Upload
adityapermana77
View
56
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BRAIN DEATH (MATI OTAK / MATI BATANG OTAK)
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Brain death atau Mati otak atau Mati Batang Otak (MBO) diartikan sebagai
berhentinya semua fungsi otak secara total dan ireversibel. Hal ini dikemukakan sebagai
irreversible coma oleh komite ad hoc dari fakultas kedokteran Harvard pada tahun 1968 .
Awalnya kematian didefenisikan oleh para dokter sebagai berhentinya denyut jantung dan
respirasi secara permanen (mati somatik). Perkembangan dalam resusitasi telah menyebabkan
defenisi kematian terpaksa ditinjau kembali. Perkembangan medis misalnya ventilator, peralatan
dialisis dan infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang pasien yang sedang kritis
untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara fisiologis sangat parah termasuk di
dalamnya kematian otak itu sendiri(11).
Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera
kepala berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan oleh
perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika, penyebab
utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid . Batang otak dapat
mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen
supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak.
Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks daripada batang otak (9,23).
Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting akhir-akhir
ini karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan kerusakan otak apakah kerusakan
tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan hidup secara layak dengan bantuan alat pernapasan
dan dengan peralatan pendukung lainnya, dan yang kedua karena sulitnya menjawab pertanyaan
untuk menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi serebral tersebut ireversibel sehingga
kematian dapat dipastikan segera dan berbagai persiapan dapat dilakukan untuk memindahkan
organ-organ yang masih bermanfaat, khususnya ginjal untuk transplantasi pada pasien yang lain (8).
I.2. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi brain death
2. Mengetahui anatomi, histologi dan epidemiologi brain death
3. Mengetahui etiologi terjadinya brain death
4. Mengetahui faktor resiko terjadinya brain death
5. Mengetahui patofisiologi terjadinya brain death
6. Mengetahui gejala klinis brain death
7. Mengetahui diagnosa banding dari brain death
8. Mengetahui prognosis dan komplikasi brain death
I.3. Manfaat Penulisan
1. Manfaat untuk penulis
- Dapat memberikan wawasan yang luas tentang definisi, patofisiologi, pemeriksaan,
hingga penatalaksanaan dari brain death
- Dapat dijadikan pedoman atau pegangan untuk menghadapi maupun menangani
masalah brain death di kemudian hari
2. Manfaat untuk pembaca
- Dapat menjadikan bahan penulisan ini sebagai menambah wawasan dan mungkin
dapat menjadi referensi
3. Manfaat untuk Institusi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
- Dapat menjadikan penulisan ini sebagai pustaka untuk perpustakaan sebagai bahan
bacaan mahasiswa yang diharapkan dapat menjadikan tambahan wawasan dan
referensi
II. BATASAN DEFINISI / TERMINOLOGI
Mati otak diartikan sebagai berhentinya semua fungsi otak secara total dan ireversibel
termasuk batang otak. Awalnya kematian didefenisikan oleh para dokter sebagai berhentinya
denyut jantung dan respirasi secara permanen (mati somatik). Perkembangan dalam resusitasi
telah menyebabkan defenisi kematian terpaksa ditinjau kembali. Perkembangan medis misalnya
ventilator, peralatan dialisis dan infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang
pasien yang sedang kritis untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara fisiologis
sangat parah termasuk di dalamnya kematian otak itu sendiri. Seorang pasien yang telah ditetapkan
mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formaltelah meninggal dunia.
Hal inidituangkan dalam pernyataan IDI tentangMati dalam SK PB IDI No.336/PBIDI/a.4
tertanggal 15 Maret 1988 yangdisusul dengan SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa
tersebutdinyatakan bahwa seorang dikatakanmati, bila fungsi pernafasan dan jantungtelah berhenti
secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadikematian batang otak. (6,11,17)
Di sisi lain, perkembangan bedah transplantasi dan kebutuhan akan organ hidup mengharuskan
adanya fokus perhatian akan etika dan legalitas persetujuan medis tentang kriteria medis
kematian otak. Dengan adanya kriteria kematian otak, seseorang dapat ditetapkan meninggal
secara sah atau legal, Permasalahan mendiagnosis kematian otak menjadi semakin penting akhir-
akhir ini karena semakin sulitnya menentukan pada pasien dengan kerusakan otak apakah
kerusakan tersebut memungkinkan untuk dapat bertahan hidup secara layak dengan bantuan alat
pernapasan dan dengan peralatan pendukung lainnya, dan yang kedua karena sulitnya menjawab
pertanyaan untuk menentukan kapan dapat disimpulkan bahwa lesi serebral tersebut ireversibel
sehingga kematian dapat dipastikan segera dan berbagai persiapan dapat dilakukan untuk
memindahkan organ-organ yang masih bermanfaat, khususnya ginjal untuk transplantasi pada
pasien yang lain.(21)
III. ANATOMI DAN FISIOLOGI
3.1 OTAK
Susunan saraf terdiri dari Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Tepi. Susunan Saraf Pusat
dibentuk oleh encephalon dan medulla spinalis. Susunan Saraf tepi dibentuk oleh Nn.Craniales
dan Nn.Spinales. Encephalon terletak dalam cavitas cranii sedangkan medulla spinalis terletak
dalam canalis vertebralis.(12)
Pembagian encephalon adalah sebagai berikut: proencephalon yang terdiri atas telencephalon
dan diencephalon, mesencephalon dan rombencephalon yang terdiri atas metencephalon dan
myelencephalon.
Telencephalon (End Brain) yang menjadi hemisfer serebri , yang terdiri dari korteks
serebri, rinencephalon, basal ganglia [nukleus kaudatus dan nukleus lentikularis
( putamen dan globus palidus), klaustrum, amigdala].
