Upload
vuongnhi
View
245
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BUDAYA MADURA
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara
Dosen pengampu : Ranang Agung S. S.Pd., M.Sn.
Tahun Akademik 2015/2016
Program Studi Televisi dan Film
Jurusan Seni Media Rekam
Oleh :
MUHAMMAD FARIED NIM. 14148116
LEVI ALVITA NIM. 14148126
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Geografi dan Kependudukan................................................................................ i
1.2 Pengaruh Agama Islam........................................................................................ ii
BAB II TIGA WUJUD KEBUDAYAAN DI MADURA
2.1 Budaya Ide/Gagasan
2.1.1 Adat Perkawinan Nyalabar.......................................................................... 1
2.2 Budaya Tindakan
2.2.1 Tanean Lanjang............................................................................................ 2
2.2.2 Bahasa Madura............................................................................................. 3
2.2.3 Karapan Sapi................................................................................................ 5
2.2.4 Carok............................................................................................................ 7
2.3 Artefak
2.3.1 Batik............................................................................................................. 8
2.3.2 Tradisi Batik Genthongan............................................................................ 9
2.3.3 Keraton Sumenep......................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 15
3.2 Saran..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Geografi dan Kependudukan
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali.
Kebanyakan masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih
sembilan puluh persen penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di
desa-desa, dukuh-dukuh dan kelompok-kelompok perumahan petani (Huub de
Jonge, 1989:17). Adapun pertumbuhan dan kepadatan penduduk di Madura, yang
walaupun tanahnya tidak subur, Madura adalah pulau yang berpenduduk padat.
Gambar 1. Peta pulau Madura
(Sumber : https://www.google.co.id/search?q=geografi+madura+pdf&biw=1366&bih=667&source
=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0CAYQ_AUoAWoVChMImdLP9qWhyAIVWJGOCh1k
KQeg#tbm=isch&q=Letak+geografis+pulau++madura&imgrc=Q_REaUkKwBCPhM%3A)
ii
1.2 Pengaruh Agama Islam
Seperti halnya dengan hampir semua orang Madura, penduduk desa adalah
penganut agama Islam. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan
perluasan perdagangan. Penyebar yang pertama ialah pedagang Islam dari India
(Gujarat), Malaka dan Sumatra (Palembang) (Schrieke dalam Huub de Jonge,
1989). Disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci
Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaaan dagang kecil Surabaya dan
Gresik (De Graaf dan Pigeaud dalam Huub de Jonge, 1989)
1
BAB II
TIGA WUJUD KEBUDAYAAN DI MADURA
2.1 Budaya Ide/Gagasan
2.1.1 Adat Perkawinan Nyalabar
Perkawinan merupakan salah satu unsur daur hidup yang penting pada
hampir semua masyarakat, termasuk pada masyarakat Madura ini. Banyak aturan
adat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang harus dilaksanakan
dalam rangka suatu perkawinan.
Gambar 1. Mantenan Madura
(Sumber : http://www.lontarmadura.com/pernikahan-adat-madura-2/, 2011)
Menurut adat, tahap-tahap dalam proses perkawinan di Madura dimulai
dengan mencari gadis bagi jodoh anak laki yang disebut nyalabar. Tahap ini
dilanjutkan dengan menghubungi pihak wanita (narabas pagar), dan kalau dapat
diterima dilanjutkan dengan pertunangan yang diikat dengan penyengset.
(Nurcahyo Tri Arianto, 2011:8)
Gadis yang akan memasuki jenjang perkawinannya harus menjalani
pingitan selama 40 hari. Iring-iringan pengantin pria yang datang ke rumah
pengantin wanita disebut panganten ngekak sangger. Rombongan ini biasanya
diiringi dengan suara musik hadrah. Mereka membawa barang-barang bawaan
dari pihak pria yang disebut bangiban. (Nurcahyo Tri Arianto, 2011:8)
Barang itu antara lain sepasang ayam dari kayu yang melambangkan tekad
pengantin pria dalam menempuh hidup baru. Ada beberapa seserahan yang
2
dibawa oleh pihak laki-laki, diantranya kembang sekar mayang yang
menggambarkan harapan terhadap kelimpahan rezeki, dan bawaan lain yang
bersifat simbolis yang mengandung harapan dan makna tertentu. Seusai ijab
kabul, kedua pengantin diwajibkan menganyam bambu (ngekak sangger), yang
merupakan suatu perlambang saja. Kedua pengantin akan menjadi anggota dan
menyatu dalam dua keluarga besar dan mereka harus menjalin hubungan demi
kelestarian rumah tangganya. Sekarang sudah tidak lagi secara langsung
menganyam bambu itu, tapi hanya sekedar meraba-raba anyaman hambu yang
sudah tersedia (Nurcahyo Tri Arianto, 2011:8).
2.2 Budaya Tindakan
2.2.1 Tanean Lanjang
Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi
tali kekerabatan, dan salah satu simbol yang mendukung tentang tali kekerabatan
ini, dapat dilihat dari denah sebuah rumah yang masih bersifat tradisional atau
rumah – rumah adat yang terdapat di Madura. Permukiman tradisional
masyarakat madura memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan
permukiman – pemukiman masyarakat lainnya, hal ini lebih dikenal dengan
model atau sebutan Tanean Lanjang.
Tanean lanjang (halaman panjang) adalah permukiman tradisional
masyarakat madura yang dihuni oleh keluarga besar yang masih satu keturunan.
Permukiman model seperti ini hanya dimungkinkan oleh keluarga mampu, yang
mampu menyediakan rumah bagi keturunannya. Kelompok yang tinggal di
tanean lanjang merupakan satu kelompok geneologis, pasangan yang sudah
menikah diharuskan tinggal di tanean lanjang bersama dengan orangtua pihak
perempuan dalam satu rumah khusus yang dibangun oleh mereka.
3
Gambar 3. Tanean Lanjang
(Sumber : Ayu Indeswari, 2013)
Desa – desa di Madura sulit dikenali batas batas pemisahnya. Tidak
adanya batas – batas itu memudahkan pemerintah untuk mengubah administrasi
desa karena tidak ada penentangan dari penduduk. Akan tetapi, nampaknya di
antara generasi muda terdapat kecenderungan untuk bermukim di tempat lain,
kadang – kadang setelah beberapa bulan tinggal di rumah atau halaman orang tua
atau mertua. Selain itu, dapat dilihat bahwa di antara generasi tua sering terjadi
perpindahan ke tempat lain setelah terjadi suatu konflik.
2.2.2 Bahasa Madura
Bahasa Madura adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana
komunikasi sehari-hari oleh masyarakat etnik madura, baik yang bertempat
tinggal di pulau madura dan pulau pulau kecil sekitarnya maupun di perantauan.
Bahasa madura menempati posisi keempat dari tiga belas besar bahasa daerah
terbesar di indonesia dengan jumlah penutur sekitar 13,7 jiwa (Lauder dalam
Akhmad Sofyan, 2010:207)
Berdasarkan sudut pandang linguistik, bahasa Madura dikelompokkan ke
dalam empat dialek utama, yakni (1) dialek Sumenep, (2) dialek Pamekasan, (3)
dialek Bangkalan, dan (4) dialek Kangean serta dua dialek tambahan, yakni (1)
dialek Pinggirmas dan (2) dialek Bawean. Oleh para ahli yang membagi bahasa
Madura menjadi empat dialek. Dialek Pinggirpapas dimasukkan sebagai bagian
4
dari dialek Sumenep, sedangkan dialek Bawean dimasukkan sebagai bagian dari
dialek Bangkalan (Sofyan dalam Akhmad Sofyan, 2010:208).
Dari sudut pandang sosiolinguistik, bahasa Madura dikelompokkan ke
dalam dua dialek atau bahasa, yakni (1) bahasa Madura barat dan (2) bahasa
Madura timur. Sedangkan Kangean dan Bawean dianggap sebagai bahasa yang
berbeda. Bahasa Madura sama seperti bahasa Indonesia yang termasuk ke dalam
rumpun Austronesia Barat.
5
2.2.3 Karapan Sapi
Gambar 4. Karapan sapi
(Sumber : Akhmad Sofyan, 2010)
Karapan sapi adalah salah satu perminan rakyat Madura. Orang Madura
menyebut permainan itu keraben sapeh. Permainan ini melombakan pasangan-
pasangan sapi yang dikendalikan oleh seorang “joki” yang disebut penompak.
Pasangan sapi itu dilihat dan diukur kecepatan larinya dalam menempuh jarak
sekitar 100-150 meter. Permainan ini konon telah ada pada masa raja Arjawiraja
memerintah kerajaan Madura sekitar abad 12-13 M yang dilakukan oleh
sekelompok petani setelah usai masa panen, dengan melombakan pasangan sapi
itu dari satu pematang ke pematang sawah. (Aries Sudiono dalam Nurcahyo Tri
Arianto, 2008:8)
Permainan ini ada yang dilombakan antar desa untuk tingkat kecamatan,
tingkat kabupaten, atau antar kabupaten yang ada di pulau Madura. Pada masa
yang lebih akhir, pemerintah setempat mengeluarkan persyaratan di mana sapinya
harus asli dari Madura, umur antara 3-7 tahun, berat rata-rata 200 kg. dan tinggi
120 cm. (Aries Sudiono dalam Nurcahyo Tri Arianto, 2008:8)
Sebelum perlombaan dimulai, sapi-sapi itu diarak di sekitar arena dan
dikenakan kostum “warna-warni” dengan kombinasi warna khas Madura. Ketika
sapi akan dilombakan, pasangan-pasangan sapi itu terlebih dahulu “disatukan”
atau yang disebut pengenong. Pada pengenong itu terikat pula tiga potong kayu
yang menjulur ke belakang di sela-sela badan kedua sapi, yang dinamakan
6
keleles. Keleles berfungsi antara lain sebagai tempat berjuntai kaki “joki”
(penompak).
Penompak berperan mengendalikan dan memacu pasangan sapinya agar
berlari secepat mungkin. Upaya memacu sapi ini dengan cara melecut, bahkan
menusuk-nusuk punggung sapi dengan benda tajam, seperti paku yang memang
telah disediakan. Punggung sapi karapan itu memang biasanya penuh luka
terkena tusukan jokinya yang mengharapkan sapinya berlari secepatnya dan
menang. Tapi sekarang biasnya menggunakan cambuk.
Jauh-jauh hari sebelum tiba hari perlombaan, pemilik sapi telah
dikunjungi oleh para kerabat, teman-teman, dan orang lain yang punya
kepentingan tertentu. Biasanya mereka datang pada malam hari untuk mengobrol,
memberi semangat bagi pemilik sapi, atau mengatur strategi dalam menghadapi
perlombaan yang akan datang.
Pada acara selamatan ini ada pembacaan doa, mengharap datangnya
berkat dan keselamatan. Pada selamatan itu disyaratkan tidak memotong ayam
atau daging sebagai lauk. Orang Madura pada umumnya sangat menyenangi
permainan ini. Di antara para penonton tidak jarang yang bertaruh, dan
taruhannya ada yang mencapai jutaan rupiah, dan pihak yang berduit telah
mencemari kemurnian permainan itu. (Nurcahyo Tri Arianto, 2008:8) Karapan
sapi ini juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk datang ke pulau
Madura.
7
2.2.4 Carok
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari masalah.
