Upload
adiwiramediu
View
463
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUDAYA LOKAL SEBAGAI MODAL DALAM PENGEMBANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Nawari Ismail1
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat
dipilah ke dalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal
merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada
penguasa. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antar komunitas dalam
masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam
kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya.
Pada era reformasi konflik horizontal sangat menggejala di Indonesia. Kompas (20
Desember 2000) misalnya berdasarkan pooling yang dilakukan pada hampir 1500
responden mencatat bahwa ada 3 jenis konflik horizontal yang mencemaskan yaitu
konflik antar umat beragama mencapai 73%, antar suku mencapai 81%, dan konflik
antar wilayah sebesar 90%. Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat,
khususnya konflik antar umat beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan
berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah,
kesukuan, ekonomi, pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya
otonomi daerah.
Maraknya konflik antarumat beragama tersebut tidak dapat dilepaskan dari
konstribusi penguasa Orde Baru. Sebab melalui politik SARA-nya penguasa telah
menekan semua perbedaan yang berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antargolongan.
Semuanya dimasukkan dalam bingkai kesatuan, dan stabilitas politik dan keamanan demi
pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan seperti ini menjadikan konflik, baik laten
maupun manifes, harus ditekan dan celakanya tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Pendekatan tersebut dari luar nampak berhasil, di mana kerukunan hidup beragama
terlihat ‘ayem-tentrem’, namun di dalam mengandung potensi konflik besar. Kalaupun
ada penyelesaian, masyarakat dan kelompok yang berkonflik hanya dijadikan sebagai
1Alamat korespondensi: 0818 027 053 07
obyek bukan subyek penyelesai konflik. Level akar-rumput hanya menjadi penonton
dalam setiap pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan pokok untuk
mengetahui dan merumuskan model pengendalian dan penyelesaian konflik dengan
menjadikan budaya lokal sebagai modal dasarnya.
II. PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini berusaha menemukan dan menyusun model pengendalian dan
penyelesaian konflik antarumat beragama (KAUB) berbasis budaya lokal. Dari
penyusunan tersebut akan ditemukan juga prinsip kebijakan tentang pembinaan
kerukunan antarumat beragama dengan memperhatikan budaya lokal yang ada.
III. TINJAUAN PUSTAKA1. Model Pengendalian Potensi Konflik
Secara umum konsep model setidaknya bermakna dalam 2 hal yaitu model
dalam makna contoh sesuatu yang perlu ditiru, dan model dalam pengertian bentuk, pola
atau rancangan. Dari sudut pandang keilmuan model dapat diartikan sebagai tiruan
(representasi) dari kenyataan yang sebenarnya (realitas, gejala, dunia emperik). Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh Murdick & Rossi bahwa model adalah abstraksi dari
realitas, suatu penghampiran terhadap kenyataan. Karena itu suatu model tidak mampu
menggambarkan rincian dari kenyataan, namun hanya mampu memerikan dan
mengonstruksi bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dari sebuah gejala. Selain
itu Pelto & Peltoii menyatakan bahwa model terkait erat dengan teori. Teori merupakan
sebuah sistem dari berbagai konsep dan preposisi yang saling terkait, sedangkan model
menurutnya merupakan ‘sistem teori’ yang ditemukan dalam kenyataan.
Pengendalian potensi konflik berarti proses mengajak atau memaksa anggota
masyarakat supaya mematuhi kaidah-kaidah, nilai-nilai sosial, dan menjaga supaya
potensi konflik yang ada tidak menjadi kasus konflik, sehingga stabilitas dan integrasi
dalam masyarakat terus dapat dipertahankan. Dengan demikian pengendalian potensi
konflik memiliki dua tujuan yaitu (1) supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik,
dan (2) untuk menumbuhkan dan keberlangsungan integrasi dalam kehidupan
masyarakat. Kedua tujuan merupakan satu kesatuan.
Cara pengendalian potensi konflik supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik
bentuknya beragam tergantung kepada kesepakatan dan tradisi yang ada dalam
masyarakat. Misalnya Gatut Murniatmoiii dalam konteks interakasi etnik Cina-Arab-Jawa
menemukan bahwa pengendalian potensi konflik berupa pembauran etnik minoritas
(Cina dan Arab) ke dalam budaya etnik mayoritas (Jawa), yaitu orang Cina dan Arab
diharuskan membaur dengan masyarakat Jawa dan supaya aktif dalam lembaga
pembauran yang dibentuk oleh pemerintah Kota Surakarta secara top-down. Cara
pengendalian potensi konflik yang lain yaitu mengembangkan nilai-nilai yang disepakati
sebagai instrumen agar potensi konflik tidak tumbuh dan integrasi berkembang. Satu di
antara nilai-nilai yang perlu dikembangkan tersebut berupa tradisi yang berkembang
seperti tradisi gotong-royong, tolong-menolong, merealisasikan filosofi-lokal, dan
pemaknaan simbol-simbol lokal yang menjadi pemersatu umat beragama. Contohnya
dalam masyarakat Sunda ada ‘ugeran’ (pepatah) ‘akur jeng batur sakasur, batur
sadapur, batur sasumur, terus batur salembur’, Artinya, hidup rukun dengan suami-
isteri, dalam keluarga, tetangga, dam teman satu kampung atau masyarakat.iv Sementara
dalam masyarakat Jawa mengenal tradisi rewang, tetulung, juga ‘trah’ yang berfungsi
sebagai kelompok sosial pemersatu karena tanpa membedakan agama anggotanya.v
Sementara itu Isyantivi menemukan bahwa kelompok sosial ‘trah’ dan asosiasi
berdasarkan kesukuan dapat berfungsi sebagai pemersatu dari suku yang berbeda
agama, juga berfungsi sebagai pengendali sosial dari orang yang beda agama terutama
pada asosiasi kesukuan Sumatera (62,50%), dan Sulawesi (16,70%).
Selain itu perlu dikembangkan juga pemanfaatan aktor lokal sesuai dengan tradisi
yang ada untuk mengembangkan integrasi, misalnya dalam masyarakat Madura,
termasuk masyarakat yang banyak dipengaruhi budaya Madura, mengenal pepatah,
‘buppa’ babu’ guruh ratoh’ , maksudnya orang harus menghormati dan patuh secara
berurutan kepada ‘bapak-ibu, guru-kyai, dan pemerintah’. Salamun dkkvii menemukan
bahwa masyarakat Sarang Meduro Rembang dalam mengendalikan konflik yang berasal
dari ‘bank tithil’ menjadikan pejabat pemerintah dan kyai sebagai aktor lokal yang
berfungsi sebagai pengendali, mereka berperan melakukan sosialisasi tentang kelemahan
dari bank tersebut.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk pengendalian konflik ini adalah
menumbuhkembangkan konsensus nilai-nilai sosial yang bersifat fundamental,
memanfaatkan banyaknya masyarakat yang menjadi anggota dalam berbagai unit sosial
sekaligus (cross-cutting affiliation) sehingga potensi konflik dapat dikendalikan dan
diredam karena adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities), dan adanya
interdependensi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.viii Dari temuan Geertzix dan
Saifuddin,x dalam koteks hubungan internumat beragama, juga dapat ditarik ke dalam
konteks cara pengendalian potensi konflik agar integrasi terus berkembang, yaitu:
mengembangkan adanya rasa satu kebudayaan nasional, kesadaran akan adanya kesatuan
budaya tradisional. Sementara Geertzxi menemukan bahwa varian abangan sangat
memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat moderen yaitu adanya toleransi yang tinggi
terhadap umat agama lain. Hal yang sama terjadi dalam kasus perkawinan beda agama,
pranata perkawinan telah menjadi intitusi mediasi integrasi antarumat beragama. Hal ini
karena adanya pandangan keagamaan yang bersifat sinkritik dari masyarakat Jawa,
nilai-nilai abangan, dan pandangan yang bernuansa sekularistik yaitu memposisikan
agama sebagai hal yang bersifat pribadi.xii Karena itu untuk pengendalian potensi
konflik, termasuk penyelesaian konflik, dapat juga dikembangkan nilai-nilai toleransi
dalam kehidupan antarumat beragama.
