13
MAKALAH AGAMA ISLAM “BUDAYA WAKAF VS BUDAYA MENCURI” Disusun oleh : Saddam .S.M.F. (29) Sheryn .N.I. (30) Shofiya .N.S. (31) Yuda .C.A. (32) 1

BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BUDAYA WAKAF VS BUDAYA MENCURI

Citation preview

Page 1: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

MAKALAH AGAMA ISLAM“BUDAYA WAKAF VS BUDAYA

MENCURI”

Disusun oleh : Saddam .S.M.F. (29)

Sheryn .N.I. (30)

Shofiya .N.S. (31)

Yuda .C.A. (32)

TAHUN PELAJARAN 2015/2016

1

Page 2: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

BAB I

 PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah       Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.       Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah berikut :

“ ...dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan” Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa peerintah untuk melakukan al-khayrberarti perintah untuk melakukan silaturahmi, dan berakhlak yangbaik.     SementaraTaqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf. Penafsiran menurut al-Dimasqi tersebut relevan (munasabah) dengan firman Allah tentang wasiyat.

    “Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda) kematian dan jika kamu meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabat dengan acara yang ma’ruf; (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang takwa.”

Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr diartikan dengan harta benda. Oleh karena itu, perintah melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan manusia untuk mengerjakannya.

Rumusan masalah :

1. apa pengertian wakaf?2. Apa saja syarat wakaf?3. Contoh Budaya wakaf pada masa rasulullah?4. Contoh budaya mencuri di Indonesia?5. Cara menumbuhkkan perasaan memberi/wakaf.

Tujuan : 1. Mengetahui pengertian wakaf2. Mengetahui syarat syarat wakaf

2

Page 3: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

BUDAYA WAKAF VS BUDAYA MENCURI

A. BUDAYA WAKAFSecara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “waqf” yang berarti pada

dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Sebagai satu istilah dalam syariah Islam,

wakaf dapat diartkan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan

menyedekahkan manfaat. Jadi dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan

manfaat atau harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai

dengan ajaran agama Islam.

Yang harus kita penuhi sebelum memberikan wakaf, berikut ulasannya :

1. Orang yang berwakaf

Adapun orang yang mewakafkan hartanya harus memiliki beberapa syarat sebagai berikut

ini :

Memiliki kuasa penuh atas harta yang akan diwakafkan.

Berakal sehat

Baligh

Mampu bertindak secara hukum

2. Benda yang diwakafkan

Dan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh benda yang akan diwakafkan :

Barang yang diwakafkan adalah barang berharga.

Pasti diketahui kadarnya

Harta yag diwakafkan memiliki pemilik.

Harta itu harus harta sendiri yang tidak memakan harta milik orang lain.

3. Orang yang menerima wakaf

Ada beberapa kriteria atau syarat untuk orang yang akan menerima wakaf diantaranya adalah

muslim, orang yang berhak menerima wakaf, orang bodoh atau budak, dan untuk

kepentingan agama Islam.

3

Page 4: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

4. Ikrar wakaf

Sedangkan untuk ikrar wakaf harus diucapkan oleh orang yang ingin mewakafkan hartanya

dengan mengucapkan ikrar wakaf secara tegas, mengerti maksudya dan bisa didengar oleh

saksi.

5. Saksi

Dan saksi dalam wakaf pun memiliki syarat seperti sehat, muslim, berakal, baligh dan

mengerti mengenai hukum wakaf.

Berikut ini adalah contoh budaya wakaf pada masa Rasulullah SAW :

Utsman Bin Affan adalah seorang sahabat Nabi, yang hidup di zaman Nabi, tetapi rekening

atas nama utsman bin affan tersimpan di salah satu bank di Saudi Arabia? Bagaimana Bisa?

Apakah ada orang yang mengatasnamakan harta miliknya dengan Sahabat Nabi tersebut?

Ataukah itu hanya sekedar

nama belaka? Ternyata

tidak, Rekening tersebut

benar-benar atas nama

Utsman Bin Affan. Sejarah

Kerasulan, mencatat nama

Utsman Bin Affan sebagai

khalifah ketiga dari

khulafa’ur rasyidin. Ia

dikenal sebagai pedagang

yang kaya raya, seorang

pebisnis, tapi juga dikenal

sebagai seorang yang sangat dermawan. Beliau dilahirkan pada sekitar 574 Masehi, atau 3

tahun lebih muda dari Rasulullah. Dan meninggal pada usia 81 tahun, pada tahun 35

Hijriyah. 

Beliau mendapat julukan Dzun Nur’aini, karena telah menikahi dua putri rasulullah, di waktu

yang berbeda. Karena kepribadiannya yang jujur dan rendah hati. Beliau berasal dari Bani

Umayyah, yaitu Bani (keturunan) yang pada masa selanjutnya memerintah wilayah Islam di

Timur Tengah, dengan nama Dinasti Umayyah.

