budaya Tionghoa

Embed Size (px)

Citation preview

Kepercayaan tradisional Tionghoa

Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu. Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu: Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup. Agama Buddha Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.

Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Tao Se - Tao Se (Guru-guru Tao) untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakitpenyakit serta meminta obat-obatan. Tetapi pada bulan-bulan tertentu Tao Se - Tao Se itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lainlainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Untuk itu para Tao Se membuat Sam Seng supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Tao Se nya tidak berada di tempat. Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Tao Se - Tao Se tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Tao Se - Tao Se tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa. Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng. Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turunmenurun sampai sekarangpun masih ada. Menurut anda, dapat dibenarkankah persembahan Sam Seng ini? Dalam Tao, Sam Seng tidak digunakan sebagai persembahan kepada Dewa. Apa alasannya? Mari kita pikirkan masing-masing! Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.Demikianlah cerita asal usul adanya Sam Seng dan persembahan pada Dewa. Membunyikan Petasan Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran.Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu.Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak.Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat.Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu

menyerang para pemburu dan orang desa itu.Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan.Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung.

Barongsai, Melestarikan Tradisi Tionghoa di Bali Hari-hari menjelang tahun baru Cina menjadi hari sibuk bagi anggota kelompok barongsai Pusaka Tantra di Banjar Dharma Semadhi Kuta, Bali. Kalau pada hari biasa mereka berlatih seminggu dua kali tiap Selasa dan Kamis malam, maka kali ini mereka berlatih tiap malam. Wantilan vihara Dharmayana di banjar yang hampir seluruh warganya Tionghoa itu menjadi tempat berlatih sekitar 50 anggota kelompok ini. Mereka berlatih dalam beberapa kelompok mulai dari tingkat paling dasar sampai paling tinggi. Kelompok dasar berlatih di lantai atau menggunakan bangku sedangkan kelompok yang lebih tinggi menggunakan tabung bambu, dari yang sekitar 30 cm sampai 2 meter. Tingkat kesulitan tiap kelompok berbeda. Makin tinggi kelompoknya makin tinggi pula kesulitannya. Sebagian besar anggota kelompok ini masih remaja. Semuanya anggota Sekaa Teruna Teruni, kelompok remaja, Eka Dharma di banjar setempat. Anggota paling kecil kelompok barongsai ini bahkan masih SD. Namun sebagian besar sudah SMA atau malah bekerja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun warga banjar setempat mengadakan pawai barongsai dan liong. Sehari menjelang Imlek, mereka akan berkeliling jalan di beberapa jalan protokol Kuta di sekitar vihara seperti jalan Blambangan, jalan Kalianget, jalan raya Kuta, dan kembali ke vihara. Hari raya tahun baru warga Tionghoa memang sangat identik dengan barongsai. Begitu pula bagi warga Tionghoa di Kuta. Warga setempat menyebut tradisi ini sebagai ngelawang barongsai. Tujuannya untuk menetralisir hal-hal jahat di sekitar kita agar tahun depan lebih baik, kata Adhi Dharmaja, Wakil Ketua Banjar Dharma Semadhi. Adhi, yang juga Sekretaris Yayasan Dharma Semadhi yang menaungi vihara Dharmayana Kuta, mengatakan seperti umumnya kegiatan barongsai di tempat lain, kelompok barongsai di banjar ini pun baru hidup setelah zaman Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur memberikan kesempatan pada warga Tionghoa untuk merayakan Imlek kembali. Sebelumnya, pada zaman Orde Baru, semua kegiatan yang berbau Tionghoa dilarang secara resmi oleh pemerintah. Namun, pada zaman Gus Dur, kesempatan pada warga Tionghoa untuk merayakan tahun baru Cina itu diberikan kembali. Begitu pula dengan semua tradisi yang berhubungan dengan Tionghoa, termasuk barongsai dan liong. Kami harus berterima kasih pada Gus Dur, ujar Adhi. Warga Banjar Dharma Semadhi Kuta mendirikan kelompk barongsai pada April 2002. Saat baru berdiri, mereka belajar dari guru di salah satu perguruan silat di Denpasar. Menurut Adhi, gerakan dalam barongsai memang pada dasarnya sama dengan gerakan silat klasik. Pelatih kelompok ini sempat berganti-ganti sebelum kemudian tetap dengan satu pelatih yang hanya kadang-kadang didatangkan dari Madiun, Jawa

Timur. Sekarang kami lebih banyak berlatih sendiri. Cuma kalau ada kompetisi saja baru memanggil pelatih itu lagi, tambah Adhi. Selain rutin mengisi ritual Imlek, kelompok barongsai ini juga memang beberapa kali ikut kompetisi barongsai atau undangan mengisi kegiatan tertentu. Misalnya pada Kuta Karnival tiap tahun di Kuta. Kelompok barongsai ini pernah mendapat juara II kategori dasar dalam lomba barongsai oleh Persatuan Pengusaha Warga Guanhzhou di Bali pada Desember 2003 lalu. Tahun lalu, mereka juga mendapat juara II dan juara harapan II pada lomba barongsai di Semarang, Jawa Tengah.

