Upload
trantram
View
229
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945?
Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI
Pokok Permasalahan
Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan
sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. Frasa “dikuasai oleh
negara” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa
dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa
“digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam
berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” termaksud.
Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu,
itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak
eksklusif monopoli pada perusahan
negara/badan usaha milik negara
(PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya
hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan
BUMN diperlakukan relatif setara dengan
badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap
swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh
asing. Kemudian berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN
tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum
dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini.
Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang
lain dan untuk bidang ekonomi (cabang
produksi) yang lain juga tentunya, peran
BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara
dengan perusahaan swasta tetapi juga
terpaksa hanya sebagai pemain minoritas.
Hasan (2013) mengatakan bahwa
Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri
sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah
Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga
memilik kesatuan “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara;
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional; dan
(5)1; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pasal ini diatur dalam undang-undang
Perubahan Keempat UUD 1945
Text Box: 1
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
untuk menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer dalam mengelola cabang-cabang produksi yang
penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakannya lebih lanjut bahwa yang terpenting
adalah negara “tetap menguasai dan mengatur”. Selanjutnya, disampaikan sebagian kutipan dari
pemikiran Bung Hatta tersebut, yaitu:
“Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain
yang bermodal…..”1
Sektor Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi
Mencla menclenya dan tidak konsistenya
interpretasi, atau, pelaksanaan frasa-frasa
termaksud sangat mencolok di cabang produksi
minyak dan gas bumi. Di era awal kemerdekaan ketika mulai diberlakukannya UUD 1945 hingga terbitnya
UU Pertambangan tahun 1960, frasa “dikuasai oleh negara” dilaksanakan dengan pemberian konsesi
(perizinan) kepada perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch/Shell, Caltex, dan
Stanvac masih beroperasi dengan pola konsesi, yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari warisan
kolonial Belanda. Publik belum sempat mengekspus isu Pasal 33 UUD 1945 di masa ini, yang kelihatannya
disebabkan oleh buruknya kondisi sosial ekonomi dan politik. Masifnya berbagai gerakan separatist,
langkahnya berbagai komoditas pokok termasuk obat-obatan dan sembako, dan sangat rapuhnya
pemerintahan. Pembubaran dan pembentukan kabinet pemerintahan silih berganti dalam waktu yang
sangat pendek dan banyak kabinet itu yang hanya berumur dalam beberapa bulan saja. Selain itu, UUD
Indonesia mengalami perubahan beberapa kali hingga Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.
Seiring dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD
1945, UU Pertambangan tahun 1960 disyahkan. UU ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33
UUD 1945 sebagai pemberian hak pengelolaan pertambangan (kuasa pertambangan) minyak dan gas
bumi hanya kepada perusahaan negara. Perusahaan swasta utamanya swasta asing hanya diizinkan
beroperasi sebagai kontraktor perusahaan negara. Ini dituangkan secara eksplisit dalam dua pasal dan
penjelasan UU Pertambangan 1960 (Perpu No. 44/1960), sebagai berikut:
Pasal 1 huruf h berbunyi:
1 Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm. 201 – 204, dalam Hasan (2013)
Hak Eksklusif Monopoli
Pertamina
Terlihat sekali UU Pertambangan tahun 1960 memberikan kewenangan yang sangat luas kepada perusahaan negara (PT Pertamina) untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Kewenangan tersebut mencakup pengelolaan baik sektor hilir maupun sektor hulu Migas, membuat deals (menandatangani kontrak) dengan perusahaan MIgas swasta, serta yang sangat strategis sekali adalah kewenangan untuk menciptakan kebijakan (policy/bleeid) nasional di bidang minyak dan gas bumi Indonesia.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“Kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk
melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.”
Pasal 3 berbunyi:
“(1) ……pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara.”
(2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara
semata-mata.”
Selanjutnya, penjelasan pada angka 10 alinea terakhir Perpu No.44/1960 berbunyi:
“……perusahaan minyak asing hanya dapat mempunyai status kontraktor saja
berdasarkan suatu atau beberapa “perjanjian karya” dengan Perusahaan Negara yang
bersangkutan.”
Implikasi dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara” pada UU Pertambangan tahun 1960 (Perpu No.
44/1960) tersebut adalah tidak berlaku laginya hak konsesi pertambangan perusahaan swasta, utamanya
hak konsesi tiga perusahaan asing terbesar, yaitu, Shell, Stanvac, dan Caltex. Negosiasi yang panjang dan
berlarut-larut antara ketiga perusahaan tersebut dengan Indonesia yang difasilitasi oleh Amerika Serikat
mencapai kesepakatan di tahun 1963. Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa tiga perusahaan asing
tersebut masing-masing diperlakukan sebagai konktraktor perusahaan minyak nasional yaitu Permigan,
Permina, dan Pertamin, yang kewajiban masing-masing mencakup 60% dari laba masing-masing
kontraktor tersebut diserahkan kepada Indonesia. Dengan kata lain, pola kerjasama dengan para kontraktor
tersebut adalah KKS Bagi Laba. Selain itu, disepakati juga bahwa manajemen dari masing-masing
perusahaan kontraktor tersebut sepenuhnya ada ditangan masing-masing kontraktor tersebut.2
Pengaturan-pengaturan yang demikian, terkait erat dengan jasa-jasa pejuang kemerdekaan yang mengambil alih dan/atau menyita berbagai ladang dan kilang Migas yang ketika itu ditinggalkan oleh Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua. Sebelumnya, ladang dan kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing terutama perusahaan Balanda. Gale (2006), menulis:
“With the end of the war in ……….country's anticolonial independence fighters,...…quickly seized on what remaining oil fields and installations they could secure from the retreating Japanese. ……... At the same time, independence fighters in south Sumatra retained control of regional oil facilities and set up their own company, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Elsewhere in Java, another oil company, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMN), held jurisdiction.”
Pengekspusan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka adalah sangat penting di era
ini. Hembusan angin nasionalisasi perusahaan asing sangat populer yang merupakan bagian gerakan
penghapusan banyak atribut “warisan penjajah Belanda”. Persepsi publik yang dihembuskan adalah
konstruksi (pola) konsesi itu hanya menguntungkan penjajah yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun
demikian, tidak begitu jelas apakah dengan menerapkan sistem kontrak ini akan menghasilkan “sebesar-
besarnya kemakmuran bagi segenap prakyat dan tumpah darah Indonesa”.
2 Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Di tahun 1966, Direktur Utama PN Pertamina pada waktu itu, Ibnu Sutowo, mengadopsi model
kontrak baru tanpa perlu melanggar interpretasi frasa “dikuasai oleh negara.” Model kontrak baru tersebut
adalah model Kontrak Production Sharing (PSC) Bagi Hasil, atau KKS Bagi Hasil. Berbeda dengan model
kontrak terdahulu yang membagi laba, disini yang dibagi adalah hasil produksi. Misalnya, untuk minyak
bumi Pemerintah dan kontraktor berbagi volume lifting (natura dan bukan uang yang dibagi). Selain itu,
kontraktor juga masih memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar beberapa jenis iuran dan
perpajakan. PSC pertama PN Pertamina adalah PSC dengan Independent Indonesian American Petroleum
Company (IIAPCO), yang ditandatangani oleh Dirut PN Pertamina, Ibnu Sutowo. di tahun 1966.3 Model
IIAPCO ini kemudian dituangkan dalam UU PN Pertamina tahun 1971.
Kembali lagi, pertimbangan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”
terabaikan disini. Tidak jelas dan tidak ada fakta yang dapat diakses oleh publik yang memperlihatkan
konstruksi KKS Bagi Hasil itu lebih superiror dibandingkan dengan KKS Bagi Laba yang diterapkan
sebelumnya. Tidak ada referensi yang terurai dengan baik dan shahih yang mengatakan bahwa ada
pertimbangan “kemakmuran” dalam melakukan perubahan dari konstruksi “Bagi Laba” menjadi konstruksi
“Bagi Hasil”.
Yang jelas, terlepas dari itu, PN Pertamina mendapat fee dari pengelolaan KKS bagi hasil tersebut.
Nilainya adalah 5% dari hasil penjualan Migas bagian pemerintah dalam KKS tersebut. Nilai fee terkini
hingga tahun 2004 dan berpola hak retensi yaitu dipotong langsung dari hasil penjualan termaksud, berkisar
antara 2 s/d 5 triliun rupiah pertahun. (Mahkamah Konstitusi (2004))
Lebih jauh lagi, tidak jelas apakah hasil keseluruhan dari perubahan pola tersebut lebih
menguntungkan Indonesia. Maksudnya, tidak jelas apakah nilai uang secara keseluruhan yang diterima
Indonesia lebih besar dengan Pola Bagi Hasil dibandingkan dengan Pola Bagi Laba, terlepas dari pola
pembagian antara Pemerintah dengan PN Pertamina. Lebih tidak jelas lagi perbedaan dalam aspek
makroekonomi. Selain itu,juga, tidak jelas ada tidaknya klausal cost recovery dalam pola bagi hasil ketika
itu.
Setelah tergulingnnya rezim Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1965,
kesinambungan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” seperti itu dipertahankan. Tafsir tersebut lebih
diperkuat lagi dengan disyahkannya UU PN Pertamina di tahun 1971, yang memberikan hak eksklusif
monopoli kepada PN Pertamina untuk mengelola sektor Migas Indonesia. Dengan kata lain, sejak
berlakunya UU Pertamina ini frasa “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai pemberian hak eksklusif
monopoli kepada PT (Persero) Pertamina untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia, dari
sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga ke sektor hilir (distribusi dan penjualan BBM/gas). Ini
dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 2 seperti berikut ini.
Pasal 3 ayat (3) UU PN Pertamina 1971 berbunyi:
“Definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 44 Prp.
Tahun 1960 Pasal 1 ...............harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang-undang
ini.”
Perusahaan yang dimaksud tersebut adalah tidak lain dari PN Pertamina dan ini dijelaskan oleh Pasal 2
ayat (1) UU PN Pertamina 1971 tersebut, yang menyatakan:
3 Seda (2005) dalam Resosudarmo, Budy P. eds. (2005)
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“…disingkat Pertamina, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Perusahaan, …..”
Mencla mencle interpretasi/pelaksanaan frasa “dikuasai oleh negara” terus berlanjut seiring
dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto dan mulainya Era Reformasi di tahun 1997/1998. Di Era
ini pada mulanya, tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” yang dituangkan dalam UU MIgas 2001, adalah
identik dengan penghapusan hak eksklusif
monopoli pengelolaan Migas PT Pertamina.
Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab
pengelolaan dialihkan dari PT Pertamina ke BP
Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk
sektor hilir4 Migas, yang keduanya adalah
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan bukan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT
Pertamina dengan demikian diperlakukan
setara dengan badan usaha swasta dan bentuk
usaha tetap. Perbandingan wewenang dan
tanggungjawab antara BP MIgas, BPH MIgas,
dan PT Pertamina, disajikan dalam Tabel 1
dbawah ini.
4 BP Migas adalah singkatan dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan BPH Migas adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Salah satu
fitur unggulan PSC/KKS berpola bagi hasil yang sering
didengungkan sebagai bentuk nyata dari kedaulatan
ekonomi serta sebagai pelaksanaan langsung dari
frasa “dikuasai oleh negara” adalah hasil tambang
termaksud tetap menjadi milik negara hingga ke titik
penyerahan. Walaupun demikian, tidak jelas apa
pentingnya disini utamanya jika dikaitkan harga dan
kontrak ekspor. Untuk LNG, misalnya, para
kontraktor tersebut memiliki kewajiban kontrak
ekspor jangka panjang dengan pembeli di luar negeri
hingga tahun 2022. Dengan demikian, walaupun
dalam aspek peraturan perundang-undangan
produksi itu masih dimiliki oleh Indonesia, tidak
demikian halnya dengan apa yang tercantum dalam
KKS.
Lebih jauh lagi, PT Pertamina akan mengimpor LNG
dari USA sebanyak 0,76 juta ton/tahun mulai tahun
2019 berdasarkan perjanjian kontrak 20 tahun.
Sebelumnya, PT pertamina sudah menandatangani
kontrak serupa sebanyak 0,8 juta ton LNG per tahun
yang akan mulai direalisasikan di tahun 2018.
Terkait dengan harga, tidak ada artinya frasa
“produksi tambang itu tetap dimiliki negara hingga
ke titik penyerahan” jika harga jualnya untuk
pasokan dalam negeri ditetapkan oleh para
kontraktor tersebut dan/atau terikat kuat dengan
harga Migas di pasar dunia.
Text Box: 3 : Fitur PSC & Impor LNG
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Terabaikannya tafsir frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kembali
terjadi. Tidak tersedia data, fakta, dan analisis yang mumpuni, yang dapat diakses oleh publik terkait isu
“kemakmuran rakyat” atas keputusan untuk
mengalihkan wewenang PT Petamina ke BP
MIgas. Sederhananya, publik tidak memiliki
informasi yang memadai terkait masalah
dan/atau kendala apa saja yang melekat pada
PT Pertamina sehingga kebijakan pencabutan
kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut
digulirkan. Atau, jika kita lihat dari sisi yang
lain, publik tidak memiliki akses informasi
yang mencukupi terkait janji “kemakmuran
rakyat” yang lebih besar dengan pengalihan
kewenangan termaksud. Persisnya, publik
tidak dapat mengakses, jika ada, Naskah
Akademis RUU Migas 2001 tersebut. Juga,
walaupun NA Itu ada, tetap saja belum ada
jaminan bahwa isu sebesar-besar
kemakmuran rakyat disajikan dengan baik dan
meyakinkan (kredibel) di NA RUU itu.
Walaupun demikian, pola fee hak
retensi PT Pertamina5 (2 s/d 5 triliun rupiah
per tahun hingga tahun 2001) tetap
dilanjutkan oleh BP Migas untuk menutupi
pengeluaran-pengeluaran dan/atau biaya
operasi yang tinggi. Kesemua pengeluaran dan
biaya tersebut tidak didanai oleh APBN.
Sistem APBN tidak mungkin dapat
menutupinya sebab BP MIgas banyak sekali
menggunakan tenaga-tenaga profesional kelas satu baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun
yang merupakan rekrutan internasional. Selain itu, BP MIgas juga memerlukan berbagai data dan analisa
Migas yang hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan/atau profesional kaliber dunia, yang tentunya
juga akan banyak menelan dana dalam jumlah yang besar. Diatas kesemua itu, BP Migas memerlukan
uang untuk menutupi biaya kegiatan untuk menjual miyak dan gas bumi bagian pemerintah.
Setelah berjalan selama 11 tahun, yaitu, di tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
permohonan sembilan LSM dan 33 pemohon perorangan untuk mencabut keseluruhan wewenang dan
tanggungjawab BP Migas, utamanya ketujuh wewenang dan tanggungjawab yang disajikan dalam tabel
diatas. Lebih jauh lagi, MK menyatakan bahwa seluruh pasal-pasal beserta penjelasannya yang terkait
dengan Badan Pelaksana (BP Migas) dalam UU Migas 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
5 Lihat diskusi terdahulu tentang pola Bagi Hasil Vs pola Bagi Laba KKS yang dikelola oleh PT Pertamina.
Krisis Pertamina 1975
Krisis menghantam PT Pertamina di tahun 1975
dengan terkuaknya lilitan utang sebesar US$10.5
miliar dan gagal bayar atas kewajiban-kewajiban
utang yang jatuh tempo. Ada dua sebab utama yang
menjadi sumber krisis tersebut, yaitu::
1. Membangun proyek-proyek besar non-
migas dengan pinjaman luar negeri jangka
pendek;
2. Perjanjian sewa-beli sejumlah tanker
pengangkut minyak bumi yang besar
ukurannya (super tanker) dan banyak
jumlahnya. (Note: terulang kembali dalam
kasus serupa atas penjualan super tanker
milik PT Pertamina yg dilakukan oleh
Menteri BUMN Laksamana Sukardi tahun
2002)
Selain itu, PT Pertamina juga terlibat penggelapan
pajak dan penerimaan bukan pajak pemerintah
termasuk tidak membayar utang-utang pajaknya
sendiri.
Nitisastro (2010), Sidharta (2012), dan Wikipedia
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, MK memerintahkan pembubaran BP
Migas.
Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina
Kewenangan dan Tanggung Jawab BP Migas Kewenangan dan Tanggung Jawab BPH Migas
Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup:
1. melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas;
2. memberikan pertimbangan kepada Menteri
atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak
Kerjasama;
3. melaksanakan penandatanganan Kontrak
Kerja Sama;
4. mengkaji dan menyampaikan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja
kepada Menteri untuk mendapatkan
persetujuan;
5. memberikan persetujuan rencana kerja dan
anggaran;
6. melaksanakan monitoring dan melaporkan
kepada Menteri mengenai pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama;
7. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas
bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
(UU No 22 tahun 2001)
Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hilir di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak; b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak; d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. (UU No 22 tahun 2001)
Kewenangan & Tanggung Jawab PT Pertamina
1. Sebagai Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang mencakup eksplorasi, eksplotasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan.
