15
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Caisim atau sawi hijau (Brassica juncea L.) merupakan tanaman sayuran iklim sub-tropis, namun mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Caisim mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah kubis crop, kubis bunga, dan brokoli. Sawi termasuk kedalam kelompok tanaman sayuran daun yang mengandung zat-zat gizi lengkap yang memenuhi syarat untuk kebutuhan gizi masyarakat. Sawi hijau bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah sebagai lalapan maupun dalam bentuk olahan dalam berbagai macam masakan. Sebagai sayuran, caisim mengandung berbagai khasiat bagi kesehatan. Kandungan yang terdapat pada caisim adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C. Selain mempunyai nilai ekonomi tinggi, caisim juga memiliki banyak manfaat. Manfaat caisim yaitu sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal ditenggorokan pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan (Margiyanto, 2008; Fahrudin, 2009 dalam Abas, 2013). Di Indonesia, sangat memungkinkan dikembangkan tanaman sayur- sayuran yang banyak bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi manusia. Diantara tanaman sayur-sayuran yang mudah dibudidayakan adalah caisim karena sangat mudah dikembangkan dan banyak kalangan yang menyukai serta memanfaatkannya. Selain itu, sangat potensial untuk komersial dan mempunyai prospek pasar yang sangat baik. Masa panen yang singkat dan pasar yang terbuka luas

Budidaya Organik Sawi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pertanian Organik

Citation preview

1. PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangCaisim atau sawi hijau (Brassica juncea L.) merupakan tanaman sayuran iklim sub-tropis, namun mampu beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Caisim mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah kubis crop, kubis bunga, dan brokoli. Sawi termasuk kedalam kelompok tanaman sayuran daun yang mengandung zat-zat gizi lengkap yang memenuhi syarat untuk kebutuhan gizi masyarakat. Sawi hijau bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah sebagai lalapan maupun dalam bentuk olahan dalam berbagai macam masakan. Sebagai sayuran, caisim mengandung berbagai khasiat bagi kesehatan. Kandungan yang terdapat pada caisim adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C. Selain mempunyai nilai ekonomi tinggi, caisim juga memiliki banyak manfaat. Manfaat caisim yaitu sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal ditenggorokan pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan (Margiyanto, 2008; Fahrudin, 2009 dalam Abas, 2013).Di Indonesia, sangat memungkinkan dikembangkan tanaman sayur-sayuran yang banyak bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi manusia. Diantara tanaman sayur-sayuran yang mudah dibudidayakan adalah caisim karena sangat mudah dikembangkan dan banyak kalangan yang menyukai serta memanfaatkannya. Selain itu, sangat potensial untuk komersial dan mempunyai prospek pasar yang sangat baik. Masa panen yang singkat dan pasar yang terbuka luas merupakan daya tarik untuk mengusahakan caisim. Daya tarik lainnya adalah harga yang relatif stabil dan mudah diusahakan (Hapsari, 2002). Permintaan masyarakat terhadap caisim semakin lama semakin meningkat. Dengan permintaan caisim yang semakin meningkat, maka untuk memenuhi kebutuhan konsumen baik dalam segi kualitas maupun kuantitas, perlu dilakukan peningkatan produksi. Namun seringkali terjadi petani menanam sawi tanpa memperhatikan kualitasnya, sehingga hasil dan kualitasnya sangat rendah. Penggunaan bahan-bahan sintetik sejak era Revolusi Hijau pada awal tahun 1970 tanpa mereka sadari, dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Penurunan produktivitas lahan merupakan akibat dari pembudidayaan tanaman secara tidak rasional karena penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan, sehingga telah merusak keseimbangan unsur hara tanah dan keanekaragaman hayati. Lebih lanjut, residu bahan kimia dalam produk