Birokrasi Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Birokrasi

Citation preview

  • Edisi 3/ September / 2011

    Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah

    Pelayanan Birokrasi Papua dalam Era Otonomi Khusus

    Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance

    Reformasi Birokrasi, Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi

    Birokrasidalam Era

    Keterbukaan Informasi Publik

    Foto

    : A

    ntar

    a

  • Tim RedaksiPengarah : Tifatul Sembiring (Menteri Kominfo) Basuki Yusuf Iskandar (Sekretaris Jenderal) Ahmad Mabruri Mei Akbari (Staf Khusus Menkominfo)Penanggungjawab : Freddy H Tulung,

    (Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik)

    Pemimpin Umum : Suprawoto (Staf Ahli Menteri Bidang Sosial

    Ekonomi dan Budaya)Pemimpin Redaksi : Sadjan (Direktur Pengelolaan Media Publik)Anggota Dewan Redaksi : Ismail Cawidu (Sekretaris Direktorat Jenderal

    Informasi dan Komunikasi Publik) Bambang Wiswalujo (Direktur Pengolah dan Penyediaan Informasi) Supomo (Direktur Komunikasi Publik)

    Erlangga Masdiana (Direktur Layanan Informasi

    Internasional) James Pardede (Direktur Kemitraan Komunikasi)Redaktur Pelaksana : Mardianto SoemaryoPenyunting/ Editor : 1. Hypolitus Layanan 2. Endang Kartiwak 3. Taufik HidayatTim Tenaga Ahli : Sugeng Bayu Wahono Lambang Trijono Abduh Sandiah Murti Kusuma WirastiDesign Grafis : Danang FirmansyahSekretaris Redaksi : M. Taofik RaufSekretariat : 1. M. Azhar Iskandar Zainal 2. Jatmadi 3. Sarnubi 4. Inu Sudiati 5. Elpira Inda Sari N.K 6. Lamini 7. Nur Arief Hidayat

    Diterbitkan Oleh :

    dalam Era

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    i

    aftar IsiDSalam Redaksi ii

    Wawancara Khusus viiReformasi Birokrasi Tidak Secepat Membalik Telapak Tangan vii

    Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah 1Pendahuluan 2

    Antara Harapan dan Kenyataan 5

    Penutup 9

    Pelayanan Birokrasi Papua 11dalam Era Otonomi Khusus

    Reformasi Birokrasi dan 19Implementasi Good Governance

    Reformasi Birokrasi, 45Syarat Mutlak Pembangunan Ekonomi

    Laporan Studi lapangan 65Reformasi Birokrasi dalam Dinamika Pemerintahan Daerah 65

    I

    II

    III

    IV

  • ii

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Salam RedaksiSetelah era reformasi, juga salah satu yang paling santer dikumandangkan

    adalah perlunya reformasi birokrasi. Isu utama yang

    ditekankan dalam reformasi birokrasi bukan saja pelayanan

    dan inefisiensi, tetapi juga transparansi. Seiring dengan bergulirnya demokratisasi,

    birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi

    pelayanan publik yang transparan. Good governance

    menjadi sebuah imperatif dalam proses negara demokrasi, dan di sini birokrasi harus transparans,

    akuntable, dan membuka partisipasi publik.

    Pemerintah pun merespons atas tuntutan reformasi birokrasi dengan berkomitmen menerapkan prinsip good governance, antara lain tampak pada (1) penyelenggaraan pemerintahan dengan membuka koridor ketertutupan birokrasi melalui semangat dialog dan komunikasi intensif antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat; (2) dalam pengambilan kebijakan serta keputusan, pemerintah telah bertindak atas dasar tanggung jawab dalam segala bidang untuk kepentingan masyarakat luas; (3) setiap proses pemerintahan mulai dari pengambilan keputusan sampai implementasi, pemerintah telah berusaha membangun kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi tersebut; dan (4) pengambilan keputusan juga perlu melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kesempatan dalam menyampaikan aspirasinya

    Masih dalam konteks good governance, pemerintah juga memiliki komitmen untuk melaksanakan inisiatif Open Government, sebagai kebutuhan nasional akan transparansi dan akuntabilitas serta kontribusi aktif Indonesia

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    iii

    dalam Open Government Partnership (OGP). Dalam pelaksanaannya, setiap lembaga publik diharapkan menyusun Rencana Implementasi Open Government (OG) lembaganya, melalui konsultasi dengan kelompok pemangku kepentingan masing-masing. Untuk percepatan OG ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, khususnya Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik telah berusaha menyusun disain komunikasi untuk memastikan inisiatif Open Government terlaksana sejalan dengan prinsip transparansi, partisipasi dan kolaborasi.

    Sementara itu, pemerintah juga menerapkan Otonomi Daerah dengan menekankan pelayanan birokrasi pemerintah lebih efisien, dalam arti semangat desentralisasi dan debirokratisasi tercermin dalam tata kelola pemerintahannya. Dari prosesnya yang lebih efektif, efisien dan tidak berbelit-belit serta menggunakan SDM yang optimal dan berkualitas. kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau.

    Meskipun demikian, ada juga yang memberikan penilaian kritis bahwa meskipun prinsip good governance telah dilaksanakan, tetapi

    belum sepenuhnya dilaksanakan. Untuk melakukan good governance perlu proses pembelajaran, perlu perbaikan-perbaikan menyangkut SDM dan SDA yang dimiliki. Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya untuk menerapkan prinsip good governance, namun perlu keseriusan untuk melakukan reformasi birokrasi. Hal yang paling bisa dilakukan adalah untuk memberikan kepercayaan dan dukungan untuk melakukan upaya-upaya reformasi birokrasi.

    Atas dasar permasalahan di atas, maka Jurnal Dialog Publik kali ini mengangkat tema Birokrasi dalam era keterbukaan informasi, sekaligus sebagai melihat bagaimana penerapan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keluarnya undang-undang ini juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap upaya perwujudan reformasi birokrasi. Berbagai isu dan permasalahan di seputar reformasi birokrasi akan dibedah dan dianalisis secara komprehensif dari berbagai perspektif.

    Muhadam Labolo secara detail menganalisis kinerja birokrasi dalam konteks good governance. Ia berusaha mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance,

  • iv

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    karakteristik pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental. Salah satu usulan menarik Muhadan adalah bahwa untuk mengefektifkan reformasi birokrasi diperlukan reformasi kapasitasi yang memadai guna meningkatkan kemampuan aparatur dalam melayani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi berkaitan dengan kemampuan birokrasi baik secara individual maupun kelompok yang ditunjukkan pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Pengembangan kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan menentukan nilai profesionalisme birokrasi dihadapan masyarakat.

    Sementara itu Habel Suwae mencoba menyoroti pelayanan birokrasi dalam era Otonomi Khsusus di Provinsi Papau. Habel melihat adanya gejala etnosentrisme di Papua apakah berpengaruh terhadap pelayanan birokrasi, sehingga lebih mengarah pada birokrasi primordial. Atau birokrasi bersifat

    adaptif dengan dinamika masyarakat Papua yang semakin terbuka, sehingga lebih mengedepankan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atau dengan kata lain Habel mengajukan pertanyaan bagaimana pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khusus sekarang ini. Apakah bias primordialisme seperti baik buruknya pelayanan birokrasi disebabkan oleh faktor kesamaan etnis, agama, dan kekerabatan, atau berkembang menjadi birokrasi modern yang mengutamakan profesionalisme dan merit system.

    Menurut Habel birokrasi di Papua justru lebih menunjukkan karakter sebagai birokrasi yang rasional dan mengedepankan profesionalisme. Perkembangan masyarakat Papua yang semakin terbuka menjadikan Papua semakin plural, sehingga birokrasi pemerintah terbukti adaftif dengan perkembangan masyarakatnya. Memang, pada awalnya terdapat kecenderungan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan politik oleh pemerintah pusat dalam bentuk Otsus, disikapi oleh sebagian warga Papua secara primordialistik. Birokrasi pun kemudian menunjukkan karakter birokrasi primordial, sehingga personil, sistem rekreuitmen, dan pelayanan pun ada kecenderungan bias etnosentrisme. Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, birokrasi pemerintah Papua berkembang ke arah yang lebih menunjukkan

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    v

    karakter birokrasi profesional dengan menerapkan merit sistem. Karakter masyarakat Papua sendiri yang terbuka dan semakin plural, menjadi pertimbangan utama mengedepankan birokrasi rasional, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profesionalisme. Bersamaan dengan itu, birokrasi pemerintah juga terus mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan menuju pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

    Argumen agak berbeda dikemukakan oleh Ferdinan Kerebungu, pada era sistem pemerintahan desentralisktik sekarang ini banyak menimbulkan persoalan pemerintahan terutama dalam birokrasi pelayanan publik. Banyak gejolak yang terjadi di daerah sebagai perwujudan ketidak puasan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ferdinan mengkaji tentang efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah. Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabiltas dan hal ini disebabkan oleh karena penenpatan pejabat eselon II dan III, bukan berdasarkan pendidikan dan latihan penjenjangan kerier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses.Untuk dapat mengoptimalkan pelayanan birokrasi yang menggunakan prinsip good governance, harus ada trnasformasi

    kultural di kalangan aparat birokrasi dari cara pandang birokrasi sebagai penguasa menjadi birokrasi sebagai pelayanan sesuai dengan sistem politik yang deomokratis.

    Sedangkan Nursodik menilai birokrasi Indonesia belum probisnis. Sifatnya yang birokratis dan patologis membuat keberadaan birokrasi lebih dianggap sebagai faktor penghambat dibanding pendorong perekonomian. Berbagai penyakit birokrasi muncul karena aparat birokrasi cenderung menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan birokrasi itu sendiri, bukan sebagai unit pelayanan masyarakat. Politisasi birokrasi ikut mendorong terjadinya penyelewengan yang membuat birokrasi semakin jauh dari fungsi utamanya sebagai penggerak sektor perekonomian. Untuk menghilangkan berbagai patologi yang ada, birokrasi perlu direformasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep reinventing bureaucracy. Dengan konsep tersebut, birokrasi dikembangkan sebagai unit pelayanan yang tepat, cepat, efisien, efektif, akuntabel dan berorientasi pada kebutuhan pengguna layanan. Reinventing bureaucracy diharapkan mampu mengembalikan birokrasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

    Akan tetapi, dari segenap analisis kritis yang dikemukan para penulis, terdapat harapan yang sama, bahwa bagaimanapun birokrasi harus didorong untuk lebih independen,

  • vi

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    steril dari kepentingan politik, dan mengedepankan profesionalisme. Komitmen pemerintah pusat untuk melakukan reformasi birokrasi, meski di sana-sini terdapat hambatan, tetap harus mendapat dukungan dari semua pihak. Iklim demokrasi yang

    sudah baik, harus tetap dipelihara dan dirawat agar terus menjadi habitat subur bagi tumbuhnya birokrasi yang secara konsisten menerapkan prinsip good governance.