2. Membangun dan memelihara ketahan enerji nasional. 3. Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri 4. Mengelola Kontrak Kerja Sama (persisnya, Kontrak Bagi Hasil (Kontrak Production Sharing) dengan
badan usaha dan bentuk usaha tetap (UU Pertambangan 1960 dan UU Pertamina 1971)
Pembubaran BP Migas tersebut dituangkan dalam butir 1.1 sampai dengan 1.4 Amar Putusan MK
2012. Butir-butir tersebut terkait dengan 12 pasal, yang seluruhnya atau sebagian ayat-ayatnya
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Selain itu, butir 1.5 dan 1.6 Amar Putusan MK ini menyatakan seluruh hal yang terkait dengan
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas 2001 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh
karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Ada beberapa pertimbangan hukum MK2012 ini untuk membubarkan entitas BP Migas itu.
Walaupun demikian, pertimbangan hukum yang terkait dengan tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33
UUD1945 secara berulang dijadikan acuan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain. Tafsir
tersebut merujuk ke tafsir yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2004 yaitu bahwa
penguasaan oleh negara, atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak termasuk atas “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,”
atau dapat kita disingkat menjadi sumber daya alam (SDA), adalah pemerintah melaksanakan lima fungsi
secara setara dan/atau terintegrasi. Kelima fungsi tersebut adalah: 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan
(bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); dan 5.pengawasan
(toezichthoudensdaad). Kecuali untuk unsur kebijakan (beleid), keempat unsur yang lain disertai dengan
penjelasan pengertian masing-masing unsur tersebut. Selain itu, penjelasan tentang fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dalam pertimbangan hukum Putusan MK2012 menyimpang dengan penjelasan yang
tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK2004.
Sementara itu untuk melengkapi pengertian fungsi dikuasai oleh negara, coba kita lihat
pengertian unsur beleid (kebijakan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beleid/be·leid/
/beléid/ Bld n cara (langkah) yang ditempuh untuk melaksanakan program dan sebagainya; kebijaksanaan:
usaha ekspor yang mereka lakukan semakin seret karena terjegal oleh -- negara asing. Contoh KBBI itu
menyatakan kebijakan impor negara asing membuat usaha eskpor mereka menjadi seret. Kebijakan impor
itu dapat berupa kebijakan hambatan tarif atau hambatan bukan tarif.
Contoh lain adalah kebijakan OJK yang dirilis oleh Detik.com baru-baru ini yaitu tentang beleid
asuransi digital. Disini OJK memberikan izin dan/atau kesempatan pada perusahaan asuransi untuk
menjual asuransinya secara online (lewat internet). Kebijakan OJK ini menyusul realita sudah banyaknya
produk lain yang sudah lebih dulu dijual secara online seperti tiket pesawat, paket wisata/hotel, baju, dan
lain sebagainya.
Untuk lebih memahami konsep terintergasinya fungsi-fungsi “dikuasai oleh negara” menurut
Putusan MK 2004 itu, berikut ini diuraikan masing-masing dari keempat fungsi termaksud. Kutipan
langsung dari masing-masing pengertian keempat fungsi tersebut menurut Putusan MK 2004 adalah
sebagai berikut.
“Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning),
lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh
Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya
negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula
fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q.
Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
penguasaan oleh negara atassumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”
Kita mulai dulu dari pengawasan. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad). Menurut putusan MK2004 ini, ini dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. ” Ini merupakan fungsi umum manajemen yaitu fungsi untuk mengarahkan agar pelaksanaan dari kebijakan/perencanaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Selanjutnya kita ke fungsi pengurusan. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) menurut putusan
MK2004 ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Tidak ada penjelasan lebih lanjut
baik tentang fungsi ini maupun keempat fungsi yang lainnya. Walaupun demikian, kita tentu saja dapat
menguraikannya sendiri dengan memperlihatkan beberapa contoh yang logis. Misalnya, untuk
melaksanakan fungsi ini pemerintah menerbitkan/mencabut Izin Usaha Pertambangan batubara,
tembaga, emas, dan Minerba yang lainnya. Contoh yang lain adalah penerbitan/pencabutan izin
pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan
(HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). Contoh yang selanjutnya adalah
penerbitan/pencabutan hak-hak atas tanah yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah.
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad). Menurut putusan MK ini, ini dilakukan sesuai
dengan kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ini dapat kita
urai lebih lanjut sebagai berikut. Kewenangan legislasi itu mencakup pembuatan dan revisi UU seperti UU
Migas, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pajak, dan lain sebagainya. Regulasi itu adalah peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari UU dan sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dan lebih
teknis. Ini mencakup penerbitan Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Presiden,
Peraturan/Keputusan Menteri, dan regulasi-regulasi lain yang lebih teknis lagi.
Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Ini merupakan fungsi kunci dalam analisa tafsir frasa “dikuasai
oleh negara” Pasal 33 UUD1945. Menurut putusan MK ini, ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q.
Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada dua unsur penting yang perlu kita cermati disini. Pertama
unsur pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Kedua
unsur instrumen kelembagaan BHMN. Kita coba menafsirkan konsep yang pertama dulu yaitu pemilikan
saham dan keterlibatan langsung dalam manejemen BUMN.
Badan usaha dikendalikan oleh para investornya yaitu para pemilik modal yang menanamkan
uang di badan usaha itu. Pemilik saham mayoritas (50% + 1) memegang kendali yang besar dan akan
memegang kendali penuh jika 100 persen saham dimiliki. Saham mayoritas BUMN dimiliki oleh negara
dan banyak BUMN yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh negara.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, mungkin maksud frasa kepemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung
dalam manajemen BUMN tersebut dalam pertimbangan hukum MK tersebut adalah pemerintah
memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola
sumber-sumber kekayaan negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD1945. BUMN itu yang akan
melakukan kegiatan usaha yang bersifat operasional dan investasi. Misalnya, kegiatan operasional dan
investasi itu mencakup kegiatan eksplorasi dan eksplotasi untuk sektor hulu Migas6. Kegiatan eksplorasi
bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan
minyak dan gas bumi, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di
lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
Konsep kedua adalah instrumen kelembagaan. Instrumen kelembagaan ini biasanya diartikan
sebagai Satker (Satuan Kerja) Instansi Pemerintah seperti Satker Direktorat Jenderal, atau, Badan, yang
langsung bertanggungjawab kepada Menteri Kabinet. Selain itu, instrumen kelembagaan ini dapat juga
kita artikan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri dan mencakup yang langsung bertanggungjawab
kepada presiden. Entitas ini lebih umum disebut sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Contoh
entitas ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BHMN untuk sektor hulu MIgas yang kita kenal
adalah BP dan SKK MIgas.
Sampai disini, pengabungan konsep pertama dan kedua itu mengarahkan kita pada kesimpulan
bahwa ada dua opsi penyerahan wewenang pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Opsi
pertama adalah BUMN dan opsi kedua adalah Satker pemerintah atau badan hukum milik negara. Opsi
mana yang akan dipilih dan/atau bagaimana cara memilihnya dan/atau cara menetapkan prioritas pilihan
tidak disinggung dalam pertimbangan hukum MK2004 itu.
Walaupun demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tim Hakim Konstitusi MK 2004 ini
memposisikan kesetaraan BUMN dengan BHMN. Entitas mana yang akan diserahkan untuk mengelola
sumber-sumber kekayaan negara termaksud tergantung dari parameter efisiensi. Entitas mana yang
dipilih adalah tidak menjadi masalah sepanjang entitas yang terpilih itu memang lebih efisien untuk
mengelola sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Bahkan walaupun BUMN yang diserahkan tugas itu
nantinya akan diprivatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tujuan privatisasi dan/atau
kompetisi adalah untuk pencapaian efisiensi yang lebih tinggi dan prinsip negara tetap menguasai atau
mengendalikan BUMN itu masih tetap terjaga. Pertimbangan hukum pengujian materil yang tertuang
dalam Putusan MK2004 berbunyi:
“Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 …..maka penguasaan dalam
arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak
harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan
6 Definisi eksplotasi dan eskploitasi menurut UU Migas 2001. Definisi ini pada prinsipnya sama dengan defisini yang tertuang dalam UU Pertambangan tahun 1960.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya.
….Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi,
…juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, …...”
Kelihatannya pertimbangan hukum ini dijadikan pertimbangan utama oleh Tim Hakim Konstitusi MK2004 untuk menolak permohonan pembubaran BP MIgas dan/atau membatalkan UU Migas 2001 secara keseluruhan. Ironinya, pertimbangan hukum ini digunakan oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 untuk mengabulkan permohonan pembubarkan BP MIgas. Untuk melakukan ini, Tim MK2012 terlebih dahulu merekayasa dan/atau menggunakan pendekatan alternatif bertingkat tiga untuk menafsirkan frasa “dikuasai oleh negra” Pasal 33 UUD1945. Butir [3.12] pertimbangan hukum MK2012 ini berbunyi:
“…..kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara ……. harus
dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. … peringkat pertama dan yang paling penting …. Peringkat kedua
adalah… dan fungsi negara dalam peringkat ketiga…”
Pengertian masing-masing tingkatan itu menurut MK2012 adalah sebagai berikut. Tingat pertama
dan yang paling penting dari makna dikuasai oleh negara itu adalah negara melakukan pengelolaan secara
langsung atas sumber daya alam Migas. Sedangkan penguasaan negara pada tingkat kedua adalah negara
sebagai pembuat kebijakan dan melakukan pengurusan. Tingkat ketiga adalah negara melaksanakan
fungsi-fungsi pengaturan dan pengawasan.
Pengelolaan langsung yang dimaksud dalam pertimbangan hukum MK2012 ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dengannya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan hukum [3,12] Putusan MK2012 berbunyi:
“…..Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam….Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara…”
Seperti sudah disampaikan diatas, untuk sektor hulu Migas itu ada dua kegiatan utama yaitu
kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Kedua kegiatan ini harus dilakukan oleh BUMN dan BUMN yang ada untuk itu sekarang ini hanya PT Pertamina. Dengan kata lain, MK 2012 ini secara tidak langsung menghendaki PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
PT Pertamina memang melakukan kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) untuk ladang Migas dan kilang minyak, yang dimilikinya. Namun demikian, kegiatan eksplorasi, yang membutuhkan modal dan kapasitas manajemen yang tinggi serta mengandung risiko yang sangat tinggi juga, bukan dilakukan oleh PT Pertamina. Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai badan usaha dan bentuk usaha tetap7. Perusahaan-perusahan swasta ini juga, yang sebagian besar adalah perusahaan
7 Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan terjemahan dari kata Permanent Establishment. Bentuk BUT itu mencakup cabang perusahaan asing yang beroperasi di luar negeri termasuk di Indonesia.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
asing, juga memproduksi Migas (melakukan kegiatan eskploitasi). Lebih jauh lagi, seperti nanti dijelaskan secara lebih terurai, produksi kegiatan eksploitasi Migas (produksi Migas) PT Pertamina sangat kecil dibandingkan dengan produksi Migas nasional Indonesia. Misalnya, di tahun 2013, produksi Migas PT Pertamina hanya 12% dari produksi nasional. Selebihnya, 82% diproduksi oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap itu.
Ini berarti bahwa hanya sebagain kecil saja dari kegiatan-kegiatan sektor hulu Migas yang dikelola secara langsung oleh PT Pertamina. Sebagian besarnya dikelola oleh perusahaan swasta yang berbadan hukum badan usaha dan bentuk usaha tetap.
Dengan demikian, pertimbangan hukum MK2012 itu masih belum terpenuhi seandainya BUMN yang ditugaskan untuk itu adalah PT Pertamina. Itu juga masih belum terpenuhi seandainyapun dibuat BUMN baru untuk menggantikan dan/atau mendampingi PT Pertamina. Indonesia belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen untuk melakukan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Selain itu, sebagian besar kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang ada sekarang ini sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Indonesia, yang sebagian lebih dari 20 tahun. Sangat sulit sekali untuk membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada tersebut dan/atau menerapkan kebijakan (beleid) nasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan Migas swasta tersebut.
Kemustahilan untuk melaksanakan pertimbangan hukum ini juga sudah diantisipasi oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut. Ini terlihat dari pertimbangan hukum lebih lanjut dari Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut, yang menyatakan bahwa pengelolaan langsung oleh BUMN ini tidak mutlak. Pengelolaan itu dapat juga diserahkan kepada asing sepanjang negara belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Untuk memperkuat argumen ini, MK 2012 ini juga menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir seperti yang dikehendaki oleh Proklamator Mohammad Hatta. Untuk itu MK2012 menyatakan:
“……Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia….
Uraian-uraian diatas mengarahkan kita pada dua kesimpulan penting. Pertama, negara akan lebih
diuntungkan jika SDA yang dalam hal ini Migas dikelola oleh BUMN. Kedua, keuntungan yang lebih besar
itu hanya mungkin terjadi jika negara memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau
teknologi dan manajemen. Jika tidak memiliki hal-hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika SDA
Migas itu tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah. Beri kesempatan kepada badan usaha dan
bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas.
Dengan demikian, isu kritis yang perlu kita bahas sekarang adalah menentukan pilihan entitas
yang diserahkan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola deals dengan badan usaha dan bentuk
usaha tetap itu. Maksud melakukan deals itu termasuk melakukan rangkaian kegiatan yang mencakup
penandatanganan kontrak. Dan, pertimbangan hukum MK2012 menghendaki bahwa yang melakukan
deals itu adalah BUMN. Butir [3.14] pertimbangan hukum MK dalam putusan ini berbunyi:
“…dikonstruksi dalam bentuk KKS8 ….. BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN
tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”
8 KKS adalah Kontrak Kerja Sama yang merupakan padanan frasa Kontrak Production Sharing.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Tidak ada penjelasan mengapa MK2012 ini menghasilkan pertimbangan hukum seperti diatas.
Tidak ada penjelasan bagaimana negara diuntungkan dengan menunjuk BUMN untuk melakukan deals
tersebut. Diatas kesemua ini, tidak ada penjelasan apakah kegiatan BP MIgas selama 11 tahun terakhir
untuk melakukan deals dengan perusahaan swasta tidak membuat negara lebih diuntungkan. Yang ada
hanyalah petimbangan bahwa BP Migas tidak melakukan kegiatan pengelolaan SDA Migas secara
langsung. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber
daya alam Migas.
Pertimbangan hukum Putusan MK 2012 pada butir [3.13.1], yang menyatakan bahwa BP Migas
tidak melakukan pengelolaan langsung SDA Migas tetapi hanya melakukan fungsi pengendalian dan
pengawasan, berbunyi:
“….BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas ….”
Seperti sudah disampaikan diatas, memang betul, fungsi pengelolaan (beheersdaad) tidak dilakukan oleh
BP Migas. Tetapi, hal yang sama berlaku juga untuk PT Pertamina. PT Pertamina hanya melakukan
sebagian kecil saja dari fungsi pengelolaan tersebut. Lebih persis lagi, wewenang dan tanggungjawab PT
Pertamina dalam melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan tersebut yang mencakup melakukan
deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap adalah persis sama dengan yang melekat pada BP
Migas. Dalam kaitan ini Hasan (2013) menyatakan:
“…..tugas BP Migas sebagaimana ditetapkan ….. pada prinsipnya tidak berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh PT PERTAMINA berdasarkan …..Tentang Syarat-Syarat dan
Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. …dalam pelaksanaan KKS
yang menjangkau hingga ke manajemen operasi. Disini tanggung jawab BP Migas
mencakup memberikan persetujuan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang
diajukan oleh Kontraktor, termasuk pelaksanaan dari RKA seperti misalnya memberikan
persetujuan untuk pengeluaran biaya (Authorization for Expenditure atau AFE), dan
penetapan pihak ketiga sebagai sub-kontraktor.”
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pertimbangan hukum butir [3.14] MK2012
termaksud adalah cacat hukum. Pertimbangan hukum tersebut memihak ke PT Pertamina walaupun BP
Migas berada pada posisi yang sama dengan PT Pertamina. Baik PT Pertamina maupun BP Migas tidak
melakukan pengelolaan SDA Migas secara langsung. Masing-masing entitas tersebut hanya melakukan
fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas untuk wilayah kerja
pertambangan yang dikelola oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap.
Selanjutnya, coba kita lihat unsur lain dari pokok pikiran pertimbangan hukum MK 2012 yang
menyebabkan pembubaran BP Migas. Disini MK berpendirian bahwa jika BP Migas yang membuat deals
dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, maka Pemerintah kehilangan diskresi dalam membuat
regulasi yang bertentangan dengan kontrak tersebut. Kehilangan diskresi ini, menurut putusan MK Ini,
berarti negara kehilangan kedaulatan dan/atau keleluasaan membuat aturan yang diperlukan demi
tercapainya manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pokok pikiran kehilangan diskresi ini
tertuang dalam kalimat-kalimat yang lebih awal dari butir [3.14], yang berbunyi:
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“….ketika kontrak telah
ditandatangani, negara menjadi
terikat pada isi KKS. Akibatnya,
negara kehilangan diskresi untuk
membuat regulasi …….. kehilangan
kedaulatannya dalam penguasaan
sumber daya alam ……. Padahal
negara, ….harus memiliki
keleluasaan membuat aturan yang
membawa manfaat bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”
Mungkin kita sependapat
bahwa pokok pikiran MK itu cacat
hukum. Pertama, MK tidak dapat
menunjukan satupun bukti tentang
terjadinya ketidakleluasaan pemerin-
tah untuk menerbitkan regulasi
termaksud, jika ada, dalam kurun
waktu 11 tahun Rezim KKS BP Migas.
