Upload
sudarmiyati-ae
View
54
Download
1
Embed Size (px)
Biografi Amien Rais
Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat
dalam menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu’allimin
Muhammadiyah dan semasa hidupnya bekerja
Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah
Guru Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta.
Karena prestasinya di dunia pendidikan, pada tahun 1985, Sudalmiyah mendapat
gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Ia juga aktif di partai politik Masyumi ketika
masa jayanya pada tahun 1950-an. Kakek Amien Rais, Wiryo Soedarmo, adalah
salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa Tengah. Jadi, Amien
Rais dilahirkan dari keluarga yang sangat kental warna Muhammadiyahnya.
Amien merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kakaknya adalah Fatimah,
dan empat adiknya adalah Abdul Rozak, Achmad Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti
Asyiah. Mereka tumbuh dan dibesarkan di kampung Kepatihan Kulon. Sejak kecil
mereka sudah dilatih disiplin oleh sang ibu. Bila Amien kecil melanggar, sang ibu
tidak segan-segan menghukumnya. Mereka harus bangun pukul 04.00 WIB setiap
pagi. Caranya dengan meletakkan jam weker di dekat tempat tidur. Dan ketika
bangun, mereka diminta untuk mengucapkan “ashalatu khairum minan naum”
dengan suara keras sehingga terdengar sang ibu. Sang ibu biasanya memberikan
imbalan berupa uang 50 sen. Uang tersebut lalu mereka tabung, untuk dibelikan
baju baru menjelang lebaran.
Walaupun tegas, tetapi sang ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya. Anak-
anaknya dibiarkan tumbuh secara alami, sesuai dengan minat dan bakatnya
masing-masing. Hanya saja, pesan sang ibu yang tak pernah putus adalah
mengingatkan mereka bahwa hakikat hidup adalah ibadah. Yang terus diingat
Amien, ketika ibunya berkata, “Ingat Mien, berkemah pun ibadah.”
Dalam berbagai kesempatan, Amien Rais secara terus terang mengakui bahwa
ibunyalah yang sangat mempengaruhi karakternya yang lugas tanpa basa-basi.
Sampai kini Amien masih menempatkan ibunya sebagai konsultannya dan tempat
pelipur lara. Mana kala ia mengÂhadapi situasi atau persoalan pelik, ia selalu
pulang ke Solo menemui sang ibu untuk meminta pendapatnya, atau sekadar untuk
menghindari kejaran wartawan yang pantang ia tolak. Setiap Idul Fitri ia beserta
semua saudaranya juga berkumpul di rumah sang ibu. Menurut Amien, hingga usia
80-an, ketegasan dan kejernihan berpikir Ibunya masih tetap seperti dulu. Ibunda
Amien Rais wafat hari Jumat, 14 September 2001 di Solo, Jawa Tengah, dalam
usia 89 tahun.
Sewaktu masih duduk di bangku SD, Amien kecil bercita-cita ingin menjadi
walikota. Cita-cita ini sangat dipengaruhi oleh kekagumannya pada Muhammad
Saleh yang menjabat Walikota Solo waktu itu. Muhammad Saleh adalah seorang
muslim yang taat. Ia sering memberikan pengajian di Balai Muhammadiyah Solo.
Walikota asal Madura ini sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya. Namun
setelah SMA, cita-cita Amien berubah. Ia ingin jadi duta besar. Mungkin cita-cita
ini yang ikut mempengaruhinya untuk memilih jurusan hubungan internasional
ketika memasuki perguruan tinggi. Prinsip hidup yang jadi pegangannya diakuinya
sangat sederhana, yaitu mencari ridha dan ampunan Allah. Untuk mencapainya,
orang harus berbicara dan berbuat apa adanya. “You are what you are,” katanya
suatu ketika. Ia membagi kebahagiaan menjadi tiga jenis, yaitu kebahagiaan
spiritual, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan psikologis. Kebahagiaan
spiritual diperoleh dengan cara menjalani hidup sesuai dengan rel agama.