  • Edisi 3 / September / 2011

    vii

    Reformasi Birokrasi Tidak Secepat Membalik Telapak Tangan

    WawancaraKhusus

    Dr. Ismail Muhamad, MBA*

    *Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,

  • viii

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Setelah era reformasi, salah satu isu yang paling santer dikumandangkan adalah

    perlunya reformasi birokrasi. Isu utama

    yang ditekankan dalam reformasi birokrasi

    bukan saja pelayanan dan efisiensi, tetapi juga

    transparansi. Seiring dengan bergulirnya

    demokratisasi, birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi

    pelayanan publik yang transparan. Prinsip Good

    governance menjadi sebuah imperatif dalam

    proses negara demokrasi, dan di sini birokrasi harus

    transparans, akuntable, dan membuka partisipasi

    publik.

    Meskipun secara normatif, pemerintah punya sejumlah regulasi yang mengatur tatakerja birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun dari hasil penyerapan opini dalam masyarakat, ternyata sebagian masyarakat menilai reformasi birokrasi belum memperlihatkan hasil konkret, alias reformasi birokrasi masih jalan di tempat. Persoalan yang mengemuka di anatranya pemerintah, termasuk pemerintah daerah dinilai kurang transparan dan tidak banyak melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik.

    Dalam kaiatan dengan persoalan tersebut, berikut ini petikan hasil wawancara redaksi dengan

    Dr. Ismail Muhamad, MBA

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    ix

    Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Dr. Ismail Muhamad, MBA.

    Banyak kalangan menilai program reformasi birokrasi jalan di tempat, bagaimana kondisi yang sesungguhnya ada pada saat ini?

    Pandangan seperti itu dapat dipahami, tetapi sangat tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Perlu diluruskan, bahwa reformasi dalam skala besar (Nasional) dimulai pada tahun 1998. Fokus reformasi pada tiga bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Politik dan Bidang Hukum. Sedangkan secara khusus reformasi birokrasi dimulai pada tahun 2004, dan sebagai pilot projectnya adalah Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Keuangan. Pada tahun 2008, Kementerian PAN menerbitkan Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Mulai tahun 2010 ditetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 2025 berdasarakanh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 81 Tahun 2010, dan ditindaklanjutin dengan Peraturan Menteri PAN No. 4 Tahun 2010. Jadi kalau ada yang bilang reformasi birokrasi jalan di tempat itu karena kurang mengikuti perkembangan yang ada. Jadi dari sisi kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi sudah ada langkah-langkah konkret. Berbicara mengenai reformasi birokrasi di negara manapun tidak secepat

    membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan proses panjang. Contoh Australia, untuk melakukan reformasi membutuhkan waktu 30 tahun baru bisa dilihat hasilnya.

    Dalam kaitan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik dan lain-lain sebenarnya sangat terkait dengan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang secara definitif pelaksanaannya pada tahun 2010. Tetapi sebenarnya transparansi dan akuntabilitas di Indonesia sudah mulai dilaksanakan secara efektif pada tahun 1999, yaitu dengan dikeluarkan Instruksi Presiden RI No. 7 Tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dengan demikian secara formal semua instansi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya diharuskan transparan dan akutabel. Jadi prinsipnya sudah ada model layanan, prosedur tetap, pengawasan, capaian hasil dan metode evaluasinya, semuanya sudah dituangkan dalam Rencana Strategis (renstra) instansi pemerintah. Pembuatan Renstra itu sendiri sangat transparan, meskipun pada waktu itu belum sejalan dengan UU KIP, karena belum ada. Dalam UU KIP jelas sekali menegaskan bahwa semua informasi itu terbuka (dipulikasikan) kecuali yang rahasia. Berbeda dengan paradigma sebelumnya bahwa semua informasi itu rahasia, kecuali yang dibuka atau yang dipublikasikan. Jadi secara ringkas bisa disimpulkan bahwa transparansi dan akuntabilitas Dr. Ismail Muhamad, MBA

  • xEdisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    kebijakan pemeritah termasuk bidang pelaynan telah dilaksanakan, meskipun harus diakui ada beberapa yang masih tertinggal.

    Bagaimana kita melihat secara konkret reformasi birokrasi itu dari sisi pelaynan publik?

    Pelayanan publik itu kita bagi dua yakni yang bersifat administratif dan pelayanan praktis atau non administrasi. Pelayanan administratif seperti KTP dan sejenisnya, hampir di semua daerah sudah transparan, umpamanya sudah jelas berapa biayanya, penyelesaiannya berapa lama, prosedur dan mekanismenya. Bahkan informasi tentang semua itu ditempelkan di papan pengumuman sehingga masyarakat mengetahuinya secara jelas. Selain itu ada standar pelayanan minimum yang diatur berdasarkan Kepmendagri yang menjadi acuan bagi daerah untuk merancanakan angaran pendapatan dan belanja daerahnya. Standar pelaynan itu juga dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat. Ini artinya langkah konkret yang dilakukan pemerintah itu ada, hanya mungkin kalau ada penyimpangan oleh oknum, termasuk sikap dan prilaku SKPD di daerah tertentu yang cenderung mengada-ada. Sehingga dalam kontek reformasi birokrasi, kelemahan-kelemahan itu dipantau dan dievaluasi, kemudian ditertibkan. Untuk mengurangi penyimpangan kita menggunakan instrumen indek kepuasan masyarakat melalui survei. KPK juga menggunakan

    tingkat kepuasan masyarakat dalam mengukur kualitas pelaynan publik. Dalam reformasi birokrasi, unsur itu juga dimasukkan sebagai salah satu indikator keberhasilan yakni peningkatan kualitas pelaynan publik. Kalau kita ambil contoh, kalau KPK mengunakan unsur integritas pelaynan publik, tingkat kemudahan berusaha, lalu instansi yang akuntabel. Tahun 2009 kita sudah punya base line sekian, kita punya target tahun 2014 sekian. Dengan ukuran itu terus dilakukan pemantauan, ternyata hasilnya semnatra ini mengalami peningkatan (kemajuan). Jadi jelas ada pengukurannya untuk menetukan tingkat keberhasilan program reformasi birokrasi.

    Sampai saat ini masih banyak pemerintah daerah belum membentuk PPID sesuai ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Baagaimana Pemerintah menyikapi maslah tersebutdalam kaitan dengan upaya mempercepat reformasi birokrasi?

    Secara makro hal itu termasuk dalam konteks penguatan kelembagaan dan pembenahan organisasi. Atas dasar UU KIP tersebut kita melangkah pada Open Government yang salah satu intinya adalah setiap instansi pemerintah dihimbau untuk segera melangkah konkret membenahi organisasinya sesuai kebutuhan. UU KIP jelas mengatakan bahwa jika masyarakat yang meminta informasi yang terbuka,

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    xi

    kalau ada yang menghaklangi, maka bisa dituntut. Ini artinya pintu masuk tidak harus melalui lembaga baru (PPID), tetapi melalui induk lembaganya. Jadi dari sisi kacamata reformasi birokrasi, tidak perlu pintu-pintu lagi, setiap waktu masyarakat berhak meminta informasi pada instansi pemerintah ada atau tidak PPID pada intansi tersebut. Ditambah lagi dengan adanya website, akan lebih memudahkan. Mungkin urgensinya untuk memperkuat unit pelaynan informai. Aparat pemerintah menyadari bahwa hak publik untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, kecuali yang sifatnya terkait rahasia negara dan surat-surat yang memang sifatnya rahasia. Saat ini pemerintah sudah cukup transparan dan open government, seperti soal APBN, pengadaan barang dan jasa dan lain-lain semuanya terbuka.

    Bagaimana kondisi pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berperinsip good governance?

    Kalau dilihat dari sisi akuntabilitas, pemerintah daerah tidak terlalu tertinggal. Penilaian ini didasarkan pada indikator dengan menggunakan instrumen yang ada, yakni melalui laporan akuntabilitas. Mereka menyampaikannya dengan cukup baik. Dari unsur transparansi dan lain-lain juga terlihat adanya kesungguhan pemda-pemda dan hasilnya cukup baik. Bahkan baru-baru ini pada kesempatan lokakarya

    ditampilkan dua daerah yang masuk kategori berhasil, yakni Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Ternyata langkah-langkah yang dilakukan kedua daerah ini luar bisa dalam kontek transparansi, salah satunya adalah dengan pemanfaatan teknologi inforasi untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Jadi kalau berbicara tentang prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam pelaksanaan good governance di setiap instansi pemerintah, termasuk pemeritah daerah, maka bisa dikatakan bahwa sebagian besarnya sudah punya kesadaran tersebut sangat kuat. Ada beberapa daerah yang mengalami hambatan, tentu karena kendala-kendala, baik karena faktor sumber daya manusia maupun sumber daya lain. Kita tidak bisa menuding bahwa semua pemda itu sama, karena karakter manusianya berbeda satu dengan yang lain.

    Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa secara nasional terdapat kemajuan yang cukup signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan dengan prinsip good governance. Ada kendala di beberapa daerah dengan alasan PAD yang tidak mencukupi. Tetapi berdasarkan pengamatan Kementerian PAN dan RB, upaya untuk meningkatkan pelaynan birokrasi sudah sangat kuat, di samping masyarakat juga punya kesadaran yang luar bisa dalam menuntut haknya untuk memperoleh informasi.

  • xii

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Salah satu sorotan masyarakat terhadap lemahnya pelaynan birokrasi adalah dalam kaitan dengan rekrutmen aparat (PNS) dan pejabat pemerintah yang tidak transparan dan sarat dengan KKN. Bagaimana pemetrintah menyikapi maslah tersebut?

    Memang harus diakui bahwa kondisi seperti itu ada pada praktek rekrutmen pegawai dan pejabat pemerintah. Seperti ada informasi bawa di daerah tertentu untuk masuk PNS harus bayar jutaan rupiah. Bahkan ada stetmen di Komisi II DPR RI bahwa akibat penyimpangan seperti itu menyebabkan kerugian negara sampai 25 triliun rupiah. Kita sudah melakukan pembenahan dengan menetapkan agar semua proses aplikasi melalui website, lalu dalam proses asesmennya diminta dari perguruan tinggi yang terbaik di masing-masing daerah. Lalu harusnya hasil ujian itu diumumkan, tetapi dalam kenyatannya itu dimainkan juga. Sekarang pemerintah melalui Peraturan Bersama Meneteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri PAN dan RB memutuskan untuk moratorium penerimaan calon PNS mulai September 2011 sampai Desember 2012. Moratorium ini diperlukan untuk melakukan pembenahan. Tidak akan disiapkan formasi oleh pusat, kalau tidak ada analisis kebutuhan kompetensi yang dibutuhkan. Sampai dengan Desember 2012 ditetapkan supaya seluruh pemerintah provinsi,

    kabupaten/kota mengajukan berapa kebutuhannya, kompetensinya apa dan sebagainya. Atas dasar itu, baru ada formasi. Intinya adalah selama masa moratorium itu akan dibuat formula yang bisa mencegah praktek KKN dan prilaku yang menyimpang.

    Apakah dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah membuka koridor ketertutupan birokrasi melalui semangat dialog dan komunikasi intensif antara pemerintah dan masyarakat?

    Prinsipsnya kita berpegang pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembanagunan Nasional. Dalam UU ini jelas sekali, bahwa setiap ada kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, prosesnya harus dimulai dari usulan desa/kelurahan, Musrembang sampai ke tingkat nasional dimana di setiap lefel itu melibatkan masukan masyarakat, melalui tokoh-tokohnya, organisasi tertentu, dan yang merepresentasikan masyarakat diundang untuk menjaring masukan dan aspirasi masyarakat. Salah satu langkah reformasi terkait dengan maslah ini adalah merubah mainset dan kutureset para pejabat, yang selama ini cenderung berorientasi pada kewenangan, berubah dan lebih mengutamakan peran. Jadi keterlibatan unsur unsur dalam masyarakat itu penekanannya peranya apa, bukan kewenangannya. Dengan reformasi ini juga kita mengukur kinerja. Kalau sebuah

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    xiii

    kebijakan dalam implementasinya tidak ada aksesnya pada masyarakat, maka kinerjanya turun. Sebenernya secara normatif itu semua sudah diatur, karena kemudian kurang efektif, maka reformasi ini digunakan untuk membenahinya, yakni dengan menggunakan menejmen kinerja, itu pun sampai sekarang belum semua menerapkan, tetapi bukan berarti reformasi birokrasi jalan di tempat.

    Bagaimana mengefektifkan pelayanan birokrasi dalam era keterbukaan informasi sebagai bagian dari demokratisasi?

    Prinsip demokrasi, salah satu prasyaratnya adalah penerapan good governance. Tetapi ada contoh negara yang punya good governance namun dalam praktek demokrasinya masih kategori rendah, seperti Singapura. Meskipun Singapura punya pemerintah yang sangat good governance, tetapi dari sisi demokratisasi, masih jauh di bawah Indonesia. Demokrasi Indonesia menduduki nomor tiga terbaik di dunia, bahkan sudah 10 tahun terakhir ini masuk pada periode maturity. Jadi dengan reformasi dimaksudkan untuk merubah pemahman bahwa demokrasi tidak seperti terjadi saat ini. Tetapi yang terpenting adanya suatu public policy process yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Proses dalam merumuskan sebuah kebijakan publik harus melibatkan masyarakat. Persoalan nanti kalau kemudian ada yang dipotong di atas, itu semata-

    mata dengan pertimbangan demi kepentingan bersama.

    Kendala-kendala apa saja yang dirasakan dalam penyelenggaraan pelayanan birokrasi yang berprinsip good governance?

    Kendala utama yang terlihat selama ini adalah pada mind-set dan cuture-set pada aparat birokarasi. Pola piker dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif dan profrsional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola piker yang melayani masyarakat, belum untuk mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes). Tetapi harus diakui untuk merubah pola pikir, apalagi sudah membudaya itu membutuhkan waktu lama. Kendala kedua adalah kebutuhan SDM aparat birokrasi itu belum proporsional, baik dari faktor alokasinya dari pusat sampai ke daerah, maupun dari sisi kompetensinya juga belum pada posisi the right man on the right please. Seperti digambarkan sasran reformasi birokrasi dalam Grand Design Reformasi Borokrasi 2010 -2025 yang dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut:

    Sasaran lima tahun pertama 1. (2010 2014), difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas

  • xiv

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    pelaynan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.

    Sasaran lima tahun kedua 2. (2015 2019), selain implementasi hasil-hasil yang sidah dicapai pada lima tahun pertama, pada lima tahun kedua juga dilanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen yang strategis birokrasi pemerintah pada lima tahun pertama.

    Sasaran lima tahun ketiga 3.

    (2020- 2024), reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi lima tahun kedua.

    Sehingga dengan sasaran-sasaran tersebut, reformasi birokrasi ini akan berhasil membenahi performen pelaynan birokrasi dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. semua itu sudah pada posisi yang benar.

  • Edisi 3 / September / 2011

    1

    Pelayanan Birokrasi dalam Era Otonomi Daerah

    Oleh : Ferdinand Kerebungu *

    * Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik, pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, dan mengajar pada S2 Pengembangan

    Sumberdaya Sosial, Program Pascasarjana Universitas Samratulangi Manado.

    I

  • 2Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Pendahuluan

    Di era sistem pemerintahan desentralisktik sekarang ini banyak menimbulkan persoalan pemerintahan terutama dalam birokrasi pelayanan publik. Banyak gejolak yang terjadi di daerah sebagai perwujudan ketidak puasan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam tulisan ini dikaji tentang efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah.

    Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabiltas dan akuntabiltas dalam bidang kerjanya, sehingga mereka tidak menguasai tugas pokok dan fungsinya. Hal ini disebabkan oleh karena penempatan pejabat aselon II dan III, bukan berdasarkan pendidikan dan latihan penjenjangan kerier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses.

    Untuk dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah khususnya sumberdaya manusia, maka sistem pemerintahan dan politik yang berlaku harus didasarkan pada sistem pemerintahan yang demokratis, dan transparan.

    Di era otonomi daerah saat ini, penyelenggaraan birokrasi pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak setiap warga negara berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pada alinea keempat diamanatkan tentang tugas pemerintah antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Tugas ini di era orde baru belum dapat terwujud hingga ke pedalaman Negara kesatuan Republik Indonesia, karena sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik. Di era reformasi sekarang ini sistem pemerintahan berubah menjadi desentralistik, dengan harapan tujuan terbentuk negara ini dapat terwujud secara optimal. Perubahan arus sistem pemerintahan ini merupakan impian dari masyarakat agar dapat terlayani dengan baik, dan kebutuhan mereka

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    3

    dapat tercapai dengan sistem pelayanan birokrasi yang prima.

    Setelah dua belas tahun pelaksanaan perubahan sistem pemerintahan yaitu dari sistem pemerintahan yang sentralistik ke sistem pemerintahan desentralistik sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hingga perubahannya menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, junto Undang-Undang no 12 tahun 2008, belum juga menunjukkan perubahan yang signifikan dalam sistem pelayanan publik yang dilaksanakan oleh para birokrat sebagai pejabat publik. Kondisi ini banyak dilihat di tanah air ini tentang maraknya protes yang dilakukan oleh masyarakat, kesulitan menciptakan lapangan kerja, bahkan tujuan utama pemekaran wilayah yang marak terjadi di era otonomi daerah yaitu mendekatkan pelayanan pada masyarakat bagaikan api jauh dari panggang.

    Pelayanan birokrasi yang terjadi tidak mampu mengimbangi perkembangan tuntutan masyarakat akan pelayanan, seperti pelayanan cepat, tepat, efektif dan efisien, bahkan dalam sistem pelayanan publik modern menuntut para birokrat melakukan pelayanan prima pada publik. Realitas yang dihadapi masyarakat di era otonomi sekarang ini seperti hanya sebuah

    mimpi yang sulit untuk terwujud. Nampaknya para kepala daerah sebagai top manajemen dalam organisasi pemerintahan daerah lebih disibukkan dengan bagaimana para pendukungnya masuk dalam jajaran kabinetnya. Akibatnya kebanyakan pejabat yang menduduki jabatan aselon dua (II) hingga aselon tiga (III) adalah orang-orang yang tidak berkompeten dibidangnya, apalagi mau menuntut kualitas, sehingga pelayanan publik tidak dapat terlaksana dengan optimal. Persoalan tersebut diperparah lagi dengan kinerja para birokrat yang sangat rendah, yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

    Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sejauhmana efektivitas pelayanan birokrasi diera otonomi daerah. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pelaksanaan pelayanan birokrasi terhadap masyarakat di era otonomi daerah. Sehingga tulisan ini dapat bermanfaat untuk melakukan evaluasi pelaksanaan otonomi daerah apakah berjalan efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang otonomi daerah.

    Untuk meningkatkan kualitas birokrasi dalam pelayanan publik,

  • 4Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    perlu memperhatikan tentang tugas dan fungsi dari masing-masing aparatur. Di mana para aparatur (birokrat) dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang unsur-unsur layanan publik yang secara tepat, memahami alur birokrasi layanan yang ditetapkan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dan yang terakhir, tidak menunda-nunda pekerjaan. Selain itu, seorang birokrat akan nampak kualitas layanannya terhadap publik seperti kehandalannya, responsif, memiliki pengetahuan luas dan ketrampilan yang baik, memiliki kejujuran dan berperilaku baik, komunikatif, dan memahami secara cepat kebutuhan publik yang dilayani.

