budaya aceh IPS

Embed Size (px)

Citation preview

Kesenian Kuliner khas Upacara Agama Bahasa adat Kebudayaan

Kesenian AcehTari Saman atau dikenal juga dengan Tarian sejuta tangan (a thousand hand dance) adalah sebuah tarian adat yang berasal dari daerah Aceh Tenggara, tepatnya dari dataran tinggi Gayo.Tari Saman ini diciptakan serta dikembangkan oleh seorang tokoh agama Islam bernama Syech Saman, sehingga nama tari tersebut dinamakan serupa nama penciptanya sendiri. Tarian Saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian Saman: Tepuk tangan dan tepuk dada. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Dahulu tarian ini biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh, diantaranya untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekarang pun, tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.

Kuliner KhasAyam Tangkap sangat terkenal di Aceh. Sajian makanan yang satu ini amat menarik, yaitu ayam berbumbu yang digoreng bersama daun rempah-rempah yang beraroma harum dan menggugah selera. Cara membuatnya yaitu ayamnya dipotong kecil-kecil (sebesar ibu jari) kemudian digoreng kering, kemudian disajikan dengan daun temburu dan cabe hijau yang juga digoreng kering. Walaupun bentuknya daun, karena digoreng kering maka daun temburu ini menjadi gurih seperti keripik. Rasanya tidak berbeda dengan ayam goreng biasa, namun dengan sajian keripik daun dan cabe hijau goreng ini menimbulkan sedikit cita rasa yang berbeda.

Upacara Adat AcehUpacara peucicap (turun tanah) Tradisi Upacara Adat Peucicap Aneuk ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija (kain) ayunan, ija geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas. Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa selamat.

AgamaHampir 90% masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam menganut agama Islam. Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syariyah, dan akhlak. Syariat Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syariat Islam diatur dengan Qanun Aceh. Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

Bahasa Adat AcehDiantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.

Bahasa GayoBahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.

Kebudayaan AcehRumah adat Rumah Adat Tujuh Ruang, Rumah Adat Tujuh Ruang, (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo, adalah peninggalan raje Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli dengan peninggalan sejarah tersebut. Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar tepatnya di Kampung Toweren,Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya mulai pudar bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli, padahal rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya. Beberapa bagian lantai rumah adat tersebut sudah mulai lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus.

Busana Adat Pengantin Aceh Sebagaimana masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia, mereka juga menumbuhkembangkan pakaian tradisional (adat) sebagai simbol jati dirinya. Salah satu diantaranya adalah pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki (Peukayan Linto Baro) dan pengantin perempuan (Peukayan Dara Baro) dalam upacara perkawinan, dimana bagian-bagian dari kedua pakaian tersebut tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi juga makna simbolik dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

SenjataPedang (Peudeung) digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki.