19
Budaya Sumedang Menjadikan Budaya sebagai Pondasi dan Potensi Bangsa. Sumedang harus punya budaya, Sumedang punya seni, Sumedang harus menjadi pusat Budaya Sunda dan Budaya Jawa Barat. Sumedang adalah Pabrik Seni dan Budaya, itulah yang dibanggakan dan yang menjadi daya jual. Jangan dilupakan pula catatan sejarah yang menunjukkan bahwa di Sumedang pernah berdiri suatu kerajaan bernama Sumedang Larang. Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu Kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Situs Dayeuh Luhur merupakan bagian dari ratusan cagar budaya yang tersebar di wilayah Kabupaten Sumedang. Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang menyebutkan, setidaknya terdapat 152 benda cagar budaya yang terbagi dalam kategori makam atau bangunan dari zaman Kerajaan Sumedang Larang hingga Zaman Bupati. Lebih jelas untuk lebih tahu mengenai peninggalan Budaya Sumedang bisa berkunjung ke “Museum Prabu Geusan Ulun” yang beralamat di ; Jalan Prabu Geusan Ulun Nomor 40, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Disana banyak di jumpai peninggalan-peninggalan kerajaan terdahulu, diantaranya ; Pedang Ki Mastak, Keris Ki Dukun, Keris Nagasasra, Kujang, Tombak, Trisula, Tempat Sirih, Kitab Cariosan Prabu Siliwangi, Gamelan Sari Oneng Parakan Salak, Kereta Kencana Nagapaksi, dan masih banyak yang lainnya. Beberapa peninggalan/situs yang bisa dijumpai juga diantaranya ; Cadas Pangeran, Makam Coet Nyak Dhien, Gunung Kunci, Dayeuh Luhur, Marongge, Situs Tembok Agung, Gunung Tampomas. Budaya Sumedang : Sumedang Larang

Budaya sumedang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya sumedang

Budaya SumedangMenjadikan Budaya sebagai Pondasi dan Potensi Bangsa. Sumedang harus

punya budaya, Sumedang punya seni, Sumedang harus menjadi pusat Budaya Sunda dan Budaya Jawa Barat. Sumedang adalah Pabrik Seni dan Budaya, itulah yang dibanggakan dan yang menjadi daya jual.

Jangan dilupakan pula catatan sejarah yang menunjukkan bahwa di Sumedang pernah berdiri suatu kerajaan bernama Sumedang Larang. Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu Kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia.

Situs Dayeuh Luhur merupakan bagian dari ratusan cagar budaya yang tersebar di wilayah Kabupaten Sumedang. Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang menyebutkan, setidaknya terdapat 152 benda cagar budaya yang terbagi dalam kategori makam atau bangunan dari zaman Kerajaan Sumedang Larang hingga Zaman Bupati.

Lebih jelas untuk lebih tahu mengenai peninggalan Budaya Sumedang bisa berkunjung ke “Museum Prabu Geusan Ulun” yang beralamat di ;  Jalan Prabu Geusan Ulun Nomor 40, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Disana banyak di jumpai peninggalan-peninggalan kerajaan terdahulu, diantaranya ; Pedang Ki Mastak, Keris Ki Dukun, Keris Nagasasra, Kujang, Tombak, Trisula, Tempat Sirih, Kitab Cariosan Prabu Siliwangi, Gamelan Sari Oneng Parakan Salak, Kereta Kencana Nagapaksi, dan masih banyak yang lainnya.

Beberapa peninggalan/situs yang bisa dijumpai juga diantaranya ; Cadas Pangeran, Makam Coet Nyak Dhien, Gunung Kunci, Dayeuh Luhur, Marongge, Situs Tembok Agung, Gunung Tampomas.

