Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE)
DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK
YAMAHA DAN HONDA
(Analisis Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Indriani
11140480000053
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE)
DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK
YAMAHA DAN HONDA
(Analisis Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Indriani
NIM 11140480000053
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H /2018 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL
EVIDENCE) DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK
YAMAHA DAN HONDA (Analisis Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016) telah
diajukan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada (28 April
2018). Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Mei 2018
Indriani
iv
ABSTRAK
Indriani. NIM 11140480000053. BUKTI TIDAK LANGSUNG
(CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE) DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA
MOTOR MATIK YAMAHA DAN HONDA (Analisis Putusan KPPU Nomor
04/KPPU-I/2016). Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. viii + 72
halaman + 5 halaman daftar pustaka + 12 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan posisi bukti tidak langsung
(circumstantial evidence) dalam pembuktian perkara yang ditangani oleh KPPU
dengan menjadikan Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 sebagai contoh
perkara yang menggunakan bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
sebagai salah satu alat bukti yang digunakan Investigator KPPU dalam
membuktikan adanya praktik kartel yang terjadi di antara dua pelaku usaha yang
melakukan kesepakatan penetapan harga, yaitu PT. Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing sebagai Terlapor I dengan PT. Astra Honda Motor sebagai
Terlapor II. Berdasarkan putusan perkara tersebut, peneliti menganalisis
keberhasilan penggunaan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) di dalam
pemutusan perkara oleh KPPU dan pentingnya penambahan pasal tersendiri yang
menjelaskan secara rinci pengertian dan penggolongan sesuatu hal yang dapat
dikategorikan sebagai bukti tidak langsung di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk
memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan penelitian normatif-yuridis. Penelitian yang dilakukan
selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-
buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini. Peneliti
juga melakukan penelitian langsung dengan cara melakukan wawancara kepada
pihak yang berhubungan, yaitu dengan mewawancarai salah satu Investigator
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan bukti tidak langsung
(circumstantial evidence) di Indonesia masih menjadi perdebatan antara KPPU
dengan beberapa kalangan Hakim di Pengadilan Umum yang tidak menyetujui
dijadikannya bukti tidak langsung sebagai suatu alat bukti tersendiri, karena bukti
tidak langsung tidak tercakup sebagai suatu alat bukti yang sah baik di dalam
hukum pidana maupun hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Bukti tidak
langsung masih dianggap sebagai bukti persangkaan atau petunjuk saja yang tidak
bisa berdiri sendiri tanpa ada bukti langsung (direct evidence) yang menyertainya.
Kata Kunci : Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence), Kartel,
Penetapan Harga, Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1999 sampai Tahun 2018.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang berkat dan rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “PENYERTAAN
BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE) DALAM
PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK 110 – 125 CC (Studi Analisa
Terhadap Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016)” dapat diselesaikan dengan baik,
walaupun kendala dalam proses penyusunan skripsi ini pasti peneliti alami.
Penelitian skripsi ini ditujukan sebagai bentuk pemenuhan kewajiban bagi
peneliti demi meraih gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) yang akan sulit
tercapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penuh
rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing dan
memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini hingga rampung.
4. Ibu Dinni Melanie S.H., M.E., Komisaris Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) yang telah bersedia menjadi narasumber dan membimbing peneliti
dalam mengadakan penelitian terkait judul skripsi yang diangkat.
5. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Pimpinan
dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah menyediakan sarana dan referensi literatur demi kelancaran penulisan
skripsi ini.
vi
6. Teruntuk Mama, Papa, Kakak Rina, Abang Erick, serta Bang Ardi dan
Kak Nidya: Terima kasih atas kasih sayang yang terus tercurah dan
dukungan tanpa henti yang diberikan kepada peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini. Mohon maaf apabila selama ini peneliti seringkali merepotkan.
Terima kasih untuk Mama dan Papa yang selalu mengingatkan Indi untuk
belajar dan senantiasa berdo’a kepada Allah demi kelancaran penyusunan
skripsi ini. Terima kasih Indi ucapkan untuk Kakak Rina yang telah
membantu Indi dalam banyak hal, terlalu banyak kalau harus disebutkan
satu-persatu. Terima kasih juga untuk Abang Erick yang selalu membantu
Indi kalau komputer Indi bermasalah atau kalau internet yang tiba-tiba
mati. Sekali lagi, Indi ucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang
yang kalian berikan.
7. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, Diana Yurika, Anggi Rahmadaniar,
Astrid Rahma Ayu, Ahmad Kandiaz, dan Nila Tari yang sudah menemani
hari-hari peneliti dengan keceriaan selama berkuliah. Terima kasih juga
untuk teman-teman Konsentrasi Hukum Bisnis dan seluruh teman-teman
Ilmu Hukum Angkatan 2014, serta teman-teman Kuliah Kerja Nyata KKN
HORE 089 yang telah menjadi teman dan keluarga bagi peneliti selama
satu bulan di Kademangan.
8. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
9. Semua pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Tidak
ada yang Peneliti bisa berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali
do’a dan ucapan terima kasih.
Jakarta, 15 Mei 2018
Indriani
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………...…… i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ………………........ ii
LEMBAR PENYERTAAN ………………………………………………........ iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..... v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... vii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………..... 1
A. Latar Belakang Masalah ………………......………………………..... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ......…………....... 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..........………………....…. 7
D. Metode Penelitian ..……………………………………………...….. 12
E. Sistematika Penulisan…………..……………………………..….….13
BAB II PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN PERAN
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA …15
A. Perjanjian yang Dilarang yang Menghambat Persaingan Usaha:
Kartel ………………………..…………………………………….... 15
B. Peran dan Kedudukan KPPU di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ..……………………………………………... 17
C. Tugas dan Wewenang KPPU...…………………………………..…. 18
D. Pendekatan Per Se Illegal dan Pendekatan Rule of Reason….....…... 21
E. Pembuktian dalam Persidangan oleh KPPU...………………..…….. 25
F. Teori-Teori Pembuktian dalam Hukum Persaingan Usaha……...….. 31
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ..………………....…………..... 36
BAB III PENYERTAAN BUKTI TIDAK LANGSUNG
(CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE) DALAM PUTUSAN KPPU
NOMOR 04/KPPU-I/2016 ...........…………………………………….. 39
A. Pengertian Bukti Langsung (Hard Evidence)
viii
dan Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence) .........………. 39
B. Duduk Perkara Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 ..…..…….. 44
C. Bukti Tidak Langsung dalam Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-
I/201….................................................................................................55
BAB IV KEKUATAN BUKTI TIDAK LANGSUNG
(CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE) DALAM TATANAN HUKUM
DI INDONESIA ……………………………………………………….…..….. 57
A. Penggunaan Bukti Tidak Langsung dalam Sistem Hukum
di Indonesia ..………………………………………………….......... 57
B. Kekuatan Bukti Tidak Langsung dalam Putusan KPPU
Nomor 04/KPPU-I/2016...……………………………………….…. 59
C. Urgensi Pasal Penerapan Bukti Tidak Langsung
bagi Proses Persidangan oleh KPPU...…………………………….... 61
BAB V PENUTUP …………………………………………………………..… 69
A. Kesimpulan ………………………………..…………………….…. 69
B. Rekomendasi...………………………………...…………………..... 70
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terselenggaranya pasar bebas menjadi ajang kompetisi bagi pelaku
usaha untuk saling bersaing dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Pelaku
usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan-
pilihan produk dan jasa dalam harga yang ekonomis bagi konsumen namun
menguntungkan bagi dirinya. Tentunya untuk menarik hati konsumen, para
pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik dari segi
harga, kualitas dan pelayanan. Kombinasi ketiga faktor itu didapatkan melalui
inovasi, penerapan teknologi yang tepat, dan kemampuan manajerial untuk
memenangkan persaingan. Tanpa adanya pengelolaan yang tepat, pelaku
usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar.1
Dengan adanya persaingan yang ketat di kalangan pelaku usaha, sering
kali ditemukan kasus persaingan atas produk yang dipasarkan. Semakin kuat
persaingan, tidak jarang terjadi adanya pelanggaran hak, monopoli bahkan
persaingan usaha menggunakan cara-cara yang tidak sehat. Hal ini sangat
mencemaskan melihat kesiapan dan pengetahuan menyambut era perdagangan
bebas yang dimiliki pelaku usaha kecil dan menengah dalam negeri cenderung
minim. Akibat kurangnya kesiapan sumber daya manusia dalam negeri inilah
yang memungkinkan terjadinya persaingan pasar yang tidak kompetitif dan
berpotensi menyingkirkan sumber daya manusia Indonesia secara perlahan
yang mana posisinya akan mudah saja digantikan oleh tenaga asing yang lebih
ahli. Tentunya ini akan memberikan efek buruk bagi perekonomian
1 Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, (Jakarta: ROV
Creative Media), h. 2
2
masyarakat Indonesia. Namun, terlepas dari kemungkinan adanya persaingan
usaha yang ditimbulkan perdagangan bebas, tidak dapat dipungkiri pula
kemungkinan persaingan tidak sehat terjadi di antara sesama pelaku usaha
dalam negeri. Persaingan usaha tidak sehat inilah yang membutuhkan
penanganan khusus oleh negara. Pada Pasal 33 Bab XIV tentang
Kesejahteraan Sosial yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
sudah jelas dikatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan dan haruslah memperhatikan hajat hidup
orang banyak. Dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan perekonomian
haruslah berangkat dari kepentingan rakyat dan berasaskan demokrasi
ekonomi, yang juga menjadi dasar kebijakan politik hukum persaingan usaha.
