12
Universitas Pakuan 1 Bioakumulasi 137 Cs Melalui Jalur Air Laut Pada Kerang Tahu (Meretrix Meretrix) Di Perairan Teluk Jakarta Dengan Variasi Salinitas Air Laut Dian Kosasih Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengentahuan Alam, Universitas Pakuan Bogor ABSTRAK Radionuklida buatan saat ini sudah dimanfaatkan secara luas sehingga mengakibatkan lingkungan menerima konsekuensi ekologis berupa peningkatan radiasi yang berdampak pada kualitas lingkungan ditinjau dari aspek radioekologi. Radioekologi berkembang menjadi kajian ilmiah yang secara sistematis menelaah perilaku, distribusi, dan mekanisme perpindahan radionuklida dalam berbagai ekosistem. Isotop 137 Cs terlepas ke perairan dari percobaan senjata nuklir, buangan limbah radioaktif dan kecelakaan reaktor nuklir Fukushima Jepang. Isotop 137 Cs masuk ke perairan Indonesia memalui Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Sifat radioaktif 137 Cs yang mudah larut dalam air mengakibatkan akumulasi pada biota laut dan ekosistem laut lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan absorpsi dan disorpsi kontaminan 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix) dengan berbagai variasi salinitas air laut dan mempelajari kemampuan bioakumulasinya. Penelitian ini meliputi pengambilan sampel kerang tahu (Meretrix meretrix) di Tanjung Kait Tangerang, persiapan akuarium dan air laut, aklimatisasi dalam air laut murni, Pembuatan variasi salinitas air laut, bioakumulasi 137 Cs memalui jalur air laut dan pembuatan standar kerang tahu (Meretrix meretrix). Tahapan pada bioakumulasi 137 Cs melalui jalur air laut meliputi kontaminasi melalui jalur air laut, pengukuran aktivitas 137 Cs pada kerang tahu (Meretrix meretrix), depurasi kerang tahu (Meretrix meretrix) dan pengukuran aktivitas 137 Cs saat depurasi. Data aktivitas 137 Cs diperoleh melalui tahapan bioakumulasi 137 Cs dan pembuatan standar kerang tahu (Meretrix meretrix) yang ditentukan dengan parameter biokinetika. Pengukuran aktivitas 137 Cs pada proses bioakumulasi 137 Cs jalur air laut dan kerang tahu (Meretrix meretrix) tanpa kontaminan (standar) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer gamma detektor HPGe. Hasil penelitian ini menunjukan variasi salinitas air laut mempengaruhi biokinetika proses bioakumulasi 137 Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) pada proses pengambilan yang ditandai semakin bertambahnya nilai konstanta laju pengambilan (k u ) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut 3,5077 Bq g -1 hari -1 ; 3,8953 Bq g -1 hari -1 ; 5,1125 Bq g -1 hari -1 dan 14,663 Bq g -1 hari -1 . Pada proses depurasi variasi salinitas tidak mempengaruhi yang ditandai nilai laju pelepasan (k e ) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut 0,14953 hari -1 ; 0,10092 hari -1 ; 0,17396 hari -1 dan 0,15898 hari -1 . Kata Kunci : Bioakumulasi 137 Cs, kerang tahu (Meretrix meretrix), Biokinetika, Variasi Salinitas, Spektrofotometer Gamma.

Bioakumulasi 137Cs Melalui Jalur Air Laut Pada Kerang …perpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/e-jurnal dian... ·  · 2018-02-17untuk mempelajari kemampuan absorpsi dan disorpsi kontaminan

  • Upload
    lamnga

  • View
    221

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Universitas Pakuan

1

Bioakumulasi 137

Cs Melalui Jalur Air Laut Pada Kerang Tahu (Meretrix

Meretrix) Di Perairan Teluk Jakarta Dengan Variasi Salinitas Air Laut

Dian Kosasih

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengentahuan Alam,

Universitas Pakuan Bogor

ABSTRAK

Radionuklida buatan saat ini sudah dimanfaatkan secara luas sehingga

mengakibatkan lingkungan menerima konsekuensi ekologis berupa peningkatan

radiasi yang berdampak pada kualitas lingkungan ditinjau dari aspek radioekologi.

Radioekologi berkembang menjadi kajian ilmiah yang secara sistematis menelaah

perilaku, distribusi, dan mekanisme perpindahan radionuklida dalam berbagai

ekosistem. Isotop 137

Cs terlepas ke perairan dari percobaan senjata nuklir,

buangan limbah radioaktif dan kecelakaan reaktor nuklir Fukushima Jepang.

Isotop 137

Cs masuk ke perairan Indonesia memalui Arus Lintas Indonesia

(ARLINDO). Sifat radioaktif 137

Cs yang mudah larut dalam air mengakibatkan

akumulasi pada biota laut dan ekosistem laut lainnya. Penelitian ini bertujuan

untuk mempelajari kemampuan absorpsi dan disorpsi kontaminan 137

Cs pada

kerang tahu (Meretrix meretrix) dengan berbagai variasi salinitas air laut dan

mempelajari kemampuan bioakumulasinya.