Budaya Sumedang :

Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan

Sumedang

Kata Sumedang berasal dari “inSUn MEdal insun maDANGan”, Insun artinya saya Medal artinya lahir Madangan artinya memberi penerangan jadi kata Sumedang bisa berarti “Saya lahir

Gunung Tampomas

Page 2: Budaya sumedang

Sumedang Gunung Tampomas terletak di antara Kecamatan Buah Dua dan Cibeureum, ketinggiannya mencapai 1.684 Meter di atas permukaan laut. Taman Wisata Alam Gunung Tampomas masuk

Kesenian Sumedang

Banyak Kesenian Sumedang yang cukup terkenal, diantaranya adalah seni Kuda Renggong, Tarawangsa, Rengkong, Seni Koromong, Beluk, Bang-reng, Pencak Silat, dan Reog. Seni-seni tradisional tersebut sempat

Makanan Khas Sumedang

Di Sumedang Banyak Sekali Makanan Khas dari mulai Buah-Buahan, Makanan, Minuman dam banyak lainnya kekayaan jenis makanan khas ini masih belum ter explor lebih jauh,

Sumedang Gunung Tampomas terletak di antara Kecamatan Buah Dua dan Cibeureum, ketinggiannya mencapai 1.684 Meter di atas permukaan laut. Taman Wisata Alam Gunung Tampomas masuk

Kesenian Sumedang

Banyak Kesenian Sumedang yang cukup terkenal, diantaranya adalah seni Kuda Renggong, Tarawangsa, Rengkong, Seni Koromong, Beluk, Bang-reng, Pencak Silat, dan Reog. Seni-seni tradisional tersebut sempat

Makanan Khas Sumedang

Di Sumedang Banyak Sekali Makanan Khas dari mulai Buah-Buahan, Makanan, Minuman dam banyak lainnya kekayaan jenis makanan khas ini masih belum ter explor lebih jauh, ...

Kuda Renggong

Kuda Renggong merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang berasal dari Sumedang. Kata "renggong" di dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (bahasa Sunda untuk "ketrampilan") cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang, yang biasanya dipakai sebagai media tunggangan dalam arak-arakan anak sunat.

Sejarah

Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.

Page 3: Budaya sumedang

Bentuk kesenian

` Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.

Dalam pertunjukannya, Kuda Renggong memiliki dua kategori bentuk pertunjukan, antara lain meliputi pertunjukan Kuda Renggong di desa dan pada festival.

Pertunjukan di pemukiman

Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.

Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.

Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.

Pertunjukan festival

Pertunjukan Kuda Renggong di Festival Kuda Renggong berbeda dengan pertunjukan keliling yang biasa dilakukan di desa-desa. Pertunjukan Kuda Renggong di festival Kuda Renggong, setiap tahunnya menunjukan peningkatan, baik jumlah peserta dari berbagai desa, juga peningkatan media pertunjukannya, asesorisnya, musiknya, dll. Sebagai catatan pengamatan, pertunjukan Kuda Renggong dalam sebuah festival biasanya para peserta lengkap dengan rombongannya masing-masing yang mewakili desa atau kecamatan se-Kabupaten Sumedang dikumpulkan di area

Page 4: Budaya sumedang

awal keberangkatan, biasanya di jalan raya depan kantor Bupati, kemudian dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia (Diparda Sumedang). Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan Kuda Renggong.

Dari beberapa pertunjukan yang ditampilkan nampak upaya kreasi masing-masing rombongan, yang paling menonjol adalah adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat), pakaian anak sunat tidak lagi hanya tokoh Wayang Gatotkaca, tetapi dilengkapi dengan anak putri yang berpakaian seperti putri Cinderella dalam dongeng-dongeng Barat. Penambahan asesoris Kuda, dengan berbagai warna dan payet-payet yang meriah keemasan, payung-payung kebesaran, tarian para pengiring yang ditata, musik pengiring yang berbeda-beda, tidak lagi Kendang Penca, tetapi Bajidoran, Tanjidor, Dangdutan, dll. Demikian juga dengan lagu-lagunya, selain yang biasa mereka bawakan di desanya masing-masing, sering ditambahkan dengan lagu-lagu dangdutan yang sedang popular, seperti Goyang Dombret, Pemuda Idaman, Mimpi Buruk, dll. Setelah berkeliling kembali ke titik keberangkatan.

Perkembangan

Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, trompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speaker toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet, Bass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.

Makna

Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya

Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;

Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;

Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;

Page 5: Budaya sumedang

Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.

Tarawangsa

Page 6: Budaya sumedang

Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.

Sejarah

Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh para penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.

Pertunjukan

Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.

Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.

` Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.

Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri

Page 7: Budaya sumedang

dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.

Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).

Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri).