Dengan demikian sudah sepantasnya persaingan dalam usaha dilakukan
secara adil dan jujur agar tidak ada pihak yang dirugikan. 2
Demi menjaga iklim usaha yang jujur dan adil, negara melahirkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Peraingan Usaha Tidak Sehat sebagai suatu perangkat aturan yang
melindungi kegiatan usaha di Indonesia dari praktik monopoli pasar dan
persaingan usaha tidak sehat. Undang-undang ini melarang perjanjian yang
menghambat persaingan, penyalahgunaan kekuasaan monopoli dan fusi antara
perusahaan-perusahaan besar yang menguasai pasar. Dengan demikian
undang-undang ini menjamin akses ke pasar untuk semua pihak, serta
kebebasan bagi setiap peserta pasar untuk mengambil keputusan secara
bebas.3 Walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah mengatur
2 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
34.
3 Wolfgang Kartte, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), h. 1.
3
sedemikian rupa mengenai larangan praktek monopoli serta larangan
persaingan usaha tidak sehat, namun masih saja didapati pelaku usaha nakal
yang melanggar dan tetap melakukan praktik curang.4
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
negara membentuk suatu komisi. Pembentukan ini didasarkan pada Pasal 34
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa
pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui
keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha
atau KPPU.5 Merupakan hal baik Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah lembaga independen, sehingga berwenang untuk menangani,
memutus dan melakukan penyelidikan suatu perkara tanpa dapat dipengaruhi
oleh pihak manapun, baik pengusaha asing, penguasa dalam negeri, maupun
pihak-pihak lain atau pemerintah yang mempunyai conflict of interest6,
kendati KPPU bertanggung jawab kepada presiden dalam pelaksanaan tugas
dan wewenangnya.7
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat salah satunya mengatur tentang penetapan harga atau sering kali
dikenal dengan istilah kartel. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
4 Suharsil, Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), h. 8.
5 Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks… h. 311.
6 Conflict of Interest atau Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara
negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundangundangan
memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang
dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. Komisi
Pemberantasan Korupsi, Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara Negara,
(Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2009), h. 2.
7 Suharsil, Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat di Indonesia… h. 8
4
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada dasar
bersangkutan yang sama. Kartel dilarang dalam persaingan usaha karena
dapat menimbulkan harga yang terlalu tinggi dan harga yang ditetapkan pasti
bukan harga pasar.8
Untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 maka pembuktian adanya perjanjian di antara
pelaku usaha independen yang sedang bersaing dalam menetapkan harga atas
barang atau jasa menjadi hal yang sangat penting. Di dalam Hukum
Persaingan Usaha, bentuk perjanjian tertulis tidak menjadi keharusan dalam
membuktikan adanya suatu perjanjian penetapan harga. Bukti yang diperlukan
dapat berupa bukti langsung (hard evidence) dan/atau bukti tidak langsung
(circumstantial evidence). Bukti langsung adalah bukti yang dapat diamati
dan menunjukkan adanya suatu perjanjian penetapan harga atas barang
dan/atau jasa oleh pelaku usaha yang bersaing, contohnya sebuah surat yang
dengan jelas membenarkan adanya perjanjian yang terjalin antara para pihak
untuk menjalankan suatu kesepakatan kartel atau penetapan harga. Berbeda
dengan bukti langsung (direct evidence), bukti tidak langsung adalah suatu
bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan
penetapan harga.9 Bukti tidak langsung tersebut bisa berupa persangkaan,
pengakuan, dan/atau sumpah yang mengindikasikan kebenaran satu pihak
sendiri atau secara bersama-sama dengan pihak lain telah melakukan
persaingan usaha berupa penetapan harga atau kartel. Dengan adanya
kemungkinan pelaku usaha bersama-sama pesaingnya melakukan penetapan
8 Wolfgang Kartte, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business
Competition, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999... h. 116.
9 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia... h. 231.
5
harga tanpa adanya bukti perjanjian tertulis yang dapat dihadirkan sebagai
bukti langsung, KPPU harus menganalisis dan menemukan adanya bukti tidak
langsung lainnya yang dapat menguatkan argumennya saat melakukan
pembuktian. Tanpa meragukan sedikitpun kinerja dan kredibilitas KPPU
dalam mengusut suatu perkara, namun tidak dapat dipungkiri bahwa sampai
dengan detik ini, KPPU masih sering terkendala untuk membuktikan suatu
pelanggaran dengan hanya berlandaskan bukti tidak langsung dalam
persidangan.
Di antara perkara kartel yang telah berhasil ditangani oleh KPPU pada
tahun 2016, perkara kartel sepeda motor matik 110-125 cc antara PT Astra
Honda Motor (Honda) dengan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(Yamaha) adalah salah satunya. Telah terjadi perjanjian diam-diam yang
dilakukan oleh petinggi Honda dan Yamaha saat bermain golf bersama dan
adanya bukti kiriman e-mail ajakan untuk melakukan retail pricing issue yang
dikirimkan oleh Yamaha kepada Honda. Selain itu terbukti bahwa antara
Honda dengan Yamaha telah melakukan perjanjian secara diam-diam untuk
menetapkan harga sepeda motor matik ukuran 110-125 cc. Dibuktikan dengan
adanya grafik yang dihadirkan KPPU menunjukkan bahwa Honda sebagai
perusahaan pemimpin pasar (leader) bersama dengan Yamaha sebagai salah
satu dari perusahaan pengikut (follower) memiliki grafik harga yang relatif
sama dan mengalami kenaikan sedangkan harga motor yang dipasarkan oleh
pesaing lainnya relatif konstan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut peneliti
tertarik untuk mengkaji masalah ini lebih jauh, sehingga membuat penelitian
ilmiah dengan judul “BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL
EVIDENCE) DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK
YAMAHA DAN HONDA (Analisis Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-
I/2016)”
6
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pentingnya mengetahui permasalahan yang diangkat, peneliti
menyertakan pokok-pokok pikiran yang selanjutnya disebut sebagai
Identifikasi masalah. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
identifikasi masalah dari penelitian ini adalah:
a. Peran KPPU sebagai lembaga independen negara yang berwenang
dalam melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan usaha yang
berjalan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
b. Analisis terhadap prosedur pembuktian dalam persidangan yang
dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
c. Kedudukan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sebagai alat
bukti yang sah di dalam tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.
d. Analisis kemanfaatan pembuktian dengan menggunakan bukti tidak
langsung oleh KPPU dalam membuktikan adanya persaingan usaha
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha.
e. Analisis keberhasilan KPPU dalam membuktikan suatu pelaku usaha
positif melakukan persaingan usaha tidak sehat menggunakan bukti
tidak langsung (circumstantial evidence) dengan contoh kasus Putusan
Nomor 04/KPPU-I/2016 tentang kartel sepeda motor matik 110-125 cc
yang dilakukan oleh PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan
PT. Astra Honda Motor.
2. Pembatasan Masalah
Dalam skripsi ini, peneliti membatasi hanya membahas mengenai
kedudukan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) di dalam
7
tatanan hukum di Indonesia sehingga menjadi bahan pertimbangan yang
kuat bagi Majelis Komisi dalam melakukan pembuktian terhadap suatu
perkara persaingan usaha tidak sehat. Selain dari pada itu, peneliti
menganalisis kekuatan bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
sebagai suatu alat bukti yang sah digunakan dalam proses penyelesaian
perkara oleh Majelis Komisi KPPU sesuai dengan tatanan hukum yang
berlaku di Indonesia dengan menjadikan Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016
tentang kartel sepeda motor matik yang dilakukan oleh PT Astra Honda
Motor dan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing sebagai contoh
kasus.
Kegunaan daripada adanya pembatasan masalah ialah untuk
mempersempit cakupan pembahasan agar terfokus dan mengurangi
kemungkinan penafsiran yang kabur dan tidak terarah agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari.
3. Perumusan Masalah
Skripsi ini membahas tentang kekuatan hukum bukti tidak
langsung (circumstantial evidence) sebagai salah satu alat bukti yang sah
dalam proses penyelesaian perkara oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Rumusan masalah tersebut kemudian dibuat dalam bentuk
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana kedudukan bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
di dalam hukum pembuktian di Indonesia?
b. Apakah bukti tidak langsung yang digunakan Majelis Komisi KPPU
dalam memutus perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 berhasil
menguatkan posisi bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
dalam tatanan hukum yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
8
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, dapat peneliti simpulkan tujuan dari penelitian skripsi ini ke
dalam dua hal, yaitu:
a. Untuk mengetahui posisi hukum bukti tidak langsung (circumstantial
evidence) dalam hukum pembuktian di Indonesia.
b. Untuk menganalisis kekuatan bukti tidak langsung di Indonesia
sebagai dasar pertimbangan Majelis Komisi KPPU dalam memutus
perkara berdasarkan contoh perkara KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dan menjadi sumbangan pengetahuan di bidang hukum terutama dalam
lingkup bisnis dan penerapan persaingan usaha secara sehat. Apabila
ditarik garis besarnya, maka manfaat dari penelitian skripsi ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan dalam
ilmu hukum terutama pada fokus sasaran di bidang persaingan
usaha secara sehat dan anti monopoli.
2) Selain dari pada itu, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
memberikan penerangan mengenai persaingan usaha yang tidak
sehat berupa penetapan harga/kartel (price fixing) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Akademis
Sebagai bentuk evaluasi akademis peneliti selama menjadi
mahasiswa hukum. Dapat pula menambah wawasan dan menjadi
9
sumber referensi bagi peneliti lainnya dalam melakukan penelitian
hukum di kemudian hari.
2) Bagi Masyarakat Umum
Meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat baik pada
tingkat produsen, distributor, maupun konsumen sehingga tercipta
iklim usaha yang bersaing sehat di Indonesia berdasarkan asas
demokrasi ekonomi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 dan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Adapun penelitian ini dapat membantu Pemerintah
mempublikasi kepada masyarakat akan adanya Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga independen negara
yang berwenang dalam melakukan pengawasan dan penindakan
atas Undang-Undang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat tersebut.
3) Bagi Pemerintah
Sebagai bentuk masukkan untuk melakukan perubahan-
perubahan efisien dan terang dalam Undang-Undang Anti
Monopoli yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memudahkan
KPPU dalam memosisikan kedudukannya dan memutus suatu
perkara tanpa harus terbentur dengan undang-undang lain ataupun
dengan pasal lain dalam undang-undang yang sama.
D. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian dibutuhkan metode penelitian yang tepat dalam
tahap penulisan dan penyusunannya. Adanya metode penelitian dimaksudkan
agar penulisan skripsi oleh peneliti dapat berjalan terarah dan tepat guna.
Maka dari itu, peneliti akan memaparkan jenis penelitian, pendekatan
10
penelitian, data dan sumber data, metode pengumpulan data, teknik
pengelolaan data dan analisis data, serta metode penelitian yang peneliti
gunakan dalam penulisan skripsi ini.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh)
dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain
berdasarkan pengukuran.10
Penggunaan penelitian kualitatif digunakan
oleh seseorang yang ingin tahu suatu masalah yang terjadi dengan cara
yang sangat mendalam. Oleh sebab itu, metode yang digunakan
pengamatan dan pencatatan terhadap masalah yang akan diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-yuridis.
Pendekatan penelitian yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-
Undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) diterapkan guna
memahami bagaimana persaingan usaha yang sehat dan monopoli
merupakan undang-undang yang digunakan untuk mengatur permasalahan
yang berkaitan dengan penetapan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha
dengan pesaingnya, yang mana diatur pada Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Serta meneliti penjatuhan hukuman kepada para pihak yang
melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat dalam kasus putusan
KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016. Pendekatan peraturan perundang-
undangan yang digunakan oleh peneliti, di antaranya:
10
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 67.
11
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan semua peraturan
pelaksanaannya.
c. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tatacara Penanganan Perkara.
d. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011
tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Adapun pendekatan kasus (case approach) diterapkan dalam mengamati
kasus yang telah menjadi putusan pengadilan yang berhubungan dengan
permasalahan yang diangkat dengan cara mengadakan observasi dan
wawancara, yang dalam penelitian ini didasarkan pada putusan KPPU.
3. Data dan Sumber Data
Berdasarkan sumbernya maka penelitian ini disusun berdasarkan:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum utama dalam
penelitian hukum normatif yang berupa perturan perundang-
undangan. Bahan hukum primer yang digunakan di antaranya ialah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, dan Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016.
b. Bahan Hukum Sekunder
12
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait Hukum Persaingan
Usaha, artikel dalam majalah atau media elektronik, laporan
penelitian/jurnal hukum, makalah yang disajikan dalam pertemuan
kuliah dan catatan kuliah.11
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Ensiklopedia dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis
normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu upaya
untuk memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran literatur
kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel dan jurnal hukum
yang relevean dengan penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu
pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.12
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori masing-
11
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.
13-14.
12 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera, 2009), h.
56.
13
masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam
usaha mencari jawaban atas masalah penelitian berdasarkan observasi.
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penelitian Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini dibagi menjadi enam bab, dimana pada setiap
bab akan dibahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini.
Sistematika uraian proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan
: Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis besar dari
seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai
latar belakang penelitian, pokok permasalahan, metode
penelitian serta sistematika dalam penelitian penelitian
ini.
BAB II : Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului
dengan kerangka konseptual tentang hukum persaingan
usaha yang kemudian membahas tentang teori para ahli
yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha dan
profil KPPU sebagai lembaga independen yang
berwenang melakukan pembuktian dan mengadili suatu
perkara persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, diakhiri dengan tinjauan
(review) kajian terdahulu.
14
BAB III : Bab ini berisi tentang penerapan bukti tidak langsung
(circumstantial evidence) dalam pembuktian dalam
persidangan KPPU.
