birokrasi dan governance

Embed Size (px)

DESCRIPTION

paper

Citation preview

UJIAN AKHIR SEMESTERBIROKRASI DAN GOVERNANCENama: Marcha Fairuz IzdiharNPM: 1306462121

PERWUJUDAN AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI DALAM DPD-RI1. PendahuluanDewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) adalah salah satu lembaga legislatif yang ada di Indonesia. Tentunya sebagai salah satu dari lembaga legislatif yang ada di Indonesia, DPD-RI memiliki fungsi, tugas, dan wewenang serta visi dan misi. Sesuai dengan konstitusi, format representasi fungsi dari DPD-RI dibagi menjadi tiga fungsi yaitu, fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan. Masing-masing dari ketiga fungsi ini menggambarkan apa-apa saja yang menjadi tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI). Fungsi Legislasi yang dijalankan oleh DPD-RI mencakup dua hal yaitu, DPD-RI dapat mengajukan rancangan undang-undang atau RUU kepada DPR dan DPD-RI juga dapat membahas rancangan undang-undang tersebut. Adapun bidang-bidang yang terkait di dalam rancangan undang-undang tersebut adalah otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi kedua yaitu fungsi pertimbangan mencakup satu hal saja yaitu DPD-RI dapat memberikan pertimbangan kepada DPR-RI. Fungsi ketiga sekaligus fungsi terakhir adalah fungsi pengawasan yang mencakup dua hal yaitu, DPD-RI dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan dapat menyampaikan hasil dari pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tersebut kepada DPR-RI sebagai bahan pertimbangan untuk di tindaklanjuti serta DPD-RI juga menerima hasil pemeriksaan keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK. Bidang terkait yang mencakup fungsi pengawasan DPD-RI adalah otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi; perimbangan keuangan pusat dan daerah; pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); pajak, pendidikan, dan agama. Kemudian, sebagai hasil dari konsensus politik bangsa Indonesia melalui reformasi tahun 1998 menghasilkan perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia yang tertuang dalam konstitusi. Perubahan tersebut antara lain adalah hadirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) sebagai lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). DPD-RI dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001 dalam rangka mengatasi masalah hubungan antara pusat dan daerah serta memperkuat ikatan daerah-daerah dalam NKRI dan juga membangun mekanisme check and balance antar cabang kekuasaan negara dan dalam cabang kekuasaan legislatif itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, DPD-RI memiliki visi untuk menjadikan DPD-RI sebagai lembaga perwakilan yang mampu secara optimal dan akuntabel memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Selain visi tersebut, DPD-RI juga memiliki lima buah misi yaitu, pertama memperkuat kewenangan DPR-RI melalui amandemen UUD 1945; kedua mengoptimalkan pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, penganggaran sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan Undang-undang; ketiga memperkuat kapasitas pelaksanaan fungsi representasi yang mencakup penampungan dan penindaklanjutan aspirasi daerah dan pengaduan masyarakat serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan DPD-RI dalam rangka akuntabilitas publik; keempat meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga negara/pemerintah dan non pemerintah di dalam negeri dan lembaga perwakilan negara-negara sahabat termasuk masyarakat parlemen internasional; kelima meningkatkan kinerja dan kapasitas kelembagaan baik yang menyangkut tampilan perorangan para anggota DPD-RI maupun pelaksanaan fungsi kesekretariatan jenderal termasuk tunjangan fungsional atau keahlian (dpd.go.id, 2015) .Berdasarkan salah satu misi dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yaitu memperkuat kapasitas pelaksanaan fungsi representasi melalui penampungan aspirasi aderah dan pengaduan masyarakat dalam rangka akuntabilitas publik, sangat penting bagi DPD-RI baik pemimpin maupun anggota nya untuk menjalankan akuntabilitas. Akuntabilitas ini berlaku bagi mereka yang memiliki kewenangan dan berkedudukan penting karena mereka merepresentasikan itu masyarakat sehingga masyarakat sangat berhak untuk mengawasi dan tahu apa saja yang wakil mereka lakukan. Bentuk dari akuntabilitas yang dapat dilakukan oleh mereka yang mewakili rakyat di DPD-RI pada level institusional terkait dengan mekanisme yang berlaku dalam tata tertib DPD-RI seperti apakah semua rapat atau sidang dapat dihadiri oleh masyarakat luas, apakah hasil pembicaraan dan keputusan dalam rapat atau sidang dapat diperoleh oleh masyarakat, dan apakah laporan kinerja dan juga laporan keuangan DPD-RI dapat diketahui oleh masyarakat. Sedangkan pada level individual sebagai seorang pejabat publik yang mewakili rakyat di DPD-RI, akuntabilitas yang dapat dilakukan adalah seperti transparansi dan akuntabilitas menyangkut tanggung jawab dan kewajiban setiap anggota dewan untuk memberikan informasi, menyerap aspirasi dan menyampaikan beban amanah yang sudah dilakukan nya sebagai seorang wakil masyarakat. Tentunya akuntabilitas pada level individual ini wajib untuk dijalani oleh semua anggota DPD-RI. Hal ini sangat penting dilakukan karena sebagai seorang anggota dewan, harus menyampaikan apa saja yang menjadi masalah dan perdebatan serta sikap yang dilakukan ketika dihadapkan pada adanya suatu masalah merupakan bentuk dari tanggung jawab atas kinerja dan janji-janji nya kepada rakyat. Masyarakat pun berhak untuk menuntut tanggung jawab atas kinerja dari orang-orang yang mewakili mereka di kursi pemerintahan. Hal ini didukung dengan diaturnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-undang tersebut merupakan representasi dari hak-hak konstitusional warga negara yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 F yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Masyarakat juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Prasojo, 2009, hal 1).