Dari sisi sebaliknya, MK juga tidak
dapat menunjukan satupun bukti,
juga jika ada, tentang tersedianya ke-
leluasaan pemerintah untuk mener-
bitkan regulasi termaksud selama 51
tahun rezim KKS PT pertamina.
Kedua, Pemerintah tidak dapat sesuka hati (sewenang-wenang), dengan dalih apapun, membuat
regulasi yang bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak yang sudah ditandatangani,
terlepas apakah kontrak itu ditandatangani oleh BUMN atau BHMN. Badan usaha atau bentuk usaha tetap
yang merasa dirugikan dengan terbitnya regulasi baru pemerintah tetap saja dapat memperkarakan
regulasi itu ke badan arbitrase internasional, terlepas dari apakah itu BUMN, atau, BHMN yang
menandatangani kontrak termaksud.
Lebih jauh lagi, perlu dipahami bahwa kapasitas diskresi pemerintah dalam membuat regulasi
dan/atau peraturan perundang-undangan dengan tujuan pencapaian “kemakmuran” tersebut, tetap
terbatas sekalipun pada rezim konsesi dan bukan rezim KKS. Diskresi yang berlebihan dan menjurus
kesewenang-wenangan akan menyebabkan investasi di sektor hulu Migas menjadi tidak menarik lagi dan
para kontraktor hengkang ke luar negeri. Ini tentu saja tidak menguntungkan dan oleh karena itu tidak
diingini serta bertentangan dengan semangat pengelolaan SDA Proklamator Mohamad Hatta.
Faktor penting yang menyebabkan ini adalah besarnya nilai investasi dan/atau risiko dalam bidang
usaha sektor pertambangan. Selain itu, sektor ini membutuhkan highly skilled manpower dan tingginya
tingkat efisiensi dalam pengelolaan organisasi perusahaan.
Tafsir Pasal 33 UUD 1945 dalam
Putusan MK 2004:
Text Box 5
1.kebijakan (beleid);
2.pengurusan(bestuursdaad);
3.pengaturan (regelendaad);
4.pengelolaan(beheersdaad);
5.pengawasan(toezichthoudensdaad).
Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui
mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau
melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara
sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara,
c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Catatan: BHMN atau BUMN untuk melakukan pengelolaan
SDA Migas secara tidak langsung adalah tidak bertentangan
dengan konstitusi. Juga, yang patut dicermati bahwa
keempat unsur selain unsur keempat, pengelolaan
(beheersdaad), pada prinsipnya otomatis melekat pada
fungsi atau peran negara dan ini bersifat universal
Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 Tahun 2004
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Contoh terkini tentang terbatasnya diskresi pemerintah untuk membuat regulasi yang
bertentangan dengan kontrak-ontrak yang sudah ditandatangani adalah kasus UU Minerba 2009 yang
mulai diberlakukan dalam tahun 2010. UU ini menyatakan bahwa KKS-KKS pengusahaan batubara
dan/atau mineral yang sudah ditandatangani masih tetap berlaku. Pasal 169 huruf a berbunyi:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-
Undang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”
Ketentuan tersebut berlaku secara umum dan terlepas apakah dengan deals PT (Persero) Bukit
Asam, atau, PT (Persero) Antam, atau, deals yang dibuat langsung oleh Pemerintah c.q. Kementerian
ESDM (d/h Kementerian Pertambangan). Misalnya, kasus KKS antara PT Bukit Asam (Persero) dengan PT
Gunung Bayan Pratama Coal tetap dinyatakan berlaku walaupun banyak regulasi yang tertuang dalam UU
Minerba 2009 bertentangan dengan isi kontrak antara kedua perusahaan pertambangan batubara
tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk KKS yang ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan
Energi, I.B. Sudjana dengan PT Kalimantan Energi Lestari.
Jauh ke belakang, hal yang serupa juga berlaku dalam kasus pemberlakuan UU Pertambangan
1960. UU ini jelas menyatakan bahwa rezim pengelolaan sektor pertambangan Indonesia adalah kontrak
kerja sama (KKS). Walaupun, demikian perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi dengan konstruksi
izin (konsesi) dan juga diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, utamanya tiga terbesar perusahaan
asing ketika itu yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex tidak secara otomatis mengganti konstruksi hukum usaha
mereka. Diperlukan negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kesepakatan
perubahan konstruksi konsesi menjadi konstruksi kontrak (lihat uraian terdahulu).
Terlepas dari cacatnya pokok-pokok pikiran pertimbangan hukum MK diatas, kita masih dapat
mengatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut adalah sebagai tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33
UUD 1945. Disini kelihatannya yang ingin dikatakan adalah bahwa “pengelolaan cabang produksi hulu
Migas dengan konstruksi (pola) Kontrak Kerja Sama (KKS), yang mencakup penandatanganan (KKS) dengan
badan usaha atau bentuk usaha tetap, harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina9.”
Perlu juga kita cermati kata kunci “konstruksi”. Kata konstruksi Ini perlu kita artikan sebagai
batasan dari tafsir tersebut yaitu keharusan penyerahan pengelolaan sektor hulu Migas kepada BUMN
hanya sebatas jika konstruksi pengelolaan tersebut adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Keharusan BUMN
tersebut gugur dengan sendirinya jika menggunakan konstruksi lain seperti Izin Usaha Pertambangan
(IUP) Migas. Disini tidak ada kontrak yang perlu dibuat antara Pemerintah dan/atau BUMN dengan
perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sektor hulu Migas. Yang diperlukan
oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah izin konsesi atau izin usaha.
Konstruksi IUP ini berlaku di rezim pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba 2009).
Konstruksi yang serupa terdapat juga di banyak cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak yang lain. Misalnya, di sektor kehutanan, izin-izin usaha yang
diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencakup penerbitan IUPHHK (Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam.
9 Sebagai catatan, mungkin juga bermanfaat untuk mengingat bahwa tafsir KKS dikelola oleh BUMN adalah serupa dengan tafsir yang ada pada UU Pertambangan 1960
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Lihat juga sektor agraria (pertanahan) yang dikelola langsung oleh Pemerintah dan tidak ada
penugasan sama sekali ke BUMN. Pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional (Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan beberapa hak pemanfaatan tanah yang mencakup
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Sewa. Guna Tanah. (UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan entitas BHMN SKK Migas masih dapat
dipertahankan jika rezim pengelolaan sektor hulu Migas diganti dari rezim kontrak menjadi rezim
perizinan. Disini BHMN SKK MIgas sangat jelas adalah setara dengan BHMN BPN (Badan Pertanahan
Nasinal). Jika demikian halnya, maka SKK Migas dapat diberikan tugas dan tanggungjawab lain misalnya
pengelolaan perizinan dan pegawasan sektor hulu Migas.
Selanjutnya, coba kita lanjut dengan Amar Putusan MK 2012 butir 1.7, yang nantinya, minimum,
membawa implikasi hukum yang berlarut-larut. Butir ini berbunyi:
“Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi10 dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.”
Setelah dibubarkan, MK mengalihkan tugas BP Migas ke pemerintah. Namun, yang menarik
adalah ternyata Pemerintah bukan saja tetap mempertahankan rezim kontrak tetapi juga tidak segera
menunjuk BUMN seperti PT Pertamina untuk mengelola sektor hulu Migas yang merupakan bagian
terpenting dari Amar Putusan MK 2012 ini. Coba kita lihat kembali sebagian kutipan dari Pertimbangan
hukum MK butir [3.14] yang sudah disajikan diatas, yang berbunyi:
“…….BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS
dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”
Sebaliknya, Pemerintah setelah membubarkan BP Migas membentuk BHMN baru yaitu SKK Migas
yang ditugaskan untuk melakukan KKS dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Wewenang dan
tanggungjawab SKK MIgas, yang masih tetap melanjutkan pola (konstruksi) KKS, pada prinsipnya persis
sama dengan BP Migas. Hanya ganti nama doang, dari BP Migas menjadi SKK Migas. Perbandingan antara
tugas dan fungsi BP Migas dengan SKK Migas disajikan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2. Perbandingan Tugas dan Fungsi BP/SKK Migas
Tugas dan Fungsi BP Migas Tugas dan Fungsi SKK Migas
1. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan
usaha hulu minyak dan gas;
2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri
atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak
Kerjasama;
3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak
Kerja Sama;
1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi berdasarkan
Kontrak Kerja Sama
2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan
penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja
Sama;
10 BP Migas
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
4. Mengkaji dan menyampaikan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu Wilayah
Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan
persetujuan;
5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan
anggaran;
6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan
kepada Menteri mengenai pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama;
7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas
bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
(UU No 22 tahun 2001)
3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak
Kerja Sama;
4. Mengkaji dan menyampaikan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali
akan diproduksikan dalam suatu Wilayah
Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral untuk mendapatkan
persetujuan;
5. Memberikan persetujuan rencana
pengembangan selain sebagaimana
dimaksud dalam poin sebelumnya;
6. Memberikan persetujuan rencana kerja dan
anggaran;
7. Melaksanakan monitoring dan melaporkan
kepada Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama; dan
8. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas
bumi bagian negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
(Peraturan Menteri ESDM No 9/2013 & Perpres No 9/2013)
Masing-masing butir 1 dari BP Migas dan SKK Migas pada prinsipnya menyatakan bahwa baik BP
maupun SKK Migas diberikan wewenang dan tanggungjawab yang sama untuk mengelola sektor hulu
MIgas. Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab tersebut dijabarkan dalam butir-butir selanjutnya,
yang untuk BP Migas itu dijabarkan dalam butir 2 sampai dengan butir 7 dan untuk SKK Migas dijabarkan
dalam butir 2 hingga butir 8. Namun demikian, perbedaan jumlah butir tersebut tidak menyebabkan
adanya perbedaan wewenang dan tanggungjawab yang prinsipil. Hal ini mirip dengan dagelan Tukul
Arwana, yang menurut Mujiburohman (2013) adalah:
“Ingat dengan program Talk Show Tukul Arwana di Trans7, yang kemudian pada tahun
2008 empat mata dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap tidak
layak tayang karena tidak sesuai dengan norma dan tradisi ke-Indonesia-an. Namun,
justru pihak Trans7 mengakali vonis tersebut dengan mengubah nama program tersebut
menjadi Bukan Empat Mata dan tetap menayangkannya. Hal ini serupa dengan yang
terjadi dengan BP Migas…….Tidak ada perbedaan yang berarti antara BP Migas dengan
SKK Migas”
Dalam nuansa yang sama tetapi dengan perspektif yang sedikit berbeda, Wicaksono (2015) di
topik Analisis Akibat Hukum menyatakan:
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“……hak menguasai negara yang dipermasalahkan ketika BP Migas eksis pun terulang
kembali dengan adanya SKK Migas. Kewenangan BP Migas yang hanya sebatas
pengendalian dan pengawasan ….ternyata tetap diterapkan pada SKK Migas.”
Wicaksono (2015) tersebut dalam kesimpulannya menggugat agar SKK Migas juga segera
dibubarkan dan diganti dengan BUMN. Ini dinyatakannya sebagai berikut:
“….revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ….kelembagaan pengelola
minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara ….sesuai dengan
pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi…
Desakan untuk sesegera mungkin merevisi UU MIgas 2001 tersebut juga disuarakan jauh sebelum
ini oleh LSM Gerakan Menegakan Kedaulatan Negara (GMKN). Aspirasi LSM ini yang disampaikan di
Gedung DPR RI tanggal 8 Januari 2013 disampaikan oleh beberapa politisi nasional seperti Fuad Bawazier
dan beberapa tokoh yang juga merupakan penggugat UU Migas 2001 tersebut seperti Adhie M. Massardi,
Marwan batubara, dan Din Syamsudin. Adhie M. Massardi menyatakan:11
“Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk UU Migas baru yang
sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 33.”
Dapat kita duga bahwa UU Migas yang baru yang mereka maksudkan tersebut tentunya adalah
yang memberikan kewenangan dan/atau semacam kuasa pertambangan ke BUMN seperti PT Pertamina.
BHMN semacam BP/SKK Migas tentunya menurut pendapat mereka itu tidak sesuai dengan konstitusi.
Dari berbagai uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebetulnya penunjukan SKK Migas oleh
Pemeritah sebagai ganti BP Migas, sepanjang masih menggunakan konstruksi kontrak, adalah
11 Hukum Online.com, “Segeara Susun Revisi UU Migas” 9 Januari 2013 diakses 6 Juni 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
SKK Migas yang saat ini operasinya
sudah memasuki tahun keempat
seharusnya segera dibubarkan.
Walaupun demikian, status
quo SKK Migas tetap dipertahankan
oleh Pemerintah. Pemerintah
belum mengalihkan wewenang dan
tanggungjawab SKK Migas ke PT
Pertamina dan/atau ke BUMN yang
lain yang dapat merupakan BUMN
baru. Pemerintah kelihatannya baru
akan melaksanakan hal tersebut
setelah revisi UU Migas 2001
disyahkan. Pertanyaannya sekarang
adalah kapan revisi tersebut
disyahkan?
Pertanyaan tersebut layak
kita angkat sebab draft revisi UU
Migas 2001 tersebut sudah
disampaikan oleh Pemerintah ke
DPR RI di tahun 2013. Pembahasan
di DPR sangat alot dan berlarut-larut
dan belum tercapai kesepakatan
hingga berakhirnya jabatan DPR RI
periode 2009 -2014. Hasil
pembahasan tersebut menjadi
hangus dengan sendirinya.
Dalam kaitan ini, Tambang
(Februari, 2016), menyatakan:
“Namun, …. revisi UU Migas menjadi prioritas yang terbelakang,……. Dalam periode sebelumnya, DPR telah melakukan kajian dan hasilnya ‘hangus’ seiring dengan berakhirnya tugas mereka… ……Khusus soal Migas ……. bisa dibayangkan proses yang terjadi, tarik menarik antara kepentingan yang berbeda.”
Mungkin kita sependapat dengan penulis diatas bahwa faktor utama yang menyebabkan berlarut-
larutnya penyelesaiaan revisi UU tersebut adalah adanya unsur tarik menarik antara “kepentingan” yang
berbeda. Kementerian ESDM terkesan berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan entitas
BHMN SKK MIgas dengan alasan yang tidak begitu jelas. Di sisi lain, terkesan DPR berkeberatan akan hal
Ada 7 KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2014.
1. PT Baradinamika Citra Lestari; 2. Konsorsium Bukit Energy
Palmerah Baru Pte Ltd-NZOG Palmerah baru Pty Ltd. – PT Surya
Selaras Sejahtera; 3. Konsorsium Krisenergy (Sakti) B.V. - Golden
Heaven Jaya; 4. Golden Code Commercial Ltd; 5. Husky
Anugerah Limited; 6. PT Innovare Gas; 7. PT Pertamina Cepu
Cepu ADK.
(Siaran Pers Kementerian ESDM 26 Februari 2014, diakses 29
April 2016)
KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2015: 12 kontrak
1. Konsorsium Conocophilips – PC Kualakurun; 2. Mentari
Garung Energy Ltd; 3. Shell Pulau Moa Pte Ltd; 4. Konsorsium
Sepapua Energy Pte. Ltd – Kau 2 Pte. Ltd; 5. PT Pertamina Hulu
Energi Abar;
6. PT Pertamina Hulu Energi Anggursi; 7. PC North Madura II Ltd;
8. Statoil Indonesia Aru Trough I B.V; 9. Konsorsium Pacific Oil
& Gas Ltd. – Bukit Energy – NZOG MNK KIsaran; 10. Konsorsium
Bukit Energy Resources Sakakemang Deep Pte. Ltd – PT
pertamina Hulu Energi MNK Sakakemang; 11. Petroselat NC
Ltd.; dan
12. Konsorsium Bukit Energy – NZOG MNK – PT Surya Selaras
MNK
Blok MNK Kisaran, Sumatera Utara, dengan kontraktor
(Siaran Pers Kementerian ESDM, 22 Mei 2015, diakses 29 April
2016)
Deals SKK Migas: 2014-15
Text Box: 6
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
ini dan lebih menyukai untuk menugaskan
BUMN yang sudah ada seperti PT
Pertamina dan PT PGN. Lagi-lagi, kita
belum melihat alasan utama apa yang
menyebabkan DPR berkehendak demikian.
Lebih jauh lagi, dapat kita katakan
bahwa pihak-pihak yang berperkara
dan/atau terkait tersebut lebih terobsesi
memperdebatkan frasa “dikuasai oleh
negara” dan mengkerdilkan frasa
“dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Dalam hal kedua
frasa tersebut diperlakukan setara, maka
implementasi Pasal 33 UUD 1945 tersebut
tidak akan menimbulkan polemik kronis
seperti ini.
Pentingnya penyatuan kedua frasa
“dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat,”
secara eksplisit tertuang dalam Putusan
MK (2012). Butir [3.11] alinea kedua
Pertimbangan Hukum Putusan ini
berbunyi:
“Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu
harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini,
“pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-
besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945.”