Untuk Imlek kali ini pun mereka mendapat undangan tampil di beberapa acara perayaan Imlek bersama seperti pada 28 Januari nanti di Restoran Hongkong, Denpasar. Menurut Adhi, kelompok barongsai Pusaka Tantra di Kuta ini adalah salah satu dari sekitar empat kelompk barongsai di Bali yang berinduk pada vihara. Selain di vihara Dharmayana, kelompok lain adanya di Tanah Kilap, Denpasar; Ubung, Denpasar; serta Singaraja, Buleleng. Selain kelompok barongsai yang berinduk pada vihara, ada juga beberapa kelompok individu yang memang dibuat semata untuk komersial. Bedanya, kalau kelompok komersial ini memang tampil untuk dibayar maka kelompok yang dibuat vihara lebih untuk melestarikan tradisi. Secara spiritual, kami yakin bahwa ketika kami main ada Dewa Dewi yang membimbing kami, tambah Adhi. Apakah Tembok Cina Terlihat dari Angkasa?

Selama ini telah tertanam dalam pikiran kita bahwa Tembok Cina adalah satu-satunya objek buatan manusia yang terlihat dari luar angkasa. Sedangkan bangunanbangunan raksasa lainnya tidak pernah disebut tampak dari angkasa. Selama beberapa dekade, Cina selalu mengklaim bahwa peninggalan sejarah yang amat terkenal itu bisa terlihat dari angkasa luar. Namun mitos tersebut mulai diragukan setelah Yang Liwei pulang dari perjalanan ke angkasa luar selama 21,5 jam tahun lalu. Waktu itu Liwei menyatakan dirinya tidak bisa melihat tembok besar Cina dari wahananya, Shenzhou V. Alasannya, tembok itu tidak terlalu lebar dan bahan pembuatnya adalah material yang berwarna seperti lingkungan sekitarnya, sehingga sangat tersamar. Kenyataan itu justru diberitakan oleh astronot Cina pertama, Yang Liwei yang kembali dari angkasa sebagai pahlawan setelah menyelesaikan suatu perjalanan bersejarah yang sejak lama diimpikan Cina, yakni menjadi salah satu negara penakluk ruang angkasa. Yang Liwei menyatakan dengan jelas dalam

wawancara televisi, Saya tidak melihat Tembok Besar Cina dari angkasa, namun bumi terlihat sangat indah. Tembok Raksasa Cina atau Tembok Besar Cina (Hanzi tradisional: ; Hanzi sederhana: ; pinyin: Chngchng), juga dikenal di Cina dengan nama Tembok Raksasa Sepanjang 10.000 Li (; ; Wnl Chngchng) merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat oleh manusia, terletak di Republik Rakyat Cina. Panjangnya adalah 6.400 kilometer (dari kawasan Sanhai Pass di timur hingga Lop Nur di sebelah barat) dan tingginya 8 meter dengan tujuan untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari Utara pada masa itu. Lebar bagian atasnya 5 m, sedangkan lebar bagian bawahnya 8 m. Setiap 180-270 m dibuat semacam menara pengintai. Tinggi menara pengintai tersebut 11-12 m. Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun di zaman berbagai kaisar. Semula, diperkirakan Qin Shi-huang yang memulai pembangunan tembok itu, namun menurut penelitian dan catatan literatur sejarah, tembok itu telah dibuat sebelum Dinasti Qin berdiri, tepatnya dibangun pertama kali pada Zaman Negaranegara Berperang. Kaisar Qin Shi-huang meneruskan pembangunan dan pengokohan tembok yang telah dibangun sebelumnya. Sepeninggal Qin Shi-huang, pembuatan tembok ini sempat terhenti dan baru dilanjutkan kembali di zaman Dinasti Sui, terakhir dilanjutkan lagi di zaman Dinasti Ming. Bentuk Tembok Raksasa yang sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan dari zaman Ming tadi. Bagian dalam tembok berisi tanah yang bercampur dengan bata dan batu-batuan. Bagian atasnya dibuat jalan utama untuk pasukan berkuda Tiongkok. Tembok Raksasa Cina dianggap sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Pada tahun 1987, bangunan ini dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Sejarah Singkat Tionghoa Singkawang Akibat perang, bencana alam, dsb, banyak orang Melayu tersebar dari Asia Selatan ke Asia Tenggara. Sebagian dari mereka tiba dan menetap di kepulauan Nusantara. Gelombang pertama orang Melayu disebut Melayu Tua (Proto Melayu) dan penyebarannyasekitar 1.500 Tahun SM. Negrito dan Wedda, yang masing-masing adalah ras asli di kepulauan Nusantara berbaur dengan atau terdesak kedaerah pinggiran oleh Melayu Tua tersebut. Menurut Dr.Fridolin Ukur, penduduk pribumi Kalimantan yangdikenal dengan nama Dayak berasal dari Tiongkok bagian selatan, atau tepatnya Provinsi Yunan (d/h. Yunnan, demikian juga selanjutnya) yang ikut dengan arus migrasi besar-besaran antara tahun 3.000-5.000 SM. Demikian dikutip oleh Ali Bastian. (Bastian,Ali, Penduduk Asli Kalimantan dari Tiongkok Selatan? Harian Berita Yuda, 23 September 1991). Penyebaran gelombang kedua yang disebut Melayu Muda (Deutro Melayu) terjadi sekitar 200-300 tahun SM. Pada awal abad ke -2 SM, sebagaimana tercatat dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia, terjadi migrasi nenek moyang orang Indonesia ke kepulauan Nusanatara ini, Migrasi bangsa iniberlangsung lama sekali dan dalam gelombang-gelombang pada waktu yang berlainan. Tanah asal mereka adalah Tiongkok Selatan (Yunnan). Dari sana mereka berjalan ke pantai barat Hindia Belakang, terus ke selatan dan akhitnya tiba di Indonesia yang sekarang (Saripin, S., Sejarah Kesenian Indonesia, Jakarta: Pratnya Paramita, 1960, hlm.21) . Kemudian Melayu Muda ini membaur dengan Melayu Tua, atau mendesak sebagiannya kedaerah pinggiran. Keturunan kedua golongan yang berbaur itulah yang menjadi bagian utama bangsa Indonesia saat ini. Darimana Gerangan Melayu Tua dan melayu Muda yang kemudian menetap di Nusantara pada zaman prasejarah itu berasal?