2. Kerangka Teori

AkuntabilitasAkuntabilitas menurut Mulgan (2000, hal 555) process of being called to account to some authority for ones actions, or a process of giving an account dalam (Erkkila, 2007, hal 5). Dari definisi ini dapat dijelaskan bahwa akuntabilitas merupakan proses atau bentuk tanggung jawab seseorang yang memiliki wewenang atas apa tindakan yang dia lakukan dengan menggunakan wewenang nya tersebut atau merupakan sebuah proses atau bentuk memberikan laporan sebagai bentuk tanggung jawab.Sedangkan menurut Schedler (1999, hal 13) akuntabilitas adalah the fashionable term accountability that expresses the continuing concern for checks and oversights, for surveillance and institutional constraints on the exercise of power. Melalui definisi menurut Schedler dapat dijelaskan bahwa makna dari akuntabilitas yang populer tersebut adalah suatu bentuk kepedulian terhadap kendala-kendala yang terjadi pada suatu lembaga dalam pelaksanaan kekuaasan nya melalui perwujudan pemeriksaan atas kelalaian dan pengawasan.Menurut Aucoin dan Heintzman (2000, hal 244) akuntabilitas adalah those who hold and exercise public authority be held to account dalam Prasojo (2009, hal 12). Dari definisi ini akuntabilitas dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk laporan atau tanggung jawab bagi seseorang yang memiliki dan menjalankan wewenang publik.Melalui semua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa akuntabilitas adalah sebuah bentuk tanggung gugat dari pejabat publik atas tindakan-tindakan yang dilakukan nya dengan menggunakan wewenang nya kepada masyarakat. Seorang pejabat publik wajib melaporkan apa saja yang sudah dia lakukan dengan wewenang nya itu karena seorang pejabat publik itu mewakili masyarakat. Akuntabilitas mewajibkan setiap individu dan organisasi untuk mempertanggungjawabkan setiap input, proses, dan kinerja yang menjadi tugas, hak, wewenang dan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Prasojo, 2009, hal 12).Di dalam akuntabilitas, terdapat beberapa dimensi yang membedakan atau mengklasifikasikan bentuk dari akuntabilitas itu sendiri. Menurut Cheema (2005, hal 51) dalam Prasojo (2009, hal 12-13) dimensi akuntabilitas dapat dibedakan menjadi tiga dimensi, yaitu : 1) Akuntabilitas Politik, yaitu tersedianya metode yang digunakan secara regular dan terbuka guna memberikan sanksi dengan penghargaan kepada setiap orang dan institusi yang memegang posisi jabatan publik melalui sistem checks and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif2) Akuntabilitas Finansial, yaitu kewajiban setiap orang atau institusi untuk mempertanggung jawab kan dan melaporkan penggunaan sumber daya publik yang dipergunakan dalam rangka menjalankan otoritas publik yang diembannya3) Akuntabilitas Administratif, yaitu kewajiban setiap orang and institusi yang menyelenggarakan otoritas publik untuk menciptakan pengawasan internal dalam menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan.TransparansiTransparansi menurut Crowe (2013) the degree to which an organization shares its leaders, employees, values, culture, business results, and business strategies with its constituents. Menurut definisi tersebut transparansi bisa dikatakan sebagai publikasi data mengenai struktur, nilai, budaya, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dari sebuah organisasi. Yang dimaksud disini adalah dalam konteks pemerintahan, jadi organisasi yang dimaksud adalah lembaga pemerintahan. Yang dimaksud sebagai konstituen adalah individu, organisasi atau sektor lain dalam sebuah negara. Pengertian ini sering di hubungkan dengan konstituen adalah masyarakat. Transparansi juga dapat diartikan sebagai sebuah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan setiap orang untuk meperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, mencakup informasi tentang proses pembuatan kebijakan, pelaksanaannya, hasil-hasil yang dicapai, dan pengawasannya.Menurut Crowe (2013) terdapat dua bentuk transparansi, yaitu governance transparency dan financial transparency. Kedua model transparansi ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan akses untuk mengetahui tentang pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan juga penggunaan anggaran.Governance Transparency adalah bentuk dari keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat dan konstituen spesial (media massa) untuk mengetahui tugas dan kebijakan pemerintah baik pada saat proses, sebelum, dan sesudah tugas-tugas serta kebijakan tersebut selesai dijalankan. Keterbukaan ini mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam tugas pemerintahan serta membangun kepercayaan di antara masyarakat dan pemerintah.Financial Transparency adalah keterbukaan pemerintah kepada masyarakat mengenai anggaran. Model transparansi ini memungkinkan masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam proses pembuatan anggaran, pelaksanaan anggaran, dan evaluasi anggaran.Undang-Undang Keterbukaan Informasi PublikUndang-undang No.14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai landasan hukum terkait dengan : hak setiap orang untuk memperoleh informasi; kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan sederhana; pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas; kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Demikian, undang-undang no.14 tahun 2008 ini memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi publik dan juga menjamin ketersediaan dan layanan informasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.Undang-undang ini mewajibkan semua badan publik yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif serta badan lain yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan penyelenggaraan negara untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Dengan kewajiban ini, maka setiap badan publik harus memiliki manajemen sistem informasi yang baik sehingga memungkinkan masyarakat untuk secara cepat, mudah, dan sederhana dapat memperoleh informasi publik yang dibutuhkan (Prasojo, 2009, hal 2).