Penelitian ini meliputi pengambilan sampel kerang tahu (Meretrix

meretrix) di Tanjung Kait Tangerang, persiapan akuarium dan air laut,

aklimatisasi dalam air laut murni, Pembuatan variasi salinitas air laut,

bioakumulasi 137

Cs memalui jalur air laut dan pembuatan standar kerang tahu

(Meretrix meretrix). Tahapan pada bioakumulasi 137

Cs melalui jalur air laut

meliputi kontaminasi melalui jalur air laut, pengukuran aktivitas 137

Cs pada

kerang tahu (Meretrix meretrix), depurasi kerang tahu (Meretrix meretrix) dan

pengukuran aktivitas 137

Cs saat depurasi. Data aktivitas 137

Cs diperoleh melalui

tahapan bioakumulasi 137

Cs dan pembuatan standar kerang tahu (Meretrix

meretrix) yang ditentukan dengan parameter biokinetika. Pengukuran aktivitas 137

Cs pada proses bioakumulasi 137

Cs jalur air laut dan kerang tahu (Meretrix

meretrix) tanpa kontaminan (standar) dilakukan dengan menggunakan

spektrofotometer gamma detektor HPGe.

Hasil penelitian ini menunjukan variasi salinitas air laut mempengaruhi

biokinetika proses bioakumulasi 137

Cs oleh kerang tahu (Meretrix meretrix) pada

proses pengambilan yang ditandai semakin bertambahnya nilai konstanta laju

pengambilan (ku) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut

3,5077 Bq g-1

hari-1

; 3,8953 Bq g-1

hari-1

; 5,1125 Bq g-1

hari-1

dan 14,663 Bq g-1

hari-1

. Pada proses depurasi variasi salinitas tidak mempengaruhi yang ditandai

nilai laju pelepasan (ke) pada salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35 ppt; 36 ppt berturut turut

0,14953 hari-1

; 0,10092 hari-1

; 0,17396 hari-1

dan 0,15898 hari-1

.

Kata Kunci : Bioakumulasi 137

Cs, kerang tahu (Meretrix meretrix), Biokinetika,

Variasi Salinitas, Spektrofotometer Gamma.

Universitas Pakuan

2

PENDAHULUAN

Peraturan Presiden nomor 5

tahun 2006 tentang Kebijakan Energi

Nasional (KEN) memberi arahan

agar upaya pemakaian energi baru

dan terbarukan ditingkatkan. Energi

baru adalah bentuk energi yang

dihasilkan oleh teknologi baru baik

yang berasal dari energi terbarukan

maupun energy tak terbarukan.

Energi terbarukan adalah sumber

energi yang dihasilkan dari

sumberdaya energy yang secara

alamiah tidak akan habis dan dapat

berkelanjutan jika dikelola dengan

baik. Salah satu sasaran dari

Kebijakan Energi Nasional adalah

pemanfaatan energi nuklir yang

merupakan salah satu bentuk energi

baru.

Isotop 137

Cs di Samudera Pasifik

dikhawatirkan sampai ke perairan

Indonesia melalui Arus Lintas

Indonesia (ARLINDO).

Kekhawatiran ini disebabkan

Indonesia terletak diantara dua

samudera besar di dunia, yaitu

Samudera Pasifik dan Samudera

Hindia. Selama ini Indonesian

Troughflow (ITF) lebih banyak

diketahui merupakan aliran dari

Samudra Pasifik ke Samudera

Indonesia melewati Selat Makasar.

Menurut Global Drifter Programi

dari Agustus 1988 sampai dengan

Juni 2007 terindikasi Selat

Karimata merupakan saluran

penting lainnya untuk ITF dari laut

Cina Selatan ke perairan laut

Indonesia. Menurut fakta jumlah

drifter yang melalui Selat

Karimata lebih tinggi Mengacu

pada aliran laut di Jepang dimana

karakteristik arus Kurosi Current

membawa massa air sepanjang

pesisir Jepang bagian timut ke lautan

terbuka. Cabang dari Kuroshio juga

membawa massa air ke lautan

Pasifik yang pada akhirnya masuk

ke perairan Jawa melalui ITF

(Suseno, Heny. 2013).

Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN) telah melakukan beberapa

penelitian serta serta mengkaji

kemungkinan pembangunan PLTN

di Indonesia, namun gagasan

pembangunan PLTN ini mendapat

tantangan dari masyarakat terhadap

tingkat keamanan reaktor nuklir yang

di gunakan untuk mengoperasikan

PLTN. Kekhawatiran masyarakat ini

didasarkan pada dampak radiasi yang

akan ditimbulkan oleh reaktor PLTN,

dampak tersebut dapat berupa

kerusakan jaringan sel tubuh akibat

terjadinya perubahan struktur

molekul sel yang terpapar radiasi,

selain itu materi genetik dari sel itu

sendiri, yakni DNA, juga dapat

mengalami perubahan. Adanya

mutasi pada DNA sel dapat juga

menjadi penyebab tumbuhnya sel

kanker (Magill dan Galy, 2005)

Kerang tahu (Meretrix

meretrix) merupakan hewan filter

feeders yang memasukan pasir

kedalam tubuhnya kemudian

mengakumulasikan pasir tersebut

dilapisan tubuhnya. Ciri utamanya

memiliki dua cangkang yang pipih

dan lateral. Tubuhnya bersifat

simetri bilateral dan berada dalam

cangkang.

Akumulasi pada kerang tahu

(Meretrix meretrix) dapat

disebabkan oleh kontaminasi

langsung dari perairan atau

kontaminasi pada pakan siput laut

(Suseno dan Prihatiningsih,2013).

Kontaminasi 137

Cs pada sistem

perairan laut salah satunya akibat

dari kasus kecelakaan nuklir reaktor

Fukushima, Jepang dan global fall

out (Suseno dan Prihatiningsih,

2013; Suseno, Heny et al, 2015),

dapat menimbulkan dampak

Universitas Pakuan

3

radiologi jangka panjang karena

radiocesium dapat masuk ke dalam

suatu rantai makanan. Keberadaan

radionuklida 137

Cs di perairan

kemudian akan terakumulasi pada

beberapa biota laut, antara lain

kerang tahu (Meretrix meretrix)

TATA KERJA

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah akuarium

kapasitas 300 L dan 80 L, sistem

filtrasi akuarium terdiri dari wadah

filter, pompa, selang dan kapas filter.

