dari hasil analisis melalui citra

dapat diidentifikasi bahwa letak per-

mukiman-permukiman yang ada yaitu

terdapat pada Kaki gunungapi dan

Dataran kaki gunungapi. Selain itu,

terdapat lokasi-lokasi permukiman yang

terletak pada zona Daerah Bahaya II.

Secara administrasi permukiman-per-

mukiman tersebut termasuk wilayah

Kecamatan Kutasari dan Kecamatan

Karangrejo Kabupaten Purbalingga,

Page 22: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

56

Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang,

dan Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.

Sedangkan di wilayah kecamatan yang

lain tidak termasuk dalam zona daerah

bahaya baik Daerah Terlarang, Daerah

Bahaya I, maupun Daerah Bahaya II.

Gambar 3-3: Pola Aliran Gunungapi Slamet

Tabel 3-3: KELAS PENUTUP LAHAN DAN LUASANNYA

No. Kelas penutup lahan Luas (Ha) %

1. Hutan 10.657 59

2. Perkebunan 1.545 9

3. Tegalan 1.741 10

4. Sawah 3.332 18

5. Permukiman 418 2

6. Lahan terbuka 65 0

7. Endapan piroklastik 305 2

Jumlah 18.063 100

Sumber :Hasil Analisis

Page 23: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

57

Gambar 3-4: Peta Penutup Lahan Gunungapi Slamet

Tabel 3-4: PADANAN KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN YANG DIGUNAKAN DALAM PENELITIAN INI DENGAN STANDAR KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN/ PENGGUNAAN LAHAN YANG DIREKOMENDASIKAN OLEH BAKOSURTANAL DAN FAKULTAS GEOGRAFI UGM TAHUN 2000

Tingkat I Tingkat II Tingkat III Padanan kelas

1. Daerah

Perkotaan

dan

Terbangun

1.1. Permukiman

perkotaan

1.1.1. Pemukiman perkotaan Permukiman

1.2. Perdagangan, jasa,

industri

1.2.1.Perdagangan, jasa,

industri

1.3. Kelembagaan 1.3.1. Kelembagaan

1.4. Transportasi,

komunikasi, utilitas

1.4.1. Transportasi,

komunikasi, utilitas

1.5. Lahan terbangun

lainnya

1.5.1. Lahan terbangun

lainnya

1.6. Bukan lahan

terbangun

1.6.1. Bukan lahan

terbangun

2. Daerah

Perdesaan

2.1. Permukiman

pedesaan

2.1.1. Permukiman pedesaan

2.2. Lahan bervegatasi

diusahakan

2.2.1. Sawah irigasi Sawah

Tegalan

2.2.2. Sawah tadah hujan

2.2.3. Sawah pasang surut

2.2.4. Tegalan

2.2.5. Perkebunan

Page 24: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 48-59

58

2.3. Lahan bervegatasi

tidak diusahakan

2.3.1. Hutan lahan kering Hutan

2.3.2. Hutan lahan basah

2.3.3. Belukar Tegalan

2.3.4. Semak

2.3.5. Rumput

2.4. Lahan tidak bervega-

tasi Diusahakan

(lahan kosong)

2.4.1. Lahar terbuka Lahan terbuka

2.4.2. Lahar dan Lava Lahar dan

Lava

Endapan

piroklastik

Singkapan

Batuan

2.4.3. Beting pantai Lahan terbuka

2.4.4. Gosong sungai

2.4.5. Gumuk pasir

2.5. Tubuh air 2.5.1. Danau Tubuh air

2.5.2. Waduk

2.5.3. Tambak

2.5.4. Rawa

2.5.5. Sungai

2.6. Kelurusan 2.6.1. Kelurusan

Sumber : Bakosurtanal

4 PENUTUP

Hasil analisis geomorfologis terhadap

kawasan Gunungapi Slamet dari data

Landsat-ETM+ tanggal 19 September

2001, daerah tersebut dikelompokkan

ke dalam sepuluh bentuklahan. Ke-10

bentuklahan tersebut yaitu : Kawah

Aktif (V.02.a), Kerucut gunungapi

cinder (V.04.a), Lereng gunungapi

(V.05.a), Lereng gunungapi atas

(V.05.b), Lereng gunungapi tengah

(V.05.c), Lereng gunungapi bawah

(V.05.d), Kaki gunungapi (V.06.a),

Dataran kaki gunungapi (V.06.b),

Medan lava (V.08.a), Gawir sesar

pegunungan blok (S.03.d).

Tingkat kerentanan tiap-tiap bentuk-

lahan terhadap bencana Gunungapi

Slamet dikelaskan ke dalam tiga

tingkat, yaitu sangat rentan, rentan,

dan kurang rentan. Masing-masing

yaitu tingkat sangat rentan meliputi

Kawah Aktif, Kerucut gunungapi

cinder, Medan Lava, dan Lereng

gunungapi atas. Tingkat rentan meliputi

Lereng gunungapi tengah, Lereng

gunungapi bawah, Kaki gunungapi dan

Gawir sesar pegunungan blok. Sedang-

kan bentuklahan yang memiliki

tingkat kurang rentan yaitu Lereng

gunungapi dan Dataran kaki pegu-

nungan.

Untuk keperluan mitigasi bencana

alam, berdasarkan interpretasi citra,

kompleks Gunungapi Slamet menun-

jukkan daerah-daerah yang termasuk

Daerah Terlarang, Bahaya I, dan

Bahaya II. Terdapat konsentrasi areal

permukiman yang termasuk Daerah

Bahaya III yaitu yang terdapat di kaki

gunungapi Slamet dan secara

administrasi permukiman-permukiman

tersebut termasuk wilayah Kecamatan

Kutasari dan Kecamatan Karangrejo

Kabupaten Purbalingga, Kecamatan

Pulosari Kabupaten Pemalang, dan

Kecamatan Cepu Kabupaten Brebes.

Sedangkan di wilayah kecamatan yang

lain tidak termasuk dalam zona

Page 25: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Analisis Daerah Bahaya dan Penutup Lahan Wilayah......(Susanto et al.)

59

daerah bahaya baik Daerah Terlarang,

Daerah Bahaya I, maupun Daerah

Bahaya II.

Hasil analisis penutup lahan

diperoleh tujuh kelas penutup yaitu

mulai yang paling luas berturut-turut

adalah lahan hutan (10.657 Ha), sawah

(3.332 Ha), tegalan (1.741 Ha),

perkebunan (1.545 Ha), permukiman

(418 Ha), endapan piroklastik (305 Ha),

dan lahan terbuka (65 Ha).

DAFTAR RUJUKAN

Wikanti, Asriningrum, 2002. Studi

Kemampuan Landsat ETM+ untuk

Identifikasi Bentuklahan (Landforms)

Di Daerah Jakarta-Bogor, Tesis S-2,

Program Pascasarjana IPB, Bogor.

ER Mapper 1997. ER Mapper 5.5 Level

One Trainig Workbook, Western

Australia, Earth Survey Mapping.

Sunarto, 1994. Laporan Penelitian:

Daerah Rawan Bencana Alam,

Kerjasama Bappeda Dati I Jawa

Tengah dengan Fakultas Geografi

UGM, Yogyakarta.

Fakultas Geografi UGM dan Bakosurtanal,

2000. Pembakuan Spek Metodologi

Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik

Dasar Dalam Mendukung

Perencanaan Tata Ruang, Proyek

Inventarisasi dan Evaluasi

Sumberdaya Nasional Matra Laut,

Bakosurtanal, Bogor.

Zuidam R.A. van, 1985. Aerial Photo-

Interpretation in Terrain Analysis

and Geomorphologic Mapping, ITC,

Enschede, The Netherlands.

Web Addresses: www.pu.go.id dan www.

volcanolive.com.

Page 26: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67

60

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

Varuliantor Dear

Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Penggunaan sistem Automatic Link Establishment (ALE) merupakan salah satu

solusi untuk mengatasi perubahan frekuensi kerja komunikasi radio High Frequency

(HF) akibat dinamika lapisan ionosfer. Namun, proses penentuan frekuensi kerja dalam

sistem ALE masih perlu ditingkatkan akibat banyaknya frekuensi yang diuji setiap

waktunya. Dengan mengkombinasikan sistem ALE dan manajemen frekuensi, efisiensi

waktu proses yang diperoleh menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan terhadap

waktu proses yang dilakukan dalam sistem ALE konvensional. Dari hasil simulasi

yang dilakukan untuk sirkuit komunikasi Bandung-Pameungpeuk pada bulan Maret

2011, perbedaan waktu proses yang diperoleh untuk menentukan frekuensi kerja radio

komunikasi HF mencapai 1,6-1,8 detik pada pukul 00 hingga 06 WIB. Sedangkan pada

pukul 07 hingga 23 WIB perbedaan waktu yang diperoleh berkisar antara 1,2-1,4 detik.

Berdasarkan hasil tersebut, sistem ALE berbasis manajemen frekuensi dapat

meningkatkan efisiensi waktu proses penentuan frekuensi kerja yang dapat digunakan.

1 PENDAHULUAN

Sistem Automatic Link Establish-

ment (ALE) merupakan sistem yang

digunakan untuk mempermudah operator

komunikasi radio High Frequency (HF)

dalam menentukan frekuensi kerja yang

akan digunakan secara cepat. Pemilihan

frekuensi dilakukan berdasarkan hasil

proses analisa kualitas sinyal yang

dilihat dari nilai Bit Eror Rate (BER) dan

perbandingan kuat sinyal terhadap

noise (SN) dari tiap-tiap frekuensi yang

diuji. Dengan mengelompokan frekuensi

kerja berdasarkan kualitas sinyal atau

catatan dari keberhasilan hubungan

komunikasi yang telah dilakukan,

sistem ALE secara otomatis melakukan

proses penentuan frekuensi kerja yang

dapat digunakan dengan menguji semua

frekuensi yang ada didalam kelompok

frekuensi tersebut.

Kondisi lapisan ionosfer yang

dinamis merupakan salah satu alasan

munculnya sistem ALE. Keberhasilan

komunikasi radio HF, khususnya

propagasi angkasa (skywave), sangat

bergantung pada kondisi lapisan

ionosfer. Parameter kondisi lapisan

ionosfer, yakni frekuensi kritis (foF2)

dan frekuensi minimum (fmin) merupakan

salah satu batasan yang menentukan

keberhasilan komunikasi radio (Dear,

2009). Nilai parameter-parameter tersebut

dapat digunakan sebagai rujukan

penentuan frekuensi komunikasi radio

yang dapat digunakan atau waktu untuk

melakukan komunikasi. Penentuan

frekuensi kerja maupun waktu komuni-

kasi yang dilakukan dengan memper-

hatikan kondisi lapisan ionosfer yang

kemudian diolah sebagai prediksi

frekuensi disebut sebagai manajemen

frekuensi.