Diencephalon (interbrain) terdiri dari epithalamus, thalamus, subthalamus, hipothalamus.
Mesencephalon (midbrain) yang terdiri dari korpora kuadrigemina (kollikulus superior,
kollikulus inferior), tegmentum (nulleus rubber, subtantia nigra), pedunkulus serebri.
Metencephalon (afterbrain) yang terdiri dari pons dan serebellum.
Myelencephalon (narrow brain) disebut juga medulla oblongata.(12,23)
Telencephalon menjadi hemisfer serebri merupakan bagian yang terbesar dan menempati
fossa anterior dan fossa cranii media. Pada hemisfer serebri terdapat beberapa lobus,
yaitu: lobus frontalis, lobus parietalis, lobus occipitalis, lobus temporalis, insula/lobus
sentralis dan lobus limbicus. Sisterna olfaktorius langsung menuju ke korteks serebri
tanpa melalui thalamus sebagai stasiun perantara. Medula oblongata, pons dan serebellum
berada dalam fossa cranii posterior. Struktur susunan saraf pusat terdiri dari substansia
grisea yang merupakan kumpulan nucleus, dan substansia alba yang dibentuk oleh
kumpulan serabut saraf bermyelin.(12)
Oleh fissura media anterior dan fissura media posterior, medulla oblongata terbagi
menjadi dua bagian yang simetris (belahan kiri dan kanan), dan oleh sulcus-sulcus
tersebut tersebut tadi, maka setiap belahan medulla oblongata dibagi menjadi area
ventralis, area lateralis, dan area dorsalis. Area-area tersebut tadi adalah lanjutan ke arah
rostral dari funikulus anterior, funikulus lateralis, dan funikulus posterior medulla
spinalis. Dari sulcus lateralis posterior keluar serabut-serabut saraf yang sama dengan
radix posterior nervi spinalis; serabut-serabut saraf tersebut adalah n. glossofaringeus, n.
vagus dan n. accessorius. N. abducens, n. facialis dan n. vestibulocochlearis
menampakkan diri pada perbatasan medulla oblongata dengan pons, terletak masing-
masing dari medial ke lateral. N. hypoglossus menampakkan diri pada sulkus lateralis
anterior medulla oblongata, diantara piramis dan oliva.(12)
Pons merupakan bagian ventral dari metencephalon yang terletak diantara medulla
oblongata dan pedunculus serebri dan berada di sebelah ventral serebellum. Pada
aspectus ventral terdapat serabut-serabut transversal yang berjalan kearah lateral, bersatu
membentuk pedunculus serebelli medius, masuk ke dalam hemisferium serebelli.
Serabut-serabut tersebut membentuk pars basilaris pontis dan di sebelah dorsalnya
merupakan lanjutan dari medulla oblongata. Serabut-serabut transversal tersebut tadi
adalah bagian dari lintasan yang menghubungkan hemisferium serebri dengan
hemisferium serebelli yang kontralateral. Nervus trigeminus keluar dari permukaan
ventral, di bagian lateral pada perbatasan antara pons dan pedunculus serebelli medius,
yaitu pada pertengahan pons.(12)
Mesencephalon atau mid brain menghubungkan rombencephalon dan prosencephalon.
Terdiri atas pars dorsalis yang membentuk lamina quadrigemina dan corpora
quadrigemina, dan bagian ventral yang bentuknya lebih besar, disebut pedunculus
cerebri. Di dalam mesencephalon terdapat aquaductus cerebri sylvii, suatu saluran yang
sempit yang menghubungkan ventrikulus tertius dengan ventrikulus quartus. N.
okulomotorius menampakkan diri pada fossa interpedunkularis. N. trochlearis keluar dari
facies dorsalis mesencephalon di sebelah kaudal dari colliculus inferior. Nucleus
mesencephalicus nervi trigemini, berada di bagian lateral substansia grisea sentralis
sekitar aquaductus serebri sylvii.(12)
Diencephalon menghubungkan mesencephalon dengan hemisferium serebri. Di dalam
diencephalon terdapat ventrikulus tertius. Diencephalon terdiri atas thalamus,
metathalamus, epithalamus, subthalamus dan hypothalamus. Traktus optikus berjalan
mengelilingi hypothalamus dan pars rostralis crus serebri, berjalan melalui foramen
opticum, masuk ke dalam cavitas cranii.(12)
Metabolisme jaringan otak hampir seluruhnya tergantung pada pembakaran glukosa
secara aerobik. Di dalam jaringan otak terdapat sedikit persediaan glukosa dan oksigen. Otak
yang merupakan 2% dari berat tubuh memerlukan kurang lebih 15% – 17% dari cardiac output
dan kurang lebih 20% dari oksigen yang diperlukan oleh seluruh tubuh. Ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi vaskularisasi otak yaitu gas-gas dalam darah dan metabolisme yang
merupakan faktor biokimiawi, autoregulasi arteri serebral.(12,13)
- Autoregulasi arteri serebral
Pembuluh serebral menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya sedemikian rupa,
sehingga aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi berubah-ubah. Pengaturan
diameter lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi apabila tekanan intralumenal
melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap
fluktuasi tekanan intralumenal itu sangat cepat, yaitu dalam beberapa detik. (13)
Penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg masih dapat berlalu tanpa
menimbulkan gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan darah sistemik turun samapai di
bawah 50 mmHg, autoregulasi serebral itu tidak mampu lagi memelihara jumlah darah yang
mengalir ke otak (CBF= “cerebral blood flow “) yang normal. Untuk orang-orang sehat tekanan
perfusi sebesar 50 mmHg itu merupakan ambang kritis. Sebanding dengan autoregulasi terhadap