Page 8: Budaya sumedang

Tayub Sebagai Seni Karuhun Sumedang

Melihat asal-usulnya, tarian tayub muncul dari kalangan menak. Tetapi, sekarang bukan hanya para menak yang boleh menari dalam tayuban. Dahulu, menurut Enoch Atmadibrata, alasan tayuban disukai karena memperebutkan para penari yang disebut ronggeng. “Sayangnya, banyak kejadian yang menyinggung kesusilaan, misalnya berani menyelipkan uang ke dada ronggeng atau menggigit uang sambil berharap diterima oleh sang ronggeng dengan digigit lagi, tapi hal seperti itu sekarang tidak ada lagi. Tarian ini mengungkapkan kegembiraan.Gerakannya merupakan improvisasi. Secara spontanitas, penari tayub bisa menciptakan improvisatoris, tapi tetapsesuai dengan musik pengiring.Tarian tayub bisa dijadikan sebagai ajang silaturahmi. Artinya, tarian tayub bukan tampilan tari yang memisahkan penonton dengan yang ditontonnya.Dalam tayub semua yang ada (para hadirin) bisa ikut menari walaupun sebenarnya tidak bisa. Dalam tarian tayub ada hal yang menyerupai tarian ketuk tilu., yaitu menghibur, penonton yang menari sambil ikut menari. Perbedaannya dalam prakteknya dan perlengkapan lainnya.Gerakannya merupakan improvisasi. Ada yang menyebutkan bahwa tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para menak, sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.Ada yang menyebutkan bahwa tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para menak, sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.Sejarah Tayub

Mengenai sejarah asal-usul seni Tayub sampai sekarang masih diwarnai

beberapa pendapat. Tetapi sejarah perkembangan Tayub kebupaten Sumedang

menarik kesimpulan sementara bahwa Tayub berasal dari Talaga. Hidup kira-kira

Page 9: Budaya sumedang

abad ke-9 dikembangkan oleh raja Galuh Talaga. Penagru kekuasaan dapt mendorong

terhadap perkembangan kesenian tradisional, selain itu hubungan kerjasama sesama

kerajaan merupakan bagian dari pengaruh kesenian tersebut.

Kemudian dibawa oleh para senimanTalaga ke daerah timur Sumedang, yang

mana pada abad 9 kira-kira tahun 900 M telah berdiri kerajaan Sumedang Larang

dengan menobatkan Prabu Tajimalela sebagai Nalendra Prabu. Pada saat itula seni

Tayub berkambang di lingkungan istana. Fungsinya sebagai media penyambutan

terhadap tanu kebesaran, selain sebagai media hiburan di kalangan keluarga dan

kerabat istana.

Menurut cerita rakyat Darmaraja dan Limbangan, Prabu Tajimalela turut pula

mengembangkan kesenian tersebut bermunculan seni Tayub di daerah Limbangan dan

Malangbong, pada masa itu wilaya tersebut berada dalam kekuasaaan Sumedang

Larang. Dalam perkembangan selanjutnya seni tayub tumbuh dan berkembang di

tengah-tengah masyarakat, atau tidak hanya dikenal di kalangan para pejabat kerajaan,

tetapi mulai mengakar dalam nurani rakyat.

Seni tayub ini menonjol di daerah Darmaraja, Cadasngampar/Jatinunggal, Wado dan

Pagerucukan (Situraja), bahkan sampai sekarang telah menjadi seni unggulan daerah-

daerah setempat.

Perkembangan seni Tayub menonjol pada masa Kabupatian, pada umumnya

para Bupati yang memegan pemerintahan Sumedang sangat menggemari kesenian

tersebut, bahkan danya sentuhan kreasi dari para Dalem menciptakan khas ibingan

(tarian) disebut Tari Tayub.

Jenis Waditra

Waditra yang digunakan dalam pertunjukan tayub tidak jauh bebeda dengan

peralatan gamelan yang digunakan dalam sajian kiliningan, akan tetapi kadang kala di

tambah oleh waditra bedug kecil atau tambur. Peran gamelan sangat dominan sebagai

pengiring lagu dan tarian rakyat.

Pada umumnya gamelan Tayub dibuat dari perunggu, ada juga yang menggunakan

bahan besi dan plat baja, hal itu disesuaikan dengan tingkat penggarapnya.

