1
ARIS MUNANDAR S UARANYA tiba-tiba tercekat. Pembicaraan pun terhenti beberapa saat. Ia lantas menarik napas panjang sebelum melan- jutkan perbincangan di suatu sore di awal April. Kejadian pada empat tahun lalu masih membekas dalam ingatan pria berperawakan sedang ini. Sebuah peristiwa yang membumihanguskan hasil kerja keras lembaganya selama belasan tahun. “Kami sangat terpukul dan sempat frustrasi. Kerja keras selama belasan tahun seakan menjadi sia-sia,” kata John Bamba. John mengenang peristiwa kebakaran pada 8 Agustus 2007 itu dengan mata berkaca-kaca. Musibah yang menimpa kan- tornya, Institut Dayakologi Pon- tianak, tersebut menimbulkan luka dan trauma mendalam. Puluhan ribu lembar naskah dan dokumentasi sastra lisan hasil riset selama delapan ta- hun berubah menjadi abu. Begitu pula nasib ribuan ar- sip penelitian etnologi dan keanekaragaman hayati. Arsip-arsip tersebut meru- pakan dokumen berharga dan di antaranya bahkan tidak mungkin lagi bisa ditemukan penggantinya. Sebab, beberapa penutur yang menjadi nara- sumber penelitian sastra lisan telah sepuh dan meninggal dunia. Kondisi serupa juga dialami hasil penelitian mengenai iden- tifikasi dan pengembangan plasma nuftah. Laju kerusakan ekosistem akibat eksploitasi mengakibatkan keanekaragam- an hayati ini sulit ditemukan lagi di habitat alamnya. Melawan rezim John termasuk tokoh sen- tral di Institut Dayakologi. Ia salah seorang pendiri dan kini menjabat direktur eksekutif di lembaga riset dan pember- dayaan masyarakat adat Dayak tersebut. Cikal bakal Institut Daya- kologi berawal dari sebuah kelompok diskusi di Yayasan Pancur Kasih pada 1987. Ke- lompok ini berkembang se- hingga membentuk sebuah lembaga pada 1991. Mereka kerap menggulirkan isu pemberdayaan dan ad- vokasi. Kajian kritis lembaga ini dipublikasikan di media massa sehingga membuat me- reka disegani dan dikenal luas di masyarakat. Sebab, ketika itu tidak banyak lembaga yang berani menyuarakan dan men- dampingi masyarakat adat Dayak. “Konteks penelitian kami bukan dari segi akademis me- lainkan advokasi dan pember- dayaan. Ini salah satu kelebih- an dan yang membedakan ID (Institut Dayakologi) dengan peneliti lain,” jelas John. Seminar Nasional Kebu- dayaan Dayak menjadi salah satu gebrakan di awal Institut Dayakologi berdiri. Seminar selama tiga hari di Pontianak pada 1992 ini, diikuti 350 peser- ta dari komunitas adat dayak di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk dari Sabah dan Se- rawak di Malaysia. “Pemakalah banyak meng- usung tema ketidakadilan dan pemberdayaan, yang ketika itu masih tabu dibicarakan secara terbuka,” ujar John. Seminar tersebut menjadi ajang pertama bagi komunitas adat dayak untuk mengeks- presikan pemikiran mereka da- lam sebuah forum resmi. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga dianggap sebagai forum terbe- sar masyarakat adat Dayak sejak pertemuan di Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah pada 1894. Kiprah Institut Dayakologi semakin diperhitungkan saat mereka menerbitkan Kaliman- tan Review pada tahun yang sama. Majalah bulanan ini menjadi media dan salah satu ujung tombak dalam menyua- rakan aspirasi masyarakat adat di Kalimantan Barat. Kalimantan Review juga merupakan bentuk perlawanan mereka terhadap tirani kekua- saan, yang membelenggu kebe- basan pers ketika itu. Majalah ini sejak berdiri tidak pernah mengurus SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). “Kami sedari awal memang bertekad melawan ketentuan SIUPP, dan siap dibredel,” te- gas John yang juga Pemimpin Umum Kalimantan Review. Aktivitas John dalam meneliti dan mengadvokasi masyarakat adat sering berhadapan dengan berbagai ancaman dan tekanan. Namun, semua resiko itu bisa dilewati dengan mulus. “Tim saya dikepung (diin- timidasi) aparat keamanan, ketika mendokumentasikan sebuah ritual pengobatan tra- disional di Ketapang,” kata John mengenang kejadian pada 2006 lalu itu. Dunia maya Masyarakat adat bukan- lah dunia asing bagi bapak dari lima anak ini. Itu karena