BAB IV : Bab ini berisikan tentang jawaban atas rumusan masalah
yang dibuat pada BAB I berdasarkan analisis peneliti
terhadap contoh kasus menggunakan kerangka
konseptual dan teori-teori ahli yang telah dijabarkan pada
BAB II.
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi. Dalam kesimpulan, akan diuraikan secara
ringkas mengenai berbagai pembahasan dari pokok
permasalahan sebagimana yang ada pada bab
pendahuluan. Kemudian saran berisikan masukan-
masukan dari peneliti terkait dengan penetapan harga
oleh pelaku usaha yang menyalahi Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
15
BAB II
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAN
PERAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Perjanjian yang Dilarang yang Menghambat Persaingan Usaha: Kartel
Kartel dalam kamus ekonomi berjudul Dictionary of Economics
menjelaskan arti kata kartel sebagai:1
“Cartel noun: a group of companies which try to fix the price, or to
regulate the supply of a product, because they can then profit from this
situation.”
Dari pengertian tersebut dapat peneliti terjemahkan kartel adalah suatu
organisasi yang tergabung dari beberapa pelaku usaha yang bertujuan untuk
mempengaruhi harga dan/atau untuk mengatur pemasokan suatu produk
tertentu ke dalam pasar sehingga mereka dapat mendapatkan untung yang
lebih melalui cara tersebut. Menurut Black’s Law Dictionary, kartel adalah
gabungan produsen atau penjual yang bersama-sama mengatur proses
produksi dari suatu produk tertentu ataupun bersama-sama mengatur harga
dari produk tersebut. Selanjutnya, kartel juga diartikan sebagai suatu asosiasi
yang terdiri dari perusahaan dengan kepentingan yang sama yaitu untuk
mengawasi atau mencegah kecurangan atau persaingan usaha yang tidak
sehat, mengalokasi pasar, atau saling berbagi pengetahuan. 2
Kartel adalah salah satu jenis perjanjian yang dilarang karena dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1 P. H. Collins, Dictionary of Economics, (London – Great Britain: A & C Black Publishers
Ltd., 2006), h. 27.
2 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul – Minnesota: West
Group, 2000), h. 169.
16
Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen
produk sejenis dengan maksud mengontrol produksi, harga dan penjualannya,
serta memperoleh posisi monopoli. Dalam pasar yang berstruktur oligopoli,
kartel dapat lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang karena di dalam
pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan
pelaku usaha bekerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah
produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar.3 Anggota dari
asosiasi kartel dapat menetapkan suatu harga ataupun suatu persyaratan
tertentu atas suatu produk dengan tujuan menghambat persaingan yang
bertujuan untuk meraup keuntungan yang sama besar antara sesama anggota
himpunan. Dengan adanya kualifikasi perjanjian kartel tersebut asosiasi kartel
mengharapkan suatu hambatan bisnis terjadi sehingga sulit bagi pesaing baru
untuk masuk ke dalam pasar.4
Pada dasarnya penetapan harga merupakan jenis kartel. Kesamaan
antara kartel dan penetapan harga adalah upaya pelaku usaha untuk
menetapkan harga pada produk yang diperdagangkannya di luar harga rata-
rata yang berlaku di pasar. Hanya saja, apabila di dalam penetapan harga satu
atau lebih pelaku usaha melakukan perjanjian untuk bersama-sama
menentukan harga bagi produknya, maka dalam kartel pelaku usaha tersebut
telah melakukan perjanjian tertulis untuk membuat suatu asosiasi atau
perkumpulan pengusaha untuk sama-sama menetapkan harga dari suatu
produk dan/atau mengontrol proses produksi dan pendistribusiannya ke
pasar.5 Selain dari pada itu, di dalam kartel penetapan harga, pelaku usaha
3 Herbert Hovenkamp, Federal Antitrust Policy: The Law of Competition and It’s Practice,
2nd
ed., (1995), p. 144. Dikutip dari buku Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara
Teks & Konteks, h. 106.
4 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 94.
5 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya, h. 178.
17
yang telah bersekutu dapat menahan pasokan produk mereka untuk masuk ke
dalam pasar, sehingga barang tersebut akan langka di pasaran sehingga mudah
bagi mereka untuk menentukan harga bagi produk tersebut saat dilepas
kembali ke dalam pasar. Perilaku tersebut dapat menguntungkan pelaku kartel
karena adanya jumlah permintaan dari konsumen terhadap barang yang
bersangkutan dan konsumen mau tidak mau harus mengikuti harga yang
ditawarkan oleh produsen produk tersebut.