pertanian juga dapat menjadi masalah bagi kesehatan manusia. Ketergantungan pada input kimia dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan kemandirian pangan (Shiva, 1991 dalam Herawati, 2014).Berbagai upaya telah dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya yaitu dengan menggalakkan pertanian secara organik. Pertanian organik itu sendiri merupakan cara bertani tanpa menggunakan input bahan kimia buatan, seperti pupuk dan pestisida sintetis. Semua input yang digunakan yaitu berasal dari bahan-bahan yang alami. Pertanian organik modern di Indonesia diperkenalkan oleh Yayasan Bina Sarana Bakti (BSB), dengan mengembangkan usahatani sayuran organik di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 (Prawoto and Surono, 2005; Sutanto 2002 dalam Mayrowani, 2012). Pada tahun 2006, terdapat 23.605 petani organik di Indonesia dengan luas area 41.431 ha atau 0,09 persen dari total lahan pertanian di Indonesia. Pada tahun 2007, luas areal pertanian organik di Indonesia adalah 40.970 ha. Meningkat secara tajam pada tahun 2008 sebesar 409% menjadi 208.535 ha. Pertumbuhan luas pertanian organik dari tahun 2008 hingga 2009 tidak terlalu signifikan, hanya 3%. Luas areal pertanian organik Indonesia tahun 2010 adalah 238,872.24 ha, meningkat 10% dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun 2011, menurun 5,77% dari tahun sebelumnya menjadi 225.062,65 ha. Hal ini disebabkan jumlah pelaku (petani madu hutan) tidak lagi melanjutkan sertifikasi produknya pada tahun 2011 (IFOAM, 2008 dalam Mayrowani, 2012). Walaupun terjadi penurunan yang sangat kecil, para petani di Indonesia masih banyak berminat akan pertanian organik. Menurut Inawati (2011) dalam Mayrowani (2012), berkembangnya produsen dan komoditas organik ini dikarenakan oleh pengaruh gaya hidup masyarakat sebagai konsumen yang mulai memperhatikan pentingnya kesehatan dan lingkungan hidup dengan menggunakan produk organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetis buatan.Maka dari itu berdasarkan latar belakang diatas, dalam laporan ini akan dibahas mengenai teknik budidaya sawi secara semi organik. Penggunaan teknik budidaya ini 50% pupuk kimia dan 50% pupuk hijau yang dibenamkan dalam tanah saat pengolahan tanah. Kemudian akan dilanjutkan dengan analisa pertumbuhan tanaman, yaitu tinggi tanaman dan jumlah daun.

1.2 TujuanTujuan disusunnya laporan ini yaitu untuk membandingkan pertumbuhan tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.) dengan penggunaan pupuk anorganik dengan pupuk organik yang berupa pupuk hiaju dari jenis tanaman Crotalaria juncea dan Crotalaria mucronata Desv.2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Klasifikasi Tanaman SawiSawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop, kubis bunga, brokoli, dan lobak atau rades, yakni famili cruciferae (brassicaceae). Oleh karena itu, sifat morfologis tanamannya hampir sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah (polong), maupun bijinya. Klasifikasi sawi dalam Rukmana (2002) yaitu : Divisi: Spermatophyta Kelas: Angiospermae Sub-kelas: Dicotyledonae Ordo: Papavorales Famili: Brassicaceae Genus: Brassica Spesies: Brassica juncea L.

2.2 Botani Tanaman SawiSistem perakaran sawi memiliki akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua arah dengan kedalaman antara 30 - 50 cm. Akar-akar ini berfungsi untuk menghisap air dan zat makanan dari dalam tanah serta menguatkan berdirinya batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003). Batang sawi sangat pendek dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak terlihat. Batang ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun (Rukmana, 2002). Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Pada umumnya, pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk krop (Sunarjono, 2004).Sawi umumnya mudah berbunga dan berbiji secara alami, baik didataran tinggi maupun di dataran rendah. Stuktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari, dan satu buah putik yang berongga dua (Rukmana, 2002).

2.3 Syarat Tumbuh2.3.1 Tanah Tanah yang cocok untuk ditanami sawi adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), dan tata aerasi dalam tanah berjalan dengan baik. Derajat kemasaman (pH) tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah antara 6 - 7 (Haryanto et al., 2006). Kemasaman tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hara didalam tanah, aktifitas kehidupan jasad renik tanah, dan reaksi pupuk yang diberikan kedalam tanah. Penambahan pupuk ke dalam tanah secara langsung akan mempengaruhi sifat kemasamannya karena dapat menimbulkan reaksi masam, netral, ataupun basa yang mana secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi ketersediaan hara makro ataupun hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro lebih tinggi pada pH rendah. Semakin tinggi pH tanah, maka ketersediaan hara mikro semakin kecil (Hasibuan, 2010).Pada pH tanah yang rendah, dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada penyerapan hara oleh tanaman sehingga secara menyeluruh tanaman akan terganggu pertumbuhannya. Disamping itu kondisi tanah yang masam (kurang dari 5,5), menyebabkan beberapa unsur hara seperti magnesium, boron (B), dan molbdenium (Mo), menjadi tidak tersedia dan beberapa unsur hara seperti besi (Fe), alumunium (Al), dan mangan (Mn) dapat menjadi racun bagi tanaman. Dengan demikian bila sawi ditanam dengan kondisi yang terlalu masam, tanaman akan menderita penyakit klorosis dengan menunjukkan gejala daun berbintik-bintik kuning, urat-urat daun berwarna perunggu, daun berukuran kecil, dan bagian tepi daun berkerut (Cahyono, 2003).Sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah. Namun untuk pertumbuhan yang paling baik adalah jenis tanah lempung berpasir, seperti tanah andosol. Pada tanah-tanah yang mengandung liat, perlu pengolahan tanah yang cukup (Suhardi, 1990). Pemberian pupuk organik sangat baik untuk penyiapan tanah. Sebagai contoh, pemberian pupuk kandang yang baik yaitu 10 ton/ ha. Pupuk kandang diberikan saat penggemburan agar cepat merata dan bercampur dengan tanah yang akan digunakan. Bila daerah yang mempunyai pH terlalu rendah (asam), sebaiknya dilakukan pengapuran. Pengapuran ini bertujuan untuk menaikkan derajad keasaman tanah. Pengapuran ini dilakukan jauh-jauh sebelum penanaman benih, yaitu kira-kira 2 - 4 minggu sebelumnya. Sehingga waktu yang baik dalam melakukan penggemburan tanah yaitu 2 4 minggu sebelum lahan hendak ditanam. Jenis kapur yang digunakan adalah kapur kalsit (CaCO3) atau dolomit (CaMg(CO3)2) (Anonymous, 2008).2.3.2 IklimCurah hujan yang cukup sepanjang tahun dapat mendukung kelangsungan hidup tanaman karena ketersedian air tanah yang mencukupi. Sawi hijau tergolong tanaman yang tahan terhadap curah hujan, sehingga penanaman pada musim hujan masih bisa memberikan hasil yang cukup baik. Curah hujan yang sesuai untuk pembudidayaan sawi hijau adalah 1000 - 1500 mm/ tahun. Akan tetapi sawi tidak tahan terhadap air yang menggenang (Cahyono, 2003).Sawi pada umumnya banyak ditanam didataran rendah. Tanaman ini selain tahan terhadap suhu panas (tinggi), juga mudah berbunga dan menghasilkan biji secara alami pada kondisi iklim tropis Indonesia (Haryanto dkk, 2002). Kelembapan udara yang sesuai untuk pertumbuhan sawi hijau berkisar antara 80% - 90%. Kelembapan udara yang lebih dari 90%, dapat berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman. Kelembapan yang tinggi, tidak sesuai dengan yang dikehendaki tanaman karena dapat menyebabkan mulut daun (stomata) tertutup, sehingga penyerapan gas karbondioksida (CO2) terganggu. Dengan demikian kadar gas CO2 tidak dapat masuk kedalam daun, sehingga kadar gas CO2 yang diperlukan tanaman untuk fotosintesis tidak memadai. Akhirnya proses fotosintesis tidak berjalan dengan baik, sehingga semua proses pertumbuhan pada tanaman menurun (Cahyono, 2003).Selain