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat, banyak cendekiawan sepakat bahwa baik Melayu Tua maupun Melayu Muda berasl dari bagian selatan darata Asia. Argumen ini telah terbukti dengan hasil studi antropologi, arkelologi, peradatan, linguistik dsb. Dan dari semua itu dapat dipastikan bahwa semuanya agama aslinya adalah Animisme. Pada Abad ke-7, Buddhisme sangat berkembang di Tiongkok maupun di Indonesia,. Selama 25 tahun (671-695), Yi Jing (I-Tsing) bikkhu senior Dinasti Tang, dalam perjalanannya mengejar agama Buddha ke India (Karyanya: Kisah Perjalanan Mengejar Buddhisme di Laut Selatan), pernah 3 kali singgah di Sriwijaya, dan tinggal belasan tahun disana. Hui Ning (664-665), juga seorang bikkhu senior pada Dinasti Tang tiba di Keling, Jawa. Sekitar 20 bikkhu Tionghoa sudah mengunjungi Sriwijaya, Melayu (sekitar Jambi) atau Keling ketika Yi Jing dan Hui Ning mengadakan perlawatan ke sana. Hu Ning pada akhirnya menetap di Sriwijaya dan Jawa, dan meninggal pada usia lanjut di Indonesia. Dalam hal ini ternyata Kerajaan Sriwijaya sangat mempengaruhi perkembangan agama Buddha yang ada di Tiongkok. Yi Jing malah mengusulkan pada kaisar bagi bikkhu Tiongkok yang ingin mempelajari Buddhisme di India agar belajar dahulu di Sriwijaya. Dari letak geografi, perjalanan laut dari Tiongkok ke Jawa dan Sriwijaya, mereka singgah dipanatai-pantai Kalimantan Barat, walau tidak disebutkan secara khusus karena waktu itu langka penduduk. Sejalan dengan proses Islamisasi yang berlangsung dibeberapa pulau besar Indonsia pada pertengahan abad ke-16, Buddha berangsur-angsur menjadi agama yang banayak dianut oleh orang-orang Tionghoa. Keadaan ini masih berlanjut hingga kini. Sejak Dinasti Han samapai Dinasti Tang, di Tiongkok makin banyak penduduk yang menganut Buddha, Taoisme, dan Konghucu. Orang Tionghoa di Indonesia (orang Tionghoa disini secara luas berarti semua orang berdarah keturunan Tionghoa) menganut ketiga agama tersebut sebagai Sam Kauw atau Tridharma. Mereka memeluk ketiga agama tersebut dan membawa kebudayaan tradisional Tionghoa di Indonesia. Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah perkumpulan orang Tionghoa yang terkenal, didirikan pada tahun 1900. Lee Kim Hok, salah seorang pemimipin perkumpulan itu dalam tulisannya yang berjudul Agama Orang Tinghoa, telah menguraikan perpaduan ajaran Konghucu dengan Buddha dan Taoisme. Klenteng Sam Po Kong yang sangat terkenal di Semarang, Jawa tengah, yang didirikan oleh orang Tionghoa, secara mencolok mencerminkan cirri-ciri ketiga agama tersebut. Cendikiawan Singapura Lee Khoon Choy menuliskan dalam bukunya, Yinni: Shenhua Yu Xianshi (Indonesia: Mitos dan Realita), bahwa Kelenteng sam Po Kong mengandung cirri-ciri perpaduan tritunggal ketiga agama tersebut. Buddhisme tercermin pada bentuk klenteng, Taoisme tercermin pada suasana misterius jejak peninggalan jangkar kuno, sedangkan Konghucu tercermin dalam lukisan foto Konghucu serta jejak-jejak peninggalan mengenai peringatan 100 pelaut, yang kesemuanya mewakili azas ajaran menyembah nenek moyang dari agama Konghucu. Pada Tahun 1934, Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee Indonesia pada masa Hindia Belanda, dengan tujuan untuk menyatukan, mengembangkan, dan mempraktikan ketiga agama itu. Pada tahun 1952 ia mendirikan Gabungan Sam Kauw Hwee, yang diganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia pada era Soeharto (ORBA) Pemerintahan soeharto menggalakkan politik pembauran terhadap orang Tionghoa Indonesia, dank arena Konghucu dan Taoisme dianggap berasal dari Tiongkok, serta dianggap tidak menguntungkan pembauran orang Tionhoa, maka dikenakan berbagai pembatasan. Gabungan Tridharma Indonesia kini utamanya mengadakan kegiatan ibadat Buddha, mayoritas mutlak umatnya adalah pemeluk Buddha Mahayana.