B. Peran dan Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli
dan Persaingan Tidak Sehat telah memberikan kewenangan kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan penegakan hukum
persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk
dengan tujuan untuk mencegah dan menindaklanjuti adanya praktek monopoli
dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku
usaha di Indonesia. Disebutkan pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
bahwa KPPU adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh
dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada
Presiden.6 Berdasarkan tugas dan wewenangnya, KPPU diberikan keleluasaan
dalam mengadili perkara persaingan usaha yang menjadikannya sebagai
lembaga negara independen serupa dengan lembaga peradilan yang sah secara
konstitusional di Indonesia atau dengan kata lain KPPU adalah lembaga
6 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, h. 136, dikutip oleh Dewa Ayu Reninda Suryanitya
dan Ni Ketut Sri Utari, Jurnal Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai
Lembaga Pengawas Persaingan Usaha yang Independen, hal. 2.
18
independen semu negara (quasi).7 Dengan adanya kewenangan yang diberikan
negara kepada KPPU untuk melakukan tindakan penyidikan, penyelidikan,
penuntutan, serta mengadili suatu perkara dalam konteks persaingan usaha
maka KPPU secara garis besar bersifat mandiri dalam setiap kegiatannya yang
terlepas dari pengaruh campur tangan pihak lain bahkan kekuasaan
Pemerintah.
Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan atas Hukum
Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus
persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan
sanksi baik pidana maupun perdata, namun hanya berbentuk administrasi.8
Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif karena
kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif,
sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif. KPPU diberi
status sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain seperti yang disebutkan
pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.9
C. Tugas dan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
7 Arti kata Quasi atau Kuasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hampir seperti;
seolah-olah. Andi Fahmi Lubis, dkk., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, h. 311.
8 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 35.
9 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, h.136, dikutip oleh Dewa Ayu Reninda Suryanitya
dan Ni Ketut Sri Utari, Jurnal Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai
Lembaga Pengawas Persaingan Usaha yang Independen, (Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2016), hal. 3.
19
Tugas dan wewenang KPPU diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tugas KPPU dalam Pasal 35 tersebut
meliputi:
a) Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b) Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c) Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d) Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 36;
e) Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
f) Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-undang ini;
g) Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya, wewenang KPPU terdapat pada Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, yang meliputi:
a) Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
20
sehat;
b) Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c) Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d) Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
e) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini;
f) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
ini;
g) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf
f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h) Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini;
i) Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat;
k) Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
l) Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
21
usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Walaupun salah satu tugas KPPU adalah memberikan laporan secara
berkala atas hasil kerja mereka kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat, KPPU dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya tetap bersifat
independen dan terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak
lain. Usaha untuk menjaga independensi KPPU dari pihak-pihak lain setidak-
tidaknya dapat terlihat dari persyaratan keanggotaan yang diatur dalam Pasal
32 huruf (i), yaitu bahwa anggota Komisi tidak terafiliasi dengan suatu badan
usaha. Jadi, independensi dan netralitas lembaga KPPU ini dijamin oleh
undang-undang. Baik secara struktural dan secara fungsional, KPPU bersifat
independen.10
D. Pendekatan Per Se Illegal dan Pendekatan Rule of Reason
Pengertian Per Se dalam Black’s Law Dictionary adalah:11
“1. Of, in,
or by itself: standing alone, without reference to additional facts. 2. As a
matter of law.”
Dengan penjelasan di atas dapat diartikan bahwa Per Se Illegal adalah
sebuah pendekatan di mana suatu perjanjian atau kegiatan usaha dilarang
karena dampak dari perjanjian tersebut telah dianggap jelas dan pasti
mengurangi atau menghilangkan persaingan. Larangan Per Se adalah larangan
yang bersifat jelas, tegas, dan mutlak karena pelaku usaha telah dianggap
merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat
perbuatan tersebut.12
Untuk dapat menggunakan per se illegal sebagai metode
10
Ayuda D. Prayoga, et. al., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,
(Jakarta: Elips, 1999), hal. 119, dikutip oleh Dewa Ayu Reninda Suryanitya dan Ni Ketut Sri Utari
untuk jurnal Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai Lembaga Pengawas
Persaingan Usaha yang Independen, hal. 5.
11 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition... h. 931.
12 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 72.