3. Pembahasan

Keterbukaan informasi publik berkaitan dengan banyak hal, salah satunya berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan. Partisipasi masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa adanya jaminan hukum atas informasi publik. Informasi publik yang dimaksud disini adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggaraan-penyelenggaraan badan publik lainnya sserta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik (Prasojo, 2009, hal 1). Dengan adanya undang-undang no.14 tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik, seharusnya tidak ada lagi yang bisa menghalangi masyarakat untuk mendapat kan semua informasi publik yang ada karena informasi tersebut adalah hak masyarakat untuk mengetahui nya. Jika masih ada informasi-informasi mengenai publik dan mengenai pemerintahan yang tidak dapat di akses oleh masyarakat maka tentunya hal tersebut perlu dipertanyakan. Apalagi jika dikaitkan dengan salah satu lembaga legislatif yang terdapat di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI). DPD-RI sebagai salah satu badan publik yang membuat dan mensyahkan Undang-undang mengenai keterbukaan informasi publik harus memberikan contoh teladan bagi masyarakat dan badan publik lainnya. Hal ini tentunya dapat dilakukan dengan menjalankan transparansi dan akuntabilitas publik dalam lembaga DPD-RI itu sendiri. DPD-RI juga sebenarnya harus menjadi contoh bagi badan publik lainnya karena keputusan-keputusan politik yang diambil oleh DPD menjadi sebuah bentuk pengawasan oleh masyarakat. Masyarakat setiap saat berhak untuk memperoleh informasi yang terkait dengan kenyataan yang menjadi dasar dalam pembuatan keputusan oleh DPD-RI.Salah satu cara untuk menggambarkan adanya akuntabilitas dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia adalah dengan persidangan atau rapat. Persidangan dan rapat-rapat yang dilakukan DPD-RI merupakan elemen penting dalam pelaksanaan tugas mereka selaku lembaga legislatif. Pada saat DPD-RI melakukan sidang dan rapat, sebuah pengambilan akan terjadi. Disini lah letak akuntabilitas itu berada, masyarakat harus mendapatkan akses dan berpartisipasi dalam persidangan dan rapat untuk menggambarkan bahwa akuntabilitas publik yang dijalankan oleh DPD-RI itu sudah ada. Semakin tinggi dan luas peluang masyarakat untuk bisa mengikuti sidang dan rapat yang dilaksanakan oleh DPD-RI maka semakin tinggi pula transparansi yang tercipta dalam DPD-RI itu, sebaliknya jika masyarakat tidak memiliki peluang sama sekali untuk bisa mengikuti sidang dan rapat maka hal ini menggambarkan bahwa belum terciptanya transparansi dan akuntabilitas. Menurut Prasojo (2009, hal 19) terdapat sejumlah faktor yang harus diperhatikan dan dilakukan untuk dapat menjamin terciptanya transparansi dalam proses persidangan : akses, disclosure, integritas, hak untuk menghadiri dan mengikuti sidang, public hearing dan public consultation, hak pemberitaan oleh media massa, dan standar lobby. Akses merupakan salah satu faktor yang dapat mencerminkan adanya transparansi dan akuntabilitas, akses berbentuk dalam jaminan legal formal yang terdapat pada tata tertib DPD-RI untuk mendapatkan informasi dan data mengenai proses maupun substansi persidangan. Disclosure merupakan kewajiban bagi DPD-RI untuk mempublikasikan semua informasi dan dokumen yang menyangkut proses persidangan dan substansi dalam pengambilan keputusan. Artinya informasi persidangan tidak boleh hanya menjadi milik anggota DPD-RI saja tetapi juga masyarakat. Integritas mencakup kewajiban baik setiap anggota DPD-RI maupun masyarakat yang menghadiri sidang untuk menjaga informasi yang terdapat dalam sidang, mereka tidak boleh menyalahgunakan informasi yang dimiliki nya. Hak untuk menghadiri dan mengikut sidang juga merupakan jaminan legal yang diatur dalam tata tertib DPD-RI, masyarakat dijamin hak-hak nya untuk mengikuti sidang ataupun rapat yang di selenggarakan oleh DPD-RI. Public hearing dan public consultation adalah kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk menghadiri rapat dan didengar pendapatnya terkait dengan tema yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan politik oleh DPD-RI. Hak pemberitaan oleh media massa merupakan dasar bagi transparansi yang lebih luas yang diberikan kepada masyarakat, pada dasarnya setiap hal yang terjadi dalam persidangan harus dapat disampaikan kepada masyarakat karena itulah melalui media massa informasi tersebut dapat disampaikan kepada masyarakat. Jika dilihat kondisi DPD-RI sekarang tentunya terkait terciptanya akuntabilitas dan transparansi tampaknya sudah banyak bentuk perwujudannya. Hal ini dapat dilihat dari tersedianya website DPD-RI yaitu dpd.go.id. Didalam website tersebut telah tersedia informasi-informasi yang menjadi hak masyarakat, seperti informasi struktur DPD-RI, visi dan misi, tugas dan wewenang, tata tertib dan kode etik DPD-RI, hasil notulensi rapat dan persidangan, rencana strategis DPD-RI, produk legislasi, kolom aspirasi masyarakat, dan juga Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) DPD-RI yang mana didalam nya terdapat perencanaan kinerja, capaian kinerja, sasaran strategis, dan realisasi anggaran. Namun, masih ada beberapa informasi yang ternyata tidak dapat diakses oleh masyarakat. Informasi yang tidak dapat diperoleh masyarakat ini adalah seperti risalah rapat dan mekanisme perekrutan staff ahli DPD-RI, bahkan dalam tata tertib DPD-RI masih ada beberapa sidang dan rapat yang sifat nya tertutup. Karena sifat nya tertutup maka masyarakat tidak dapat menghadiri persidangan dan rapat yang diadakan oleh DPD-RI ini. Hal-hal seperti inilah yang menjadi hambatan akan terciptanya transparansi dan akuntabilitas oleh badan publik seperti DPD-RI. Risalah rapat yang terdapat dalam website DPD-RI memang bisa dibuka namun memerlukan akun anggota DPD-RI. Hal ini menggambarkan bahwa akses menuju risalah rapat hanya bisa diperoleh anggota DPD-RI yang memang memiliki akun dan masyarakat tidak bisa memperoleh risalah rapat tersebut. Padahal risalah rapat merupakan hal penting yang mana masyarakat akan mengetahui secara rinci proses dan pembicaraan yang muncul dalam suatu persidangan atau rapat yang dilakukan oleh DPD-RI. Pada peraturan DPD-RI no.1 tahun 2014 tentang tata tertib pada pasal 162 mengenai sifat dan sidang rapat disebutkan bahwa terdapat sidang yang sifat nya terbuka dan tertutup. Mengacu pada pasal 158 bahwa ada beberapa sidang yang sifat nya tertutup yaitu sidang badan kehormatan dan permusyawaratan kelompok anggota provinsi. Ketentuan mengenai sifat persidangan dan rapat ini sebenarnya selain merugikan masyarakat juga merugikan anggota DPD-RI itu sendiri karena tidak adanya bukti otentik yang dapat dipergunakan untuk mempertanyakan implementasi dari keputusan politik yang dibuat dalam persidangan atau rapat tersebut. Anggota DPD-RI juga tidak memiliki data untuk dijadikan alat evaluasi atas implementasi dan dampak dari sebuah keputusan politik. Pada pasal 163 dikatakan bahwa sidang yang bersifat terbuka masih dapat diusulkan menjadi sidang yang bersifat tertutup. Disini tercermin bahwa hak masyarakat untuk memperoleh informasi melalui kehadiran dalam persidangan atau rapat yang diadakan oleh DPD-RI. Pada pasal 164 terlebih lagi juga dinyatakan bahwa pembicaraan dan keputusan dalam sidang/rapat tertutup bersifat rahasia dan tidak boleh diumumkan apabila dinyatakan secara tegas sebagai rahasia dan tidak dapat diumumkan. Disini dapat dilihat bahwa masih belum ada akuntabilitas dan transparansi yang tercipta. Hal selanjutnya yang menjadi perhatian adalah mekanisme perekrutan staff ahli anggota DPD-RI. Memang sudah ada beberapa komite dalam DPD-RI yang mengumumkan perekrutan staff ahli anggota DPD-RI namun, mekanisme nya tetap saja hanya sebatas syarat-syarat minimal untuk mendaftar sebagai staff ahli. Lebih lanjut lagi rekrutmen tenaga ahli untuk masing-masing anggota dewan masih dirasakan tertutup dan lebih didasarkan pada kedekatan hubungan antara calon staff ahli dengan anggota