John lahir dan tumbuh dalam sebuah komunitas adat dayak di Ketapang. Banyak pengetahuan dan kearifan tradisional yang di- serapnya sejak kecil. Ia juga menyaksikan berbagai proses pembodohan dan penghan- curan kehidupan masyarakat adat akibat eksploitasi alam Pengalaman ini terus mem- bekas dan mewarnai sepak terjang John di kemudian hari. Oleh karena itu, selain mela- wan ketidakadilan, ia juga mencoba menerapkan tradisi kearifan lokal dalam kehidup- an sehari-hari. “Saya tidak selalu menjadi- kan pengobatan medis sebagai satu-satunya alternatif penyem- buhan ketika sakit. Tetapi, men- coba dahulu tradisi pengobatan tradisional,” ungkap pembicara di berbagai seminar nasional dan internasional ini. John bersama lembaga yang dipimpinnya, kini tengah me- rintis sebuah situs internet tentang khazanah kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Ini adalah salah satu upaya menyelamatkan sekaligus me- nyebarluaskan informasi me- ngenai tradisi dan kebudayaan Dayak. Peristiwa kebakaran yang memusnahkan puluhan ribu koleksi penelitian penting menjadi pelajaran berharga baginya. Oleh karena itu, John dan kawan-kawannya terus mencoba mengumpulkan dan menata kembali arsip yang ter- sisa dan dipublikasikan melalui media daring (online). “Peristiwa itu menjadi bahan reeksi dan evaluasi sehingga kami memutuskan memanfaat- kan teknologi informasi karena penyimpanannya lebih aman,” jelas John. Pembuatan dan pengelolaan situs dilakukan bersama tujuh lembaga pengarsipan dan pe- merhati budaya di Indonesia. Mereka bergabung dalam wa- dah Indonesian Contemporary Archives Network. Peluncuran situs ditargetkan paling lambat pada awal tahun depan. Website ini diharapkan bisa memberikan pemahaman se- cara utuh dan menghapus stigma tentang orang Dayak,” pungkas John. (M-1) [email protected] MI/ ARIS MUNANDAR Kebakaran yang menghanguskan puluhan ribu koleksi penelitian berharga sempat membuatnya frustrasi. JOHN BAMBA OBAT TRAUMA SI DAYAKOLOG Nama: John Bamba Lahir: Ketapang, 10 Oktober 1966 Istri: Mariana Pekerjaan: Peneliti dan aktivis masyarakat adat Jabatan: Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Pontianak Pendidikan: S-1 FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak Program Participatory Development, Davao, Filipina Penghargaan: NGO Best Performance Award, Citi Group & Resource Alliance, London (2004) Gelar Adat Cendago dari Masyarakat Adat Pesaguan di Ketapang, Kalbar (2009) BIODATA Bermain di Mahasmara PEMERAN Carmen dalam lm Ada Apa Dengan Cinta? Adinia Wirasti masih mencari naskah yang cocok untuk lm layar lebar berikutnya. Meski begitu, ia bukan berarti meninggalkan seni peran yang melambungkan namanya selama ia menunggu. Bekerja sama dengan sutradara sekaligus aktor Dedy Mizwar, ia berperan sebagai Mahaswara. “Layar lebar belum ada yang cocok, jadi saya ikut proyek 21 sinema wajah Indonesia. Judulnya Ma- hasmara, tayang 23 April nanti. Mereka sepertinya mau membuat sinema wajah Indonesia ini setiap tahun,” ujar perempuan berkulit sawo matang ini saat ditemui seusai mengisi acara di Jakarta. Naskah Mahasmara ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Menceri- takan tokoh perempuan bernama Mahaswara yang hidup seolah membawa kutukan. Setiap lelaki yang berniat meminangnya akan mati tragis. Berulang kali hingga tujuh kali. “Perempuan itu punya bahu laweyan. Itu mitos Solo. Bahu berbentuk busur panah. Nah, perempuan itu punya ke- cenderungan membunuh calon suaminya. Bukan be- nar-benar membunuh tapi calon suaminya mati,” tutur perempuan kela- hiran Jakarta, 24 tahun lalu ini. Yang menarik bagi Asti, biasa ia dipanggil, adalah saat menikmati syuting di Solo. Ia sem- pat menaiki bus ber- tingkat yang kini men- jadi kendaraan wisata di sana. Apalagi, Wali Kota Solo Joko Wido- do sangat kooperatif. “FTV itu menan- tang karena tidak ada reading. Tidak ada diskusi dengan sutradara mau di- apakan peran itu karena tidak ada wak- tunya,” pungkasnya. (Din/M-1) Adinia Wirasti 20 JUMAT, 15 APRIL 2011 S O SOK MI/ SUMARYANTO