Pada abad ke-15 (Tahun 1407), armada laksamana Ceng Ho (Zeng He) atau Sam Po Bo atau Sam Po Kong tiba di Kukang, Palembang Sumatera dan mulailah terbentuk komunitas muslim Hanafi sampai ke Sambas di Kalbar. (Tuanku Rao, hlm.652 , China Muslim, hlm.2). Haji Mah Hwang, asisten Laksamana Cheng Ho, dalam bukunya Yingya Shenglam (Pemandangan Indah di Seberang Samudera) menuliskan sebelum Cheng Ho tiba di Nusantara, sudang ada sejumlah Muslim Tionghoa. Seabad sebelumnya kaisar Shian (Dinasti Yuan, Tiongkok) pernah mengutus dua orang duta muslim beserta rombongan bernama Sulaiman dan Shamsuddin mengunjungi negara Melayu Abad ke-17, Sulatan ahmad (nama Wang Santing atau Wang Samtheng, dikenal sebagai menteri negeri Cina) beristrikan putrid Sultan Muhammad dari brunai, menurunkan Raden Sulaiman, pendiri Kesultanan Sambas Pada Abad ke-18, antara tahun 1720-1750, Sultan Sambas yakni Sultan Umar Akamuddin pertama kali mengundang penambang-penambang orang tioghoa dari Tiongkok untuk membuka tambang-tambang emas di wilayah kesultanan Sambas. Sekarang wilayah Singkawang, Bengkayang dan Sambas. (Chinese Democracies, hlm.25,312) Antara 1776-1854 di wilayah Sambas, terbentuk Federasi dari 14 Kongsi kongsi komunitas penambang Tionghoa. Bernama Heshun Zong Ting (Fosjoen). Ke-14 Kongsi-kongsi itu dalah al : Da gang (Thai Kong), Keng Wei (Hang Moei), Lintian, dll. Tahun 1834, George Windsar Earl, dalam karangannyaThe Eastern Seas or Voyages and Adventures In The Indian Archipelago, menuliskan kunjungan ke Singkawang, Sambas dan Bengkayang pada tahun 1934, banyak catatan sejarah kehidupan masyarakat Singbebas tercermin dalam kunjungan tersebut, antara lain pasar dan toko-toko di Singkawang hanya dijaga oleh nyonya-nyonya yang bersuami laki-laki Tionghoa dan hanya sedikit nyonya pemilik toko adalah orang Tionghoa, kebanyakan adalah wanita Dayak yang bersuamikan orang Tionghoa. Terlihat bahwa hampir seabad sejak kedatangan rombongan penambang tionghoa ke Singbebas yang ada adalah pria semua, keseimbangan gender hanya dapat didekati dengan perkawinan campur pria tionghoa dengan wanita setempat. Tahun 1838, Doty dan Puhlman, dua pendeta Jesuit, misionaris Amerika yang berkunjung ke Singbebas, menuliskan kunjunganna dalam Tour in Borneo, From Sambas Through Monterado to Pontianak and..Settlement of Chinese and Dayak, During The ..1838, antara lain penghidupan dan kehidupan penduduk Tionghoa dan lingkungannya adalah yang terbaik dari temapt-tempat lain yang pernah mereka kunjungi (di seluruh dunia) bahkan secara mengejutkan mereka menemukan anakanak sampai umur 14 tahun semua bersekolah ( Chun Kew, 89 ) Abad ke-21 bahwa wilayah Sambas yang melingkupi kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang (Singbebas) bermakna sam (tiga) bas(suku/etnis), dalam ari penduduknya terdii dari : 1. Etnis Melayu Sambas, yang beragama Islam, peleburan dari berbagai suku/etnis yaitu Melayu, turunan campuran Tionghoa-Dayak Islam, Bugis, Jawa, dan lain-lain yang beragama Islam dan mengidentifikasi diri sebagai etnis Melayu. 2. Etnis Tionghoa Tankaw (Tao, Budha dan Konfusius), katolik, Protestan merupakan turunan cina perantauan dan campuran Tionghoa Dayak yang awal

