Click here to load reader
Upload
brilili
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Fermentasi adalah proses pemberian makanan pada mikroba dengan komposisi nutrien yang cukup
dan cocok sehingga mikroba dapat menghasilkan produk metabolisme sesuai dengan yang diinginkan.
Terdapat dua proses fermentasi untuk memproduksi bioinsektisida, yaitu fermentasi semi padat (semi solid
fermentation/SSF) dan fermentasi terendam (submergerd fermentation/SmF). Kultivasi semi padat (SSF)
adalah fermentasi yang menggunakan substrat pasta. Sedangkan fermentasi terendam (SmF) adalah
menumbuhkan bakteri dalam media cair dengan dispersi yang merata. Umumnya bioinsektisida
diproduksi dengan menggunakan fermentasi terendam karena dapat menjaga kesterilan kultur serta proses
pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi lebih sederhana. Selain itu menurut
Sjamsuritra et al. (1984), produk hasil fermentasi cair dapat langsung diaplikasikan dibandingkan dengan
produk hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena cenderung menggumpal. Namun pada
praktikum ini, digunakan fermentasi padat yaitu fermentasi yang dilakukan pada substrat yang tidak larut
dan tidak mengandung air bebas, namun mengandung air yang cukup untuk kebutuhan mikrroba. Tipe
fermentasi ini cukup baru digunakan.
Tipe fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi anaerobik fakultatif dimana bakteri dapat
menghasilkan ATP/energi pada kondisi aerobik namun dapat tetap melakukan proses fermentasi. Bacillus
thuringiensis merupakan salah satu bakteri aerobik namun pada umumnya bersifat anaerob fakultatif.
Pengaturan kondisi fermentasi diperlukan agar pertumbuhan mikroba optimal, seperti pengaturan pH,
suhu, dan dan oksigen. Terdapat dua kondisi fermentasi Bacillus thuringiensis, yaitu dalam labu kocok
(media cair) dan dalam fermentor. Kondisi fermentasi dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28°-32°C
dengan pH awal medium 6,8-7,2, agitasi 142-340 rpm, dan umumnya dipanen pada waktu inkubasi 24-48
jam (Vandekar dan Dulmage 1982). Sedangkan kondisi fermentasi dalam fermentor dilakukan pada suhu
28°-32°C, pH awal medium 6,8-7,2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari total
kapasitas volume fermentor, agitasi400-700 rpm, aerasi 0,5-0,15 vvm, dan dipanen pada waktu inkubasi
40-72 jam (Sikdar dan Majumdar 1993).
Perbedaan kondisi dari kedua proses fermentasi tersebut adalah pada proses aerasi. Pada fernentasi
padat, aerasi diberikan ke dalam fermentor. Sedangkan pada fermentasi labu kocok, aerasi dapat diperoleh
dengan dilakukannya agitasi secara terus menerus. Menurut Benhard dan Utz (1993), produksi
bioinsektisida dengan Bacillus thuringiensis umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup
karena hasil yang diinginkan adalah spora dan kristal protein yang dibentuk oleh bakteri selama proses
sporulasi. Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses produksi bioinsektisida antara lain galur
Bacillus thuringiensis yang digunakan dan medium fermentasinya. Selain itu, pengkontrolan pada faktor
lingkungan seperti agitasi, aerasi, ph, dan suhu turut mempengaruhi keberhasilan proses fermentasi.
Namun, bila faktor lingkungan tersebut tidak dikontrol dapat juga menyebabkan kegagalan proses
fermentasinya, seperti pH awal medium terlalu asam ( di bawah 6,8) atau terlalu basa ( di atas 8).
pH merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi Bacillus thuringiensis
dimana pengaturan pH perlu diperhatikan dan dikontrol selama proses fermentasi karena pH dapat
berpengaruh pada jumlah produksi spora dan kristal protein. pH awal sebelum proses fermentasi diatur
untuk memberikan kondisi optimum bagi pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba. Bakteri
Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium dengan pH berkisar 5,5 – 8,5 dan tumbuh optimum
pada pH 6,5 – 7,5 (Benhard dan Utz 1993). pH ini akan berubah selama proses fermentasi. Hal tersebut
bergantung pada banyaknya sumber karbon dan nitrogen yang digunakan. Semakin banyak nitrogen yang
dikonsumsi, semakin tinggi pHnya. Sedangkan semakin banyak jumlah karbon yang dikonsumsi oleh
mikroba, akan menyebabkan pH medium menurun. Pada praktikum, pH medium baik kultivasi substrat
cair maupun padat diatur pada pH sekitar 7.
Berdasarkan hasil uji pH, bioinsektisida yang diproduksi melalui substrat cair selama lima hari
pengamatan memiliki pH yang menurun setiap harinya Pada hari pertama dan kedua (0 dan 24 jam), pH
substrat adalah pH 9. Kemudian pada jam ke 48 dan 72, pH menurun menjadi pH 8 dan kemudian turun
kembali menjadi pH 7,5 pada pengamatan hari kelima (96 jam). Sedangkan pH bioinsektisida yang
diperoleh dari substrat padat memiliki pH yang berfluktuatif. Pada jam ke-0, pH medium adalah pH 5
kemudian meningkat menajdi pH 6 dan menurun kembali ke pH 5 pada jam ke-48. pH tersebut meningkat
kembali pada jam ke-72 menjadi 8 dan pada jam ke-96, pH yang diperoleh adalah pH 5,5.
pH dapat mempengaruhi aktivitas bioinsektisida dimana pH dapat digunakan sebagai indikator
potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. pH awal medium yang tidak terlalu rendah akan
menyebabkan pembentukan komplek spora dan kristal protein berjalan dengan baik. Menurut Morris et al
(1996), pada pH medium awal yaitu 5 dan 6 tidak diproduksi kompleks spora dan kristal protein. Hal
tersebut mungkin karena aktivitas enzim yang berperan pada pembentukan spora dan krisatl protein tidak
aktif pada pH tersebut. Kristal protein yang terbentuk inilah yang akan menginfeksi saluran hama dan
menyebabkan hama mati. Pada saat praktikum, tidak dilakukan uji aktivitas bioinsektisida sehingga tidak
dapat diketahui hubungan antara pH dan aktivitas bioinsektisida yang dihasilkan.
KESIMPULAN
Tipe fermentasi pada pembuatan bioinsektisida ini adalah fermentasi anaerob fakultatif dimana
fermentasi ini berjalan secara tertutup. Kondisi fermentasi seperti suhu, aerasi, agitasi, dan pH harus
dikontrol agar proses fermentasi dapat berjalan dengan baik. Pada praktikum tidak diketahui hubungan
antara pH dengan aktivitas bioinsektisida karena tidak dilakukan uji aktivitas bioinsektisida. Namun, pH
dapat dijadikan indikator potensi produk bioinsektisida dimana akan mempengaruhi pembentukan spora
dan kristal protein.
DAFTAR PUSTAKA
Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticide for Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. S. Cory, M. J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus
thuringiensis , An Enviromental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Son, Chichester : 255- 266.
Morris O.N., Converse V., Kanagaratnam P., and Davies J.S. 1996. Effect of Cultural Condition on Spore-Crystal Yield and Toxycity of Bacillus thuringiensis subs. Aizawai (HD133). Journal of Invertebrate Patology. 67: 129-136.
Sikdar DP, M. K. Majumdar. 1993. Optimization of Process For Production of Delta Endotoksin by Bacillus thuringiensis in 5 litres Fermentor. Biochemical Archieves. 9: 119-123.
Sjamsuritra AA, Sastramihardja I dan Sastramihardja US. 1984. Pengaruh Beberapa Faktor Lingkungan dalam Optimasi Produksi Insektisida Bakteri dari Bacillus thuringiensis var. aizawai IH-A. Bandung: ITB.
Vandekar M. and H. T. Dulmage. 1982. Guideline of Production of Bacillus thuringiensis H-14. Special Programe for Research and Training in Tropical Diseases. Geneva, Switzerland.