Kebahagiaan intelektual diperoleh dengan cara memberikan konstribusi pemikiran
kepada masyarakat. Sedangkan kebahagiaan psikologis didapatnya bila ia bisa
berbuat atau menolong orang lain.
Amien Rais menikah pada 9 Februari 1969, dengan seorang gadis yang sudah
dikenalnya sejak mereka masih sama-sama kanak-kanak, Kusnasriyati Sri Rahayu.
Selama sepuluh tahun pertama pernikahannya ia belum dikaruniai anak, meskipun
ia sudah berkonsultasi dengan banyak dokter spesialis kandungan di Solo, Yogya,
bahkan ketika berada di Chicago. Sampai suatu saat mereka berdua mendapat
kesempatan naik haji ke Makkah. Di depan Ka’bah mereka berdua memanjatkan
doa, memohon kepada Allah agar memenuhi keinginan mereka akan keturunan.
Waktu itu mereka sedang melakukan penelitian di Mesir. Setelah kembali ke
Kairo, dua bulan lebih sang istri tidak dikunjungi tamu rutin bulanan. Bahkan ada
yang aneh: perutnya terasa gatal-gatal. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke
dokter kandungan. Dan hasilnya positif, sang istri dinyatakan hamil. Bagi mereka
berdua, kejadian itu merupakan mukjizat dan karunia Allah semata. Setelah anak
yang pertama lahir, selanjutnya setiap dua tahun sang istri hamil lagi. Kini mereka
sudah dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri. Nama-nama mereka
diambil dari Al Qur’an dan dikaitkan dengan kenangan dan peristiwa yang
menyertai kelahirannya. Yang pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian
Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan yang terakhir Ahmad
Baihaqy.
Kusnasriyati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Untuk mengisi kesibukannya,
ia mendirikan Taman Kanak-Kanak [TK] di sebelah rumahnya. Karena
ketekunannya, TK ini kemudian menjadi besar dan terkenal. Ia juga membuka
kedai sederhana yang diminati banyak mahasiswa. Dilihat dari penampilannya
yang sederhana, termasuk gaya bicara yang sederhana, ia tidak beda dengan ibu
rumah tangga lainnya. Tetapi, di mata Amien Rais, ia adalah wanita luar biasa.
Keberanian dan ketegaran yang dimiliki Amien Rais ternyata tidak lepas dari peran
sang istri. Suatu saat, ketika diinterviu seorang wartawan Jepang, saya melihat
dengan nada bangga Amien Rais mengatakan, “Istri saya mungkin merupakan
wanita terbaik se-Asia Tenggara.” Komentar tersebut mungkin terasa berlebihan
bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Amien Rais. Ia pernah menceritakan
kepada saya bahwa ketika studi di Chicago, karena beratnya beban kuliah yang
dihadapi, hampir saja ia putus asa. Untung ada sang istri yang terus-menerus
memompa semangatnya.
Begitu juga ketika ia merasa lelah saat melawan Orde Baru, istrinya tidak pernah
lelah untuk membangunkan kembali spiritnya. Sampai-sampai ia pernah
mengomentari istrinya sebagai sumber inspirasi dan motivasinya. Bahkan
menjelang tumbangnya Soeharto, sempat tersebar isu bahwa Amien Rais akan
ditangkap. Ia kemudian memberi tahu sang istri tentang berita buruk yang akan
menimpanya. Dengan nada tegar sang istri menjawab, “Insya Allah ini akan
mempercepat kejatuhan Rezim Soeharto.”
Bila Allah mengaruniainya umur panjang, di masa tuanya nanti Amien hanya ingin
melihat anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikannya masing-masing.
