105
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Etnis Tionghoa, yang dulu sering disebut Chinese Everseas atau Tionghoa perantauan, tersebar di mana- mana. Jumlahnya diperkirakan 23 juta jiwa, dan lebih dari 80% di antaranya berada di Asia Tenggara. Indonesia adalah salah satu wilayah sebaran migrasi penduduk Cina. Proporsi populasi jumlah suku bangsa di Indonesia menurut sensus 2000 adalah 7.776.000 jiwa 1 . Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnis yang mempunyai sejarah tersendiri di Indonesia. Etnis Tionghoa pernah menjadi isu yang besar ketika pemerintahan Soeharto di mana eksistensi dan ruang gerak etnis Tionghoa di tekan dan dibatasi pada waktu itu. Setalah berakhirnya rezim Orde Baru memunculah 1 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia – diakses pada 10 Juni 2013, 19.21

budaya bisnis tionghoa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: budaya bisnis tionghoa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Etnis Tionghoa, yang dulu sering disebut Chinese Everseas atau Tionghoa

perantauan, tersebar di mana-mana. Jumlahnya diperkirakan 23 juta jiwa, dan

lebih dari 80% di antaranya berada di Asia Tenggara. Indonesia adalah salah satu

wilayah sebaran migrasi penduduk Cina. Proporsi populasi jumlah suku bangsa di

Indonesia menurut sensus 2000 adalah 7.776.000 jiwa1.

Tionghoa di Indonesia ialah sebuah kelompok etnis yang mempunyai

sejarah tersendiri di Indonesia. Etnis Tionghoa pernah menjadi isu yang besar

ketika pemerintahan Soeharto di mana eksistensi dan ruang gerak etnis Tionghoa

di tekan dan dibatasi pada waktu itu. Setalah berakhirnya rezim Orde Baru

memunculah berbagai perspektif baru mengenai eksistensi Etnis Tionghoa di

Indonesia.

Pascareformasi, salah satu aspek yang fenomenal adalah bangkit dan tumbuh suburnya apa yang disebut oleh peneliti senior Leo Suryadinata (2004) sebagai “Tiga Pilar Ketionghoaan”, yakni (1) organisasi Tionghoa; (2) pers berbahasa Tionghoa dan (3) sekolah berbahasa pengantar Mandarin (poin terakhir ini kurang tepat, karena tidak ada "Sekolah Mandarin", yang ada adalah sekolah Tiga Bahasa/Trilingual). Ketiga pilar tersebut dewasa ini nampak jelas di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Pontianak.2

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia – diakses pada 10 Juni 2013, 19.21

2 http://wartaekonomi.co.id/berita6443/changyau-hoon-identitas-tionghoa-pascasoeharto-ranah-budaya-politik-dan-media.html - diakses pada 10 Juni 2013, 19:48

Page 2: budaya bisnis tionghoa

Tumbangnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah Indonesia juga

berubah. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis

mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum. Hal ini

merupakan perubahan yang baik bagi etnis Tionghoa, apalagi bagi etnis Tionghoa

keturunan yang lahir sudah lama lahir dan menetap di Indonesia. Waktu tinggal

dan domisili yang tetap di Indonesia, dan telah mempunyai bisnis tetap dan

bergerak, menjadikan etnis Tionghoa di Indonesia melebur dan mengikuti aturan

hukum yang ada. Semakin kesini, makin banyak etnis Tionghoa

berkewarganegaraan Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Bangsa China yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan ke

dalam masyarakat Indonesia secara setingkat dan setaraf dengan suku-suku

bangsa yang lain yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Orang-orang Cina di Indonesia dipanggil "Tionghoa", sepatah istilah yang dicipta sendiri oleh orang-orang yang berasal dari China di Indonesia. Istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" lahir daripada sebutan Melayu (Indonesia) dan Hokkien, jadi secara linguistik "Tionghoa" dan "Tiongkok" memang tidak dikenali (disebut atau didengar) di luar masyarakat Indonesia. Oleh sebab "Tionghoa" adalah istilah bahasa Indonesia yang khas, ia juga tidak dikenali di Malaysia dan Thailand. (Suryadinata, 2002:101)

Orang-orang Tionghoa Indonesia merupakan keturunan daripada orang-

orang Cina yang berhijrah dari China secara berkala dan bergelombang sejak

ribuan tahun dahulu. Catatan-catatan kesusasteraan China menyatakan bahwa

kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah mengadakan hubungan yang erat

dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China. Faktor inilah yang kemudian

Page 3: budaya bisnis tionghoa

menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang-barang maupun manusia dari

China ke Nusantara dan sebaliknya.

Sejak awal masa reformasi etnis China semakin terintegrasi dengan orang

Indonesia (Mulyana,2011:72). Indonesia pernah memiliki pejabat setingkat

menteri yang orang Cina, dan sekarang Wakil Gubernur Ibu Kota Indonesia

adalah seorang keturunan Tionghoa. “Cina akan menguasai dunia”, itulah kata-

kata yang saat ini sering terdengar atau terpampang pada media massa, karena

kekuatan ekonomi yang dikembangkan oleh etnis Tionghoa, telah menjadi

kekuatan masa depan yang tidak dapat dipandang remeh. Namun, betapapun

China telah memasuki abad modern, abad pasar bebas, filosofi serta referensi

perilaku mereka masih tetap mengacu pada literatur-literatur klasik serta ajaran-

ajaran para tokoh China kuno. Strategi perang para Ksatria China sudah menjadi

topik riset ahli ekonomi dan bisnis. Ini bukan sesuatu yang mengherankan,

mengingat etnis Tionghoa memiliki peribahasa bahwa dunia bisnis adalah medan

perang.

Dahlan Iskan, dalam majalah Tempo edisi Maret 2012 mengungkapkan

bahwa sepuluh tahun terakhir ini, peta kekuatan dunia sudah berubah dan beralih

ke Asia, terutama Cina. Selain kekuatan ekonomi baru Cina yang kini menjadi

pesaing Amerika dan Eropa, juga banyak ide perubahan baru ditemukan dengan

segar di Negeri Tirai Bambu itu. Chow (2011:55) menyebutkan setidaknya ada

tiga faktor penyebab ekonomi China tumbuh dengan cepat, atara lain sumber daya

manusia yang berkualitas tinggi, institusi pasar yang berfungsi, dan banyaknya

kesempatan untuk berkembang.

Page 4: budaya bisnis tionghoa

Indonesia sendiri, sebagai negeri yang di dalamnya terdiri dari banyak

etnis, sentimen etnis memang dapat saja bermunculan, tetapi pemicu utamanya

lebih terletak pada kesenjangan sosial dan marginalisasi ekonomi kelompok yang

semakin mengental pada era konglomerasi. Kesadaran sebagai golongan minoritas

mendorong terbentuknya solidaritas yang kuat di kalangan orang China

(Hamdani, 2012:3). Solidaritas golongan ini menjadi faktor penting dalam

hubungan sosial yang penuh prasangka antara etnis Tionghoa dan orang-orang

pribumi. Sebabnya antara lain karena modal, keahlian, sistem informasi ekonomi

dan perdagangan hanya berputar dalam lingkaran golongan etnis Tionghoa.

Keistimewaan perilaku ekonomi etnis Tionghoa yang pertama adalah terletak

pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian, sikap kompetitif antara

mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis

di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan

besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu, bisnis keluarga menjadi

salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk.

Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar China di

Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group,

Khong Guan, PT "Cap Orang Tua" perusahaan jamu "Jago", perusahaan jamu

"Air Mancur", dan lain-lain. Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina,

salah satunya adalah Eka Tjipta Widjaja.

Eka Tjipta Widjaja adalah orang Indonesia yang awalnya lahir di Cina. Beliau lahir di Coana Ciu, Fujian, Cina dan mempunyai nama Oei Ek Tjhong. Ia lahir pada tanggal 3 Oktober 1923 dan beliau merupakan pendiri dan pemilik Sinar Mas Group. Ia pindah ke Indonesia saat umurnya masih sangat muda yaitu umur 9 tahun. Tepatnya pada tahun

Page 5: budaya bisnis tionghoa

1932, Eka Tjipta Widjaya yang saat itu masih dipanggil Oei Ek Tjhong akhirnya pindah ke kota Makassar. Di Indonesia, Eka hanya mampu tamat sekolah dasar atau SD. Hal ini dikarenakan kondisi ekonominya yang serba kekurangan. Untuk bisa pindah ke Indonesia saja, ia dan keluarganya harus berhutang ke rentenir dan dengan bunga yang tidak sedikit.3

Dalam hubungan bisnis etnis Tionghoa juga memiliki beberapa pedoman

etika dan perilaku bisnis, baik hubungan bisnis ke dalam maupun ke luar dalam

sebuah perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Istilah etika berasal dari

bahasa Yunani Kuno, ethos. Bentuk tunggal ethos mempunyai banyak arti:

tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang habitat; kebiasaan, adat;

akhlak, watak; perasaan, sikap, cara befikir. Dalam bentuk jamak berarti adat

kebiasaan. (Bertens, 2011:4). Banyak literatur yang menyebutkan bahwa

kebiasaan-kebiasaan berbisnis orang China sangat baik. Cara-cara bisnis mereka

sangat kuat dan konsisten. Kekuatan dan kosnsistensi mereka tidak lepas dari

kebudayaan-kebudayaan yang mereka anut.

Spradley (2006) mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang

diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk

menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun

strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Kebiasaan China

dalam menjaga budaya dan melakukan pewarisan-pewarisan budaya sangat baik,

hal ini ditunjukan oleh kecintaan mereka terhadap leluhur. Menghargai para

leluhur serta nilai-nilainya diajarkan sejak dini oleh orangtua-orangtua kepada

anaknya. Penghargaan terhadap nilai-nilai leluhur ini dijaga dengan baik oleh

keturunan Tionghoa di belahan dunia manapun. Termasuk Tionghoa yang

3 http://profilpengusahasuksesindonesia.blogspot.com/2012/11/kisah-pengusaha-sukses-dari-nol-eka.html - diakses pada 10 Juni 2013, 20:02

Page 6: budaya bisnis tionghoa

berwarganega Indonesia, selain mereka menjunjung tinggi negara dimana mereka

berada, kekuatan persatuan kekeluargaan etnis Tionghoa serta pemahaman dan

penghargaan terhadap budaya asli China akan terus dipegang teguh dan tidak

pernah hilang. Falsafah-falsafah dan kebiasaan-kebiasaan terus disebarkan dan

diwariskan dengan baik.

Geertz (dalam Pals, 2012,328) menjelaskan jika kita ingin memahami

aktivitas kebudayaan, agama (kepercayaan) merupakan elemen terpenting di

dalamnya. Dalam budaya China, unsur kepercayaan sangat kental sekali. Agama

China bahkan dipandang sebagai bentuk kebudayaan besar namun tetap unik. Hal

ini tentu membingungkan jika kita melihat track record China sebagai Negara

komunis yang cenderung materialistik.

Pada dasarnya, dasar berfikir orang China selalu mengembalikan kepada

hakekat keharmonisan antara kehidupan “langit” (alam gaib) dan kehidupan di

bumi dan manusia (alam dunia nyata) Mereka percaya bahwa alam semesta ini

sebagai akibat dari inkarnasi kekuatan alam (Hidajat, 1993:14). Orang Tionghoa

percaya bahwa alam dikuasai oleh spirit-spirit yang kekuatannya luar biasa.

Wujud alam dianggap semata-mata sebagai ekresi dari spirit-spirit yang mendiami

alam. beberapa spirit ini hidup dalam alam seperti langit, matahari, tanah, air,

tumbuh-tumbuhan dan gunung, serta fenomena alam lainnya.

Orang Tionghoa beranggapan bahwa spirit-spirit alam itu adalah spirit

yang berasal dari arwah-arwah nenek moyang, yang kekuatan hidupnya demikian

kuat, sehingga dapat melanjutkan kekealan hidupnya setelah jasad jasmaninya

mati (Hidajat, 1993:14). Hal ini sangat berkaitan dengan kebudayaan orang China

Page 7: budaya bisnis tionghoa

yang begitu menghargai leluhurnya. Menghargai leluhur berarti ikut menjaga

keseimbangan antara “langit” dan “bumi”, yang gaib dan yang nyata.

Keberhasilan hidup berbisnis masyarakat China, yang bukan hanya di

Indonesia saja, namun di wilayah migrasi masyarakat China lain, menandakan

adanya satu kekuatan yang sama yang membuat mereka, sebagai etnis pendatang

di daerah migrasinya, mampu untuk berhasil. Kekuatan yang sama itu tidak lain

adalah kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat asli mereka yang terus mereka jaga

yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, etos-etos, dan cara-cara bagaimana

berbisnis.

Walaupun masyarakat China yang bermigrasi keluar China melakukan

adaptasi terhadap tempatnya yang baru, juga telah terjadinya akulturasi budaya

dengan daerah baru, sebagian budaya asli China masih tetap di pegang teguh.

Namun tidak menutup kemunginan terjadinya sebuah akulturasi kebudayaan,

antara China dan Indonesia. Proses sosial tingkat lanjut ini timbul apabila terdapat

golongan-golongan manusia yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang

berbeda-beda, saling berinteraksi dan bergaul secara langsung dan intensif dalam

waktu yang lama, dan kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi dapat

berubah sifatnya yang khas menjadi unsur-unsur kebudayaan yang baru, yang

berbeda dengan aslinya.

Berdasar dari fakta-fakta di atas, penulis tertarik untuk menguraikan

bagaiman etnis Tionghoa di Indonesia mengaplikasikan budayanya, melihat

bagaimana budaya asli China diterapkan di Indonesia, bagaimana budaya-budaya

yang mengalami akulturasi. Untuk mempersempit kajian pengaplikasian tersebut,

Page 8: budaya bisnis tionghoa

penulis akan melihat aplikasi tersebut dari aspek bisnis. Penulis akan menguraikan

bagaimana praktik-praktik bisnis yang dilakukan Orang Tionghoa di Indonesia.

