Upload
mariamunsri
View
104
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bromhidrosis
Citation preview
BROMHIDROSIS
Karina, S.Ked.
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang
I. Pendahuluan
Bromhidrosis diartikan sebagai bau badan dengan awitan pada usia
setelah pubertas dan jarang bau badan menjadi berlebihan atau tidak
sedap.1
Bromhidrosis dapat dibagi menjadi bromhidrosis apokrin dan
bromhidrosis ekrin. Bromhidrosis apokrin diartikan sebagai bau tidak
sedap yang dihasilkan oleh kelenjar apokrin. Keadaan ini biasa terjadi
di aksila. Sekresi kelenjar apokrin berupa cairan berminyak diuraikan
oleh bakteri sehingga menghasilkan E-3-methyl-2-hexenoic acid (E-
3M2H) yang mempunyai bau khas. Sementara itu, bromhidrosis ekrin
dapat disebabkan oleh konsumsi beberapa jenis makanan seperti
bawang putih dan alkohol serta gangguan metabolik.1-3
Bromhidrosis merupakan kondisi kronis dan dapat terjadi pada
semua ras. Walupun tidak ditemukan morbiditas pada bromhidrosis
tetapi bau badan tidak sedap sering membuat individu yang terkena
merasa malu sehingga mengganggu kualitas hidupnya. Oleh karena itu,
perlu diketahui lebih lanjut mengenai bromhidrosis sehingga
diharapakan dapat menambah pengetahuan mengenai etiologi,
manifestasi klinis, cara menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
bromhidrosis agar dapat diterapkan guna mencegah komplikasi berupa
penurunan fungsi psikososial individu yang mengalami
bromhhidrosis.1,3
II. Epidemiologi
1
Awitan bromhidrosis terjadi pada usia setelah pubertas dan banyak
terjadi pada populasi penduduk Afrika dan Amerika. Tidak terdapat
predileksi geografi, walaupun musim panas dan iklim panas dapat
memperburuk penyakit. Higienitas perorangan yang buruk juga
menjadi salah satu faktor pendukung.1,4
Bromhidrosis apokrin terjadi pada semua orang dari berbagai ras
tetapi lebih banyak terjadi pada etnik kulit hitam. Bromhidrosis lebih
banyak terjadi pada laki-laki. 4,5
III. Etiopatogenesis
Kelenjar sekretori manusia terdiri dari apokrin dan ekrin. Kelenjar
ekrin tersebar hampir diseluruh permukaan tubuh dan berhubungan
dengan proses termoregulasi dengan menghasilkan keringat sedangkan
kelenjar apokrin menyebabkan bau khas feromon. Kelenjar ini
menghasilkan sejumlah kecil cairan berminyak yang tidak berbau saat
mencapai permukaan kulit. Bau khas dihasilkan akibat penguraian oleh
bakteri terhadap cairan berminyak.1
Aroma tubuh manusia dihasilkan dari kelenjar apokrin walaupun
dapat berasal dari sumber lain. Sekresi kelenjar sebasea dan
penguraian produk dari keratinisasi, terutama pada hiperhidrosis, dapat
menghasilkan bau tidak sedap. Sekresi kelenjar ekrin biasanya tidak
berbau tetapi berbagai subtansi dapat diekskresikan, seperti bawang
putih dan arsen. Karakteristik bau bisa berhubungan dengan berbagai
amino – aciduria. Keringat dapat memiliki bau khas seperti pada
penyakit gout, diabetes, scurvy, dan penyakit lain. Beberapa pasien
yang mengeluh bau badan dapat mengalami fobia atau paronia.3,4
Kelenjar apokrin banyak ditemukan di daerah aksila dan genital
tetapi juga dapat ditemukan di dada, telinga (kelenjar seruminous), dan
area periorbital (kelenjar Moll). Sekresi apokrin berpengaruh terhadap
produksi bau melalui aktivitas bakteri terhadap komponen yang
dihasilkan. Host di daerah aksila terdiri dari berbagai bakteri,
kebanyakan berupa bakteri Gram positif. Leyden menyatakan
2
walaupun ada beberapa mikroorganisme yang merupakan flora normal
aksila, seperti Micrococcaceae, Aerobic diphtheroids, dan
Propionibacteria, namun hanya diphtheroids yang menghasilkan bau
badan khas.1-3, 6,7
Bromhidrosis apokrin memiliki prevalensi paling banyak dari
bentuk bromhidrosis. Beberapa faktor dapat menyebabkan patogenesis
dari bromhidrosis apokrin. Penguraian bakteri terhadap sekresi
kelenjar apokrin menghasilkan amonia dan asam lemak rantai pendek
yang memiliki bau khas yang tajam. Asam yang paling banyak adalah
(E)-3-methyl-2-hexanoic acid (E-3M2H) akan dibawa ke permukaan
kulit oleh dua protein pengikat, yaitu apocrine secretion binding