mengidentifikasikan diri dalam etnis Tionghoa (turunan China perantauan di Indonesia) 3. Etnis Dayak, beragama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan) Berdasarkan sekelumit informasi dan gambaran sejarah tentang pertautan persaudaraan dan persinggngan agama yang dianut masing-masing etnis di Sambas, diharapkan dapat meningkatkan persatuan dan harmsai etnis di sambas dalam menyongsong masa depan, era globalisasi. Bahwa perayaan Festival Cap Go Meh di Singkawang Februari 2008, merupakan perayaan awal Tiongkok yang sudah ada sejak lebih dari 250 tahun dirayakan di Sambas, telah beradaptasi dan berasimilasi dengan budaya, tradisi dan ritual tradisional animisme setempat, merupakan festival pesta rakyat terbesar di dunia dan fenomena menarik atau perspektif budaya dan pariwisata dunia. sejarahnya benar sesuai ilmu pengetahuan, hanya sedikit masukan saya agar jadi bahan penelitian lebih lanjut. tidak semua suku Dayak datang dari Yunan, sebab ada sebagian suku Dayak yang berasal dari tanah ini atau borneo. berdasarkan sastra tua ( bekana, betutur, berenong dsb ) tentunya hal ini menjadi menarik dan dapat di teliti lebih lanjut. sebab dalam sastra lisan yang terdapat pada suku suku dDayak tertentu, ada kisah penciptaan dunia, sampai menurunkan suku dayaknya. misalnya ada yang berasal dari Tampun Juah, Bukit bawang, Bukit Tilong. dan mereka ini kemudian bercampur dengan Dayak lainnya yang datang dari Yunan. Dayak ada 405 Suku bangsa lho dan berbeda bahasa, dll. perlu penelitian nih kayaknya.

Kompetisi Akbar Wushu Tionghoa Melanjutkan Intisri Tradisional, Melestarikan Moralitas Acara penyerahan hadiah Kompetisi Akbar Wu Shu Tionghoa Sedunia pada tanggal 28 September pukul 20.00 (foto: Dai Bing/Epoch Times) New York - Kompetisi Akbar Wu Shu (Disebut juga Kung Fu, atau di Indonesia dahulu dikenal sebagai ilmu silat Kunthauw) Tionghoa Sedunia oleh NTDTV pada 28 September sore di "Armor Centre Manhattan-New York" telah ditutup dengan sukses. 30 peserta masuk final dan masing-masing menampilkan kebolehannya, dengan menghasilkan juara I, II dan III serta harapan pada 8 buah kelompok. Pesta lomba dunia persilatan kali ini, 400 lebih peserta berasal dari berbagai negara dan berbagai bangsa secara bersama-sama bersatu untuk menyukseskan proyek besar, menjalin persahabatan diantara pesilat, saling belajar dan berbagi pengalaman. Para peserta menyatakan, melalui kompetisi akbar kali ini, memperoleh manfaat yang lebih besar dan keterharuan oleh semangat NTDTV untuk penyebarluasan kesenian Wu Shu tradisional dan etika persilatan, selain sehat jiwa dan raga. Ketua juri kompetisi akbar, Li Youfu berpendapat: Melalui kompetisi akbar kali ini dengan melalui perlombaan Wu Shu tradisional Tiongkok telah mencapai pewarisan