Sistem ALE merupakan pengem-

bangan perangkat untuk meningkatkan

keberhasilan suatu kanal frekuensi.

Pada kenyataannya sistem ini masih

bersifat mandiri dalam menentukan

frekuensi kerja yang diuji cobakan,

sehingga sistem ini juga dianggap masih

memiliki keterbatasan. Keterbatasan

tersebut dikemukakan dalam buku

panduan ALE untuk komunikasi militer

dengan salah satu solusinya adalah

Page 27: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)

61

diperlukannya proses kombinasi mana-

jemen frekuensi dengan sistem ALE

(United Stated Army, 2003). Dengan

kombinasi tersebut, sistem ALE diasum-

sikan dapat lebih optimal akibat

meningkatnya efektifitas waktu proses

penentuan frekuensi kerja yang dilaku-

kan. Pada makalah ini dibahas per-

bandingan antara sistem ALE konven-

sional dengan sistem ALE yang dipadukan

dengan manajemen frekuensi. Penelitian

dilakukan untuk mengetahui selisih

waktu proses yang diperlukan dalam

sistem ALE berbasis manajemen prediksi

frekuensi dengan sistem ALE konven-

sional. Dengan diperolehnya selisih waktu

proses tersebut, maka dapat diketahui

efisiensi waktu proses sistem ALE ber-

basis manajemen frekuensi.

2 LANDASAN TEORI

2.1 Mekanisme Penentuan Frekuensi Kerja dalam Sistem ALE

Mekanisme dalam sistem ALE

untuk melakukan komunikasi dengan

stasiun yang dituju atau dikehendaki

disajikan pada Gambar 2-1. Untuk

memulai komunikasi, stasiun inisiator

melakukan pemanggilan sesuai dengan

identitas stasiun yang dituju meng-

gunakan frekuensi f1, f2,...fn yang telah

ditetapkan atau dimiliki. Apabila stasiun

yang dituju menerima sinyal tersebut,

maka sinyal respon yang berisi identitas

stasiun akan dikirimkan melalui frekuensi

yang sama (fc). Setelah menerima sinyal

respon dari stasiun yang dituju, sinyal

balasan (acknowledgment) dikirimkan

sebagai isyarat untuk memulai komuni-

kasi. Setelah sinyal balasan acknow-

ledgement diterima, maka komunikasi

antara kedua stasiun tersebut dapat

dilaksanakan.

Dalam sistem ALE tiap-tiap stasiun

selalu dalam kondisi siaga (standby)

atau kondisi memanggil (calling). Dalam

kondisi standby, radio melakukan

proses scaning untuk memeriksa sinyal

panggilan dari frekuensi-frekuensi yang

dimiliki atau digunakan. Proses scaning

tersebut memiliki durasi waktu antara

0,2 hingga 0,5 detik per satu frekuensi.

Apabila saat proses scaning diterima

sinyal panggil yang ditujukan kepada

stasiun tersebut, maka sinyal respon

akan dikirimkan melalui frekuensi yang

sama dan bersamaan dengan proses

menunggu sinyal acknowledgment dari

stasiun pemanggil.

Gambar 2-1: Proses handshaking dalam

sistem ALE

Keterangan:

f1, f2,.., fn : Frekuensi uji fc = frekuensi komunikasi

Dalam proses pemanggilan (calling),

pemilihan frekuensi yang hendak di-

gunakan tidak bersifat acak. Pemilihan

frekuensi dilakukan berdasarkan hasil

analisis kualitas sinyal dari tiap-tiap

frekuensi yang ada. Proses analisis

kualitas sinyal tersebut dikenal sebagai

algoritma Link Quality Analyze (LQA).

Frekuensi dengan kualitas terbaik akan

digunakan terlebih dahulu untuk

memanggil stasiun yang dituju. Apabila

tidak diperoleh respon dari stasiun yang

dituju pada frekuensi tersebut, maka

frekuensi terbaik berikutnya digunakan

untuk memanggil stasiun yang dituju.

Proses pemilihan frekuensi untuk

memanggil stasiun yang dituju terus

dilakukan hingga diperoleh sinyal

respon. Apabila semua frekuensi telah

Page 28: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67

62

digunakan untuk memanggil stasiun

yang dituju, namun tidak diperoleh

sinyal respon, maka sistem ALE akan

memberi tahu operator bahwa komunikasi

tidak dapat dilakukan. Operator dapat

melakukan cara lain seperti meman-

faatkan stasiun relay atau jaringan

bersama (Net) agar informasi yang ingin

disampaikan dapat diterima stasiun

lawan (United Stated Army, 2003).

Urutan frekuensi berdasarkan

kualitas sinyal dengan algoritma LQA

dibuat dalam bentuk tabel. Contoh tabel

LQA disajikan pada Tabel 2-1. Kolom

address merupakan kolom yang berisikan

identitas masing-masing stasiun. Kolom

channels merupakan kolom frekuensi

atau kanal yang tersedia yang berisi

nilai kualitas sinyal dari frekuensi yang

dapat digunakan untuk menghubungi

stasiun-stasiun tersebut. Sebagai contoh;

untuk berkomunikasi dengan stasiun

ALPHA2, tersedia 4 kanal yang dapat

digunakan, yakni; kanal 1, 3, 4, dan 5.

Sedangkan untuk urutan frekuensi yang

digunakan dalam penentuan frekuensi

kerja yang hendak digunakan untuk

berkomunikasi akan dimulai dari kanal

4, 3, 5, dan 1.

Tabel 2-1: HASIL DARI LQA SISTEM ALE

Efisiensi waktu proses untuk

menentukan frekuensi terbaik sangat

dipengaruhi oleh durasi waktu scanning

stasiun yang dipanggil. Hal ini dikarena-

kan saat melakukan pemanggilan,

waktu untuk menunggu sinyal respon

dari stasiun yang dituju per-frekuensi

dapat diatur secara bebas dengan

pengaturan nilai minimum 1 detik.

Namun, untuk proses scanning, durasi

ditentukan oleh jumlah frekuensi yang

diuji serta durasi waktu pemeriksaan

sinyal panggilan untuk setiap frekuensi.

Umumnya dalam sistem ALE, selama 1

detik banyaknya frekuensi yang dipantau

adalah antara 2 hingga 5 frekuensi.

Akibatnya durasi waktu per 1 frekuensi

antara 0,2 detik hingga 0,5 detik

(Hflink1, 2010). Dengan sistem ini, dapat

diartikan bahwa semakin banyak

frekuensi yang diatur atau dimasukan

ke dalam sistem tersebut, akan

berdampak pada pe-ningkatan lamanya

waktu penentuan frekuensi kerja yang

dapat digunakan.

2.2 Variasi Lapisan Ionosfer dan Manajemen Frekuensi

Keberhasilan komunikasi radio

HF khususnya propagasi angkasa,

dipengaruhi oleh kondisi lapisan ionosfer.

Kondisi lapisan ionosfer yang dinamis

menyebabkan keberhasilan komunikasi

radio HF perlu dikelola dalam bentuk

manajemen frekuensi (McNamara, 1991).

Dalam manajemen frekuensi, penggunaan

komunikasi radio diatur berdasarkan

waktu operasional radio yang disesuaikan

dengan frekuensi kerja yang digunakan.

Hal ini dikarenakan satu frekuensi yang

digunakan terus menerus tidak selalu

dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer.

Parameter lapisan ionosfer yang

dapat digunakan untuk mengetahui

pemantulan yang mungkin terjadi

adalah nilai frekuensi terendah (fmin)

dan frekuensi tertingi lapisan F2

ionosfer (foF2). Dengan menggunakan

formula secant, parameter ionosfer

tersebut dapat digunakan untuk meng-

hitung batas terendah dan tertinggi

frekuensi yang dapat dipantulkan pada

suatu sirkuit komunikasi (Suhartini,

2006).

Kendatipun kondisi lapisan

ionosfer sangat dinamis, parameter

lapisan ionosfer yang mempengaruhi

keberhasilan pemantulan memiliki pola

yang tetap berdasarkan waktu. Pola

tersebut dikenal sebagai variasi lapisan

ionosfer yang meliputi variasi harian,

musiman, lokasi, dan siklus Matahari

(McNamara, 1991). Gambar 2-2 di bawah

ini merupakan contoh grafik variasi

harian lapisan ionsfer.

Page 29: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)

63

Gambar 2-2: Variasi harian lapisan

ionosfer (Jiyo, 2011)

Pada Gambar 2-2 ditunjukkan

pola atau variasi harian parameter

lapisan ionosfer. Gambar tersebut

menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi

(foF2) yang dapat dipantulkan oleh

lapisan ionosfer berbeda tiap jamnya.

Pola lapisan ionosfer memiliki pola

seperti huruf S setiap harinya. Pukul

00-06 LST, frekuensi tertinggi yang

dapat dipantulkan lapisan ionosfer

semakin menurun. Namun, pada pukul

07-12 LST, frekuensi tertinggi yang

dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer

mulai meningkat. Sedangkan pada

pukul 13 – 23 LST terlihat bahwa nilai

frekuensi tertinggi yang dapat dipantulkan

oleh lapisan ionosfer cenderung stabil.

Dengan kondisi lapisan ionosfer

yang memiliki variasi terhadap waktu

tersebut, manajemen frekuensi menjadi

salah satu solusi untuk menjamin

keberhasilan komunikasi yang dilakukan

(McNamara, 1991). Dengan keterbatasan

frekuensi yang diizinkan, maka komuni-

kasi yang dilakukan didasari pada waktu

untuk berkomunikasi. Waktu komunikasi

merupakan waktu dimana frekuensi

kerja yang dimiliki berada diantara nilai

tertinggi dan terendah dari frekuensi

yang dapat dipantulkan. Pada Gambar

2-3 disajikan contoh hasil manajemen

frekuensi yang dilakukan untuk sirkit

Bandung-Pameungpeuk pada bulan

Maret 2011.

Pada Gambar 2-3 garis Maximum

Usable Frequency (MUF) adalah batas

tertinggi frekuensi yang dapat dipantulkan

oleh lapisan ionosfer. Sedangkan garis

Lowest Usable Frequency (LUF) merupakan

batas terendah frekuensi yang dapat

dipantulkan oleh lapisan ionosfer. Garis

arsir berwarna kuning menunjukkan

frekuensi kerja yang dimiliki. Sedangkan

garis putus-putus menunjukkan waktu

komunikasi yang diperoleh berdasarkan

prediksi frekuensi yang dihasilkan

untuk sirkit Bandung-Pameungpeuk.