2. Model Penyelesaian Konflik
Dalam sebuah model penyelesaian konflik terdapat beberapa komponen yang
harus diperhatikan yaitu pendekatan, penggunaan instrumen atau sarana tertentu, dan
memperhatikan dan memanfaatkan unsur-unsur budaya lokal yang ada di suatu
masyarakat.
Pendekatan dalam upaya penyelesaian konflik, termasuk konflik antarumat
beragama, beragam yaitu (a) integrasi atau kolaborasi, (b) kompromi, (c) dominasi atau
kompetisi, (d) akomodasi (obliging), (e) menghindar (avoiding).xiii Integrasi atau
kolaborasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan secara bersama-sama
di antara pihak yang berkonflik dengan pendekatan menang-menang (win-win
approach). Kepentingan kedua belah pihak diperhatikan, ketidaksesuaian dibahas secara
dirinci. Model ini sangat berguna ketika kepentingan kedua belah pihak sama-sama
penting yang sulit dikompromikan. Adapun dalam kompromi pihak-pihak yang
berkonflik bersepakat untuk berbagi sumber yang terbatas, kedua belah pihak setuju
damai, namun persetujuan itu bukan pilihan pertama tiap pihak. Dalam bentuk kompetisi
pendekatannya bersifat menang-kalah, pihak yang kuat akan menang dan mendominasi
situasi konflik. Model ini berguna terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya yang
tersedia, juga ketika masa kritis yang menghendaki keputusan cepat harus diambil.
Dalam bentuk akomodasi satu pihak berlapang dada menampung kebutuhan pihak lain
dan mengorbankan kepentingannya sendiri, sedangkan bentuk menghindari (avoiding)
berarti salah satu dan atau kedua belah pihak menghindar dari topik atau situasi konflik.
Selain itu ada cara-cara lain seperti dikemukakan oleh Maarifxiv yaitu negosiasi,
fasilitasi, mediasi, rekonsialisasi, arbitrase, ligitasi, dan represif. Negosiasi merupakan
penyelesaian konflik melalui kesepakatan kepentingan antarpihak yang terlibat konflik.
Bentuk pendekatan ini cenderung hanya mengakomodasi kepentingan, dan karenanya
cenderung tidak menyelesaikan akar masalah dan karenanya tidak bertahan lama. Dalam
pendekatan fasilitasi melibatkan pihak ketiga yang dianggap netral. Fasilitator berfungsi
mengakomodasi akar masalah, sehingga kedua belah pihak menemukan alternative
pemecahan masalah, pemecahan itu berasal dari, oleh dan untuk pihak yang berkonflik.
Adapun dalam bentuk mediasi, mediator yang berasal dari pihak ketiga dan netral
berusaha melakukan lobi-lobi terhadap pihak yang terlibat secara terpisah untuk mencari
mencari jalan keluar yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Jika dalam
proses mediasi pihak-pihak yang berkonflik sepakat bertemu untuk membahas secara
langsung di antara mereka mengenai keluhan, keinginan dan kepentingan masing-masing
serta telah menghasilkan beberapa kesepakatan, maka dapat ditindaklanjuti dengan
rekonsialiasi. Apabila dalam penyelesaian konflik dilakukan melalui pendekatan
kekuasaan/ pemerintah, maka disebut arbitrase, dalam hal ini pemerintah melakukan
tindakan tegas terhadap pihak yang berkonflik dengan mengabaikan aspirasinya. Jika
pemerintah melakukan pendekatan pemaksaan melalui militer disebut represi. Sementara
ligitasi dilakukan dengan cara penegakan peraturan perundangan dengan dasar untuk
ketertiban dan keamanan masyarakat, dan tanpa memperdulikan kepentingan dan
aspirasi pihak berkonflik.
Contoh Model Aktual: Berbagai contoh model penyelesaian konflik sudah banyak
dilakukan dalam berbagai konflik seperti di Afrika Selatan, Poso dan Maluku yang
berbasis budaya lokal. Model penyelesaian konflik melalui rekonsiliasi di Poso dan
Maluku misalnya menggunakan sembilan komponen penting, 6 komponen diambil dari
pengalaman di Afrika Selatan dan 3 komponen dari Gerakan Baku Bae Maluku.
Kesembilan komponen tersebut yaituxv: adanya visi yang kuat untuk masa depan;
membangun sistem hukum reskonsialisasi; partisipasi kelompok masyarakat sipil;
pemanfaatan atribut dan nilai lokal; aktor lokal; media kampanye; berfokus kepada
korban; workshop kritis yang berupaya mengkaji akar masalah dan kesepakatan bersama
dan melibatkan semua pihak yang berkonflik baik dari kalangan pemuda, wanita, tokoh
agama, masyarakat dan adat; dan penggunaan fasilitator yang sekaligus berperan sebagai
mediator, dan negoisator.
Dalam proses pemanfaatan budaya lokal ketika penyelesaian konflik di Maluku dan
Ambon tersebut setidaknya ada lima hal yang dilakukan yaituxvi: memberdayakan aktor
lokal yang memegang teguh budaya lokal; melakukan gotong-royong secara adat dalam
memperbaiki tempat ibadah dan tempat lainnya yang rusak dan kemudian diresmikan
secara adat; silaturrahmi antarkomunitas yang dipimpin tokoh agama masing-masing;
mengembangkan nilai-nilai budaya lokal, pela gandung; dan disertai dengan tindakan
hukum secara tegas dan adil.
Terlepas dari contoh model tersebut, apapun model penyelesaian konflik yang akan
dilakukan, terutama dalam penyusunan model, maka dua hal penting yang harus
dilakukan yaitu: mencermati teori-teori konflik universal, namun juga yang lebih
penting adalah menggunakan paradigma nasional dan tentu komunitas dan budaya lokal
tempat konflik berada.
3. Budaya Lokal
Makna dan Komponen: Kata budaya lokal atau kebudayaan lokal sering
mengandung banyak tafsir, seiring dengan ratusan batasan yang tidak disepakati oleh
antropolog sendiri. Karena itu perlu penjelasan dalam konteks penelitian ini. Mengikuti
C. Kluckhohn dan A.L Kroeber yang dimaksud kebudayaan adalah seperangkat pola
perilaku dan bertingkah laku secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan
diturunkan melalui simbol, yang membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia,
termasuk manifestasinya dalam benda-benda materi.xvii Berdasarkan pengertian
tersebut maka Koentjarangingratxviii mengemukakan tiga rangkai kesatuan dari
kebudayaan yaitu perangkat ide atau nilai-nilai, perangkat aktivitas atau perilaku, dan
hasil aktivitas.