Sementara ia sendiri ingin mengisi masa tuanya dengan menulis dan memberikan
pengajian. Amien merujuk pada almarhum A.R. Fachruddin dan ibunya sendiri
yang sampai akhir hayatnya masih memimpin Sekolah Keperawatan
Muhammadiyah di Solo. Aktifitas Saat Belia Sejak belia Amien Rais sudah terlibat
dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada organisasi diawali dari keterlibatannya
di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin
sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang yang diberi nama regu Rajawali. Regu
yang dipimpinnya selalu memenangkan berbagai perlombaan, seperti lomba tali-
temali, morse, membuat jembatan, sampai pada lomba masak-memasak.
Di sinilah Amien kecil mulai menyadari kekuatan kebersamaan dan makna
kepemimpinan. Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah [IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan
Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk menduduki jabatan sekretaris
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI] HMI Yogyakarta.
Di samping kegandrungannya berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif
menulis artikel sejak belia. Dawam Rahardjo menuturkan: “Ketika mahasiswa,
Amien Rais telah menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Oleh tabloid
mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung bersama-sama dengan
Harian Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru,
Amien pernah dianugerahi Zainal Zakse Award.”
Riwayat Pendidikan Amien Rais, mulai dari TK sampai SMA, semuanya dijalani
di sekolah Muhammadiyah, di kota kelahirannya, Solo. Menurut Amien, karena
kecintaan sang ibu pada sekolah Muhammadiyah, maka seandainya ketika itu
sudah ada perguruan tinggi Muhammadiyah, pasti ibunya akan memintanya untuk
kuliah di situ. Sekolah Dasar diselesaikan tahun 1956, kemudian SMP pada tahun
1959 dan SMA pada tahun 1962. Di samping sekolah umum, ia juga mengikuti
pendidikan agama di Pesantren Mamba’ul Ulum. Ia juga pernah nyantri di
Pesantren Al Islam.
Setelah tamat SMA, ibunya menginginkan Amien melanjutkan studinya ke Al-
Azhar, Mesir. Sementara ayahnya lebih memilih Universitas Gajah Mada [UGM].
Amien tampaknya lebih cocok dengan pilihan sang ayah. Ia kemudian diterima di
dua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan Fisipol UGM. Ia lalu berkonsultasi
dengan sang ayah, mana fakultas yang lebih baik untuk dipilih. Sang ayah
menyerahkan kembali pada Amien untuk memilihnya. Akhirnya ia memilih
Fisipol. Mungkin untuk tidak mengecewakan harapan sang ibu, Amien juga
kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri [IAIN] Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya
sampai munculnya larangan kuliah ganda oleh pemerintah.
Tahun 1968 Amien menyelesaikan studinya di UGM dengan tugas akhir berjudul
Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat. Ia lulus dengan nilai
A. Kemudian ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Notre
Dame, Indiana, Amerika Serikat yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA.
Tesisnya adalah mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat
dekat dengan Moskow. Itu sebabnya Amien juga harus mendalami masalah
komunisme, Uni Soviet, dan Eropa Timur. Minatnya yang sangat besar dalam
masalah Timur Tengah teta Setelah pulang ke tanah air sebentar, ia kembali lagi ke
Amerika untuk mengikuti program doktor di University of Chicago, AS dengan
mengambil bidang studi Timur Tengah. Ia berhasil meraih gelar doktor pada tahun
1981, dengan disertasi berjudul The Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise,
Demise and Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan,
dan Kebangkitannya Kembali]. Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan
di Mesir dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya
dimanfaatkan juga untuk menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa
Universitas Al Azhar, Kairo.
Di UGM ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan
Diplomasi di Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori
Sosialisme. Yang paling menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik
Internasional. Di Fakultas Pascasarjana UGM ia dipercaya memegang mata kuliah
Teori Revolusi dan Teori Politik.
‘Mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK]‘ Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan [PPSK] adalah lembaga pengkajian dan penelitian di bawah
yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah
keprihatinan masih terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-
masalah strategis dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.