Salah satu pengusaha keturunan Tionghoa adalah Widya Pratama. Beliau

adalah pengusaha di bidang bahan makanan, yaitu kopi. Nama tokonya adalah

“Kopi Aroma”. Nama tersebut mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat

Bandung, bahkan untuk Indonesia. Toko yang bertuliskan “AROMA – PABERIK

KOPI” ini terletak di jalan Banceuy No.51 Bandung.

Widya adalah anak tunggal dari pasangan Tan Houw Sian yang kelahiran Indramayu dan Tjia Kiok Eng yang berasal dari Cirebon. Keduanya sudah meninggal dan mewariskan usaha Kopi Aroma kepada anak tunggalnya ini. Selain menjalankan usaha Kopi Aroma, Widya adalah dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Unpar dan dikenal dalam menegakan integritas kejujuran kepada para mahasiswanya.4

Kopi aroma pertama kali beroprasi pada tahun 1930 di kota Bandung dan

sudah terkenal bahkan hingga Amerika, Belanda, Perancis. Malahan menurut

rumor, pendiri gerai kopi terbesar di Dunia, Starbucks, sampai menyempatkan

datang untuk mencicipi produk dari Kopi Aroma.

1.2. Fokus Kajian Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menguraikan praktik-praktik budaya

komunikasi yang dilakukan etnis Tionghoa di Indonesia dalam berbisnis. Praktik-

praktik budaya komunikasi tersebut termasuk nilai kepercayaan dan nilai sosial

etnis Tionghoa serta kaitan antar keduanya yang diaplikasikan dalam cara-cara

4 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 11 Juni 2013, pukul 13.21

Page 9: budaya bisnis tionghoa

berbisnis orang Tionghoa di Indonesia.

Pada uraian mengenai nilai kepercayaan, penulis akan menguraikan nilai

kepercayaan seperti apa yang melandasi perilaku bisnis orang Tionghoa,

anggapan-anggapan terhadap kepercayaan gaib, anggapan mereka terhadap nasib

dan peranan dewa-dewa. Nilai kepercayaan yang sebelumnya bersifat “gaib” dan

bersifat komunikasi dengan Tuhan ini nantinya akan diteruskan kepada uraian

tentang praktik-praktik sosial mereka. Pada uraian nilai-nilai sosial akan diuraikan

tentang cara-cara komunikasi dan perlakuan etnis Tionghoa terhadap objek yang

dikenai budaya komunikasi tersebut, yaitu bisnis.

1.3. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya penulis utarakan, maka

penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana Perilaku

Bisnis Keluarga Widya Pratama Sebagai Pebisnis Indonesia-Tionghoa di

Bandung?”

Kemudian berdasarkan perumusan masalah tersebut, penulis

mengemukakan pertanyaan penelitian antara lain:

1. Bagaimana peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai

kepercayaan dilakukan keluarga Widya Pratama?

2. Bagaimana peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai

sosial dilakukan keluarga Widya Pratama?

3. Bagaimana kolaborasi antara nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai sosial

Page 10: budaya bisnis tionghoa

diterapkan dalam perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menjelaskan peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai

kepercayaan dilakukan keluarga Widya Pratama?

2. Menjelaskan peristiwa komunikasi bisnis yang didasari oleh nilai-nilai

sosial dilakukan keluarga Widya Pratama?

3. Menjelaskan kolaborasi antara nilai-nilai kepercayaan dan nilai-nilai sosial

diterapkan dalam perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama?

1.5. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Penelitian ini penulis gunakan sebagai tugas akhir dalam menempuh

pendidikan Program Pascasarjana Bidang Kajian Komunikasi Bisnis di

Universitas Islam Bandung.

2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengaya bagi penelitian terdahulu

tentang kebudayaan Tionghoa Indonesia khususnya dalam aspek budaya

bisnis.

3. Penelitian ini melibatkan etnis tertentu dalam berperilaku, karenanya

penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai pembanding terhadap

perilaku-perilaku etnis lain dalam aspek bisnis.

Page 11: budaya bisnis tionghoa

4. Penelitian ini dapat memberikan gambaran terbaru mengenai perilaku

bisnis yang dilakukan etnis Tionghoa di Indonesia.

5. Penelitian ini berguna dalam memberikan wawasan bagi para pebisnis

sekaligus meniru hal-hal yang dianggap positif dari perilaku-perilaku

bisnis etnis Tionghoa.

1.6. Alasan Penelitian

Alasan peneliti dalam menentukan kajian dalam penelitian ini antara lain:

1. Jurusan yang ditempuh peneliti yaitu komunikasi bisnis, karena itu peneliti

merasa harus menonjolkan aspek komunikasi dan juga aspek bisnis agar

penelitian ini berguna teoritis dan praktis bagi komunikasi bisnis.

2. Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia yang bisa dibilang jumlahnya amat

banyak untuk sebuah etnis minoritas dibandingkan dengan negara lain.

3. Adanya anggapan terkenal bahwa etnis Tionghoa di Indonesia lebih

mapan dibandingkan pribumi.

4. Adanya anggapan bahwa orang China mempunyai cara berbisnis yang

khas yang bisa membawa mereka lebih makmur di manapun etnis ini

berada.

1.7. Batasan penelitian

Untuk mencegah pembahasan yang melenceng, memfokuskan uraian dan

memperjelas batasan topik penelitian, maka penulis menetapkan batasan

Page 12: budaya bisnis tionghoa

penelitian, antara lain:

1. Penelitian ini dilakukan di keluarga Widya Pratama yang merupakan

pengusaha keturunan Tionghoa yang berada di Bandung

2. Penelitian bertempat di Jalan Banceuy No. 51 Bandung, Jawa Barat

3. Aspek yang diteliti adalah aspek kebudayaan Tionghoa yang berkaitan

dengan perilaku komunikasi bisnis keluarga Widya Pratama

4. Penelitian ini menguraikan perilaku komunikasi yang dilakukan keluarga

Widya Pratama terhadap objek bisnis mereka, yaitu produk mereka

sendiri, konsumen mereka, dan relasi bisnis mereka. Penelitian ini tidak

membahas bagaimana perlakukan objek bisnis tadi terhadap keluarga

Widya Pratama.

5. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Page 13: budaya bisnis tionghoa

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

2.1.1.1. Penelitian Erin Kite

Identitas kebudayaan Tionghoa; Kebijaksanaan Suharto dan keberhasilanya

mencapai Pembauran Lengkap (oleh Erin Kite - ACICIS Studi

Lapangan Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Erin Kite ini dimaksudkan untuk mencari

tahu bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami

identitas mereka, khususnya identitas kebudayaan yang berasal dari keturunan

Tionghoanya. Dalam penelitian ini Erin Kite melakukan pemeriksaan tentang

hukum-hukum yang dibuat selama periode pemerintahan Suharto, yaitu Orde

Baru.

Penelitian tentang identitas kebudayaan Tionghoa di Indonesia akan selalu

berkaitan dengan hukum-hukum tersebut di atas karena selama 30 tahun silam,

hukum hukum ini sudah mengatur keberadaan identitas masyarakat Tionghoa

dengan mengatur adanya penyelengaraan aspek-aspek yang paling penting untuk

kebudayaan Tionghoa. Penelitian harus mengikut sertakan sebuah penafsiran

mengenai kondisi social dan bersejarah yang bercokol pada zaman dan periode

yang terjadi sebelum Orde Baru, berserta pembauran hukum hukum tersebut

sehingga timbul pemahaman tentang dasar yang tidak resmi untuk hukum-hukum

sejenis ini.

Page 14: budaya bisnis tionghoa

Salah satu faktor yang menghubungkan keturunan Tionghoa dengan

masalah politik di Indonesia adalah, undang undang yang diciptakan oleh

pemerintah Indonesia untuk mengatur identitas dan kebudayaan keturunan

Tionghoa selalu berhubungan dengan politik pemerintahan. Salah satu contohnya

adalah keputusan untuk melarang diselenggarakannya adat istiadat Tionghoa di

Indonesia. Walaupun sikap pemerintah sedikit demi sedikit berubah dalam

penerapan undang-undang ini tetap saja, selama periode lama undang-undang

tersebut dipakai untuk menghilangkan adanya perbedaan kebudayaan antara

pribumi dan Tionghoa. Dan hal ini menyebabkan hilangnya identitas asli orang

Tionghoa di Indonesia tanpa pembicaraan undang-undang tersebut di atas.

Erin Kite menyimpulkan bahwa hukum-hukum dari Orde Baru yang

tersebut di atas mencapai keberhasilan yang terbatas, yaitu kemampuan berbehasa

Tionghoa antara kelompok usia 15 sampai 19 tahun amat berkurang, dan banyak

orang Tionghoa sudah berpindah agama menjadi penganut Kristen atau Katolik.

Akan tetapi, walau ketidakmampuan dan perubahan sesugguhnya tercipta oleh

adanya hukum-hukum tersebut, hukum ini tidak mengurangi kekuatan identitas

Tionghoa antara masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Ini bisa dilihat dari

hasil angket yang memperlihatkan bahwa kebanyakan koresponden (walaupun

tidak banyak) masih merasa lebih seperti seorang Tionghoa daripada seorang

Indonesia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.

Ada beberapa alasan yang menjelaskan situasi tersebut. Yang pertama

adalah bahwa hukum-hukum ini mencoba memaksa Tiohgoa untuk membaur;

sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Yang kedua adalah bahwa hukum-hukum

Page 15: budaya bisnis tionghoa

tersebut memeliki tujuan yang bertolak belakang. Misalnya adanya peraturan yang

melarang penyelengaraan kebudayaan Tionghoa sehingga mendorong pembauran,

tetapi pada sisi yang lain ada hukum yang mengidentifikasi seorang sebagai

seorang Tionghoa, terpisah dari kependudukan lain di Indonesia.

  Akibatnya, hukum-hukum ini tidak mencapai tujuan yang sebenarnya,

yaitu pembauran lengkap, seperti yang didefinisikan pemerintah Suharto. Akan

tetapi jikalau pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menginginkan

adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang

lain, mereka hendaknya memusatkan pada usaha untuk memperbaiki hubungan

antara dua kelompok ini, bukannya mencoba untuk men-indonesia-kan

masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia.

2.1.1.2. Sumbangsih Agama Konghuchu terhadap Keberhasilan Bisnis Etning Tionghoa serta Memberi Warna Cantik dalam Bisnis (Js. Drs. Ongky Setio Kuncono, MM., MBA., Universitas 17 Agustus, 2012)

Karakteristik pembangunan ekonomi suatu negara juga amat dipengaruhi

oleh karakter budaya yang berkembang. Budaya Konfusianisme yang

menekankan prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan antar sesama manusia telah

menghambat perkembangan kapitalisme di negara-negara  Timur yang kental

dengan budaya Konfusius.

Pada tatanan budaya, terdapat banyak komponen pembentuk sebuah

budaya. Dalam sebuah budaya, terkandung unsur nilai-nilai informal, dan norma-

norma yang membentuk karakter dan pola perilaku ekonomi manusia. Menurut

Kuncono budaya mempengaruhi perekonomian. Perilaku-perilaku ekonomi pasti

Page 16: budaya bisnis tionghoa

berlandaskan pada budaya-budaya setempat. Perilaku bisa tercermin dari aktivitas

produksi, pola konsumsi dan produktivitas, enciptaan dan pengendalian sebuah

institusi, dan kemampuan menciptakan jaringan sosial.

Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis Tionghoa selalu berpegang

pada etos kerja disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam

pelaksanaan tugasnya. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran

Konfusius yang telah menjadi budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa

tercermin dalam etos kerja pekerja-pekerja di negara-negara industri baru.

Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari

nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-nilai budaya Tionghoa dipandang memiliki

peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah organisasi bisnis dan praktek

manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa. Bagi etnis Tionghoa, perusahaan

bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi di mana cara-cara menjalankan

perusahaan tersebut amat dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusius. Nilai-nilai

Konfusius yang merupakan sistem etika dan filosofi telah berkembang menjadi

bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa. Pada hakekatnya,

ajaran Konfusius merupakan sebuah sistem yang mengajarkan tentang moral,

sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang menitikberatkan pada

kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu. Konfusianisme

berkaitan dengan moral dan aturan yang mencakup bagaimana seharusnya seorang

individu berinteraksi terhadap Tuhan dan sesamanya, baik dalam lingkungan kecil

yakni tingkat keluarga, berinteraksi pada masyarakat  (pada tatanan organisasi),

dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan) bahkan interaksi

Page 17: budaya bisnis tionghoa

dalam kerjasama internasional ( dalam hubungan dengan antar Negara ).

Kalau melihat beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan

pada berbagai kota besar di tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada

umumnya di sepanjang jalan raya dipenuhi dengan pertokoan, perkantoran,

restoran, dan sebagaian besar dimiliki atau setidaknya dikuasai oleh masayarakat

Tionghoa (WNI atau WNA). Hal ini merurut Wastu Ptagantha Chong dapat

dikatakan salah satu indikator bahwa dewasa ini mereka telah berhasil dalam

menjalankan bisnis.