Perlu kita ingat bahwa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tercapai jika tercapainya efisiensi
penguasaan oleh negara tersebut. Termasuk dalam pengertian efisiensi ini adalah tidak terjadinya
pemborosan dan/atau KKN dalam pelaksanaan dikuasai oleh negara tersebut. Biaya-biaya yang
dikorbankan adalah terkecil untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut.
Ini konsisten dengan frasa “efisiensi” yang dituangkan dalam ayat 4 Pasal 33 UUD 1945. Lebih jauh
lagi, ayat 4 ini merangkum roh ketiga ayat yang terdahulu: cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuian bagi
seluruh rakyat Indonesia. Ketiga roh tersebut harus dipersatukan dalam kesatuan wadah “efisiensi.” Ayat
4 Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
“Perekonomian nasional diselenggarakan ……dengan prinsip ……, efisiensi,..”
Lima konten utama Revisi UU Migas 2001 yang
diusulkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said:
Text Box: 7
1. Perbaikan iklim investasi;
2.Merubah entitas BHMN SKK Migas menjadi BUMN Khusus yang diberikan hak kuasa pertambangan; 3.Mensinergikan BUMN Migas yang sudah ada seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN); 4. Mendorong peningkatan daya saing PT Pertamina dan memberikan keistimewaan pada PT Pertamina untuk mendapatkan blok-blok Migas yang masa kontraknya telah habis; dan 5. Memperbaiki sistem pungutan negara di sektor Migas untuk menghilangkan cara pandang bahwa Migas hanya dijadikan sebagai alat penerimaan negara saja.1 Butir kedua merupakan butir yang terpenting.
Katadata.co.id, 2015. “Pemerintah Segera Finalisasi Draft Revisi UU Migas,” 12 Maret 2015 dan diakses
6 Juni 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Di sektor hulu Migas, bebarapa indikator efisiensi tersebut mencakup investasi, konservasi
sumber daya alam Migas, kesempatan kerja dan berusaha termasuk kesempatan berusaha perusahaan
nasional, tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dan tentu saja penerimaan
negara dalam bentuk pajak dan bukan pajak (royalty). Adanya tafsir yang berbeda dan/atau perubahan
tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tersebut seharusnya hanya dapat terjadi jika
dilandasi oleh pertimbangan efisiensi sebagaimana tertuang dalam ayat 4 Pasal 33 UUD1945 dan dalam
kerangka “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Isu efisiensi juga sebetulnya tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2012. Butir
[3.13.4] pertimbangan hukum tersebut berbunyi:
“Menimbang bahwa tujuan utama …..pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya …..harus disusun berdasar
rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan
penyalahgunaan kekuasaan. ….segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya
alam ….yang berorientasi … “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan
organisasi yang efisien….”
Walaupun demikian, sebagaimana sudah disampaikan terdahulu, Putusan MK 2012 tersebut
gagal menghadirkan bukti-bukti yang terkait dengan isu efisiensi ini. MK tidak dapat memperlihatkan bukti
terjadinya inefisiensi selama 11 tahun operasi BP Migas sejauh ini dan/atau potensi kerugian di masa
depan jika BP Migas tetap dipertahankan12. Hal serupa juga tertuang dalam dissenting opinion Putusan
MK 2012 (Hakim Konstitusi Harjono) dan artikel Hasan (2013).
Pertimbangan efisiensi tersebut akan memperluas dan memperluwes tafsir “dikuasai oleh
negara” termaksud. Ini berarti bahwa semua pola yang akan diterapkan tidak akan bertentangan dengan
konstitusi sepanjang pola yang dipilih tersebut menjamin tercapainya efisiensi tertinggi dibandingkan
dengan pola lain yang tersedia. Dengan kata lain, pertimbangan efisiensi lah yang akan menetapkan pola
pengelolaan sektor ekonomi yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 termasuk sektor hulu Migas. Dengan
demikian, apakah pola pengelolaan tersebut konsesi atau kontrak kerjasama, kontrak bagi laba atau bagi
hasil, BUMN atau BHMN, tergantung dari pola mana yang akan menghasilkan efisiensi tertinggi.
Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia: 1980 - 2016
12 Salah satu persyaratan legal standing MK adalah bukti bahwa para pemohon dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan oleh UU yang dimohonujikan terhadap UUD 1945.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Sumber: Index Mundi & NKRAPBN untuk 2014 – 2016
Grafik 1 diatas memperlihatkan trend menurun produksi minyak mentah Indonesia. Trend
menurun sebetulnya sudah mulai di tahun 1982 ketika PT Petamina masih memegang hak eksklusif
monopoli atas SDA Migas. Walaupun demikian, trend penurunan di Era Monopoli Pertamina yang terus
berlanjut baru dimulai tahun 1991.
Ketika pengelolaan sektor hulu Migas, yang mencakup kegiatan produski minyak mentah,
dialihkan dari PT Pertamina ke BP Migas seiring dengan berlakunya UU Migas 2001, penurunan produksi
minyak mentah Indonesia sudah mencapai titik 1.340 barrel/hari, yang pada tahun 1991 masih pada titik
1.592 barrel/hari. Terlihat bahwa BP Migas tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah laju penurunan
produksi Migas Indonesia ini. Penurunan ini terus berlanjut dan sudah mencapai 875 barrel/hari pada
tahun 2012 ketika MK mencabut kewenangan BP Migas dan menyerahkannya ke Pemerintah/SKK Migas.
Selanjutnya, dalam periode pengelolaan SKK Migas, hal yang sama terus berlanjut dan produksi minyak
mentah Indonesia penurunannya sudah mencapai 810 barrel/hari di tahun 2016 (asumsi makro
APBNP_2016).
Pelajaran yang dapat kita ambil disini adalah terlihat indikasi yang kuat bahwa perubahan
penyerahan kewenangan pengelolaan sektor hulu Migas, dari PT Pertamina ke BP Migas dan kemudian
ke SKK Migas, tidak mempengaruhi pola alami penurunan produksi minyak mentah Indonesia. Dengan
kata lain, ketiga entitas tersebut sama-sama tidak berhasil menghentikan deplesi dan/atau meningkatkan
produksi minyak bumi Indonesia dalam periode 1981 hingga saat ini; selama 35 tahun.
Dengan demikian, UU Migas 2001 dapat dikatakan gagal memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945,
dari perspektif efisiensi produksi utamanya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Hal yang
serupa terjadi kembali dengan Putusan MK 2012. Putusan ini tidak berdampak sama sekali atas upaya
peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Penciptaan perangkat hukum yang sia-sia dan hanya
menghabiskan sumber-sumber langkah negara yang ada.
Walaupun demikian, sebetulnya kita masih bisa membandingkan tingkat efisiensi dari ketiga
entitas tersebut dalam aspek biaya dan penerimaan negara. Unsur biaya tersebut utamanya mencakup
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
20
12
20
14
20
16
Produksi Minyak Mentah Indonesia; Ribu BBL/Hari
UU Pertambangan 1960 & UU Pertamina 1971
UU Migas 2001
MK12
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
cost recovery dan fee penjualan bagian Migas Pemerintah. Sedangkan unsur penerimaan negara adalah
penerimaan pajak dan penerimaan hasil penjualan Migas bagian pemerintah.
Kalu kita kembali pada opsi KKS bagi laba atau KKS bagi hasil, dalam kaitannya dengan analisa
efisiensi tersebut, sementara dapat kita lihat bahwa ada dua kelemahan yang menonjol dari pola KKS bagi
hasil. Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan biaya cost recovery atas pembelian aset-aset yang dibeli
dan digunakan oleh kontraktor KKS. Aset-aset tersebut ketika diserahkan ke pemerintah dalam waktu 20
hingga 30 tahun mendatang, sebagian sudah merupakan besi tua dan/atau teknologi yang digunakan
sudah berubah. Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan fee jasa penjualan Migas bagian pemerintah. Nilai
fee tersebut berkisar antara 1,84 hingga 3,89 triliun rupiah setiap tahunnya.
Sebelum UU Migas 2001 fee ini diterima PT Pertamina. Setelah UU Migas 2001 hingga Putusan
MK 2012, penerima fee tersebut adalah BP Migas dan PT Pertamina. Sedangkan pasca Putusan MK 2012,
penerima fee adalah SKK Migas hingga tahun 2014. Penerima fee kembali ke PT Pertamina di tahun 2015
ketika pengelolaan SKK Migas didanai oleh APBN yaitu ketika SKK Migas dijadikan Satker di Kementerian
ESDM.
Perkembangan fee penjualan Migas bagian pemerintah dari tahun 2007 hingga tahun 2012,
disajikan di tabel dibawah ini. Formula fee tersebut 5% nilai jual – 60% pajak13. Sedangkan nilai jual
merupakan hasil perkalian antara volume produksi dan harga.
Grafik 2. Perkembangan Fee untuk Pertamina/BP (SKK) Migas: 2007 – 2015. Rp Triliun
Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), LKPP, beberapa edisi, diolah.
Perlu diketahui bahwa sebagian besar produksi minyak dan gas Indonesia berasal dari perusahaan
swasta yang didominasi oleh perusahaan asing. Chevron Pacific Indonesia menguasai sebesar 47% dan PT
Pertamina hanya 18%, selebihnya adalah swasta yang sebagian besar adalah swasta asing. Grafik 3 dibawah ini
menyajikan komposisi produsen Migas Indonesia di tahun 2013.
13 Putusan MK 2004; data dari para pemohon.
2.13
1.84
1.84
3.89
3.68
2.56
2.31
3.71
2.72
0 1 2 3 4 5
2015
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Grafik 3. Distribusi Produksi Produsen Migas Indonesia
Sumber: SKK Migas-IPA Technical Division presentation dalam PwC (2014), diolah
Grafik itu sebetulnya dapat mengarahkan kita pada opsi efisiensi dengan masih merujuk ke
konstruksi KKS bagi hasil (natura/in kind). Pertanyaannya adalah PT Pertamina atau SKK/BP Migas yang
paling efisien dalam mengelola sembilan perusahaan-perusahaan Migas tersebut? Jika itu SKK/BP Migas
dimana letak urgensi merubah status hukumnya menjadi BUMN baru? (lihat Tabel 1 dan 2 diatas).
Opsi selanjutnya adalah KKS bagi hasil, seperti sekarang, atau, KKS bagi laba seperti yang
dilaksanakan di tahun 1960? Atau, pertanyaan yang lebih strategis lagi adalah apakah tidak sebaiknya
pemerintah lebih menyempurnakan sistem perpajakan di sektor hulu Migas ini dan beralih ke rezim
perizinan (konsesi) saja? Misalnya, dengan mengadopsi sistem Pajak Super Profit seperti yang diterapkan
oleh Pemerintah Australia14.
Dengan demikian, adalah mendesak sekali untuk mengembangkan perbandingan tingkat efisiensi
antara berbagai pola (konstruksi) yang tersedia. Hasil ini dengan demikian dapat dijadikan sebagai
sebagian rujukan dalam menyusun Naskah Akademis revisi RUU Migas 2001. Sekali lagi, semua alternatif
yang tersedia tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang menjamin tingkat efisiensi tertinggi dalam
kerangka tercapai “sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.”
Lebih menarik lagi, kesimpulan untuk lebih fokus pada isu efisiensi tersebut mengarahkan kita
pada premis awal yang disampaikan dalam tulisan ini bahwa sebetulnya Pasal 33 UUD 1945 itu tidak
mengatur apa-apa. Dengan kata lain, pencabutan/pembatalan Pasal 33 UUD 1945 tidak akan
menggugurkan kewajiban negara untuk memakmurkan dan mensejahterahkan segenap bangsa dan
rakyat Indonesia. Secara universal, adalah fitrah suatu negara untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan
sumber-sumber langkah yang tersedia, termasuk SDA Migas, dalam kerangka maksimalisasi kemakmuran
dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh, Faisal Basri, Ekonom
Universitas Indonesa, bahkan menyampaikan gagasan yang lebih revolusioner. Menurutnya, tidak
14 Lihat, Australia (2010)
47%
18%
9%
6%
5%
5%
4%
4%
2%
0% 10% 20% 30% 40% 50%
Chevron Pacific Indonesia
Pertamina
Total E&P Indonesia
PHE-ONWJ
CNOOC Ses.Ltd
Conoco Phillips Ind. Ltd
Cico
Mobil Cepu Ltd.
PetroChina Int. (Jabung) Ltd
Produsen Migas Indonesia: 2013
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
diperlukan mengutakatik SKK Migas dan/atau merevisi UU Migas2001 untuk pencapaian efisiensi
pengelolaan sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Syeirezi (2015) menyatakan:
“Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, ….merilis
12 rekomendasi final, mencakup reformasi tata kelola hulu dan tata niaga hilir…
…..,..TRTKM sama sekali tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas.”
Hikmah yang dapat kita ambil disini adalah bahwa terlalu naif (sangat keterlaluan) untuk
menyerahkan tafsir Pasal 33 UUD 1945 hanya kepada Tim Hakim Konstitusi. Lebih mendasar lagi, perlu
kita ingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan prinsip tatanan ekonomi Indonesia. Perumusan
tersebut seharusnya melibatkan juga para ekonom dan pakar pertambangan dalam skala nasional selain
melibatkan para pakar hukum.
Lebih jauh lagi, kita tentunya sepakat
bahwa memang betul Naskah Akademis (NA)
sebagai dasar dari penyusunan RUU melibatkan
berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan
pakar teknik. Walaupun demikian, perekrutan
para pakar termaksud tidak begitu terbuka dan
transparans serta umumnya pembahasan
dan/atau perdebatan substansi yang dilakukan
lebih bersifat dalam lingkungan internal dan
tidak tuntas. Lebih parah lagi, banyak substansi
penting NA RUU merujuk ke hasil kajian yang
tidak dipublikasikan dan/atau tidak dapat
diakses oleh publik.
Coba kita berkunjung ke website pihak-
pihak yang terkait dengan legislasi dan/atau
produk hukum. Di website DPR RI, misalnya,
jangankan Naskah Akademis RUU, Naskah
RUUnya sendiri pun tidak dapat kita akses.
Kebuntuan yang serupa terjadi jika kita
berkunjung baik ke website Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun ke
Kementerian Sektretariat Negara. Semua instansi pemerintah tersebut hanya menyediakan peraturan
perundang-undangan yang sudah disyahkan.
Dengan demikian, sulit untuk mengatakan bahwa NA RUU sejauh ini sudah mengakomodir arus
utama berbagai disiplin ilmu yang yang dibutuhkan. Untuk itu, penulis berpendapat memang sebaiknya
jangan membuat UU Migas baru dulu sebelum adanya kesepakatan nasional tentang tafsir frasa “dikuasai
oleh negara,” dan, tafsir frasa “sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat,” atau, lebih luas
lagi, sebelum adanya penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 secara utuh.
Hasan (2013) merupakan salah seorang penggagas penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 tersebut.
Menurutnya penyatuan tafsir tersebut lebih memberikan kepastian hukum atas tafsir frasa-frasa dalam
Tugas Pokok Negara secara Universal
Text Box: 8
USA Embassy (2016), misalnya, menyatakan: “…The United States and many other countries have intervened in their economies to limit concentrations of power and address many of the social problems associated with unchecked private commercial interests. As a result, the American economy is perhaps better described as a "mixed" economy, with government playing an important role along with private enterprise…..”
Hasan (2006) menyatakan: “Prinsip hak menguasai dari negara terhadap kekayaan alamnya telah diakui secara universal dalam hubungan dan hukum internasional…seperti Resolusi Majelis Umum PPBB 626 (VII) tanggal 21 Desember 1952….Declaration on the Human Environment (1972).”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Ini akan membantu meyakinkan para investor dalam pengambilan keputusan
investasi. Sebaliknya, tindakan pemerintah yang tidak dapat diprediksi akan menghambat kegiatan
investasi. Disini dikatakannya”
“…..usaha keberhasilan menarik investasi …tergantung pada tiga faktor, yakni peluang, kestabilan politik dan kepastian hukum. … risiko ….ketidakpastian dalam hukum dan kebijakan yang memungkinkan pemerintah mengambil tindakan-tindakan yang tidak dapat diprediksikan …Risiko politik ini merupakan faktor terbesar yang menghambat
partisipasi modal (terutama asing) dalam kegiatan hulu migas.”
Pemikiran tentang perlunya kesepakatan nasional tersebut lebih diperkuat dengan
memperhatikan bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang serupa dan/atau mendekati dengan yang
ada di sektor hulu Migas hanyalah untuk sektor kelistrikan. Disini PT PLN diberikan hak ekslusif monopoli
dalam pengelolaan kelistrikan di Indonesia. Tafsir frasa termaksud berbeda untuk banyak cabang produksi
yang lain yang juga penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Pertama, coba lihat di sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba). Disini tidak ada
perintah UU yang berlaku bahwa “kuasa pertambangan” diserahkan ke badan usaha milik negara seperti
PT BA, PT Antam, dan PT Timah. Maksudnya, tidak ada perintah UU yang mewajibkan perusahaan swasta
untuk membuat perikatan bisnis dengan BUMN-BUMN termaksud seperti yang ditafsirkan oleh MK untuk
sektor hulu Migas. Di sektor Minerba ini Kuasa Pertambangan diserahkan oleh negara kepada Pemerintah
dan selanjutnya Pemerintah c.q. Kementerian ESDM menerbitkan semacam surat Izin Usaha
Pertambangan.