Entah itu masalah dengan diri sendiri, orang lain atau kelompok. Carok adalah
sebuah pembelaan harga diri ketika seseorang merasa martabatnya terinjak-injak
oleh orang lain, yang berhubungan ketersinggungan tentang persoalan atau
sengketa harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan, (dari pada
hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang sering
disuarakan menjadi motivasi untuk melakukan carok.
Menurut Wiyata, banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk
kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan
orang Madura, disebut carok (A. Latief Wiyata dalam Taufiqurrahman, 2011:9).
Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok. Pelaku carok harus
membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka
posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh
dengan posisi terlentang, maka keluarga si mayat dipandang berhak melakukan
balas dendam. Akan tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap
tanah maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang
menjadi korban carok.
Gambar 5. Korban Carok
(Sumber : http://www.maduracorner.com/terkini/inilah-kronologi-carok-di-kadur-
pamekasan/)
8
2.3 Artefak
2.3.1 Batik
Gambar 6. Motif batik madura
(Sumber : Akhmad Sofyan, 2010)
Batik Madura dapat digolongkan sebagai batik pesisir seperti batik
Pekalongan, Lasem, Surabaya, dan Priangan. Warna batik pesisir lebih dominan
warna biru tua, didominasi warna kuning, hijau, merah dengan corak yang hidup
dan cerah. Madura mengenal dua kelompok daerah pembatikan, yaitu Bangkalan,
kecamatan Tanjung Bumi, Sampang, Pamekasan dan Sumenep di daerah Bluto.
Menurut hasil data dan wawancara dari para sumber, batik yang paling dikenal
hasil dan kekreatifannya, dari corak dan tingkat kesulitan dalam motifnya yaitu
batik Bangkalan, Tanjung bumi. Yang dianggap paling berpotensi dan hasil
batiknya halus, beraneka ragam motif yang unik dan rumit motifnya.
Batik Tar Poteh Tanjung Bumi ini adalah batik pesisir yang pertama kali
lahir di Tanjung Bumi. Batik Tar Poteh ini juga berkombinasi warna putih, hitam
dan merah yang ketiga warna tersebut mempunyai arti dan makna tersembunyi.
Dan warna tersebut juga dipakai sebagai warna pakem dari batik Tanjung Bumi.
Batik Tar Poteh Tanjung Bumi ini juga mempunyai cerita tersendiri dan banyak
identitas Madura yang tercantum di dalam batik tersebut.
Kebanyakan motif batik Tanjung bumi berkisar pada motif batik tulis
pesisir yang dipengaruhi oleh lingkungan dan letak geografisnya. Warna - warna
khas batik tulis di daerah ini menggunakan warna-warna yang tajam dan kontras
yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Madura. Salah satu warna yang
9
menjadi ciri khas adalah warna merah. Biasanya ada setitik warna merah pada
motif daun, bunga, merak, dan sebagainya.
Kata “tar” yang berarti latar atau biasa disebut dengan kata background,
dan kata “poteh” yang dalam bahasa Indonesia berarti putih. Jadi batik tar poteh
Tanjung Bumi dinamakan dengan batik tar poteh karena dalam batik tersebut
terdapat latar atau background yang berwarna putih dan dikombinasi dengan
warna hitam dan merah sebagai hiasan yang ada diatas background warna putih
dalam batik tersebut.
2.3.2 Tradisi Batik Genthongan
Gambar 2. Batik Madura
(Sumber : Diananta P. Sumedi, 2013)
Tradisi membatik di Madura salah satunya yang terkenal adalah Batik
Genthongan. Disebut Genthongan karena proses pewarnaanya terlebih dahulu
direndam dalam wadah mirip gentong. Konon katanya kain direndam selama dua
bulan, kemudian lembaran kain batik disikat untuk menghilangkan sisa lilin atau
malamnya.