inti-sari Wu Shu tradisional, mendorong saling berbagi pengalaman, penyebarluaskan kebudayaan pewarisan dewata, meningkatkan kesenian Wu Shu dan tujuan etika persilatan serta menampilkan konsepsi tradisional dari moralitas intelektual dan ketahanan fisik. Li Youfu mengakui upaya gigih yang telah dilakukan oleh kompetisi-NTDTV. Ia berpendapat: Banyak pesilat ber-ilmu tinggi telah berkumpul pada kompetisi akbar kali ini, menunjukkan dan menyebarluaskan Wu Shu tradisional Tionghoa. Ahli Wu Shu generasi tua dengan maksimal memamerkan tradisi, sedangkan di dunia persilatan bermunculan generasi baru, mereka mampu meneruskan inti sari Wu Shu tradisional, ini betul-betul adalah sebuah hal yang mengembirakan. Setiap Aliran Menunjukkan Inti Sari Wu Shu Tradisional Banyak sekali peserta dari bermacam-macam aliran yang ikut lomba kali ini, jenis dari ilmu silat Selatan meliputi: Hong , Yong Chun, Cai Li Fo, Mantis Selatan, silat aliran Buddha, silat 2 bentuk Harimau dan Bangau dan lain-lain. Dari ilmu silat Utara selain Chang Quan(baca: Jang Juan), Shao Lin, Ba Ji (baca: Pa Ci), Tong Bi(baca: Dong Pi), Fan Zi, mantis, Mian Quandan lain-lain teknik ilmu bela diri dari berbagai gaya. Dari kelompok Tai Ji (baca: Dai Ci) ada aliran: Chen, Yang, Wu, Wu, Chao Bao, Ba Gua Tai Ji dan lain-lain juga dari Xing Yi, Telapak Ba Gua (baca: Pa Kua)dan Wu Tang Tai Ji dan lain-lain. Dalam persenjataan termasuk toya, tombak, golok, pedang, ruyung 9 ruas, kipas, bangku dan lain-lain. Para petinggi silat dari berbagai sudut dunia di dalam kompetisi tersebut telah menunjukkan ilmu dasar yang kokoh dan unsur seni dari Wu Shu. Ilmu silat Selatan ditampilkan dengan langkah yang kokoh-stabil, teknik tangan yang lincah dan variatif, terjangan tinju yang kuat-tangkas. Ilmu silat Utara ditandai dengan karakter sederhana tapi elegant dan heroik, mengutamakan koordinasi yang lengkap, rentang gerak yang lepas, berbentuk kokoh dan power full, perbedaan gamblang gerak statis dan dinamis, energi dan nafas lancar mengena. Ilmu silat Xing Yi gagah dan sederhana, teknik geraknya ringkas dan praktis. Telapak Ba Gua bergerak bagai naga berenang, bersalto bagai elang terbang. Ilmu silat Tai Ji dengan kemahiran teknik "1 ons mengangkat 2,5 kwintal" nya, dengan maksimal memperagakan jalan/Dao besar dengan kelembutan/halus mengatasi kekakuan/keras. Li Youfu mengatakan bahwa tontonan berharga pada kompetisi kali ini telah dipamerkan, misalnya, ilmu tangan kosong dan senjata dari aliran Dao (baca: Tao), juga terdapat sejumlah ilmu silat aliran dalam dan luar yang tersebar di kalangan rakyat untuk pertama kalinya dipublikasikan ke khalayak. Wasit kompetisi Zou Zenghua mengatakan: "Yang membuat terharu ialah, pakar Wu Shu generasi tua di dalam perlombaan ini telah membangkitkan sebuah efek positif, mereka menunjukkan ilmu tradisional, dengan titik berat pada keikut-sertaan, bukannya pada kompetisi, sesungguhnya adalah untuk membina para anak muda." Klenteng

Klenteng ini dibangun pertama kali pada tahun 1650 dan dinamakan Kwan Im Teng. Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng daripada Vihara, yang kemudian melafalkannya sebagai Klenteng hingga saat ini. Pada mulanya "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha. Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal. Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain daripada fungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Cina. Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuklah itu kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama Sansekerta atau Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit membedakan klenteng dengan vihara. Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara. Menurut sejarah Cina Kuno, dikatakan bahwa orang-orang Cina mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang

didatangi adalah Palembang yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempahrempah. Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten, dan Jakarta. Orang-orang ini datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk agama. Di dalam masyarakat Cina dikenal adanya tiga agama yaitu Khong Hu Cu, Tao dan Buddha. Akan tetapi dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan. Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma, dengan tempat sembahyangnya yang disebut dengan Kelenteng. Bangunan suci Kelenteng ini mempunyai banyak aturan, misalnya didirikan diatas podium, dikelilingi oleh pagar keliling, mempunyai keletakan simetris, mempunyai atap dengan arsitektur Cina, sistim strukturnya terdiri dari tiang dan balok, serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan. Dalam mencari lokasi untuk bangunan ini harus berpedoman pada Hong Sui (Feng Sui). Dengan berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan akan memberikan keberuntungan pada penghuninya.