Perangkat Nilai : Tiga rangkai kebudayaan tersebut jika dikaitkan dengan
kebudayaan lokal berarti setiap ide (nilai-nilai, norma-norma, gagasan), aktivitas, dan
hasil aktivitas dari kelompok manusia di suatu tempat atau daerah. Perangkat nilai-nilai
atau sistem nilai dari suatu kelompok masyarakat lokal tidak dapat diketahui karena ia
berada dan berupa peta kognitif pendukung kebudayaan. Ia hanya dapat diketahui dalam
wujud pepatah atau ugeran, atau kalau sudah mewujud dalam aktivitas manusia atau
hasil dari aktivitas dalam bentuk benda-benda budaya. Nilai-nilai lokal ini, yang sering
disebut dengan kearifan lokal, terdapat di setiap suku yang ada di Indonesia, khususnya
yang berkaitan dengan hidup rukun antarmanusia. Misalnya di Maluku ada ‘pela
gandong’ sebagai nilai lokal yang mengajarkan agar masyarakat hidup berdampingan
dan bertoleransi antaragama dan suku. Dalam kaitannya ini nilai-nilai budaya lokal tidak
hanya berarti berorientasi kepada nilai-nilai warisan nenek moyang masa lalu yang
cenderung dianggap ‘kuno’, tapi juga dapat berupa nilai-nilai yang sedang tumbuh di
tengah kehidupan masyarakat saat ini. Yang terpenting nilai-nilai itu dijadikan rujukan
dan kesepakatan bersama dari anggota masyarakat setempat.
Perangkat Aktivitas-Kelembagaan-Upacara : Adapun perangkat aktivitas
manusia muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Proses pemenuhan
kebutuhan tersebut kemudian melahirkan berbagai pranata. Di antaranya pranata
keluarga dan kekerabatan, kebutuhan berkelompok ini juga melahirkan organisasi dalam
kehidupan masyarakat. Kelompok dapat berupa satuan manusia akibat terjadinya
perkawinan yang disebut juga dengan orgnisasi primer seperti keluarga dan
kekerabatan. Selain itu ada kelompok yang merupakan organisasi dibuat atau biasa
disebut dengan organisasi sekunder atau formal seperti RT/RW, organisasi desa, atau
dusun. Di antara kedua bentuk kelompok tersebut ada kelompok yang didasarkan atas
kekerabatan tapi dibuat secara resmi seperti trah.
Dalam setiap kelompok atau organisasi, baik primer maupun sekunder,
melahirkan sistem kepemimpinan. Setiap organisasi ada orang yang dijadikan panutan
dan anggota. Di setiap budaya hal ini berbeda-beda.
Selain itu, upaya pemenuhan kebutuhan spiritual-emosional, baik dalam
hubungannya dengan sesuatu yang dianggap transenden atau bukan, melahirkan berbagai
ritus dan upacara. Dari segi kepentingannya upacara dapat dibagi ke dalam 2 tipe yaitu
upacara yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kepentingan kelompok atau umum,
misalnya untuk menjaga kelompok dari bencana, upacara yang berkaitan dengan
kesuburan tanah dan panen. Tipe upacara yang lain yaitu upacara yang berkaitan dengan
siklus kehidupan manusia atau disebut dengan upacara lingkaran hidup seperti
kehamilan, kelahiran, pubertas, perkawinan, dan kematian. Di antara upacara tersebut
dalam suatu budaya dapat menjadi pemersatu antarkelompok seperti slametan,
sambatan, sinoman, tahlilan, dibaan, dan bersih desa.
Fungsi Budaya Lokal: Setiap budaya lokal mempunyai fungsi. Setidaknya ada
4 fungsixix yaitu: (a) sebagai wadah cross-cutting , (b) seagai acuan moral bersama, (c),
sebagai kontrol sosial, dan (d) sebagai garansi dan asuransi sosial. Pertama, fungsi
sebagai wadah titik temu anggota masyarakat dari berbagai latar belakang seperti status
sosial, suku, dan agama, ideologi, dan politik. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai
upacara seperti slametan yang terus berkembang di tengah deru modernisasi. Kedua,
budaya lokal seperti lembaga adat, tradisi dapat juga berfungsi sebagai norma-norma
sosial yang memiliki pengaruh signifikan dalam mengatur sikap dan perilaku
masyarakat. Ketiga, budaya ini juga memiliki fungsi sebagai pengontrol sosial dari setiap
anggota masyarakat . Misalnya tradisi bersih desa bukan sekedar sebagai kegiatan yang
bersifat gotong royong dan lingkungan tetapi juga memiliki makna bersih dosa setiap
anggota masyarakat. Keempat, budaya dapat berfungsi sebagai penjamin anggota
pendukung budaya, sinoman dan sambatan misalnya memiliki nilai sosial-ekonomis
bagi anggotanya.
IV. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melakukan pengendalian dan
penyelesaian konflik yang bersifat botton-up dengan memanfaatkan budaya lokal yang
ada dalam masyarakat. Hal ini seiring dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya
kesadaran terhadap makna pentingnya keragaman dan budaya lokal dalam bingkai
kesatuan budaya nasional. Dengan demikian hasil penelitian ini bermanfaat dalam
pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam mengembangkan kerukunan antarumat
beragama ke depan seperti dalam penyusunan sistem perundangan yang terkait dengan
kerukunan beragama di Indonesia. Secara teoritik hasil penelitian bermanfaat untuk
melengkapi literatur di bidang sosial-budaya agama dan sebagai usaha mengembangkan
penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak.
V. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus.
Lokasinya meliputi Kulonprogo, Solo, Mataram, Pasuruan, dan Tasikmalaya. Informan
diambil secara purposive atau seleksi yang didasarkan atas kriteria, meliputi: pejabat
Depag, Kesbang, pejabat/tokoh yang memahami kebudayaan lokal, pimpinan forum
umat beragama Islam dan Kristiani, dan atau tokoh lokal dan ormas keagamaan.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, dan focus group discussion
(FGD). Data diklasifikasi berdasar tema bahasan, kemudian dianalisis secara deskripsi-
tebal (thick-description)
VI. HASIL PENELITIAN
A. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal
Kelayakan komponen budaya lokal untuk difungsikan sebagai instrumen
pengendalian dan penyelesaian konflik didasarkan pada evaluasi dan seleksi
terhadapnya. Langkah pertama adalah mengidentifikasi status tiap komponen, dan kedua
menetapkan fungsinya, dan terakhir memilih mekanisme pelaksanaannya. Dari aspek
statusnya, ada 3 kemungkinan yaitu: potensial, aktual, dan impotensial. Komponen
budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan
sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-
tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan
atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, serta pelaksanaannya
dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap impotensial atau tidak potensial
jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen
pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh
masyarakat sebagai pengendali dan penyelesai konflik antarumat beragama.