    Banyak pengamat mengatakan bahwa birokrasi identik dengan administrasi. Oleh karena itu birokrasi di Amerika Serikat disebut dengan Administration, (Sarundajang, 2005). Oleh sebab itu, kelemahan birokrat sama dengan kelemahan administrasi pelayanan publik. Selanjutnya Sarundajang (2005), mengemukakan ada lima ciri fungsi birokrasi yaitu: (1) memenuhi tatanan internal organisasi dan keamanan eksternal organisasi; (2) menjamin keadilan di lingkungan masyarakat; (3) melindungi kebebasan individu berdasarkan peraturan dan norma adat istiadat yang berlaku di masyarakat; (4) mengatur tindakan individu agar individu tidak menjadi liar; (5) meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Menyimak kelima ciri fungsi birokrasi tersebut, seyogyanya di era otonomi daerah saat ini setiap penjabat publik dalam melaksanakan tugasnya sebagai administrator dan pelayan publik memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat guna mencapai cita-cita pendirian negara ini, dan memberikan pengayoman terhadap masyarakat yang berada di wilayah kerjanya. Jika birokrat sebagai administrator dan pelayan publik melaksanakan tugasnya berdasarkan fungsinya sebagaimana dikemukakan oleh Sarundajang di atas, kita tidak menjumpai berbagai bentuk kekecewaan masyarakat dan sebaliknya masyarakat akan concern dalam aktivitas kesehariannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Sejalan dengan pemikiran tersebut, Lumingkewas dan Masengi (2008), mengemukakan bahwa birokrasi pemerintahan dapat dipandang dari dua dimensi, yaitu: (1) dimensi kelembagaan yang meliputi; mekanisme dan prosedur, peraturan-peraturan baku yang berstandard dan budaya, dan (2) dimensi sikap dan perilaku birokrasi; dimensi ini merujuk pada berbagai perilaku yang diperankan para birokrat dalam pelayanan publik. Berdasarkan kedua dimensi birokrasi pemerintahan tersebut, birokrat dalam menjalankan tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi setiap pejabat publik dan menanpakan perilaku sebagai pamong yang

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    5

    patut diteladani oleh semua pihak, yang pada gilirannya akan dapat memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat.

    Antara Harapan dan Kenyataan1. Birokrat sebagai Administrator

    Seorang birokrat sebagai administrator memerlukan pengetahuan luas, memiliki ketrampilan dan menguasai perkembangan teknologi informasi. Sebagai seorang pelaksana tugas di lembaga pemerintahan harus dapat menjadi sebagai konseptor, perencana, dan pelaksana, hal ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugas kesehariannya ia mampu menyelesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini terkait dengan persoalan pelayanan kepada masyarakat, demi kepentingan dan kemajuan bangsa dan negara.

    Di era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) saat ini tidak sedikit birokrat yang tidak mampu menguasai dan menggunakan teknologi informasi secara baik, bahkan jika diamati di lembaga-lembaga pemerintahan sering ditemui staf administrasi di kantor-kantor pemerintahan, tidak menggunakan komputer untuk kepentingan tugasnya sebagai seorang administrator, tetapi lebih banyak digunakan permainan game, sehingga sering banyak tugas-tugas yang seharusnya diselesaikan dalam waktu satu atau dua jam, bisa tertunda sampai berjam-jam atau

    bahkan berhari-hari. Kondisi ini yang sering membuat masyarakat bosan dengan berbagai keterlambatan dalam soal surat menyurat, dan yang selalu menjadi alasan klasik yang dilontarkan oleh staf tersebut adalah belum ditanda tangan oleh bos/atasannya karena tidak berada ditempat.

    Berdasarkan realitas yang nampak di daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara, kondisi seperti yang disebutkan di atas banyak dipengaruhi oleh sikap kepala daerah (Bupati/Walikota) terpilih yang lebih banyak mendengarkan tim sukses dibandingkan dengan mendengarkan staf atau penjabat yang berkompeten dalam bidangnya. Setiap penjabat aselon dua (II) atau tiga (III) yang diangkat oleh Bupati/Walikota, tidak lagi berdasarkan pada kapasitas atau kapabilitas para penjabat yang diangkat, dan bahkan tidak memperhatikan pendidikan penjenjangan karier seperti diklat PIM I, PIM II maupun PIM III, dan bahkan pengangkatannya lebih ditentukan oleh tim sukses pilkada, dan peran Badan Pertimbangan Jabatan (Baperjakat) hanyalah bersifat formalitas.

    Sebagai contoh misalnya, mulai sekitar bulan Juli 2011 sampai saat ini masih terjadi kesalahpahaman antara Walikota Manado dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, karena Walikota Manado mengganti beberapa pejabat aselon II tanpa konsultasi dengan Gubernur, seperti

  • 6Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    penggantian Sekretaris Kota Manado. Berdasarkan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku bahwa setiap pengangkatan pejabat aselon II harus dikonsultasikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur. Kasus pemberhentian sepihak terhadap pejabat Sekretaris Kota Manado berakhir di PTUN dan dimenangkan oleh pejabat Sekretaris Kota yang berhentikan. Contoh yang lain lagi, di Kabupaten Minahasa Selatan, penggantian pejabat dan pelantikannya sering dilakukan secara mendadak dan dilakukan malam hari. Lain lagi peristiwa yang dilakukan oleh Walikota Tomohon Sulut yang terpilih (saat ini non aktif, dan ditahan dilembaga pemasyarakatan Cipanang karena tersangkut kasus Korupsi), setelah dilantik oleh Mendagri langsung melantik pejabat aselon II dan III di lembaga pemasyarakatan Cipinang. Fenomena-fenomena demikian bukan barang baru yang ditampilkan oleh setiap pejabat Bupati/Walikota di era Otonomi Daerah saat ini.

    Contoh arogansi pejabat kepala daerah terpilih yang demikian itulah yang menyebabkan seringkali banyak penjabat tidak berada ditempat karena harus mengikuti ke mana Bupati/Walikota berkunjung, walaupun itu bukan bidangnya, sebab kalau tidak ikut serta dalam rombongan kunjungan kerja, bisa berdampak pada penggantian pejabat. Akibat perilaku demikian birokrasi pelayanan publik tidak

    berjalan optimal, sehubungan dengan tujuan pelaksanaan desentralisasi oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid (2003), mengemukakan bahwa di masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan kewenagan pemerintah daerah . . .. Pada saat ini kewenangan pemerintah daerah sudah begitu luas dalam mengembangkan potensi yang terdapat di daerahnya, termasuk di dalamnya pelayanan birokrasi terhadap kepentingan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Sarundajang (2005) mengemukakan bahwa Otonomi Daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Banyak keluhan yang disampaikan aparatur di daerah yaitu kurangnya partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan termasuk dalam hal pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Secara sosiologis dan psikologis, masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang taat pada pemerintahnya, ketaatan dan partisipasi masyarakat tersebut akan lahir dengan sendirinya apabila mereka mendapat perlakuan yang seimbang dan kebutuhan pokoknya terpenuhi. Pelayan yang seimbang dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat merupakan konsekwensi dari implementasi otonomi daerah.

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    7

    Oleh sebab itu, sebagai seorang birokrat yang berada pada garis depan pelayanan publik, seyogiyanya mengutamakan pengabdiannya kepada masyarakat (Sapta Prasetya Korpri), ketimbang hal-hal yang tidak berdampak pada peningkatan partisipasi masyarakat.

    Kelemahan dalam pelayanan dan rendahnya partisipasi masyarakat banyak dijumpai pada saat pemberian kewenangan ke daerah secara luas, karena kewenangan tersebut tidak dilaksanakan secara optimal, karena kosentrasi pejabat yang ada lebih terfokus pada melayani Bupati/Walikota ketimbang melayani masyarakat. Tidak optimalnya pembayaran PBB oleh masyarakat berdampak pada rendah Pedapatan Asli Daerah (PAD), yang implikasi pada kurangnya dana untuk pembangunan, maka tidak mengherankan banyak pejabat di daerah yang ikut jadi pengemis ke pusat untuk meminta tambahan Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), gunan menutupi kekurangan dana dari PAD sebagai sumber utama APBD. Kondisi demikian lebih dipeparah oleh perilaku anggota DPRD yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan konstituennya.

    2. Perilaku Birokrasi dalam Pelayanan Publik

    Sebagaimana telah diutarakan pada bagian sebelumnya, yang

    banyak mempengaruhi berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah terletak pada para pelaku otonomi daerah itu sendiri. Para pelaku otonomi daerah adalah mereka yang diberi kewenangan dan otoritas untuk mengelolah daerahnya, yaitu Bupati/Walikota dan seluruh aparat birokrasi yang berada di bawahnya. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat ditentukan oleh bagaimana perilaku aparatur di daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara bertanggung jawab dan penuh pengabdian, serta didukung oleh kerjasama yang baik antar aparatur yang ada dalam membentuk tim kerja (team work) yang solid.

    Kaloh (2002), mengemukakan bahwa salah satu prasyarat tercapainya team work dan konvergensi adalah adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi pemerintahan. Yang menjadi persoalan sekarang di daerah adalah banyak pejabat antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang kurang memahami tugas pokok dan fungsinya, sehingga dalam perencanaan pembangunan daerah banyak antar SKPD yang saling tumpang tidih program, hal ini sering disebabkan oleh ego sektoral dan kurang koordinasi antar SKPD dalam penyusunan program kerja. Kondisi demikian sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kaloh (2002), problematik yang dihadapi oleh birokrasi pemerintahan kita adalah

  • 8Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    seringkali sesuatu urusan ditangani oleh banyak instansi sehingga muncul masalah, sulit untuk melacak sumber permasalahan. Dalam kondisi sedemikian ini sulit membangun team work dan konvergensi.

    Perilaku ego sektoral sering ditampilkan oleh para pejabat publik, yang tidak mengutamakan pelayanan tapi hanya lebih mempertontonkan kebolehannya dihadapan atasannya (Bupati/Walokota), agar supaya dipandang lebih piawai dalam menyusun program, akan tetapi tidak memperhatikan tupoksinya. Dampak dari perilaku demikian, banyak program kerja yang saling tumpang tindih karena sudah ditangani oleh beberapa SKPD, sehingga dalam satu daerah otonom akan mengalami kesulitan untuk membentuk tim kerja yang solid, mampu berkoodinasi antar SKPD, sehingga tujuan terbentuknya daerah otonom yaitu mendekatkan pelayanan pada publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

    Sebagai contoh kasus misalnya penanganan beberapa obyek wisata yang terrdapat di Propinsi Sulawesi Utara, seperti Taman Laut Bunaken, dan obyek wisata religi Bukit kasih di Kanonang Minahasa. Pada suatu kesempatan saya mendampingi salah seorang teman yang sedang melakukan penelitian tentang Privatisasi Kebijakan Publik tentang obyek wisata taman laut Bunaken. Dalam proses pengumpulan data, kami menanyakan pada dinas

    pariwisata Provinsi Sulawesi Utara tentang siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan obyek wisata taman laut Bunaken, kami mendapat jawaban bahwa yang bertanggung jawab adalah pemerintah kota manado, begitu sebaliknya waktu ditanyakan pada dinas pariwisata kota manado, jawabannya adalah pemerintah Provinsi, karena obyek wisata taman laut bunaken berada di beberapa wilayah kabupaten kota.