Perayaan Perahu NagaPerayaan perahu naga selalu menjadi simbol dalam semangat dan kebudayaan bangsa Tionghoa. Merupakan salah satu dari perayaan besar bangsa Tionghoa yang diadakan setiap tahun, dan saat ini bisa disaksikan dari seluruh penjuru dunia. Berpartisipasi dalam perayaan perahu naga, baik sebagai peserta ataupun penonton, merupakan sesuatu yang menyenangkan dan dapat dinikmati oleh setiap orang. Anda dapat menyaksikan perahu-perahu yang beraneka warna, dengan dihiasi kepala naga, ekor naga dan lukisan sepanjang badan perahu. Anda dapat menyaksikan para peserta yang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang pertama sampai pada garis akhir. Penonton yang berteriak dan memberi semangat bagi perahu pilihan mereka, sementara itu pemukul gendang memukul gendangnya dan berteriak untuk memberikan semangat dan menyelaraskan irama dayung bagi setiap peserta dalam perahunya. Perayaan ini jangan diharapkan sebagai suatu perayaan yang tenang, namun sebuah perayaan yang ceria dan menyenangkan, sebuah pesta besar. Untuk mengetahui asal usul dari perayaan perahu naga ini banyak yang tidak atau kurang mengetahuinya. Bahkan banyak orang hanya mengatakan asal usulnya adalah pada jaman dahulu kala. Sebenarnya asal usul perayaan perahu naga ini bermula dari sekitar 2000 tahun yang lalu ketika para penganut kepercayaan yang ada mempercayai bahwa pertandingan perahu dapat membawa kemakmuran dan kesuburan tanaman. Perayaan mengambil waktu pada saat musim panas, waktu dimana banyak terjadi bencana dan kematian, dan dimana manusia merasa tidak berdaya atas kekuasaan alam. Pertandingan itu menjadi simbol atas perlawanan manusia menghadapi alam dan pertarungannya melawan musuh-musuh. Perayaan perahu naga dirayakan pada saat lima dari lima, yaitu hari ke-lima dari bulan ke-lima penanggalan Cina. Merah mendominasi warna dari perahu yang bertanding, karena merah adalah warna dari angka lima dan merupakan simbol dari panas, musim panas, dan api. Panjang dari perahu naga antara 30 sampai 100 kaki, dan cukup lebar untuk menampung dua orang secara sejajar. Beberapa ritual asli masih dilakukan sampai saat ini, seperti membangunkan sang naga dengan memberikan tanda titik pada kepala naga disetiap perahu. Perayaan ini dilakukan

untuk memberikan berkah kepada daerah sekitar, para perahu yang bertanding, dan para pesertanya. Juga memberikan para perahu dan pesertanya kekuatan dari sang Naga dan berkah dari Dewi Laut. Sekalipun demikian, banyak yang sudah berubah dalam perayaan itu. Seperti para penonton tidak lagi melemparkan batu kepada perahu saingannya, dan tidak lagi menenggelamkan satu orang, yang mengejutkan adalah pengorbanan itu dahulu dianggap sebagai pengorbanan terhadap dewa dan sebagai tanda keberuntungan. Perayaan perahu naga saat ini lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Tidak lagi diperuntukkan bagi mengusir kejahatan dan mendatangkan tahun yang baik, tetapi bagi memberikan sedikit hiburan dan pendidikan kepada rakyat tentang sejarah dan kebudayaan bangsa Tionghoa. Sekarang tidak lagi seperti dahulu, yang mana sangat ketahyulan, namun tetap terdapat kegembiraan dalam perayaan tersebut.

ImlekImlek (lafal Hokkian dari , pinyin: yin li, yang artinya kalender bulan) atau Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari. Kalender Tionghoa sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghoa dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghoa dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nngl /), "Kalender Yin /" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Lama" (jul /) setelah "Kalender Baru" (xnl /) yaitu kalender masehi, diadopsi sebagai kalender resmi dan "Kalender Xi /" yang pada hakekatnya tidak sama dengan kalender saat ini.

SejarahHuang DiKalender Tionghoa mulai dikembangkan pada millenium ketiga sebelum masehi, konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Hung D, yang memerintah antara tahun 2698 SM - 2599 SM. Dan dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris keempat, Kaisar Yo. Siklus 60 tahun (gnzh atau lish jiz) mulai digunakan pada millennium kedua sebelum masehi. Kalender yang lebih lengkap ditetapkan pada tahun 841sm pada zaman Dinasti Zhu dengan menambahkan penerapan bulan ganda dan bulan pertama satu tahun dimulai dekat dengan titik balik matahari pada musim dingin.

Dinasti QinKalender Sfn (empat triwulan), yang mulai diterapkan sekitar tahun 484sm, adalah kalender Tionghoa pertama yang memakai perhitungan lebih akurat, menggunakan penanggalan matahari 365 hari, dengan siklus 19 tahun (235 bulan), yang dalam ilmu pengetahuan Barat dikenal sebagai Peredaran Metonic. Titik balik matahari musim dingin adalah bulan pertamanya dan bulan gandanya disisipi mengikuti bulan ke 12. Pada tahun 256sm, kalender ini mulai digunakan oleh negara Qn, kemudian diterapkan di seluruh negeri Cina setelah Qn mengambil alih keseluruhan negeri Cina dan menjadi Dinasti Qn. Kelender ini tetap digunakan sepanjang separuh pertama Dinasti Hn Barat.

[sunting] Dinasti HanKaisar W dari Dinasti Han Barat memperkenalkan reformasi kalender baru. Kalender Tich (Permulaan Agung) pada tahun 104sm mempunyai tahun dengan titik balik matahari musim dingin pada bulan ke 12 dan menentukan jumlah hari untuk penanggalan bulan (satu bulan 29 atau 30 hari) dan bukan sesuai dengan prinsip terminologi matahari (yang secara keseluruhan sama dengan tanda zodiak). Sebab gerakan matahari digunakan untuk mengkalkulasi Jiq (ciri-ciri musim).