Dilihat dari fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah
ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan
damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen
budaya terdapat perbedaan status dan fungsi masing-masing pada tiap daerah. Di tiap
daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen
pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan jenis statusnya berbeda, ada
yang potensial, impotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang terlacak
dapat difungsikan sebagai instrumen, namun hanya ada satu atau lebih dalam sebuah
komponen budaya yang sudah aktual atau impotensial karena beberapa alasan.. Misalnya
budaya yang dianggap tidak potensial meliputi: alon-alon waton klakon (terdapat di
Kulonprogo dan Solo), kasunanan (Solo), sesajen (Pasuruan), pondok pesantren,
pangusung-keliang-banjar dan semua upacara adat seperti pujowali, ngentunin, bau-
nyele, dan sadran (Mataram). Sementara budaya yang sudah aktual berlaku di
masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama meliputi
gotong royong yang menjadi wadah interaksi, kyai dan pamong serta baritan (di
Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), gotong royong juga sudah dijalankan di Solo.
Jika dilihat dari sumber kebudayaan diketahui kebudayaan yang lebih dominan
berfungsi pada setiap komponen, apakah berdasarkan kepada suku, agama atau
perpaduan di antara keduanya. Peninjauan terhadap sumber kebudayaan ini menunjukkan
ada kesamaan dan sekaligus perbedaan pada setiap daerah. Sebagaimana terlihat dalam
tabel di bawah pada tiap daerah menunjukkan bahwa sumber dari komponen budaya
lokal yang ada didasarkan atas kebudayaan mayoritas, baik agama mayoritas (Islam)
maupun suku mayoritas atau paduan antara keduanya (agama dan suku mayoritas),
meskipun ada juga yang bersumber dari suku mayoritas-agama-agama global, baik
mayoritas maupun minoritas seperti dalam upacara lingkaran hidup.
Perbedaan dan persamaan di tiap daerah ini nampak juga dalam mekanisme yang
harus dilaksanakan dalam pemeranan komponen budaya tersebut dalam pengendalian
konflik, ada daerah yang memilih menerapkan mekanisme integrasi (Kulonprogo dan
Solo), juga ada yang memilih untuk menerapkan mekanisme integrasi dan mandiri
(Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen
budaya lokal saja yang dijadikan instrumen dalam pengendalian konflik. Adapun
mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke
dalam proses pengendalian konflik
Adapun rincian dari perbandingan mengenai status, fungsi, sumber kebudayaan pada
setiap komponen budaya, dan mekanismenya di tiap daerah dapat dilihat dalam tabel 1-
5:
Tabel 1: Model Pengendalian Konflik: Kulonprogo
Komponen BudayaPotensial Aktual Impotensial Sumber
Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter
Nilai-nilai:1. Tayub2. Leliru saka liyan3. Teposeliro4. Sambatan dan gotong royong5. alon-alon asal klakon
++++-
+ +
Suku mayoritas
Integratif
Kelompok sosial1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong
++
++
+
Suku mayoritas
Aktor lokal:1. Priyayi2. Kyai3. Pamong
+++
Suku mayoritasAgama mayosritas
Upacara Adat:1. Baritan (UA Tipe 3)2. Jamasan pusaka (Tipe 3)3. Bersih desa (Tipe 3)4. Saparan (Tipe 2)5. Nyekar (Tipe 2)6. Sadranan (Tipe 2)Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
++++++
+++
+
+Suku mayoritas
Suku mayoritas–agama global
Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.= (Wadah) Interakasi PB=Pedoman Bersama• = menunjuk pada adanya subkomponen budaya pada kolom tertentu.•
Tabel 2: Model Pengendalian Konflik: Pasuruan Komponen Budaya
Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme
PB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos InterNilai-nilai:1.Mbiodo2. Bowo3. Gotong royong
+++
Pendhalungan
Mandiri
Kelompok sosial1. Trah 2. Pesantren3. Komunitas Madura4. Gotong royong
+++
+
Agama dan suku mayoritas (pendahlungan)
dan Integratif
Aktor lokal:1. Kyai 2. Tokoh Madura
++
Agama dan suku mayoritas (pendhalungan)
Upacara Adat:Sesajen
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian +
+ + Agama-suku mayoritas
Agama-suku mayoritas
Tabel 3: Model Pengendalian Konflik: Tasikmalaya
Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber
Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter
Nilai-nilai: Batur Sasumur-Salembur
+ Suku mayoritasMandiri
Kelompok sosial1. Majelis taklim2. Pondok pesantren3. MUI kecam/desa
+++
Agama mayoritas dan
Integratif
Aktor lokal: Ajengan + Agama mayoritas
Upacara Adat:1. Bersih desa2. Sadran3. Hajat laut
Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
++
+
+
+
+
Suku mayoritasAgma mayoritasSuku mayoritas
Suku-agama mayoritas
Tabel 4: Model Pengendalian Konflik: Mataram
Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber
Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter
Nilai-nilai:1. Ngejot2. Blangan3. Bebagar4. Dimana Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang
++++
Suku mayoritas
Mandiri
Kelompok sosial1. Pengusung-keliang-banjar
2. Org.agama:Nahdatul Wathan3. Pondok pesantren
+ adatasi fungsi
++ +
Suku mayoritas
Agama mayoritas
dan Integratif
Aktor lokal:1. Tuan guru2. Lalu3. Pengusung-keliang-banjar
++
+
+ +
Agama dan suku
mayoritas
Upacara Adat:1. Pujawali2. Ngentunin3. Bau Nyele4. SadranUpacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian
+
++++
++++
Suku-agama
Tabel 5: Model Pengendalian Konflik: Solo
Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber
Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter
Nilai-nilai:1.Tepaselira2. Sambatan3. Gotong royong4. Alon-alon waton klakon
+++- +
Suku mayoritas
Kelompok sosial1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW4. Gotong royong
+++-
+++- - +
Suku mayoritasNasionalNasional
Suku mayoritas
Integratif
Aktor lokal:1. Tokoh Parpol2. Kyai3. Kasunanan
++- +
NasionalAgmamayoritas
Upacara Adat:1. Dilaksanakan kraton/Pemkot1. Dilaksanakan
masyarakat
Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+
+
+
-
+
Suku mayoritas
Suku ayoritas-agama global
Suku mayoritas–agama global
B. Model Penyelesaian Konflik Berbasi Budaya Lokal
Dalam penyusunan model penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3
aspek yaitu: (a) memperhatikan karakter konflik, (b) pengalaman penyelesaian konflik
masa lalu sebagai dasar, (c) pemanfaatan budaya lokal. Ketiga aspek tersebut sama-
sama dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelesaian konflik, meskipun dengan
tingkatan yang berbeda-beda.
Pertama, aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan budaya lokal dalam
proses penyelesaian konflik yang terkait dengan karakteristik konflik meliputi: paham
agama dari subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang
berkonflik. Paham agama subyek berkonflik (sangat) dijadikan dipertimbangkan
karena terkait dengan pandangan mereka terhadap nilai-nilai dan upacara adat yang ada
di suatu daerah. Misalnya di Mataram, hampir semua upacara adat dianggap tidak sesuai
dengan pandangan keagamaan dari subyek dan aktor-aktor yang terlibat konflik
terutama dari kalangan muslim. Begitu juga posisi mayoritas sangat menentukan
komponen budaya lokal mana saja yang dapat dijadikan sebagai insterumen, baik dalam
penyelesaian maupunpengendalian konflik. Misalnya ajengan, tuan guru, dan kyai
dipilih sebagai aktor lokal yang berasal dari kelompok agama mayoritas (Islam) yang
dianggap representatif. Juga dipertimbangkan kebudayaan dari suku mayoritas dari
kelompok/subyek yang berkonflik atau lokasi di mana kelompok-kelompok agama
yang berkonflik berada.