tekanan darah sistemik yang menurun, adalah autoregulasi terhadap tekanan darah sistemik yang
melonjak. Batas atas yang masih dapat ditanggulangi autoregulasi ialah 200 mmHg sistolik dan
110-120 mmHg diastolik. Jika tekanan darah sistemik lebih tinggi dari batas atas tersebut, maka
autoregulasi yang mengadakan vasokonstriksi dapat berlalu secara ekstrim, sehingga timbul
vasospasmus.(13)
Autoregulasi tersebut bersifat regional. Jika suatu daerah otak iskemik maka tekanan
intralumenal di wilayah itu lebih rendah daripada di daerah sehat yang berdampingan, sehingga
darah akan mengalir dari wilayah tekanan intralumenal tinggi ke wilayah tekanan intralumenal
rendah. Dengan demikian iskemia regional itu dapat terkompensasi. Autoregulasi yang dikelola
oleh tekanan intralumenal ini bekerja secara bebas, tetapi saling membantu reaksi yang dicptakan
oleh faktor-faktor biokimiawi yang terdapat di otak secara regional. Faktor-faktor tersebut
menyangkut pengelolaan CBF regional agar kebutuhan metabolik regional dapart terpenuhi.(13)
-Faktor-faktor biokimiawi regional
Dalam lingkungan dengan CO2 tinggi arteri serebral berdilatasi dan CBF bertambah
karena resistensi vaskuler menurun. Jika kadar CO2 menurun, arteri serebral menyempit dan
CBF cepat menurun. Kemampuan unuk bereaksi terhadap naik turunnya tekanan CO2 arterial
(PCO2) itu semakin berkurang pada bertambahnya umur. Pada umumnya metabolisme otak
hampir seluruhnya tergantung pada pemecahan oksidatif glukosa dan CO2 yang dihasilkan oleh
proses oksidasi tersebut. Peningkatan metabolisme otak, baik secara regional maupun secara
global, mengakibatkan secara berturut-turut produksi CO2 bertambah, vasodilatasi, CBF menjadi
lebih besar dan dengan demikian mengahsilkan pula bertambahnya jatah O2 dan glukosa untuk
otak.(13)
Iskemi serebri regional akibat stenosis salah satu arteri, namun yang tidak disertai
kemunduran metabolismenya, akan menghasilkan peningkatan PCO2 regional, yang akan
membangkitkan vasodilatasi di arteri-arteri kolateral dan menggiatkan sirkulasi kolateral. Akan
tetapi apabila iskemia melumpuhkan metabolisme regional, mekanisme untuk mengadakan
peningkatan sirkulasi kolateral tidak dapat beroperasi lagi.(13)
Peran O2. Tekanan O2 arterial (PO2) menurun pada keadaan hipoksia atau anoksia karena
sebab apapun. Keadaan tersebut menimbulkan vasodilatasi dan bertambahnya CBF. Sebaliknya
PO2 yang meningkat menyebabkan vasokonstriksi dan turunnya CBF. Walaupun reaksi ini
berlaku, inhalasi 100% O2 meningkatkan lebih lanjut jatah O2 yang tersedia untuk suatu daerah
otak yang iskemik (misalnya pada stroke) dengan jalan meningkatkan selisih tekanan antara
arteriol dan kapiler. Sifat pengaruh O2 terhadap dinding pembulh darah belum diketahui. Teapi
reaksi terhadap O2 cepat sekali dan mungkin bereaksi langsung terhadap kemoreseptor yang
berada di dinding pembuluh darah. Vasokonstriksi yang timbul sebagai reaksi terhadap PO2 itu
ternyata tidak terkait pada penurunan PCO2 akibat hiperventilasi. Lagipula, vasokonstriksi dan
vasodilaytasi yang dihasilkan akibat pasang surutnya PO2 tidak sebesar yang diakibatkan oleh
fluktuasi PCO2. namun demikian, selama hipoksia berat berlangsung, efek vasodilatasi akibat
penurunan PO2 menjadi lebih besar. Dan mungkin sekali proses ini mempunyai sangkut paut
dengan dibebaskannya asam laktat oleh otak seketika metabolisme bergeser ke jurusan glikolisis
anaerobik.(13)
Asam laktat. Apabila suatatu daerah otak menjadi iskemik atau anoksik, dalam keadaan
itu metabolisme anaerobick cepat mengambil alih tugas yang sebelumnya dibebankan kepada
metabolisme oksidatif. Metabolisme anaerobic ini banyak menghasilkan asam laktat, yang
merupoakan zat yang melebarkan lumen pembuluh darah (vasodilator).(13)
Konsentrasi ion hydrogen. Apabila pH darah berubah pada binatang atau manusia, akibat
suntikan asam laktat misalnya, maka CBF akan bertambah. Reaksi ini mungkin tidak
mengangkut efek peningkatan CO2. asidemia tampaknya berlalu secara bebas terhadap
peningkatan CBF. Sebaliknya alkalemia cenderung menurunkan CBF.(13)
Pada umunya, penyelidikan-penyelidikan memberikan fakta yang cukup terpercaya,
bahwa efek CO2 lebih besar daripada pengaruh pH dalam penelolaan CBF, oleh karena, biar
bagaimanapun juga bukannya pH darah, tetapi pH intraselular otot polos arterio serebral yang
pada dasarnya paling penting dalam pengelolaan tonus vasomotorik.(13)
Mekanisme pokok yang terurai di atas berlaku bagi otak seluruhnya dan daerah
bagiannya (regional). Dalam keadaan fisiologik, CBF regional bisa meningkat, misalnya di lobus
oksipitalis pada adanya kegiatan visual, atau pada berlangsungnya kejang fokal. Peningkatan
PCO2 dan penurunan PO2 regional akibat peningkatan metabolisme regional itu, akan
mempertinggi CBF regional. System regional tersebut bersifat autoregulatorik dan menurunkan
CBF regional, apabila metabolisme regional menurun.(13)
Pada iskemia serebral yang bersifat regional akibat penyumbatan arteri, CO2 tertimbun di
dalam daerah iskemik dan PO2 regional turun. Keadaan ini menggiatkan sirkulasi kolateral untuk
meningkatkan CBF daerahb yang iskemik itu.(13)
Adapun fungsi Susunan Saraf Pusat adalah sebagai berikut: (12)