dewan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ketentuan yang jelas dalam peraturan tata tertib DPD mengenai tata cara rekrutmen tenaga ahli yang mendampingi anggota dewan.Mencakup beberapa hal yang disebutkan di atas terkait dengan belum terciptanya akuntabilitas dan transparansi, harus dilakukan perubahan guna memperkuat wujud akuntabilitas dan transparansi dalam tubuh DPD-RI. Berkaitan dengan masalah risalah rapat, seharusnya dibuat peraturan tata tertib DPD-RI yang memungkinkan setiap anggota dewan dan seluruh masyarakat dapat akses terhadap risalah rapat, catatan rapat, dan laporan singkat mengenai tiap persidangan dan rapat yang dilakukan oleh DPD-RI selama tidak melanggar ketentuan undang-undang. Dengan tersedianya risalah rapat tersebut maka akan terpenuhi konsep akuntabilitas melalui dimensi politik dan administratif serta tergambar nya konsep governance transparency. Selanjutnya terkait dengan masalah tata tertib tentang sifat persidangan dan rapat perlu diperbaiki menjadi semua persidangan dan rapat bersifat terbuka selama tidak bertentangan dengan undang-undang karena dengan adanya undang-undang tentang keterbukaan informasi publik yang mengatakan bahwa memperoleh informasi publik itu adalah hak masyarakat, dan dapat hadir di persidangan atau rapat yang diadakan oleh DPD-RI adalah salah satu bentuk perolehan informasi. Namun jika memang semua nya menjadi bersifat terbuka, masyarakat juga tidak boleh menyalahgunakan informasi yang didapat melalui persidangan dan rapat tersebut. Terakhir terkait dengan mekanisme perekrutan staff ahli anggota DPD-RI seharusnya diatur secara jelas dalam peraturan tata tertib DPD-RI tentang mekanisme dan tata cara perekrutan nya. Rekrutmen juga harus dilakukan secara terbuka kepada masyarakat dan harus dilakukan melalui panitia independen yang professional. Dengan dilakukan nya perbaikan dan perubahan tersebut maka DPD-RI sebagai best practice dari perwujudan akuntabilitas dan transparansi akan terjadi sehingga konsep mengenai akuntabilitas dan transparansi akan tergambar melalui badan DPD-RI.Tentunya terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pada tubuh DPD-RI sangat penting karena bertujuan untuk mengontrol penggunaan kewenangan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, untuk menjamin penggunaan sumber daya publik secara efisien dan efektif serta berpegang pada nilai-nilai kepentingan publik, dan juga untuk mendorong dan meningkatkan proses pembelajaran kinerja yang terus-menerus (Prasojo, 2009, hal 12). Transparansi dalam tubuh DPD-RI dapat meningkatkan keterbukaan proses demokrasi melalui laporan dan umpan balik dari masyarakat. Selain itu juga transparansi akan memperjelas pembuatan kebijakan dan proses dari implementasi kebijakan itu sendiri. Tentunya hal tersebut akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik yang dapat mempengaruhi hidup mereka. 4. PenutupJadi kesimpulan nya adalah pada tubuh DPD-RI sudah tercipta atau terwujud akuntabilitas dan transparansi namun, dalam beberapa faktor seperti risalah rapat, mekanisme perekrutan staff ahli, dan mengenai tata tertib tentang sifat persidangan atau rapat yang tertutup. Melalui arah perubahan mengenai beberapa faktor tersebut yang dibahas di bagian pembahasan maka akan terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pada beberapa faktor tersebut. Selain itu juga penting terwujudnya transparansi dalam tubuh DPD-RI karena transparansi merupakan dasar dari terciptanya akuntabilitas dalam DPD-RI karena transparansi mengharuskan adanya keterbukaan informasi, akses masyarakat, dan jaminan hukum. Karena itu jika semua informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas DPD-RI diketahui oleh masyarakat dengan sendirinya tidak ada hal-hal lain yang terkesan disembunyikan. Dengan akses yang dimiliki masyarakat untuk memperoleh informasi terkait pelaksanaan tugas-tugas DPD-RI maka dengan sendirinya seluruh elemen dalam tubuh DPD-RI akan dituntut untuk dapat mempertanggung jawabkan semua keputusan dan tindakan yang dilakukan.