Khususnya  di Indonesia, Confucius atau Konfusius terkenal dengan istilah

Khonghucu (Khong Fu Ze), ada sebagian orang yang menyebut Konfusianisme

adalah penerus Ji Kau (agama kaum lemah lembut) yakni Agama Khonghucu

sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu sendiri.  Menurut

Dr.Lasiyo  Khonghucu mengarah pada dua istilah Ju Chiao yang mengarah pada

keagamaan sedangkan yang satunya lagi disebut Ju Chia (tanpa “o”) mengarah

pada suatu aliran filsafat. Baik Filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu

yang disebut dengan Confucius .  Beliau (Confucius) adalah tokoh yang

menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum

kelahirannya. Dari Raja Fuxi sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu,

sedangkan Konfusius sudah sekitar 2.500 tahun yang lalu. Sejarah yang panjang

itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau (Confucius) begitu melekat pada orang

orang Tionghoa sepanjang sejarah yang ada. Ajaran Konfusius juga meringkas

dari beberapa tokoh terdahulu hampir 2.500 tahun sebelum Konfusius sehingga 

berjalan serta berkembang hingga kini hampir juga 5.000 tahun.  Konfusius

Page 18: budaya bisnis tionghoa

adalah penegak dan pelengkap sekaligus menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika

moral dan agama yang begitu kental melekat pada etnis Tionghoa yang masih

menjalankan dan menerapkan ajarannya. 

Etika Confucius adalah nilai nilai, aturan, moral  yang bersumber pada

ajaran Confucius sendiri yang mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan

seseorang atau kempok masyarakat khususnya masyarakat Tionghoa.  Umumnya

Etika  Confucius diajarkan secara lisan secara  turun temurun dari orang tuanya

dan ini berjalan berabad abad tahun lamanya sehingga terbentuk masyarakat

Confucius tradisional. Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya

menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana agama yang benar. Namun ada

kalanya Etika Confucius didapat dari kitab  kitab Confucius yang dibawa oleh

para pendatang  (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan

mengembangkan di Indonesia . Kitab kitab tersebut digunakan sebagai sumber

ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam berperitingkahlaku dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Etos Confucius atau Etik Confucius (Confucian Ethick) menurut Lin Yu

Tang (1936) dalam bukunya “My Country and My People“  mengatakan bahwa

“Upaya manusia untuk memperoleh Kebajikan di dalam (Inner Sageliness) dan

berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya bahwa nilai - nilai

Confucius dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral kebajikan

sedangkan keluar merupakan wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari - hari.

Etika Confucius mengandung nilai nilai seperti toleransi pada sesama

manusia baik antar kawan, atasan bawahan, antar sesama saudara dan lain lain;

Page 19: budaya bisnis tionghoa

berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua ; kesetiaan serta dapat

dipercaya kepada Negara bangsa, hormat kepada yang berusia lanjut dan guru dan

kasih sayang kepada anak dan saudara lebih muda.

Pada principnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan

diri (self cultivation) serta nilai nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga,

masyarakat dan negara bahkan dunia.              

2.1.1.3. Penelitian Historis Keberadaan Budaya Keagamaan Khonghucu Di Indonesia (Buanajaya B.S., Laporan Penelitian Setingkat Tesis Untuk Mencapai gelar Xuandaoshi XDS 宣道士 , Matakin Dewan Rohaniawan Agama Khonghucu Indonesia 印尼孔教总会宣道员 , 2009)

Berbagai komunitas agama besar dunia nyaris semuanya ada di Indonesia,

Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu dan lain lain. Juga keturunan

India, Arabia, Tionghoa dan Eropa secara genetik maupun sosio kultural ikut pula

memperkaya bangsa ini. Karakter bangsa Indonesia yang multikultural ini

menurut pemahaman Buanajaya, mencerminkan kehendak Tuhan Seru Sekalian

Alam; sehingga negara kebangsaan ini diharap akan menjadi suatu wahana

pemersatu, sekaligus wadah asimilasi dan akulturasi berbagai entitas budaya umat

manusia di muka bumi ini. Indonesia memang nyata merupakan sebuah negeri

dari suatu bangsa yang utuh, berdaulat dan unik; yang merupakan hasil peleburan

berbagai golongan etnis, komunitas agama dan kepercayaan lokal serta akar

bangsa.

Di balik semua kelebihan yang mewariskan manfaat besar bagi anak cucu

bangsa Indonesia di masa depan, keaneka-ragaman yang dimiliki nusa dan bangsa

Page 20: budaya bisnis tionghoa

Indonesia itu mewariskan pula suatu tantangan besar. Secara internal bangsa

Indonesia punya laju pertumbuhan penduduk dan ragam golongan, yang

menyimpan potensi perebutan kepentingan. Disamping itu kesuburan dan

kekayaan hayati yang tersimpan di bumi dan lautan kita menggelitik rasa iri hati

orang luar untuk merebutnya, seperti pernah terjadi berabad lalu dilakukan oleh

VOC dan kompeni Belanda dari Eropa. Tantangan besar itu memerlukan sebuah

solusi yang bijak agar supaya negara kebangsaan ini benar benar mampu menjaga

kekayaan dan kedaulatannya. Dengan begitu, sejarah masa lalu itu perlu dicermati

sebagai bahan kajian bagi tiap warga bangsa, untuk membangun tatanan

kehidupan yang adil dan makmur, aman tenteram kerta raharja secara nyata dan

bukan sekedar ide.

Budaya religius Khonghucu memasuki masa penuh tantangan saat

dijatuhkannya pemerintahan Presiden Ir. Soekarno serta digantikan pejabat

presiden Jenderal Soeharto. Jenderal Soeharto, pada akhir 1967 selaku Pejabat

Presiden mengeluarkan Instruksi no.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan

dan Adat Istiadat Cina; menegaskan:

‘Tanpamengurangi jaminan keleluasaan memeluk Agama dan menunaikan

ibadahnya, tata cara ibadat Cina yang mempunyai aspek affinitas culturil yang

berpusat pada negeri leluhur nya, pelaksanaannya harus dilaksanakan secara

intern dalam hubungan keluarga dan perorangan.’ Juga sebuah instruksi

Mendagri, mewakili cukup banyak produk peraturan yang memarginalkan hak

beragama waktu itu.

Page 21: budaya bisnis tionghoa

Dengan adanya Inpres.No.14/Tahun 1967 tersebut di atas kemudian

seperti yang sudah diduga bersama diikuti dengan keluarnya produk peraturan

yang mendiskriminasi hak hak sipil masyarakat Indonesia dari etnik Tionghoa dan

beragama Khonghucu. Secara sistematis dan masif dilakukan oleh para menteri

dan pejabat terkait serta penguasa setempat oleh para pelaku dan penerus

kekuasaan pusat di setiap provinsi, kota dan kabupa ten melancarkan praktik

diskriminasi tersebut di atas.

Secara konstitusional hal ini bertentangan dengan Undang Undang Dasar

1945, dan sekaligus melanggar Hak Azasi Manusia. Tantangan terhadap hak

warga bangsa di bidang sosial budaya ini diikuti oleh berbagai peraturan yang

mendiskriminasi kehidupanbudaya keagamaan yang dipeluk bangsa Indonesia

keturunan Tionghoa sehingga berdampak termarginalnya budaya religius

Khonghucu bagi masyarakat Indonesia Tionghoa selama 32 tahun lebih.

Termasuk terpasungnya hak hak sipil masyarakat Indonesia Tionghoa di berbagai

bidang kehidupan budaya keagamaannya; antara lain dianulirnya pencatatan

perkawinan secara agama Khonghucu di kantor Catatan Sipil, dihentikan

pendidikan agama bagi siswa/mahasiswa beragama Khonghucu, secara sistematis

ditiadakannya kolom agama Khonghucu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan

Kartu Keluarga (KK). Hal ini adalah penggiringan paksa oleh pemerintah dan

pemerintah daerah (sampai Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT) terhadap warga

negara Indonesia pemeluk agama Khonghucu. Mereka secara tidak langsung

tetapi sengaja diarahkan untuk berpindah (konversi) ke agama lain yang bukan

diimaninya.

Page 22: budaya bisnis tionghoa

Era pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid semua instruksi ‘orde

baru’ yang bersifat diskriminatif sejak 1967 di atas itu dicabut, yaitu melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6/Th.2000 Tentang Pencabutan

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat

Istiadat Cina. Mendagri th.2000 juga mencabut instruksi Mendagri th.1967. Salah

sebuah budaya religius yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat

Indonesia Tionghoa ialah perayaan Tahun Baru Imlek. Sebagaimana Tahun Baru

Hijriyah, Tahun Baru Saka Hindu, maupun Tahun Baru Masehi semua itu berakar

pada budaya keagamaan.

Tujuan utama penelitian ini ialah, membuktikan adanya transformasi nilai

budaya religius Ru (Khonghucu) membentuk nilai kecintaan dan keterikatan

rohani dengan bang samaupun bumi pertiwi Indonesia, yang wajib dijaga dengan

penuh tanggung-jawab sepanjang hayat dikandung badan. Hal ini menjadi roh

keterikatan kepada tanah-air, dijiwai oleh suatu sistem kepercayaan, kearifan

budaya yang hidup dalam tubuh anak bangsa, sebagai warisan mulia dan luhur

nenekmoyang. Utamanya yang masih eksis dalam budaya Betawi dan budaya

masyarakat daerah pesisir kepulauan Nusantara lainnya.

Munculnya agama tak terlepas dari kehendak Khalik Maha Pencipta,

Tuhan YangMaha Esa. Wahyu Tuhan (Tian Xi 天 锡 ) yang telah menjadi

firmanNya dalam Watak Sejati (Xing 性) manusia bahkan segenap wujud. Dengan

Jalan Suci Nya (Dao 道 ) menjadikan segenap manusia beroleh Iman (Cheng 诚);

agar mampu menempuh Jalan SuciNya manusia dalam kehidupannya memperoleh

Page 23: budaya bisnis tionghoa

bimbingan agama (Jiao 教).

Oleh karenanya tiap tiap agama besar di dunia ini membawakan jalan suci

berupa bimbingan spiritual bagi manusia, memiliki ciri khas masing masing

dalam menyebut Tuhan Yang Maha Esa, melalui para orang suci dan nabi nabi

penerima wahyuNya dalam sejarah dan membawakan wahyuNya itu dalam kitab-

kitab suci serta sistem ibadah, altar dan tempat suci yang disakralkan. Begitu pula

pada latar belakang Rujiao ( 儒 教 ) sebagai sebu ah agama yang eksis

berdampingan dan saling mempengaruhi dengan pertumbuhan per adaban serta

kebudayaan masyarakat sekitarnya. Rujiao sebagai budaya religius yang ke

mudian di tanah air Indonesia lebih dikenal sebagai : agama Khonghucu.

Akulturasi antara budaya Dongson dan sosio kultural Ru (Khonghucu)

ikut terbawa oleh nenek moyang bangsa Indonesia memang nyata terlihat dari

keseharian cara hi dup masyarakat Tionghoa, yang secara sosio kultural menerima

pengaruh ciri ciri budaya bahasa, bahkan kesenian dan selera makanan masyarakat

luas di sekitar mereka tinggal.

Begitu pula di Ibukota Jakarta, masyarakat Tionghoa ‘peranakan’ sudah

lama berintegrasi bahkan berasimilasi dengan seni-budaya, makanan,bahasa

Betawi. Terlihat pula antara kearifan budaya Khonghucu di kalangan Tionghoa itu

saling bertukar sosial budaya Betawi dan pesisir kepulauan Nusantara selama

berabad-abad. Di Jakarta keramaian merayakan hari hari besar keagamaan di

Kelenteng, begitupula dalam pesta perkawinan keluarga Tionghoa Betawi jaman

dahulu, sudah merupakan bagian dari budaya masyarakat; maka sering juga

Page 24: budaya bisnis tionghoa

dipertunjukkan kesenian Betawi, gambang kromong, lenong, kroncong dan lain

lain.

Dari dasar sejarahnya, agama agama yang jelas keberadaannya di

Indonesia berturut turut ialah: budaya keagamaan Hindu Buddha Khonghucu

sejak awal pencatatan sejarah Indonesia (5abad SM-5abad M), budaya keagamaan

Islam semenjak pencatatan intensif kunjungan musafir muslim Tionghoa,

Chenghe dari Ming, Tiongkok (14abad M), kemudian budaya religi Kristen dan

Katolik bersamaan dengan masuknya koloni koloni Eropa (16abad M). Pada

umumnya semua budaya keagamaan tersebut melalui pintu sosio kultural,

beradaptasi dengan nilai kearifan lokal Nusantara ketika itu.

Setiap agama membawa serta nilai sosial budaya yang bersifat universal

dalam kehidupan pemeluk dan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Beberapa

di antaranya mengalami akulturasi dalam tataran sosio kultural dengan adat

kebiasaan, tatacara kehidupan dalam berbagai aspeknya. Perkawinan budaya

antara sosio kultural pemeluk agama Ru (Khonghucu) yang memiliki warna Sino

Melayu (peranakan Tionghoa) mampu mencerap warna sosio kultural Nusantara.

Dalam hal ini terutama dengan budaya pesisir Jakarta Tangerang dan sekitarnya.

Cara berpakaian, bahasa pergaulan, ragam kuliner (menu makan/minum)

pemeluk Khonghucu di pesisir Ibukota dan sekitarnya melahirnya gaya hidup

kaum peranakan yang lintas budaya. Keberadaan Sino Betawi, Sino Jawa Banten

dengan sebutan di kalangan mereka sendiri sebagai Cina Beteng dan bahasa

Melayu Tionghoa. Ini terbukti dari jejak jejak budaya keseharian masyarakat

Page 25: budaya bisnis tionghoa

Ibukota, juga dalam satuan pendidikan (sekolah) yang didirikan masyarakat

Indonesia Tionghoa pada 1901, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta.

Sekolah THHK ini menggunakan bahasa Melayu, Tionghoa, Inggris, dan menolak

berbahasa Belanda. Pakaian seragam sekolah mau pun pakaian keseharian anak,

remaja, pria dan wanita Indonesia Tionghoa di Jakarta awal abad ke-20 itu

memiliki ciri pembauran khas Sino Betawi dan Sino Melayu: baju koko dan

celana komprang (remaja, lelaki dewasa), kain kebaya renda dan kebaya encing/

encim (remaja, perempuan dewasa) dan lain lain.