    Perilaku saling lempar tangung jawab seperti contoh kasus tersebut memberikan gambaran tentang kinerja aparatur dalam pelayanan publik. Saling lempar tanggung jawab, tumpang tindih program merupakan celah yang terbuka untuk terjadi manipulasi dan korupsi. Di Provinsi Sulawesi Utara tidak sedikit pejabat yang terlibat kasus manipulasi dan korupsi sehingga mereka berurusan dengan pihak berwajib dan bahkan sudah banyak yang masuk lembaga pemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Syaukani, Gaffar dan Rasyid (2003), bahwa otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah.

    Raja-raja kecil dan korupsi tidak akan lahir di daerah otonom, jika Bupati/Walikota dalam menjalankan sistem pemerintahannya secara demokratis. Sebab sistem pemerintahan demokratis memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengontrol

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    9

    jalannya pemerintahan, dan pihak pemerintah lebih terbuka dalam hal penyusunan program (Musrembang sesuai undang-undang 32 tahun 2004) dan penggunaan anggaran publik benar-benar untuk kepentingan publik. Tidak terjadi tumpang tindih program pembangunan dan tidak membuka ruang bagi koruptor akan berdampak positif bagi kemajuan masyarakat, maka tujuan utama utama pembentukan otonomi daerah dapat terealisasi.

    Penutup Pelaksanaan otonomi daerah

    pada prinsipnya adalah percepatan pertumbuhan dan pembangunan daerah, serta mendekatkan pelayanan

    pemerintahan pada masyarakat di daerah. Dalam sistem pemerintahan daerah yang bersifat desentaristik seperti sekarang ini, tanggung jawab lebih bertumpuh pada kepala daerah yaitu Bupati/Walikota, untuk dapat mengoptimalkan dan memberdayakan segala sumberdaya yang ada di daerahnya, termasuk diantaranya sumberdaya manusia secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk mencapai hal tersebut, seorang kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersifat demokratis, transparan dan akuntabel, yang pada gilirannya birokrasi pelayanan publik akan berjalan secara optimal.

  • 10

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Daftar Pustaka

    Kaloh, J., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global, Rineka Cipta, Jakarta.

    Lumingkewas, Lexie A., dan Evi E. Masengi, 2008, Reformasi Birokrasi Pemerintahan, dalam perspektif pelayanan publik, Wineka Media, Malang.

    Sarundajang, S.H., 2005, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Kata Hasta, Jakarta.

    . . . . . ., 2005, Birokrasi Dalam Otonomi Daerah, uapaya mengatasi kegagalan, Kata Hasta, Jakarta.

    Syaukani, Afan Gaffar, dan M. Ryaas Rayid, 2003, Otonomi Daerah, dalam negara kesatuan, kerjasama Pustaka Pelajar dan Pusat Kajian Etika Politik dan Pemerintahan, Jakarta.

  • Edisi 3 / September / 2011

    11

    1 Habel M. Suwae, mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM, dan Bupati Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.

    2Heru Nugroho, Guru Besar Sosiologi Fisipol UGM 3 Djoko Suryo, Guru Besar Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada

    Pelayanan Birokrasi Papua dalam Era Otonomi Khusus

    Oleh : Oleh Habel M. Suwae 1, Heru Nugroho 2, Djoko Suryo 3

    II

  • 12

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Pendahuluan

    Sebagaimana diketahui, melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus,

    Papua telah diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan peraturan perundangan. Dengan Otsus para elite politik di Papua

    kebanyakan memilih bersikap terbuka terhadap masuknya

    para investor, baik dari dalam dan luar negeri untuk tujuan mengembangkan Papua lebih

    maju. UU Otsus itu pun memang dengan eksplisit menyebutkan bahwa Papua dikategorikan

    sebagai daerah tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia Tengah dan apalagi

    wilayah Indonesia Barat.

    Pilihan strategis politik pembangunan seperti itu membawa konsekuensi daerah ini terus berkembang baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Dalam bidang politik, proses demokrasi terus bergulir tercermin

    dalam proses Pemilu Kepala Daerah secara langsung. Lebih dari itu melalui prinsip demokrasi politik, terus dipakai dalam untuk mengubah paradigma pembangunan yang lebih partisipatif. Maka di beberapa wilayah Papua, terutama Kabupaten Jayapuran telah menerapkan model pembangunan partisipatif dalam upaya memberdayakan masyarakat. Di Kabupaten Jayapura telah meluncurkan program pembangunan yang diberi nama Program Pemberdayaan Distrik dan Kapung, atau yang lebih populer dengan singkatan PPDK.1

    Konsep dan paradigma pembangunan ini diluncurkan sebagai respons atas semakin meningkatnya kecenderungan pola pembangunan sentralistik yang lebih menggunakan pendekatan dari atas-bawah (topdown approach). Berbagai program pembangunan pada saat itu lebih banyak prakarsa datang dari pemerintah, sementara prakarsa dari masyarakat kurang terakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan. Partisipasi pun kemudian dipahami menurut tafsir tunggal pemerintah, yaitu yang dimaknai seberapa jauh masyarakat melaksanakan program pembangunan yang dirancang dari atas, dari yang telah ditetapkan oleh

    1 Urain lebih lengkap terdapat dalam Poli dan Dahlan Abubakar, 2008, Suara Hati yang Memberdayakan: Gagasan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Jayapura, Makasar: Identitas.

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    13

    pemerintah.

    Dengan PPKD, prinsip pembangunan partisipatif tersebut dilaksanakan secara komprehensif dengan sasaran utama adalah menjadikan warga sebagai subyek pembangunan, sehingga mandiri. Secara konkret sasaran PPKD adalah warga masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Masyarakat lokal adalah sejumlah warga yang sudah cukup lama berdomisili pada lokasi tertentu yang mengembangkan kultur atau pandangan hidup bersama (common way of living) yang lama-lama menjadi identitas. Di Papua, masyarakat lokal ini mewujud dalam komunitas berbasis etnis yang tersebar di berbagai wilayah baik di pantai dan daratan maupun di pegunungan, serta semuanya membangun identitasnya masing-masing. Di samping itu juga terdapat masyarakat pendatang yang datang dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang etnis, agama, dan kultur yang beragam, dan mereka itu juga mempunyai identitas masing-masing.

    Masyarakat Papu kemudian berkembang menjadi masyarakat yang plural, dan masing-masing memiliki identitasnya sendiri. Mereka itu saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan masing-masing menunjukkan indentitasnya. Dinamika interaksi sosial itu kemudian membawa implikasi pada dua kemungkinan, yaitu menuju proses integrasi atau

    konflik. Melalui PPKD, keberagaman itu justru dijadikan sebagai modal pembangunan dengan mendorong ke arah tujuan bersama yaitu peningkatan kesejahteraan berbasis kemandirian dan keberdayaan. Oleh karena itu multikulturalisme menjadi pilihan utama dalam mengkonstruksi identitas kolektif yang bernama Papua. Dengan kata lain, keberagaman dipandang sebagai potensi integrasi, bukan sebagai faktor yang memecah belah.

    Bersamaan dengan itu, Papua menjadi wilayah yang terbuka bagi masuknya berbagai aktivitas baik ekonomi, politik, maupun sosial-budaya yang dibawa oleh arus modernisasi. Persinggungan dengan dunia luar membuat masyarakat Papua berelasi dengan berbagai budaya dan kepentingan lain yang terus melakukan interaksi secara intens.

    Berangkat dari realitas masyarakat Papua yang berkembang semakin plural, pertanyaan menarik adalah bagaimana pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khusus sekarang ini. Apakah bias primordialisme seperti baik buruknya pelayanan birokrasi disebabkan oleh faktor kesamaan etnis, agama, dan kekerabatan, atau berkembang menjadi birokrasi modern yang mengutamakan profesionalisme dan merit system.

  • 14

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Birokrasi Primordial

    Pada era reformasi, pada kurun 1998-1999, atas inisiatif Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disebut Gus Dur Irian Jaya diubah menjadi Papua. Sejak itu kepapuaan kembali dihidupkan sebagai identitas alternatif dari identitas Irian Jaya yang telah identik dengan Indonesia beserta penindasan dan praktik kolonialismenya. Perasaan satu identitas ini disatukan oleh memori penderitaan kolektif dan kongruensi aspirasi yang bersumber dari mitologi sebagian besar suku bangsa masing-masing tentang milenium baru dan mesianisme. Pada era reformasi penggunaan nama Papua menjadi penanda bagi aspirasi bersama itu. Kongruensi aspirasi dan identitas kepapuaan baru pada tahap yang sangat dini. Kepapuaan cenderung berhenti sebagai identitas yang dihayati secara etnosentris dan emosional.

    Perubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua, bagi rakyat Papua asli merupakan momen yang luar biasa dan berkaitan dengan usaha mencari identitas. Bagi sebagian besar warga Papua, penamaan (naming) memiliki signifikansi tinggi terhadap tumbuhnya kepercayaan diri dan pengakuan eksistensial dari dunia luar tentang Papua. Berkembang perasaan di kalangan warga Papua, setelah mendapatkan kembali nama Papua yang diakui secara resmi oleh pemerintah pusat, seperti terlahir kembali. Konstruksi identitas

    kepapuan yang selama ini lebih dibentuk oleh narasi-narasi dominan, maka setelah kembali bernama Papua, terbuka ruang bagi warga Papua untuk mengeskspresikan diri identitas kepapuannya.

    Struktur-struktur masyarakat Papua yang terdiri dari kurang lebih 250 suku bangsa bersifat otonom satu sama lain. Setiap kelompok suku secara kultural mandiri dan unik, tidak tunduk pada yang lain, dan setiap suku memiliki kosmologi yang memandang dirinya sebagai pusat dari semesta. Setiap kepala suku atau pemimpin lokal tidak memiliki otoritas yang penuh kecuali sebagai juru bicara masyarakatnya. Interaksi yang terbatas di masa lalu belum memungkinkan tumbuhnya kesadaran budaya yang relativistik dan toleran. Oleh karena itu etnosentrisme menjadi persoalan dasar di dalam konsolidasi rakyat Papua. Di dalam kenyataannya budaya semacam ini sulit tumbuh suatu kepemimpinan yang diakui oleh semua kelompok suku bangsa.2

    Masyarakat Papua sendiri dalam mengkonstruksi identitas kepapuannya, sebagian ada yang melihatnya secara konservatif dengan latar belakang etnis sebagai basis konstruksi identitas. Mereka menganggap bahwa orang Papua adalah orang Papua asli, sementara

    2 Bandingkan dengan studi yang sudah dilakukan oleh Johszua Man-soben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, (Jakarta-Leiden: LIPI-RUL).