BIODATA - ftp.unpad.ac.id filemengurus SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers). “Kami sedari awal memang bertekad melawan ketentuan SIUPP, dan siap dibredel,” te-gas John yang

  • Upload
    buitram

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ARIS MUNANDAR

SUARANYA tiba-tiba tercekat. Pembicaraan pun terhenti beberapa saat. Ia lantas menarik

napas panjang sebelum melan-jutkan perbincangan di suatu sore di awal April.

Kejadian pada empat tahun lalu masih membekas dalam ingatan pria berperawakan sedang ini. Sebuah peristiwa yang membumihanguskan hasil kerja keras lembaganya selama belasan tahun.

“Kami sangat terpukul dan sempat frustrasi. Kerja keras selama belasan tahun seakan menjadi sia-sia,” kata John Bamba.

John mengenang peristiwa kebakaran pada 8 Agustus 2007 itu dengan mata berkaca-kaca. Musibah yang menimpa kan-tornya, Institut Dayakologi Pon-tianak, tersebut menimbulkan luka dan trauma mendalam.

Puluhan ribu lembar naskah dan dokumentasi sastra lisan hasil riset selama delapan ta-hun berubah menjadi abu. Begitu pula nasib ribuan ar-sip penelitian etnologi dan keanekaragaman hayati.

Arsip-arsip tersebut meru-pakan dokumen berharga dan di antaranya bahkan tidak mungkin lagi bisa ditemukan penggantinya. Sebab, beberapa penutur yang menjadi nara-sumber penelitian sastra lisan telah sepuh dan meninggal dunia.

Kondisi serupa juga dialami hasil penelitian mengenai iden-tifikasi dan pengembangan plasma nuftah. Laju kerusakan ekosistem akibat eksploitasi mengakibatkan keanekaragam-an hayati ini sulit ditemukan lagi di habitat alamnya.

Melawan rezimJohn termasuk tokoh sen-

tral di Institut Dayakologi. Ia

salah seorang pendiri dan kini menjabat direktur eksekutif di lembaga riset dan pember-dayaan masyarakat adat Dayak tersebut.

Cikal bakal Institut Daya-kologi berawal dari sebuah kelompok diskusi di Yayasan Pancur Kasih pada 1987. Ke-lompok ini berkembang se-hingga membentuk sebuah lembaga pada 1991.

Mereka kerap menggulirkan isu pemberdayaan dan ad-vokasi. Kajian kritis lembaga ini dipublikasikan di media massa sehingga membuat me-reka disegani dan dikenal luas di masyarakat. Sebab, ketika itu tidak banyak lembaga yang berani menyuarakan dan men-dampingi masyarakat adat Dayak.

“Konteks penelitian kami bukan dari segi akademis me-lainkan advokasi dan pember-dayaan. Ini salah satu kelebih-an dan yang membedakan ID (Institut Dayakologi) dengan peneliti lain,” jelas John.

Seminar Nasional Kebu-dayaan Dayak menjadi salah

satu gebrakan di awal Institut Dayakologi berdiri. Seminar selama tiga hari di Pontianak pada 1992 ini, diikuti 350 peser-ta dari komunitas adat dayak di seluruh Pulau Kalimantan. Termasuk dari Sabah dan Se-rawak di Malaysia.

“Pemakalah banyak meng-usung tema ketidakadilan dan pemberdayaan, yang ketika itu masih tabu dibicarakan secara terbuka,” ujar John.

Seminar tersebut menjadi ajang pertama bagi komunitas adat dayak untuk mengeks-

presikan pemikiran mereka da-lam sebuah forum resmi. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga dianggap sebagai forum terbe-sar masyarakat adat Dayak sejak pertemuan di Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah pada 1894.

Kiprah Institut Dayakologi semakin diperhitungkan saat mereka menerbitkan Kaliman-tan Review pada tahun yang sama. Majalah bulanan ini menjadi media dan salah satu ujung tombak dalam menyua-rakan aspirasi masyarakat adat

di Kalimantan Barat.Kalimantan Review juga

merupakan bentuk perlawanan mereka terhadap tirani kekua-saan, yang membelenggu kebe-basan pers ketika itu. Majalah ini sejak berdiri tidak pernah mengurus SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers).

“Kami sedari awal memang bertekad melawan ketentuan SIUPP, dan siap dibredel,” te-gas John yang juga Pemimpin Umum Kalimantan Review.

Aktivitas John dalam meneliti dan mengadvokasi masyarakat

adat sering berhadapan dengan berbagai ancaman dan tekanan. Namun, semua resiko itu bisa dilewati dengan mulus.

“Tim saya dikepung (diin-timidasi) aparat keamanan, ketika mendokumentasikan sebuah ritual pengobatan tra-disional di Ketapang,” kata John mengenang kejadian pada 2006 lalu itu.

Dunia mayaMasyarakat adat bukan-

lah dunia asing bagi bapak dari lima anak ini. Itu karena

John lahir dan tumbuh dalam sebuah komunitas adat dayak di Ketapang.