Lebih spesifik lagi ragam pembauran di ibukota Jakarta dan Tangerang

sekitar nya waktu itu berupa: sajian/kurban sembahyang maupun sosio kultural

perayaan hari hari besar keagamaan Khonghucu di kalangan masyarakat Tionghoa

Betawi/Tionghoa Tangerang. Di kalangan mereka ini tercipta ragam sajian/

kurban sembahyang Imlek, Cengbeng, Pehcun, Tangce (pindang bandeng,

kuecang, kue Onde), juga untuk ritual doa arwah nenek moyang di makam leluhur

mereka itu. Disamping itu eksis pula seni pembauran berupa aneka seni musik

kroncong, gambang kromong, tarian Ibing menyertai perayaan tahun baru Imlek,

begitupula dalam upacara pernikahan kaum peranakan Tionghoa Betawi &

Tionghoa Melayu Cina Beteng.

2.1.2. Budaya dan Kebudayaan

Geert Hofstede (dalam Budyatna, 2012:34) medefinisikan budaya secara

luas bahwa budaya itu terdiri dari program mental bersama yang menentukan

respons-respons individu terhadap lingkungannya. Dari definisi yang Hofstede

Page 26: budaya bisnis tionghoa

utarakan menunjukan bahwa selain bentuk dan prilaku yang sifatnya fisik dan

konkrit, di dalamnya terdapat pola-pola dan pertimbangan berfikir, perasaan, serta

pengetahuan. Hal yang bersifat abstrak itu kemudian diapresiasikan melalui

tindakan-tindakan indvidu dalam berhubungan. Hubungan-hubungan tersebut

menciptakan sebuah pola, pengulangan, kebiasaan hingga melekat dan kemudian

munculah sebuah budaya tertentu.

Lebih lanjut, Hofstede menjelaskan bahwa Budaya merupakan fenomena

kolektif dan terdiri dari aturan-aturan yang tidak tertulis (dalam Budyatna,

2012:36). Disebutkan bahwa budaya adalah fenomena kolektif adalah karena

budaya tercipta jika di dalamnya ada hubungan-hubungan antar individu dalam

lingkungan sosial yang sama. Perilaku-perilaku dan respon-respon antar individu

dalam lingkungan bersamaan ini nantinya akan menciptakan apa yang dinamakan

kebudayaan. Kebudayaan inilah yang nantinya akan menjadi ciri khas dan

pembeda suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Kebudayaan mencakup semua hal yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Suatu kebudayaan mengandung semua pola kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, religi, hukum, kesenian, dan lain sebagainya. Kebudayaan sangat berarti banyak bagi masyarakat dan individu-individu di dalamnya, karena kebudayaan mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam sekaligus memberikan tuntunan untuk berinteraksi dengan semestanya. Kebudayaan dan religi juga merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja, terkadang budaya merefleksikan tata cara beribadah dalam kepercayaan yang dianut oleh manusia (Kuswarno, 2011:8)

Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) menjelaskan bahwa konsep

kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan

kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat.

Page 27: budaya bisnis tionghoa

Kresnowati dan Anugrah, dalam bukunya berjudul Komunikasi Antar

Budaya: Konsep dan Aplikasinya, menerangkan bahwa budaya adalah segala

sesuatu yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia yang memiliki nilai guna

bagi dirinya dan golongannya. Tubbs (dalam Krenowati & Anugrah, 2008:32)

secara panjang lebar mengartikan budaya sebagai:

Suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok atau orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Cara anda berpakaian, hubungan anda dengan orang orangtua dan teman-temaan anda, apa yang anda harapkan dari perkaeinan dan pekerjaan, makanan yang anda makan, bahasa yang digunakan, semuanya itu dipengaruhi oleh budaya anda. Ini tidak berarti bahwa anda berfikir, percaya, dan bertindak sama persis seperti setiap orang lainnya dalam budaya anda. Tidak semua anggota budaya memiliki sumua unsur budaya secara bersama. Selain itu, sebuah budaya dapat berubah dan berevolusi. Namun, seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan dan dapat dilacak, meskipun telah berubah banyak, dari generasi ke generasi.

Melalui uraian Tubbs di atas terdapat tiga kata kunci dalam kebudayaan:

pewarisan; perubahan; karakteristik. Pewarisan memungkinan dilakukan melalui

pembelajaran, melalui lembaga-lembaga pendidikan, kisah-kisah, dongeng, dan

praktik hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam suatu budaya akan terjaga

melalui pembelajaran-pembelajaran tersebut, serta memungkinkan untuk

diadakannya penelusuran kebudayaan.

Budaya dimiliki oleh segolongan masyarakat tertentu, artinya ada

golongan masyarakat lain yang mempunyai budayanya sendiri. Di dalam

segolongan masyarakat tersebut terdapat individu-individu yang bertindak sebagai

Page 28: budaya bisnis tionghoa

anggota dari masyarakat tersebut. Baik golongan masyarakat maupun anggota

golongan masyarakat didalamnya masing-masing mempunyai perilaku, termasuk

pergerakannya sendiri. Manusia sebagai pribadi maupun makhluk sosial akan

saling berkomunikasi dan mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang

beraneka ragam, dengan cara dan gaya yang berbeda pula (Widjaja, 2000:43).

Pergerakan itulah yang memungkinkan terjadinya hubungan-hubungan antara

budaya yang satu dengan budaya lain dari golongan masyarakat yang lain, baik

individunya, maupun golongan masyarakat secara keseluruhan. Selain tindakan

belajar lingkungan dari anggota masyarakat, hubungan-hubungan inilah yang

menyebabkan kenapa budaya itu bergerak dan mengalami perubahan (berevolusi).

Namun perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu budaya masih dapat

dilacak dan dicari faktor-faktor pembedanya dari budaya lain. Ini disebabkan

karena tiap-tiap budaya itu mempunyai karakteristik tersendiri. Sifat budaya yang

unik menjadikannya tetap mempunyai kekhasan tersendiri yang walaupun telah

melalui akulturasi dan asimilasi kekhasan itu tidak pernah hilang.

Trenholm dan Jansen (dalam Anugrah & Kresnowati, 2008:33)

mendefinisikan budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma dan adat

istiadat, aturan dank ode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok

orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama.

Lewis (dalam Anugrah & Kresnowati, 2008:33) mendefinisikan budaya

sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota

suatu kategori orang dari kataegori lainnya. Suatu kebudayaan mengandung

semua pola kebiasaan suatu masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, religi,

Page 29: budaya bisnis tionghoa

hukum, kesenian, dan lain sebagainya (Kuswarno, 2011:8). Dari sudut manapun

budaya dilihat dan didefinisikan, menurut Samover (dalam Anugrah &

Kresnowati, 2008:33), budaya memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:

1. Budaya bukan bawaan, tapi dipelajari2. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang lain, dari kelompok ke

kelompok lain, dan dari generasi ke generasi lain3. Budaya berdasarkan simbol4. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terus berubah sepanjang waktu5. Budaya bersifat selektif, merepresentasikan pola-pola perilaku pengalaman

manusia yang jumlahnya terbatas6. Berbagai unsur budaya saling berkaitan7. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik atau standar

untuk menilai budaya lain.

Kebudayaan memiliki dimensi yang sangat luas, bahkan dapat dikatakan seluas dan sekompleks kehidupan manusia itu sendiri. Tetapi untuk kepentingan ilmiah, kebudayaan dikelompokkan ke dalam tujuh unsur penting, yaitu:

1. Sistem religi (agama) dan upacara keagamaan2. Sistem dan oraganisasi kebudayaan3. Sistem pengetahuan4. Bahasa5. Kesenian6. Sistem mata pencaharian hidup7. Sistem teknologi dan peralatan (Anugrah & Kresnowati, 2008:34)

Baik secara langsung maupun tidak langsung, budaya memberikan

tuntunan untuk berinteraksi.

2.1.3. Komunikasi

Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar

maupun salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari

kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan

Page 30: budaya bisnis tionghoa

mengevaluasinya (Mulyana, 2011:46). Kebanyakan definisi komunikasi bersifat

khas, mencerminkan paradigma atau perspektif yang digunakan ahli-ahli

komunikasi tersebut dalam mendekati fenomena komunikasi (Mulyana, 2011:64).

Banyak sekali pemahaman mengenai komunikasi. Paul Watzlawick

memberikan pernyataan yang sangat radikal, yaitu “one can not not

communicate”5. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa setiap perilaku

manusia adalah suatu bentuk komunikasi, apapun yang dilakukan manusia adalah

bentuk komunikasinya. Weaver (dalam Ardianto dan Q-Aness, 2011:17)

memberikan pengertian komunikasi yang terlalu lulas, yaitu sebagai semua

prosedur dimana pikiran seseorang dapat memengaruhi orang lain. Raymon S

Ross (dalam Rakhmat, 2008:3) mendefinisikan komunikasi sebagai proses

transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilihan bersama lambang secara

kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari

pengalamannya sendiri atau respon yang dimaksud oleh sumber. Miller (dalam

Ardianto dan Q-Aness, 2011:19) menjelaskan bahwa komunikasi mempunyai

pusat perhatian dalam situasi perilaku dimana sumber menyampaikan pesan

kepada penerima secara sadar untuk memengaruhi perilaku. Hovland, Janis, dan

Kelley (dalam dalam Ardianto dan Q-Aness, 2011:18) mendefinisikan

komunikasi sebagai suatu proses dimana individu menyampaikan pesan (biasanya

verbal) untuk mengubah perilaku individu lain.

Dance (dalam Mulyana, 2011:60)

2.1.4. Etika, Bisnis, serta Etika Bisnis

5 http://en.wikipedia.org/wiki/Paul_Watzlawick – diakses pada 16 Juli 2013, pukul 11:41

Page 31: budaya bisnis tionghoa

Bertens (2011) mengemukakan bahwa etika adalah sebuah keilmuan

tersendiri. Etika membahas tentang moralitas atau tentang manusia dan hubungan-

hungannya dengan selain dirinya yang berkaitan dengan moralitas. Bertens

kemudian membagi sekalilgus memaparkan tiga pendekatan dalam mepelajari

etika, antara lain:

1. Etika Deskriptif. Menggambarkan tingkah laku moral dalam arti luas,

misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggpan tentang baik dan buruk,

tindakan-tindakan yang dibolehkan dan tidak. (Bertens, 2011:17). Melalui

pendekatan ini, hasil akhir dan praktik pembelajaran mengenai etika hanya

dalam lingkup sebuah penjelasan atau penggambaran. Dengan kata lain,

etika deskriptif tidak memberikan penilaian terhadap moralitas yang

menempel pada individu-individu tertentu dalam lingkaran tertentu pada

masyarakat.

2. Etika Normatif. Lebih lanjut Bertens (2011:20) menjelaskan bahwa etika

normatif itu tidak deskriptif melainkan prespektif (memerintahkan), tidak

melukiskan melainkan menentukan benar atau tidaknya tingkah laku dan

anggapan moral. Peneliti atau pembelajaran etika normatif akan bermain

dengan argumentasi-argumentasi dan melibatkan pertimbangan peribadi

untuk akhirnya memberikan penilaian kepada budaya yang diamati. Dapat

dikatakan bahwa etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis

yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat praktikkan

(Bertans, 2011:20). Etika normatif lebih lanjut dapat dibagi menjadi etika

umum dan etika khusus.

Page 32: budaya bisnis tionghoa

a. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: Apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis bagaimana hubungannya satu sama lain? Bagaimana norma mengikat kita? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab manusia dan kebebasannya? Apa yang dimaksud “hak” dan “kewajiban” dan bagaimana kaitannya satu sama lain? Syarat apa saja yang harus dipenuhi agar manusia dapat dipandang baik dari segi moral?

b. Eika khusus berusah menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. (Bertens, 2011:21)

3. Metaetika. Jika diartikan secara harfiah metaetika berarti bahasan yang

melebihi etika itu sendiri. Yang dibahas bukanlah etika secara langsung,

melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas (Bertens, 2011:21).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-1, 1998) menjelaskan etika ke dalam tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tenang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Merujuk pada definisi etika yang telah dikemukakan di atas, etika

merpakan ciri khas manusia. Makhluk selain manusia tidak memiliki etika. Etika

memainkan peranan di kehidupan manusia dalam golongannya atau

masyarakatnya. Kalimat “golongannya” atau “masyaraktnya” dalam pernyataan

sebelum ini mempunya arti tertentu berkaitan dengan pengertian ketiga dari etika

di dalam KBBI. Arti yang dimaksud adalah bahwa tidak semua golongan

mempunyai pengertian yang sama tentang mana yang baik dan mana yang buruk.

Tidak semua masyarakat, terlebih yang mempunyai budaya yang berbeda,

mempunyai kesepakatan yang sama mengenai benar dan salah.

Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Ruslan, 2011:32), etika ialah illmu

yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan manusia, teristimewa yang

Page 33: budaya bisnis tionghoa

mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan

perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.

Bisnis terdiri atas seluruh aktivitas dan usaha untuk mencari keuntungan

dengan menyediaakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi sistem perekonomian

(Bone & Kurtz, 2008:5). Bisnis menurut Bertens (2000) terdapat tiga sudut

pandang antara lain: sudut pandang ekonomis; sudut pandang moral; dan sudut

pandang hukum.