Dengan frekuensi kerja 7 MHz, waktu

komunikasi untuk sirkit tersebut adalah

antara pukul 07.00 WIB hingga 23.00

WIB. Keberhasilan komunikasi yang

dilakukan pada periode waktu tersebut

memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini

juga telah dibuktikan berdasarkan

penelitian yang dilakukan (Perwitasari,

2010).

Gambar 2-3: Manajemen frekuensi pada frekuensi 7 MHz

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

Fre

ku

ensi

(M

Hz)

WIB (UT+7)

TJS, MARET (foF2)

2000 2001 2002 2003 2004

Page 30: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67

64

3 DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan data hasil olah

durasi scaning dari kelompok frekuensi

yang dialokasikan dalam sistem ALE

untuk lingkup radio amatir dalam

spektrum HF. Frekuensi tersebut adalah:

3,5 MHz; 7,1 MHz; 10,1 MHz; 14,1 MHz;

18,1 MHz; 21,09 MHz; 24,9 MHz; dan

28,1 MHz (HfLink, 2010). Durasi waktu

scaning yang digunakan untuk per-

hitungan setiap 1 frekuensi adalah 200

mili detik (Hflink, 2010).

Untuk memperoleh nilai frekuensi

sistem ALE berbasis manajamen frekuensi

digunakan software prediksi frekuensi

Advanced Stand Alone Prediction (ASAPS)

yang merupakan keluaran dari IPS

Australia. Sirkit yang digunakan merupa-

kan sirkit Bandung-Pameungpeuk untuk

waktu komunikasi bulan Maret 2011.

Hasil prediksi menggunakan ASAPS

yang diperoleh kemudian difilter untuk

menghasilkan frekuensi yang dapat

digunakan dalam sistem ALE. Proses

filtering yang dilakukan merupakan

proses manajemen frekuensi dengan

cara menggunakan batas frekuensi

terendah dan tertinggi yang dicocokan

dari alokasi frekuensi yang tersedia

dalam sistem ALE.

Dari kedua informasi tersebut,

dilakukan perhitungan waktu scaning

dalam setiap jam untuk satu hari.

Durasi waktu yang diperoleh digunakan

untuk melihat selisih waktu dalam satu

hari. Dengan diperolehnya perbandingan

durasi waktu dari kedua sistem tersebut

dapat diperoleh informasi tentang

kinerja sistem ALE berbasis manajemen

frekuensi. Secara garis besar langkah-

langkah yang dilakukan dalam kegiatan

penelitian ini disajikan pada diagram

alur 3-1.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Frekuensi kerja hasil prediksi

ASAPS untuk sirkit komunikasi Bandung-

Pameungpeuk ditunjukkan pada Tabel

4-1(a). Sedangkan pada Tabel 4-1(b)

ditunjukkan frekuensi kerja sistem ALE

yang telah dikombinasikan dengan

manajemen frekuensi dari Tabel 4-1(a).

Dari kedua hasil tersebut dapat di-

peroleh perbandingan banyaknya fre-

kuensi yang dapat diuji setiap jamnya

saat hendak melakukan komunikasi.

Gambar 3-1: Diagram alur analisis efisiensi waktu sistem ALE berbasis manajemen

frekuensi

Data ALE

Waktu

Proses a

Waktu

Proses b

Filtering dengan

Manajemen

Frekuensi

ASAPS (Bandung-

Pameungpeuk)

Analisis Efisiensi waktu sistem ALE

Hitung

= |a-b| sistem ALE

Page 31: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)

65

Tabel 4-1: FREKUENSI KERJA YANG DAPAT DIGUNAKAN BER-DASARKAN HASIL PREDIKSI ASAPS, DAN SISTEM ALE BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

Pada Gambar 4-1 disajikan

perbandingan antara jumlah kanal

frekuensi ALE dan jumlah kanal

frekuensi sistem ALE yang dikombinasi-

kan dengan manajemen frekuensi untuk

sirkuit Bandung dan Pameungpeuk.

Dari grafik tersebut, terlihat perbedaan

jumlah kanal frekuensi yang dapat

diujikan dalam satu hari. Jumlah kanal

frekuensi yang diujikan setiap jamnya

dalam sistem ALE konvensional akan

bernilai tetap yakni 10 kanal frekuensi.

Berbeda dengan jumlah frekuensi dalam

sistem ALE berbasis manajemen

frekuensi, jumlah kanal frekuensi yang

diujikan untuk melakukan komunikasi

setiap jamnya akan berubah-ubah

mengikuti variasi lapisan ionosfer.

Jumlah kanal frekuensi yang

diuji untuk melakukan komunikasi

akan menentukan durasi waktu untuk

memulai komunikasi (handshaking) antara

dua stasiun. Dengan periode waktu

scaning yang umumnya 0,2 detik per

satu frekuensi, sistem ALE konvensional

akan memerlukan waktu maksimum

untuk mulai berkomunikasi mencapai 2

detik. Hal ini sangat berbeda dengan

hasil waktu sistem ALE berbasis

manajemen frekuensi yang hanya dapat

mencapai waktu maksimum 0,6 detik.

Pada Gambar 4-2 disajikan perbedaan

waktu maksimum yang diperlukan dari

sistem ALE konvensional dan sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi.

Pada Gambar 4-2 terlihat pola durasi

waktu maksimum yang diperlukan

untuk memulai komunikasi pada sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi

dalam satu hari. Pola yang ditunjukkan

memiliki pola yang serupa dengan

variasi harian ionosfer. Pada dini hari,

yakni antara pukul 00-06 WIB, waktu

maksimum yang diperlukan untuk

memulai komunikasi berkisar antara

0,2 detik hingga 0,4 detik. Pada pukul

07.00 hingga pukul 10.00 WIB, durasi

waktu yang dipelukan mencapai 0,4

detik. Pada pukul 11.00 hingga pukul

21.00 WIB, durasi waktu maksimum

mulai meningkat naik hingga mencapai

0,6 detik. Sedangkan antara pukul

21.00 hingga 23.00 WIB, durasi waktu

yang diperlukan untuk komunikasi mulai

kembali turun mencapai 0,4 detik.

Fluktuasi durasi waktu maksimum yang

diperlukan tersebut sesuai dengan

proses pembentukan lapisan ionosfer

dalam satu hari dengan nilai maksimum

yang terjadi di siang hari atau yang

dikenal dengan sebutan variasi harian

(Mc Namara, 1991).

Pada Tabel 4-3 disajikan efisiensi

waktu yang diperoleh dalam sistem ALE

berbasis manajemen frekuensi dibanding-

kan dengan sistem ALE konvensional.

Dari hasil tersebut terlihat bahwa sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi

memiliki performa yang lebih baik untuk

tiap jam-nya. Hal ini dikarenakan dalam

sistem ALE berbasis manajemen frekuensi,

uji coba hanya dilakukan untuk frekuensi

kerja yang memiliki peluang setiap

jamnya berdasarkan hasil prediksi.

Frekuensi yang tidak memiliki peluang

untuk digunakan tidak di uji-cobakan

sehingga proses pencarian frekuensi

kerja untuk komunikasi lebih efektif dan

efisien.

Page 32: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67

66

Gambar 4-1: Perbandingan jumlah kanal frekuensi ALE konvensional dengan sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi

Gambar 4-2: Durasi waktu maksimum per jam untuk memulai komunikasi dalam satu

hari

Tabel 4-3: EFISIENSI WAKTU DALAM SISTEM ALE BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

Kelompok Waktu

Durasi (detik)

Perbedaan Waktu (detik)

00-06 0,2-0,4 1,6-1,8

07-10 0,4-0,6 1,2-1,4

11-23 0,4-0,6 1,2-1,4

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Jum

lah

Kan

al F

reku

ensi

Waktu (WIB)

Bandung-Pamengpeuk, Maret 2011

ALE + ManajemenFrekuensiALE Konvensional

Page 33: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Awal Efisiensi Waktu Sistem Automatic Link ......(Varuliantor Dear)

67

Dalam sistem ALE berbasis

manajemen frekuensi, pengujian frekuensi

kerja yang berada di luar ambang batas

nilai Maximum Usable Frequency (MUF)

dan Lowest Usable Frequency (LUF)

tidak dilakukan. Keputusan untuk tidak

menguji frekuensi yang berada di luar

batas nilai LUF dan MUF dilatar

belakangi bahwa pada saat kondisi

normal, lapisan ionosfer tidak dapat

memantulkan semua frekuensi yang

ada. Frekuensi yang dianggap dapat

dipantulkan adalah frekuensi yang

berada di antara nilai MUF dan LUF

sehingga nilai frekuensi lainnya tidak

perlu diuji.

6 PENUTUP

Perbandingan waktu persiapan

antara sistem ALE konvensional dengan

Sistem ALE berbasis manajemen

frekuensi memiliki nilai yang cukup

signifikan. Pada sistem ALE konvensional,

waktu yang diperlukan untuk memulai

komunikasi memiliki nilai yang tetap

setiap jam-nya. Sedangkan waktu yang

diperlukan dalam sistem ALE berbasis

manajemen frekuensi memiliki nilai

yang bervariasi. Berdasarkan hasil

simulasi yang dilakukan untuk sirkuit

komunikasi Bandung-Pameungpeuk,

antara pukul 00.00 WIB hingga 06.00 WIB

waktu yang diperlukan dalam sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi lebih

cepat antara 1,6-1,8 detik dari sistem

ALE konvensional. Sedangkan pada

pukul 07.00-23.00 WIB pengurangan

waktu yang dicapai berkisar antara 1,2 -

1,4 detik. Perbedaan waktu tersebut

karena sistem ALE berbasis manajemen

frekuensi hanya menguji cobakan

frekuensi yang memiliki kemungkinan

dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer.

Frekuensi-frekuensi yang tidak memiliki

peluang untuk dapat dipantulkan tidak

diuji cobakan sehingga berdampak pada

berkurangnya waktu proses pencarian

frekuensi kerja yang dapat digunakan.

Berdasarkan hal tersebut, maka sistem

ALE berbasis manajemen frekuensi

memiliki tingkat efisiensi yang lebih

tinggi dari sistem ALE konvensional.

DAFTAR RUJUKAN

Dear, V., 2009. Pengaruh Perubahan

Ketinggian (h’) dan Frekuensi Kritis

Lapisan Ionosfer (fo) terhadap

Besarnya Frekuensi Kerja Maksi-

mum (MUF) Sirkit Komunikasi

Radio HF, Prosiding Seminar

Sains Antariksa IV. April 2009.

Hal. 132-137. ISBN: 978-979-

1458-23-8.