4

Page 5: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

Pada waktu sesudah Hijrah, Penduduk Kota di Madinah semakin bertambah, yakni penduduk

setempat ditambah ratusan orang dari Mekkah yang terpaksa berhijrah di sana, demi

mempertahankan aqidahnya. Pertambahan jumlah penduduk, di daerah padang pasir sangat

menentukan keseimbangan ekosistem, terutama dalam hal ketersediaan jumlah volume air

yang dibutuhkan oleh sejumlah populasi manusia untuk bertahan hidup. Waktu itu sumur

terbesar dan terbaik dimiliki oleh seorang Yahudi, yaitu sumur Ar raumah atau al bir’u ar

Raumah. Pemiliknya dikenal sangat pelit, ia hanya mau berbagi dengan orang lainnya, hanya

jika mereka membelinya. Keadaan ini jelas membuat para sahabat yang datang dari Mekkah

merasa kesulitan, karena mereka sebelumnya terbiasa minum dari Air Zam-zam selama di

Mekkah. Kaum Muslimin beserta penduduk Yatsrib, terpaksa membeli air bersih dari orang

Yahudi tersebut secara rutin.

Rasulullah merasa prihatin, dengan ketergantungan kaum muslimin atas sumur tersebut,

sehingga ia bersabda :

" Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat

membebaskan perigi itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat

surgaNya Allah Ta'ala" ( HR. Muslim) .

Utsman segera bertindak untuk membebaskan sumur Raumah tersebut dari si Yahudi.

Utsman menawarkannya dengan biaya sangat tinggi, tetapi si Yahudi tersebut menolak.

Karena menurutnya, jika sumur tersebut ia jual, maka penghasilan rutin yang ia terima

kesehariannya akan hilang. Utsman pun berfikir bahwa orang banyak mesti mendapat akses

terhadap sumur tersebut, di sisi lainnya, si Yahudi tidak kehilangan penghasilannya. Maka ia

memutuskan untuk menawarkan 1/2 dari total harga sumur yang ditawarkan yakni seharga

12.000 dirham, lalu sumur tersebut dipergunakan secara bergantian. Hari ini menjadi milik si

Yahudi, esok harinya berganti dimiliki oleh Utsman, besoknya kembali kepada si Yahudi,

begitu seterusnya.

Si Yahudi pun setuju dengan usulan Utsman bin Affan. Ketika giliran Utsman Bin Affan

memiliki sumur tersebut, Utsman segera mengumumkan kepada seluruh penduduk Madinah

untuk mengambil sumur yang ia beli setengahnya tersebut, sehingga mereka mendapat jatah

air secara Cuma-Cuma untuk mencukupi kebutuhan mereka selama dua hari ke depan, karena

keesokan harinya dirinya tidak mendapat jatah kepemilikan sumur. Keesokan harinya, si

Yahudi mendapati sumurnya sepi dengan pembeli, karena semua pembeli sudah memborong

keperluan air sumurnya selama dua hari. Lalu si Yahudi mendatangi Utsman bin Affan, untuk

menawarkan pembelian setengahnya lagi. Lalu Utsman menyanggupinya, dengan membayar

5

Page 6: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

uang 8.000 dirham, sehingga total keseluruhannya ia membeli sumur tersebut, dan menjadi

miliknya seutuhnya.

Utsman kemudian mewakafkan sumur tersebut, untuk dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk

oleh pemilik lamanya.  Ternyata, kekayaan sumur tersebut, tidak lah berhenti sampai di sini

saja. Tetapi berlanjut, bahkan hingga pada masa kini.

Masa-masa selanjutnya, sumur tersebut dirawat untuk kepentingan orang banyak. Dari

Sumur, kemudian berkembang di sektiarnya menjadi ladang kurma. Kemudian diatur, dari

zaman kekhalifahan khulafaur rasyidin, berlanjut ketika masa Dinasti Umayyah, kemudian

berkembang ketika masa Daulah Turki Utsmani, hingga penjagaan oleh Dinasti Su’udiyah

sekarang ini. Sumur tersebut kini menjadi kebun kurma, yang hasil pemeliharaannya dijual ke

pasaran. Hasil penjualannya disimpun ke kas beliau di bawah pengawasan Menteri Pertanian,

sebagiannya lagi disalurkan kepada anak-anak yatim dan terlantar di Saudi Arabia. Jumlah

tanaman kurma di lading hasil wakaf Utsman tersebut kini berjumlah 1.550 buah.