Skimmer, sistem penghasil oksigen

terdiri dari aerator, selang aerator dan

batu aerator. Torrent, coolbox, ice

gel, ,jaring ikan, bak plastik, toples

kaca,saringan berukuran 0,45 µm,

gelas beaker 1000 mL, batang,

lampu, timbangan digital, Labu ukur

100 mL, 500, pipet gondok 5 mL dan

bulp, vial 5 mL, tabung plastik kecil,

spektrometer gamma, perangkat

computer, Mikropipet 10-100 µL

serta kulkas.

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Air laut bebas

kontaminan yang telah difiltrasi,

Perunut radionuklida 137

Cs aktivitas

185 MBq, Kista Artemia sp, aquades,

kerang tahu (Meretrix meretrix) dan

larutan klorin (bayclin).

METODE

Pengambilan Sampel Kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Kerang tahu (Meretrix

meretrix) yang digunakan sebagai

bioindikator dalam penelitian ini

diperoleh dari tempat aklimatisasi

hasil tangkapan laut Teluk Jakarta di

Tanjung Kait. Sampel Kerang tahu

(Meretrix meretrix) dibersihkan dari

lumpur yang menempel dan

dimasukkan ke dalam plastik sampel

sementara dengan volume air laut

dan oksigen yang cukup agar biota

tetap hidup, kemudian diletakkan di

dalam coolbox yang dilengkapi

dengan ice gel untuk dibawa ke

Laboratorium Akuatik PTKMR

BATAN dan menjalani proses

aklimatisasi

Persiapan Akuarium Dan Air Laut

Persiapan akuarium

dilakukan dengan cara menyiapkan

dan memastikan akuarium

berkapasitas 300 L yang akan

digunakan tidak bocor, setelah

akuarium siap, dilakukan pengisian

air laut kedalamnya sebanyak 250 L.

Kemudian pada aquarium yang

sudah berisi air laut tersebut

dipasangkan sistem filtrasi, pompa,

serta batu aerasi yang terhubung

dengan aerator. Perangkat-perangkat

ini berfungsi untuk mensirkulasi

oksigen yang terlarut dalam air laut

agar aklimatisasi biota dapat berjalan

dengan baik. Proses aerasi ini

dilakukan 1 hari sebelum biota yang

akan diaklimatisasi dilakukan

kedalam aquarium tersebut.

Aklimatisasi Kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Proses aklimatisasi

berfungsi untuk memberikan waktu

adaptasi bagi objek penelitian berupa

organisme hidup di lingkungan

penelitian. Proses aklimatisasi

Kerang tahu (Meretrix meretrix)

dilakukan dengan menetapkan

beberapa Kerang tahu (Meretrix

meretrix) yang akan dijadikan objek

penelitian pada akuarium air laut,

lengkap dengan sistem sirkulasi dan

filtrasi, yang akan dijadikan media

penelitian selama 18 hari.. Proses

aklimatisasi dilakukan dengan

memelihara Kerang tahu (Meretrix

meretrix) selama 7 hari tanpa

pemberian kontaminan. Penggantian

Universitas Pakuan

4

air laut dalam akuarium dilakukan

setiap hari di pagi hari. Pemberian

pakan berupa Artemia sp untuk

Kerang tahu (Meretrix meretrix)

dilakukan 2 kali sehari, yaitu saat

pagi dan sore hari. Sebelum

dipakankan ke Kerang tahu (Meretrix

meretrix), kista Artemia sp. harus

ditetaskan terlebih dahulu selama

kurang lebih 3 hari. Sebanyak 3 gram

kista Artemia sp dicuci dengan 2 L

air laut yang dicampur 5 mL larutan

klor (pemutih bayclin) selama 2

menit, kemudian dibilas dengan air

laut untuk menghilangkan sisa

klorin. Penetasan kista Artemia sp.

dilakukan di dalam toples kaca berisi

2 L air laut yang dilengkapi dengan

sistem aerasi dan pencahayaan yang

baik dari lampu pada suhu ruang.

Selama pemberian pakan, sistem

filtrasi dihentikan kurang lebih

selama 2 jam. Selama proses

aklimatisasi, akuarium diberikan

pencahayaan 12 jam gelap dan 12

jam terang. Percobaan dapat

dilanjutkan jika jumlah Kerang tahu

(Meretrix meretrix) yang mati saat

proses aklimatisasi kurang dari 20%.

Variasi Salinitas

Sebanyak 4 akuarium

kapasitas 80 L diisi air laut .

Akuarium A (30 L air laut ),

Akuarium B (27 L air laut + 3 L air

tawar), Akuarium C (25 L air laut +

5 L air tawar), Akuarium D (23 L air

laut + 7 L air tawar). Selanjutnya ke

4 (empat) akuarium tersebut diukur

salinitas air lautnya dengan

menggunakan konduktometri.

Penambahan air tawar bertujuan

untuk menurunkan salinitas air laut

sehingga diperoleh variasi salinitas

yang diinginkan.