Banyak pengetahuan dan kearifan tradisional yang di-serapnya sejak kecil. Ia juga menyaksikan berbagai proses pembodohan dan penghan-curan kehidupan masyarakat adat akibat eksploitasi alam

Pengalaman ini terus mem-bekas dan mewarnai sepak terjang John di kemudian hari. Oleh karena itu, selain mela-wan ketidakadilan, ia juga mencoba menerapkan tradisi kearifan lokal dalam kehidup-an sehari-hari.

“Saya tidak selalu menjadi-kan pengobatan medis sebagai satu-satunya alternatif penyem-buhan ketika sakit. Tetapi, men-coba dahulu tradisi pengobatan tradisional,” ungkap pembicara di berbagai seminar nasional dan internasional ini.

John bersama lembaga yang dipimpinnya, kini tengah me-rintis sebuah situs internet tentang khazanah kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat. Ini adalah salah satu upaya menyelamatkan sekaligus me-nyebarluaskan informasi me-ngenai tradisi dan kebudayaan Dayak.

Peristiwa kebakaran yang memusnahkan puluhan ribu koleksi penelitian penting menjadi pelajaran berharga baginya. Oleh karena itu, John dan kawan-kawannya terus mencoba mengumpulkan dan menata kembali arsip yang ter-sisa dan dipublikasikan melalui media daring (online).

“Peristiwa itu menjadi bahan refl eksi dan evaluasi sehingga kami memutuskan memanfaat-kan teknologi informasi karena penyimpanannya lebih aman,” jelas John.

Pembuatan dan pengelolaan situs dilakukan bersama tujuh lembaga pengarsipan dan pe-merhati budaya di Indonesia. Mereka bergabung dalam wa-dah Indonesian Contemporary Archives Network. Peluncuran situs ditargetkan paling lambat pada awal tahun depan.

“Website ini diharapkan bisa memberikan pemahaman se-cara utuh dan menghapus stigma tentang orang Dayak,” pungkas John. (M-1)

[email protected]

MI/ ARIS MUNANDAR

Kebakaran yang menghanguskan puluhan ribu koleksi penelitian berharga sempat membuatnya frustrasi.

J O H N B A M B A

OBAT TRAUMA SI DAYAKOLOGNama:John Bamba

Lahir: Ketapang, 10 Oktober 1966

Istri: Mariana

Pekerjaan: Peneliti dan aktivis masyarakat adat

Jabatan: Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Pontianak

Pendidikan:S-1 FKIP, Universitas Tanjungpura, PontianakProgram Participatory Development, Davao, Filipina

Penghargaan:NGO Best Performance Award, Citi Group & Resource Alliance, London (2004)Gelar Adat Cendago dari Masyarakat Adat Pesaguan di Ketapang, Kalbar (2009)

BIODATA

Bermain di MahasmaraPEMERAN Carmen dalam fi lm Ada Apa Dengan Cinta? Adinia Wirasti masih mencari naskah yang cocok untuk fi lm layar lebar berikutnya. Meski begitu, ia bukan berarti meninggalkan seni peran yang melambungkan namanya selama ia menunggu.

Bekerja sama dengan sutradara sekaligus aktor Dedy Mizwar, ia berperan sebagai Mahaswara. “Layar lebar belum ada yang cocok, jadi saya ikut proyek 21 sinema wajah Indonesia. Judulnya Ma-hasmara, tayang 23 April nanti. Mereka sepertinya mau membuat sinema wajah Indonesia ini setiap tahun,” ujar perempuan berkulit sawo matang ini saat ditemui seusai mengisi acara di Jakarta.

Naskah Mahasmara ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Menceri-takan tokoh perempuan bernama Mahaswara yang hidup seolah membawa kutukan. Setiap lelaki yang berniat meminangnya akan mati tragis. Berulang kali hingga tujuh kali.

“Perempuan itu punya bahu laweyan. Itu mitos Solo. Bahu berbentuk busur panah. Nah, perempuan itu punya ke-cenderungan membunuh calon suaminya. Bukan be-nar-benar membunuh tapi calon suaminya mati,” tutur perempuan kela-hiran Jakarta, 24 tahun lalu ini.

Yang menarik bagi Asti, biasa ia dipanggil, adalah saat menikmati syuting di Solo. Ia sem-pat menaiki bus ber-tingkat yang kini men-jadi kendaraan wisata di sana. Apalagi, Wali Kota Solo Joko Wido-do sangat koope ratif. “FTV itu menan-tang karena tidak ada reading. Tidak ada diskusi dengan sutradara mau di-apakan peran itu kare na tidak ada wak-tunya,” pungkasnya.(Din/M-1)

Adinia Wirasti

20 JUMAT, 15 APRIL 2011SOSOK

MI/ SUMARYANTO