Jenis Lagu

Ditinjau dari perspektif kronologis perkembangan lagu-lagu yang digunakan

dalam pertunjukan Tayub teridiri dari lagu-lagu klasik dan lagu-lagu wanda anyar,

Page 10: Budaya sumedang

artinya jenis lagu yang telah mendapat sentuhan dari unsur seni lain. Lagu-lagu klasik

diantaranya :

1. Kembang Gadung

2. Kulu-kulu bem

3. Kulu-kulu gancang

4. Gendu

5. Tablo

6. Badaya

Lagu-lagu wanda anyar turut mendorong terhadap perkembangan dan khasanah

lagu-lagu Tayub, dan merupakan konsekuensi penggarap dalam memenuhi selera

penonton atau peminat. Lagu-lagu wanda anyar diantaranya :

1. Nikmat Duriat

2. Lalaki Raheut Hatena

3. Bulan Sapasi

4. Dua Saati

5. Potret Manehna

6. Awet Rajet

7. dsb

Bentuk/Teknik Penyajian

Pertunjukan sei Tayub yang tumbuh dan berkembang di kawasan timur

Sumedang ; Darmaraja, Situraja, Jatinunggal dan Wado pada umumnya digelar diatas

panggung, baik di halaman rumah maupun di tempat terbuka seperti halaman bale

desa atau lapang. Pelaksanaannya di tentukan oleh keinginan yang menggunakannya,

seperti upacara ngarot atau ngaruat lembur, syukuran, khitanan, pernikahan, hari-hari

bersejarah dan syukuran lainnya. Dalam seni Tayub mengenal juru baksa umumnya

pria, fungsinya sebagai pemimpin yang mengatur jalannya pertunjukan sekaligus

mengatur para penari pria. Juru tari (ronggeng) berperan sebagai patner penari pria

yang jumlahnya dua orang atau lebih. Selain itu juru tari berfungsi sebagai patner juru

baksa ketika menarikan gaya soderan, maksudnya menghantarkan untuk menentukan

giliran penari. Penonton yang ada di arena hiburan kemudian di beri soder tandanya

harus menari, kalau tidak bisa menari dapat di wakilkan kepada juru tari atau kepada

orang lain.

Page 11: Budaya sumedang

Biasanya orang pertama yang mendapat soder adalah yang punya hajat dan

merupakan suatu penghargaan tertentu. Kemudian kepada tokoh-tokoh pemerintah,

setelah itu giliran tokoh-tokoh masyarakat, kemudian dilanjutkan soder untuk umum.

Hal tersebut merupakan aturan yang telah dibakukan, tujuannya untuk menciptakan

ketertiban dalam pertunjukan.

Seni Tayub tak lepas dari pengaruh bayang-bayang pengaruh unsur seni lain, terutama

seni yang didukung oleh teknologi seperti alat-alat elektrik. Pengaruh musik barat

mendorong terhadap inovasi dengan memadukan unsur seni tayub dengan musik

barat, demikian juga tarian mendapat sentuhan dari perkembangan seni tari wanda

anyar, lahirlah istilah jaipongan.

Seni Tari Sumedang

Atraksi Seni Tari yang ada di Kabupaten Sumedang terdiri dari berbagai jenis seni tari, yaitu :

PANCAWARNA

Tarian ini menggambarkan tentang seseorang yang (baru) telah mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup.

JAYENGRANA

Asal kata dari Jaya ing rana. Sebuah tarian yang menggambarkan kegembiraan Raja Amir Hamzah ketika ditolong oleh dua putri cantik: Dewi Sirtupulati dan Ratu Sudarawerti untuk dapat melepaskan diri dari tahanan Raja Banu. GANDAMANAH

Menggambarkan seorang patriot bangsa yang memiliki sikap tidak angkung dan sombong. Ibarat ilmu padi makin berisi makin merunduk.

Page 12: Budaya sumedang

GATOTGACAGANDRUNG

Sebuah tarian yang menggambarkan ketika Gatotgaca cinta kepada Dewi Pergiwa Pergiwati. Tampaknya akibat mabuk kepayang sehingga Gatotgaca lengah. Dalam kondisi psikologis seperti ini maka dimanfaatkan oleh buta cakil untuk menyerangnya denganleluasa Namun demikian, berkat kekuatan dan keampuhan ilmu yang dimilikinya, Gatotgasa bisa tetap unggul dalam pertarungan.