Kontaminasi Kerang tahu

(Meretrix meretrix) melalui Media

Air Laut dan Proses Pengambilan

(Uptake) Kontaminan serta

Pengukuran Aktivitas 137

Cs pada

Kerang tahu (Meretrix meretrix) Sebanyak 4 akuarium

berkapasitas 80 L masing-masing

diisikan 30 L air laut yang sudah

difiltrasi dan di variasi salinitas air

lautnya yaitu akuarium A (33 ppt ),

akuarium B (34 ppt ), akuarium C

(35 ppt), akuarium D (36 ppt),

kemudian ke dalam tiap akuarium

ditambahkan 0,324 mL perunut

radioaktif 137

Cs dengan aktivitas 185

kBq (dibuat dengan cara

mengencerkan 0,316 mL larutan

baku perunut radioaktif 137

Cs dengan

aktivitas 185 MBq dalam labu ukur

1000 mL pada 04 Maret 2016)

sehingga aktivitas radionuklida 137

Cs

dalam tiap akuarium sebesar 2

Bq/mL air laut. Diambil 2 Kerang

tahu (Meretrix meretrix) di

tempatkan ke 4 akuarium berbeda

(A,B,C,D) yang telah di variasi

salinitasnya. Proses kontaminasi dan

uptake kontaminan dilakukan selama

7 hari. Proses pengukuran aktivitas 137

Cs pada Kerang tahu (Meretrix

meretrix) dilakukan setiap hari dalam

kurun waktu kontaminasi (7 hari).

Sebelum dilakukan pengukuran

setiap harinya, Kerang tahu

(Meretrix meretrix) diberi makan

terlebih dahulu selama 15 menit.

Pengukuran dilakukan dengan

detektor gamma HPGe yang

terhubung dengan high voltage

power supply (HVPS Model 3106D),

spektroskopi amplifier (model 2022)

dan perangkat lunak Genie-2000.

Kerang tahu (Meretrix meretrix)

yang akan diukur ditempatkan pada

tabung plastik bening berisi air laut

yang sudah diaerasi dan diletakan

pada sampel holder. Setiap kali

pengukuran harus dilakukan dengan

kondisi yang sama, yakni jarak

tabung dengan detektor, tinggi air

dalam tabung, serta geometri tabung

Universitas Pakuan

5

yang digunakan. Pengukuran

dilakukan selama 5 menit untuk tiap

– tiap Kerang tahu (Meretrix

meretrix).

Depurasi Kerang tahu (Meretrix

meretrix) dan Pengukuran

Aktivitas 137

Cs Saat Depurasi

Proses depurasi dilakukan

selama 4 hari dengan menempatkan

Kerang tahu (Meretrix meretrix) A,

B, C, dan D pada 4 akuarium

berbeda berisi air laut bebas

kontaminan serta lengkap dengan

sistem filtrasi dan aerasi. Air laut tiap

akuarium diganti setiap hari selama

proses depurasi. Pemberian pakan

tetap dilakukan dengan waktu dan

jenis pakan yang sama seperti

sebelumnya.

Pengukuran aktivitas

radionuklida 137

Cs pada proses

depurasi dilakukan setiap hari selama

kurun waktu depurasi (4 hari).

Sebelum dilakukan pengukuran,

Kerang tahu (Meretrix meretrix)

diberi makan terlebih dahulu selama

30 menit setiap harinya di wadah

khusus untuk feeding. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan

detektor HPGe. Kerang tahu

(Meretrix meretrix) yang akan diukur

ditempatkan pada wadah silinder

plastik bening (diameter 7 cm, tinggi

7 cm) berisi air laut. Pengukuran

dilakukan dengan memperhatikan

jarak wadah dengan detektor, tinggi

air dalam wadah, serta geometri

wadah yang digunakan. Pengukuran

dilakukan selama 300 sekon untuk

tiap Kerang tahu (Meretrix meretrix)

uji.

Pembuatan Standar Kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Pembuatan standar Kerang

tahu (Meretrix meretrix) dilakukan

dengan cara mengambil Kerang tahu

(Meretrix meretrix) yang bebas

kontaminasi. Bagian daging Kerang

tahu (Meretrix meretrix) dipisahkan

dari cangkangnya dan dimasukkan

tissue ke dalam cangkang tersebut.

Pada tissue tersebut diteteskan

perunut radionuklida 137

Cs (aktivitas

185 kBq) sejumlah 50 µL sebanyak

1 kali, sehingga aktivitas 137

Cs pada

standar Kerang tahu (Meretrix

meretrix ) sebesar 9,25 kBq. Standar

Kerang tahu (Meretrix meretrix)

yang telah diberi perunut kemudian

dimasukkan ke dalam plastik,

disegel, dan diletakkan ke dalam

wadah yang kondisinya sama seperti

wadah yang digunakan untuk

counting harian. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan

detektor HPGe. Standar yang telah

siap kemudian diukur aktivitasnya.

Pengukuran dilakukan selama 100

sekon untuk tiap standar Kerang tahu

(Meretrix meretrix).

Pengolahan Data Biokinetika

Setelah keseluruhan proses

dilalui, ditentukan faktor konsentrasi

dengan membandingkan aktivitas

tracer dalam air laut dengan dalam

tubuh Kerang tahu (Meretrix

meretrix) dan parameter biokinetika

lainnya dengan menggunakan

persamaan-persamaan biokinetika

proses bioakumulasi.

PEMBAHASAN

Cesium (Cs) dalam bentuk

radioisotop 137

Cs memiliki sifat yang

sama dengan unsur-unsur dalam

golongan logam alkali lainnya,

seperti Natrium (Na+), Kalium (K

+)

maupun Rubidium (Rb+). Cesium

lebih reaktif terhadap oksigen dan

halogen, dan kurang reaktif terhadap

N, C dan H. Kelarutan 137

Cs yang

tinggi dalam air menyebabkan

radionuklida ini sangat mudah

terdistribusi dalam lingkungan

aquatik dan akhirnya akan bermuara

Universitas Pakuan

6

di perairan sehingga penyebarannya

dalam laut sangat dipengaruhi oleh

proses fisika berupa pencampuran

dan difusi. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Povinec et al.