Lembaga pengkajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran yang
meliputi: Pertama, identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai
kecenderungan global di bidang sosial-budaya, agama, ekonomi, politik, dan iptek,
serta dampaknya pada bangsa Indonesia. Ketiga, usulan pemecahan terhadap
berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah strategis dan kebijakan yang realistis
dan matang. Berbagai produk pemikirannya dipublikasikan lewat majalah
Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.
Menurut Dawam Rahardjo, PPSK memiliki peran besar dalam membidani lahirnya
ICMI. Di kantor inilah pertama kali konsep ICMI digodok, kemudian dibawa ke
Wisma Muhammadiyah di Tawangmangu, Solo, untuk disempurnakan. Setelah itu
baru dibawa ke Malang.
Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto
Djojomartono, Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo,
Umar Anggara Jenie, Ichlasul Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i
Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya untuk memimpinnya. Masyarakat ilmiah
mengenal dan sangat memperhitungkan lembaga ini, selain karena produk-produk
pemikirannya, juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi tokoh-
tokohnya.Namun masyarakat luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua
peristiwa. Pertama, meninggalnya Dr. Soedjatmoko, seorang yang dikenal luas
memiliki reputasi internasional. Beliau pernah menjadi Dubes RI untuk Amerika
Serikat, juga pernah menjadi Rektor Pertama Universitas PBB di Tokio.
Almarhum meninggal saat berceramah di hadapan teman-temannya di kantor
PPSK, sehingga hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa
kematiannya. Kedua, pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan
kelompok PPSK yang diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari
1998.
Pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi
polemik panjang yang mewarnai media massa waktu itu, karena oleh rezim
Soeharto dituduh sebagai upaya “makar” terhadap pemerintah Orde Baru.
Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan bersifat akademis dengan
tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi ekonomi, dan reformasi
hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu sempat dimintai
keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi tersangka.
http://misskey.wordpress.com/2008/03/22/biografi-amien-rais/
Biografi Amien Rais
Amien Rais dilahirkan di Surakarta, tanggal 26 April 1944, anak kedua dari enam
orang bersaudara, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Kakek Amien
Rais, Wiryo Soedarmo adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong,
Jawa Tengah.
Ayahnya, Suhud Rais adalah lulusan Mu’allimin Muhammadiyah, semasa
hidupnya bekerja sebagai Kepala Pendidikan Agama pada kantor Departemen
Agama Wilayah Surakarta dan juga sebagai guru agama serta aktivis dakwah
Muhammadiyah merangkap sebagai Ketua Majelis Pendidikan Pengajaran
Muhammadiyah. Sedangkan ibunya, Sudalmiyah selama 20 tahun menjadi Ketua
Aisyiyah di Surakarta dan mengajar di SGKP (Sekolah Guru Kepandaian Putri)
dan juga sebagai Kepala SGKT (Sekolah Guru Taman Kanak-kanak)
Muhammadiyah.
Amien Rais tumbuh dari komunitas keagamaan yang semi urban (the semi
urbanized religious groups), Kampung Kepatihan Kulon, Solo, Jawa Tengah.
Secara sosio-budaya, komunitas demikian sangat mementingkan rasionalitas,
hubungan-hubungan impersonal, berorientasi pada prestasi meriktokrasi. Tetapi di
sisi lain, unsur-unsur gemeinscaft-nya seperti nilai egalitarian, solidaritas
kelompok, kolektivitas dan perkauman masih relatif kuat. Dengan kata lain, solo
adalah sebuah sosok masyarakat transisional dari bentuk gemeinscaft ke bentuk
gesselscaft.
Lingkungan pendidikan dan pengalamannya di organisasi juga merupakan faktor
yang membentuk kepribadiannya. Jenjang pendidikan dilaluinya sejak Taman
Kanak-kanak hingga sekolah lanjutan tingkat atas, semuanya di perguruan
Muahammadiyah. Hal ini disebabkan obsesi ibunya untuk menjadikan Amien
sebagai seorang kiyai, ustadz atau ulama yang terkemuka. Karenanya, ia pun aktif
pada organisasi-organisasi kepemudaan Muhammadiyah, termasuk kepanduan
“Hizbul Wathon “. Kecintaannya pada organisasi diawali dari keterlibatannya di
pandu Hizbul Wathon tersebut. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk
memimpin satu regu, regu yang dipimpinnya selalu memenangkan berbagai
perlombaan. Disinilah Amien kecil mulai menyadari kekuataan kebersamaan dan
makna kepemimpinan.