Kedua, coba lihat juga sektor-sektor pertanahan, perkebunan, kehutanan, dan sumber daya air.
Di kesemua sektor itu tidak ada UU yang berlaku sejauh ini yang menyerahkan kuasa sektornya ke badan
usaha milik negara. Negara menyerahkan kuasa sektor masing-masing tersebut ke Pemerintah dan
selanjutnya Pemerintah c.q. kementerian dan lembaga negara terkait menerbitkan semacam konsesi,
atau surat izin pungusahaan (izin usaha).
Di sektor agraria, Hasan (2013) berpendapat bahwa pengertian kata “dikuasai” dari Pasal 33 UUD
1945 tidak identik dengan kata “dimiliki”. Pengertian kata dikuasai itu menurutnya adalah sebagai:
“ ‘yang memberi wewenang kepada negara’ sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk:
1). Mengatur dan menyelenggarakan …. ; 2). Menentukan dan mengatur hak-hak….; 3).Menentukan dan mengatur …. mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran rakyat.”
Jelas sekali bahwa tafsir Pasal 33 UUD1945 yang dituangkan dalam UU Agraria ini tidak
menyatakan bahwa sektor agraria harus dikelola langsung oleh pemerintah melalui BUMN. Ini menjadi
tambah menarik mengingat sejauh ini tidak ada atau belum adanya yang menggugat bahwa UU yang
mengatur sektor-sektor tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Lebih luas lagi serta
merisaukan jika kita melihat fakta atas terjadinya deplesi SDA ini dalam skala yang besar. Ini utamanya
sangat jelas untuk sektor minyak bumi dan hutan alam.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dibawah ini disajikan analisis tafsir frasa “dikuasai oleh negara” yang lebih terurai untuk masing-
masing sektor (cabang produksi) tersebut termasuk juga untuk sektor Migas. Selain itu, sajian termaksud
akan dimulai dengan tafsir yang ada di Era Awal-awal kemerdekaan.
Era Awal-awal Kemerdekaan
Era ini ditandai oleh semangat kebangsaan yang sangat tinggi tetapi organ-organ dan aset pemerintah
sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, masih merupakan warisan kolonial Belanda. Tafsir penguasaan
oleh negara adalah identik dengan kepemilikan dan pengelolaan langsung pemerintah atas aset-aset
yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ini dilakukan oleh jawatan-jawatan dan dinas-
dinas pemerintah misalnya untuk kegiatan angkutan trem dan bis kota serta penyediaan air minum.
Lebih jauh lagi, beberapa perusahaan minyak asing yang sudah memiliki konsesi kuasa pertambangan
sebelumnya masih diizinkan untuk beroperasi. Beberapa diantaranya adalah Royal Dutch/Shell dan
Standard-Vacuum Oil Company (Stanvac) serta Caltex, yang masa konsensinya akan berakhir pada tahun
195115. Wilayah Pertambangan Stanvac di Sumatera Selatan dan Caltex/Royal Dutch/Shell rasanya di
Sumatera Utara/Tengah/Riau. Kegiatan eksplorasi dan/atau esploitasi dari masing-masing perusahaan
asing tersebut kemudian diperpanjang sekitar 25 hingga 30 tahun lagi, walaupun dengan pola izin/kontrak
dengan Indonesia yang berbeda.
(Disarikan dari Hasan (2006) dengan diberikan sedikit penekanan dan tambahan ilustrasi)
Sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Uraian tentang sektor minyak dan gas bumi sudah disampaikan diatas dengan cukup terinci. Disini hanya
akan ditambahkan dua elemen penting. Pertama, rangkuman tafsir-tafsir frasa “dikuasai oleh negara”
Pasal 33 UUD 1945 Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Kedua, tambahan ilustrasi atas tiga pengujian
UU Migas 2001 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada dua kesimpulan dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” Pasal 33 UUD 1945 sektor minyak dan
gas Pra-Putusan Mahkamah Konstitusi 2012. Pertama, pengertian sektor migas dikuasai oleh negara
adalah identik dengan kepemilikan dan penguasaan langsung (melalui dinas/jawatan pemerintahan) atau
tidak langsung oleh negara (melalui badan usaha/perusahaan milik negara seperti PT Pertamina). Isu
terpenting disini adalah deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan diserahkan kepada
dinas/jawatan pemerintah (penguasaan langsung) dan kemudian berubah menjadi itu diserahkan hanya
ke PT Pertamina (penguasaan tidak langsung). (UU Pertambangan tahun 1960 dan UU PT Pertamina tahun
1971).
Kedua, deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut diserahkan kepada BHMN
BP Migas. Walaupun demikian, konsep yang dipegang adalah yang terpenting negara tetap mengatur
dan/atau mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak termasuk cabang produksi hulu minyak dan gas bumi. Dengan kata lain, pengelolaan sektor
hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) beralih dari yang sebelumnya dilakukan secara monopoli oleh PT
Pertamina (d/h PN Pertamina) menjadi dilakukan oleh BP Migas. (UU Migas 2001)
15 Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
UU Migas tahun 2001 mengalami tiga kali gugatan dan pada gugatan ketiga Mahkamah Konstitusi
(MK) memutuskan untuk membubarkan BP Migas. Keputusan ini terutama didasarkan pada pertimbangan
hukum MK bahwa tugas dan fungsi entitas BP Migas, utama yang terkait dengan dengan pembuatan deals
dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, bertentangan dengan semangat frasa “dikuasai oleh
negara” Pasal 33 UUD 1945. Selanjutnya ditegaskan bahwa tugas dan fungsi BP Migas perlu dikembalikan
lagi ke badan usaha milik negara semacam PT Pertamina walaupun tidak harus tunggal.
Berikutnya dan sebagai bahan perbandingan, disajikan juga tafsir/interpretasi frasa “dikuasai oleh
negara” menurut beberapa UU yang lain yang tentunya terkait dengan sektor produksi yang penting bagi
negara dan/atau sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak yang lain juga. Ini mencakup sektor
mineral dan batubara, sektor agraria (pertanahan), sektor kehutanan, sektor perkebunan, dan sektor daya
air.
Gugatan/Pengujian UU No 22/2001
ke Mahkamah Konstitusi
Gugatan atau permohonan pengujian
UU No. 22/2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi ke Mahkamah Konsitusi (MK)
sudah dilakukan sebanyak tiga kali.
Gugatan pertama, 2003 – 2005, dan
ketiga, 2012, pada prinsipnya
mencakup substansi (materi)
mendasar yang sama yaitu menggugat
agar kewenangan pengelolaan sektor
minyak dan gas bumi Indonesia
diserahkan kembali ke BUMN seperti
PT Pertamina. Ini menurut para penggugat adalah wujud/implementasi yang paling benar dari semangat
Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, institusi seperti BP Migas perlu dibubarkan karena bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dalam gugatan ketiga ini, seperti sudah disajikan diatas, sebagian besar permohonan pengujian
pasal-pasal UU Migas a quo diterima oleh Mahkamah dan diantaranya yang paling penting adalah
pembubaran BP Migas. Sebaliknya, dalam gugatan pertama hanya permohonan yang tidak prinsipil dan
tidak memiliki dampak penting yang diterima oleh Mahkamah. Selanjutnya, gugatan kedua mencakup
substansi yang berbeda dibandingkan dua gugatan yang disebutkan terdahulu itu. Gugatan kedua ini lebih
terkait dengan fungsi dan wewenang DPR dalam persetujuan/pengawasan perjanjian internasional yang
dibuat oleh pemerintah. Gugatan kedua ini ditolak sepenuhnya sebab MK berpendapat bahwa para
pemohon tidak memiliki kualifikasi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian suatu UU
terhadap UUD 1945.
Gugatan kedua
Substansi gugatan kedua ini, yang dimohonkan oleh perseorangan sebanyak delapan orang dan mereka
ini semuanya adalah anggota DPR RI ketika itu, menuntut adanya persetujuan DPR atas kontrak yang
Gugatan Kedua UU Migas 2001 Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007
Text Box: 9
Penggugat:
1. Zainal Arifin; 2. Sonny Keraf; 3. Alvin Lie; 4. Ismayatun; 5.
Hendarso Hadiparmono; 6. Bambang Wuryanto; 7. Dradjad
Wibowo; dan 8. Tjatur Sapto Edy. (Kesemuanya adalah
anggota DPR RI 2004 – 2009)
Hakim Konstitusi:
1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica
Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie
Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan;
dan 9. I Dewa Gede Palguna
Commented [AU1]: mungkin sektor listrik perlu juga diulas sedikit.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
dibuat oleh BP Migas dengan para para kontraktor perusahaan pertambangan. Dengan kata lain, menurut
mereka bahwa tidak cukup kontrak termaksud hanya dilaporkan saja ke DPR tetapi setiap kontrak antara
BP Migas dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap asing harus mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari DPR. Kontrak-kontrak tersebut menurut para pemohon ini adalah sama dengan Perjanjian
Internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Catatan text box16.
Pasal-Pasal UUD 1945 yang mereka rujuk adalah Pasal 11 ayat (2), yang berbunyi:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Menurut para pemohon tersebut, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut sudah sudah dilanggar oleh Pasal 11 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001, yang selengkapnya berbunyi:
“Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.”
Perjanjian internasional tersebut menurut UUD 1945 harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari DPR. Sebaliknya, itu tidak perlu menurut UU Migas karena perjanjian/kontrak yang dibuat
oleh BP Migas tersebut tidak termasuk Perjanjian Internasional seperti yang dimaksud oleh UUD 1945
tersebut. Dengan kata lain, para pemohon menyatakan pasal dalam UU Migas diatas bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan untuk itu perlu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
“bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Persisnya, mereka menuntut agar Pasal 11 ayat (2) tersebut dicabut.
Gugatan kedua ini ditolak secara keseluruhan oleh MK sebab para pemohon tidak memenuhi
syarat (legal standing) untuk menyampaikan permohonan pengujian UU a quo terhadap UUD 1945.
Pendapat MK [3.13] bullet 8 berbunyi:
“…para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf a UU MK, .. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo.”
Mahkamah juga memberikan penjelasan tambahan bahwa jikapun permohonan tersebut dikabulkan,
artinya Pasal 11 ayat (2) UU Migas termaksud dicabut, posisi DPR dalam kaitan kontrak BP Migas ini
bertambah buruk dengan tidak tersedianya akses informasi langsung terhadap kontrak-kontrak tersebut.
BP Migas tidak mempunyai lagi kewajiban untuk menyampaikan secara tertulis atas kontrak kerja sama
yang sudah ditandatanganinya. Keterangan ini konsisten dengan Putusan Mahkamah tahun 2012 yang
tidak mencabut pasal ini ketika sebagian besar pasal-pasal dalam UU Migas a quo dinyatakan tidak berlaku
(tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat).
Mungkin bermanfaat untuk mengetahui bahwa para pemohon tidak dapat dapat menghadirkan bukti yang kuat tentang kerugian yang sudah mereka alami dan/atau berpotensi untuk dialami dengan berlakunya UU a quo ini. Mereka hanya menyatakan bahwa terdapat arus uang yang demikian besar dalam pengelolaan sektor hulu Migas dan oleh karena itu penandatanganan kontrak KKS harus mendapat
16 Nama Hakim I Dewa Gede Palguna tidak tercantum dalam File PDF Putusan MK No. 20/PUU-V/2007
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Dengan adanya persetujuan terlebih dahulu dari DPR ini, maka, menurut pemohon, potensi kerugian negara dapat dihindari dan/atau diminimalisir. Hanya pernyataan verbal itu saja. Tidak ada dukungan fakta, data, apalagi analisism yang mumpuni. Alasan permohonan pengujian 3.3.4.2 berbunyi:
“……betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa …..diawasi secara ketat oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, …..”
Gugatan pertama
Tuntutan utama para pemohon
Disini para pemohon tidak menggugat pasal-pasal tertentu dari UU Migas 2001 ini melainkan mereka
menggugat UU a quo secara keseluruhan. Untuk itu para pemohon menyampaikan 20 alasan/unsur yang
menurut mereka membuktikan bahwa UU
Migas a quo bertentangan dengan Pasal 33
UUD 1945. Untuk mendukung alasan ini,
kemudian mereka tambahkan penjelasan
tentang lima dampak buruk (negatif) dari
berlakunya UU Migas ini, yang dilengkapi
dengan uraian/paparan tentang kontribusi
efisiensi monopoli alamiah sektor
pertambangan Migas Indonesia yang
dimiliki oleh PT Pertamina selama ini.
Penyampaian 20 alasan/unsur yang menurut para pemohon tersebut bertentangan dengan konstitusi, dimulai dengan pengungkapan fakta sejarah tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara”. Disini frasa itu mereka identikan dengan pemberian hak eksklusif monopoli kepada PT Pertamina (d/h PN Pertamina) dalam pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia termasuk pengelolaan sektor hilir (kilang) dan distribusi BBM dan gas. Kesemua ini sebetulnya hanyalah
perintah UU Pertambangan tahun 1960 dan UU Pertamina tahun 1971. Kedua UU ini dibatalkan oleh UU Migas 2001. Butir 1.c. pertimbangan pemohon berbunyi:
“Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal 33 UUD 1945 bagi kekayaan alam
minyak dan gas bumi ……secara fakta historis ditunjukkan oleh kenyataan dikuasainya lapangan
MIGAS berikut kilang ….. oleh negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). ….. secara prinsipiil
Persyaratan Legal Standing
Text Box: 10 a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945; b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji;
c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi;
d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
Putusan MK No. 006/PUU-III/2005
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
setelah masa kontraknya berakhir maka lapangan17 yang dikerjakan oleh Kontraktor Bagi Hasil
tersebut harus kembali kepada negara c.q. BUMN ….”
Dalam pengungkapan fakta sejarah ini juga para pemohon menyebut dua orang founding fathers Indonesia, Mr. Wilopo dan Bung Hatta, dalam kapasitas sebagai Ketua dan Penasehat Komisi Anti Korupsi tahun 1969/70. Mereka juga menyatakan bahwa Bung Hatta (Mantan Wapres Presiden Soekarno) sebagai arsitek dari Pasal 33 UUD 1945. Disini para pemohon mengemukakan bahwa Beliau berdua itulah yang menginisiasi pembentukan PN Pertamina di tahun 1971 dan dengan demikian pemberian hak eksklusif monopoli PN Pertamina untuk mengelola sektor (cabang produksi) minyak dan gas bumi Indonesia adalah wujud nyata dari pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD !945.
Selanjutnya pemohon menyatakan bahwa PN Pertamina diberikan wewenang untuk menandatangani kontrak dengan badan usaha swasta. Ini merupakan bagian dari pertimbangan butir 1.b pemohon, yang berbunyi:
“PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC) sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari BUMN.”
Dengan kata lain, para pemohon berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar yang
melakukan deals dengan perusahaan Migas swasta hanyalah BUMN dan BUMN itu adalah PT Pertamina. Namun demikian, terlepas dari adanya perintah dari UU pertambangan dan UU Pertamina yang sudah dibatalkan tersebut, para pemohon tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang pentingnya untuk mempertahankan PT Pertamina sebagai pengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap.
Para pemohon hanya memberikan alasan-alasan secara parsial, sepotong-sepotong, dan tidak komprehensif. Misalnya, mereka menyampaikan beberapa isu terkait dengan keberlanjutan dan/atau investasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sebagai contoh adalah utang untuk investasi seperti utang investasi invetasi pembangunan LNG Arun. Menurut pemohon, utang ini akan jadi utang PT Pertamina tetapi jika dilakukan oleh BP Migas itu akan jadi utang Pemerintah. (Penjelasan Tim Ahli Pemohon: Ir. Ramses Octavianus Hutapea). Tidak disampaikan perbandingan tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan utang antara jika dilakukan oleh PT Pertamina dan jika dilakukan oleh BP Migas.
Contoh lain yang disampaikan oleh para pemohon terkait dengan rendahnya kinerja penandatangan kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan oleh BP Migas. Menurut mereka, hingga gugatan ini disampaikan ke MK (2002 – 2003) hanya ada 1 (satu) KKS yang berhasil ditandatangani oleh BP Migas. Dilanjutkan dengan pernyataan bahwa seharusnya minimal 10 KKS yang ditandatangani setiap tahun agar Indonesia dapat menambah produksi minyak sebesar 500 juta barrel setiap tahunnya dalam kerangka menghindari posisi Indonesia sebagai net importer minyak mentah.
Pemerintah menyatakan bahwa pendapat para pemohon ini salah. Sudah ada 17 KKS yang disetujui (ditandatangani?) hingga saat gugatan ini disampaikan ke MK. Namun demikian, pemerintah tidak menyampaikan perkembangan produksi minyak mentah Indonesia dibawah rezim BP Migas.