proteins (ASOB 1 dan ASOB 2). Apocrine secretion binding protein 2
(ASOB 2) merupakan apolipoprotein D yang berfungsi membawa
feromon pada mamalia. (E)-3-methyl-2-hexanoic acid (E-3M2H) dan
(RS)-3-hydroxy-3-methlyhexanoic acid (HMHA) dihasilkan melalui
aktivitas spesifik zinc-dependent N-alpha-acyl-glutamine
aminoacylase (N-AGA) dari Corynebacterium species.1,3,5,6,8,9
Selain itu, pengaruh hiperhidrosis pada bromhidrosis belum jelas.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa keringat yang dihasilkan
kelenjar ekrin memperberat bromhidrosis apokrin dengan mendorong
penyebaran lokal dari komponen keringat yang dihasilkan kelenjar
apokrin dan meningkatkan kelembaban lingkungan untuk bakteri
berkembang biak.1
Pada situasi tertentu, sekresi dari kelenjar ekrin yang tidak berbau
dapat menghasilkan bau tidak sedap dan menyebabkan bromhidrosis
ekrin. Ketika keringat yang dihasilkan kelenjar ekrin melembutkan
keratin, degradasi bakteri terhadap keratin dapat menghasilkan bau
tidak sedap. Mengkonsumsi beberapa makanan, seperti bawang putih,
kari, alkohol, dan beberapa obat (penisilin dan bromida) dapat
menyebabkan bromhidrosis ekrin. Selain itu, bromhidrosis ekrin dapat
disebabkan oleh gangguan metabolik.3,5
3
IV. Manifestasi Klinis
Riwayat pasien dengan keluhan bau badan tidak sedap terutama di
aksila meskipun area genital dan kaki dapat terpengaruh. Bau
digambarkan sebagai bau yang tajam, tengik, ataupun asam.1,3
Pemeriksaan fisik pada bromhidrosis tidak khas. Bromhidrosis
tidak berhubungan dengan gangguan anatomi sehingga kulit terlihat
normal. Namun, individu dengan bromhidrosis ekrin yang disebabkan
degradasi bakteri dari keratin mungkin memiliki maserasi dan keratin
tebal lembab pada pemeriksaan. Temuan ini paling sering terlihat pada
permukaan plantar dan intertriginosa.1,3
V. Diagnosis
Diagnosis pasien bromhidrosis didapatkan dari keluhan pasien
berupa bau badan yang tidak sedap di aksila, area genital, dan kaki.
Selain itu, pada bromhidrosis ekrin perlu ditanyakan riwayat
penggunaan obat (bromida), makanan (alkohol, bawang putih, dan
kari) serta gangguan metabolik.1,3
Pada pemeriksaan fisik pasien bromhidrosis tidak ditemukan lesi
kulit yang abnormal namun pada bromhidrosis ekrin dapat ditemukan
maserasi dan keratin pada plantar dan intertriginosa.1,3
Pada pemeriksaan laboratorik tidak didapatkan hasil abnormal.
Sementara itu, pada patologi dilaporkan tidak terdapat abnormalitas di
kelenjar apokrin pada individu yang terkena tetapi beberapa penelitaan
juga melaporkan bahwa terdapat peningkatan jumlah dan ukuran pada
kelenjar apokrin.1,5
VI. Penatalaksanaan
a. Umum
4
Penatalaksanaan dilakukan dengan cara sering mencuci daerah
aksila, menggunakan deodoran atau antiperspirant (aluminium
klorida) dan parfum. Mencukur rambut ketiak dapat membantu
mengurangi bau badan sehingga mengurangi akumulasi bakteri dan
keringat pada rambut. Penggunaan sabun antibakteri dan topikal
antibakteri dapat membantu mengurangi bau.1
b. Terapi non-bedah
Injeksi toksin botulinum A dilaporkan dapat memperbaiki
bromhidrosis aksila dan genital. Toksin botulinum A menghambat
pengeluaran asetilkolin dari membran presinaps neuromuscular
junction. Hal ini dapat mencegah rangsangan transmisi kolinergik
neuroreseptor postganglion. Oleh karena, kelenjar apokrin dan
ekrin dipengaruhi oleh rangsangan kolinergik sehingga injeksi
toksin botulinum A pada area hiperhidrosis dapat menghentikan
produksi keringat yang dihasilkan kelenjar.1,11
Terapi frequency-doubled, Q-switched Nd:YAG laser juga
efektif untuk mengatasi bromhidrosis aksila. Laser ini
memancarkan sinar hijau berkekuatan tinggi. Gelombang energi
yang dihasilkan akan diserap melanin dan hemoglobin kemudian
ditransmisikan ke kelenjar apokrin dan menyebabkan kerusakan
pada kelenjar dan mikrosirkulasi.1,3,12
c. Terapi pembedahan
Beberapa pemeriksaan sebelum pembedahan untuk tatalaksana
bromhidrosis apokrin perlu dilakukan. Penilaian pasien penting
dilakukan karena berhubungan dengan pembentukan skar setelah
operasi, waktu penyembuhan lama, infeksi, dan komplikasi lain.