(2005), hanya 10% 137

Cs yang dapat

diikat oleh partikulat dalam air laut

dan mengendap ke dasar sebagai

sedimen. Pengambilan dan retensi

pencemar oleh makhluk hidup

mengakibatkan peningkatan

kepekatan yang dapat memiliki

pengaruh yang merusak. Proses ini

dapat terjadi oleh penyerapan

langsung dari lingkungan sekeliling

atau oleh penyerapan suatu pencemar

melalui jalur makanan. Bioakumulasi

dalam organisme laut adalah langkah

pertama sebelum organisme tersebut

menunjukan responnya terhadap

pencemar dalam siklus biogeokimia.

Untuk menaksir efek kerusakan

terhadap lingkungan dari beberapa

polutan yang terdistribusi ke

lingkungan dapat diuji dengan

menggunakan spesies yang mewakili

lingkungan yang ada di perairan

tersebut. Mengacu pada berbagai

studi bioakumulasi 137

Cs berdasarkan

pendekatan biokinetika kompartemen

tunggal secara luas telah dilakukan di

seluruh dunia dengan menggunakan

berbagai macam jenis organisme

akuatik yang berbeda seperti

kekerangan, ikan, udang, siput dan

lain-lain (Sezer et al., 2013).

Bioakumulasi 137

Cs melalui Jalur

Air Laut pada Kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Pada penelitian ini, dibuat

suatu simulasi penambahan unsur

kontaminasi radionuklida 137

Cs

dengan salinitas air laut yang

divariasikan, untuk memperoleh

bentuk pemodelan bioakumulsi 137

Cs

Gambar 9. Kemampuan akumulasi 137

Cs oleh kerang tahu (Meretrix

meretrix)

berdasarkan nilai dan parameter

biokinetika proses bioakumulasi

pada kerang tahu (meretrix meretrix),

aktivitas dan konsentrasi 137

Cs yang

dikontaminasikan ke dalam media air

laut tidak divariasikan yaitu sebesar

2,26 x 10-15

M yang setara dengan

2Bq/ml. Waktu kontaminasi

dilakukan selama 9 hari pada kerang

tahu (Meretrix meretrix). Data

bioakumulasi proses pengambilan

(uptake) 137

Cs oleh kerang tahu

(Meretrix meretrix) ditunjukkan

lampiran 16.

Model kompartemen tunggal

digunakan untuk menjelaskan proses

bioakumulasi melalui model yang

dikonstruksi dari hasil eksperimen,

konsentrasi 137

Cs ditentukan oleh laju

pengambilan dan pelepasannya,

Model kompartemen tunggal

memberikan penjelasan secara

matematis untuk mengetahui

kuantitas senyawa kimia termasuk 137

Cs yang ditentukan oleh laju

pengambilan dan pelepasannya

(Newman et al., 1996), kemampuan

bioakumulasi 137

Cs melalui jalur air

laut oleh kerang tahu (Meretrix

meretrix) direpresentasikan oleh nilai

Perbandingan konsentrasi aktivitas

radionuklida per biota ∆C (Bq).

Nilai ∆C (Bq) adalah perbandingan

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0 5 10

∆C

(B

q)

waktu (hari)

Universitas Pakuan

7

aktifitas hari ke n dengan aktifitas

hari pertama, aktifitas yang diterima

biota setara dengan jumlah serapan

radiasi gamma yang diterima. Proses

biokinetika akumulasi kontaminan 137

Cs pada kerang tahu (Meretrix

meretrix) selama 9 hari pada

berbagai variasi salinitas air laut.

Kemampuan bioakumulasi 137

Cs

melalui jalur air laut selama waktu

kontaminasi pada variasi salinitas

ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9, terlihat kondisi tunak

(steady state) akumulasi 137

Cs pada

kerang tahu (Meretrix meretrix)

tercapai setelah 7 hari. Nilai

perbandingan konsentrasi aktivitas 137

Cs pada kondisi tunak (∆CSS (Bq))

menunjukkan kemampuan akumulasi

maksimal biota, dimana laju

pengambilan kontaminan 137

Cs sama

dengan laju pelepasannya dari tubuh

biota. Berdasarkan percobaan

diperoleh nilai ∆CSS (Bq) dari kerang

tahu (Meretrix meretrix) pada

berbagai salinitas air laut seperti

pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan salinitas

air laut terhadap nilai ∆CSS (Bq

)pada kerang tahu (Meretrix

meretrix)

Gambar 10 menunjukkan

kerang tahu (Meretrix meretrix)

dengan salinitas tertinggi (36 ppt)

memiliki nilai ∆CSS (Bq) besar yaitu

sebesar 121,56 Bq dan salinitas

terendah (33 ppt) memiliki nilai ∆CSS

(Bq) sebesar 26,19 Bq. Berdasarkan

data tersebut dapat dilihat bahwa

salinitas air laut mempengaruhi

kemampuan kerang tahu (Meretrix

meretrix) mengakumulasi 137

Cs.

Semakin tinggi salinitas air laut

kemampuan biota mengakumulasi 137

Cs akan semakin tinggi , hal ini

ditunjukkan dengan kenaikan nilai

∆CSS (Bq) dari kerang tahu (Meretrix

meretrix), yang terjadi seiring

naiknya salinitas air laut.