Jika kita melihat grafik perkembangan produksi minyak mentah Indonesia diatas, terlihat bahwa BP MIgas tidak mampu mencegah penurunan produksinya. Selain itu, seperti sudah disampaikan terdahulu bahwa baik PT Pertamina, BP Mgas, maupun SKK Migas tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengrem laju penurunan produksi tersebut.
17 Sebetulnya bukan ladang migas itu saja yang kembali ke pemeritah tetapi aset lain perusahaan pertambangan kontraktor tersebut yang mencakup mesin dan peralatan juga harus diserahkan ke pemerintah. Ini disebabkan pemerintah sudah membayar aset termaksud melalui mekanisme cost recovery.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesimpulan para pemohon bahwa deals yang dilakukan oleh BHMN seperti SKK MIgas adalah bertentangan dengan konstitusi, hanyalah retorika frasa hukum belaka. Ini tidak terkait dengan tindakan konkrit peningkatan efisiensi yang mencakup efisinsi peningkatan produksi minyak mentah yang gagal dilaksanakan. Selain itu, itu juga tidak terkait dengan bukti konkrit implementasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan bersandar kepada tolok ukur efisiensi.
Para pemohon lebih banyak mengulas dan mengkutak-katik frasa hukum yang terkait. Misalnya, pandangan mereka bahwa hanya PT Pertamina yang diperintahkan oleh Pasal 33 UUD 1945 untuk melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap tertuang dalam pertimbangan hukum pemohon (butir lima). Alinea terakhir dari butir 5 ini berbunyi:
“Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, yaitu sebagai: ……..1. ………3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh Perusahaan negara yang diberi Kuasa
Pertambangan oleh negara.”
Selanjutnya dalam 20 alasan atau pertimbangan tersebut, pemohon menyatakan minimal ada dua alasan pokok dari Pengaturan Kuasa Pertambangan (KP) di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Alasan pertama dari pemohon berbunyi:
“Pengertian/definisi KP di dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001 hanya dibatasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi saja seperti dinyatakan: "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi”
Dengan kata lain, para pemohon tidak setuju dengan kebijakan untuk memisahkan (unbundling) sektor
hulu dan sektor hilir Migas. Ini berarti, menurut para pemohon, Pasal 1 angka 5 UU Nomor 22 Tahun 2001
ini telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak yang harus sepenuhnya mencakup sektor hulu hingga dan sektor hilir Migas.
Sedangkan dalam alasan kedua, pemohon dengan keras menyatakan bahwa adalah kesalahan
besar dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD untuk memberikan KP kepada badan usaha dan bentuk
usaha tetap (semuanya perusahaan asing). Alasan kedua ini berbunyi:
“…….Pasal 12 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2001 yang menentukan bahwa Menteri
menetapkan Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan
kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)…….”
Gugatan Pertama UU Migas 2001
Putusan No: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004
Text Box: 11
Penggugat:
1. APHI (Asosiasi Penasehat Hukum Indonesia) Jakarta; 2.
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Asasi Indonesia)
Jakarta; 3. Yayasan 324, Jakarta; 4.SNB (Solidaritas Nusa
Bangsa), Jakarta; 5. SP KEP – FSPSI Pertamina, Jakarta; dan
6. Dr. Ir. Pandji R. Hadinoto, Jakarta
Hakim Konstitusi:
1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica
Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie
Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan;
dan 9. I Dewa Gede Palguna
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi untuk permohonan ini praktis tidak berdampak sama sekali. Putusan ini
tidak menyentuh sama sekali keberadaan entitas BP Migas, yang mengelola sektor hulu Migas, dan entitas
BPH Migas, yang mengelola sektor Hilir Migas. Pasca, Putusan MK ini, semuanya berjalan seperti biasa,
dan ini lebih populer dengan kata business as usual.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang hanya terkait dengan pasal-pasal dan/atau
ayat-ayatnya yang tidak strategis. Itupun hanya terkait dengan tiga pasal saja dari UU Migas 2001 yang
digugat secara keseluruhan; 14 Bab dan 66 Pasal. Lebih jauh lagi, itupun hanya beberapa bagian/ayat dari
pasal-pasal termaksud. Pasal dan/atau ayat-ayatnya yang dibatalkan oleh MK tersebut adalah:
“Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1)
sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi….”
Coba kita lihat Pasal 12 ayat (3) yang kata-kata “diberi wewenang” dibatalkan.
“Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.
Dengan dibatalkannnya kata “diberi wewenang,” maka Pasal 12 ayat 3 berbunyi:
“Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.
Penghapusan dua kata tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali baik bagi perusahaan-
perusahaan Migas maupun bagi BP Migas. Ada atau tidak ada kata “diberi wewenang,” perusahaan-
perusahaan tersebut tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas seperti biasanya.
Yang lebih menarik adalah ketika penulis mengunduh UU Migas 2001 di tahun 2015; 11 tahun
pasca keputusan MK 2004 ini. Penulis belum menemukan Copy PDF yang Pasal 12 ayat 3 tersebut sudah
hilang kata-kata “diberi wewenang.” Copy PDF yang berhasil diunduh adalah seperti naskah asli UU Migas
2001 tersebut yaitu yang masih tercantum kata-kata “diberi wewenang”.
Kita lihat juga Pasal 22 ayat (1) yang kata-kata “paling banyak” dibatalkan/dicabut dari pasal ini.
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”
Dengan dibatalkannya kata “paling banyak tersebut,” maka pasal ini berbunyi:
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”
Pasal ini menjadi janggal sebab jika pemerintah hanya membutuhkan kurang dari 25%, maka apa
pemerintah wajib membeli dalam volume yang lebih besar dari kebutuhan? Juga, misalkan tidak ada
kesepakatan harga antara BU dan/atau BUT tersebut, apa arus pasokan itu tidak terkendala? Lebih jauh
lagi, MK gagal menghadirkan bukti kuantitas pasokan dan kebutuhan Migas dalam negeri Indonesia.
Terakhir kita lihat Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang sepenuhnya dicabut/dibatalkan oleh MK.
“(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”.
Dengan demikian Pasal 28 hanya memiliki satu ayat saja yaitu ayat (1), yang berbunyi:
“Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.”
Ini pernyataan normatif dan bersifat universal. Pemerintah di negara manapun wajib melakukannya terlepas ada atau tidak adanya UU yang berlaku di negara masing-masing. Bahkan setiap produk olahan dan/atau fabrikan wajib mengikuti standar dan mutu yang ditetapkan pemerintah.
Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi tetap mengikuti mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kenapa? Karena BBM dan BBG itu dibelinya dari mekanisme persiangan usaha yang sehat dan wajar. Misalnya, ketika itu subsidi BBM dan BBG tetap diberlakukan seperti biasanya. Sekarang subsidi pemerintah untu BBM dan BBG tinggal sedikit sekali dan dengan demikian sudah mendekati titik harga yang searah dengan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Gugatan Ketiga
Seperti sudah disampaikan terdahulu, UU No. 21/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi digugat untuk ketiga
kalinya ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pada tanggal 29 Maret 2012. Bagian terpenting dari gugatan ketiga
ini yang dikabulkan oleh Keputusan MK No. 36/PUU-X/2012 ini adalah pembubaran BP Migas dan tugas
BP Migas diserahkan ke pemerintah (Kementerian ESDM) sampai dengan disyahkannya UU Migas yang
baru.
Terdahulu juga sudah disampaikan analisis tentang putusan MK ini secara terurai dan kritis. Ini
mencakup tentang pembatalan-pembatalan tersebut yang tidak memiliki implikasi sosial ekonomi dan
untuk entitas BP MIgas hanya berubah nama menjadi SKK Migas saja. Operasi SKK Migas dapat dikatakan
persis sama dengan operasi BP MIgas.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Selanjutnya, disini hanya disajikan beberapa unsur penting dari Putusan MK 2012 in. Unsur-unsur
tersebut adalah: 1. Pasal-pasal yang dibatalkan yang terkait langsung dengan BP Migas; 2. Daftar pemohon
dan Tim Ahli serta Tim Hakim Konstitusi; dan 3. Analisis Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Harjono.
Terdapat enam pasal yang terkait langsung dengan pembubaran BP Migas, yaitu: 1. Pasal 1 angka
23; 2. Pasal 4 ayat (3); 3. Pasal 41 ayat (2); 4. Pasal 44; 5. Pasal 45; dan Pasal 61. Kutipan lengkap dari
keenam pasal tersebut disajikan dibawah ini.
Pasal 1 angka 23 berbunyi:
“Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan
Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.”
Pasal 4 ayat (3) berbunyi:
“Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.”
Pasal 41 ayat (2) berbunyi:
“Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama
dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.”
Pasal 44 berbunyi:
“(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal a ayat (3).”
“(2) Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan
terhadap Kegiatan usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik
negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.”
“(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. Dst; b.
Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. Dst; d. dst; e. Dst; f. Dst.; dan g.
Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
Pasal 45 berbunyi:
“(1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum
milik negara.”
“(2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, dst.”
“(3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab
kepada Presiden.”
Pasal 61 berbunyi:
“Pada saat Undang-undang ini berlaku: a. Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi
pembinaan dan pengawasan kontraktor Eksplorasi dan Eksploitasi Kontraktor Kontrak Bagi Hasil
sampai terbentuknya Badan Pelaksana; b. Pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti
Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan
Badan Pelaksana untuk melanjutkan Eskplorasi dan Eksploitasi pada bekas Wilayah Kuasa
Pertambangan Pertamina dan dianggap telah mendapatkan Izin Usaha yang diperlukan
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 untuk usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan,
dan Niaga.”
Tabel 3. Daftar Hakim Konstitusi pada Gugatan Ketiga UU Migas tahun 2001
No.
Urut
Nama Hakim Konstitusi Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012.
1. Moh. Mahfud MD
(Ketua merangkap Anggota)
2. Achmad Sodikin (Anggota)
3. Harjono (Anggota)
4. Hamdan Zoelva (Anggota)
5. M. Akil Mochtar (Anggota)
6. Muhammad Alim (Anggota)
7. Maria Farida Indrawati (Anggota)
8. Ahmad Fadkik Sumadi (Anggota)
9. Anwar Usman (Anggota)
Tabel 4. Daftar Penggugat pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012
No. Urut Nama dan Kota Pemohon No. Urut Nama dan Kota Pemohon
1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Yogyakarta dan Jakarta
22. Adhie M. Massardi, Bekasi, Jabar
2. Lajna Siasiyah Hizbut Tahrir
Indonesia, Jakarta
23. Ali Mochtar Ngabalain, Jakarta
3. Pimpinan Pusat Persatuan Ummat
Islam, Jakarta
24. Hendri Yosodiningrat, SH., Jakarta
4. Pimpinan Pusat Syarikat Islam
Indonesia, Jakarta
25. Laode Ida, Jakarta
5. Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah
Syarikat Islam, Jakarta
26. Sruni Handayani, Jakarta
6. Pimpinan Pusat Persaudaraan
Muslimin Indonesia, Jakarta
27. Juniwati T. Maschun S., Jakarta
7. Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-
Islamiyah, Jakarta
28. Nuraiman, Tangerang, Banten
8. Pimpinan Besar Pemuda Muslimin
Indonesia, Jakarta
29. Sultana Saleh, Jakarta
9. Al-Jami’yatul Washliyah, ? 30. Marlis, Jakarta
10. Solidaritas Juru Parkir, Jakarta 31. Fauziah Silvia Thalib, Jakarta
11. K.H. Achmad Hasyim Muzadi,
Malang
32. King Faisal Sulaiman, SH, LLM., Ternate,
Maluku Utara
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
12. Drs. H. Amidhan, Jakarta 33. Soerasa, BA., Jakarta
13. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat,
Tanggerang, Banten
34. Mohammad Hatta, Jakarta
14. Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si., Bogor 35. M. Sabil Raun, Jakarta
15. Marwan Batubara, Jakarta 36. Edy Kuscahyanto, SSI, Jakarta
16. Drs. Fahmi Idris, MH., Jakarta 37. Yudha Ilham, SH., Cianjur, Jabar
17. Moch. Iqbal Sullam, Jakarta 38. Joko Wahono, Yogyakarta
18. Drs. H. Ichwan Sam, Bekasi, Jabar 39. Dwi Saputro Nugroho, Jakarta
19. Ir. H. Salahuddin Wahid, Jombang,
Jawa Timur
40. A.M. Fatwa, Jakarta
20. Nirmala Chandra Dewi M., SH,
Jakarta
41. Hj. Elly Zanibar Madjid, Jakarta
21. HM. Ali Karim Oei, SH, Jakarta 42, Jamilah, Jakarta.
Tabel 5. Daftar Ahli pada Gugatan Ketiga UU Migas 2001: Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012
No. Urut Ahli Pemohon No. Urut Ahli Pemerintah
1. Dr. Kurtubi 1. Rudi Rubiandini
2. Dr. Ichsanudin Noorsy 2. Dr. Ir. Rachmat Sudibyo
3. Kwik Kian Gie 3. Dr. Erman Rajagukguk
4. Irman Putra Sidin ‘4. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana
5. Margarito Kamis ‘5. Sampe L. Purba
6. Rizal Ramli
Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi
Keputusan MK No. 36/2012 tidak ditetapkan dengan suara bulat (aklamasi). Diantara sembilan, satu hakim
konstitusi yaitu Harjonoi menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Pendapat yang
berbeda tersebut dituangkannya dalam delapan butir pendapat yang jika delapan hakim konstitusi yang
lainnya tersebut, sebaliknya, sependapat dengan Hakim Konstitusi Harjono, entitas lembaga negara BP
Migas tidak perlu dibubarkan. Butir pertama dissenting opinion Hakim Konstitusi ini adalah sangat
mendasar yaitu para pemohon tidak memenuhi persyaratan legal standing (kedudukan hukum) untuk
menggugat UU Migas No. 22/2001. Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara ini, menurut Hakim
Konstitusi Harjono, gagal memperlihatkan bukti yang kuat dan shahih tentang adanya kerugian dan/atau
potensi kerugian para pemohon dengan berlakunya UU nomor 22/2001 utamanya yang terkait dengan
pasal-pasal pengalihan sebagian tugas PT Pertamina ke BP Migas. Kutipan dari sebagian substansi butir
pertama tersebut:
“Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing para Pemohon .....
Mahkamah tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang
dimohonkan untuk diuji......”
Penulis sepakat dengan pendapat Hakim Konstitusi Harjono ini. Coba kita lihat pokok
pertimbangan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon yang dituangkan dalam butir
[3.7] Pertimbangan Hukum Mahkamah, yang berbunyi:
“........menurut Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial
dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas.... Oleh karena
itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo.”
Kata kunci yang penting disini adalah potensi18 kerugian. Artinya Mahkamah berpendapat bawah
sejak berlakunya UU Migas tahun 2001 hingga saat Putusan Mahkamah ini diambil yaitu pada tahun 2012,
atau, selama sekitar 11 tahun, Mahkamah tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Para Pemohon tersebut
sudah dirugikan hak-hak konstitusional mereka oleh pasal-pasal UU Migas tersebut. Mahkamah hanya
membuat penalaran yang “wajar” bahwa Para Pemohon tersebut akan dirugikan pada masa yang akan
datang. Walaupun demikian, tidak jelas bagaimana cara Mahkamah menghasilkan penalaran yang wajar
bahwa kerugian termaksud pasti akan terjadi.
Menurut penulis potensi kerugian tersebut, yang seharusnya tetapi gagal diperlihatkan dalam
Pertimbangan Hukum Mahkamah tersebut, harus diuraikan serinci mungkin yang mencakup dari satu atau
beberapa unsur-unsur sebagai berikut yaitu: lingkungan, limbah, kesempatan bekerja/berkarir, cadangan
migas, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, investasi, penerimaan negara, harga migas dalam negeri,
produksi pengolahan migas. dan pasokan migas untuk produksi dan konsumsi dalam negeri. Misalnya,
Mahkamah, berdasarkan hasil analisis Ahli (kualitatif dan/atau kuantitatif termasuk pendekatan
modeling), berkeyakinan bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan/atau terjadinya
deplesi cadangan migas yang sangat besar jika tugas dan wewenang lembaga negara semacam BP Migas
tidak dicabut dan tidak diserahkan kembali ke BUMN semacam Pertamina yang tidak harus tunggal.
Menarik untuk disajikan disini bahwa terdapat ratusan blok migas yang sudah dikontrakkan oleh
BP Migas dengan para kontraktor, dalam sekitar 11 tahun tersebut. Namun Mahkamah tidak menemukan
satupun dari kegiatan usaha pertambangan dari ratusan blok migas tersebut yang secara spesifik (aktual)
telah merugikan Para Pemohon akibat kontrak kerja sama tersebut dilakukan oleh BP Migas dan bukan
dilakukan oleh PT Pertamina, seperti dalam periode-periode sebelumnya.
Sebagai contoh dan sejauh informasi yang penulis dapat akses, BP Migas sudah menandatangani
Kontrak Kerja Sama 12 Blok Migas dengan perusahaan swasta di tahun 2004. Perusahaan-perusahaan
swasta tersebut antara lain adalah: 1. Anardako Petroleum (North East Madura III); 2. Petronas Carigali
(North East Madura IV); 3. PT Waropen Perkasa (Manokwari Papua); 4. PT Medco E &P Indonesia
18 Definisi kerugian potensial menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: “Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat .....potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
(Nunukan, Kaltim); 5. Transworld Exploration Ltd ( Aceh-NAD); dan 6. Genting Oil and Gas LPG (Natuna)19.