1. Menerima stimulus dan merekamnya.
2. Memberi respon secara spontan terhadap suatu stimulus ( reflex ).
3. Mengendalikan gerakan.
4. Koordinasi gerakan dan keseimbangan.
5. Mengkoordinasi aktivitas viscera.
6. Tempat perilaku ( behavioral ).
3.2 BATANG OTAK
Dalam vertebrata anatomi, batang otak adalah bahagian pada posterior otak, duduk
bersebelahan dan membentuk struktur berterusan dengan saraf tunjang. Batang otak
menyediakan motor utama dan innervation deria ke muka dan leher melalui saraf kranial.
Walaupun kecil, ini merupakan bahagian yang sangat penting otak sebagai sambungan saraf
motor dan sistem deria dari bahagian utama otak ke seluruh pas badan melalui batang otak. Ini
termasuk trek kortikospina (bermotor), posterior-medial ruangan lemniskus laluan (sentuhan
halus, getaran sensasi dan proprioception) dan spinothalamic saluran (kesakitan, suhu, gatal dan
sentuhan). Batang otak juga memainkan peranan yang penting dalam peraturan fungsi jantung
dan pernafasan, biasanya digambarkan sebagai termasuk sumsum belakang oblongata
(myelencephalon), pons (sebahagian daripada metencephalon), dan otak tengah .(10)
Pada anatomi vertebra batang otak merupakan bahagian belakang posterior pada otak,
bersebelahan dan dan struktur berterusan dari saraf tunjang. Batang otak memberikan motor
utama dan penyarafan deria pada muka dan leher melalui saraf kranial, merupakan bagian otak
yang sangat penting sebagai sambungan saraf motor dan sistem deria dari bahagian utama otak
ke seluruh badan melalui batang otak. Ini termasuk trek kortikospina (motor), laluan posterior-
medial ruangan lemniskus (sentuhan halus, sensasi getaran dan proprioception) dan saluran
spinothalamik (kesakitan, suhu, gatal dan sentuhan kasar). Batang otak juga memainkan peranan
yang penting dalam peraturan fungsi jantung dan pernafasan. Ia juga mengawal selia sistem saraf
pusat, dan adalah penting dalam mengekalkan kesedaran dan mengawal selia kitaran tidur.
Ia biasanya digambarkan sebagai merangkumi medula oblongata (myelencephalon), pons
(sebahagian daripada metencephalon), dan otak tengah.(10)
IV. HISTOLOGI
Sistem saraf pusat, selanjutnya disebut SSP, terdiri atas otak dan medula spinalis. Keduanya
tersusun atas substansi putih (substansiaalba) dan substansi abu-abu (substansia
grisea). Perbedaan ini terjadiakibat komposisi penyusun substansia alba yakni akson
bermielin; dansubstansia grisea yakni perikarion (soma, badan) sel saraf, dendrit, serta akson
tak bermielin.
a. Otak
Secara keseluruhan otak terbagi atas:
1. Otak besar, atau cerebrum;
2. Otak kecil, atau cerebellum;
3. Batang otak, yang tersusun atas otak tengah (midbrain, mesencephalon ),pons
dan medula oblongata
-Otak besar
tersusun atas dua belahan (cerebral hemisphere) kiridan kanan. Di bagian tepi luar
(korteks) terdapat substansia grisea, lalusemakin ke dalam dibatasi dengan substansia alba,
dan di bagian palingdalam terdapat nukelus yang merupakan substansia grisea. Lapisan
yangmenyusun otak besar berlekuk-lekuk, membentuk struktur sulkus dan girus.
Lapisan ini jika ditinjau secara mikroskopik akan terlihat bahwa tersusun atas enam
lapisan, yakni:
1.Lapisan molekular , merupakan lapisan terluar dan terletak tepatdi bawah lapisan pia.
Terdapat sel horizontal (cajal) yang pipihdengan denrit dan akson yang berkontak dengan
sel-sel di lapisanbawahnya (sel piramid, sel stelatte).
2.Lapisan granular luar , sebagian besar terdiri atas sel saraf kecil segitiga(piramid) yang
dendritnya mengarah ke lapisan molekular dan aksonnya ke lapisan di bawahnya; sel granula
(stelatte) dansel-sel neuroglia.
3.Lapisan piramid luar , terdapat sel piramid yang berukuran besar (semakin besar dari luar ke
dalam). Dendrit mengarah ke lapisanmolekular; akson mengarah ke substansia alba.
4.Lapisan granular dalam, merupakan lapisan tipis yang banyakmengandung sel-sel
granul (stellate), piramidal, dan neuroglia.Lapisan ini merupakan lapisan yang paling
padat.
5.Lapisan piramidal dalam , sua tu l ap i san yang pa l ing j a rang , banyak mengandung
sel-sel piramid besar dan sedang, selain selstelatte dan Martinotti. Sel Martinotti adalah
sel saraf multipolar yang kecil, dendritnya mengarah ke lapisan atas dan aksonnya kelateral.