Menurut (Brito dalam

Blackmore dan Wang, 2002)

menyatakan bahwa perubahan

salinitas dapat mempengaruhi

kelangsungan hidup, pertumbuhan

dan metabolisme fisiologi dari

organisme laut. Hal ini dikarenakan

salinitas mencerminkan kestabilan

kondisi fisik air laut sehingga faktor

– faktor lingkungan seperti salinititas

salah satunya akan mempengaruhi

bioakumuasi 137

Cs dengan cara

meningkatkan bioavailabilitas.

Menurut Oehlmann (2007),

bioakumulasi suatu kontaminan

dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain sifat bioavailabilitas

kontaminan terhadap jaringan tubuh

suatu organisme, bentuk dan sifat

kimiadari kontaminan, serta sistem

metabolisme dan organisme yang

terkontaminasi. Bioavailabilitas Cs

dalam berbagai bentuk senyawaan

ataupun ion yang akan terabsorpsi

oleh membran sel kerang tahu

(Meretrix meretrix) sehingga

memicu mudahnya 137

Cs

terakumulasi. Maka ketika nilai

salinitas rendah bioavailabilitas Cs

akan menurun sehingga absorpsi 137

Cs oleh membran sel kerang tahu

(Meretrix meretrix) berkurang

menyebabkan akumulasi 137

Cs

menurun yang ditunjukkan dengan

rendahnya nilai ∆C (Bq).

y = 4E-24x16,277 R² = 0,7403

0

20

40

60

80

100

120

140

32 33 34 35 36 37

∆C

SS

(Bq

)

Salinitas (ppt)

Universitas Pakuan

8

Kemampuan kerang tahu

(Meretrix meretrix) dalam

mengakumulasi direpresentasikan

oleh laju pengambilan kontaminan

(ku). Dalam kompartemen tunggal

nilai ku diartikan sebagai mekanisme

pengambilan (uptake) kontaminan

oleh tubuh biota. Nilai ku (Bq g-1

hari-1

) adalah konstanta laju

pengambilan (uptake) yang dihitung

berdasarkan slope dari kurva CFt

terhadap t (dari t = 0 sampai dengan t

pada kondisi tunak) (Suseno, 2013).

Pada penelitian ini nilai ku diperoleh

dari ∆C (Bq) sehingga nilai konstanta

laju pengambilan (uptake) dihitung

dari slope kurva ∆C (Bq) terhadap t

(dari t = 0 sampai dengan t pada

kondisi tunak). Laju pengambilan

merupakan slope dari plot ∆C (Bq)

terhadap waktu.

Berdasarkan proses perhitungan

yang dilakukan, diperoleh nulai ku

dari berbagai variasi salinitas air laut.

Hasil perhitungan tersebut

menunjukan kecepatan pengambilan

kontaminan oleh kerang tahu

(Meretrix meretrix) dipengaruhi oleh

salinitas air laut. Semakin tinggi

kadar salinitas air laut maka nilai

konstanta laju pengambilan (ku) akan

semakin tinggi , begitupun

sebaliknya. Gambar hubungan antara

salinitas air laut dengan nilai

kostanta pengambilan (ku) ditunjukan

pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan Variasi

salinitas air laut terhadap Nilai

Konstanta Laju

Pengambilan (ku) pada kerang

tahu (Meretrix meretrix)

Pada kerang tahu (Meretrix

meretrix) kemampuan akumulasi 137

Cs berbanding lurus dengan nilai

salinitasnya artinya makin kecil

salinitas maka tingkat akumulasi

akan semakin kecil begitupun

sebaliknya.

Seperti yang telah diketahui 137

Cs memiliki sifat kimia yang sama

dengan unsur 132

Cs, yakni mudah

larut dalam air dan tidak mudah

bereaksi dengan partikel atau suatu

struktur permukaan. Cesium yang

terdapat pada air laut dapat masuk ke

dalam tubuh biota melalui proses

absorpsi pada permukaan tubuh dan

terakumulasi pada jaringan yang

lunak, menurut (Suseno et al., 2012)

radionuklida 137

Cs dalam medium air

langsung diakumulasi melalui

insang. Akumulasi 137

Cs pada suatu

kerang tahu (Meretrix meretrix)

terjadi melalui mekanisme transport

aktif, dimana cesium akan

menggantikan unsur analognya,

yakni kalium, dalam sistem pompa

Na+/K

+ (Sezer et al,2013). Saat

masuk ke dalam jaringan tubuh, 137

Cs akan menggantikan K+ dalam

sistem pompa Na+/K

+ karena sifat

kimiawinya yang sama sehingga

dapat diakumulasi oleh biota laut

(Metian et al., 2011).

Depurasi 137

Cs oleh kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Depurasi merupakan proses

pelepasan kontaminan dari dalam

tubuh biota yang secara alami

digambarkan sebagai proses yang

terjadi bila masuknya kontaminan

yang dipaparkan ke lingkungan

dikurangi atau dihilangkan, sehingga

kontaminan akan tereksternalisasi

y = 5E-24x15,636 R² = 0,8003

0

5

10

15

20

32 33 34 35 36 37

Ku

(B

q g

-1 h

ari-

1)

salinitas (ppt)

Universitas Pakuan

9

keluar dari dalam jaringan biota.

Pada saat proses depurasi seluruh

kerang tahu (Meretrix meretrix) yang

telah menjalani proses bioakumulasi

di tempatkan dalam akuarium berisi

air laut bebas kontaminan.

Pada penelitian ini proses

depurasi dilakukan selama 4 hari

untuk seluruh kerang tahu (Meretrix

meretrix) uji dengan perlakuan sama

seperti proses bioakumulasi. Setelah

itu dilakukan perhitungan untuk

menentukan persentase 137

Cs yang

teretensi dalam tubuh kerang tahu

(Meretrix meretrix) dengan cara

membagi area depurasi dengan area

proses pengambilan (uptake) pada

hari terakhir kemudian dikali 100

persen (%). Proses depurasi dan

retensi 137

Cs dalam tubuh biota

ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 12. Depurasi

137Cs oleh

kerang tahu (Meretrix meretrix) pada

berbagai variasi salinitas air laut

Gambar 12 menunjukkan proses

depurasi pada kerang tahu (Meretrix

meretrix) digambarkan dengan

semakin bertambahnya hari depurasi

maka presentase 137

Cs dalam tubuh

kerang tahu (Meretrix meretrix)

semakin berkurang. Presentase (%)

retensi menunjukan presentase

aktivitas 137

Cs pada kerang tahu

(Meretrix meretrix) semakin

menurun selama waktu depurasi pada

berbagai salinitas yang berbeda.

Adanya penurunan presentase (%)

retensi 137

Cs menunjukan bahwa

terjadinya proses depurasi 137

Cs dari

tubuh.. Proses eksresi 137

Cs dari

dalam tubuh kerang tahu (Meretrix

meretrix) merupakan proses untuk

menjaga keseimbangan elektrolit

dalam tubuhnya. Kemampuan

melepas kontaminan oleh tubuh

kerang tahu (Meretrix meretrix)

direpresentasikan oleh nilai

konstanta pelepasan (ke). Nilai ke

diperoleh dari slope grafik %

kontaminan yang diretensi VS waktu

(t) (Suseno. 2013). Persamaan linear

diplot kedalam suatu grafik dan

ditentukan persamaan garis dari

grafik tersebut. Slope dari persamaan

garis tersebut merupakan nilai ke dari

masing-masing kerang tahu

(Meretrix meretrix). Nilai ke dapat

dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan salinitas

terhadap Nilai Konstanta Laju

Pelepasan (ke) pada kerang tahu

(Meretrix meretrix)

Cesium akan berperilaku

seperti kalium ketika masuk kedalam

tubuh biota, sehingga akan

dieliminasi dengan cara yang sama

seperti kalium. yakni dengan

mekanisme regulasi komposisi ionik

melalui proses reabsorbsi pada ginjal

(nephridia) dan keluar bersama

ammonia (McCarry et al.2006).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 2 4 6

% t

ere

ten

si

Waktu (hari)

0

0,05

0,1

0,15

0,2

32 33 34 35 36 37

ke (

har

i-1

)

salinitas (ppt)

Universitas Pakuan

10

Berdasarkan Gambar 12

diperlukan waktu lebih dari 4 hari

untuk mengekresikan cesium secara

maksimal dari dalam tubuh kerang

tahu (Meretrix meretrix). Penurunan

konsentrasi 137

Cs dalam tubuh biota

tidak maksimal dipengaruhi ukuran

Cesium yang cukup besar sebagai

ion kemungkinan mempengaruhi

waktu yang diperlukan untuk proses

ekskresi ini. Selain itu juga kondisi

lingkungan dapat mempengaruhi

kadar 137

Cs pada media air laut yang

sangat rendah memungkinkan tubuh

biota untuk kembali mengikat

Kalium dan mensubstitusi Cesium

serta mengeliminasinya dari dalam

tubuh.

Gambar 13 menunjukkan

hubungan antara bobot biota dengan

nilai ke. Pada salinitas terendah yaitu

33 laju pelepasan sebesar 0,14953

sedangkan pada salinitas tertinggi

yaitu salinitas 36 laju pelepasan

sebesar 0,15898 , tetapi laju

pelepasan tertinggi ada pada salinitas

35 yaitu sebesar 0,17396. ini

menandakan salinitas optimum

pelepasan kontaminan pada kerang

tahu (Meretrix meretrix) pada

salinitas 35. kerang tahu (Meretrix

meretrix) tersebut akan berusaha

mengeluarkan kontaminan 137

Cs

dalam tubuhnya pada tingkatan

salinitasnya untuk menghindari efek

toksik akibat paparan 137

Cs yang

dapat mengganggu proses

metabolisme dalam tubuh.

Nilai laju pelepasan (ke) 137

Cs

merepresentasikan seberapa besar

pelepasan 137

Cs dari kerang tahu

(Meretrix meretrix). Konstanta laju

pelepasan kontaminan dipengaruhi

oleh beberapa faktor, seperti

kemampuan ekskresi biota yang

meliputi sistem kerja enzim dan

faktor eksternal.

Setelah menentukan nilai ke,

ditentukan pula waktu paruh biologis

(t1/2b) yang menunjukan waktu yang

diperlukan 137

Cs pada tubuh kerang

tahu (Meretrix meretrix) untuk

berkurang menjadi setengah dari

jumlah awal yang masuk kedalam

tubuh. Waktu paruh biologis

ditentukan dengan persamaan (21).

nilai (t1/2b) 137

Cs pada kerang tahu

(Meretrix meretrix) ditunjukkan

Gambar 14.

Waktu paruh biologis dari

kerang tahu (Meretrix meretrix)

dengan variasi salinitas didapatkan

pada salinitas terendah yaitu 33

sebesar 4,6355 dan pada salinitas

tertinggi yaitu 36 sebesar 4,3599 dan

pada salinitas optimum yaitu salinitas

35 sebesar 3,9845, hal ini

menunjukkan waktu paruh biologis

berbanding terbalik dengan nilai ke.