Unsur-unsur dari karakterisitk konflik yang lain tidak begitu menjadi pertimbangan
misalnya, jenis konflik, penyebab dan sumber konflik. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa tiap unsur yang ada dalam komponen-komponen budaya lokal yang diseleksi
dapat diterapkan untuk semua jenis, penyebab dan sumber konflik antarumat beragama
di suatu daerah.
Kedua, aspek lain yang dijadikan pertimbangan dalam upaya penyusunan model
penyelesaian konflik ialah upaya penyelesaian yang pernah dilakukan di suatu daerah.
Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah dilakukan, maka
hal itu menjadi penting untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Misalnya gotong royong
(di Solo dan Kulonprogo) selama ini pernah dijadikan sebagai instrumen untuk
mengembangkan budaya damai, meskipun di kedua daerah ini gotong royong
diterapkan bukan dalam konteks penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi
focus penelitian ini. Demikian juga kyai dan pamong (di Kulonprogo), ajengan
(Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram) yang sudah dilibatkan dalam penyelesaian
konflik antarumat beragama, tapi masih terbatas karena mereka masih menjadi unsur
sekunder sedangkan unsur primernya masih ada di tangan pemerintah. Mereka juga
masih dijadikan sebagai pihak penyelesaian konflik dengan pendekatan secara tidak
langsung.
Ketiga, sementara faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan
model penyelesaian konflik antarumat beragama lainnya tentu yang terkait dengan
karaktersitik budaya lokal di tiap daerah. Faktor ini justru menjadi intinya, gambaran
perbandingan tiap daerah secara lebih sederhana dapat dilihat dalam tabel tentang model
penyelesaian konflik.
Di semua daerah ada keinginan untuk menerapkan pendekatan langsung (proses
dialog, negosiasi, atau rekonsialisasi kalau perlu) dalam penyelesaian konflik antarumat
beragama (KAUB). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa selama ini, kecuali di
Kulonprogo, pendekatan ini belum pernah dilakukan, dan selama ini hanya dilakukan
pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi), dan pemerintah secara top-down yang
banyak berperan. Hal ini akibat dari kontrol yang terlalu kuat dari pemerintah era
sebelumnya dalam setiap penyelesaian konflik SARA, sedangkan aktor-aktor lokal
hanya dijadikan obyek. Keinginan ini harus dijadikan modal utama dalam setiap
penyelesaian KAUB di setiap daerah, sebab ini menunjukkan tekad yang kuat dari
masyarakat untuk menyelesaikan konfliknya sesuai dengan modal sosial-budaya yang
dimilikinya.
Seiring dengan adanya keinginan untuk menerapkan pendekatan langsung, selain
tidak langsung, di semua daerah juga berupaya untuk (lebih) menguatkan peran aktor
lokal sesuai dengan sumber kebudayaan masing-masing daerah. Hal yang sama
terdapat dalam unsur nilai-nilai lokal, dan kelompok sosial. Upaya penguatan peran
aktor lokal tersebut misalnya di Kulonprogo berupaya menjadikan sesepuh trah dan
priyayi, sedangkan di Pasuruan ada kyai dan tokoh komunitas Madura, di Tasikmalaya
ada ajengan dalam berbagai level, sementara di Mataram ada tuan guru dan lalu, serta
(kemungkinan) tokoh dari lembaga tradisional /pemangku (Mataram); Di Solo ada tokoh
parpol Islam/berbasis massa Islam, tokoh Islam konsisten, dan tokoh trah heterogen.
Memang ada nuansa perbedaan kemungkinan pemeranan masing-masing aktor lokal di
setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan tanpa persyaratan, namun ada juga yang
perlu prasyarat tertentu. Misalnya, di Kyai di Pasuruan dalam kasus konflik yang
melibatkan kyai sendiri, maka kyai dapat menjadi aktor penyelesai konflik (secara
langsung maupun tidak langsung) tapi dengan syarat harus memperhatikan tingkat
kepemimpinan sang kyai, kedekatan secara emosional dengan kyai yang terlibat konflik.
Hal yang sama terdapat dalam pemeranan ajengan, dan tuan guru, tokoh Islam konsisten.
Selain itu ada alternatif lain dalam pemeranan aktor lokal tersebut. Misalnya dalam
kasus tokoh (sesepuh dan atau pimpinan) trah heterogen (Solo dan Kulonprogo). Jika
mereka mau diperankan maka ada 2 kemungkinan modelnya yaitu: jika ada anggota
trah yang berbeda agama terlibat KAUB, maka tokoh trah dapat menjadi fasilitator yang
dapat dimulai dari internal trah, untuk kemudian diperluas di luar trah; atau
kemungkinan kedua yaitu tokoh trah mendorong anggota trah yang berbeda agama yang
berposisi cross cutting affiliation di kelompok sosial, parpol, dan lainnya, untuk aktif
menjadi peredam, fasilitator atau, mediator dalam KAUB.
Sementara dalam penguatan kelompok sosial juga terdapat di semua daerah, hanya
saja berbeda wadahnya, hal ini tentu sesuai dengan dominasi sumber kebudayaan yang
berkembang di setiap daerah. Misalnya di Kulonprogo dan Solo ada trah heterogen, trah
homogen, dan komunitas Madura (Pasuruan). Sementara di Solo dan Mataram ada
upaya mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik
yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri. Khusus di
Mataram dimungkinkan pemeranan atau revitalisasi lembaga tradisional yang pernah
ada seperti pemangku (mangku), hal ini sejalan dengan tekad untuk memerankan awig-
awig dalam proses konflik SARA khususnya KAUB. Adapun peran kelompok sosial
tersebut dalam penyelesaian KAUB di setiap daerah terutama berfungsi pada
pascakonflik yaitu sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil (kesepakatan) atau solusi
KAUB yang dilakukan aktor-aktor dari kelompok yang berkonflik.
Nilai-nilai lokal, sesuai dengan khas kebudayaan masing-masing daerah, dapat
diperankan dalam penyelesaian KAUB. Ia dijadikan sebagai pedoman bersama ketika
dalam proses penyelesaian, dan menjadi pengukuh hasil kesepakatan pasca konflik.
Hanya kelihatannya di tiap daerah berbeda keluasan pemeranan nilai-nilai lokal ini. Di
Mataram dapat diperankan ketika tahap proses konflik maupun pascakonflik, sedangkan
di daerah yang lain hanya diperankan pada pascakonflik.
Dari segi mekanisme pelaksanaan atau pemeranan budaya lokal dalam model
penyelesaian konflik agak berbeda. Ada daerah yang memilih model mandiri/otonom
dan integratif sekaligus seperti Kulonptogo dan Solo, sedangkan di daerah lainnya
(Tasikmalaya, Mataram dan Pasuruan) memilih model integratif. Sebenarnya mekanisme
penerapan budaya lokal ini tidak menjadi masalah pokok, apakah menggunakan kedua
model atau hanya satu model saja, sebab yang terpenting adalah disesuaikan dengan
kesepakatan yang diambil oleh aktor-aktor ketika dalam proses penyelesaian konflik.