Bisnis memberikan sarana yang mampu meningkatkan standar-standar hidup. Inti dari setiap usaha bisnis adalah adanya pertukaran antara pembeli dan penjual. Pembeli mengakui adanya kebutuhan barang atau jasa, dan menukarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut. Penjua ikut berpartisipasi di dalam proses dengan harapan mendapatkan kekuntungan-unsur penting dalam di dalam pencapaian sasaran yang dibutuhkan untuk memepertahankan peningkatan standar hidup secara konstan (Boone & Kurtz, 2007:6).

Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah

tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-memperkerjakan,

dan interaksi manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung (Bertens,

2000:17). Namun memperoleh untung disini bukanlah secara sepihak, dan

merugikan pihak lain. Tiap pihak yang berinteraksi haruslah mendapatkan

keuntungan. Karena itulah, di samping aspek ekonomi dari bisnis, ada aspek lain

dari bisnis, yaitu aspek moral.

Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak semuanya bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis: mencari keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan lagi bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan juga demi kepentingan bisnis itu sendiri (Bertens, 2000:20)

Page 34: budaya bisnis tionghoa

Tidak bisa diragukan, bisnis terkait juga dengan hukum. “hukum dagang”

atau “hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu modern. Hukum

berlaku umum. Dibandingkan dengan tindakan-tindakan moral, mana yang

bermoral mana yang tidak bermoral, alat ukur hukum lebih jelas dan bisa diukur.

Karena itulah aspek hukum tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari masalah

bisnis.

Suatu bisnis yang ingin terus berkembang dalam jangka panjang tidak

akan bisa terwujud tanpa adanya pertimbangan etika bisnis. Etika bisnis menurut

Boone dan Kurtz (2008:54) adalah standar-standar perilaku dan nilai-nilai moral

yang mengatur tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan dalam lingkungan

usaha. Kemudian Nickels, McHugh dan McHugh (2009:117) memberikan

gambaran tentang etika bisnis sebagai standar prilaku bisnis yang diterima oleh

masyarakat debagai benar versus salah. Eika bisnis memainkan peran yang

signifikan dalam bisnis.

2.1.5. Komunikasi Bisnis

2.1.6. Istilah “Cina” dan “Tionghoa”

Penggunaan istilah “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia mempunyai

sejarahnya sendiri. Kesejarahan sering dikatakan sebagai sesuatu yang khas

manusiawi sebab hanya manusia yang mampu menyadari sekaligus mewarnai

kesejarahannya, karena itu sejarah menjadi unsur hakiki manusia (Borgias,

2013:51). Begitupun dengan sejarah istilah “Cina” dan Tionghoa”, melalui

penjelasan istilah ini sekaligus menyinggung sejarah China di Indonesia.

Page 35: budaya bisnis tionghoa

Pemakaian istilah dan ungkapan untuk orang China pernah menjadi

polemik besar di Indonesia, melibatkan aspek politik dan budaya. Sampai akhir

abad ke-19, istilah buku yang digunakan dunia Melayu untuk merujuk kepada

Tiongkok dan orang Tionghoa di Malaya dan Hindia belanda adalah Cina. Sejak

orde baru berdiri, pemerintah Indonesia mulai menggunakan istilah Cina (sebelum

tahun1972, dieja sebagai Tjina) untuk menyebut orang Tionghoa (Chinese) dan

Tiongkok (China) (Suryadinata, 2002:100).

Penggunaan istilah untuk menggambarkan etnis ini disebutkan

sebelumnya telah menimbulkan polemik. Polemik ini disebabkan karena

anggapan etnis Tionghoa/China terhadap sebutan “Cina” yang digunakan untuk

merujuk pada etnisnya. “Cina” dianggap mengandung arti yang merendahkan, dan

dianggap oleh orang yang besangkutan sebagai sebutan yang bersifat menghina

dan meremehkan.

Penggunaan istilah “Tionghoa” untuk pertama kali di Indonesia ditemui

dalam nama perkumpulan yang didirikan pada tahun 1900, yaitu Tiong Hoa Hwee

Koan (THHK) (Suryadinata, 2002:102). THHK dibentuk oleh peranakan

Tionghoa karena merasa mereka mendapat kedudukan yang rendah dan

mengalami diskriminasi dari penguasa Belanda.

Para pemimpin peranakan bergerak serentak untuk mempertinggi kedudukan masyarakat Tionghoa dengan mendirikan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan sekolah-sekolah Tionghoa dengan pengantar bahasa Tionghoa. Di samping itu, sebagian peranakan Tionghoa juga terpengaruh oleh nasionalisme Tionghoa yang menjalar di Tiongkok. Mereka dibakar semangat nasionalisme dan berkiblat ke Tiongkok sekaligus bersikap anti-kolonial. Dapatlah dimengerti jikalau mereka juga menjadi kritis terhadap colonial Belanda. (Suryadinata, 1990:122)

Page 36: budaya bisnis tionghoa

Pada dekade ke-2 abad ke 20, nasionalisme Tionghoa di pulau jawa

semakin bangkit. Kepopuleran penggunaan istilah “Tionghoa”pun semakin

mencuat. Semangat ini didorong oleh rasa solidaritas etnis, di mana istilah

Zhonghua (Tionghoa) dipakai di daratan Tiongkok. Semangat nasionalisme

medorong etnis ini untuk memperjuangkan istilah Tionghoa dimanapun mereka

menetap. Mereka merasa dan terus mendorong istilah yang berbau Tionghoa agar

dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan dimasukan ke dalam tulisan-tulisan

mereka. Pada zaman kolonial Belanda, umumnya kependudukan dibagi atas tiga

bagian: orang Eropa, Freemde Oosterlingen (Orang Timur Asing) dan Inlanders

(pribumi) (Suryadinatam 2008:103).

Nasionalisme Tionghoa di Jawa bukan semata-mata ekspansi dari

nasionalisme di Tiongkok. Ini juga merupakan manifestasi peranakan Tionghoa

tentang ketidakpuasan terhadap kedudukan mereka sebagai penduduk kelas dua di

Hindia Belanda (Suryadinatam 2008:103). Orang Tionghoa pada waktu itu

statusnya disamakan dengan pribumi. Persamaan dengan pribumi ini juga

termasuk dalam hal hukum dan ekonomi. Malahan, orang-orang Tionghoa

diwajibkan tinggal di daerah tersendiri (wijkenstelsel).

Menyikapi diskriminasi tersebut, penggerak nasionalisme Tionghoa mulai

melakukan pergerakan untuk perolehan status persamaan terhadap orang Eropa.

Sebenarnya pemimpin nasionalis Tionghoa di Hindia Belanda tidak menghendaki

pembagian kategori sosial dihapuskan. Kategorisasi itu masih dianggap memiliki

potensi menguntungkan bagi etnis Tionghoa. Yang dijadikan tujuan utama

Page 37: budaya bisnis tionghoa

nasionalis Tionghoa adalah kesamaan status mereka dengan orang Eropa.

Sarana untuk mencapai hal ini melalui diperbanyaknya organisasi-organisasi Tionghoa, seperti THHK dan sekolah-sekolah Tionghoa. Melalui THHK dan sekolah-sekolahnya, serta penyebaran pemakaian istilah “Tionghoa” dalam pers peranakan, peranakan Tionghoa mulai biasa mendengar istilah baru tersebut. Istilah lama, Tjina (Cina) mulai dianggap sebagai istilah yang bersangkutan dengan status rendah dan menjadi target dari gerakan nasionalis Tionghoa (Suryadinata, 2008:104).

Pada tahun 1928, Anggaran Dasar THHK juga mengalami amandemen,

istilah Tjina secara resmi diganti dengan Tionghoa. Pada tahun yang sama,

Gubernur-Jenderal Belanda juga memakai istilah Tionghoa untuk hal-hal yang

resmi. Seiring adanya pengakuan dari Kolonial, orang Tionghoa mulai

mendapatkan kepercayaan diri dan eksistensinya. Kepercayaan diri ini menjadikan

sentimen orang Tionghoa terhadap sebutan “Cina” semakin tajam. Pengakuan

yang lebih ini menjadikan orang Tionghoa seperti diatas angin. Ketersinggungan

mereka terhadap istilah “Cina” menjadi semakin dalam. Perjuangan orang

Tinghoa memperjuangkan istilah “Tionghoa” mengalami kemajuan pesat

semenjak kependudukan Jepang hingga Indonesia merdeka.

Istilah “Tionghoa” menjadi sebutan baku, bukan saja di Jawa, tempat istilah itu berasal, tetapi juga di seluruh Indonesia. Ini bukan saja digunakan oleh kalangan resmi, tetapi juga oleh seluruh pers berbahasa Indonesia. Hingga publikasi Indonesia yang paling anti-Cina juga menyebut orang Tionghoa dengan sebutan “Cina Tionghoa” (Suryadinata, 2008:104).

Meskipun istilah “Tjina” dianggap mengandung penghinaan oleh orang Tionghoa di Indonesia, tetapi pandangan ini rupanya tidak dianggap demikian oleh para penyusun berbagai kamus Indonesia sebelum zaman Orde Baru. Mereka hanya mengatakan bahwa istilah “Tjina” adalah sinonim “Tionghoa” tanpa mengatakan bahwa istilah “Tjina” mengandung arti yang buruk. Pramoedya Ananta Toer, penulis buku yang membela orang Tionghoa di Indonesia (1960), juga tidak mengatakan bahwa “Tjina”

Page 38: budaya bisnis tionghoa

mengandung penghinaan. Ia hanya menulis bahwa istilah “Tionghoa” lebih modern dari “Tjina” (Suryadinata, 2008:105).

Semakin sering eksistensi orang Tionghoa di Indonesia, berikut makin

banyaknya pihak-pihak yang mengakui peningkatan atas peningkatan strata orang

Tionghoa di Indonesia, menyulut semangat orang Tionghoa lain, terutama di

Singapura untuk ikut bangkit. Solidaritas orang-orang Tionghoa Indonesia

terhadap saudaranya di Singapura membuat mereka ikut pergi ke Singapura.

Akhirnya, masih di sekitar tahun 60-an, istilah “Tionghoa” mendapatkan

sedikit kemenangan di Malaya dan Singapura, sementara di Indonesia, istilah ini

ngalami kemunduran, apalagi setelah peristiwa G-30-S (Suryadinata, 2008:106).

Pers Indonesia sendiri, meskipun mengutarakan sentimen anti-Tionghoa dalam

periode yang sama, umumnya masih menggunakan istilah “Tionghoa”, hanya dua

teribtan mingguan yang kecil yang menggunakan istilah “Tjina”. Sampai pada

bulan Agustus 1966, koran yang paling anti-Tionghoa (misalnya Harian Ampera

dan Harian Operasi) masih memakai istilah “Tionghoa”.

Akan tetapi pada awal September 1966, semua surat kabar dan majalah,

terkecuali Merdeka dan Indonesia Raya, menggunakan istilah “Tjina” sebagai

sebutan orang Tinghoa dan Tongkok (Suryadinata, 2008:107). Penggantian istilah

tersebut berhubungan erat dengan keputusan yang diambil dalam Seminar

Angkatan Darat pada tanggal 25 hingga 31 Agustus 1966 di Bandung. Berikut

kutipan keputusan seminar tersebut secara keseluruhan:

“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat dimana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang

Page 39: budaya bisnis tionghoa

bersangkutan, tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam Negara kita, maka patut pula kami laporkakn bahwa hasil seminar telah memutuskan untuk kembali memakan penjebutan bagi Republik Rakjat Tiongkok dan warna-negaranja, dirobah mendjadi REPUBLIK RAKYAT TJINA dan warga Negara TJINA. Hal ini dapat dipertanggung-djawabkan dilihat dari segi histories dan sosiologis.”6

Meskipun keputusan seminar tersebut mendapat sambutan baik dari

banyak pribumi, namun diambilnya keputusan tersebut bukan didasari permintaan

umum dari masyarakat Indonesia.

Orang awam dan militer memandang keputusan Seminar Angkatan Darat ini sebagai keputusan resmi dan menjunjung tinggi keputusan ini. Pers pribumi dan instansi pemerintah semua taat pada keputusan itu. Pemerintah Indonesia dan radio Indonesia dengan konsisten memakai istilah “Tjina”, kecuali Suluh Marhaen (milik PNI) dan El-Bahar (koran yang diterbitkan oleh Angkatan Laut) yang baru terbit pada September 1966. Untuk menghindari pemakaian istilah “Tjina” dan “Tionghoa”, kedua koran ini menggunakan istilah “Hoakiauw” (Suryadinata, 2008:108).

Pada 30 April 1967, terjadi sebuah demostrasi di Jakarta, di mana sekitar

30.000 orang Tionghoa ikut mengantar pemakaman jenazah Ling Siang Yu,

karena telah disangka melakukan spionase yang kemudia meniggal di tahanan

(Suryadinata, 2008:109). Kejadian ini adalah puncak krisis antara RI dan RRT.

Dua hari setelah itu pemuda Indonesia melakukan demonstrasi balasan.

Demonstrasi tersebut dilatarbelakangi oleh tuduhan kedutaan RRT di Jakarta yang

menuduh Ling Siang Yu disiksa dalam tahanan sampai mati, akan tetapi

pemerintah Indonesia mengatakan bahwa Ling bunuh diri. Demosntrasi ini pecah

menjadi bentrokan antara pemuda Indonesia dan orang Tionghoa. Bnetrokan ini

6 Laporan Penutupan Seminar AD Ke-II/1966 Kepada MEN/PAngAD, oleh Letdjen M Panggabean, dalam Amanat/Pidato Pra-saran dalam Seminar AD ke-II/1966.

Page 40: budaya bisnis tionghoa

memakan korban jiwa yang kebanyakan orang Tionghoa.