Hflink1, 2010. ALE Channel Frequency

List, http://hflink.com/channels/.

akses april 2011.

Hflink2, 2010, ALE Handbook for Govern-

ment Chapter 3. http:// hflink.

com/standards/download April

2011.

Jiyo, 2010. Riset Ionosfer dan Peman-

faatannya, Materi Pelatihan

Manajemen Frekuensi dan Teknis

Komunikasi Radio Tingkat Lanjut

Tahun 2011. Juni 2011.

McNamara, L.F., 1991. The Ionosphere:

Communications, Surveillance, and

Direction Finding, Krieger Publishing

Company.

Perwitasari S., 2010. Analisa Propagasi

Gelombang Radio Sirkit Bandung-

Pameungpeuk Frekuensi 7200 KHz.

Dalam proses publikasi Berita

Dirgantara.

Suhartini S., 2006. Prediksi dan

Manajemen Frekuensi Komunikasi

Radio HF, Publikasi ilmiah LAPAN,

ISBN 978-979-1458-00-99.

United States Army, 2003. HF-ALE;

Multi-Service Procedures for High

Frequency – Automatic Link

Establishment (HF-ALE) Radios.

Chief of Staff United States Army.

Page 34: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75

68

GAS CO2 DI WILAYAH INDONESIA

Toni Samiaji

Peneliti Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN

e-mail: [email protected]/[email protected]

RINGKASAN

Pemanasan global sebagai indikasi perubahan iklim diisukan sebagai akibat

dari bertambahnya gas rumah kaca. Gas rumah kaca yang paling banyak menjadi

perhatian adalah CO2. Perubahan konsentrasi gas CO2 di atmosfer yang merupakan

bagian dari siklus karbon penting untuk diteliti. Indonesia sebagai negara yang telah

meratifikasi protokol Kyoto, dipandang perlu untuk menginformasikan keadaan gas

CO2. Emisi maupun konsentrasi gas CO2 di Indonesia cenderung naik, tetapi

Indonesia masih mempunyai penyerap gas CO2 yaitu hutan dan lautan. Emisi gas CO2

di Indonesia mengalami peningkatan, tetapi tidak semua daerah di Indonesia

mengalami perubahan iklim. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Jakarta mengalami

peningkatan intensitas curah hujan tetapi Kototabang justru sebaliknya mengalami

penurunan. Selanjutnya dari sisi kesetimbangan emisi dan penyerapan gas CO2 di

Indonesia, Pulau Jawa merupakan wilayah yang mengemisikan gas CO2 sedangkan

Pulau Irian yang menyerap gas CO2.

1 PENDAHULUAN

Sudah menjadi pengetahuan

umum bahwa perubahan iklim diakibat-

kan terjadinya pemanasan global.

Sedangkan pemanasan global diisukan

sebagai akibat dari bertambahnya gas

rumah kaca.

Pemanasan global adalah makin

panasnya udara di sekeliling kita bila

dibandingkan dengan beberapa dekade

sebelumnya. Pemanasan global diakibat-

kan oleh bertambahnya gas rumah kaca

seperti CO2, metan, N2O, CFC, HFCs,

SF6 di lapisan troposfer. Mengapa

disebut gas rumah kaca, karena gas-

gas ini bersifat seperti efek rumah kaca

yakni memantulkan kembali radiasi dari

Bumi kembali ke Bumi. Sebenarnya gas

rumah kaca itu diperlukan untuk

memelihara suhu di Bumi agar tetap

hangat dan memungkinkan berbagai

organisme untuk tetap hidup, karena

tanpa gas rumah kaca suhu di Bumi

bisa menjadi -18ºC dan mungkin

hampir tak ada kehidupan, sedangkan

dengan adanya gas rumah kaca suhu

rata-rata di Bumi menjadi 15ºC.

Namun bila jumlah gas rumah kaca ini

terlalu banyak maka bisa berdampak

negatif, suhu Bumi menjadi tinggi

sehingga akan menyebabkan pencairan

gunung es yang ada di kutub utara dan

kutub selatan. Sebagai akibatnya

permukaan air laut akan menjadi tinggi

dan pulau-pulau dengan dataran yang

rendah (umumnya pulau-pulau kecil)

akan tenggelam, sedangkan pulau-

pulau yang datarannya agak tinggi

(umumnya pulau-pulau besar) akan

terjadi penyusutan pantai.

Pemanasan global merupakan

salah satu indikasi dari perubahan

iklim. Perubahan iklim diindikasikan

dengan bergesernya musim hujan dan

kemarau, perubahan curah hujan,

perubahan suhu untuk beberapa

periode 30 tahunan. Sebagai contoh

daerah yang mengalami perubahan

iklim yakni Perth, parameter iklimnya

yang mengalami pergeseran adalah

Page 35: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)

69

curah hujan, jumlah hari hujan dan

lama pancaran Matahari. Kemudian

bulan terjadinya jumlah hari hujan

minimum, curah hujan maksimum dan

minimum, minimum daripada suhu

minimum, lama pancaran Matahari

maksimum, jumlah hari cerah minimum

dan jumlah hari berawan minimum

mengalami pergeseran. Tetapi ada juga

parameter iklim yang tidak mengalami

perubahan bulan kejadiannya dalam

setahun yakni jumlah hari hujan

maksimum, maksimum dan minimum

daripada suhu maksimum, lama pancaran

Matahari minimum, jumlah hari cerah

maksimum, jumlah hari berawan maksi-

mum, dan kelembaban udara, kecepatan

angin, suhu udara pada jam 9:00 pagi

[Toni S., 2010].

Saat ini pemerintah telah mem-

bentuk Dewan Nasional Perubahan

Iklim (DNPI) yang bertugas mengelola

kebijakan nasional menyangkut peru-

bahan iklim. Dewan ini dibentuk melalui

Keppres 46/2008 dengan Ketuanya

Presiden RI, Wakil Ketuanya Menko-

kesra dan Menko Perekonomian serta

Menneg LH sebagai Ketua Harian.

Tugas DNPI tersebut yakni merumuskan

kebijakan nasional tentang perubahan

iklim, mengkoordinasi kegiatan terkait

perubahan iklim meliputi aspek adaptasi,

mitigasi, alih teknologi dan pendanaan.

Selain itu, DNPI bertugas merumuskan

peraturan dan mekanisme perdagangan

karbon, melaksanakan pemantauan dan

evaluasi implementasi kebijakan tentang

pengendalian perubahan iklim. DNPI

juga bertugas memperkuat posisi

Indonesia untuk mendorong negara

maju agar lebih bertanggung jawab

dalam perubahan iklim [www.inilah.

com, 2010].

Dalam issu perubahan iklim, gas

CO2 sebagai bagian dari gas rumah kaca

memegang peranan penting dalam

mengontrol suhu permukaan Bumi

dibanding gas rumah kaca lainnya,

karena meskipun mempunyai indek

pemanasan global yang paling kecil

tetapi konsentrasinya adalah yang

paling besar setelah uap air sehingga

kontribusinya terhadap perubahan

suhu adalah yang paling dominan

dibanding gas rumah kaca lainnya. Uap

air meskipun konsentrasinya yang

paling besar tetapi uap air mudah

menjadi air, sedangkan gas CO2

mempunyai waktu hidup di atmosfer

yang panjang yakni sekitar puluhan

ribu tahun (Daniel, 1999), sehingga

penting untuk dikaji lebih dalam.

2 SUMBER EMISI GAS CO2

Sumber gas CO2 adalah dari

pembakaran bahan bakar, pembakaran

biomasa, pernafasan mahluk hidup,

tumpukan sampah, letusan gunung

berapi, kebakaran hutan, pengeringan

lahan gambut, pabrik ketika mem-

produksi ammonia, semen, etanol,

hydrogen, besi baja bahkan dari lahan

pertanian, baik dari tanahnya maupun

dari tanaman itu sendiri, hanya saja

tanaman tidak hanya mengeluarkan gas

CO2 pada malam hari tetapi juga

menyerap CO2 pada siang hari.

Pada Gambar 2-1 ditunjukkan

emisi gas CO2 dan sebagian dari gas

rumah kaca lainnya dari respirasi

tanah, pembakaran biomasa dan pem-

busukan sampah organik. Sektor

pertanian yakni dari sawah dan ternak

mengemisikan 87 % GRK dari seluruh

gas rumah kaca. Bila emisi GRK tidak

dikendalikan dikuatirkan suhu udara

bertambah 6.5ºC setelah seratus tahun

lagi.

Page 36: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75

70

Gambar 2-1: Siklus gas rumah kaca di lahan pertanian dan ternak (Sumber : IPCC,

2006)

3 PENELITIAN MENGENAI GAS CO2

Konsentrasi karbon dioksida

(CO2) global (permukaan) di atmosfer

telah meningkat sejak dimulainya

revolusi industri karena pertumbuhan

pesat aktivitas manusia. Saat ini telah

cukup bukti ilmiah yang menunjukkan

bahwa meningkatnya konsentrasi CO2

di atmosfer adalah penyebab utama

perubahan global dan perubahan iklim

(IPCC, 2007). Konsentrasi gas CO2 pada

masa pra-industri sebesar 278 ppm

sedangkan pada tahun 2005 adalah

sebesar 379 ppm. Akibat yang

ditimbulkan dari perubahan ini ádalah

temperatur global naik 0.74ºC, selain

itu telah terjadi kenaikan air laut

sebesar 0.17 m, kemudian telah terjadi

pengurangan tutupan salju sebesar 7 %

di belahan Bumi utara dan sungai-

sungai akan lebih lambat membeku (5.8

hari lebih lambat daripada 1 abad yang

lalu) serta mencair lebih cepat 6.5 hari.

Jika konsentrasi CO2 adalah stabil

sekitar 550 ppm (2 kali lipat dari masa

pra industri), maka diperkirakan terjadi

peningkatan suhu sekitar 3ºC. Naiknya

konsentrasi CO2 ini tergantung dari

naiknya jumlah populasi, pertumbuhan

ekonomi, perkembangan teknologi dan

faktor lainnya. Menurut United Nations

Framework Convention on Climate Change,

jika peningkatan suhu global melebihi

2.5ºC, maka 20%-30% spesies tumbuhan

dan hewan akan terancam kepunahan

(UNFCC,2007). Akibat lain adalah pe-

ningkatan presipitasi di lintang rendah

(daerah tropis) dan pengurangan presi-

pitasi di lintang tinggi (daerah sub-

tropis).