Hasrat belajarnya sangat tinggi dan hal ini terlihat ketika ia tengah menempuh
Jenjang SMP, sekolah rangkap dilakukannya; disamping sekolah umum, Amien
Rais juga mengikuti pendidikan di Pesantren Mamba’ul Ulum (sekarang menjadi
Madrasah Aliyah Negeri/ MAN) dan juga nyantri di Pesantren Al-Islam, Solo. Saat
di bangku SMP, Amien sudah terbiasa menulis artikel di beberapa majalah dan
koran Solo.Hingga konon saat dibangku SMA tulisannya mendapat tanggapan
serius dari petinggi militer Jawa Barat.
Setelah tamat SMA, Ibunya menginginkan Amien melanjutkan studinya ke
Akademi Tabligh Muhammadiyah di Yogyakarta (kemudian menjadi IKIP
Muhammadiyah, sekarang Universitas K.H. Ahmad Dahlan) dan melanjutkan ke
Al-Azhar, Mesir. Sementara ayahnya lebih memilih Universitas Gajah Mada
(UGM). Akhirnya Amien memilih UGM, ia kemudian diterima di dua fakultas
yaitu Fakultas Ekonomi dan Fakultas Fisipol, namun ia memilih Fisipol karena ia
mempunyai hasrat menjadi seorang diplomat. Untuk tidak mengecewakan ibunya,
Amien mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya sampai
munculnya larangan kuliah ganda oleh pemerintah. Selama menjadi mahasiswa, ia
aktif pada organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan berhasil mendirikan
oraganisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di samping
kegandrungannya berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif menulis
artikel.
Pada tahun 1968 Amien menyelesaikan studinya di UGM, ia lulus dengan nilai A,
dengan judul skripsi; “Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro
Barat”?. Pada tahun yang sama, Amien memperoleh beasiswa untuk program
Master di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat yang diselesaikan
pada tahun 1974 dengan tesis mengenai Politik Luar Negeri Mesir di bawah
Anwar Sadat yang dekat dengan Moskow dan akhirnya menyandang gelar MA., ia
memperoleh sertifikat studi tentang Soviet dan Eropa Timur. Setelah pulang ke
tanah air sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program doktor di
University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur Tengah. Ia
berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1981, dengan disertasi berjudul “The
Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise, and Resurgence (Ikhwanul
Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali).
Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di Mesir dalam waktu sekitar
satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya dimanfaatkan juga untuk menjadi
mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al-Azhar, Kairo. Dengan
demikian ia pun dapat mewujudkan harapan ibunya untuk kuliah di Universitas Al-
Ashar, Mesir. Dan meski ia sudah menyandang gelar doktor masih saja mengambil
studi di Post Doctoral George Washington University dan UCLA Amerika
Serikat, (1988-1989).
Dalam beberapa hal, kevokalan pemikiran Amien Rais sangat dipengaruhi oleh
perkenalan dan pengamatannya terhadap gerakan-gerakan Islam radikal di Timur
Tengah, khususnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang menjadi obyek
penelitian disertasinya. Tulisan-tulisannya yang muncul pada tahun 1980-an atau
setelah ia kembali dari Amerika, menunjukkan adanya korelasi positif antara
pemikirannya dan pemikiran-pemikiran yang berkembang dikalangan kelompok
Islam radikal di Timur Tengah.