Menanggapi kejadian ini Mochtar Lubis, seorang penulis Indonesia,

merasa simpati kepada orang Tionghoa. Lubis juga khawatir bentrokan tersebut

akan mengganggu kesetiaan orang Tionghoa tertentu terhadap Indonesia. Rasa

simpatinya kemudia dituangkan dalam surat kabar Kompas, yang isinya sebagai

berikut:

“Pemakaian istilah ‘Tjina’ mungkin sesuai untuk menunjukan kemarahan kita terhadap Peking, tetapi istilah itu digunakan karena itu dirasakan mengandung penghinaan terhadap golongan Tionghoa. Dan pemakaian istilah ‘Tionghoa’ tidak bisa dibatasi padawarga Negara RRT, tetapi paling sedikit ini akan melukai warga Negara Indonesia keturuna Tionghoa”7. Lubis berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bangsa yang teralu besar untuk mengambil sikap kekanak-kanakan, yaitu menghina karena merasa terhina (Suryadinata, 2008:109).

Tidak sedikit kalangan, setelah tulisan Lubis di Kompas, membahas

penggunaan istilah “Tjina” tersebut. Termasuk kalangan militer yang menganggap

penggunaan istilah tersebut sebagai bentuk pengucilan etnis dan dapat

mengganggu stabilitas ekonomi. Ada juga anggapan yang menyebutkan bahwa

penggunaan ini tidak tepat sasaran. Maksudnya, jika penggunaan istilah ini

dimaksudkan untuk “menyakiti” orang-orang di daratan Tiongkok pesan itu tidak

sampai, malahan akan menyakiti orang Tionghoa yang sudah setia dan loyal

terhadap Indonesia.

Menanggapi banyaknya pembahasan-pembasan mengenai istilah ini yang

berlalur-larut, serta dikhawatirkan akan berdampak pada perpecahan yang lebih

besar, presidium kabinet, pada 25 Juni 1967, mengambil keputusan memakai

7 Mochtar Lubis, “Surat dari Bangkok”, Kompas, 29 April 1967.

Page 41: budaya bisnis tionghoa

istilah “Tjina” dan menghilangkan sama sekali istilah “Tionghoa”. Keputusan ini

telah menyelesaikan perkara pemakaian istilah secara resmi.

Namun, di kalangan Tionghoa sendiri, di antara teman akrab orang-orang yang mereka kenal, kebanyak tetap menggunakan istilah “Tionghoa” untuk menyebut kelompok mereka. Tetapi jika mereka berbicara dengan orang yang tidak dikenal meraka akan memakai istilah “Tionghoa”. Akan tetap ada juga orang Tionghoa yang akhirnya mau menerima istilah “Tjina” karena, bagi mereka, jalan yang paling efektif untuk membasmi diskriminasi dan penghinaan adalah menerima istilah itu sendiri dan menjadikannya istilah biasa (Suryadinata, 2008:113).

Lama-kelamaan istilah “Tionghoa” yang sebenarnya masih hidup di

kalangannya sendiri mulai dilupakan orang-orang di luar golongannya. Orang

Indonesia mulai melupakan istilah tersebut dan istilah “Tionghoa” mulai populer

kembali pada abad ke-20 setelah lahirnya pergerakan nasionalisme Tionghoa dan

Indonesia.

Yang perlu dicatat di sini ialah istilah “Cina” untuk menyebut Republik Rakyat Tiongkok. Selama hubungan diplomatic antara RI dan RRT putus, RI secara sepihak menggunakan istilah itu untuk menyebut negeri komunis tersebut. Namun pada tahun 1989 hubungan kedua negara ini pulih, dan RRT karena ingin sekali memulihkan hubungan dengan rezim Soeharto tidak memperjuangkan istilah “RRT”. Namun mereka juga tidak menerima istilah “Cina” sebagai sebutan negaranya. Akhirnya diambil jalan kompromi, yaitu “China” (dalam bahasa Inggris) sebagai sebutan negeri tersebut, jadi sebutan resmi dari RRT kini adalah Republik Rakyat CHINA. Kombinasi ini sungguh menarik karena nama tersebut mengandung dua jenis bahasa: Indonesia dan Inggris (Suryadinata, 2008:114).

2.1.7. Tionghoa di Indonesia

Istilah pribumi dan non pribumi sudah semakin jarang didengar. Sejak

reformasi, warga China tampaknya semakin terintegrasi dengan orang-orang

Page 42: budaya bisnis tionghoa

Indonesia lainnya (Mulayana, 2011:72). Melaui sub-bab mengenai istilah “Cina”

dan “Tionghoa” penulis telah menyinggung bagaimana keberadaan Tionghoa di

Indonesia. Etnis Tionghoa melebur di berbagai wilayah Indonesia. Jakarta,

Medan, Pontianak, Palembang, Lampung, Surabaya dan Bali merupakan wilayah

provinsi di Indonesia yang jumlah etnis Tionghoanya terbilang banyak.

Orang Cina pertama yang datang ke Indonesia adalah seorang pendeta agama Budha bernama Fa Hien. Ia singgah di pulau Jawa pada tahun 413. Dalam sejarah Cina lama bahwa pengetahuan orang Cina merantau ke Indonesia terjadi pada masa akhir pemerintahan dinasti Tang. Daerah yang pertama kali didatangi adalah Palembang yang pada masa itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian para perantau ini pergi ke pulalu Jawa untuk mencari rempah-rempah, kemudian banyak yang menetap di daerah pelabuhan pantai utara pulau Jawa (Hidajat, 1993:66)

Berdasarkan angka pada bulan Nopember 1920, jumlah orang Cina di

Indonesia seluruhnya ada 809.647 orang, yang terdiri dari 518.355 laki-laki dan

291.292 wanitanya. Pada tabel 1 terdapat jumlah etnis Tionghoa di Asia

Tenggara. Kemudian pada tabel 2 terdapat data mengenai persentase etnis di

Indonesia di mana etnis Tionghoa-Indonesia berada pada urutan ke-3.

Negara Jumlah SeluruhPenduduk

Jumlah PendudukTionghoa

Presentase PendudukTionghoa

Brunei 321.000 51.000 16,0Kambodia 10.846.000 109.000 1,0Indonesia 209.255.000 6.278.000 3,0

Page 43: budaya bisnis tionghoa

Laos 5.297.000 212.000 0,4Malaysia 22.180.000 5.515.000 28,4Myanmar 45.095.000 631.000 1,4Filipina 74.454.000 968.000 1,3Singapura 3.522.000 2.719.000 77,2Thailand 60.856.000 5.234.000 8,6Vietnam 78.705.000 1.181.000 1,5Total 510.595.000 22.898.000 4,5

Tabel 1Jumlah Etnis Tionghoa di Asia Tenggara, 1999

Sumber: Statistik PBB untuk jumlah penduduk, persentase etnis Tionghoa, kecuali untuk Malaysia, diambil dari buku Leo Suryadinata, Ethnic Chinese as Southeast Asians (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1997) hal. 21.

Tabel 2Proporsi populasi jumlah suku bangsa di Indonesia menurut sensus

penduduk tahun 20008

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia

Page 44: budaya bisnis tionghoa

maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.9

Keberadaan China pada masa kolonial Belanda sebenarnya sudah menjadi

sentimen tersendiri. Makin banyaknya China di Batavia menimbulkan

kekhawatiran dari pihak Belanda. Kekhawatiran inilah yang menyulut konflik

keberadaan China di Indonesia, mulai dari pemakaian istilah “Cina” sampai

tragedy Mei 1998.

Tajamnya usaha Belanda (sebelum kemerdekaan) dan Indonesia (setelah

kemerdekaan) untuk menegimbangi dominasi China dalam hal ekonomi,

menimbulkan usaha diskriminasi dan sikap ekslusif yang mendalam.

Masalah ini menimbulkan kesadaran akan perlunlya kesatua dalam bentuk “group-solidarity”, dan tujuan mereka mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka, terutama dalam ekonomi. Terbentuknya “group-solidarity” ini lebih memperkeruh dan makan kuatnya sikap hidup ekslusif mereka. Sikap inilah yang paling dibenci orang Indonesia, sehingga menjadi rentan dan jika tersulut sedikit saja sumbu kebencian ini, akan menimbulkam suatu ledakan kemarahan hebat. Keadaan seperti ini pernah terjadi di Indonesia seperti pada peristiwa 10 Mei 1963, peristiwa 5 Agustus 1973, peristiwa 15 Januari 1974, dan peristiwa Mei 1998 (Hidajat, 1993:65)

Pasca Orde Baru, hubungan Indonesia-Tionghoa mulai stabil. Masing-

masing pihak mulai melihat kea rah kebaikan bersama. Keturan Tionghoa

generas-generasi baru mulai tumbuh rasa nasionalismenya terhadap Indonesia dan

orang Indonesia mulai menghargai keberadaan dan eksistensi etnis Tionghoa.

Etnis Tionghoa di Indonesia dikategorikan ke dalam dua jenis: China

Totok dan China Peranakan (Peranakan Tionghoa). Peranakan adalah orang

Tionghoa yang sudah lama dan sudah berbaur, berbahasa Indonesia dan

9 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia – Diakses pada 12 Juni 2013, pukul 19.22

Page 45: budaya bisnis tionghoa

bertingkahlaku seperti orang asli Indonesia, totok adalah pendatang baru yang

umumnya baru dua generasi. Mereka disebut juga Singkhe, istilah ini artinya

“tamu baru” (Lan, 2013:23).

Namun sekarang, dengan terhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok,

jumlah totok sudah menurun dan keturunan totokpun telah mengalami

peranakanisasi. Karena itu generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah

menjadi peranakan, apalagi yang di Pulau Jawa (Suryadinata, 2002:17).

Dalah hal agama, sebagian besar Tionghoa menganut Budha, Tridarma

dan Konghucu. Namun banyak pula yang beragama Katolik dan Kristen.

Belakangan ini jumlah Tionghoa yang memeluk agama Islam pun bertambah

(Suryadinata, 2002:17).

Lembaga keluarga dan lembaga religi bagi orang Tionghoa sangat erat hubungannya. Rumah merupakan pusat melakukan segala praktek lembaga religi. Bagi orang Tionghoa, walaupun ada tiga religi yang paling populer seperti Confucius, Taoisme, dan Budhisme, akan tetapi mereka dalam prakteknya tidak pernah fanatik pada salah satu dari ketiga kepercayaan itu. Bahkan dalam praktek kepercayaan itu ketiganya dicampuradukkan. Kaisar sebagai anal dewa (Son of Heaven) dari Kahiyangan (Hidajat,1993:105)

Budhisme, Konfusianisme, dan Taoisme dipuja secara bersamaan di

Indonesia oleh perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama).

Perkumpulan ini merawat beberapa beberapa kuil Tionghoa (Lan, 2013:68).

Orang Tionghoa, dalam hal orientasi politik ada yang pro-Beijing atau pro-

Taipei, tetapi yang terbesar adalah kelompok pro-Jakarta. Dalam hal

kewarganegaraan, ada yang berkewarganegaraan RRT tetapi yang terbanyak

adalah Warga Negara Indonesia (Suryadinata, 2002:17).

Page 46: budaya bisnis tionghoa

Pada bidang Ekonomi ada hal yang bisa dibilang unik. Sebagai minoritas

di perkotaan, orang Tionghoa tergolong kelas menengah. Namun dalam bidang

usaha, yang paling sukses adalah mereka yang belum banyak berbaur. Tinghoa

yang belum berbaur masih memilik etos imigran dan wiraswasta, berbahasa

Tionghoa dan mampu menggunakan jaringan perdagangan etnis yang umumnya

di tangan orang Tionghoa (Suryadinata, 2002:17).

Semakin terintegrasinya etnis Tionghoa dan orang Indonesia, Peranakan

Tionghoa telah menjadi salah satu wujud keberagaman budaya di Indonesia.

Pembauran bukan sebatas kawin campur Tionghoa dan bumiputra kemudian

lantas melupakan asal-ususl golongan, ciri khas tersebut tetap ada. Berbeda tetapi

satu, itulah gagasan luhur sebuah pembauran (Hoay dalam Santosa, 2012:154).

Indonesia merupakan negara dengan multi etnis yang memiliki sekitar 740

suku bangsa. Setiap suku memiliki tradisi, dan pola perilaku yang menjadi

budayanya sendiri. Namun karena etnis tersebut berada di Indonesia maka mereka

adalah bagian dari kekayaan negeri itu sendiri. Etnis Tionghoa yang ada di

Indonesia merupakan salah satu bagian dari kekayaan atas dasar keberagaman itu.

Semakin banyaknya peran etnis Tionghoa di Indonesia menjadikan etnis

ini semakin diterima oleh orang Indonesia Asli, walalupun tidak bisa ditampikkan

bahwa di beberapa daerah terpencil sentimen anti-China masih ada, namun tidak

ekstrim. Banyak Peranakan Tionghoa yang berkiprah untuk Indonesia. Di

kalangan seniman ada Agnes Monica, Daniel Mananta (VJ Daniel), dan Alvin

Adam sebagai penyanyi dan presenter. Kemudian ada Lee Man Fong seorang

pelukis dan Li-yang Lee yang sastrwan. Di kalangan pelaku politik Indonesia

Page 47: budaya bisnis tionghoa

mempunyai Basuki Tjahaja Purnama yang sekarang menjabat sebagai Wakil

Gubernur DKI Jakarta & mantan bupati Belitung Timur, Jusuf Wanandi, politisi

senior, mantan anggota MPR periode 1972-1977, serta Kwik Kian Gie, Lie Kiat

Teng dan Mari Elka Pangestu sebagai Peranakan Tionghoa Indonesia setingkat

Menteri.

Ada juga dari Peranakan Indonesia ini yang mengharumkan nama

Indonesia di kancah dunia, misalnya pebulutangkis Susi Susanti dan Liliana

Natsir dan perenang Felix C. Sutanto yang meraih medali emas dalam Indonesia

Open 2007. Selain itu kita juga pasti tidak asing dengan nama Soe Hok Gie

seorang aktivis mahasiswa yang juga keturunan Tionghoa yang sosoknya pernah

di filmkan di layar lebar Indonesia.