Gambar 14. Hubungan

antara salinitas dengan waktu paruh

biologis pada kerang tahu (Meretrix

meretrix)

Waktu paruh biologis pada

kerang tahu (Meretrix meretrix)

adalah 4 sampai 6 hari. Lamanya

waktu paruh biologis 137

Cs pada

kerang tahu (Meretrix meretrix)

berhubungan dengan sistem ekskresi

tubuh biota tersebut yang melibatkan

biotransformasi dalam proses

metabolisme yang mencakup

0

2

4

6

8

32 33 34 35 36 37

t1/2

b (

har

i)

salinitas (ppt)

Universitas Pakuan

11

perubahan konformasi dari 137

Cs dan

konjugasi 137

Cs terhadap gugus lain

sehingga dapat diekskresikan keluar

dari tubuh biota. Kontaminan 137

Cs

yang tidak terserap oleh

kompartemen tubuh biota akan

dikeluarkan melalui feses dan urin

(McCarry et al. 2006)

KESIMPULAN

1. Nilai ∆C (Bq) aktivitas 137

Cs

pada kerang tahu (Meretrix

meretrix) saat kondisi tunak

dengan variasi salinitas 33

ppt; 34 ppt; 35 ppt ;36 ppt

setelah terpapar 137

Cs selama

9 hari secara berturut – turut

26,19 Bq; 29,85 Bq; 34,64 Bq

dan 121,56 Bq.

2. Nilai konstanta pengambilan

(ku) berdasarkan nilai ∆C

(Bq) pada kerang tahu

(Meretrix meretrix) dengan

salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35

ppt ;36 ppt setelah terpapar 137

Cs selama 9 hari berturut –

turut 3,5077 Bq g-1

hari-1

;

3,8953 Bq g-1

hari-1

; 5,1125

Bq g-1

hari-1

dan 14,663 Bq g-

1 hari

-1.

3. Nilai konstanta laju pelepasan

(ke) 137

Cs pada kerang tahu

(Meretrix meretrix) dengan

salinitas 33 ppt; 34 ppt; 35

ppt ;36 ppt berturut – turut

adalah 0,14953 hari-1

;

0,10092 hari-1

; 0,17396 hari-1

dan 0,15898 hari-1

.

4. Waktu paruh biologis (t1/2b)

pada kerang tahu (Meretrix

meretrix) untuk melepaskan

setengah dari konsentrasi 137

Cs dengan salinitas 33; 34;

35 ;36 secara berturut – turut

adalah 4,6355 hari; 6,8682

hari; 3,9845 hari dan 4,3599

hari.

5. Variasi salinitas air laut

mempengaruhi biokinetika

proses bioakumulasi 137Cs

oleh kerang tahu (Meretrix

meretrix) pada proses

pengambilan yang ditandai

semakin bertambahnya nilai

konstanta laju pengambilan

(ku) seiring meningkatnya

salinitas. Pada proses

depurasi variasi salinitas air

laut tidak mempengaruhi nilai

konstanta laju pelepasan (ke).

DAFTAR PUSTAKA

Blackmore, G. dan W. X. Wang.,

2002. Inter-Population

Differences in Cd, Cr, Se, and

Zn Accumulation by the

Green Mussel Perna viridis

Acclimated at Different

Salinities. The Hong Kong

University of Science and

Technology. Hong Kong.

13pp. Tidak diterbitkan.

Magill, Joseph & Jean, Galy. 2005.

Radioactivity Radionuclides

Radiatiaon. New York :

Springer.

McCarry, Heather et al. 2006.

Ultimate Visual Dictionary.

Paperback Editon. DK

Publishing.

Metian, Marc., Warnau, Michel.,

Teyssie, Jean-Louis.,

Bustamante, Paco .2011.

Characterization of 241

Am

and 134

Cs bioaccumulation in

the king scallop Pecten

maximus: investigation via

three exposure pathways.

Journal of Environmental

Radioactivity 102: 543-550.

Universitas Pakuan

12

Newman, M. C. dan Jagoe, R. H.

1996. Bioaccumulation

Models With Time Lags:

Dynamics And Stability

Criteria. Ecological

Modelling 84 ,281286.

Oehlmann, Jorg & Ulrike, Schulte-

Oehlmann. 2007. Mollusc as

Bioindicator. Marine

Pollution Bulletin, Pp. 494-

498.

Povinec, P.P., Aarkrog, A.,

Buesselerc, K.O., Delfanti,

R., Hirosee, K., Hong, G. H.,

Itoa, T., Livingston, H. D.,

Nies, H., Noshkin, Shimai,

S., Togawaa, O 2005. 90

Sr, 137

Cs and 239,240

Pu

concentration surface water

time series in the Pacific and

Indian Oceans. WOMARS

results, Journal of

Environmental Radioactivity

81: 63-87

Sezer, Narin et al. 2013. Biokinetics

of Radiocesium in Shrimp

(Palaemon adspersus):

seawater and food exposures.

Journal of Environmental

Radioactivity 132: 15-20.

Suseno, Heny, Prihatiningsih, Wahyu

Retno, dan Cahyana, Chevy

2012. Studi Radioekologi

Kelautan untuk Mendukung

Rencana Pembangunan

PLTN di Provinsi Bangka

Belitung. Prosiding inSINas.

Suseno, Heny & Prihatiningsih, W.

Retno. 2013. Monitoring 137

Cs And 134

Cs At Marine

Coasts In Indonesia Between

2011 And 2013. Marine

Pollution Bulletin. National

Nuclear Agency. Indonesia.