Upper thoracic sympathectomy telah berhasil menangani
bromhidrosis apokrin. Operasi pembuangan kelenjar apokrin dapat
dilakukan melalui pembuangan jaringan subkutan atau sampai kulit
aksila. Walaupun operasi eksisi memiliki efektifitas tinggi tetapi
5
hal ini juga tergantung dari kedalaman jaringan yang dibuang,
teknik operasi yang digunakan, regenerasi, dan kembalinya fungsi
apokrin. Baik superficial liposuction dan ultrasound assisted
liposuction efektif untuk penatalaksanaan bromhidrosis.1
VII. Prognosis
Bromhidrosis apokrin merupakan penyakit kronis. Seseorang yang
terkena bromhidosis sering merasa malu dan hal ini dapat
mengganggu fungsi psikososialnya.1
VIII. Simpulan
Bromhidrosis diartikan sebagai bau badan dengan awitan setelah
pubertas. Jarang bau badan menjadi berlebihan atau tidak sedap.
Bromhidrosis dibagi menjadi bromhidrosis apokrin dan bromhidrosis
ekrin.
Bromhidrosis apokrin diartikan sebagai bau tidak sedap yang
dihasilkan oleh kelenjar apokrin. Sekresi kelenjar apokrin berupa
cairan berminyak diuraikan oleh bakteri sehingga menghasilkan E-3-
methyl-2-hexenoic acid (E-3M2H) yang mempunyai bau khas.
Sementara itu, bromhidrosis ekrin dapat disebabkan oleh konsumsi
beberapa jenis makanan seperti bawang putih dan alkohol serta
gangguan metabolik.
Gejala bromhidrosis berupa riwayat bau badan tidak sedap
sedangkan pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik tidak
didapatkan temuan yang spesifik. Pada patologi didapatkan
peningkatan jumlah dan ukuran kelenjar apokrin.
Penatalaksanaan bromhidrosis, yaitu mencuci daerah aksila,
penggunaan deodoran atau antiperspirant dan parfum, injeksi toksin
botulinum A, laser serta terapi pembedahan.
Bromhidrosis merupakan suatu kondisi kronis ditandai dengan bau
badan berlebihan atau bau tidak sedap. Bromhidrosis berhubungan
6
dengan sekresi kelenjar apokrin dan mengganggu kualitas hidup
seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiseman MC. Disorder of apocrine sweat glands. In: Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed. New York: McGraw – Hill; 2012. p. 731-2.
7
2. Coulson IH. Disorder of sweat glands. In: Wilkinson SM, Beck MH. Rook’s Textbook of Dermatology, 8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010. p. 45. 21.
3. James WD, Berger Timothy, Elston Dirk. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology, 11th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010. p. 777-9.
4. Hurley HJ. Disorder of the sweat glands. In: Orkin M, Maibach H, Dahl MV. Dermatology. Norwalk: Apleton - Lange; 1991. p. 384.
5. Wasitaatmadja SM. Dermatologi Kosmetik. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedoktean Universitas Indonesia; 2011. hal. 250-1.
6. Mao GY, Yang SL, Zheng JH. Etiology and management of axillary bromidrosis: a brief review. Int J Dermatol. 2008; 47: 1063–8.
7. Natsch A, Derrer S, Flachsmann F, Schmid J. A broad diversity of volatile carboxylic acids, released by a bacterial aminoacylase from axilla secretions, as candidate molecules for the determination of human-body odor type. Chem Biodivers. 2006; 3 (1): 1-20
8. Dearborn FM. Disease of The Skin. New Delhi: B. Jain Publisher; 2002. p. 457–8
9. Zeng C, Spielman AI, Vowels BR et al. A human axillary odorant is carried by apolipoprotein D. Proc Natl Acad Sci USA. 1996; 93: 6626–30.
10. Heckman M, Ceballos AO, Plewig G. Botulinum toxin A for axillary hyperhydrosis (excessive sweating). N Engl JMed. 2001;344: 448-93
11. Lee Jae, Byung Kim, Kim MB. A case of foul genital odor treated with botulinum toxin A. Dermatol Surg. 2004; 30: 1233-35.
12. Kunachak S, Wongwaisayawan S, Leelaudomlipi P. Noninvasive treatment of bromidrosis by frequency-doubled Q-switched Nd:YAG laser. Aesth. Plast. Surg. 2000; 24: 198-201.
8