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    15

    penduduk yang datang dari luar etnis Papua dianggap sebagai non-Papua. Fenomena etnosentrisme ini semakin mengental ketika sejumlah elite politik menafsir Otonomi Khusus (Otsus) juga dari perspektif esensialisme yang berakar pada geneologis. Oleh karena itu, dalam politik lokal sekarang elite politik lokal menghendaki adanya Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati harus orang Papua asli.3

    Apakah pemahaman yang bias etnosentrisme itu mempunyai implikasi terhadap pelayanan birokrasi? Dalam banyak kasus sedikit-banyak memang memiliki dampak terhadap ketidaknetralan birokrasi dalam memberikan pelayanan terhadap publik. Secara teoretik pemahaman seperti itu sering disebut sebagai birokrasi yang tidak netral. Ada anggapan bahwa berlainan dengan di negara-negara maju, aparat birokrasi di negara-negara berkembang birokrasi sering menunjukkan diri sebagai mesin politik yang tidak netral, dan tidak mungkin netral (King, 1989). Mesin politik itu kadang mencerminkan nilai-nilai serta norma-norma yang kurang rasional, tidak obyektif, dan

    3 Sejak tahun 2009, diterbitkan Peraturan Pemerintah Daerah Otonomi Khusus yang merupakan keputusan politik melalui mekanisme pembahasan di DPRD Papua yang menetapkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakili Walikota harus orang Papua asli.

    senantiasa penuh muatan politik. Jadi, birokrasi seringkali merupakan bagian dari dominasi politik oleh suatu suku, daerah, atau agama, atau kelompok-kelompok primordial lainnya. Meskipun sebagai birokrasi ia memiliki struktur yang serupa dengan yang ditemui di negara-negara industri maju, namun isinya dan perilakunya secara kental diwarnai oleh kaitan primordialnya (Kuntjoro-Jakti, 1980).

    Birokrasi semacam itu dikenal sebagai birokrasi primordial (Kartodirdjo, 1988). Dalam birokrasi ini, hubungan-hubungan yang ada secara interen dan eksteren adalh hubungan antara patron dengan klien yang bersifat sangat pribadi dank has. Dalam hubungan semacam itu, di jajaran birokrasi akan timbul masalah pertukaran antara loyalitas dan pemberian ganjaran. Yang loyal kepada patron diberi sumber ekonomi dan status sosial, dan sebaliknya yang tidak loyal akan dibatasi sumber ekonomi dan karirnya. Dampak ikutan atas situasi itu merembes ke praktik penyimpangan kekuasaan, yang lepas dari konstitusi, perundang-undangan, atau pun peraturan-peraturan. Perilaku birokrasi seperti itu sangat terlihat pada era Orde Baru, di mana tidak jarang perilaku birokrasi menyerupai interaksi yang bersifat transaksional. Artinya, terdapat harga yang harus dikeluarkan oleh seseorang ketika berurusan dengan birokrasi.

    Dalam konteks birokrasi di

  • 16

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Papua sekarang, memang ada juga kecenderungan aparat birokrasi yang dalam memberikan pelayanan masih berkarakter sebagaimana yang ditunjukkan birokrasi primordial. Akan tetapi, karena fakta menunjukkan bahwa Papua berkembang sebagai masyarakat plural, dan bersamaan dengan itu arus demokratisasi juga terus berlangsung, maka birokrasi pemerintah Papua terus berusaha menuju ke arah profesionalisme dan merit sistem. Meskipun demikian, dalam menjalankan pelayanan publik, birokrasi pemerintah Papua berusaha menerapkan prinsip multikulturalisme.

    Sebagai ilustrasi, dalam menerapkan kebijakan pada sektor birokrasi pemerintahan, Pemkab Jayapura selama ini juga menghindari prinsip geneologis dan etnosentrisme. Eselonisasi dalam jajaran birokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan putra daerah. Merit sistem benar-benar diterapkan, dalam arti penunjukan pejabat eselon berdasarkan profesionalisme, dan bukan atas dasar sentimen etnis. Di Papua jabatan seperti Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, dan pimpinan proyek strategis, banyak dijabat oleh pegawai yang berasal dari berbagai daeah seperti Jawa, Bali, Batak, Bugis, Menado, dan lain-lain.4

    Sedangkan dalam bidang sosial-

    4 Dikutip dari Profil Kabupaten Jayapura, 2009, Sambutan Bupati Kabu-paten Jayapura.

    ekonomi, Pemkab Jayapura, sama sekali tidak menerapkan kebijakan yang mengarah pada segregasi sosial. Semuanya dibiarkan tumbuh secara natural, dalam arti mengikuti hukum pasar. Karena itu seperti di daerah lain, di Papua sektor perdagangan banyak dikuasai oleh etnis Tionghoa dan Bugis Makasar. Sedangkan etnis Jawa banyak bergerak pada sektor informal dan pertanian. Meskipun demikian warga Papua asli kemudian mulai masuk ke dalam berbagai sektor strategis tersebut, sehingga membentuk identitas baru yang mengaburkan stigma sosial, seperti orang Papua tertinggal dan tidak transformatif. Di sektor pertanian, kakao misalnya, sekarang telah menjadi identitas baru warga Kabupaten Jayapura, karena baik etnis Jawa maupun penduduk asli telah menjadi subyek dalam budidaya tanaman kakao, yang sekarang sangat populer sebagai identitas warga Jayapura.5

    Semua itu menunjukan bahwa dalam menjalankan pelayanan publik, birokrasi Papua sangat mempertimbangkan kepentingan publik yang semakin plural. Orientasi terhadap pelayanan publik ini juga ditegaskan pada komitmen pemerintah Kabupaten Papua, bahwa setiap warga masyarakat adalah ibarat raja yang harus dilayani. Bukan sebaliknya, di mana aparat birokrasi yang fungsi utamanya

    5 Profil Kabupaten Jayapura, 2009, ibit.

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    17

    adalah melayani masyarakat justru minta dilayani. Pemkab Papua juga membuka kotak aduan bagi warga masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan baik dari jajaran aparat birokrasi.

    Begitulah, pilihan birokrasi profesional dan berdasarkan merit sistem itu sesuai dengan realitas empirik masyarakat Papua yang cenderung semakin plural. Masyarakat Papua sekarang telah berkembang menjadi masyarakat yang plural, baik dilihat dari latar belakang etnis, agama, dan latar belakang sosial ekonomi. Dilihat dari keragaman latar belakang etnis, masyarakat Papua terdiri atas suku Jawa, Bugis, Maluku, Minang, dan Batak. Dari aspek keagamaan, masyarakat Papua juga terdiri dari berbagai macam agama, seperti Kristen-Protestan, Khatolik, Islam, dan ada juga Hindu.6 Sementara itu dilihat dari latar belakang sosial ekonomi, masyarakat Papua juga bersifat beragam.

    Dorong Partisipasi Publik

    Birokrasi pemerintah Papua juga terus mendorong partisipasi publik, agar terlibat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, dan distribusi hasil. Kabupaten Jayapuran misalnya, telah menerapkan model pembangunan partisipatif dalam

    6 Dikutip dari Kabupaten Jayapura dalam Angka, 2009, Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura.

    upaya memberdayakan masyarakat. Di Kabupaten Jayapura telah meluncurkan program pembangunan yang diberi nama Program Pemberdayaan Distrik dan Kapung, atau yang lebih populer dengan singkatan PPDK.

    Konsep dan paradigma pembangunan ini diluncurkan sebagai respons atas semakin meningkatnya kecenderungan pola pembangunan sentralistik yang lebih menggunakan pendekatan dari atas-bawah (topdown approach). Berbagai program pembangunan pada saat itu lebih banyak prakarsa datang dari pemerintah, sementara prakarsa dari masyarakat kurang terakomodasi dalam proses perencanaan pembangunan. Partisipasi pun kemudian dipahami menurut tafsir tunggal pemerintah, yaitu yang dimaknai seberapa jauh masyarakat melaksanakan program pembangunan yang dirancang dari atas, dari yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

    Pendekatan pembangunan yang top-down tidak mampu menggerakkan sikap-sikap aktif pada masyarakat sendiri untuk berkreasi dalam pembangunan. Sementaran dalam teori pembangunan menjelaskan, bahwa pembangunan belum dianggap berhasil manakala dalam proses pelaksanaannya belum dapat membangkitkan sikap partisipatif pada masyarakat, sehingga masyarakat sendiri yang akahirnya mampu secara mandiri melanjutkan

  • 18

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    usaha pembangunan.

    Dengan PPKD, prinsip pembangunan partisipatif tersebut dilaksanakan secara komprehensif dengan sasaran utama adalah menjadikan warga sebagai subyek pembangunan, sehingga mandiri. Secara konkret sasaran PPKD adalah warga masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Masyarakat lokal adalah sejumlah warga yang sudah cukup lama berdomisili pada lokasi tertentu yang mengembangkan kultur atau pandangan hidup bersama (common way of living) yang lama-lama menjadi identitas. Di Papua, masyarakat lokal ini mewujud dalam komunitas berbasis etnis yang tersebar di berbagai wilayah baik di pantai dan daratan maupun di pegunungan, serta semuanya membangun identitasnya masing-masing. Di samping itu juga terdapat masyarakat pendatang yang datang dari berbagai daerah dan memiliki latar belakang etnis, agama, dan kultur yang beragam, dan mereka itu juga mempunyai identitas masing-masing.

    Masyarakat Papua kemudian berkembang menjadi masyarakat yang plural, dan masing-masing memiliki identitasnya sendiri. Mereka itu saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan masing-masing menunjukkan indentitasnya. Dinamika interaksi sosial itu kemudian membawa implikasi pada dua kemungkinan,

    yaitu menuju proses integrasi atau konflik. Melalui PPKD, keberagaman itu justru dijadikan sebagai modal pembangunan dengan mendorong ke arah tujuan bersama yaitu peningkatan kesejahteraan berbasis kemandirian dan keberdayaan.

    Penutup

    Begitulah, pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khsusus berkembang secara dinamik. Pada awalnya memang terdapat kecenderungan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan politik oleh pemerintah pusat dalam bentuk Otsus, disikapi oleh sebagian warga Papua secara primordialistik. Birokrasi pun kemudian menunjukkan karakter birokrasi primordial, sehingga personil, sistem rekreuitmen, dan pelayanan pun ada kecenderungan bias etnosentrisme.

    Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, birokrasi pemerintah Papua berkembang ke arah yang lebih menunjukkan karakter birokrasi profesional dengan menerapkan merit sistem. Karakter masyarakat Papua sendiri yang terbuka dan semakin plural, menjadi pertimbangan utama mengedepankan birokrasi rasional, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profesionalisme. Bersamaan dengan itu, birokrasi pemerintah juga terus mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan menuju pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

  • Edisi 3 / September / 2011

    19

    * Dosen tetap pada Pasca Sarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri Cilandak dan Unlam Banjarmasin Jurusan Ilmu Pemerintahan,

    Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan. Email: [email protected]

    Reformasi Birokrasi dan Implementasi Good Governance

    Oleh : Dr. Muhadam Labolo *

    IIIFo

    to :

    Ant

    ara

  • 20

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Pendahuluan

    Reformasi birokrasi merupakan upaya penataan mendasar yang diharapkan dapat berdampak pada perubahan

    sistem dan struktur. Sistem berkaitan dengan hubungan antar

    unsur atau elemen yang saling mempengaruhi dan berkaitan membentuk suatu totalitas. Perubahan pada satu elemen kiranya dapat mempengaruhi unsur lain dalam sistem itu

    sendiri. Struktur berhubungan dengan tatanan yang tersusun secara teratur dan sistematis. Sedangkan perubahan struktur

    mencakup mekanisme dan prosedur, sumber daya manusia,

    sarana dan prasarana, organisasi dan lingkungannya dalam

    kerangka pencapaian tujuan efisiensi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi keseluruhan aspek yang

    memungkinkan birokrasi memiliki kemampuan yang memadai

    dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya. Kegagalan

    birokrasi dalam melayani masyarakat selama ini sekaligus

    menggambarkan buruknya penyelenggaraan pemerintahan baik di level pemerintah pusat

    maupun daerah.

    Urgensi reformasi birokrasi di Indonesia setidaknya di dorong oleh sejumlah catatan penting, pertama, meningkatnya belanja aparatur disebabkan oleh bertambahnya rekrutmen pegawai tanpa pengendalian yang jelas, disamping membesarnya struktur birokrasi pemerintahan. Peningkatan belanja aparatur dapat dilihat dari hasil evaluasi FITRA (2011), dimana 124 pemerintah daerah cenderung memperlihatkan gejala kebangkrutan. Kabupaten Lumajang menjadi contoh nyata dimana belanja aparatur membengkak hingga mencapai 83% dari total APBD. Ini berarti, lebih kurang 2% pegawai kemungkinan menikmati belanja aparatur, sisanya sebesar 17% diperebutkan oleh 98% masyarakat dalam bentuk alokasi belanja modal/pembangunan. Bertambahnya pegawai hasil rekrutmen tanpa kompetensi yang jelas serta kebiasaan mengembangkan struktur organisasi membuat pemerintah pusat maupun daerah mengalami defisit anggaran layaknya gali-lubang, tutup-lubang. Kedua, membengkaknya ongkos demokrasi (pemilukada) mengakibatkan beban kas pemerintah daerah khususnya mengalami peningkatan signifikan. Ironisnya, perhelatan tersebut tak jelas melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang handal. Besarnya anggaran pemilukada, serta dampak yang ditimbulkan terhadap birokrasi mengakibatkan pemerintah kelimpungan dalam menutup defisit

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    21

    anggaran. Lebih dari itu birokrasi mengalami dilemma loyalitas akibat terpecahnya konsentrasi pada setiap pesta pemilukada. Ketiga, tingginya gairah penggemukan organisasi birokrasi pemerintahan tanpa perencanaan dan analisis yang jelas memicu pembiayaan dan rekrutmen pegawai dalam jumlah tak sedikit. Akibatnya, birokrasi di daerah mengalami overload, atau bahkan kekurangan, khususnya daerah di luar pulau Jawa. Disisi lain rendahnya pendapatan asli daerah menciptakan ketergantungan pada pemerintah pusat, sementara belanja pemerintah daerah jauh dari efisiensi, bahkan tak terkontrol akibat tingginya beban organisasi. Keempat, meluasnya perilaku koruptif mendorong birokrasi kehilangan kepercayaan sebagai pelayan masyarakat. Kelima, lemahnya pengawasan mengakibatkan pemerintah cenderung bertindak konsumtif, boros, sewenang-wenang dan tak transparan. Keseluruhan catatan negatif tersebut di dukung pula oleh perilaku buruk birokrasi dalam pelayanan masyarakat seperti sikap yang lamban dan reaktif, arogan, nepotisme, berbelit-belit, boros, bekerja secara naluriah (insting), enggan berubah, serta kurang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah sebaiknya reformasi birokrasi dilakukan, apakah tantangan yang dihadapi, serta bagaimanakah desain reformasi

    birokrasi yang mesti dilakukan dalam meminimalisasi meluasnya masalah yang dihadapi? Tulisan singkat ini akan mendeskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, karakteristik pemerintahan yang baik, masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental. Hal itu disadari bahwa upaya reformasi birokrasi merupakan bagian dari grand desain penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance). Konsep ini diharapkan mampu menjembatani suatu kondisi pemerintahan yang buruk (bad government) kearah terbentuknya pemerintah yang baik (good government). Tentu saja birokrasi pemerintahan sebagai instrument pelaksana menjadi fokus utama yang mesti diperbaiki melalui kebijakan reformasi birokrasi. Cakupan tulisan ini juga akan menyentuh reformasi birokrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah, sekalipun pada akhirnya lebih menampilkan potret masalah birokrasi di level pemerintah daerah. Bagaimanapun juga, kita semua paham bahwa reformasi birokrasi di level pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan reformasi birokrasi secara nasional.

  • 22

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Birokrasi dan Good Governance

    Konsep birokrasi sendiri lazim merujuk pada gagasan Maximilliam Weber (1864-1920). Sekalipun demikian, Albrow1 banyak mengembangkan konsep birokrasi dari berbagai sudut pandang. Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Istilah ini dimunculkan kembali oleh filosof Perancis, Baron de Grimm atas catatan Vincent de Gournay2. Cracy (kratos) sendiri menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan lain seringkali dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Statement ini setidaknya sejalan dengan pikiran Gornay dan Laski (1930), yang kemudian mendefenisikan birokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana kontrol sepenuhnya berada di tangan para pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi kemerdekaan warga

    1 Martin Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of Public Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press.2 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafin-do, Jakarta, 2000, hal.74-75.

    negara biasa3. Dua contoh lain hasil asimilasi yang sebangun dengan kata itu misalnya konsep demokrasi dan oligarkhi. Apabila sumber kekuasaan berasal dari rakyat banyak lazim disebut demokrasi. Demikian pula apabila sumber kekuasaan tersebut dikendalikan oleh sekelompok rakyat pintar (profesional) dikenal dengan istilah oligarkhi. Bahkan, lewat kalimat provokatif Michel (1962)4 menyatakan bahwa siapa yang bicara tentang organisasi, pastilah bicara tentang oligarkhi. Pada tingkat pragmatis, pelayanan urusan yang lebih rinci pastilah berhubungan dengan apa yang lazim kita sebut dengan birokrasi.

    Makna bureau (baca:biro) identik dengan kenyataan dalam birokrasi, dimana struktur di bentuk lebih banyak menyelesaikan pekerjaan di atas meja. Pejabatnya biasa duduk di belakang meja. Semua masalah relatif diselesaikan di atas meja. Logikanya, jika urusan diselesaikan di bawah meja mungkin saja bertentangan dengan makna etimologisnya. Ini bisa dimaklumi, sebab secara historis, birokrasi traditional di Perancis (abad 18) menampilkan wajah demikian, boros, eksploitatif, represif, oportunis, kolutif, koruptif dan nepotism. Sinisme atas gejala tersebut melahirkan istilah bureaumania. 3 Laski, H, Bureaucracy, dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, vol-ume 3, New York dan London.4 Michaels, R, Political Parties, New York, 1962.

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    23

    Secara fungsional, realitas pelayanan justru menjadi lebih efisien dan efektif jika tanpa melalui meja birokrasi yang terkadang berbelit-belit dan menguras energi. Mungkin inilah yang di sebut Rahardjo (2010)5 sebagai pendekatan hukum progresif dalam pelayanan birokrasi menurut perspektif hukum. Secara faktual, kita banyak menemukan istilah biro pada struktur organisasi. Di Indonesia, di level organisasi provinsi dan pusat misalnya, terdapat jabatan biro yang dipimpin oleh seorang kepala biro setingkat eselon dua. Sebagai contoh, biro hukum, biro organisasi, biro pemerintahan, biro umum dan sebagainya. Ia membawahi sejumlah bagian dan subbagian pada level paling rendah. Bahkan, untuk membedakan secara teknis, seorang pejabat memiliki meja dengan ukuran biro atau setengah biro. Sejauh ini, tak ada istilah lain untuk ukuran meja selain biro, misalnya meja ukuran bagian atau setengah bagian.

    Pengertian kedua (kantor), merujuk pada hampir semua bentuk organisasi baik sipil maupun militer. Kita sering menyebut kantor pada hampir semua organisasi yang secara fisual terlihat melalui bangunan megah, lengkap dengan sistem dan peralatannya. Demikian pula kantor pada organisasi swasta. Dalam konteks Indonesia, struktur organisasi pemerintah daerah misalnya menggunakan istilah kantor

    5 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2010.

    untuk membedakan unit tersebut dengan dinas dan badan. Kantor menjadi unit paling kecil ukurannya sebelum menanjak menjadi Badan atau Dinas. Di level provinsi, kantor menjadi instrument pemerintah pusat di daerah, seperti kantor wilayah (kanwil) dan kantor departemen (kandep). Pada pemerintahan yang bersifat sentralistik, instrument pemerintah pusat dapat menjangkau hingga ke level pemerintahan paling rendah (dekonsentratif). Sebaliknya, pemerintahan yang bernuansa demokratik biasanya meletakkan kontrol pada level pemerintahan tertentu yang untuk selanjutnya melakukan pengawasan secara berjenjang (desentralistik).

    Dalam perspektif Weber, birokrasi adalah organisasi rasional dengan segenap karakteristik yang melekat didalamnya. Karakteristik dimaksud antara lain adanya suatu jabatan, tugas, wewenang, hierarkhi, sistem, formalitas, disiplin, profesional, kecakapan dan senioritas. Karakteristik tersebut membentuk birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan kolektif. Birokrasi, dalam makna konkrit adalah organisasi yang memiliki rantai komando berbentuk piramidal, dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, baik pada instansi militer maupun sipil. Semakin ke puncak semakin langka pemegang kekuasaan, sebab ia mengokohkan kepemimpinan dengan wewenang yang lebih luas.