Batik Genthongan yang cukup dikenal luas karena kekuatan warnanya
yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Selain bahan kainnya dipilih yang
terbaik, juga pewarnanya menggunakan pewarna alami. Bahan yang digunakan
dalam pembuatan batik Genthongan diracik dari sari tumbuhan pilihan soga alam
khas Madura berasal dari Mengkudu dan Tingi untuk menghasilkan warna merah.
10
Hijau berasal dari kulit Mundu ditambah tawas. Daun Tarum digunakan jika ingin
memberikan efek warna biru. Kesemuanya itu diramu oleh tangan-tangan
terampil dengan imajinasi seni tingkat tinggi sehingga menghasilkan motif batik
yang beragam dan unik, khas pulau Madura.
2.3.3 Keraton Sumenep
Gambar 7. Masjid Agung Sumenep
(Sumber : Andi Prianto, 2014)
Sumenep merupakan Kabupaten di Jawa Timur yang berada di ujung
paling Timur Pulau Madura, bisa dibilang sebagai salah satu kawasan yang
terpenting dalam sejarah Madura. Kita dapat menjumpai situs-situs kebudayaan
yang sampai hari ini masih menjadi obyek pariwisata.
Daerah Sumenep dibuka pertama kali sebagai kabupaten oleh Ario
Adikoro Wiraraja yang memerintah pada tahun 1269 - 1292. Beliau adalah Bupati
yang dibentuk dan diangkat oleh Raja Singosari yang dikenal dengan Raja
Kertanegara. Jadi saat itu Sumenep merupakan daerah bawahan kerajaan
Singosari. Bupati-bupati pada kurun selanjutnya adalah tetap anak turun dari Ario
Adikoro Wiraraja dan selalu berkiblat ke arah kerajaan di Jawa (Abdurachman
dalam Nunuk Giari Murwandani, 2007:73).
Bila menilik lagi sejarah dari Keraton Sumenep ini,bisa dilihat bahwa
benar ada percampuran budaya/akulturasi akibat kedatangan imigran dari Cina
dan Belanda. Pada tahun 1229 Sumenep kedatangan dari imigran Cina. Orang-
orang Cina yang kemudian kawin dengan orang Madura dan menetap di sana.
11
Lauw Pia Ngo terkenal sebagai arsitek Keraton Sumenep, pada pemerintahan
Panembahan Sumolo, abad ke 18. (Abdurachman dalam Nunuk Giari
Murwandani, 2007:73).
Pada bangunan Keraton dan Masjid Agung yang kini masih terawat baik,
dapat dilihat pengaruh dari arsitektur Cina. Penyelesaian atap dan sebagian
ornamen ukir-ukiran pada pintu dan jendela keraton dibuat dengan penuh
langgam Cina. Pintu gerbang mengingatkan pada bentuk tembok Tiongkok,
mimbar yang diselesaikan dengan porselin dari Cina. Pada rumah tinggal para
pangeran juga dapat ditemukan hal serupa. Rumah Pangeran Letnan dan
Pangeran Patih, bentuk atapnya mirip rumah koloni Cina yang dapat ditemukan di
Batavia dan kota-kota besar di Jawa.
Kedatangan orang Cina selain berusaha pada bidang perdagangan juga
tekun pada bidang pertukangan, maka pengaruh kebudayaan Cina terlihat jelas
pada seni bangunan di Sumenep. Bentuk hiasan penutup atap dan pengukiran atap
dengan top gevel (gunung-gunung), keramik, porselin dari Cina, ukir-ukiran
bentuk Naga, burung Phoenix atau Merak dan sebagainya merupakan pengaruh
kebudayaan Cina. Pintu gerbang Masjid Agung Sumenep mengingatkan pada
Tembok Raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang,
mengesankan kekokohan dan keagungan. Interior ruang masjid Jamik, seperti
mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen
dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan nuansa pengaruh Cina yang
sangat kuat.