dikenal sebagai tanaman sayuran daerah iklim sedang (sub-tropis), tetapi saat ini berkembang pesat didaerah panas (tropis). Kondisi iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhan sawi adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,6C dan siang hari 21,1C serta penyinaran matahari antara 10 - 13 jam per hari (Sastrahidajat dan Soemarno, 1996). Suhu udara yang lebih dari 21oC, dapat menyebabkan sawi hijau tidak dapat tumbuh dengan baik (tumbuh tidak sempurna) karena suhu udara yang tinggi lebih dari batasan maksimal yang dikehendaki tanaman, dapat menyebabkan proses fotosintesis tanaman tidak berjalan sempurna atau bahkan terhenti sehingga produksi pati (karbohidrat) juga terhenti. Selain itu, proses pernapasan (respirasi) dapat meningkat lebih besar. Akibatnya, produksi pati hasil fotosintesis lebih banyak digunakan untuk energi pernapasan daripada untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman tidak mampu untuk tumbuh dengan sempurna. Dengan demikian pada suhu udara yang tinggi, sawi hijau pertumbuhannya tidak subur, tanaman kurus, produksinya rendah, serta kualitas daun juga rendah (Cahyono, 2003).Sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun. Pada musim kemarau, yang perlu diperhatikan adalah penyiraman secara teratur. Berhubung dalam pertumbuhannya tanaman ini membutuhkan hawa yang sejuk, lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Akan tetapi tanaman ini juga tidak senang pada air yang menggenang. Dengan demikian, tanaman ini cocok bila ditanam pada akhir musim penghujan (Anonymous, 2008).2.4 Pupuk HijauTujuan penggunaan pupuk hijau yaitu untuk memperbaiki kesuburan, kesehatan, dan kualitas tanah sehingga produktivitas tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut dapat lebih tinggi daripada keadaan tanah semula. Perbaikan kesuburan, kesehatan, dan kualitas tanah dapat tercipta melalui perbaikan atau peningkatan sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Pupuk hijau berfungsi sebagai sumber dan penyangga unsur hara melalui proses dekomposisi dan peranannya terhadap penyedia bahan organik tanah dan mikroorganisme tanah. Bahan organik ini mempunyai peranan penting dalam usaha meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Pemberian pupuk hijau dapat memperbaiki sifat fisika tanah antara lain berat volume tanah, total ruang pori tanah, pori aerasi tanah dan air tanah tersedia (Barus dan Suwardjo, 1986 dalam Arsyad, 2011). Penambahan pupuk hijau berupa daun, ranting dan sebagainya yang belum melapuk merupakan pelindung tanah dari kekuatan perusak butir-butir hujan pada permukaan tanah. Pupuk hijau dalam tanah akan mengalami perombakan dan penguraian, senyawa-senyawa yang dilepaskan menjadi bentuk-bentuk senyawa tersedia bagi tanaman. Semakin banyak bahan pupuk hijau diberikan ke tanah, akan meningkatkan kemampuan tanah menyerap dan meningkatkan kandungan air tanah (Arsyad, 2011).Jenis tumbuhan yang dijadikan sumber pupuk hijau diutamakan dari jenis legum karena tanaman ini mempunyai kandungan hara (utamanya nitrogen) yang relatif tinggi dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Namun demikian, tumbuhan dari jenis non-legum pun misalnya sisa tanaman jagung, ubi-ubian, jerami padi, dll dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber pupuk hijau karena meskipun kandungan nitrogennya relatif rendah, namun beberapa unsur lainnya seperti kalium relatif tinggi. Alasan lain dipilihnya jenis legum sebagai pupuk hijau adalah karena tanaman atau sisa tanaman dari jenis legum relatif lebih mudah terdekomposisi, sehingga penyediaan haranya menjadi lebih cepat. Tanaman atau sisa tanaman dari jenis non-legum sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu bila akan digunakan sebagai pupuk organik atau sering pula dimanfaatkan sebagai bahan mulsa (dimulsakan). Tanaman penambat