Sepulang dari Studi formalnya di Negara Paman Sam, Amien mengabdikan diri
pada almamaternya; FISIP UGM, Yogyakarta. Di samping itu, ia juga tercatat
sebagai staf pengajar di Pasca sarjana UGM, dan Direktur Pusat Pengkajian dan
Studi Kebijakan (PPSK). Dedikasinya yang tinggi pada bidang keilmuan, membuat
Amien yang pernah menjabat wakil Rektor Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta ini, diangkat sebagai ilmuan senior BPPT (Badan Pengkajian dan
Pengemabangan Teknologi) serta anggota Dewan Riset Nasional pada Kelompok
V dan Ketua I Litbang Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Pada akhir tahun
1990 bersama 49 kawannya menandatangani deklarasi berdirinya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan diberi kepecayaan sebagai Asisten I
Ketua Umum ICMI (periode 1990-1995), hingga periode selanjutnya ia
dipercayakan memegang amanah menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI, sebelum
akhirnya ia mengundurkan diri karena kritikannya yang tajam atas proyek
eksplorasi tambang emas Busang di Kalimantan Timur. Konsekuensi pengunduran
dirinya juga terjadi, lantaran ia mendesak pemerintah untuk meninjau kembali
kesepakatan antara pemerintah dengan PT. Freeport Indonesia dalam proyek
penambangan Freeport di Tembagapura, Irian Jaya.
Sebelumnya dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum PP. Muhammadiyah
dikukuhkan pada juli 1994 menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah sehubungan
dengan meninggalnya K.H. Azhar Basyir, M.A. (Ketua Umum PP.
Muhammadiyah pada waktu itu). Kedudukannya sebagai Ketua Umum PP.
Muhammadiyah hingga tahun 2000 terpaksa dilepaskannya dan digantikan oleh
Syafi’ie Ma’arif karena tuntutan reformasi dan penumbangan rezim Soeharto yang
menuntut keterlibatannya secara total. Selain itu pelepasan jabatannya sebagai
Ketua Umum PP. Muhammadiyah karena desakan teman-temannya agar ia segera
memimpin partai politik untuk memperteguh penegakan reformasi.
Sosok Amien Rais dalam kancah perpolitikan Nasional dikenal sebagai tokoh yang
dianggap paling konsisten dalam menegakkan keadilan dan demokrasi yang
dikemas dalam profetis amar ma’ruf nahi mungkar. Perjuangan Amien Rais untuk
terjadinya reformasi atau perubahan tersebut semata-mata adalah tugas intelektual,
tugas seorang agamawan atau juga tugas seorang muslim pada umumnya. Dengan
demikian, Amien Rais dengan tanpa beban dan tidak gentar sedikit pun terhadap
berbagai resiko yang mungkin timbul akibat berbagai ungkapannya yang lugas dan
apa adanya.
Sosok Amien Rais sebenarnya sudah mulai dikenal sebelum zaman reformasi, ia
dikenal lewat tulisan dan ulasannya yang kritis di media massa saat ia masih
berada di bangku kuliah. Sikap kritis tersebut mengantarkannya memperoleh
“Zainal Zakes Award 1967” yakni sebuah hadiah jurnalistik bagi mahasiswa yang
kritis.
Meski pernyataannya terdengar galak namun Amien Rais sesungguhnya adalah
orang yang bersahaja dan anti kekerasan. Semboyan “reformasi damai” merupakan
bagian dari penjabaran konsep high politic-nya. Sikap anti kekerasannya terbukti
pada keputusan yang diambilnya untuk membatalkan rencananya; (people power)
pengerahan sejuta massa di Monas pada tanggal 21 Mei 1998, dalam rangka
menuntut pengunduran diri Soeharto. Amien Rais beralasan bahwa keputusannya
itu semata-mata untuk menghindari jatuhnya korban karena disinyalir akan ada
pihak yang mengganggu rencana itu.
Kepedulian Amien Rais terhadap Bangsa dan Negara dapat dilhat pada beberapa
hasil penelitiannya yang diaplikasikan melalui karya tulis yang banyak beredar
dalam khazanah perbukuan baik posisinya sebagai penulis, editor maupun
memberi kata pengantar sejumlah buku. Minat dan kemampuannya dalam tulis-
menulis mengarahkan dirinya menjadi pemimpin umum pada beberapa majalah.