Tabel 6: Model Penyelesaian Konflik
Daerah Karakter Konflik Upya Penyl
KonflikPemfungsian Budaya Lokal
Kulonpr
ogo
Jenis: konflik ide dan gerakan massa, Tak ada konflik sebelumnya.
Subyek: elit- massa Islam dan elit Kristen
Penyebab/ pemicu: kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Sumber: salah paham antarbudaya (prasangka negatif), misiologi di sekolah, penggunaan simbol agama tertentu oleh umat agama lain.
Cara StrukturalPendekatan langsung
1. Sesepuh trah dan priyayi dijadikan sebagai aktor PK pendekatan langsung (dialog), maupun tidak langsung (mediator/fasilitator). Trah yang ada dilibatkan
2. Nilai difungsikan perkokoh /jadi pedoman hasil kesepatakan pasca konflik
3. Upacara adat dan ULH dijadikan sebagai wadah sosialiasasi hasil PK
4. Mekanisme: mandiri/otonom dan integral.
Pasurua
n
Jenis: amuk massa (sosial) dan kekerasan dari kelompok mayoritas
Subyek: massa Islam.
Penyebab/pemicu: imbas konflik elite politik di tingkat nasional.
Sumber: salah paham antarbudaya/ prasangka negative kelompok mayoritas, misiologi agama minoritas, sisa konflik, karakter keras dari masyarakat pendalungan.
Cara structural-kekuasaandengan pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi dari pemerintah
1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).
2. Kyai dan tokoh komunitas Madura jadi subyek penyelesai konflik antarumat beragama (KAUB), melalui pendekatan langsung atau tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan antartokoh agama. Untuk itu harus dipertimbangkan: (a) tingkat keberpengaruhan kyai yaitu disesuaikan dengan tingkatan konflik dan sosok massanya, (b) kedekatan secara emosional kyai dengan sosok massa berkonflik. (c) butuh kegiatan prakonsepsi
3. Kelompok sosial lokal (trah homogen, komunitas Madura, pesantren, dan kelompok Kristiani, secara terbatas dapat diperankan pascakonflik. Fungsinya: sebagai media/wadah sosialisasi, Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri.
4. Nilai-nilai lokal dapat memperkokoh dalam sosialisasi hasil kesepakatan.
5. Mekanisme: integratifTasikma
laya
Jenis: kekerasan fisik bangunan. Terkait dengan sejarah konflik sebelumnya.
Subyek: elit agama Islam (ajengan) dan Kristen.
cara-cara structural-kekuasaandengan pendekatan tidak langsung
1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).
2. Ajengan menjadi subyek penyelesai KAUB, pendekatan langsung/tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan ajengan dan elit agama lain.
3. Tapi jika ajengan yang terlibat konflik dengan
Sumber: pembangunan tempat ibadah minoritas, dan agresifitas penyiaran agama minoritas, Islam konsisten, penerapan syariat Islam, dan sisa-sisa konflik sebelumnya.
(mediasi dan fasilitasi dari pemerintah
elit/umat agama lain, ajengan masih dapat jadi penyelesai konflik, langsung/tidak langsung, tapi gunakan pola lain yaitu (1) memanfaatkan ajengan yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang levelnya lebih tinggi atau ajengan lain yang selevel, dan (2) ajengan tsb punya kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan ajengan yang berkonflik.
4. Upacara adat diperankan pascakonflik. Fungsi: sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Nilai-nilai lokal seperti batur salembur dan nilai-nilai kerukunan sebagai pedoman bersama untuk memperkuat hasil kesepakatan
5. Mekanisme penerapan: integratif Mataram
Jenis: kekerasan fisik bangunan Tidak ada sejarah konflik sebelumnya
Subyek: massa Islam dan elit/massa Kristiani, Islam-Sasak dan Kristiani-nonSasak
Sumber pembangunan tempat ibadah dan agresifitas penyiaran agama minoritas, Islam konsisten
Pemicu: solidaritas ingroup mayoritas.
Pendekatan tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah.
Penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian pokok
1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).
2. Tuan guru karena dihormati tokoh agama lain dan sudah aktual terus dikuatkan sebagai penyelesai konflik, baik pendekatan langsung/ tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa umat beragama, dan tidak melibatkan tuan guru.
3. Jika tuan guru yang terlibat konflik dengan elit/umat agama lain, gunakan model: (a) manfaatkan tuan guru dengan kepemimpinan lebih tinggi, atau tuan guru lain yang selevel, (b) dan punya kedekatan secara ideologis/paham agama dengan tuan guru yang berkonflik.
4. lalu dapat difungsikan karena citranya di hadapan muslim (taat) kian positif dan banyak berperan dalam lembaga pemerintahan, serta pihak kelompok agama (Kristiani) merasa lebih ‘sreg’. Hanya harus dikomunikasikan dengan tuan guru yang terlibat konflik dan pihak agama lain.
5. upacara adat tidak dapat dijadikan sebagai instrumen. Nilai lokal berfungsi dalam 2 tahap: Tahap proses penyelesaian sebagai sumber pendorong dan pedoman bersama dalam proses pengambilan keputusan bersama. Tahap pascakonflik sebagai pemerkokoh (sosialisasi) hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Dilakukan oleh pihak mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Ada dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat merevitalisasi awig-awig sebagai bagian dari penerapan hokum dalam penyelesaian konflik. Ada 2 opsi untuk memerankannya yaitu: (a) mengintegrasikan pelaksanaan awig-awig dalam peran-peran pemerintahan desa-RT/RW, (2)
merevitalisasi awig-awig berarti merevitalisasi juga lembaga adat (mangku)
6. Kelompok sosial diperankan dengan 2 alternatif yaitu: (a) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Seperti FKUB. (b) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat.
7. Mekanisme penerapan: integratif Solo Jenis: konflik ide
dan gerakan massa. Tidak ada konflik yang signifikan sebelumnya (dalam era reformasi).
Subyek: elit dan massa umat Islam dan elit agama Kristen
Penyebab/pemicu: pelecehan (tokoh) agama oleh elit agama minoritas.
Sumber: salah paham antarbudaya/prasangka negatif, agresiditas misiologi agama minoritas, Islam konsisten
Pendekatan tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah
1. Mengembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).
2. Melanjutkan peran tokoh parpol Islam/ berbasis massa muslim sebagai peredam dan penyalur aspirasi dari kelompok yang seideologis, bukan sebagai fasilitator dan mediator.
3. Tokoh Islam konsisten. dapat diperankan dengan syarat/alternatif: (a) menjadikannya sebagai negoisator dengan tokoh agama Kristen, sehingga lahirkan kesepakatan mengeacu pada sumber konflik/akar akar masalah. (b) jika tidak mungkin, maka perankan tokoh Islam lain yang seideologis/sepaham agamanya dengan kelompok Islam yang berkonflik, atau tokoh Islam lain yang paham keislamannya berbeda dengan kelompok Islam yang berkonflik dengan persetujuan dari kelompok terakhir tersebut.
4.Tokoh trah heterogen sebagai mediator atau fasilitator. Ada 2 alternatif pola pemeranannya: (a) jika ada anggotanya yang berbeda agama ikut terlibat KAUB, maka tokoh trah menjadi fasilitator. (b) tokoh trah sebagai pendorong anggota trah yang berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation ( di kelompok sosial, parpol, FKUB).