6.Lapisan sel multiform, adalah lapis terdalam dan berbatasan d e n g a n s u b s t a n s i a
a l b a , d e n g a n v a r i a n s e l y a n g b a n y a k (termasuk terdapat sel Martinotti) dan sel
fusiform.Otak besar merupakan pusat belajar, ingatan, analissi informasi,inisiasi gerakan
motorik, dan merupakan pusat integrasi informasiyang diterima.
Otak besar merupakan pusat belajar, ingatan, analissi informasi,inisiasi gerakan motorik, dan
merupakan pusat integrasi informasiyang diterima.
-Nukelus
(nucleus; nuclei: jamak) merupakan kumpulan dariperikarion neuron yang terdapat di
dalam SSP (bdk: ganglion di SST).Misal: basal nuclei. Di substansia alba cerebrum terdapat
banyak serat-serat yangmenghubungkan berbagai daerah korteks dalam hemisfer yang
sama( asosiasi) menghubungkan ke nukleus di bawahnya (proyeksi).
Serebelum
juga tersusun atas substansia grisea yang terletak ditepi (dinamakan korteks serebeli).
Korteks serebeli tersusun atas tigalapisan:
1. lapisan molecular, lapisan terluar dan langsung terletak di bawah lapisan pia dan sedikit
mengandung sel saraf kecil, serat saraf tak bermielin, sel stellata dan dendrite sel purkinje
dari lapisan dibawahnya.
2. Lapisan purkinje, disebut lapisan ganglioner, banyak sel-sel purkinje yang besar dan
berbentuk seperti botol dan khas untuk serebellum. Dendritnya bercabang dan memasuki
lapisan molekuler, sementara akson termielinasi menembus substansia alba.
3. Lapisan granuler, lapisan terdalam dan tersusun atas sel-sel kecil dengan 3-6 dendrit naik
ke lapisan molecular dan terbagi atas 2 cabang lateral.
b.Medulla spinalis
Medulla spinalis berbentuk silindris panjang dan mengisi canalis vertebralis. Pada setiap segmennya keluas sepasan nervus spinalis. Secara mikroskopis, bagian sustansia grissea tersusun atas sel-sel neuron yang membentuk nucleus, pada bagian tengah terdapat kanalis sentralis. Potongan sustansia grissea menyerupai bentuk kupu-kupu, terdiri dari cornu dorsalis dan cornu ventralis. Pada bagian sustansia alba terdapat sulcus medianus dorsalis. Sebagian serabut saraf yang memanjang membentuk fasciculus yang menuju atau ke otak.
Selubung otak
1. Duramater : terdapat jaringan pengikat padat2. Arachnoid : merupakan bagian yang kontak dengan duramater, membentuk trabecula,
tanpa pembuluh darah. Terdapat spatium subarachnoidea, yaitu ruangan diantara trabecula yang terisi Liquot Crebrospinalis
3. Piamater : menutupi langsung permukaan susunan saraf pusat. Di beberapa tempat tertentu menonjol kedalam rongga ventrikulus yang dindingnya tidak berkembang yang selanjutnya membentuk pleksus choroideus.
Pleksus choroideus tersusun atas jaringan pengikat longgar dan banyak terdapat sel makrofag, permukannay dilapisi oleh epitel kuboid selapis yang berasal dari sel ependim yang memiliki banyak mikrovili.
Selubung medulla spinalis
1. Duramater : dipisahkan dengan permukaan kanalis vetebralis oleh spatium epidurale, dilapisi epitel gepeng selapis.
2. Arachnoid : dipisahkan dengan duramater oeh celah sempit.3. Piamater: lebih tebal daripada di daerah otak.
V. Epidemiologi
Kematian otak akibat PIS sekitar 50% dengan 3/4 pasien yang hidup.
Perdarahan intraserebral (PIS/ICH) spontan merupakann 6.3-12 % dari semua kasus strok baru
pada tiap tahunnya dan dua pertiganya fatal. Insidens tahunan PIS spontan umumnya sekitar 9
per 100.000 populasi. Pria lebih sering terkena. Dua pertiga berusia antara 45-75 tahun.
VI. Faktor Pencetus
1. trauma, 2. perdarahan intrakranial, 3. hipoksia, 4. tumor otak primer, 5. meningitis, 6. hipoglikemia jangka panjang.
VII. Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang otak.
Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan kedokteran pada tahun 1959
dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada dekade berikutnya pada bidang trauma
klinis yang spesifik. Kebanyakan kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien. (11,18)
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia,
overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam
kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.(11,4)
Penentuan kematian otak sangat tergantung dari gejala klinis dan hasil laboratorium. Secara
klinis, seseorang dinyatakan mati otak jika semua keadaan berikut ditemukan:
1. Tidak ada respirasi spontan (tidak dapat menghirup napas sendiri).
2. Pupil dilatasi dan terfiksir (mata midriasis, tidak ada reaksi terhadap cahaya).
3. Tidak ada respon terhadap stimulus noksius (rangsang nyeri tidak disertai kedipan mata,
tanpa mimik meringis, tanpa gerakan anggota tubuh manapun).
4. Semua anggota tungkai flaksid (tidak ada pergerakan, tanpa tonus otot dan hilangnya
aktivitas refleks pada tangan ataupun kaki).