Jumlah CO2 di atmosfer tidak

hanya dipengaruhi oleh emisi CO2

Page 37: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)

71

antropogenik saja tetapi dipengaruhi

juga oleh pertukaran CO2 dengan kedua

sumber utama karbon yaitu biosfer

daratan dan lautan (WMO, 2006).Variasi

spasial dan temporal konsentrasi CO2 di

atmosfer mengandung informasi tentang

sifat dasar dan karakteristik dari proses

pertukaran CO2 antara atmosfer dan

biosfer daratan serta lautan (Machida et

al., 2007).

Dari hasil penelitian penulis,

konsentrasi CO2 permukaan di Indonesia

dari tahun 2004 hingga 2010 mengalami

peningkatan dari 373 menjadi 383 ppm,

demikian juga yang terjadi di lapisan

troposfer, menurut Ninong (2010)

cenderung naik dari September 2002

hingga Juli 2010. Dengan adanya trend

konsentrasi CO2 pada ketinggian 500hPa

tersebut, diperlihatkan pula adanya

kenaikan suhu udara pada 1000 hPa

[Ninong, 2010]. Kedua data ini berasal

dari sensor Airs satelit Aqua milik NASA.

Kemudian yang total kolom CO2 pun

dari tahun 2003 hingga 2005 mengalami

peningkatan dari 6,2 – 6,8 x 1021 hingga

6,3 – 6,8 x 1021 molekul/cm2 (Toni S.

dkk, 2010).

Indonesia cukup besar meng-

emisikan gas CO2 dari sumber antro-

pogenik termasuk kebakaran biomasa

pada tahun 2000 dibanding negara lain

di Asia yakni menempati urutan ke 4

setelah Cina, India dan Jepang yakni

sebesar 587,400 (DG Street dkk, 2003).

Eddy H dkk., 2008, menyatakan

bahwa sejak tahun 1990 telah terjadi

laju kenaikan emisi CO2 yang cukup

signifikan di atas wilayah Indonesia.

Yang menarik adalah bahwa laju

kenaikan ini tidak diikuti oleh naiknya

laju intensitas curah hujan pada kawasan

yang diamati, seperti Kototabang.

Sementara kota Jakarta memiliki respon

yang positif dalam hal meningkatnya

emisi CO2 di Indonesia, yakni ditandai

dengan adanya peningkatan intensitas

curah hujan yang terjadi bersamaan

dengan meningkatkan emisi CO2 di

tahun 1989. Ini memberikan pengertian

bahwa kota industri dan polusi seperti

Jakarta sangat berpotensi menerima

dampak dari pemanasan global, bila

dibandingkan dengan kota-kota yang

masih relatif bersih seperti Kototabang.

Emisi CO2 dari pengeringan

lahan gambut dan kebakaran gambut

serta kebakaran hutan di Sumatera dan

Kalimantan tiap tahun mencapai 2

milyar ton, demikian hasil penelitian

Wetlands International, organisasi yang

bergerak di bidang pelestarian dan

pengelolaan lahan basah di dunia, serta

laboratorium hidrolika di Delft, Belanda.

Meskipun kebakaran hutan dan gambut

dapat dikembalikan, tetapi bila terjadi

pengeringan lahan gambut atau tanah

biasa maka CO2 akan terus diemisikan,

oleh karena itu jalan satu-satunya agar

tidak terjadi emisi CO2 adalah dengan

mengairi tanah-tanah agar tidak menge-

ring.

Pemakaian energi mutlak diper-

lukan karena kita dalam kehidupan

sehari-hari selalu menggunakan energi.

Menurut buku Indonesia Energy Outlook

& Statistics 2004 yang diterbitkan oleh

Pengkajian Energi Universitas Indonesia,

emisi gas CO2 per kapita ditunjukkan

oleh Gambar 3-1. Dari gambar ini

terlihat bahwa emisi gas CO2 per kapita

cenderung meningkat. Dengan mening-

katnya emisi CO2 per kapita dari tahun

ke tahun, ini menunjukkan bahwa

orang Indonesia semakin boros dalam

pemakaian energi. Ini dimungkinkan

dengan bertambahnya kesejahteraan

per jiwa.

Page 38: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75

72

Gambar 3-1: Emisi CO2 per kapita dari pemakaian energi di Indonesia dengan metode IPCC (Sumber: PEUI, 2006)

Gambar 3-2:Emisi gas CO2 total tahun 2004 dalam ribu ton (Sumber : Samiaji, 2010)

Bila semua sumber emisi gas CO2

misalnya dari nafas manusia, ternak,

hutan, kebun, sawah, kebakaran lahan,

kebakaran hutan, banjir, sampah dan

pemakaian energi dijumlahkan kemudian

dikurangi penyerapan gas CO2 oleh

hutan, sawah dan kebun dipetakan tiap

provinsi maka dapat dilihat pada

Gambar 3-2. Dari gambar ini kita bisa

melihat bahwa emisi gas CO2 total ini

nilainya ada yang positif dan ada yang

negatif. Nilai yang negatif maksudnya

adalah terjadi penyerapan gas CO2,

sedangkan yang positif adalah terjadi

emisi gas CO2. Jadi menurut gambar ini

provinsi yang paling banyak meng-

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

1980 1990 2000 2010 2020 2030

Em

isi C

O2

per

kapita [

Ton/jiw

a]

Tahun [-]

Emisi CO2 per kapita dari pemakaian energi di Indonesia

Page 39: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)

73

emisikan gas CO2 adalah provinsi Jawa

Barat (termasuk Banten) yakni 95 juta

ton, sedangkan provinsi yang paling

banyak menyerap gas CO2 adalah Papua

(termasuk Papua Barat) yakni 20 juta

ton. Namun apabila kita menghitung

kesetimbangan gas CO2 di Indonesia,

maka akan terlihat pada Tabel 3-1. Dari

tabel ini kita bisa melihat bahwa emisi

gas CO2 itu bisa dari alam (manusia,

ternak, gambut, sampah, banjir) maupun

non alam (energi, proses industri),

sedangkan yang menyerap gas CO2 pada

tabel ini yang ditampilkan hanyalah dari

alam yakni dari hutan, kebun, sawah

dan laut. Sebenarnya pada proses

industri gas CO2 bisa ditangkap

kemudian dibentuk menjadi CO2 cair

untuk keperluan industri minuman,

atau disuntikkan ke dalam tanah atau

air laut. Bagaimanapun dari Tabel 3-1

ini kita bisa melihat bahwa emisi gas

CO2 adalah lebih besar daripada

penyerapannya, meskipun pada tabel ini

penyerapan yang dilakukan akibat dari

kegiatan penghijauan kota-kota belum

dimasukkan karena tidak ada datanya.

Selain itu emisi gas CO2 dari proses

industri yang dihitung hanya berasal

dari produksi urea, semen dan amoniak

saja, sedangkan dari produksi gelas,

keramik dan yang lainnya karena

keterbatasan waktu tidak dihitung.

Dari Gambar 3-3 juga kita bisa

melihat bahwa penyerapan gas CO2 di

Indonesia oleh hutan, kebun, dan sawah

adalah lebih besar daripada penyerapan

oleh laut. Hal ini sesuai dengan penelitian

Tans dkk (1990), bahwa penyerapan

CO2 oleh daratan adalah lebih besar

daripada lautan. Selain dengan observasi

mereka juga dengan menggunakan

model GCM melihat bahwa sudut

kemiringan konsentrasi CO2 di belahan

Bumi utara dan selatan dapat diper-

tahankan apabila penyerapan CO2 di

belahan Bumi utara lebih besar

daripada di selatan (Tans dkk, 1990).

Memang untuk penyerapan CO2 bisa

dilakukan dengan berbagai cara di-

antaranya penanaman hutan yang gundul

(kegunaan hutan selain menyerap CO2

juga sebagai resapan air hujan sehingga

tidak terjadi longsor dan banjir bandang),

pencegahan penebangan hutan secara

liar, penghijauan di kota-kota, mendaur

ulang sampah, pembuatan taman di

rumah/kantor, penyuntikan gas CO2 ke

dalam tanah, penyuntikan CO2 cair ke

dalam laut (Toni S., 2009), selain itu

lautan juga dengan adanya phyto

plankton (tumbuhan mikro) dan ganggang

ikut menyerap gas CO2, kemudian

pemilihan energi alternatif yang lebih

ramah lingkungan atau menambahkan

teknologi penyerapan CO2 saat proses

industri berlangsung seperti yang

dilakukan oleh Mohammad R. M. Abu-

Zahra dan kawan-kawan yakni dengan

melarutkan gas CO2 pada larutan 40 %

monoethanolamine (MEA) pada pem-

bangkit tenaga listrik (Mohammad dkk,

2007). Mereka berhasil menyerap 0,3

mol CO2 untuk penggunaan 1 mol MEA,

bila dihitung biayanya ini relevan

dengan untuk menyerap gas CO2 1 ton

dibutuhkan biaya 33 €.

Page 40: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 68-75

74

Gambar 3-3: Emisi gas CO2 di Indonesia tahun 2004

Keterangan: nilai negatif menunjukkan penyerapan, sedangkan nilai positif menunjukkan emisi gas CO2

3 PENUTUP

Emisi dan konsentrasi gas CO2 di

Indonesia cenderung naik, akan tetapi

masih mempunyai penyerap gas CO2

sebagai penyeimbang ekosistem. Penyerap

ini berupa hutan dan lautan yang

keberadaannya harus dilestarikan. Dari

hasil penelitian menunjukkan bahwa

emisi gas CO2 di Indonesia meningkat,

tetapi tidak semua daerah di Indonesia

mengalami perubahan iklim akibat

peningkatan ini. Peningkatan curah

hujan sebagai indikasi perubahan iklim

menunjukkan bahwa Jakarta mengalami

peningkatan intensitas curah hujan

tetapi Kototabang justru sebaliknya

mengalami penurunan. Selanjutnya dari

sisi kesetimbangan emisi dan penye-

rapan gas CO2 di Indonesia, Pulau Jawa

merupakan wilayah yang mengemisikan

gas CO2 sedangkan Pulau Irian yang

menyerap gas CO2. Keberhasilan dalam

menekan laju emisi gas CO2 di

Indonesia sangat tergantung dari sikap

kita masing-masing dalam memandang

nilai sebuah kenyamanan kehidupan di

Bumi.

DAFTAR RUJUKAN

Daniel J., 1999. Introduction to

Atmospheric Chemistry. Princeton

University Press. pp. 25–26. ISBN

0-691-00185-5. http://www-as.

harvard.edu/people/faculty/djj/

book/.

Hermawan E., Trismidianto dan Samiaji

T., 2008. Perilaku Curah Hujan

di atas Beberapa Kawasan

Indonesia pada saat Emisi Karbondioksida (CO

2) Meningkat

Secara Drastis, Prosiding Seminar

Nasional Polusi Udara dan Ozon,

p. 152, Lembaga Penerbangan

dan Antariksa Nasional, 22

Oktober, Bandung.