Selanjutnya, di kalangan ahli dan akademisi Indonesia mempunyai Albert

Widjaja (pakar manajemen strategik, akademisi UI) dan handi Irawan (konsultan

pemasaran) sebagai ahli ekonomi, Frans Hendra Winarta (pengacara), Gouw Giok

Siong dan Lie Oen Hock (pakar hukum) sebagai ahli hukum, Handojo

Tjandrakusuma (dokter), Handrawan Nadesul (pakar kesehatan, penulis), dan

Hembing Wijayakusuma (pakar obat tradisional) sebagai ahli kesehatan, pada ahli

pendidikan ada Bernadette N. Setiadi (tokoh pendidikan, psikolog), Dali S. Naga

(Rektor Universitas Tarumanegara), Lee Teng Hui (pendidik), Tjia May On (Guru

Besar fisika ITB), serta ahli sejarah dan sosial Arief Budiman (sosiolog,

budayawan, aktivis politik), Christianto Wibisono (pengamat sosial, politik dan

ekonomi), Christine Susanna Tjhin (peneliti sosial), dan George Junus Aditjondro

(sosiolog).

Page 48: budaya bisnis tionghoa

Sederet nama yang disebutkan di atas adalah contoh dari sekian banyak

keturunan Tionghoa yang berkiprah di Indonesia. Bahkan ada yang memulai

kiprahnya sejah kahun 70-an. Melihat kenyataan ini sudah semestinya pemerintah

mengapresiasi keberadaan Tionghoa selain diskriminasi etnis berlawanan dengan

nilai luhur Pancasila.

Pemerintah makin terbuka dengan kehadiran etnis Tionghoa, sebagai

buktinya di tahun 2003 diadakan perayaan Imlek dan Imlek ditetapkan sebagai

salah satu hari besar Tionghoa serta dijadikan hari libur nasional. Dalam perayaan

Imlek tersebut, etnis Tionghoa bebas mengekspresikan kebudayaannya malalui

berbagai atraksi yang menunjukan identitas budayanya. Selain imlek, juga ada

perayaan Goan Siao, atau yang disebut di Indonesia sebagai Tjap Go Meh. Pada

malam itu orang-orang bergembira. Lampion berjenis bentuk dan beraneka warna,

yang berisikan sebatang lilin atau bahan penerangan lain, merupakan unsur khusus

dari kebudayaan ini (Lan, 2013:210).

Tiga dasawarsa lebih, salah satu produk kebudayaan tertua umat manusia

itu dijadikan barang haram oleh Orde Baru dan semakin hilang gaungnya.

Absennya barongsai adlaah cerita lama, tetapi sekarang, menjelang Imlek,

dimanapun bisa dinikmati hiburan khas Tionghoa tersebut (Santosa, 2012:185).

Kemudian, untuk mengakomodir segala kegiatan Peranakan Tionghoa, pada tahun

2011 didirikanlah sebuah asosiasi bernama ASPERTINA.

Ketika Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (ASPERTINA) dibentuk pada tanggal 28 Oktober 2011, salah satu kerinduan yang menjadi prigram kerja organisasi ini adalah mendukung dipublikasikannya tulisan-tulisan yang melengkapi pengetahuan masyarakat Indonesia, khususnya dalan

Page 49: budaya bisnis tionghoa

konteks sejarah, seni, dan budaya Peranakan Tionghoa (Santosa, 2012:XVII)

Salah satu alasan yang bisa jadi melandasi berdirinya ASPERTINA adalah

kemajuan sastra Tionghoa-Indonesia. Sebagian sastrawan Indonesia menangkap

adanya hasil-hasil sastra baru. Sastra tersebut, yang disebut sebagai sasra

Tionghoa-Indonesia merupakan karya sastra yang didalmnya terdapat gabungan

dari unsur Tionghoa dan unsur Indonesia.

Orang Tionghoa Peranakan ingin menciptakan suatu riwayat yang berbau Indonesia, yang bernafaskan suasana Indonesia, dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam keadaan sebagai mereka dengan persoalan yang sama pula dengan persoalan mereka. Singkatnya: cerita-cerita yang mencerminkan diri mereka sendiri! Inilah hasrat yang kemudian menjadi benih bagi sastra Indonesia-Tionghoa (Lan, 2013:305)

2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Bermula dari migrasi bangsa China ke Asia Tenggara, salah satunya

adalah Indonesia. Berdasarkan data pada tabel 1 sebelumnya, dijelaskan bahwa

jumlah etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1999 adalah 6.278.000 jiwa dari

total jumlah penduduk Indonesia pada saat itu 209.255.000 (3%). Sedangkan pada

tabel 2 dijelaskan bahwa etnis Tionghoa di Indonesi menempati urutan ke-3 untuk

kategori suku bangsa di Indonesia setelah Suku Jawa dan Suku Sunda.

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang

Page 50: budaya bisnis tionghoa

maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.10

Walaupun sejak jaman kolonial Belanda selalu ada sentimen dan

prasangka negatif terhadap etnis Tionghoa, mereka selalu memperjuangkap

keberadaannya. Seiring berjalannya waktu dan rentang waktu dari masa konflik

semakin menjauh, maka masing-masing pihak, baik orang Indonesia dan Etnis

Tiongha makin saling menerima. Segala unsur budaya yang di dibawa oleh China

semakin bisa diterapkan dan dikombinasikan dengan budaya-budaya asli

Indonesia. Semakin terintegrasinya etnis Tionghoa dan orang Indonesia,

Peranakan Tionghoa telah menjadi salah satu wujud keberagaman budaya di

Indonesia. Pembauran bukan sebatas kawin campur Tionghoa dan bumiputra

kemudian lantas melupakan asal-ususl golongan, ciri khas tersebut tetap ada.

Berbeda tetapi satu, itulah gagasan luhur sebuah pembauran (Hoay dalam Santosa,

2012:154).

Walaupun masyarakat China yang bermigrasi keluar China melakukan

adaptasi terhadap tempatnya yang baru, juga telah terjadinya akulturasi budaya

dengan daerah baru, sebagian budaya asli China masih tetap di pegang teguh.

Namun tidak menutup kemunginan terjadinya sebuah akulturasi kebudayaan,

antara China dan Indonesia. Proses sosial tingkat lanjut ini timbul apabila terdapat

golongan-golongan manusia yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang

berbeda-beda, saling berinteraksi dan bergaul secara langsung dan intensif dalam

waktu yang lama, dan kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi dapat

berubah sifatnya yang khas menjadi unsur-unsur kebudayaan yang baru, yang 10 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tionghoa-Indonesia - Diakses pada 12 Juni 2013, pukul 19.39

Page 51: budaya bisnis tionghoa

berbeda dengan aslinya.

Tionghoa-Indonesia mempunyai budaya yang bisa dibilang mempunyai

perbedaan dengan orang asli Indonesia. Budaya diterapkan dalam segala aspek

kehidupan individu. Aspek yang ingin penulis angkat adalah aspek bisnis. Penulis

ingin melihat aplikasi budaya Tionghoa dalam perilaku-perilaku bisnis pengusaha

Tionghoa di Indonesia.

Penulis membuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 1Kerangka Pikir Penelitian

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Page 52: budaya bisnis tionghoa

3.1. Paradigma Penelitian dan Metode Penelitian

3.1.1. Pradigma Penelitian

Paradigma yang peneliti gunakan adalah paradigma kualitatif. Paradigma

kualitatif bersifat subjektif. Penulis menggunakan paradigma kualitatif karena

melihat kecenderungan masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai

kebudayaan Tionghoa yang tercermin dari perilaku-perilaku bisnisnya. Penelitian

Kualitatif bisa dilakukan oleh peneliti di bidang ilmu sosial dan perilaku, juga

para peneliti yang menyoroti masalah yang terkait dengan perilaku dan peranan

manusia (Straus dan Corbin, 2009:6). Pada penelitian ini peneliti berusaha

menjelaskan perilaku manusia agar mudah dipahami.

Subjektivis menjelaskan makna perilaku dengan menafsirkan apa yang orang lakukan. Interpretasi atas ini tidak bersifat kausal, dan tidak bisa juga dijelaskan lewat penemuan hukum atas generalisasi empiris seperti yang dilakukan ilmuan objektif. Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang disebut tindakan (action), bukan sekedar gerakan tubuh yang mencakup ucapan, bukan dengkuran; melompat, bukan terjatuh; bunuh diri, bukan sekedar kematian (Mulyana, 2010:33).

Penulis menggunakan paradigma kualitatif karena penulis ingin

melakukan sebuah eksplorasi kebudayaan, bukan melakukan prediksi terhadap

tindakan. Merujuk pada penjelasan Deddy Mulyana sebelumnya, penulis ingin

menguraikan mengapa seseorang berbicara seperti itu? mengapa seseorang

melompat? dan mengapa orang harus melakukan bunuh diri?

Alih-alih menyebut tindakan manusia bisa diprediksi, paradigma kualitatif

mempertimbangkan aspek lain dalam diri manusia, seperti rasa, pikiran, nilai,

kepercayaan, niat, atau maksud. Aspek tersebut memberi makna kepada kepada

Page 53: budaya bisnis tionghoa

kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat kehidupan dan tindakan tersebut

dapat dijelaskan (Mulyana, 2010:33). Memang betul, setiap masalah bisa dikaji

atau dicari jalan keluarnya melalui paradigma manapun, baik kuantitatif maupun

kualitatif. Namun, ada paradigma yang sebenarnya lebih tepat jika digunakan

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian tertentu, dan melalui

paradigma kualitatif peneliti akan menjelaskan tindakan-tindakan etnis Tionghoa

dalam berbisnis.

Menurut pandangan subjektif, realitas sosial adalah sesuatu kondisi yang cair dan mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan bersifat polisemik (multimakna), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan status realitas sosial tersebut (Mulyana, 2010:35)

Etnis Tionghoa terkenal mempunyai kecintaan tingkat tinggi terhadap

leluhur, keluarga dan golongannya, bahkan ketika beberapa warganya bermigrasi

nilai-nilai daerahnya akan terus dibawa dan dipertahankan sebanyak mungkin.

Namun nilai-nilai yang mereka bawa mau tidak mau akan bersentuhan dengan

nilai-nilainya daerah baru yang mereka datangi, bisa dikatakan akan terjadi

interaksi antarbudaya. Interaksi-interaksi yang terjadi dari individu-individu yang

berbeda budaya tersebut memungkin adanya perubahan pergeseran nilai-nilai

yang dianut oleh etnis Tionghoa, karenanya penulis menggunakan paradigma

kualitatif. Hal ini sejalan dengan penjelasan Deddy Mulyana sebelumnya yang

menyebutkan bahwa realitas bersifat cair.

Pada akhirnya, penulis memilih paradigma kualitatif karena peneliti

menganggap paradigma kualitatiflah yang lebih tepat untuk mengeksplorasi objek

Page 54: budaya bisnis tionghoa

penelitian dan lebih tepat dipakai jika melihat pertanyaan-pertanyaan penelitian

yang penulis utarakan pada BAB I.

3.1.2. Metode Penelitian

Melalui paradigma kualitatif, peneliti menggunakan metode etnografi

untuk menjawab pertanyaan penelitian. Metode bisa dikatakan sebagai sebuah

cara untuk mencapai tujuan tertentu. Studi perilaku manusia secara antarbudaya

akan lebih muskil dilakukan, karena perilaku yang diamati terikat oleh aturan,

norma, atau pemahaman yang unik dalam budaya yang bersangkutan (Mulyana,

2010:43). Dalam penelitian ini, penulis mengangkat unsur budaya tertentu, yaitu

budaya Tionghoa. Budaya yang penulis angkat disini sekaligus menjadi lingkup

penelitian, dimana di dalam budaya tersebut terdapat aturan, norma, atau

pemahaman unik yang cocok jika diteliti menggunakan metode etnografi.

Etnografi pada dasarnya merupakan suatu bangunan pengetahuan yang

meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi

kebudayaan, dan Creswell memasukan etnografi sebagai salah satu tradisi

penelitian kualitatif (Kuswarno, 2011:32).

Peneliti menggunakan pendekatan etnografi karena topik penelitian ini

sesuai dengan beberapa elemen inti dari penelitian etnografi yang diutarakan

Creswell (dalam Kuswarno, 2011:34), yaitu: menggali tema-tema kultural,

terutama tema-tema yang berhubungan dengan peran (roles) dan perilaku

masyarakat tertentu; dan menjelaskan “everyday life of persons”, bukan peristiwa-

Page 55: budaya bisnis tionghoa

peristiwa khusus yang sudah sering menjadi perhatian.

Kata “etnografi” sendiri berasal dari Yunani yang berarti sebuah deskripsi

mengenai orang-orang, atau secara harfiah “penulisan budaya” (Atkinson dalam

Daymon & Holloway, 2008:201). Arti kata etnografi menurut Atkinson tadi

sesuai dengan kekhasan metode etnografi karena etnografi tidak mengacu pada

proses risetnya saj, tetapi juga dari cara pelaporan, dan pendeskripsian tertulis dari

hasil riset tersebut. Etnografi merupakan deskripsi tertulis mengenai sebuah

budaya berdasarkan temuan-temuan di lapangan (Daymon & Holloway,

2008:202).

Metode etnografi sendiri, jika merujuk ke beberapa literatur, terdiri dari

berbagai macam perspektif. Dari berbagai macam perspektif tersebut, penulis

menggunakan perspektif James P. Spradley. Dalam bukunya, Metode Etnografi,

Spradley menjelaskan bahwa etnografi yang digagasnya adalah tipe yang khas dan

berkembang sejak tahun 1960-an, yang disebut cognitive anthropology, atau

ethnoscience, atau etnografi baru.