  • 24

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    Sebaliknya, semakin ke bawah semakin banyak pegawai, tetapi ia semakin menunjukkan wewenang yang lebih terbatas. Kekuasaan tersebut pada akhirnya habis terbagi dalam bentuk spesialisasi dan struktur yang lebih kecil. Demikianlah kekuasaan mengalir menurut hukum alam (natural of law). Ia dimulai dari suatu kekuasaan yang maha besar, lalu mengalir kedalam struktur yang dibagi secara khusus. Dalam pendekatan ilmu alam, kekuasaan tersebut mengalir sebagaimana siklus air hujan. Dimulai dari gumpalan awan yang di pandang sebagai pemberian Tuhan (teosentris). Dari aspek ilmu pengetahuan (antroposentris), air hujan merupakan hasil serapan dari laut berupa uap akibat tekanan panas matahari yang dibawa angin membentuk gumpalan awan hitam. Tidak semua menguap, sebagian besar tersisa menjadi lautan luas. Pada suatu ketika, gumpalan awan hitam tersebut pecah menjadi butiran hujan yang jatuh dan mengumpul di suatu tempat, apakah terserap oleh akar pohon atau terkumpul pada wadah perbukitan yang mengalir melalui sungai-sungai besar dan kecil menuju laut. Siklus air hujan secara sederhana dapat kita persamakan dengan siklus kekuasaan. Kekuasaan lahir dari rakyat kebanyakan (demokrasi), sekalipun dalam teori kedaulatan dapat bersumber dari Tuhan (teokrasi) dan atau sedikit orang (aristokrasi). Tekanan konflik dan sejumlah

    motivasi tertentu mendorong terbentuknya representasi pemegang kekuasaan. Para pemegang kekuasaan (pemerintah) baik diyakini merupakan representasi dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) atau hasil pilihan masyarakat (demokrasi) secara konkrit membentuk organisasi pemerintahan yang untuk selanjutnya mengalirkannya dalam bentuk struktur-struktur formal birokrasi dari tingkat pusat hingga level pemerintahan paling rendah. Birokrasi pada akhirnya dapat dipandang sebagai cerminan dari pelembagaan kekuasaan yang mengalir deras dari tingkat atas hingga bawah. Dari aspek ini birokrasi secara praktis merupakan instrument/alat dari kekuasaan untuk mencapai tujuan pemimpin maupun tujuan bersama yang diemban oleh pemimpin dimaksud. Pada contoh yang lebih nyata, seorang presiden hasil pilihan rakyat memiliki kekuasaan luas. Kekuasaan tersebut dialirkan secara hirarkhis melalui Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala Desa. Pada level gubernur, kekuasaan dibagi berdasarkan jumlah wewenang yang diterima, lalu dilembagakan dalam struktur formal seperti biro pemerintahan, bagian pemerintahan dan seterusnya. Demikian pula aliran kekuasaan pada level kabupaten/walikota hingga pemerintah desa. Kekuasaan dalam konteks ini mengalami formalisasi yang dirinci dan dipertanggungjawabkan secara

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    25

    jelas. Inilah yang disebut dengan wewenang (authority). Dalam kaitan itu, birokrasi hadir dan merujuk pada bagaimana cara pemerintah melaksanakan dan membuat peraturan-peraturan yang sah secara sosial. Keabsahan tersebut diharapkan mampu merefleksikan suatu pemerintahan yang baik dengan berbagai ciri yang terkandung didalamnya.

    Seperti digambarkan oleh Mark Robinson (2000:417), fenomena pemerintahan dewasa ini telah meluas tidak saja pada dunia pemerintah semata, tetapi juga pada ruang non pemerintah seperti perusahaan. Upaya-upaya dalam rangka penerapan kekuasaan melalui serangkaian mekanisme untuk menjamin akuntabilitas, legitimasi dan tranparansi pada berbagai sektor diluar pemerintah menunjukkan gejala pemerintahan yang semakin menguat. Setidaknya hal ini terlihat dalam pembentukan serangkaian aturan atau struktur otoritas dalam komunitas tertentu yang memainkan peran atau fungsi pengelolaan sumber daya termasuk dalam menjaga tatanan sosial. Meluasnya upaya untuk menata pemerintahan kearah yang lebih baik mendorong donor international untuk mengembangkan konsep good governance (pemerintahan yang baik). Pengembangan konsep ini didorong oleh gejala meningkatnya hambatan-hambatan administrasi dan politik dalam pembangunan

    dunia ketiga. Gejala tersebut antara lain meningkatnya korupsi, kolusi, nepotisme, individualisme serta hilangnya legitimasi politik khususnya pada negara-negara yang kurang mampu dan tanpa sistem demokrasi yang memadai. Berlawanan dari konsep ideal yang ingin dikembangkan, bad government (pemerintah yang buruk) menjadi alasan bagi lembaga international untuk mengembangkan pola yang lebih mungkin dalam kaitan dengan manajemen ekonomi dan politik global.

    Dalam perspektif negara-negara maju, dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik adalah pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsinya yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya. Ini tentu saja berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah pada masyarakatnya, demikian pula kewajiban dan hak yang saling mengikat antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Kedua, tekanan dari kelompok neo-liberal yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur. Atau dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan

  • 26

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar.

    Sekalipun upaya-upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dilakukan misalnya melalui desentralisasi kekuasaan, reformasi pemerintahan, reorientasi birokrasi serta perluasan partisipasi publik untuk mengembalikan akuntabilitas, legitimasi dan transparansi, namun tidak berarti sepi dari dampak pengelolaan pemerintahan. Di negara-negara berkembang, kebijakan demikian semakin memperkokoh tumbuhnya demokrasi liberal yang pada akhirnya mendorong kembalinya pemerintah (eksekutif) meningkatkan kontrol yang lebih represif. Bagaimanapun kita masih percaya bahwa menciptakan pemerintahan yang kuat mutlak dibutuhkan bagi stabilitas politik yang dapat menjamin keberhasilan pembangunan.

    Karakteristik Good Governance

    Menurut UNDP (1997), pemerintahan yang baik setidaknya memiliki karakteristik akuntabilitas, transparansi, partisipasi, tertib hukum, responsif, konsensus, adil, efisiensi dan efektivitas, serta memiliki visi strategis. Komponen yang terlibat tidak saja domain pemerintah sebagai pelaksana, tetapi juga meliputi kelompok swasta sebagai pemegang modal dan masyarakat selaku civil society. Ketiga komponen tersebut sepatutnya berjalan secara

    paralel, saling mendukung dan saling berinteraksi. Interaksi tersebut hendaknya dilandasi oleh sejumlah karakteristik yang memungkinkan tata kelola pemerintahan berjalan baik. Dalam konteks ini, good governance lebih menitikberatkan pada aspek proses melalui pendekatan fungsional guna mencapai tujuan yang diinginkan. Uraian selanjutnya akan mengembangkan makna dari sejumlah karakteristik yang melekat dalam konsep good governance.

    Akuntabilitas, merujuk pada tanggungjawab setiap aktor dalam interaksi berpemerintahan. Meletakkan tanggungjawab satu-satunya pada sektor pemerintah bukanlah gagasan terbaik untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Tanggungjawab merupakan nilai penting yang semestinya berlaku pada semua elemen dalam proses pemerintahan. Sebagai pemerintah, tanggungjawab diperlukan sebagai konsekuensi terhadap semua jenis kontrak dari level paling bawah hingga pusat pemerintahan. Tanggungjawab merupakan nilai yang mampu menjembatani relasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keberlangsungan pemerintahan. Tanggungjawab pemerintah pada segenap stakeholders selaku pemetik manfaat setidaknya memicu tumbuhnya trust sebagai modal bagi kontinuitas pemerintahan. Tanggungjawab pada elemen masyarakat dibutuhkan agar masyarakat sadar akan apapun output

  • Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    27

    pelayanan yang diberikan merupakan upaya paling maksimal yang dapat di produk pemerintah. Pada akhirnya, tanggungjawab masyarakat tidak saja memanfaatkan seefektif mungkin apa yang diberikan oleh pemerintah, juga memelihara semua produk pelayanan yang diberikan, termasuk bertanggungjawab terhadap kegagalan pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri. Demikian pula pada elemen lain, para pemegang modal (swasta) seyogyanya memegang prinsip tanggungjawab dalam interaksi dengan masyarakat dan pemerintah. Setiap tindakan yang secara praktis berkaitan serta membebani masyarakat dan pemerintah, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara murni dan konsekuen. Kasus Lumpur Lapindo di Indonesia (2005) mereflesikan tanggungjawab keseluruhan elemen, bukan saja pemerintah, swasta dan masyarakat. Sulit membayangkan jika pihak swasta lari dari tanggungjawab tersebut, sebab ketiga elemen tadi memiliki batasan terhadap tanggungjawab masing-masing. Transparansi, merupakan karakteristik yang memungkinkannya terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap apa yang diartikulasikan pemerintah dalam hal kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Rendahnya transparansi pemerintah berkenaan dengan perencanaan dan implementasi kebijakan menunjukkan lemahnya itikad baik dalam mewujudkan tujuan

    dan harapan masyarakat. Salah satu sorotan utama dewasa ini adalah seberapa efektif pemerintah mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat melalui anggaran yang tersedia. Perencanaan yang transparan meyakinkan masyarakat tentang sejauhmana kepentingan mereka mampu didokumentasikan secara jujur oleh pemerintah. Pada tingkat yang lebih jauh, seberapa kuat komitmen pemerintah dalam merealisasikan semua perencanaan yang telah disepakati. Ketiadaan nilai transparansi seringkali ditunjukkan oleh mandeknya semua dokumen perencanaan tanpa realisasi, atau mengalami perubahan dipersimpangan jalan sesuai kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Akibatnya, semua perencanaan pemerintah kehilangan koneksitas dengan kepentingan masyarakat. Selain itu, indikasi meluasnya perilaku koruptif dalam pemerintahan semakin meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah kehilangan karakteristik transparansi dalam menjalankan fungsi pelayanan. Penyakit demikian bukan saja melanda pemerintah, demikian pula sektor swasta dan masyarakat pada tingkat tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam kasus projek Pembangunan Wisma Atlit di Kemenpora. Partisipasi, menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Partisipasi aktif masyarakat lebih jauh

  • 28

    Edisi 3 / September / 2011

    Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

    menggambarkan sejauhmana kepentingan mereka telah terakomodir dengan baik, selain melibatkan mereka dalam hal tanggungjawab yang lebih luas. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pembangunan. Faktor pendidikan menjadi kunci penting dalam mendorong kesadaran masyarakat. Masalah berikut justru terletak pada rendahnya keterbukaan pemerintah da