1. Tidak ada tanda-tanda aktivitas batang otak:
1. Bola mata terfiksasi dalam orbita.
2. Tidak ada refleks kornea.
3. Tidak ada respon terhadap tes-tes kalori.
4. Tidak ada refleks muntah atau batuk.(5)
VIII. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat mendekati
tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral(TPS) mendekati nol, maka perfusi
serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi .(10)
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50
sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruhotak, yang kira-kira beratnya
1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara
total akan menyebabkanhilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat
terjadi karenatidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian
langsungmenghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga
menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversible.(9)
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuatterhadap
pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalahkonsentrasi karbon dioksida,
konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen.Peningkatan konsentrasi karbon dioksida
maupun ion hidrogen akanmeningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi
oksigenakan meningkatkan aliran.(22)
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke
otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itusecara reversible dan
ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan alirandarah otak dikatakan kritis apabila
aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat
aliran darah otak ditambahkan diatas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki.
Pengurangan alirandarah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark,
tergantunglamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23
ml/100mg/menit.Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat
secaraparsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekuranganoksigen.
Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1)tekanan perfusi yang
rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun.Autoregulasi dan kelola vasomotor
dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan
mengadakan vasodilatasi maksimal.(8)
Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisadihasilkan vasodilatasi
kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapatdiselamatkan dari kematian. Tetapi pusat
dari daerah iskemik tersebut tidak dapatteratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola
vasomotor. Di situ akanberkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah
dibagianpusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaanvasoparalisis.
Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polospembuluh darah bisa bertahan
dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapisel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan
lama. Pembengkakan sel denganpembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri)
merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan
leukosit.Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuaidengan
keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.(9)
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.Hipoglikemia jangka
panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagaimekanisme dikatakan terlibat dalam
patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamatdan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi
spesies oksigen reaktif, pelepasanZinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan
transisi permeabilitasmitokondria.(4)
IX. Kriteria Mati Otak
Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé (koma
irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya kesadaran, refleks batang
otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah
komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan
kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon
terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang
penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.(14,22)
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak sebagai
komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi Medical Royal
dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan
sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai
hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan
pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada
batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada
tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian
tentang perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes
konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan
merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian
menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini Akademi
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-
pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-
peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea
dalam praktek.(22)
Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu
diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”, kunci diagnosis
tersebut adalah:
1. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
2. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
3. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
4. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
5. EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan. Kemudian,
temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam kemudian.
1. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan mungkin
sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan “Kriteria
Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak
dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih
dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria
Minnesota adalah:
1.1. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
2. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks
batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya
respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.
3. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan
4. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.(6)
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut: 1) Hilangnya
fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat
ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan
berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan
kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.(1)
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga kesehatan
yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau
isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2
mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak
adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya
dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan
hipnotik-sedatif.(1)
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap cahaya,
tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon
deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan
dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan
usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir,
pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa
PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan spontan.(1)
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka pemeriksaan
harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel.
Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-
obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh
reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan
terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak.(1)
X. Gejala klinis
Tiga tanda utama kematian otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh reflex batang otak
dan apnea. Penilaian klinis untuk menentukan kematian otak sangat mirip di kebanyakan
panduan. Sementara pemeriksaan menyeluruh kadang terhambat oleh kondisi dari cedera yang
dialami pasien, semua panduan menuntut hilangnya respon yang dimediasi saraf pusat terhadap
nyeri. Sebagian pasien mungkin masih menunjukkan beberapa aktivitas spinal refleks yang
mungkin dapat menyesatkan pengamat umum atau klinisi yang tidak berpengalaman. Aktivitas
refleks spinal yang teramati dapat berkisar dari kedutan yang pelan hingga “Tanda Lazarus”
yang lebih kompleks. Tetap adanya refleks-refleks ini tetap sejalan dengan kematian otak seperti
dikonfirmasi oleh uji elektroensefalografi atau absennya aliran darah otak.
Terdapat perbedaan tipis pada berbagai panduan berkaitan dengan penilaian respon pupil
terhadap cahaya dan derajat dilatasi, namun tidak ada dasar ilmiah untuk perbedaan-perbedaan
tersebut yang diidentifikasi dengan jelas. Kebanyakan panduan tidak mencantumkan refleks
okulosefalik atau doll’s eye. Walaupun demikian, Pallis dan Harley merekomendasikan inklusi
respon doll’s eye walaupun tidak dituntut oleh hukum United Kingdom untuk penentuan
kematian otak.
Penentuan apnea persisten dituntut oleh semua panduan walaupun akhir dari evaluasi
tersebut tidak konsisten. Pada negara-negara yang tidak terlalu maju secara teknis, apnea yang
ditentukan oleh pemutusan ventilator mungkin cukup.
XI. Diagnosis dan Pemeriksaan
Untuk menegakkan diagnosis kematian otak, penggunaan serangkaian protokol sertifikasi
kematian otak cukup membantu. Daftar A, B, C dan D di bawah ini dapat bermanfaat bagi
dokter. Pada banyak kasus, semua daftar tersebut semestinya digunakan secara sistematik untuk
menegakkan ataupun menyingkirkan diagnosis kematian otak. Bagaimana pun masih perlu untuk
memutuskan diagnosis lain, misalnya apakah suatu gangguan metabolik mengacaukan diagnosis
atau jika penyelidikan tambahan sudah memadai sehingga memungkinkan adanya diagnosis lain.(6)
Daftar A: Garis Besar
1. Tanpa pergerakan spontan, kejang atau gerakan badan lainnya.
2. Tanpa respon terhadap jenis rangsang nyeri apa pun (misalnya menggosok sternum,
penekanan pada kuku jari, penekanan dengan jarum) pada daerah distribusi nervus
kranialis.
3. Hilangnya refleks-refleks batang otak.
4. Pasien bernapas dengan napas bantuan. Uji apnea menunjukkan hilangnya pernapasan
spontan.