5. Upacara adat diperankan pasca konflik sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan. Tapi dengan catatan dari kelompok Islam konsisten: upacara adat itu tidak bertentangan dengan paham agama mereka. Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri.
Niilai-nilai lokal yang ada untuk memperkukuh hasil kesepakatan.
6. Wadahnya tak perlu lembaga baru, cukup optimalkan dan peran kelompok sosial yang sudah ada. Ada 2 alternatif yaitu: (a) kembangkan lembaga dengan anggotaan lintas-agama bentukan pemerintah seperti FKUB. (b) kembangkan lembaga lintas-agama yang tumbuh di masyarakat seperti trah heterogen.
7. Mekanisme: mandiri dan integrasi
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, di tiap daerah
meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen pengendalian
dan penyelesaian konflik, namun tingkatan statusnya berbeda yaitu ada yang potensial,
impotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang teridentifikasi dapat
difungsikan sebagai instrumen, hanya sedikit dalam sebuah komponen budaya yang
impotensial karena beberapa alasan. Selain itu ada komponen budaya yang aktual
(sudah diperankan) oleh masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB
seperti gotong royong (Solo dan Kulonprogo), kyai dan pamong serta baritan (di
Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram). Sumber kebudayaan
budaya lokal berasal dari kebudayaan mayoritas (suku dan agama). Mekanisme
penerapan budaya lokal bersifat integratif (Kulonprogo dan Solo), integrasi dan
mandiri/otonom (Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Kedua, penyusunan model
penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3 aspek yaitu: karakter konflik,
pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, karakter budaya lokal. Aspek
karakteristik konflik yang dipertimbangkan di beberapa daerah yaitu paham agama dari
subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang berkonflik.
Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah diperankan
dalam penyelesaian konflik, maka penting dilanjutkan. Dalam pemeranan budaya lokal,
di semua daerah berusaha menggunakan pendekatan langsung dalam penyelesaian
KAUB, selain pendekatan tidak langsung. Di semua daerah juga berupaya (lebih)
menguatkan peran aktor lokal. Hal yang sama terdapat dalam nilai-nilai lokal, dan
kelompok sosial. Ada nuansa perbedaan alternatif pemeranan masing-masing aktor lokal
di setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan tanpa syarat, juga dengan prasyarat.
Prasyaratnya adalah tingkat kepemimpinan, dan kedekatan secara emosional dan
ideologis/paham agama dengan tokoh agama yang terlibat konflik. Untuk kasus tokoh
trah heterogen (kasus Solo dan Kulonprogo) ada 2 alternatif model dalam pemeranannya
yaitu: menjadikan tokoh trah sebagai fasilitator atau pemeranan anggota trah yang
berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation. Pemeranan kelompok sosial
juga terdapat di semua daerah, hanya saja berbeda wadahnya. Ada upaya
mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik yang
dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri (Solo dan
Mataram). Juga ada upaya revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti
pemangku (Mataram). Perannya berfungsi pada pascakonflik. Nilai-nilai lokal ada yang
diperankan pada tahap proses konflik dan pascakonflik (Mataram), dan di daerah lain
diperankan pada pascakonflik. Mekanismenya ada yang model mandiri/otonom dan
integratif (Kulonptogo dan Solo), dan model integratif (Tasikmalaya, Mataram dan
Pasuruan).
Saran-saran untuk pengembangan kerukunan umat beragama: (1) Pemerintah
perlu terus meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah sendiri tentang
makna penting revitalisasi budaya lokal dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB. Ini
dapat dimulai dari level atas dan bawah secara simultan. Pemerintah pusat/daerah
memberi kebijakan yang memungkinkan budaya lokal di setiap daerah berkembang
dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik. Pada level masyarakat harus ada
upaya peningkatan kesadaran dari tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok sosial lokal.
(2) pemerintah dapat memulai dari memberdayakan peran aktor lokal sebagai subyek
langsung untuk merevitalisasi dan memberdayakan komponen budaya lokal.
Pemberdayaan itu berprinsip pada ’untuk semua aktor lokal dan kemandirian’. (3) Dalam
upaya pengendalian dan penyelesaian KAUB, peran aktor lokal diusahakan bersifat
primer, dan pemerintah (pusat dan daerah) bersifat sekunder, baik sebagai penyelesai
langsung maupun tidak langsung.
------------------ Ucapa Terima Kasih: Terima kasih saya sampaikan kepada Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu
Pengetahuan Terapan Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, yang telah mensponsori dana sehingga penelitian ini (Hibah bersaing XIII) dapat dilaksanakan dengan baik
iEND NOTE
E
Robert G Murdick, dan Joel E. Ross, Information Systems for Modern Management (New Delhi: Prentice Hallof India, 1982), hal. 500.
iiPertti J Pelto & Gretel H. Pelto, Anthropological Research The Structure of Inquiry (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), hal. 10-11.
iiiGatut Murniatmo, ‘Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon,” Jarahnitra. No. 007/P/1996-1997, hal. 185
iv Haidar Nashir, “Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY, Edisi 1 Tahun 1993.
vNawari Ismail, “Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY. Edisi 1, Tahun 1993.
viIsyanti, “Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta,“ Jarahnitra. No. 17/P/1999, hal. 119-44.
viiSalamun dkk., “Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang
Rembang,” Jarahnitra. No. 005/P/1993, hal. 137-193
viiiSunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
, 1996), hal. 80-81.ix Lihat dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hal. 488-499
x Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam ( Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 70-95
xi
x
Clifford Geertz, Op.cit., , hal. 3-4xii
x
Nawari Ismail, “Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman,” Millah, Vol IV, No1, (2004), 8.
xiiiLihat Rahim dalam Gudykunst, Yun Kim, Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication ( McGraw Hill., 1997), hal. 282.
xiv Jamuin Maarif, “ Pemberdayaan Untuk Rekonsiliasi Etnik dan Agama,” Handout Pelatihan (Surakarta: CISCORE, 2002)
xvMalik dalam tempointeraktif, 6 Mei 2004
xvi Dinuth dalam Sinar Harapan, 30 September 2002xvii
x
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi ( Jakarta: Aksara Baru, 1989), hal. 203xviii Ibid., 204-9xix
x
Suyanto dalam Kompas 26 Desember 2001
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986).
Anonimus, Pedoman Penyiaran Agama, Dakwah, Pendirian Tempat Ibadah, Peringatan Hari Besar Keagamaan (Yogyakarta: Proyek Bimbingan dan Kerukunan Hidup Umat Beragama DIY, 2000).
Budhy Munawar Rahman, Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama, http://media.isnet.org/islam/Etc/Plural.htm, diakses 15 Desember 2000
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hal. 488-499
David Jary & Julia, Collins Dictionary of Sociology (Galsgow: HarperCollins. 1991).
Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990).
Departemen Agama, ”Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama” (Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI, 2003).
El Fatih Abdel Salam, Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik (Malaysia: IIU, 2004.).
Gatut Murniatmo, ‘Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon,” Jarahnitra. No. 007/P/1996-1997, hal. 185.
Gudykunst,Yun Kim, Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication ( McGraw Hill. 1997).