Hasil perputaran uang tersebut, dapat dipergunakan untuk mengembangkan uang lebih luas

lagi, dengan membeli lahan di kawasan Masjid Nabawi, yang diperuntukkan membangun

hotel, dengan nama Hotel “Utsman Bin Affan”, karena dibiayai oleh rekening yang

didapatkan dari Utsman Bin Affan. Hotel tersebut akan dikelola oleh sebuah perusahaan

ternama di bidang perhotelan, dengan income (pemasukan) darinya sebesar 50 juta Riyal atau

sekitar 16 Milyar per tahun. Hasil dari perputaran uang ini akan dibagikan kepada anak yatim

dan faqir miskin.  

Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan sebagai pembenaran ‘kejelekan’ atas maling itu lepas dari pengakuan sebagai sebuah tradisi. Alasan pertama, mungkin, karena istilah ‘maling’ itu secara bahasa/semantik mempunyai makna yang negatif, jelek, buruk, nista,ketika istilah itu dijadikan sebagai sebuah acuan atau penamaan. Kemudian alasan lain yang paling mengena dan mengemuka adalah alasan teologis-normatif bahwa maling itu bertentangan dengan ajaran agama, Islam khususnya merupakan agama mayoritas masyarakat Sasak, sehingga hingga kini sasak itu identik dengan Islam, dan Lombok itu adalah “Pulau Seribu Masjid”, dan sebagainya.

Akan tetapi, dalam perspektif yang berbeda, dan mungkin sedikit nyeleneh, dalam kerangka untuk melihat realitas Kesasakan kita secara lebih obyektif dan komprehensif, fakta dan fenomena tentang maling itu bersifat sangat jamak terjadi di masyarakat sasak. Lebih-lebih pada saat sehabis musim panen sekarang ini, peristiwa maling tiba-tiba menyeruak terjadi di mana-mana (di pulau Lombok. Berbicara soal tradisi, kata ‘tradisi’ sebenarnya merupakan turunan dari istilah ‘budaya’ (culture) dalam konteks ilmiah. Yakni, sebuah budaya yang sudah mewujud menjadi sebuah sikap, perilaku dan kegiatan, yang sebelumnya terdorong oleh pola pikir (a way of thinking) yang sejatinya sebagai inti dari istilah epistemologis terhadap soal budaya tersebut.

6

Page 7: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

Terkait dengan ini, maling tentu menjadi sebuah budaya; atau konkretnya sebagai sebuah perilaku (behavior) yang dalam kaca mata kebanyakan adalah sebuah perilaku yang menyimpang (deviant behavior) sehingga para pelakunya dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang sakit dan tidak religius – dalam pemahaman normal dan agamis. Dalam hal ini, kemudian, kita mencoba menempatkan budaya maling itu sebagai sebuah budaya yang jelek dan segera diatasi atau dihapus dari peredaran daratan Lombok khususnya.

Di samping itu, ternyata, maling dalam masyarakat Sasak sudah diakui sebagai sebuah local genius atau tradisi yang seperlunya dilembagakan dan dipertahankan. Yaitu, maling dalam konteks tradisi perkawinan orang sasak.Artinya, tradisi perkawinan dengan konteks maling ini adalah peristiwa di mana calon mempelai wanita dibawa kabur atau lari dari rumah orang tuanya oleh pihak mempelai laki-laki ‘tanpa ada pemberitahuan atau permintaan’ terlebih dahulu dari orang tua, calon mempelai wanita tersebut. Dengan wacana perkawinan semacam ini (dengan kata kuncinya: tanpa ada pemberitahuan atau permintaan atau tanpa), apakah kita menganggap ini bukan sebuah tradisi atau budaya Sasak juga dalam artian positif? Dengan kata lain, tidakkah tradisi maling seperti ini bukan sebuah budaya sasak yang dikategorikan tradisi ‘maling’?

Maling adalah sebuah istilah yang luas bagi kita, khususnya orang-orang sasak, apabila kita mau sedikit lebih ‘open-minded’ dan obyektif memandang sebuah persoalan. Tatkala kita mencoba membuka mata kita terhadap realitas sosio-kultural sasak, paling tidak kita akan lebih dewasa dan cermat melihat kedirian kita, kesasakan itu. Paling tidak, kita akan bisa memilah-milah, oh ternyata maling itu adalah istilah umum, yang bisa dikonkretkan di masyarakat sasak, terbagi menjadi dua macam, yaitu maling dalam istilah negatif dan maling dalam istilah positif.