5. Menyingkirkan kemungkinan keadaan eksaserbasi.
6. Memastikan kondisi pasien akan kerusakan struktur otak yang tidak dapat diperbaiki.
7. Memastikan bahwa bukti-bukti klinis tidak berubah dengan peninjauan kembali 2 sampai
24 jam kemudian.
Daftar B: Uji Terhadap Hilangnya Refleks-refleks Batang Otak
1. Pupil terfiksasi dan dilatasi, tanpa respon langsung atau tidak langsung terhadap cahaya.
Pupil harus dalam ukuran menengah atau besar. Penggunaan obat seperti atropin dan
obat-obat lain yang menghambat respon pupil terhadap cahaya dipastikan belum
diberikan.
2. Hilangnya refleks kornea.
3. Hilangnya respon vestibulo-okuler terhadap rangsang air dingin (“cold calories”).
Gunakan minimal 120 mm air es dan posisi kepala 30 derajat terhadap sumbu horizontal.
4. Hilangnya refleks batuk.
5. Hilangnya respon terhadap kateter yang ditempatkan dalam endotracheal tube ke dalam
trakea.
6. Hilangnya fenomena “doll’s eye”.
Daftar C: Uji Apnea
Langkah 1: Garis arterial, oximeter denyut nadi dan fasilitas untuk pengukuran gas darah arteri.
Langkah 2: Atur ventilasi FI02 ke 1.0.
Langkah 3: Atur ventilasi jika perlu untuk memastikan PaCO2 berada diantara 40 mmHg dan 50
mmHg.
Langkah 4: Gambar sampel ABG nomor 1.
Langkah 5: Mulai stopwatch, cabut ventilator dan masukkan oksigen sebanyak 6 liter/menit
melalui kateter trakea untuk membantu mencegah hipoksia. Perhatikan setiap gerakan yang
memperlihatkan usaha untuk bernapas spontan.
Langkah 6: Setelah 6 menit, gambarkan sampel ABG nomor 2 dan sambungkan kembali
ventilator.
Langkah 7: Hitung peningkatan PaCO2 selama periode apnea. Peningkatan harus lebih dari 10
mmHg dan tidak adanya usaha untuk bernapas spontan harus ada pada uji apnea yang
menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas pernapasan spontan yang terjadi.
Daftar D: Menyingkirkan Kemungkinan Kondisi Tambahan
1. Pengaruh obat-obatan depresan susunan saraf pusat (mis. barbiturat, benzodiazepin,
narkotik).
2. Hipotermia – suhu rata-rata (mis. suhu esophagus, rektal) di bawah 32,2 derajat Celcius
(900 F).
3. Gangguan elektrolit (mis. hiponatremia, asidosis metabolik).
4. Lanjutan blokade neuromuskuler setelah peemberian agen penghambat neuromuskuler
(tinjau kembali daftar pemberian anestetik dan riwayat ICU; periksa dengan stimulator
saraf; balikkan efek agen tersebut dengan neostigmin).(6)
Jika kriteria klinis kematian telah ditemukan, seseorang tidak dapat ditetapkan “mati
otak” hingga dokter memastikan tidak ada obat bius (mis. kodein, domerol, morfin, kokain,
heroin) dan tidak ada obat-obatan barbiturat (mis. fenobarbital, sekobarbital, nembutal, amytal)
yang telah diberikan 24 jam sebelumnya dan bahwa kematian otak telah ditunjukkan melalui
salah satu dari studi diagnostik berikut:
1. Angiogram serebral (injeksi larutan kontras ke dalam arteri leher untuk melihat arteri di
otak pada film X-ray), menunjukkan tidak ada penetrasi larutan ke dalam arteri otak.
2. Scan aliran darah serebral (scan kepala setelah injeksi substansi radioaktif yang aman
secara intravena) memperlihatkan tidak ada aliran darah di otak.
3. Dua kali EEG (elektroensefalogram atau uji gelombang otak) pada interval 24 jam
menunjukkan tidak ada aktivitas listrik dari otak, mis. EEG datar atau isoelektrik.
Poin ketiga dari ketiga tes di atas paling banyak digunakan karena sangat mudah dilakukan di
tempat tidur pasien.(5,20)
XII. Diagnosis Banding
1. Stroke
Kondisi dimana pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba berhenti sehingga oksigen
dan glukosa tidak dapat dikirim keotak. Dari kejadian ini mengakibatkan sel otak dan
jaringan otak menjadi mati dan akan hilangnyya fungsi dari jaringan otak.
2. Tumor otak
Suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak atau ganas, membentuk masa di intracranial atau
medulla spinalis. Tumor otak terjadi karena adanya poliferasi atau pertumbuhan sel
abnormal secara sangat cepat pada daerah CNS. Sel ini akan terus berkembang mendesak
jaringan otak yang sehat sekitarnya yang mengakibatkan terjadi gangguan neurologi
( gangguan fokal akibat tumor dan meningkatnya tekanan intracranial ).
3. Trauma atau cidera kepala
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. Cedera kepala merupakan penyakit neurologik yang serius
diantara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan
lalu lintas. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Cedera kulit kepala. Cedera pada bagian
ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cedera dalam. Luka
kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan
abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
4. Hipertensi adalah dimana tekanan darah di arteri meningkat, peningkatan ini
menyebabkan jantung harus bekerja lebih kuat dari biasanya untuk mengedarkan darah
melalui pembuluh darah. Hipertensi adalah faktor resiko utama terjadinya stroke,
hipertensi dapat mengakibatkan pecah atau menyempitnya pembuluh darah diotak.
Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan apabila terjadi
penyempitan akan mengakibatkan aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan
mengalami kematian.
XIII. Komplikasi
Kematian.