Setelah kedatangan imigran dari Cina, menurut buku "Tjareta Negraha
Song-genep", Kompeni Belanda atau VOC datang di Sumenep pada kurun
pemerintahan Raden Bugan (1648-1672), sahabat Raden Trunojoyo. Setelah
perjuangan Trunojoyo dapat dipatahkan, maka Pamekasan dan Sumenep
kemudian takluk kepada kekuasaan Kompeni. Bahkan sepeninggal Raden Bugan,
Kompeni ikut campur menentukan tampuk pemerintahan Sumenep, kemudian
menentukan Raden Sudarmo, putra tunggal Raden Bugan yang masih remaja,
dibawa dan diasuh Kompeni di Batavia.
Pada awal berdirinya kabupaten Sumenep kekuasaan Kolonial Belanda
cukup lama (kurang lebih 3 abad), dengan demikian terjadi komunikasi antara
12
budaya, pengaruh kebudayaan Belanda memberi warna pada kebudayaan
Sumenep. Hal ini terlihat juga pada konsepsi ruang pada bangunan rumah tinggal
kaum bangsawan. Bangunannya mirip dengan konsepsi ruang pada bangunan
Kolonial Belanda yang banyak terlihat di Batavia dan kota-kota besar di Jawa
yang disebut sebagai "landhuise", yakni bentuk arsitektur Belanda yang sudah
disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Bentuk-bentuk elemen bangunan seperti
kolom banyak dibuat dengan gaya Arsitektur Belanda (Yunani). Bentuk-bentuk
rumah tinggal Landhuise kini peninggalannya dapat dilihat pada beberapa rumah
kaum bangsawan pedagang Arab dan Pakistan di daerah Kepanjen dan lain-lain.
Kraton Sumenep dan masjid Jamik dirancang oleh arsitek Lauw Pia Ngo
dari Negeri Cina, dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Maka
warisan budaya itu tidak luput dari pengaruh budaya Jawa Hindu, Islam, Cina dan
Belanda. Pengaruh budaya-budaya tersebut tampak pada penampilan dan
penyelesaian bangunan-bangunan tersebut. Pendopo Kraton ternyata memiliki
bentuk bangunan Jawa. Pendopo dengan atap Limasan Sinom dan bubungannya
dihiasi dengan bentuk mencuat seperti kepala naga, merupakan pengaruh Cina.
Sedangkan bangunan dalem terdapat bentuk gunung (top level) yang telanjang
tanpa teritis dan diselesaikan dengan bentuk mirip cerobong asap di puncaknya,
merupakan bukti pengaruh Belanda dan Cina. Pada ragam hiasnya juga nampak
beberapa pola Jawa, Islam dan Cina yang dipadu cukup menarik. Bentuk
arsitektur Kraton Sumenep, menunjukkan wujud adanya akulturasi antara budaya
Madura, Cina dan Belanda. Dengan akulturasi tersebut menunjukkan telah terjadi
komunikasi antar budaya baik budaya imigran maupun pribumi. Adanya
komunikasi budaya mengakibatkan proses akulturasi sebuah budaya menjadi
lebih cepat terbentuk. Berikut bukti adanya akulturasi.
13
Gambar 8. Gapura Keraton
(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)
Tampak depan Labang Mesem (Gapura Kraton). Hiasan tembok meniru
bentuk Parthenon dengan pilar-pilarnya bergaya Ionic sebagai bentuk pengaruh
arsitektur Belanda. Sedangkan atapnya bersusun mirip dengan Pagoda Cina
Gambar 9. Keraton Sumenep
(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)
Tampak Timur Dalem Keraton yang din-dingnya tanpa teritis, mirip
dinding Klenteng. Pada puncak dinding tembok, terdapat bentuk seperti kepala
14
tugu yang amat mirip dengan bentuk cerobong asap di negeri Eropa (Belanda).
Disini terlihat Akul-turasi Budaya Cina dan Belanda dalam Seni Bangun.