Http:// www.inilah.com, unduh tahun

2010.

IPCC (Intergovernmental panel on Climate

Change), 2006. Guidelines for

National Greenhouse Gas

Inventories.

IPCC Climate Change, 2007. The Physical

Science Basis, Contribution of

Working Group I to the Fourth

Assessment Report of the

Bakar hutan ; 36

Bakar lahan ; 16

Nafas manusia ; 76446

Nafas ternak ; 16054

Sampah ; 198

Hutan ; -96122

Kebun ; -5011

Sawah ; -

1788Banjir ;

18

Proses Indust

ri ; 26108

Energi ; 449695

Gambut ; 41200

Laut ; -18213

Emisi CO2

tahun 2004[Ribu ton]

Page 41: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Gas CO2 di Wilayah Indonesia (Toni Samiaji)

75

Intergovernmental Panel on

Climate Change.

Machida, T, H. Matsueda and Y. Sawa,

2007. CONTRAIL Comprehensive

Observation Network for TRace

gases by AIrLiner, Igactivities, No.

37, page 23-30.

Mohammad R.M. Abu-Zahra, John P.M.

Niederer, Paul H.M. Feron and

Geert F. Versteeg, 2007. CO2

Capture from Power Plants: Part II.

A Parametric Study of the

Economical Performance Based on

Mono-ethanolamine. International

Journal of Greenhouse Gas

Control Volume 1, Issue 2, Pages

135-142, April 2007.

Ninong Komala., 2010. Variasi Temporal

Konsentrasi Karbon dioksida (CO2)

dan Temperatur di Indonesia

Berbasis Data Observasi Aqua-

AIRS, Prosiding Seminar Nasional

Sains Atmosfer I 2010 ISBN:

978-9779-1458-38-2 LAPAN,

Bandung – Oktober 2010.

PEUI, 2006. Indonesia Energy Outlooks

and Statistics 2006.

Streets, D.G., Bond, T.C., Carmichael,

G.R., Fernandes, S.D., Fu, Q.,

He, D., Klimont, Z., Nelson, S.M.,

Tsai, N.Y., Wang, M.Q., Woo,

J.H. and Yarber, K.F. 2003. An

inventory of gaseous and primary

aerosol emissions in Asia in the

year 2000, J. Geophys. Res., In

press.

Tans, P.P., Fung I.Y., and Takahashu T.,

1990. Observational Contraints on

the Global Atmospheric CO2

Budget. Science, 247, 1431-1439,

doi:10.1126/science.247.4949.14

31.

Toni Samiaji, dan Sinatra T., 2010.

Analisis Emisi Gas CO2 di

Indonesia, Prosiding Seminar

Nasional Sains Atmosfer I 2010,

Lapan, 16 Juni 2010, Bandung.

Toni Samiaji, Komala N., Ginanjar A.

N., Sinatra T., Awaludin A., Latief

C., Aditya E. dan Suherman H.,

2010. Inventori Emisi dan

Konsentrasi Gas Rumah Kaca di

Indonesia, Sebagai Bahan

Kebijakan Perubahan Iklim

Nasional, evaluasi akhir program

diknas 2010, Jakarta, Lapan.

Toni Samiaji, Martono dan Mugni H.,

2009. Beban Pencemaran Metan

dan CO2 dari Sampah di kota-kota

di Indonesia, prosiding seminar

nasional polusi udara dan ozon,

Lembaga Penerbangan Antariksa

Nasional (LAPAN), Bandung.

Toni Samiaji, 2009. Upaya mengurangi

CO2 di atmosfer, Berita

Dirgantara, vol. 10, No.3, Lapan,

September 2009, Jakarta.

Toni Samiaji, 2010. Sebaran Emisi Gas

CO2 di Indonesia, Prosiding

seminar Penerbangan dan

Antariksa 2010, Lapan.

UNFCCC, 2007. National greenhouse

gas inventory data for the period

1990–2005.

WMO, Green House Gas Bulletin, No. 1,

14 March 2006. .

Page 42: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82

76

KAJIAN KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA TERHADAP

ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA (ALKI )

Soegiyono

Peneliti Bidang Jikumgan, Pusjigan, LAPAN

e-mail: [email protected]

RINGKASAN

Pasal 1 Konvensi Chicago Tahun 1944, menegaskan bahwa setiap negara

mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara atas wilayah

kedaulatannya. Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional

belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus namun

secara parsial telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional.

Sehingga setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan

eksklusif ruang udara nasionalnya. Setiap kegiatan di ruang udara nasional harus

mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah Indonesia. Indonesia sebagai negara

kepulauan memiliki kewajiban menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan

tanggung jawabnya dibagi-bagi, sehingga ruang udara tidak dapat dikendalikan.

Sementara itu, kapal atau pesawat udara asing yang melintasi perairan dan wilayah

udara Indonesia masih berpedoman kepada Traditional Route for Navigation.

Permasalahan dalam kajian ini adalah sampai sejauhmanakah kewenangan Indonesia

dalam mengatur kedaulatannya di ruang udara termasuk di atas alur laut kepulauan

Indonesia, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman bahwa Indonesia mem-

punyai kedaulatan di ruang udara yang penuh dan eksklusif termasuk ruang udara di

atas ALKI. Metode pendekatannya adalah yuridis normatif melalui studi pengumpulan

data kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan nasional/internasional serta

pendapat para ahli yang berkompeten di bidang ini. 1 PENDAHULUAN

Salah satu aspek yang perlu

diperhatikan dalam pemanfaatan ruang

udara beserta sumber daya di dalamnya

adalah masalah yurisdiksi (Anthony

Csabafi, 1971). Prinsip-prinsip dalam

yurisdiksi adalah prinsip teritorial,

nasional, personalitas pasif, perlindungan

atau keamanan, universalitas, dan ke-

jahatan menurut kriteria hukum yang

berlaku. Dalam hubungan dengan yuris-

diksi negara di ruang udara, sangat erat

hubungannya dengan penegakkan hukum

di ruang udara tersebut. Dengan adanya

yurisdiksi, negara yang bersangkutan

mempunyai wewenang dan tanggung

jawab di ruang udara untuk melaksana-

kan penegakkan hukum di ruang udara.

Berkaitan dengan wewenang dan

tanggung jawab negara melaksanakan

penegakkan hukum di ruang udara

tidak terlepas dari materi muatan Pasal

33 UUD-1945 ayat (3) yang menegaskan

bahwa bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Atas dasar ketentuan tersebut, maka

lahir hak menguasai oleh negara atas

sumber daya alam yang ada di Bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya (termasuk udara) dan pe-

nguasaan tersebut memberikan kewajiban

kepada negara untuk digunakan sebesar-

besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Makna dari ketentuan tersebut bahwa

ruang udara merupakan sumber daya

alam yang dikuasai negara. Istilah

dikuasai negara bukan berarti dimiliki

oleh negara, melainkan memberikan arti

kewenangan sebagai organisasi atau

lembaga negara untuk mengatur dan

mengawasi penggunaannya untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Page 43: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)

77

Konvensi Chicago Tahun 1944,

dalam Pasal 1 menegaskan bahwa setiap

negara mempunyai kedaulatan yang

penuh dan eksklusif (complete and

exclusive souvereignity) atas ruang udara

atas wilayah kedaulatannya. Ketentuan

pasal tersebut memberikan pandangan

bahwa perwujudan dari kedaulatan

yang penuh dan eksklusif atas ruang

udara di atas wilayah teritorial, berarti

bahwa: (i) setiap negara berhak menge-

lola dan mengendalikan secara penuh

dan eksklusif atas ruang udara nasional-

nya; dan (ii) tidak satupun kegiatan atau

usaha di ruang udara nasional tanpa

mendapatkan izin terlebih dahulu atau

sebagaimana telah diatur dalam suatu

perjanjian udara antara negara dengan

negara lain baik secara bilateral maupun

multilateral.

Berkaitan dengan ruang udara di

atas ALKI, Konvensi PBB tentang

Hukum Laut Tahun 1982 Pasal 53 yang

telah diratifikasi dengan UU Nomor 17

Tahun 1985 Tentang Pengesahan United

Nations Convention on The Law of The Sea,

menegaskan bahwa negara kepulauan

seperti Indonesia dapat menentukan

ALKI dan rute penerbangan di atasnya.

Dari ketentuan konvensi tersebut, ruang

udara di atas ALKI dibagi-bagi dalam

ALKI I, ALKI II dan ALKI III. Sementara

itu, negara maju seperti Amerika Serikat

(AS) belum meratifikasi Konvensi ini,

sehingga apabila kapal atau pesawat

udara AS yang melintas ruang udara di

atas ALKI masih berpedoman kepada

aturan-aturan yang lama (Traditional

Route for Navigation). Hal ini sering

menimbulkan permasalahan dimana

berdasarkan aturan lama tersebut

pesawat-pesawat AS yang melintas di

atas rute tradisional mereka anggap sah

dengan alasan bahwa AS belum

meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB

Tahun 1982.

Tujuan kajian ini adalah untuk

memperoleh pemahaman dimana me-

nurut peraturan perundang-undangan,

Indonesia mempunyai kedaulatan di

ruang udara di atas ALKI untuk

kepentingan nasional dan masyarakat

internasional mengenai penetapan 3

(tiga) ALKI.

2 KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA KAITANNYA DENGAN ALKI

2.1 Pengaturan Kedaulatan Negara di Ruang Udara

Kedaulatan suatu negara merupa-

kan kekuasaan yang tertinggi dalam

batas-batas wilayah negara itu sendiri,

baik wilayah darat, laut maupun udara.

Dalam sejarah pernah terjadi perdebatan

yang cukup seru apakah suatu negara

memiliki kedaulatan di wilayah udara

atau tidak? Perdebatan tersebut telah

terjawab dengan berbagai teori dan

bahkan sudah diatur dalam hukum

internasional, bahwa setiap negara

memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif

ruang udara di atasnya. Namun demikian

kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-

hak negara lain untuk melintas di

wilayah ruang udara sebagaimana telah

diatur dalam Konvensi Chicago, 1944.

Sebagaimana diketahui dalam

literatur ketatanegaraan, khususnya yang

membahas ilmu negara, disebutkan

bahwa syarat-syarat berdirinya suatu

negara adalah harus memenuhi 3 (tiga)

unsur pokok sebuah negara, yaitu

(i) adanya penduduk atau masyarakat

yang merupakan satu kesatuan politis,

(ii) adanya wilayah yang jelas batas-

batasnya dan (iii) adanya pemerintahan

yang berdaulat. Tampak ketiga unsur

tersebut sudah dipenuhi oleh Negara-

negara yang ada sekarang ini (Fenwick

dan Oppenheim-Lauterpacht, seperti

dikutip oleh FX. Adji Sumekto, (2009).