N seperti Sesbania rostrata, Aeshynomene, dan Azolla pinata dapat juga digunakan sebagai pupuk hijau. Beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi jika bahan-bahan tersebut akan digunakan sebagai pupuk organik yaitu kandungan bahan kering, kandungan humus total dan yang mudah dimineralisasi, kandungan N yang dapat dimanfaatkan secara cepat, C/N rasio, tingkat kandungan bahan-bahan berbahaya bagi pertumbuhan, kualitas hasil tanaman terutama unsur-unsur logam berat harus di bawah ambang batas yang sudah ditentukan, serta tidak mengandung senyawa yang bersifat allelopati terhadap tanaman utama (Rachman et al., 2007).Tanaman pupuk hijau yang akan ditanam hendaknya dipilih tanaman yang sesuai (adapted) dengan kondisi lokal, mudah ditanam, tumbuh cepat, hasil tinggi, kaya kandungan unsur hara, dan tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap tanaman pokok. Lebih disenangi jika tanaman pupuk hijau yang ditanam dapat menghasilkan biji dengan mudah, sehingga petani dapat dengan mudah mengadakan benih sendiri. Aplikasi pupuk hijau sangat ditentukan oleh tujuan utama dari pemberian pupuk hijau tersebut dan bahan atau sisa tanaman yang digunakan. Bila tujuan utama dari pemberian pupuk hijau adalah untuk penambahan dan penyediaan hara secara relatif cepat, maka lebih baik pemberian pupuk hijau dilakukan dengan cara dicampur atau dibenamkan. Pembenaman dari pupuk hijau bisa dilakukan dalam bentuk segar bila rasio C/N dari bahan tanaman yang digunakan relatif rendah), sedangkan bila rasio C/N terlalu tinggi lebih baik untuk dikomposkan terlebih dahulu (Rachman et al., 2007).Contoh jenis tanaman pupuk hijau yang dapat digunakan ialah Crotalaria juncea L. dan Crotalaria mucronata Desv. Pupuk hijau yang berasal dari C. juncea terdekomposisi menjadi bahan organik tanah menghasilkan koloid atau mineral liat yang mengandung humus dan berperan memperbaiki sifat-sifat tanah. C. juncea mempunyai kandungan hara nitrogen cukup tinggi, yaitu sekitar 3,01%. Pertumbuhan C. juncea relatif cepat, sehingga mampu menghasilkan biomassa dengan cepat pula (Sutejo, 2002 dalam Lestari et al., 2012). C. juncea memiliki kelebihan sebagai pupuk hijau karena mudah tumbuh di berbagai kondisi tanah, menghasilkan biomassa yang banyak, dan proses dekomposisinya cepat (Cook and White, 1996 dalam Sumarni, 2014). Selain itu, C. juncea juga dapat beradaptasi pada kisaran iklim yang luas. Tumbuhan ini dapat tumbuh hampir pada semua jenis tanah, namun hasil terbaik diperoleh pada lahan yang mempunyai drainase baik, terlebih jika pada tanah yang subur (Anonymous, 2008 dalam Sumarni, 2014). Namun demikian, C. juncea dapat tumbuh pada tanah marginal dan toleran terhadap kekeringan (Kolberg dan Eckhoff, 2005 dalam Sumarni, 2014). C. juncea L. termasuk dalam tanaman leguminoceae yang memiliki bintil akar yang mampu mengikat N bebas dari udara. Hasil penelitian Raihan et.al., (2001) dalam Puspareny et al. (2012) menyatakan bahwa pupuk hijau dari jenis C. juncea L. menghasilkan tinggi tanaman jagung yang tertinggi dibandingkan dengan bahan organik lain (Puspareny et al., 2012).Selain itu, tanaman Crotalaria mucronata Desv. telah banyak dimanfaatkan serta teruji kualitasnya sebagai pupuk hijau. (Vitria dan Sodek, 1999 dalam Marsha et al., 2014). Salah satu keunggulan C. mucronata Desv. sebagai tanaman pupuk hijau yaitu mampu tumbuh pada lahan marginal dan relatif toleran terhadap kekeringan (Djajadi, 2011 dalam Marsha et al., 2014). Crotalaria mucronata Desv. adalah salah satu tumbuhan dalam genus Crotalaria yang memiliki potensi sebagai pupuk hijau. C. mucronata Desv. memiliki sifat-sifat yang menguntungkan sebagai sumber bahan organik, yaitu menghasilkan biomassa yang tinggi serta mampu meningkatkan kandungan N-total tanah karena memiliki akar yang mampu bersimbiosis dengan Rhizobium sp. (Marsha et al., 2014).