Daftar Pustaka

Crowe, Adam. 2013. Leadership in the Open: A New Paradigm in Emergency Management. Florida: CRC Press.Prasojo, Eko. 2009. Buku Panduan tentang Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.Schedler, Andreas. 1999. The Self-restraining State: Power and Accountability in New Democracies. Colorado & London: Lynne Rienner Publisher, Inc.Erkkila, Tero. 2007. Governance and Accountability A Shift in Conceptualisation. Source: Public Administration Quarterly, Vol. 31, No. ( Spring 2007 - Summer 2007 ), pp. 1-38. Published by SPAEF. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/41288281. Diakses pada 6 Juni 2015, 05:57 UTC.Rubenstein, Jennifer. 2007. Accountability in an Unequal World. Source: The Journal of Politics, Vol. 69, No. 3 (August 2007), pp. 616-632. Published by : The University of Chicago Press on behalf of the Southern Political Science Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/10.1111/j.1468-2508.2007.00563.x. Diakses pada 6 Juni 2015, 02:11 UTC.Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2014.Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib. 2014. Jakarta: DPD RIUndang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.(Republika) Lika-liku Seorang Tenaga Ahli DPR. 2015. http://wikidpr.org/news/republika-lika-liku-seorang-tenaga-ahli-dpr. Diakses pada 6 Juni 2015. Website Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. www.dpd.go.id. Diakses pada 6 Juni 2015