Negara Kesatuan Republik Indo-

nesia (NKRI) merupakan salah satu

negara kepulauan dengan jumlah

pulaunya ± 17.504 pulau, baik yang

bernama maupun yang belum bernama.

Indonesia terbentang antara 6º LU

sampai 11º LS, dan dari 91º BT sampai

141º BT, serta terletak antara 2 (dua)

benua yaitu benua Asia dan Australia.

Indonesia memiliki wilayah daratan

seluas ± 2.012.402 km2 dan wilayah

Page 44: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82

78

perairan seluas ± 5.877.879 km2 dengan

panjang garis pantai ± 81.000 km.

Indonesia, terletak di antara benua Asia

dan Australia, dan di antara Samudera

Pasifik dan Samudera Hindia. Tercatat

ada 92 pulau terluar yang ada di

wilayah Indonesia. Rata-rata luas pulau

Indonesia adalah antara 0,02 km2

hingga 200 km2. Hanya 50% dari 92

pulau-pulau terluar ini yang berpenghuni

(http://www.indonesia.go.id/, download

18 Maret 2010) dan (Siti Nurbaya, Bakar,

2008). Hal ini sangat berpotensi terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat

udara asing karena terbukanya ruang

udara di atas ALKI. Untuk itu diperlukan

adanya pengaturan yang komprehensif

untuk mengantisipasinya baik di ruang

udara maupun ruang udara di atas ALKI.

UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan, Pasal 5 antara lain me-

ngatur mengenai NKRI berdaulat penuh

dan eksklusif atas wilayah udara

Republik Indonesia. Ketentuan ini me-

ngandung makna bahwa sebagai negara

berdaulat, Republik Indonesia memiliki

kedaulatan penuh dan eksklusif di

wilayah udara Republik Indonesia, sesuai

dengan ketentuan Konvensi Chicago

1944 tentang Penerbangan Sipil Inter-

nasional dan Konvensi Hukum Laut

Internasional Tahun 1982 yang telah

diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun

1985 Tentang Pengesahan United Nations

Convention on the law of the sea.

Ketentuan dalam pasal ini hanya mene-

gaskan mengenai kewenangan dan tang-

gung jawab negara Republik Indonesia

untuk mengatur penggunaan wilayah

udara yang merupakan bagian dari

wilayah Indonesia.

2.2 Pengaturan Alur Laut Kepulauan Indonesia

UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Conven-tion On The Law Of The Sea (Konvensi PBB Tentang Hukum Laut, 1982)

Upaya masyarakat internasional

untuk mengatur masalah kelautan

melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut III

telah berhasil diwujudkan dengan

keluarnya United Nations Convention on

the Law of the Sea, 1982 (Konvensi PBB

tentang Hukum Laut, 1982) yang telah

ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh

belas) negara peserta termasuk Indonesia

di Teluk Montego Jamaika, 10 Desember

1982 (Kusumaatmadja, Mochtar 1978).

Konvensi PBB tentang Hukum

Laut, 1982 mengatur rejim-rejim hukum

laut secara lengkap dan menyeluruh,

yang rejim-rejimnya satu sama lainnya

tidak dapat dipisahkan. Konvensi PBB

tentang Hukum Laut memuat antara

lain: (i) sebagian merupakan modifikasi

ketentuan-ketentuan hukum laut yang

sudah ada, misalnya kebebasan-kebe-

basan di laut lepas dan hak lintas damai

di laut territorial; (ii) sebagian merupakan

pengembangan hukum laut yang sudah

ada, misalnya ketentuan mengenai lebar

laut territorial menjadi maksimal 12 mil

laut dan kriteria Landas Kontinen; dan

(iii) sebagian melahirkan rejim-rejim

hukum baru, seperti asas negara ke-

pulauan ZEE dan penambangan di

dasar laut Internasional.

Negara Kepulauan menurut Kon-

vensi ini adalah suatu Negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih

gugusan kepulauan dan dapat mencakup

pulau-pulau lain. Konvensi menentukan

pula bahwa gugusan kepulauan berarti

suatu gugusan pulau-pulau termasuk

bagian pulau, perairan di antara gugusan

pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud

alamiah yang hubungannya satu sama

lainnya demikian eratnya sehingga

gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud

alamiah lainnya tersebut merupakan

suatu kesatuan geografi dan politik yang

hakiki, atau secara historis telah dianggap

sebagai satu kesatuan (Pasal 46 s.d 54

Konvensi Hukum Laut PBB, 1982).

Negara Kepulauan dapat menarik

garis dasar/pangkal lurus kepulauan

yang menghubungkan titik-titik terluar

pulau-pulau dan karang kering terluar

kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa

(i) di dalam garis dasar/pangkal demi-

Page 45: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)

79

kian termasuk pulau-pulau utama dan

suatu daerah dimana perbandingan

antara daerah perairan dan daerah

daratan, adalah antara satu berbanding

satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu

(9 : 1). (ii) panjang garis dasar/pangkal

demikian tidak boleh melebihi 100 mil

laut, kecuali bahwa hingga 3% dari

jumlah seluruh garis dasar/pangkal

yang mengelilingi setiap kepulauan

dapat melebihi kepanjangan tersebut,

hingga kepanjangan maksimum 125 mil

laut, dan (iii) penarikan garis dasar/

pangkal demikian tidak boleh menyim-

pang dari konfigurasi umum Negara

Kepulauan (FX. Adji Samekto, 2009).

Negara kepulauan berkewajiban

menetapkan garis-garis dasar/pangkal

kepulauan pada peta dengan skala yang

cukup untuk menetapkan posisinya,

peta atau daftar koordinat geografi

demikian harus diumumkan sebagai

mestinya dan satu salinan dari setiap

peta atau daftar demikian harus di-

depositkan pada Sekretaris Jenderal

PBB. Dengan diakuinya asas negara

kepulauan, maka perairan yang dahulu

merupakan bagian laut lepas kini menjadi

perairan kepulauan yang berarti menjadi

wilayah perairan RI. Di samping keten-

tuan di atas, syarat-syarat yang penting

bagi pengakuan internasional atas asas

negara kepulauan. Dalam perairan

kepulauan berlaku hak lintas damai

(right of innocentpassage) bagi kapal-

kapal negara lain. Namun demikian

negara kepulauan dapat menangguhkan

untuk sementara waktu hak lintas

damai tersebut pada bagian-bagian

tersebut dari perairan kepulauannya

apabila dianggap perlu untuk melindungi

kepentingan keamanannya (R. Agoes,

Etty 1991).

Negara kepulauan dapat mene-

tapkan alur laut kepulauan dan rute

penerbangan di atas alur laut tersebut.

Kapal asing dan pesawat udara asing

menikmati hak lintas alur laut ke-

pulauan melalui alur laut dan rute

penerbangan tersebut untuk transit dari

suatu bagian laut lepas ZEE ke bagian

lain dari laut lepas atau ZEE. Alur laut

kepulauan dan rute penerbangan

tersebut ditetapkan dengan menarik

garis poros. Kapal dan pesawat udara

asing yang melakukan lintas transit

melalui alur laut dan rute penerbangan

tersebut tidak boleh berlayar atau

terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri

dan sisi kanan garis poros tersebut.

Sekalipun kapal dan pesawat udara

asing menikmati hak lintas alur laut

kepulauan melalui alur laut dan rute

penerbangannya tersebut. Namun di

bidang lain seperti pelayaran dan pener-

bangan tidak mengurangi kedaulatan

negara kepulauan atas air serta ruang

udara di atasnya, dasar laut dan tanah

di bawahnya dan sumber kekayaan di

dalamnya.

Dengan demikian hak lintas alur

laut kepulauan melalui rute penerbangan

yang diatur dalam konvensi ini hanyalah

mencakup hak lintas penerbangan me-

lewati udara di atas alur kepulauan

tanpa mempengaruhi kedaulatan negara

untuk mengatur penerbangan di atas

wilayah sesuai dengan Konvensi Chicago,

1944 tentang Penerbangan Sipil.

UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

UU Nomor 6 Tahun 1996 Tentang

Perairan Indonesia mengatur bahwa

kedaulatan RI mencakup selain wilayah

daratan dan perairan pedalaman juga

laut territorial dan perairan kepulauan

serta wilayah udara di atas wilayah

daratan, perairan pedalaman, laut

territorial dan perairan kepulauan

tersebut. Dengan demikian berarti bahwa

kapal dan pesawat udara asing dapat

menikmati hak lintas alur laut

kepulauan melalui laut teritorial dan

perairan kepulauan Indonesia tersebut

untuk keperluan melintasi laut territorial

dan perairan kepulauan dari satu

bagian laut bebas atau ZEE ke bagian

lain dari laut bebas atau ZEE.

Dalam rangka pelaksanaan Hak

Lintas ALKI untuk melintasi laut terri-

torial dan Perairan Indonesia, Indonesia

dapat menetapkan alur-alur laut ter-

Page 46: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82

80

tentu dari antara alur laut yang lazim

digunakan bagi pelayaran inter-nasional

untuk pelaksanaan lintas alur laut

kepulauan tersebut. Pelaksanaan Hak

Lintas ALKI tersebut dilakukan melalui

rute-rute yang biasanya digunakan untuk

pelayaran internasional dapat menim-

bulkan banyak resiko dari segi ke-

amanan, karena lintas ALKI tersebut

merupakan lintas yang mengandung

kebebasan-kebebasan tertentu. (Pasal

53 ayat (12) Konvensi Hukum Laut,

PBB, 1982).