XIV. Prognosis
Sekarang ini tidak ada kumpulan tanda klinis kecuali tanda kematian batang otak dengan pasti
meramalkan akibat koma. Anak kecil dan dewasa muda dapat mengalami kelainan klinis dini
yang bersifat buruk seperti reflek batang otak yang abnormal dan sebelumnya membaik. Seluruh
skema, untuk prognosis sebaiknya dilakukan tidak hanya sebagai indicator kira-kira dan
keputusan medis harus dipertimbangkan dengan faktor-faktor Lain seperti usia, penyakit yang
mendasari dan kondisi medis umum. Dalam usaha untuk mengumpulkan informasi prognosis
dari sekian banyak pasien dengan cedera kepala, ” skala koma Glasgow” telah dipikirkan bahwa
secara empiris mempunyai nilai prediktif dalam kasus-kasus trauma otak. 95% tingkat kematian
pada pasien yang reaksi pupil atau reflex gerakan mata tidak ada 6 jam setelah timbulnya koma
dan 91% tingkat kematian jika pupil tidak reaktif pada 24 jam. (10)
XV. Kesimpulan
Kematian otak adalah hilangnya fungsi otak dan batang otak secara utuh dan irreversible. Hal ini
dianggap juga sebagai kematian seluruh tubuh. Penegakkan diagnose kematian otak biasanya
secara klinis tapi ada syarat-syarat yang dibutuhkan. Hal ini termasuk penyebab primer dan
sekunder serta harus memisahkan dengan hipotermia, intoksikasi obat, keracuna dan kelainan
metabolic. Pada pemeriksaan neurologi menunjukkan kondisi koma, tidak ada tespon cerebral
dengna rangsang luar dan tidak ada reflek batang otak. Apnea tes harus dilakukan pada pasien
dengan criteria kematian otak lainnya. Pemeriksaan tambahan dibutuhkan bila secara klinis tidak
cukup dan sebagai tambahan dari penilaian klinis pada anak-anak. Pemeriksaan EEG dan
radionuclide adalah 2 teknik paling sering digunakan untuk mengkonfirmasi kematian otak.
pemeriksaan EEG lebih baik digunakan pada kondisi TIK yang turun seperti hipotensi dan
kraniotomi. Sedangkan pemeriksaan aliran darah otak lebih baik untuk kondisi hipotermia,
metabolic atau obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams RD, Victor M. Principles of neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Book
Company; 1985.p.258-9.
2. A definition of irreversible coma. Report of the Ad Hoc Committee of the Harvard
Medical School to Examine the Definition of Brain Death. JAMA : the journal of the
American Medical Association
3. Anonym. Brain death [online] 2007 Apr 21, [cited 2007 Apr 30]; Available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Brain_death
4. Cryer PE. Hypoglycemia, functional brain failure, and brain death [online] 2007, [cited
2007 Apr 30]; Available from URL: http://www.jci.org/cgi/content/abstract/117/4/868
5. Dimancescu MD. Brain death [online] 2002 Dec 23, [cited 2007 Apr 30]; Available from
URL: http://www.comarecovery.org/artman/publish/BrainDeath.shtml
6. Doyle DJ. The diagnosis of brain death: A checklist approach [online] 1995 Mar 3, [cited
2007 Apr 30]; Available from URL:
http://www.pragmatism.org/shook/biomedical_ethics/Module%20Three/death.htm
7. Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care
Medicine, journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.
8. Gunther dkk. 2011. Determination of Brain Death: An Overview with a SpecialEmphasis
on New Ultrasound Techniques for Confirmatory Testing. The OpenCritical Care
Medicine Journal,4: 35-43
9. Guyton AC, Hall JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan metabolisme otak.
Dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
1996.hal.975-83.
10. Harrison edisi 13, prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume 1, tahun 1995, penerbit
EGC
11. Lazar NM, Shemie S, Webster GC, Dickens BM. 2001. Bioethics for clinicians: 24.
Brain death. Canadian: Journal Of Canadian Medical Association or its licensors; Dapat
diunduh dari: http://www.cmaj.ca/content/164/6/833.full
12. Luhulima JW. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar : bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2002. hal.1-2,14.
13. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.hal.280
14. Phillips BJ. Determining brain death: A summary [online] 2005, [cited 2007 Apr 30];
Available from URL:
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijlhe/vol2n2/brain.xmlThe
Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics
15. Putz R, Pabst R. Sobotta atlas anatomi manusia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;1997.
16. RM, Schapiro R, eds. 1999. The definition of death: contemporary controversies.
Baltimore: Johns Hopkins University Press.
17. Reis CE. Brain death [online], [cited 2007 Apr 30]; Available from URL:
http://www.medstudents.com.br/neuro/neuro5.htm
18. Suh SW, Gum ET, Hamby AM, Chan PH, Swanson RA. Hypoglycemic neuronal death is
triggered by glucose reperfusion and activation of neuronal NADPH oxidase [online]
2007 Jan 30, [cited 2007 Apr 30]; Available from URL:
http://www.jci.org/cgi/content/full/117/4/910
19. Sohn CH, Lee HP, Park JB, Chang HW, Kim E, Park UJ, et al. Imaging findings of brain
death on 3-tesla MRI. Korean journal of radiology : official journal of the Korean
Radiological Society..
20. Taveras JM, Wood EH. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed. Baltimore : The
William & Wilkins Company; 1977.p.650-1.
21. Walton JN. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New York: Oxford University
Press; 1977.p.1169-70.
22. Wijdicks EFM. The diagnosis of brain death [online] 2001 Apr 19, [cited 2007 Apr 30];
Available from URL: http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/16/1215
23. Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi
kedua. Jakarta: EGC;1994. hal.902.