Haidar Nashir, “Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY, Edisi 1 Tahun 1993.
Hugh Miall, et. al., Resolusi Damai Konflik Kontemporer Menyelesaikan, Mencegah, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjamahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
Irwan Abdullah, “Metodologi Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar Umum,” Makalah Pelatihan Metopen Bidang Sosial Keagamaan Angkatan V (Jakarta: Ditbinlitabmas Dirjen Dikti Depdiknas, 2003).
Isyanti, “Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta,“ Jarahnitra. No. 17/P/1999, hal. 119-44.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1989).Kompas, 20 Desember 2000
Masnun dkk., H.Harun Al-Rasyid Meningkatkan Kesejahteraan Merajut Perdamaian (Jakarta: Cahaya Putra Utama, 2003).
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).Nawari Ismail, “Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi
Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY. Edisi 1, (1993).
--------------, “Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman,” Millah, Vol IV, No1, (2004), 8.
Parsudi Suparlan, ”Pengantar Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif,” Makalah Pelatihan Peneliti Agama (Jakarta: Balitbang Depag RI, 1991)
Richard A Krueger, Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research (New Delhi: SAGE Publications, 1988).
Robert W Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Pertikaian Politik (Yogyakarta: LkiS, 1999).
Salamun dkk., “Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang Rembang,” Jarahnitra. No. 005/P/1993, hal. 137-193
Sarlito Wirawan Sarwono, Religious Attitude in Indonesia (Jakarta: Faculty of Psychology, Indonesia University, 2000).
Selo Soemardjan, Soelaiman S, Soemardjan, Setangkai Bunga Soiologi ( Jakarta: FE UI, 1964).
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
BIODATA
Nawari Ismail lahir di Desa Labuhan Sreseh Sampang Madura. Kini tinggal di Wonocatur RT 18/28 no. 733 Banguntapan Bantul. Setamat dari Pendidikan Guru Agama Negeri VI Tahun di Bangkalan (1980) kemudian melanjutkan ke Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga (selesai 1987). Gelar Magister diperoleh dar PMSI UMS di bidang Sosiologi Agama. Sekarang (mulai 2005) sebagai mahasiswa Doktoral pada Departemen Antropologi Universitas Indonesia Jakarta. Menjadi dosen tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sejak tahun 1990-sekarang, dosen Luar Biasa di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, tahun 2001-2003, dosen Lua Biasa Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak tahun 2002.
Semasa di SLTA menjadi ketua PII Komisariat Bangkalan Utara (1980), sedangkan ketika mahasiswa aktif di HMI Komisariat Fakultas Dakwah IAIN (Sekum, 1983-1984), HMI Korkom IAIN (Ketua,1984-1985), HMI Cabang Yogyakarta (Kordinator Aparat, 1985-1986). Pengurus Labda Sahalahuddin (1993/1994), Anggota Majelis Dikdasmenbud Pimpinan Muhammadiyah Wilayah, 1995-2000 dan 2000-2005. Pengurus Yayasan al-Muthi'in (Sekretaris Umum, 2000-2004),Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI-UMY ( 1994-1997; 1999-2003)
Pelatihan yang pernah diikuti di antaranya: Pelatihan Peneliti Agama (Kualitatif) oleh Balitbang Departemen Agama RI di Jakarta (1992/1993). Pelatihan Penelitian Sosial Keagamaan oleh Departemen Diknas RI di Jakarta (2003), Pelatihan Pengembangan Penelitian Interdispliner di Perguruan Tinggi (2003). Juga pernah mengikuti Pelatihan Applied Approach di Yogyakarta (2001).
Karya ilmiyah yang pernah disusun antara lain; Jurnal/Makalah: Merambah Paradigma Ilmu Sintetik Pendekatan Landasan Filsafat Ilmu. Jurnal ‘Orientasi’,
Edisi 2, Tahun II, Mei 2000; Islam and The Cultural Accomodation of Sosial Change. Book Review dalam Jurnal Mukaddimah, No.10 Th. VII/2001; Rekonstruksi Sosial Budaya Islam, Upaya Merajut Sukma Yang Hilang. Jurnal Studi Islam ‘Mukaddimah’, No. 12 Th.VIII/2002; Model Gerakan Teologi Pembebasan dari Girli Sudut Pandang Outsider: Refleksi Kritis Terhadap Buku Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code Oleh Darwis Khudori, Makalah pada Bedah Buku yang dilaksanakan oleh LPPI UMY pada hari Sabtu, 23 Nopember 2002; Islam dan Perkembangan Politik Kontemporer : Sebuah Repolitisasi Islam Antara Harapan dan Realitas. Makalah Diskusi yang oleh Pusat Studi Perubahan Sosial dan Politik UMY, 22 April 2003; ‘ Kritik NonNeomarxisme atas Sosialisme-Marxisme, Refleksi Terhadap Buku ‘Kritik Atas Sosialisme Marxisme’ Karangan Ghanim Abduh, Terjamahan Maghfur Wahid. Bangil: Al-Izzah, 2003, 165), Makalah dipersentasikan dalam Bedah Buku yang diselenggarakan oleh BEM FAI UMY-Forum Mahasiswa Pembebasan UMY, tanggal 20 Pebruari 2004; Komunikasi Dakwah dan Jender Persepektif Sosial-Budaya, dalam Jurnal ‘Nabila’, No. /2004.
Buku: Peradilan Agama antara Kesatuan dan Kebhinnekaan , sebagai editor bersama Dr. Abdul Ghafur Anshari, SH, MH, Yogyakarta: Bumi Nusantara, 1990, 2002; Filsafat Dakwah Ilmu Dakwah dan Penerapannya, sebagai editor dan penyempurna atas buku lama Ki Moesa Mahfoedl, Jakarta: Bulan Bintang, 2004; Buku
Penelitian yang pernah dilakukan di antaranya: (1) Model Pengendalian dan Penyelesaian Konflik AntarUmat Beragama Berbasis Pada Karakteristik Budaya Lokal Dalam Menunjang Kerukunan Umat Beragama (Studi Kasus di 5 Daerah), Penelitian Hibah Bersaing ke-XIII, Departemen Pendidikan Nasional RI, 2005-2007. (2) Profil Orang Hakka: Studi Kasus Kehidupan Keluarga Orang Hakka di di Singkawang Program Penelitian Sosial-Keagamaan Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, 2004; (3) Penelitian Evaluasi Proyek Koalisi Antikorupsi Melalui Pendidikan. Kerja sama Antara Partnership dan LP3 UMY. 2004. (4) Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dalam Perspektif Kerukunan Beragama, Ketua Peneliti, Kerja sama Antara Majelis Dikti-Litbang PP Muhammadiyah dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik, 2003; (5) Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman, Program Penelitian Dosen Muda Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002, (dimuat dalam Jurnal Millah, Vol IV, No1 Agustus 2004, MSI UII); (6) Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perdesaan, Studi Kasus di Kecamatan Berbah Sleman, Program Kompetisi Penelitian Dosen Departemen Agama RI, 1999; (7) Pola Hubungan Sosial Tokoh-tokoh Agama dalam Kerangka Kerukunan AntarUmat Beragama Studi Kasus di Cimahi Bandung, Sponsor dari Balitbang Depag RI, (dalam Jurnal Hasil penelitian Dosen UMY. Inovasi, Edisi 1/1993);