[sunting] Dinasti TangSedangkan pada zaman Dinasti Jin dan Dinasti Tang juga sempat dikembangkan Kalender Dyn dan Hungj, walaupun tidak sempat dipergunakan. Dengan pengenalan ilmu astronomi Barat ke Cina melalui misi penyebaran agama Kristen, gerakan bulan dan matahari mulai dihitung pada tahun 1645 dalam Kalender Shxin Dinasti Qng, yang dibuat oleh Misioner Adam Schall.

[sunting] Cara perhitunganKalender Tionghoa memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti ; perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. (Catatan, "hari" dalam Kalender Tionghoa dimulai dari jam 11 malam dan bukan jam 12 tengah malam). Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rnyu, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiq (musim) tahun matahari Cina adalah setara dengan satu pemulaan matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik matahari musim dingin (masuk Capricorn) selama bulan 11.

[sunting] Penerapan di masa kiniPenggunaan utama dalam kegiatan sehari-hari adalah menentukan fase bulan, yang penting bagi petani dan dimungkinkan karena setiap hari dalam kalender sesuai dengan fase tertentu dalam suatu bulan. Kalender tradisional Asia Timur lainnya mirip, atau sama, dengan kalender Tionghoa: kalender Korea sama, dalam kalender Vietnam digunakan kucing, bukan kelinci dalam shionya, dan kalender Jepang tradisional menggunakan metode penghitungan yang berbeda, sehingga ada ketidaksesuaian antara kedua kalender itu dalam tahun-tahun tertentu.

[sunting] Dua belas shioKedua belas binatang ( shr shngxio, atau shr shxing) yang melambangkan kedua belas Cabang Bumi adalah, sesuai urutannya: Tikus Kerbau Macan Kelinci Naga Ular Kuda Kambing Kera Ayam babi Anjing

PERAYAAN CAP GOMEH DAN RITUAL DEWI BULANPada Selasa 9 Februari 2009, sekitar pukul 20.00 WIB, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bersama Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) menggelar acara Festival Bulan Purnama di stand Istana Anak-Anak Indonesia. Acara itu sekaligus juga menandai penutupan Pekan Budaya Tionghoa Indonesia TMII. Acara ini merupakan bagian dari perayaan Cap Go Meh. Sebagaimana ditulis Wikipedia, Cap Go Meh ini melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek (saat ini tahun 2560) bagi komunitas Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien yang bermakna hari kelima belas dari bulan pertama yang juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut.

Penulis sengaja menyempatkan diri untuk melihat perayaan tersebut. Ternyata acaranya cukup menarik dan unik. Terutama karena materi acaranya cukup beragam, seperti sajian tari dari Suku Dayak Kalimantan dan Nusa Tenggara Barat. Jadi tidak hanya tarian Barongsai khas Cina.Ada pula sejumlah atraksi debus (kekebalan) dari etnis Tionghoa dan juga dari kelompok Pagar Nusa. Di samping upacara memberi energi supranatural pada keris. Dapat dikatakan, acara ini memang memadukan berbagai unsur budaya di negeri ini.

Acara ini juga dihadiri tokoh-tokoh spiritual dari berbagai daerah yang mengadakan semacam ruwatan atau ritual Dewi Bulan Purnama. Yang disebut terakhir itu bermakna mengambil aura bulan purnama dan mandi suci buang sial di Sendang Sejodo yang berada di Istana Anak-Anak Indonesia. Sendang Sejodo adalah semacam sumber mata air yang kini menjadi bagian dari kolam renang. Tetapi dibatasi tembok. Sendang ini kabarnya biasa dijadikan tempat melakukan ritual supramistis. Selain yang disebutkan di atas, rangkaian acara lainnya adalah rebutan hue dan kue ranjang yang telah diberkati sejumlah tokoh spiritual Tionghoa. Acara rebutan makanan tentu saja menarik. Penonton saling memperebutkan kue yang tidak seberapa banyak itu.Mirip dengan rebutan tumpengan saat Grebeg Maulud di Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta. Acara wayang Po The Hi juga tergolong unik. Selama ini penulis lebih sering melihatnya sekilas saat menonton film Mandarin.Kenyataannya, wayang khas Cina ini juga eksis di sini. Meski tampaknya tidak terlalu populer. Wayang Po The Hi menampilkan lakon Sie Kong dalam petualangan dengan dalang Seehu Tan Bun Siang, dkk dari Klenteng Sidoarjo Jawa Timur. Kehadiran acara semacam ini tentu sangat menggembirakan. Seperti dikatakan Ade F. Meyliala, Direktur Operasi TMII, Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak dahulu dan hidup berbaur dengan semuanya. Jadi TMII melihat etnis Tionghoa ini

sebagai salah satu etnis yang ada di Indonesia, bagian dari kesatuan negara Republik Indonesia. Sebelum reformasi 1998, etnis Tionghoa nyaris dilarang mengadakan acara yang terkait dengan budayanya. Orde Baru seolah memandang etnis ini sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Syukurlah, Orba telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.