DAFTAR PUSTAKAAbas, M. Z., F. Zakaria, dan W. Pembengo. 2013. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) Berdasarkan Variasi Jarak Tanam dan Varietas. Penelitian. Univ. Negeri GorontaloAnonymous. 2008. Budidaya Tanaman Sawi [Online]. Tersedia pada http://zuldesains.wordpress.com/2008/01/11/budidaya-tanaman-sawi/. Diakses pada 30 Mei 2015Arsyad, Y. Farni, dan Ermadani. 2011. Aplikasi Pupuk Hijau (Calopogonium mucunoides dan Pueraria javanica) terhadap Air Tanah Tersedia dan Hasil Kedelai. J. Hidrolitan. 2 (1): 31-39.Cahyono, B. 2003. Teknik dan Strategi Budidaya Sawi Hijau. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.Hapsari, B. 2002. Sayuran Genjah Bergelimang Rupiah. Trubus 33 (396): 30-31.Haryanto, Eko, dkk. 2008.Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta.Hasibuan, B. 2010. Pupuk dan Pemupukan. Univ. Sumatera Utara. Fakultas Pertanian. MedanHerawati, N. K., J. Hendrani, dan S. Nugraheni. 2014. Viabilitas Pertanian Organik Dibandingkan dengan Pertanian Konvensional. Lap. Akhir Penelitian. Univ. Katolik, ParahyanganHeru, P dan Yovita, H., I. 2003. Hidroponik Sayuran Semusim Untuk Hobi dan Bisnis. Gramedia. Jakarta.Lestari, D. W., J. Moenandir, dan T. Sumarni. 2012. Pengaruh Aplikasi Pupuk Hijau Orok-Orok (Crotalaria juncea L.) dan Jumlah Bibit/ Lubang Tanam pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Var. Cibogo. Penelitian S1. Univ. Brawijaya. Fak. PertanianMayrowani, H. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 30 (2): 91-108.Puspareny, D. A., T. Sumarni, dan A. Nugroho. 2012. Pengaruh Dosis dan lama Pembenaman Pupuk Hijau Orok-orok (Crotalaria juncea L.) pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max L.). penelitian S1. Univ. Brawijaya Fakultas PertanianRanchman, A., A. Dariah, dan D. Santoso. 2007. Pupuk Hijau. Balit Tanah Litbang. Hal. 41-54.Rukmana. 2002. Bertanam Petsai dan Sawi. Kanisius. Yogyakarta.Sastrahidajat, I. H. dan Soemarno. 1996. Budidaya Tanaman Tropika. Usaha Nasional. Surabaya.Suhardi, 1990. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius. Yogyakarta.Sumarni, Titin. 2014. Upaya Optimalisasi Kesuburan Tanah melalui Pupuk Hijau Orok-Orok (Crotalaria juncea) pada Pertanaman Jagung (Zea mays L.). Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. ISBN : 979-587-529-9Sunarjono, H. H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. P 38 47.