Boleh jadi, dan besar kemungkinannya demikian, bahwa tatkala kita menelusurinya secara historis, perilaku maling itu muncul atau dimunculkan sebagai wujud ‘pemberontakan diam-diam’ (quiet rebel) terhadap penguasa yang otoriter pada era masyarakat sasak tempo dulu. Sehingga satu-satunya cara untuk dapat melangsungkan kehidupan kelompok masyarakat tertentu, setelah panenan yang dimonopoli oleh pihak penguasa, adalah dengan melakukan kegiatan maling tersebut. Apabila tidak, maka mereka akan mati kelaparaan atau paling tidak mereka akan terpaksa merendahkan harkat martabat kemanusiaannya, yaitu menjadi pengemis (pekir) dari kampung ke kampung; sebuah tradisi yang sangat bersifat aib atau memalukan bagi orang sasak kebanyakan. Sehingga bagi mereka, maling menjadi ‘pilihan terakhir’ (the last choice) dan tindakan yang lebih terhormat bahkan jantan bagi masyarakat yang tertindas dan terbaikan itu. Dengan pemahaman seperti ini, mungkin sedikit tidak kita bisa melihat ‘maling di masyarakat sasak’ itu lebih berwarna, tidak monolitik dengan landasan teologis normatif semata.

Nah, mengajarkan bersedekah atau berinfaq pada anak memang tak semudah yang dikira karena memang disinilah seninya mendidik manusia yang selalu berkembang kemampuannya dan dianugerahi inisiatif.

Namun demikian, sikap gemar bersedekah ini memang harus ditanamkan sedini mungkin dalam jiwa anak karena tindakan ini sangat dicintai oleh Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam wasiat Rasulullah saw:

“Tidaklah seorang hamba bersedekah dari harta yang baik yang dia miliki karena Allah SWT tidak menerima kecuali yang baik-baik, melainkan Ia akan menyambutnya langsung dengan

7

Page 8: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

tangan kanan-Nya. Jika sedekahnya itu berupa sebutir kurma, maka ia akan tumbuh subur di telapak tangan-nya sampai menjadi lebih besar dari gunung. Perumpamaannya adalah seperti jika sang hamba tersebutmemelihara anak sapi atau unta (yang tentu setiap waktu akan bertambah besar).” (HR.Tirmidzi)

Di samping itu, sedekah juga merupakan sarana untuk menyucikan diri, di antaranya terkandung dalam sabda Rasulullah, “Berusaha keraslah menghindari api neraka meski hanya dengan (menyedekahkan) sebutir kurma.” (HR.Bukhari)

Lalu bagaimana caranya supaya anak dapat menyukai amalan bersedekah dan terdorong selalu bersedekah? Berikut adalah beberapa dari banyak hal yang dapat dilakukan: Yang pertama, ajarkan sejak dini dengan cara yang disukai anak. Seperti menyediakan kotak infaq di rumah (apalagi bila disediakan dalam bentuk yang lucu) dan biarkan ia merasa tertantang memasukkan koin-koin uang logam dengan jari-jari kecilnya. Lalu perdengarkanlah bagaimana bunyi uang logam ketika menyentuh dasar kotak dan iramakanlah dengan mimik yang lucu, seperti “cluk-cluk-cluk!” Anak pun pasti akan merasa senang.

Kedua, tanamkanlah pada anak bahwa bersedekah adalah hal yang menyenangkan dan diperlukan. Seperti mengatakan kepada anak, “Waah, Bunda sedang nggak punya uang nih, Nak. Kasih uang sama pengemis dulu, yuk. Insya Allah si Ibu tua itu senang, sehingga kita pun ikut senang meski sedang tak punya uang.” Dengan demikian, anakpun akan belajar bahwa bersedekah akan mendatangkan kebahagiaan pada orang lain dan diri sendiri. Menanamkan bahwa ibadah adalah hal yang menyenangkan juga dapat dilakukan pada amalan yang lain seperti shalat, membaca al-Quran, berjilbab dan lain-lain.

Ketiga, sentuhlah hati anak yang lembut untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Seperti ketika ia tengah memakan kue sarapannya, ajaklah ia untuk bersyukur akan kelezatan rasa kue yang tengah disantapnya tersebut. Lalu, ajaklah ia untuk mengetahui bahwa ada anak lain yang tak dapat menyantap kue untuk sarapan dengan mengingatkannya pada anak-anak di pinggir jalan yang suka dilihatnya ketika bepergian. Kemudian, doronglah ia berinfaq mengumpulkan uang untuk anak jalanan dan kaum dhuafa lainnya.

Keempat, berikanlah informasi yang lengkap tentang apa saja yang dapat diinfaq-kan atau disedekahkan pada anak. Sehingga kepanikan yang dialami orang tua tak terjadi pada Anda!

8

Page 9: BUDAYA MENCURI VS BUDAYA WAKAF

PENUTUP

Kesimpulan :

Di Negara Kita, Indonesia. Perlu mewujudkan hal-hal positif, diantaranya adalah

menciptakan budaya-budaya wakaf. Selain itu juga harus menghilangkan budaya negatif

seperti budaya mencuri. Jika masyarakat Indonesia menerapkan budaya wakaf maka budaya

mencuri akan hilang dengan sendirinya. Itulah kesimpulan yang dapat kita ambil dari

makalah ini.

9