Gambar 10. Masjid Jamik
(Sumber : Nunuk Giari Murwandani, 2007)
Pintu gerbang Masjid Jamik Sumenep yang bentuknya mirip dengan
tembok Raksasa Tiongkok. Dilatar belakang nampak bangunan masjidnya yang
beratap Tajug tumpang tiga pengaruh arsitektur Jawa – Islam.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah
selatan dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan
dari Jawa oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali.
Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing. Madura banyak
menyimpan kebudayaan tersendiri seperti kebudayaan ide, tindakan maupun
artefak yang ada. Pulau yang terkenal dengan persebaran agama Islam ini,
ternyata mempunyai banyak keunikan tersendiri, yang sudah penulis jabarkan
dalam makalah ini.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar mahasiswa lain dapat
melanjutkan apa yang sudah penulis kerjakan. Semoga masyarakat yang
membaca makalah ini, dapat mempelajari kebudayaan yang ada di Pulau
Madura.
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
de Jonge, Huub. 1989. Madura dalam Empat Zaman. Jakarta: PT Gramedia.
Internet:
Muryadi. Negara Madura, Sejarah Pembentukan hingga Penyelesaiannya dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/NEGARA%20MADURA.pdf . diunduh
tanggal 13/09/2015 jam 17.07 WIB
Akhmad Sofyan. 2010. Fonologi Bahasa Madura, http://journal.ugm.ac.id/jurnal-
humaniora/article/download/1337/1138 . diakses tanggal 13/09/2015 jam 17.20
WIB
Muh. Syamsuddin. 2007. Agama, Migrasi dan Orang Madura, http://digilib.uin-
suka.ac.id/8280/1/MUH.%20SYAMSUDDIN%20AGAMA,%20MIGRASI%20
DAN%20ORANG%20MADURA.pdf . diakses tanggal 13/09/2015 jam 17.17
WIB
Rifqi Roisul Amri. 2011. Representasi Identitas Madura Dalam Batik “Tar Poteh”
Tanjung Bumi. http://digilib.uinsby.ac.id/10981/4/bab%201.pdf . diakses
tanggal 13/09/2015 jam 17.24 WIB
Nurcahyo Tri Arianto. 2011. Kajian Etnografi,
http://web.unair.ac.id/admin/file/f_34835_kajianetnografi.pdf . diakses tanggal
13/09/2015 jam 17.32 WIB
Taufiqurrahman. 2007. Identitas Budaya Madura,
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad
=rja&uact=8&ved=0CGUQFjAHahUKEwilyIyJ_fPHAhUFA44KHQ-
hDGQ&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%3Far
ticle%3D251111%26val%3D6749%26title%3DIDENTITAS%2520BUDAYA
%2520MADURA&usg=AFQjCNHhRHsEJkpMLyDOToV1grYJdw9-
ag&sig2=2hG-pXcCPJVmvGnxN43rBA . diakses tanggal 13/09/2015 jam
19.10 WIB
Nunuk Giari Murwandani. 2007. Arsitektur-Interior Keraton Sumenep Sebagai Wujud
Komunikasi Dan Akulturasi Budaya Madura, Cina Dan Belanda,
http://digilib.uinsby.ac.id/11586/7/bab2.pdf
Ayu Indeswari dkk. 2013. Pola Ruang Bersama pada Permukiman Madura
Medalungan di Dusun Baran Randugading,
http://ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/download/127/134
17
Masjid Agung Sumnenep : Andi Prianto. 2014. http://nationalgeographic.co.id/foto-
lepas/2014/05/masjid-agung-sumenep
Batik Madura : Diananta P. Sumedi. 2015.
http://travel.tempo.co/read/news/2013/05/19/202481426/sisi-mistik-batik-
gentongan-madura
Carok : http://www.maduracorner.com/terkini/inilah-kronologi-carok-di-kadur-
pamekasan/