Penulis yakin bahwa ada puluhan blok migas dalam tahun-tahun berikutnya yang dikontrakan oleh BP
Migas ke badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap.
Sektor Kehutanan
Eksploitasi kawasan hutan Indonesia yang dikenal sebagai hutan tropis basah (tropical rain forest) yang
terluas di dunia setelah Brazilia di Amerika Selatan sudah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda.
Walaupun demikian, eksploitasi secara besar-besaran mulai dilakukan pada awal-awal rezim Orde Baru
Soeharto dan mencapai puncaknya di tahun 1980an. Menurut Gillis (1988) Indonesia menguasai 40 persen
ekspor kayu bulat/gelondongan (log) dunia di tahun 1980/81. Selanjutnya, akan disampaikan bagaimana
cara negara Indonesia “menguasai” eksploitasi hutannya tersebut menurut peraturan perundang-
undangan yang ada sejauh ini.
Semua UU Pelaksana Pasal 33 UUD 1945 beserta semua peraturan-perturan perundangan
dibawahnya memberikan penafsiran yang sama atas frasa “dikuasai oleh negara” di cabang produksi
(sektor) kehutanan ini. Negara (Pemerintah) diberikan mandat sebatas regulator saja sedangkan operator
untuk eksploitasi kehutanan diserahkan kepada Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MIlik
Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta. Posisi badan usaha koperasi, badan usaha milik negara/daerah,
dan badan usaha milik swasta adalah setara dan persis sama. Masing-masing beroperasi berdasarkan Izin
pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan
(HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI).ii
Izin atau pemberian hak konsesi kehutanan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pertanian di
Era 1960an (UU No. 5 Tahun 1967iii beserta aturan-aturan pelaksananya). Sedangkan di Era 1970an hingga
akhir Kabinet SBY II izin konsensi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan dan saat ini Era
Presiden Jokowi (2014 -2019), izin konsesi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan). Payung hukum
eksploitasi hutan sejak tahun 1999 hingga saat ini adalah UU Kehutanan Tahun 1999 (UU No. 41 Tahun
1999).
Izin konsensi eksploitasi hutan Indonesia tersebut saat ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1.
IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam; 2. IUPHHK pada hutan tanaman;
dan 3. Izin eksploitasi untuk TSL (tumbuhan dan satwa liar). Lingkup eksploitasi untuk masing-masing-
masing kategori adalah sebagai berikut. IUPHHK pada hutan alam adalah izin konsensi untuk
memanfaatkan kayu alam pada hutan alam produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan,
penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan. Sedangkan IUPHHK
pada hutan tanaman adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu tanaman pada hutan tanaman yang
kegiatanya terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu. Kelompok ini sebagian
besar bergerak di industri pulp and papers dan Sinar Mas Grup memiliki pangsa pasar yang terbesar.
Terakhir, TSl adalah perusahaan yang mengupayakan pembiakan satwa dan tumbuhan liar melalui
pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
19 Detikfinance.com, 2 Desember 2004, diakses 25 April 2016.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
BPS (2015) melaporkan jumlah perusahaan yang memiliki izin-izin tersebut. Menurut laporan ini terdapat
706 perusahaan kehutanan yang terdiri dari 276 perusahaan HPH (alam) atau IUPHHK pada hutan alam,
258 perusahaan hutan tanam (HPHT) atau IUPHHK pada hutan tanaman, dan 172 perusahaan Tanaman
dan Satwa Liar. Sebagian besar perusahaan kehutanan tersebut berada di Pulau Kalimantan, diikuti yang
berada di Pulau Sumatera.
Belum dapat diakses keberadaan Koperasi dan badan usaha milik daerah di sektor kehutanan ini.
Sedangkan badan usaha milik negara adalah Perum Perhutani. Menurut website Perum Perhutani areal
kawasan hutan yang dimilikinya adalah 2,4 juta Ha yang tersebar di Jawa Barat dan Banten (0,7 juta Ha),
di Jawa Tengah 0,6 juta Ha, dan di Jawa Timur (1,13 juta Ha). Dengan demikian, peran Perum Perhutani20
di sektor kehutanan ini sangat kecil dengan izin konsensi pengusahaan hutan yang kurang dari dua persen
dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Sebagai informasi tambahan, berikut ini disampaikan potret
luas kawasan hutan Indonesia.
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) 2015 di tahun 2013 tutupan hutan Indonesia, hutan alam
yang relatif masih utuh, tinggal 82,5 juta Ha, atau, 62,6 persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia.
Dari jumlah ini, sebagian besar (lebih dari 51%) berada di wilayah Kalimantan Timur dan di Papua (Barat
dan Timur). Sedangkan menurut Gillis (1988), luas seluruh kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta Ha
yang terdiri dari hutan alam (rain forest) 82,2 juta Ha, hutan rawa (swamp forest) 12 juta Ha, hutan
sekunder (secondary forest) 14,6 juta Ha, dan hutan lain-lain 34,2 juta Ha.
Sektor Agraria
UU yang mengatur agraria atau pertanahan nasional adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. UU ini menyatakan bahwa peran pemerintah dalam masalah pertanahan nasional
hanya sebatas sebagai regulator saja. Pemerintah hanya berperan sebagai pemberi dan pencabut hak hak-
hak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi, kelompok masyarakat, badan usaha swasta termasuk
swasta asing, dan badan usaha milik negara. UU ini masih tetap berlaku hingga saat ini dan belum ada
revisi atau amendmen sama sekali.
Ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan UU Pokok Agraria ini dan semuanya
menetapkan bahwa peran pemerintah hanya sebagai regulator saja. Posisi perorangan, badan usaha miliki
negara/daerah, dan badan usaha swasta dapat dikatakan sama yaitu terbatas sebagai pemegang hak atas
tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga tahun 2014. BPN yang tadi
merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab ke presiden kemudian ditingkatkan menjadi
kementerian negara dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di
Era Presiden Jokowi saat ini (2014 – 2019).
Pasal 2 dari UU No. 5/1960 ini menyatakan:
“(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
20 Produk kehutanan yang dihasilkan oleh Perum Perhutani mencakup kayu bundar (log) serta retail dan property.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;c. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”
Selanjutnya, Pasal 16 mengatur tentang jenis-jenis hak yang dapat diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) yang sekarang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional. Kutipan penuh dari Ayat 1 Pasal 16 adalah:
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Satu dan/atau beberapa hak termaksud dalam Pasal 16 diatas dapat diberikan kepada:
perorangan warga negara Indonesia, perorangan warga negara asing, badan hukum Indonesia/asing
sesuai dengan peruntukan jenis-jenis hak tersebut. Tentunya dipahami bahwa badan hukum Indonesia
tersebut mencakup koperasi, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik negara/daerah. Jelas
terlihat bahwa posisi Badan Usha Milik Negara/Daerah dalam sektor pertanahan ini adalah hanya sebatas
pemegang hak tanah yang dapat hanya satu jenis hak saja, atau, bebarapa hak yang lain, atau, semua hak
yang tersedia. BUMN tidak diberikan mandat sama sekali untuk bertindak sebagai regulator dan/atau
pemain utama dalam bidang pertanahan nasional. Kutipan penuh dari pasal-pasal yang terkait langsung
dengan peran negara dan BUMN dalam bidang pertanahan ini disajikan dalam catatan akhir bab iniiv.
Sektor Daya Air
Pengelolaan daya air Indonesia yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
pengevaluasian penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air diatur dalam UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004). Disini tafsir
Pasal 33 UUD 1945 atas frasa “dikuasai oleh negara” adalah pemerintah bertindak sebagai
regulator yang fungsinya mencakup penerbitan hak atas air yang terdiri dari Hak Guna Air, Hak
Guna Pakai Air, dan Hak Guna usaha Air. Pengertian hak guna tersebut dituangkan dalam Pasal 1
Angka 13, 14, dan 15 UU No. 7 UU tahun 2004 ini.
Angka 13 “Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan
air untuk berbagai keperluan.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Angka 14 “Hak Guna Pakai Air adalah untuk memperoleh dan memakai air.” Dan
Angka 15 “ Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.”
Hak Guna Usaha Air mencakup pemberian hak oleh Pemerintah kepada perseorangan dan badan
usaha. Ayat (1) Pasal 6 dari UU No. 7 Tahun 2004 menyatakan”
“Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”
Pasal 9 Ayat (1) UU No. 7/2004 menyatakan:
“Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin
dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”
Ini berarti bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan
usaha. Dengan kata lain, badan usaha milik negara/daerah posisinya hanya sebatas penerima
manfaat untuk menggunakan hak guna usaha daya air tersebut. BUMN/D tidak mendapat
mandat baik sebagai pemain utama maupun sebagai regulator di sektor daya air ini.
Lebih jauh lagi, dinyatakan secara eksplisit dalam UU Sektor Daya Air ini bahwa
penggunaan air untuk keperluan orang banyak bukan saja tidak wajib untuk dikelola oleh
BUMN/D tetapi juga tidak perlu mendapat izin dari pemerintah (negara). Pasal 8 Ayat (1)
menyatakan:
“Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
perseorangan dan bagi pertanian rakyta yang berada dalam sistem irigasi.”
Sedangkan Ayat (4) berbunyi:
“Hak guna pakai air sebagai mana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan
air dari atau ke tanahnya memalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.”
Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Pengertian pertambangan mineral dan batubara menurut UU No. 4/1999 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, adalah seperti berikut ini.
“Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan,
di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah,” (Pasal 1 Angka 4), dan Angka 5
berbunyi:
“Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,
termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.”
Perlu diingat bahwa menurut UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang
antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
gas bumi, serta air tanah termasuk dalam golongn bahan galian strategis atau bahan galian golongan a.
Untuk lebih memahami penggolongan bahan galian menurut UU Pertambangan tahun 1967 tersebut kita
dapat merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Misalnya, PP No 27 Tahun
198021 menjelaskan ada tiga kelompok jenis pertambangan (bahan-bahan galian), yaitu: a. golongan
bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk
golongan a atau b. Golongan bahan galian a mencakup minyak bumi dan gas alam, serta batubara, timah
dan nikel/kobalt. Sedangkan bahan galian golongan b mencakup besi, tembaga, emas, bauksit dan intan.
Terakhir, bahan galian golongan c mencakup nitrat-nitrat, asbes, marmer, dan pasir (sepanjang tidak
mengandung mineral golongan a dan b).
Selanjutnya, UU Minerba tahun 2009 ini secara eksplisit menyatakan bahwa peran (kewenangan)
pemerintah hanya sebatas regulator yang mencakup penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu,
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dengan kata lain, tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dari
Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Minerba ini dalam bentuk penerbitan izin usaha pertambangan
(IUP). Pemerintah tidak terlibat sama sekali, misalnya melalui instansi/jawatan/dinas pemerintah, dalam
kegiatan usaha pertambangan. Yang melakukan kegiatan usaha pertambangan adalah badan usaha milik
negara/daerah, koperasi, perseorangan, dan badan usaha (perusahaan) swasta. Posisi badan usaha milik
negara/daerah adalah sama dengan poisi yang dimiliki oleh perseorangan dan/atau badan usaha milik
swasta.
Lebih persisnya, Pasal 38 UU/2009 ini menyatakan:
“IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.”
Sedangkan pengertian badan usaha menurut Pasal 1 UU Minerba/2009 adalah:
“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Sederhananya, badan usaha tersebut adalah perusahaan pertambangan mineral batubara yang berbadan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ini dapat berupa perusahaan swasta atau perusahaan
milik negara (BUMN) dan BUMD serta Koperasi.
Pada tanggal 30 Juni 2011 kementerian ESDM mempublikasikan daftar perusahaan MInerba
dengan IUP yang masuk dalam kategori C and C (Clear and Clean). Kategori C and C adalah yang sudah
memenuhi persyaratan PP 23 Tahun 2010 serta Surat Edaran Menteri ESDM No 03.E/31/DJB/2009, yang
mencakup: wilayah tidak tumpang tindih, diterbitkan sebelum 1 Mei 2010, dan lain sebagainya. Jumlah
usaha pertambangan dengan IUP yang sudah memenuhi kriteria CNC ini banyak sekali dan dalam hitungan
ribuan. Walaupun demikian, jumlah kumulatif BUMN/D/koperasi yang memiliki IUP C and C ini sangat
kecil dibandingkan dengan yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki
21 Perubahan PP No. 25/1964 dan di UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, tidak ada definisi tentang masing-masing golongan bahan galian. Disini hanya dikatakan bahwa bahan-bahan galian terdiri dari tiga golongan yaitu a, b, dan bukan a dan b.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
kegiatan usaha pertambangan yang sudah IUP C and C. Daftar perusahaan pertambangan kategori C and
C untuk 10 provinsi disajikan dibawah ini.
Tabel 6. Daftar Jumlah IUP C and C Pertambangan Mineral dan Batubara di 10 Provinsi Indonesia
No Provinsi Jumlah IUP Badan Hukum Pemegang IUP
1 Bangka Belitung 303 16 BUMN dan 287 Perusahaan Swasta
2 Banten 14 Semua perusahaan swasta
3 Bengkulu 68 2 BUMN dan 66 perusahaan swasta
4 Yogyakarta 2 Semua usaha perseorangan
5 Gorontalo 11 1 Koperasi dan 10 perusahaan swasta
6 Jawa Barat 312 3 BUMD, 2 BUMN, 11 Koperasi, dan 296 perusahaan
swasta/perseorangan
7 Jambi 90 3 BUMN dan 87 perusahaan swasta
8 Jawa Tengah 118 1 BUMN dan 117 perusahaan swasta/perseorangan
9 Jawa Timur 209 2 BUMN, 3 BUMD, 5 Koperasi, dan 199 usaha perseorangan
dan perusahaan swasta
10 Kalimantan Barat 235 2 BUMN, 2 BUMD, dan 231 perusahaan swasta
11 Kalimantan
Selatan, dan
provinsi di
Indonesia yang lain
>1000 Pola yang sama seperti no 1 s/d 10 yaitu hanya terdapat
beberapa koperasi, beberapa BUMN/D, selebihnya adalah
perusahaan swasta.
Sumber: Ditjen Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2011. Pengumuman Hasil Rekonsialisasi IUP
Sekarang coba kita mundur sedikit untuk melihat tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UD 1945
tersebut di sektor (cabang produksi) mineral dan batubara ini dalam periode-periode sebelum
diberlakukannya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 ini. Dalam periode-periode tersebut masih berlaku
UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sejauh yang penulis dapat akses
sampai saat ini, ada enam peraturan pelaksana UU ini yang terkait lansgung dengan tafsir frasa “dikuasai
oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)22 dan tiga dalam bentuk
Keputusan Presiden (Keppres). Ketiga Keppres tersebut hanya terkait dengan subsektor pertambangan
batubara.
Selanjutnya coba kita lihat aturan utamanya dulu yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan. Tafsir “dikuasai oleh negara” di undang-undang ini tidak tegas dan
berbelit-belit. Namun demikian, dapat kita tafsirkan “dikuasai oleh negara” adalah dikuasai oleh Menteri
Pertambangan. Menteri pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kegiatan
usaha pertambangan, hak kuasa pertambangan, di setiap wilayah pertambangan, baik kepada instansi
pemerintah/perusahaan negara (badan usaha milik negara) maupun kepada perusahaan swasta. Menteri
Pertambangan lah nantinya akan memutuskan ada tidaknya hak eksklusif monopoli kuasa pertambangan
221. PP No 32/1969; 2. PP No 79/1992; dan 3. PP No. 75 tahun 2001.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
baik untuk instansi pemerintah maupun untuk badan usaha milik negara (d/h perusahaan negara). Ini
dapat berlaku di seluruh subsektor pertambangan (seluruh golongan bahan galian) atau hanya untuk satu
dan/atau beberapa subsektor saja. Jika nantinya tidak ada dan/atau dalam perkembangan terkini ternyata
tidak ada, maka dengan demikan, ini dapat berarti bahwa posisi instansi pemerintah/BUMN dengan
perusahaan swasta akan relatif sama di sektor pertambangan ini. Untuk lebih mempertajam tafsir frasa
tersebut, berikut ini disajikan beberapa kasus golongan bahan baku.
Bahan Galian Golongan a
UU Pertambangan tahun 1967 ini membagi sektor pertambangan kedalam tiga subsektor yaitu:
1. Bahan galian golongan a (bahan galian strategis); 2. Bahan galian golongan b (bahan galian
vitaL; dan 3. Bahan galian yang tidak termasuk a dan b. Pasal 3 Huruf (1) berbunyi:
“Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan
bahan galian vital; c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk a atau b.”
PP No. 27 /198023 tentang Penggolongan Bahan Galian mendefinisikan pengertian masing-masing
golongan bahan galian tersebut sebagai berikut. Bahan galian strategis mencakup minyak bumi dan gas
alam, nikel, timah dan batubara; Bahan galian vital mencakup besi, tembaga, emas, platina, perak, seng,
belerang, dan arsin. Bahan galian bukan a dan b mencakup nitra-nitrat, asbes. Yarosit, batu permata, pasir
kwasa, dan pasir sepanjang tidak mengandung bahan yang ada di golongan a dan/atau b.