Dan karena ketekunan dan gencarnya menyeruakan kebenaran, kritis dan vokal
terhadap krisis sosial, ekonomi dan politik, oleh majalah UMMAT, Amien Rais
dinobatkan sebagai ‘TOKOH 1997 ’ dan kemudian mendapatkan penghargaan
berupa ‘UII Awards’ dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, atas
komitmennya menempuh perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan pada
tanggal 31 Mei 1998 dianugerahi Reformasi Awards dari kampus IPB, serta
dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Politik UGM pada 10 April 1999.
Keberanian dan ketegaran yang dimiliki Amien Rais ternyata tidak terlepas pula
dari peran sang istri, yang merupakan sumber ispirasi dan motivasinya, di mata
Amien Rais ia adalah wanita yang luar biasa. Kusnasriyanti (istri Amien Rais)
adalah seorang ibu rumah tangga biasa, untuk mengisi kesibukannya ia aktif
mengasuh Taman Kanak-kanak ‘Budi Mulia’ yang berada di sebelah rumahnya,
bersama pengurus Aisyiyah, ia juga membuka kedai sederhana “Warung Sala-
Moslem Chinese Food” di dekat rumahnya di Gandok (Condongcatur, Depok,
Yogyakarta) yang diminati banyak mahasiswa.
Dari hasil pernikahan Amien Rais dan Kusnasriyanti yang menikah pada tanggal 9
Februari 1969, dikaruniai lima orang anak; tiga putra dan dua putri. Nama-nama
mereka diambil dari al-Qur’an dan dikaitkan dengan kenangan dan peristiwa yang
menyertai kelahirannya. Anak yang pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian
Hanum Salsabiela, Ahmad Mumtaz, Taznim Fauzia dan yang terakhir Ahmad
Baihaqy.
Demikianlah sosok Amien Rais sebagai seorang tokoh reformis yang komitmen,
lugas dan apa adanya yang menjadikan dirinya sebagai seorang tokoh yang
dikagumi dan merupakan public figure. Dari uraian di atas, dapatlah dipahami
bahwa karakter seorang Amien Rais terbentuk dari didikan orang tua, keluarga,
pendidikan, dan organisasi. Menurut Almond dan Verba, karakter seorang tokoh
politik ditentukan oleh berbagai agen sosialisasi politik (agent of political
socialization) yang membentuk antara lain keluarga, sekolah, organisasi, kontak-
kontak politik langsung atau tidak serta aspek-aspek lainnya. Sosialisasi politik
adalah proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sistem, nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suatu generasi
dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui beberapa media seperti
keluarga, latar belakang budaya, organisasi, pendidikan dan sebagainya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sidarta Gautama dan Aries Budiono, Moralitas Politik dan Pemerintahan Yang
Bersih Menurut Empat Tokoh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999. Ahmad
Bahar, Amien Rais: Gagasan dan Pemikiran Menggapai Masa Depan Indonesia
Baru, Yogyakarta: Pena Cendikia, 1998. Dedy Djamaluddin Malikdan Idi Subandy
Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman
Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1998. Lab. Ilmu Politik FISIP-UI, Menggempur Sistem
Politik Orde Baru, Bandung: Mizan, 1998. Amien Rais, Membangun Politik
Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Arief Afandi (Ed.), Islam Demokrasi Atas-
Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gusdur dan Amien Rais, dalam
Fachry Ali, High Politics dan Demokratisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Suara Hidayatullah, Edisi 07/X/Rajab 1418 H. Affan Gaffar, Budaya Politik:
Makna dan Perwujudan dalam Pemikiran dan Budaya Politik, Jakarta: Badan
Pelatihan DEPDAGRI, 1997.
http://www.referensimakalah.com/2011/08/mundur-dari-icmi-karena-
mengkritik_9799.html