Sebelum etnografi baru, ada jenis etnografi lain yaitu etnografi modern

yang muncul pada tahun 1915-1925 dan dipelopori oleh dua ahli antropologi

sosial Inggris A. R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski.

Dalam etnografi modern, bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan melalui analisis dan nalar sang peneliti. Struktur sosial dan budaya yang dideskripsikan adalah struktur sosial dan budaya masyarakat tertentu menurut interpretasi sang peneliti. Sedangkan dalam etnografi baru, bentuk tersebut dianggap merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut, dan tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari pikiran mereka. Cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu adalah khas,

Page 56: budaya bisnis tionghoa

yaitu melalui metode folk taxonomy (Spradley, 2007:xii).

Penjelasan di atas menjelaskan perbedaan antara dua perspektif: Radcliffe-

Brown dan Malinowski, dan Spradley. Perspektif etnografi modern terasa lebih

subjektif dibandingkan perspektif etnografi baru, interpretasi peneliti diandalkan

dalam membangun dan mendeskripsikan bentuk sosial dari subjek penelitian.

Namun bagi Spradley tugas peneliti dalam etnografi baru adalah mengorek keluar

bentuk sosial dan budaya yang ada dalam subjek penelitian.

Tahapan-tahapan penelitian yang akan digunakan penelitian adalah “alur

penelitian maju bertahap” yang terdiri dari 12 tahap penelitian etnografi Spradley.

Tahapan-tahapan tersebut termasuk pengumpulan data, analisis data, sampai

menuliskan laporan etnografi. Berikut adalah bagan dari model pengumpulan data

etnografi yang akan penulis lakukan.

Page 57: budaya bisnis tionghoa

Gambar 2Langkah Penelitian

Sumber: Etnografi Spradley dengan Modifikasi oleh Peneliti

3.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang penulis pilih adalah keluarga Widya Pratama.

Widya Pratama adalah salah satu pengusaha keturunan Tionghoa yang berdomisili

dan mempunyai usaha di Bandung. Widya Prataman adalah pengusaha di bidang

bahan makanan, yaitu kopi. Nama tokonya adalah “Kopi Aroma”. Nama tersebut

mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat Bandung, bahkan untuk Indonesia.

Page 58: budaya bisnis tionghoa

Toko yang bertuliskan “AROMA – PABERIK KOPI” ini terletak di jalan

Banceuy No.51 Bandung.

Widya adalah anak tunggal dari pasangan Tan Houw Sian yang kelahiran Indramayu dan Tjia Kiok Eng yang berasal dari Cirebon. Keduanya sudah meninggal dan mewariskan usaha Kopi Aroma kepada anak tunggalnya ini. Selain menjalankan usaha Kopi Aroma, Widya adalah dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Unpar dan dikenal dalam menegakan integritas kejujuran kepada para mahasiswanya.11

Kopi aroma pertama kali beroprasi pada tahun 1930 di kota Bandung dan

sudah terkenal bahkan hingga Amerika, Belanda, Perancis. Malahan menurut

rumor, pendiri gerai kopi terbesar di Dunia, Starbucks, sampai menyempatkan

datang untuk mencicipi produk dari Kopi Aroma.

Berikut merupakan foto-foto subjek penelitian yang penulis ambil dari sumber internet.12

11 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 11 Juni 2013, pukul 13.21

12 http://www.cikopi.com/2011/07/kopi-aroma-widya-pratama/ - Diakses pada 29 Juni 2013, pukul 13.07 dan http://ngiderngiler.com/weblog/jabodetabek/kopi-aroma-sang-legenda-dari-bandung – Diakses pada 29 Juni 2013, pukul 13.12.

Page 59: budaya bisnis tionghoa

3.3. Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah perilaku-perilaku keluarga Widya Pratama

dari aspek kepercayaan dan aspek sosial yang berhubungan dengan kegiatan usaha

Kopi Aroma yang ia kelola.

Page 60: budaya bisnis tionghoa

3.4. Teknik Pengumpulan Data

3.4.1. Wawancara

Moore (dalam Daymon dan Holloway, 2002) mengartikan wawancara

sebagai percakapan dengan suatu tujuan. Bagaimanapun wawancara lebih dari

sekedar percakapan, wawancara mempunyai sebuah derajat dan struktur yang

ditentukan oleh peneliti. Dalam melakukan wawancara, peneliti boleh melakukan

“penjagaan”, peneliti bisa melakukan upaya supaya narasumber dapat fokus dan

jawabannnya tidak melenceng terlalu jauh dari topik atau data-data yang ingin

peneliti dapatkan. Namun peneliti sebaiknya hati-hati, jangan sampai “penjagaan”

ini berubah menjadi “pembatasan”. Pembatasan ini justru menghambat informan

untuk mengeluarkan data-data yang lebih penting, jangan sampai informasi dari

informan menjadi dangkal. Jangan berfkir bahwa data yang peneliti dapatkan

rasanya sudah cukup lantas kita melakukan pembatasan, dengarkan saja dulu, dan

jaga supaya tetap dalam topik, bukan membatasi informan karena merasa data

telah lengkap. Bisa saja ada kejutan-kejutan lain yang ternyata keluar dari

informan.

Berdasarkan langkah penelitian yang ada di gambar 2, maka peneliti

menggunakan empat tipe wawancara antara lain: wawancara percakapan

persahabatan; wawancara dengan mengajaukan pertanyaan deskriptif; wawancara

dengan mengajukan pertanyaan struktural; dan wawancara dengan menggunakan

pertanyaan kontras.

Page 61: budaya bisnis tionghoa

3.4.1.1. Percakapan Persahabatan

Bisa dikatakan bahwa percakapan persahabatan adalah pertemuan-

pertemuan awal antara peneliti dan informan. Wawancara persahabatan yang

cenderung seperti percakapan persahabatan ini bisa dibilang sebagai percakapan

yang krusial. Krusial karena ini menyangkut kesan pertama informan kepada

peneliti. Seperti istilahnya, “percakapan persahabatan” bertujuan untuk

mendekatkan antara informan dan peneliti. Semakin kecil jarak antar keduanya,

atau semakin akrab antara keduanya dapat memperbesar keterbukaan informan.

Jangan sampai wawancara-wawancara setelah ini menimbulakan kesan bahwa

informan sedang diintrogasi dan digali informasinnya secara “membabi buta”,

untuk itulah pertemuan pertama sekaligus wawancara dengan kesan persahabatan

ini harus kuat.

Namun bukan berarti pada wawancara-wawancara berikutnya peneliti

tidak bersikap sahabat. Pnulis akan mempertahankan suasana persahabatan

tersebut namun isi pertanyaan wawancara berikutnya lebih fokus ke pertanyaan-

pertanyaan penelitian. Pada tahap ini penting bagi informan untuk mengetahui

maksud dan tujuan penelitian, karena itu peneliti akan memaparkan maksud dan

tujuan peneliti dengan jelas dan bersahabat. Peniliti tidak akan menimbulkan

kesan bahwa peneliti akan menjadi pihak yang akan merugikan informan.

3.4.1.2. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Deskriptif

Tipe pertanyaan pada tipe wawancara ini adalah pertanyaan yang

Page 62: budaya bisnis tionghoa

memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan satu sampel yang terjadi dalam

bahasa informan (Spradley, 2007:87). Pertanyaan-pertanyaan pada tipe

wawancara ini cenderung mudah, misalnya: “Dapatkan Bapak memberitahu saya

apa yang Bapak lakukan sebelum membuka toko anda setiap hari?”.

3.4.1.3. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Struktural

Melalui pertanyaan struktural dapat menemukan domain unsur-unsur dasar

dalam pengetahuan budaya sendiri dari seorang informan. Contoh pertanyaannya

adalah: “Ke daerah manakah Bapak biasanya berlibur?”. Pertanyaan struktural

adalah untuk disesuaikan dengan informan, dihubungkan dengan pertanyaan

sebelumnya pada pertanyaan deskriptif.

Pertanyaan struktural hampir selalu mendatangkan daftar istilah-istilah

penduduk asli (Spradley, 2007:186).

3.4.1.4. Wawancara Etnografi dengan Pertanyaan Kontras

Etnografer ingin menemukan berbagai hal yang dimaksudkan oleh informan dengan berbagai istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Pertanyaan kontras memungkinkan etnografer menemukan dimensi makna yang dipakai oleh informan untuk membedakan berbagai objek dan peristiwa dalam dunia informan (Spradley, 2007:88).

Contoh pertanyaan pada pertanyaan kontras adalah: “Menurut Anda apa

bedanya berlibur ke Garut dan ke Jogja?” atau “Apa perbedaan antara kopi

robusta dan arabika?”.

Page 63: budaya bisnis tionghoa

3.4.2. Observasi

Selain wawancara, penelitian menggunakan metode observasi sebagai

teknik pengumpulan data. Observasi berarti pengamatan. Dalam penelitian ini

metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan

pengamatan langsung terhadap suatu objek dalam suatu periode tertentu serta

melakukan pencatatan yang sistematis terhadap objek-objek yang diamati

tersebut. Observasi memberi kegunaan penting dalam mengakses dan memahami

cara-cara yang digunakan orang-orang dalam bertindak dan berinteraksi.

Observasi menyaratkan pencatatan dan perekaman sistematis mengenai sebuah peristiwa, artefak-artefak, dan perilaku-perilaku informan yang terjadi dalam situasi tertentu. Observasi menawarkanperspektif menyeluruh (holistic) dan gambaran atau deskripsi grafis mengenai kehidupan sosial. Metode observasi jarang digunakan sendiri, namun sering dikaitkan dengan wawancara (Daymon & Holloway, 2008:321).

Memulai observasi berarti mencapai pemahaman tentang “lapangan” atau

latar penelitian. Paling baik menganggapnya sebagai “latar-latar fisik dan arena

aktivitas sosial dari permasalahan riset” (Daymon & Holloway, 2008:333).

Tipologi Gold (Dalam Daymon & Holloway, 2008:322) membagi derajat

partisipasi dalam observasi kedalam empat peran utama peneliti, antara lain:

partisipan penuh; partisipan sebagai pengamat; pengamat sebagai partisipan; dan

pengamat penuh. Pada penelitian ini peneliti memilih peran pengamat sebagai

partisipan.

Sebagai seorang pengamat yang berpartisipasi hanya dengan berada di sana,

keterlibatan peneliti di lokasi menjadi minimal. Minimal di sini bukan berarti

peneliti tidak melakukan partisipasi, namua lebih didominasi oleh pengamatan.

Page 64: budaya bisnis tionghoa

Peneliti menjadi pihak marginal. Agenda utama peneliti adalah untuk mengamati, bukan untuk berperanserta. Meski demikian peneliti tetap perlu bernegosiasi dengan para gatekeeper subjek penelitian kita untuk meminta akses dan persetujuan dari semua partisipan yang diamati (Daymon & Holloway, 2008:329).

Lebih lanjut, Becker (Dalam Mulyana, 2010:162) menyarankan

bahwapengamatan (observasi) terlibat adalah pengamatan yang dilakukan sambil

sedikit banyak berperan-serta dalam kehidupan orang yang kita teliti. Melakukan

observasi partisipan ibarat bekerja dalam struktur cerobong kerucut, yaitu diawali

dengan pandangan yang luas dan pertanyaan riset yang umum. Ketika peneliti

mulai mengenal orang-orang dan lingkungannya, ide dan pertanyaa riset akan

berkembang semakin fokus (Daymon & Holloway, 2008:335). Karena itu peneliti

tidak sepenuhnya menjadi pengamat, peneliti membutuhkan adanya interaksi dan

partisipasi pada poin-point tertentu untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik

dan jelas.

Page 65: budaya bisnis tionghoa

Daftar Pustaka:

Anugrah Kresnowati, Dadan Winny. 2008. Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata.

Ardianto dan Q-Aness. Elvinaro dan Bambang. 2011. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

______, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

Bone & Kurtz, Louis E & David L. Pengantar Bisnis Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.

Bond, Michael Harris. The Psychology of The Chinese People. New York: Oxford University Press.

Borgias M. Fransiskus. 2013. Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis tentang Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.

Brahm, Laurence J. 2002. Abadnya Tiongkok. Batam: Interaksara

Budyatama, Muhammad. 2012. Komunikasi Bisnis Silang Budaya. Jakarta: Kencana Prenda Media Group.

Chow, Gregory C. 2011. Memahami Dahsyatnya Ekonomi China. Solo: Metagraf.

Daymon & Holloway, Christine & Immy. 2008. MEtode-Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta: Bentang.

Hamdani, Nasrul. 2012. Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Riga Kekuasaan 1930-1960. Jakarta: LIPI Press.

Hidajat. 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius

Kuswarno, Engkus. 2011. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran.

Lan, Nio Joe. 2013. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Mulyana, Deddy. 2011. Komunikasi Lintas Budaya: Pemikiran, Perjalanan, dan Khayalan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Page 66: budaya bisnis tionghoa

______________. 2011. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

______________. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Nickels, McHugh dan McHugh, William G, James dan Susan. 2009. Pengantar Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Pals, Daniel L. 2012. Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Jogjakarta: IRCiSoD

Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Kompas.

Spradley. James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Strauss & Corbin, Anselm & Juliet. 2009. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

______________. 1990. Mencari Identitas Nasional dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien. Jakarta: LP3ES.

Widjaja, H. A. W. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta. PTRineka Cipta.

Page 67: budaya bisnis tionghoa

BUDAYA BISNIS TIONGHOA

Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Perilaku Bisnis Keluarga Widya Pratama Sebagai Pebisnis

Indonesia-Tionghoa di Bandung

Sebuah Tesis,oleh

Ahmad Fadhli 20080012001

Page 68: budaya bisnis tionghoa

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

2013