Coba kita lihat beberapa Pasal UU No. 11/1967 ini, misalnya pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ini, yang
merujuk ke Pasal 3 huruf (1) diatas.
Pasal 6 berbunyi:
“usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) dilakukan oleh: a.
Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara.”
Pasal 6 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara
perlu diprioritaskan dan/atau hak ekslusif monopoli untuk melakukan usaha pertambangan golongan a
(golongan bahan galian startegis). Namun demikian, Pasal 7 dibawah ini mementahkan kesimpulan
pemberian prioritas dan/atau hak eksklusif monopoli tersebut. Pasal 7 ini mengarahkan kita pada
kesimpulan bahwa posisi instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara dengan perusahaan swasta
adalah setara. Masing-masing memiliki hak yang sama untuk mendapatkan izin usaha pertambangan.
Pasal 7 berbunyi:
“Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta
yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut
pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan
23 PP No. 27/1980 ini mencabut PP No. 25 tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan Galian.Namun demikian, kedua PP ini pada prinsipnya tidak berubah banyak. Untuk minyak dan gas bumi, batubara, emas, tembaga, misalnya, tetap berada dalam golongan bahan galian yang sama.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
perkembangan-perkembangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh pihak
swasta.”
Kata “lebih menguntungkan bagi negara” dapat kita tafsirkan usaha pertambangan tersebut dapat
lebih besar memberikan kontribusi keuangan ke negara, dapat lebih baik dan lebih berkelanjutan dalam
melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta komersialisasi, dan/atau dapat lebih baik memelihara
lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam pertambangan, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan
yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan pengorbanan sumber-sumber langkah yang paling kecil.
Secara sederhana, pertimbangan efisiensilah yang menentukan kepada siapa suatu wilayah
pertambangan tertentu akan diberikan. Menteri Pertambangan memutuskan pemberian hak kuasa
pertambangan kepada siapa saja, ya itu, bisa BUMN/D, koperasi, perseorangan, atau, perusahaan swasta
tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menciptakan efisiensi yang lebih baik. Dengan
demikian, kesan prioritas apalagi hak eksklusif monopoli di sektor Pertambangan untuk BUMN/D menjadi
hilang disini. Tidak adanya ketentuan prioritas tersebut lebih diperkuat oleh Pasal 1 PP No. 32/1969 yang
berbunyi:
“Setiap usaha pertambangan bahan galian jang termasuk dalam golongan bahan galian strategis
dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah
mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan……”
Dengan demikian, terlepas apakah itu instansi pemerintah, atau, perusahaan negara, atau,
perusahaan swasta, masing-masing wajib memiliki Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri
Pertambangan untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Selanjutnya, Kuasa Pertambangan tersebut
dapat berbentuk salah satu dari: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin
Pertambangan Rakyat; dan c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (Pasal 2 Ayat (1) PP No.
32/1969 tersebut diatas.
Pertambangan Galian Batubara (sub bahan golongna a; bahan galian strategis)
Sebagaimana telah disampaikan diatas, khusus untuk pertambangan bahan galian batubara (sub
bagian pertambangan bahan galian golongan a) terdapat tiga peraturan pelaksana UU No.
11/1967 yang terkait langsung dengan frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 UUD 194524. Ketiga
peraturan pelaksana yang berbentuk Keppres ini adalah Keppres No. 49/1981, Keppres No.
21/1993, dan Keppres No. 75/1996. Keppres No. 75/1996 ini mencabut hak eksklusif monopoli
Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA) yang diberikan oleh dua Keppres
terdahulu itu. Selanjutnya, dalam Keppres tahun 1996 ini, Kuasa Pertambangan langsung
diberikan oleh Kementerian Pertambangan kepada perusahaan swasta. Di dua Keppres terdahulu
Kuasa Pertambangan untuk perusahaan swasta diberikan oleh PT BA kepada perusahaan swasta
melalui Perjanjian Kontrak Karya.
24 Sejauh yang penulis dapat akses hingga saat ini.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Dengan demikian, Keppres No. 75/1996 ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal
33 UUD 1945 sebagai pemerintah memiliki mandat penuh berdasarkan UU No. 11/1967 untuk
secara langsung membuat perjanjian dengan perusahaan swasta dalam pengusahaan
pertambangan batubara. Perusahaan swasta adalah kontraktor pemerintah secara langsung,
yang kewajibannya mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari
kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres no. 75/1996 ini berbunyi:
“Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan Perjanjian adalah Perjanjian Karya antara
Pemerintah dan perusahaan Kontraktor Swasta untuk melaksanakan pengusahaan
pertambangan galian batubara.”
Disini akan disajikan dua contoh Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah cq
Kementerian Pertambangan dan Energi dengan kontraktor swasta. Pertama, dengan PT Kalimantan Energi
Lestari yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 20 November 1997. Kontrak karya ini berjangka waktu
selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta Kementerian Pertambangan dan
Energi bertindak selaku wakil Pemerintah RI. Kedua, dengan PT Mahakam Sumber Jaya yang
ditandatangani di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2000. Kontrak Karya ini berjangka waktu selama 30
tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta sebagai wakil pemerintah adalah Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sebaliknya, dua Keppres terdahulu yaitu Keppres No. 21/1993 dan Keppres No. 49/1981
menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian mandat oleh UU No.
11/1967 kepada perusahaan negara (BUMN) yang dalam hal ini adalah PT BA untuk membuat peerjanjian
dengan kontraktor swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Sedangkan kewajiban kontraktor
kepada negara pada prinsipnya sama dengan yang diatur dalam Keppres tahun 1996 tersebut yaitu
mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban
perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres No. 49/1981 berbunyi:
“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian
antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan
pihak swasta sebagai Kontraktor untuk pengusahaan tambang batubara untuk jangka waktu 30
(tigapuluh) tahun berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Keputusan Presiden ini.”
Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak
Karya dengan PT Kaltim Prima Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 April 1982 dan
berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang.
Sedangkan Pasal 1 Keppres No. 21/1993 berbunyi:
“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian
antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan
perusahaan kontraktor baik dalam rangka Penanaman Modal Asing maupun dalam rangka
Penanaman Modal Dalam Negeri untuk mengadakan pengusahaan pertambangan bahan galian
batubara.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Disini jelas terlihat bahwa Keppres tahun 1993 itu hanya menegaskan bahwa pihak swasta yang
dimaksud dalam Keppres terdahulu mencakup swasta asing. Prinsip tafsir frasa “dikuasai oleh negara”
dalam kedua Keppres ini persis sama yaitu entitas yang diberikan mandat untuk memberikan izin
pengusahaan tambang batubara kepada perusahaan swasta, yang dalam hal ini berbentuk Kontrak Karya,
adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA).
Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak
Karya dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15
Agustus 1994 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang. Sebagai catatan Keppres Nomor 75
tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ditujukan
untuk mencabut Keppres Nomor 21 tahun 1993 tentang hak Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara
Bukit Asam.
Bahan Galian Golongan b
Tafsir “dikuasai oleh negara” untuk bahan galian golongan b (vital) pada prinsipnya sama dengan kasus
bahan galian a yaitu Menteri Pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kepada
entitas-entitas tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Dengan kata lain, Menteri
Pertambangan diperintahkan oleh UU ini untuk memberikan hak Kuasa Pertambangan kepada entitas-
entitas tertentu dengan syarat-syarat tertentu.
Selanjutnya, pihak yang dapat diberikan hak oleh Menteri Pertambangan untuk melakukan
kegiatan usaha pertambangan, yaitu, hak Kuasa Pertambangan untuk bahan galian vital ini (golongan b)
hanya: 1. Koperasi; 2. Badan hukum swasta; dan c. Perseorangan. Dengan demikian, jangankan hak
eksklusif monooli kuasa pertambangan, hak kuasa pertambangan biasa saja tidak dapat dimiliki oleh
perusahaan negara/daerah untuk bahan galian golongan b (vital) ini.
Kesimpulan dari dua alinea diatas merujuk ke Pasal 12 UU No.11/1967 ini. Ayat (1)nya berbunyi:
“Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang
tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada: a. Badan Hukum Koperasi; b.
Badan Hukum Swasta…..; dan c. Perseorangan…”
Sebagai contoh pemberian Kuasa Pertambangan untuk jenis bahan galian golongan b (logam dalam
bentuk emas dan perak) dalam periode-periode ini adalah pemberian Kuasa Pertambangan kepada PT
Freeport Indonesia (PT FPI) pada tanggal 7 April 196725. Kuasa pertambangan yang diberikan tersebut
dalam bentuk Kontrak Karya I antara Menteri Pertambangan RI, Slamet Bratana, dengan PT FPI untuk
masa 30 tahun untuk wilayah Pertambangan di Papua (d/h Irian Barat) yang dinamakan juga sebagai
Proyek Ertsberg. Usahanya adalah pertambangan mineral logam tembaga dan emas. Di tahun 1981
Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dan cadangan Grasberg ditemukan di tahun 1988.
25 Sebetulnya ini diatur dalam UU (Perpu) No. 37/1960 tentang Pertambangan. Walaupun demikian, pengaturan untuk bahan galian golongan b pada prinsipnya sama dengan yang diatur pada UU No. 11/1967.
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Kontrak Karya II antara Pemerintah RI dengan PTFI ditandatangi di tahun 1991 untuk masa waktu 30 tahun
dan dapat diperpanjang selama 2x 10 tahun.26
Referensi
Australia, 2010. Australia’s future tax system Report to the Treasurer. Commonwealth of Australia 2010
Dauvergne, Peter. 2001. Loggers and Degradation in the Asia-Pacific, Cambridge University Press
Forest Watch Indonesia (FWI), 2015. Intip Hutan. Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Februari
2015.
Gale, Thomson, 2006. International Directory of Company Histories 2004. Diakses via Ecyclopedia.com,
21 Juni 2016
Hasan, Madjedi. 2013. Penyatuan Makna Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan Sumber Daya Energi.
Makalah yang disajikan dalam diskusi Forum Eksekutip Energi Bimasena II, Jakarta, 16 September 2013.
……………………….. 2006. Kajian atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Konstitusional
Undang-undang tentang Sumber Daya. Makalah (Term Paper) Kapita Selekta Hukum Tata Negara
Program Doktoral Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran, Bandung, Indonesia.
Mujiburohman, Dian Aries. 2013. “Akibat Hukum Pembubaran BP Migas,” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3,
Oktober 2013, Halaman 462 – 475
Mahkamah Konstitusi RI, 2012a. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, 5 November 2012.
………………………………….., 2012b. Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010, 9 Juni 2012.
………………………………….., 2007. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007.
………………………………….., 2004. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004.
Nitisastro, Widjojo. 2010. Pengalaman pembangunan Indonesia: kumpulan tulisan dan uraian. PT
Kompas Media Nusantara, Jl. Palmerah Selatan 26 -28, Jakarta
Nurjaya, I Nyoman. 2005. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia,” Jurisprudence, Vol.2, No. 1,
Maret 2005: 35 – 55
PwC, 2014. Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide. Tersedia di www.pwc.com/id,
Repetto, Robert and Malcolm Gillis, Eds, 1988. Public policies and the misuse of forest resources,
Cambridge University Press.
Seda, Francisia S.S.E. 2005. “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas,” dalam Resosudarmo eds.
2005. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. Singapore: ISEAS.
26 Sumber: Berita Kita, media komunikasi komunitas Freeport Indonesia. Edisi No. 240, Maret 2014
http://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf, diakses 20 April 2016
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Sidharta, Edi H. 2012. Pertamina: Belajar dari Sejarah. Kompasiana, sosial media Kompas Grup. W.W.W.
Kompasiana.com, diakses 14 Juni 2016
Syeirazi, M. Kholid, 2015. “Mengawal Revisi UU Migas,” Sindonews.com, 7 Juli 2015, dakses 6 Juni 2016
Tambang.co.id, 2016. “Revisi UU Migas dan Penataan Sektor Hilir,” 29 Februari 2016, diakses 6 Juni 2016.
USA Embassy, 2016. “How the U.S. Economy Works,” Http://usa.usembassy.de/etexts/oecon /chap2.htm, diakses 24 Maret 2016
Wicaksono, Ganesha Patria. 2015. “Kelembagaan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015
Wikipedia bahasa Indonesia, 2016. Ibnu Sutowo. W.w.w.Wikipedia.org., diakses 14 Juni 2016
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang (UU)
UU No. 5/1960 (UU Agraria/Pertanahan)
UU No. 20/1961 (UU Agraria/Pertanahan)
UU No. 5/1967 (UU Kehutanan)
UU No. 41/1999 (UU Kehutanan)
UU No. 21/2001 (UU Minyak dan Gas Bumi)
UU No. 4/1982 (UU Lingkungan Hidup)
UU No. 23/1997 (UU Lingkungan Hidup)
UU No. 7/2004 ( UU Daya Air)
Please insert and analyse UU Kelistrikan dan UU Perkebunan
Peraturan Pemerintah (PP)/Peraturan Menteri
PP No. 21/1970 (Kehutanan)
PP No. 18/1975 (Kehutanan)
PP No. 40/1996 (Agraria)
PP No. 24/1997 (Agraria)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 5/2015
i Pokok-pokok pendapat yang berbeda dari Hakim Konstitusi Harjono, adalah sebagai berikut:
1. Tidak terpenuhinya legal standing para pemohon (42 pemohon). Mahkamah gagal memperlihatkan
bukti dan/atau argumentasi yang mendasar tentang “bagaimana hak para Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.”
2. Frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 perlu ditafsirkan secara situasionil dan tidak dapat
ditafsirkan secara otomatis dan mutlak bahwa negara harus mengelola sumber daya alam secara
langsung. Alternatif terbaik, first best solution, adalah memang pemerintah perlu terlibat langsung.
Namun demikian, disebabkan kendala modal, teknologi, risiko, dan manejemen, model kontrak kerja
sama bagi hasil dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam dapat saja dilakukan untuk sementara waktu sampai lembaga negara Presiden dan
DPR menyatakan hal yang lain. Dengan kata lain, menurut penulis, Hakim Konstitusi Harjono
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
berpendapat bahwa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tidak identik dengan
pelaksanaan kelima unsur : 1.kebijakan (beleid); 2. pengurusan (bestuurdaad); 3. pengelolaan
(beheersdaad); 4. Pengaturan (regelendaad); dan 5. Pengawasan (toezichthoudensdaad), secara
terintegrasi dan menyeluruh. Unsur ketiga, pengelolaan (beheersdaad), dapat diserahkan ke badan
usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam kondisi dan situasi tertentu serta tidak harus diserahkan
ke BUMN seperti PT Pertamina.
3. Badan pemerintahan (penulis duga yang dimaksud disini termasuk Badan Pengelola Migas) yang
dibentuk oleh pemerintah tetapi tidak diatur dan/atau ditetapkan oleh UUD, tidak secara otomotis
bertentangan dengan UUD.
4. Kewenangan BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan badan usaha dan/atau
bentuk usaha tetap tidak merendahkan (mendegradasi) martabat negara jika dalam pengadilan
arbitase internasional ternyata BP Migas kalah. BP Migas dalam hal ini tidak mewakili negara secara
langsung, yang tentunya berbeda jika kontrak tersebut ditandatangnai oleh jajaran menteri kabinet
pemerintahan. Jajaran menteri kabinet pemerintahan tersebut mewakili negara (pemerintah) secara
langsung.
ii UU No. 5/1967. Landasan hukum eksploitasi dan/atau izin konsensi hutan di Era Orde Baru ini adalah
UU No. 5 Tahun 1967 yang aturan operasionilnya dituangkan dalam PP No. 21 Tahun 1970. Pasal 9 PP ini
kemudian direvisi melalui PP No. 18 Tahun 1975. Izin-izin tersebut menurut PP No. 21 Tahun 1970
diterbitkan oleh Menteri Pertanian.
Pasal 14 Ayat 3 UU No. 5 Tahun 1967 berbunyi:
“Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak
pengusahaan hutan.”
Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperluas yang memungkin swasta asing dapat mendirikan
perusahaan patungan pengusahaan hutan. Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 menyatakan:
“Hak pengusahaan hutan dapat diberikan kepada: a. Perusahaan Milik Negara; b. Perusahaan
Milik Swasta; dan c. Perusahaan campuran.”
UU Kehutanan Tahun 1999 ( UU No. 41/1999)
Pasal 28 Ayat 2
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan
hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29 Ayat 3 dan 4
Ayat 3 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik
swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”
Menyongsong revisi UU Migas 2001 dan Reformasi BUMN. Alfa_Utrecht_53
Ayat 4 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta
Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”
iii Di Era Orde Baru, pemain utama dalam penentuan/pengaturan kebijakan eksploitasi hutan di Indonesia adalah
Mohamad Bob Hasan yang lebih dikenal dengan nama Bob Hasan saja.
iv UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 21 (1) Hanya warganegara
Indonesia dapat mempunyai hak milik; Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :a.
warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Pasal 36 (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b.
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 42, Yang
dapat mempunyai hak pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di
Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d.
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 45, Yang dapat menjadi pemegang
hak sewa ialah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing
yang mempunyai perwalikan di Indonesia