Untuk mengurangi resiko dari

segi keamanan, pelaksanaan Hak Lintas

ALKI tersebut perlu ditetapkan Alur-Alur

Laut Kepulauan yang dapat digunakan

untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI

tersebut. Penetapan alur laut tersebut

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

dengan memperhatikan kepentingan

masyarakat internasional melalui orga-

nisasi internasional yang kompeten di

bidang pelayaran internasional yaitu

IntenationaI Maritime Organization (IMO)

yang mana pada tanggal 19 Mei 1998

telah dilaksanakan Sidang Komite

Keselamatan Maritim ke-69 dari Organi-

sasi Maritim yaitu Maritime Safely

Committee (MSC-69-IMO) yang menerima

usulan (submisi) Pemerintah Indonesia

mengenai penetapan sumbu 3 (tiga) alur

laut kepulauan beserta cabang-cabangnya

yang dapat digunakan untuk pelaksana-

an Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

melintasi Perairan Indonesia. Sebagai

tindak lanjut diterimanya usulan Peme-

rintah Indonesia oleh IMO, perlu mene-

tapkan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan

beserta cabang-cabangnya dengan rute-

rute sebagai berikut:

a) ALKI I:

i) ALKI I: Laut Cina Selatan – Laut

Natuna – Selat Karimata – Laut

Jawa dan Selat Sunda ke Selat

Hindia (atau sebaliknya).

ii) ALKI I-A : (a) Dari Selat Singapura –

Laut Natuna – Selat Karimata –

Laut Jawa dan Selat Sunda ke

Samudera Hindia (atau sebaliknya),

atau (b) Melintasi Laut Natuna

langsung ke Laut Cina Selatan

(atau sebaliknya).

b) ALKI II: Laut Sulawesi-Selat Makasar-

Laut Flores-Selat Lombok ke Samudera

Hindia (sebaliknya)

c) ALKI III : (i) ALKI III-A: Samudera

Pasifik-Laut Maluku - Laut Seram-

Laut Banda- Selat Ombai-Laut Sawu

(atau sebaliknya), (ii) ALKI III-B:

Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut

Seram-Laut Banda-Selat Leti ke Laut

Tomor (sebaliknya), (iii) ALKI III-C:

Samudera Pasifik-Laut Maluku-Laut

Seram-Laut Banda-Laut Arafuru

sebaliknya), (iv) ALKI III-D: Samudera

Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-

Selat Ombai-Laut Sawu (timur Pulau

Sawu) ke Samudera Hindia (sebalik-

nya), dan (a) ALKI III-E: Laut

Sulawesi - Laut Maluku-Laut Seram-

Laut Banda-Selat Ombai: (b) Laut Sawu

(sebelah barat/timur Pulau Sawu)

sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku

dan (c) Laut Seram-Laut Banda-Selat

Leti-Laut Timor ke Samudera Hindia,

atau Laut Seram-Laut Banda-Laut

Arafuru (sebaliknya).

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan

Peraturan Pemerintah ini menetap-

kan 3 (tiga) ALKI dengan cabang-

cabangnya tersebut, tidaklah berarti

bahwa ketiga ALKI dengan cabang-

cabangnya tersebut hanya dapat diguna-

kan untuk pelaksanaan Hak Lintas ALKI

oleh kapal-kapal asing yang hendak

berlayar dari satu bagian laut bebas

atau ZEE melintasi Perairan Indonesia

ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE.

Kapal asing yang hendak berlayar dari

satu bagian laut bebas atau ZEE

menuju salah satu pelabuhan di

Indonesia atau menuju bagian lain dari

laut bebas atau ZEE dapat melaksana-

kan pelayarannya berdasarkan Hak

Lintas Damai dalam Perairan Indonesia,

baik di ALKI maupun di luar ALKI.

Page 47: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Kajian Kedaulatan Negara di Ruang UdaraTerhadap ......(Soegiyono)

81

Dengan demikian, ketentuan mengenai

hak dan kewajiban kapal dan pesawat

udara asing dalam melaksanakan hak

lintas ALKI melalui ALKI yang ditetapkan,

sudah lengkap, namun belum semua

negara, seperti AS meratifikasi Konvensi

PBB tentang Hukum Laut PBB, Tahun

1982, sehingga dalam implementasinya

masih terdapat permasalahan di ALKI.

Sebagai contoh Amerika Serikat dalam

penerbangan Armada Angkatan Lautnya

di Laut Jawa dan penerbangan F-18

Hornetnya, dalam kaca mata pandang

uraian di atas sah sah saja, karena

mereka berusaha untuk melakukan

operasi menggunakan route normally

used for international navigation, meskipun

sangat mungkin rute tersebut bukan

merupakan rute yang tercantum dalam

pelayaran internasional. Bagaimanapun

manuver yang telah dibuat oleh pesawat

militer Amerika Serikat, F-18 Hornet,

tersebut merupakan manuver yang

membahayakan bagi operasi pemanduan

lalu lintas penerbangan sipil dan dianggap

sebagai bentuk pelanggaran pada per-

aturan keselamatan penerbangan sipil

secara internasional International Civil

Aviation Organization (ICAO).

Berdasarkan uraian tersebut di

atas, fungsi ruang di udara sebagai

wilayah nusantara tempat Negara Indo-

nesia melaksanakan kedaulatan, hak

berdaulat dan yuridiksinya, dan sekaligus

sebagai wadah/ruang yang berfungsi

politik, pertahanan dan keamanan, sosial,

ekonomi dan lingkungan bagi kepen-

tingan nasional. Meskipun Indonesia

telah lama menggunakan teknologi yang

memanfaatkan ruang udara untuk

kegiatan sosial dan ekonomi, namun

belum sepenuhnya menguasai, dengan

kata lain bangsa Indonesia masih sangat

bergantung pada aplikasi teknologi yang

dikembangkan negara lain. Ketergan-

tungan tersebut dalam situasi tertentu

akan menyebabkan masalah besar dalam

pembangunan serta pertahanan kemanan

negara (hankamneg), sebagaimana insiden

yang terjadi dalam beberapa tahun

terakhir ini di wilayah Indonesia.

Penegakkan hukum merupakan

bagian dari upaya mempertahankan

kedaulatan negara. Sebagai negara yang

berdaulat, Pemerintah Indonesia perlu

menetapkan seperangkat aturan hukum

untuk mengatur, mengendalikan dan

menegakkan hukum ruang udara di

atas ALKI dan dengan berpedoman pada

kepentingan Indonesia, juga memper-

hatikan kaidah-kaidah yang diatur

dalam hukum internasional.

3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di

atas, dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

Untuk dapat menjaga kedaulatan

wilayah udara NKRI, harus dilakukan

penguasaan dan pengembangan tek-

nologi agar NKRI dapat menguasai

wilayah udaranya untuk kepentingan

yang seluas-luasnya bagi masyarakat

khususnya untuk kepentingan pener-

bangan.

Pemberlakuan 3 (tiga) jalur ALKI di

lautan territorial Indonesia untuk

mematuhi Konvensi Hukum Laut PBB,

1982 sebagai konsekuensi diterimanya

konsep Wawasan Nusantara (archipelagic

state), menyebabkan wilayah Indonesia

dipotong menjadi 4 (empat) bagian

oleh 3 (tiga) garis imajiner ALKI yang

dapat menjadi potensi kerawanan dan

ancaman kepada kedaulatan NKRI.

Untuk mengoptimalkan kemampuan

pengamanan, pengamatan dan peng-

intaian yang ada, dilaksanakan upaya-

upaya untuk meningkatkan profesio-

nalisme personel, memodernisasi

alutsistaud, mengoptimalkan sistem

dan prosedur pembinaan dan peme-

liharaan.

3.2 Saran

Dalam rangka mendukung pelak-

sanaan tugas dan kewenangan TNI

untuk pengamanan, pengamatan, peng-

intaian, di ruang udara di atas ALKI

terhadap segala bentuk pelanggaran

Page 48: Berita DIRGANTARA - LAPAN

Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 76-82

82

wilayah kedaulatan di ruang udara,

perlu diberikan payung hukum secara

komprehensif untuk melaksanakan

penegakan hukumnya.

DAFTAR RUJUKAN

Csabafi, Anthony, 1971. The Concept of

State Jurisdiction in International

Space Law, (The Hague).

Eris Herriyanto, 2006. Makalah Peranan

penegakan Hukum dan peng-

amanan Wilayah Udara Nasional

dalam Pengelolaan Ruang Udara

Nasional, Graha Santika Hotel,

Semarang.

Fenwick dan Oppenheim-Lauterpacht,

seperti dikutip oleh FX. Adji

Sumekto, 2009. Dalam bukunya,

Negara dalam Dimensi Hukum

Internasional, Penerbit PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

FX. Adji, Samekto, 2009. Negara dalam

Dimensi Hukum Internasional, PT.

Cipta Aditya Bakti, Bandung.

H. Priyatna Abdurrasyid, 2003. Kedau-

latan Negara di Ruang Udara

(Jakarta: Fikahati Aneska & Badan

Arbitrase Nasional Indonesia).

http://www.indonesia.go.id/, download

18 Maret 2010.

http://www.tempointeraktif.com/hg/

nasional/2003/07/04/brk,20030

704-29,id.html dan http://www.

tempointeraktif.com/hg/nasional

/2008/01/24/brk,20080124-

11 698,id.html.

Kementerian Luar Negeri RI, Penetapan

3 (tiga) Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI), pada http://

www.dfa-deplu.go.id tanggal 18

April 2003.

Kusumaatmadja, Mochtar 1978. Bunga

Rampai Hukum Laut, Penerbit

Bina Cipta, Bandung.

PP Nomor 37 Tahun 2002 Tentang Hak

dan Kewajiban Kapal dan Pesawat

Udara Asing dalam Melaksanakan

Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

Melalui Alur Laut Kepulauan

yang Ditetapkan.

R. Agoes, Etty. 1991. Konvensi Hukum

Laut, 1982 : Masalah Pengaturan

Hak Lintas Kapal Asing, PT.

Abardin, Bandung.

Sekretariat Negara RI, 2009. Kumpulan

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia.

Siti Nurbaya, Bakar, 2008. 12 Pulau

Terluar Rentan diambil Negara

Asing. Media Indonesia, 9 Desember

2008).

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985

Tentang Pengesahan United

Nations Convention On The Law Of

The Sea (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa Tentang Hukum

Laut, 1982).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

Tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang No 1 Tahun 2009

Tentang Penerbangan.

United Nations Convention On International

Civil Aviation, Signed At Chicago,

On 7 December 1944).

Page 49: Berita DIRGANTARA - LAPAN

PEDOMAN BAGI PENULIS

BERITA DIRGANTARA

Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains dan teknologi dirgantara, termasuk analisis dan informasi kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah difahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.

Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis.Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.

a. Pengiriman naskah

Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sektetariat Dewan Penyunting ([email protected]).

b. Sistematika penulisan

Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.

c. Gambar dan Tabel

Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.

d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik

Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.

e. Rujukan

Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.

Escuider, P. 1984. Use of Solar and Geomagnetic Activity for Orbit Computation in Mountenbruck (Ed.). Solar Terrestrial Predictions: Proceeding of a workshop at Meudon, France, June 12

Hachert, E.C.and S. Hastenrath, 1986. Mechanisms of Java Rainfall Anomalies, Mon Wea. Rev., 114, 745-757

Milani, A; Nobili, A.M.; and P. Farinella, 1987. Non-gravitational Perturbations and Satellite Geodesy, Adam Higler Bristol Publishing, Ltd

UCAR, 1999. Orbital Decay Prediction, http://windows.ucar.edu, download September 2004