IBING SERIMPI

Menggambarkan lima orang putri di bawah pimpinan Nyi Mas Gilang Kencana ketika mengawal Prabu Geusan Ulun dan Permasurinya Nyi Mas Gedeng Waru terjadi clsh dengan pasukan Cirebon.

TOPENG KELANA

Menggambarkan Sang Dewi Sekar Kendoja berjuang menolong suaminya Rd. Gagak Pranda ketika menghadapi jurit dengan Barun.

Selayang Pandang Sumedang

Page 13: Budaya sumedang

Pupuh Maskumambang ini menggambarkan keadaan geografis Kabupaten Sumedang yang dikelilingi gunung. Sumedang berasal dari dua kata yaitu Insun yang berarti saya, dan Medal yang berarti lahir. Pada masa kejayaannya, kerajan Sumedang Larang sangat luas yaitu Jawa Barat dikurangi Kesultanan Cirebon dan Banten. Kabupaten sumedang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada 107°44` - 160°30` Bujur Timur dan 6°36` - 7°2` Lintang Selatan. Jarak terjauh dari arah Barat - Timur 53 Km dan Utara Selatan 51 Km, dengan batas administrasi sabagai berikut :

Sebelah Utara     : Kabupaten IndramayuSebelah Selatan   : Kabupaten Bandung dan GarutSebelah Barat      : Kabupaten Bandung dan SubangSebelah Timur    : Kabupaten Majalengka

Kabupaten Sumedang secara geografis merupakan wilayah yang strategis, karena jarak ke pusat kota Bandung yang menjadi ibu kota Propinsi relatif pendek (45 Km), dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten bandung. Dengan demikian sebagian fungsi kota Bandung ditampung di wilayah Kabupaten Sumedang seperti pemukiman. Industri, pendidikan dan pertanian sebagai pengedia bahan pangan.

Iklim di Kabupaten Sumedang termasuk tipe Iklim C menurut Schmidth dan Ferguson, sedangkan curah hukan rata-rata pada tahun 1996 tercatat 2.301 mm dengan 129 hari hujan per tahun

Tofografi Kabupaten Sumedang bervariasi dari dataran di bagian Utara sampai berbukit di bagian Selatan dan Barat, Tinggi tempat diatas permukaan diatas permukaan laut berkisar antara 36 - 1500 m dpl.Dengan topografi berbukit dan kemiringan tanah yang sangat bervariasi dan sangat dimungkinkan terdapatnya lahan kritis yang cukup luas. Dengan kondisi kemiringan tanah diatas, hasil indentifikasi kepekaan tanah terhadap erosi pada tahun 1996Peka 3.946,90 Ha = 2,61 %Agak Peka 13.793,29 Ha = 9,06%Tidak Peka 134.461,79 Ha = 88,33 %

Kerajaan yang pertama kali berdiri di daerah ini bernama Tembong Agung. Tembong artinya mulai nampak, dan Agung artinya cita-cita luhur. Dengan demikian Kerajaan Tembong Agung berarti cita-cita luhur yang mulai nampak, Rajanya bernama Prabu Guru Hadji Adji Putih (Haji Purwa Sumedang)

Setelah Raja Haji Purwa Sumedang mangkat yakni pada abad XIII digantikan oleh puteranya bernama Prabu Tadjimalela dan nama kerajaannya diganti dari Kerajaan Tembong Agung menjadi

Page 14: Budaya sumedang

Kerajaan Hibar Buana yang artinya menerangi Alam, namun demikian dalam perjalannannya kerajaan itu berubah lagi menjadi Sumedang Larang, nama ini diilhami dari perkataan ” Insun Medal Medangan Larangan ” yang berarti ” aku dilahirkan di tempat yang mulia yang sarat dengan tantangan dan ujian dalam menuju ketingkat kemakmuran rakyat”. Pada akhirnya dalam catatan sejarah Sumedang Larang diproklamirkan oleh Pangeran Angkawijaya atau yang dikenal dengan Prabu Geusan Ulun pada tahun 1580 dan sejak itulah kerajaan ini dikenal kesetiap pelosok kota di Pulau Jawa.

Menjelang akhir tahtanya Prabu Geusan Ulun, muncul Kesultanan Mataram dengan membawa pengaruh dan perubahan di bidang sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan. Oleh karena itu pemerintah Keprabuan (Kerajaan) diganti oleh sistem Pemerintahan Kabupaten hingga saat ini.