22
pendekatan dalam suatu perkara, hakim harus memperhatikan dua syarat
terlebih dahulu. Syarat pertama yang perlu diperhatikan adalah adanya
“perilaku bisnis” yang terjadi di dalam pasar yang mengindikasikan
persaingan usaha tidak sehat. Hal ini penting diperhatikan, karena keputusan
melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut. Syarat
kedua adalah adanya identifikasi secara cepat dan mudah mengenai jenis
praktik atau batasan bagi ditetapkannya perilaku pelaku usaha tersebut
merupakan tindakan yang dilarang undang-undang. Dengan kata lain,
penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses
pengadilan harus ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian diakui,
bahwa terdapat perilaku yang berada dalam batas-batas yang tidak jelas antara
perilaku yang dilarang dan perilaku yang sah untuk dilakukan dalam kegiatan
usaha.13
Apabila para pelaku usaha melakukan perjanjian dan kegiatan yang
dilarang secara per se, maka negara cukup membuktikan bahwa telah terjadi
pelanggaran sesuai dengan jenis perjanjian atau perbuatannya dan setelah
ditentukan jenis perjanjian dan perbuatannya, maka pelaku usaha tersebut
dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat akibat atau
efek yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.14
Per se illegal mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari
pendekaatan per se illegal di antaranya memberikan kepastian hukum
terhadap suatu persoalan hukum antimonopoli yang muncul. Selain itu, jika
suatu perjanjian atau perbuatan yang dilakukan yang hampir pasti merusak
dan merugikan persaingan, maka dengan pendekatan per se illegal ini hakim
dapat dengan mudah menetapkan perilaku tersebut merupakan praktik
13
Carl Kaysen and Donald F. Turner, p. 143, dikutip dari Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum
Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 61.
14 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia... h.
73-75.
23
persaingan usaha yang tidak sehat dan memutus perkara tersebut tanpa perlu
bersusah payah melakukan pembuktian yang memakan waktu dan
memerlukan biaya yang mahal. Kekurangan dari pendekatan model per se
illegal adalah apabila seorang hakim melakukan penerapan pendekatan ini
secara berlebihan, ditakutkan dapat menimbulkan suatu kesimpulan yang
salah, karena perilaku pelaku usaha yang dianggap curang dan menyalahi
aturan oleh hakim mungkin tidak merugikan atau mendorong adanya
persaingan usaha tidak sehat.15
Secara umum, hukum anti monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat di berbagai negara menetapkan perbuatan yang
termasuk dalam per se adalah penetapan harga secara horizontal (price fixing)
dan perjanjian yang bersifat eksklusif atau memboikot pihak ketiga (group
boycotts or exclusionary crovisions).16
Pendekatan per se illegal dapat
dibantahkan oleh pelaku usaha hanya apabila yang bersangkutan dapat
menjelaskan alasan pembenar yang bersifat mendukung adanya persaingan
yang kompetitif atas tindakannya. Apabila berhasil menghadirkan alasan
pembenar tersebut, maka perjanjian tersebut akan diputus berdasarkan rule of
reason.17
Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang mengharuskan
hakim untuk mempertimbangkan keadaan-keadaan tertentu dalam memutus
dan menjatuhkan hukuman terhadap suatu perkara yang diduga melanggar
hukum persaingan usaha.18
Pendekatan rule of reason adalah suatu
pendekatan yang menentukan. Meskipun suatu perbuatan telah memenuhi
15
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia... h.
75.
16 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia... h.
75.
17 BMI v. Columbia Broad, Sys., 441 U.S. 1, p. 23-25, dikutip dari Andi Fahmi Lubis, Hukum
Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, h.71.
18 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia... h.
77-78.
24
rumusan undang-undang, namun jika ada alasan objektif yang dapat
mematahkan argumen tentang perbuatan yang diduga menyalahi Undang-
Undang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut,
maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Artinya, penerapan
hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan itu
menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat atau tidak
sama sekali.19
Rule of reason adalah pendekatan yang lebih memfokuskan
kepada akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan yang dilakukan.
Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain pada
aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap golongan ekonomi
tertentu, dan fairness. 20
Keunggulan dari pendekatan rule of reason adalah menggunakan
analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti
apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan,
sehingga mudah menetapkan suatu tindakan pelaku usaha berjalan efisien
sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau tidak. Di sisi lain, kelemahan
dari pendekatan menggunakan ini adalah, bahwa rule of reason yang
digunakan oleh para hakim atau juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori
ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum
tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya sehingga
mampu menghasilkan keputusan yang rasional. Selain itu, dengan
menggunakan pendekatan rule of reason, kepastian hukum akan lama
didapatkan. Lebih dari itu, hasil penelitian untuk suatu tindakan yang sama
terkadang mempunyai hasil yang berbeda disebabkan tidak samanya akibat
19
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
serta Penerapan Hukumnya... h. 711.
20 Ellips Project, bekerja sama dengan Partnership for Business Competition, Persaingan
Usaha dan Hukum yang Mengaturnya, h. 63, dikutip dari buku Susanti Adi Nugroho, Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, h. 711.
25
yang timbul dari tindakan pelaku usaha tersebut.21
Selain memerlukan
pengetahuan hukum yang luas, seorang hakim lembaga pengawas persaingan
usaha juga memerlukan pengetahuan seputar ilmu ekonomi untuk melakukan
pendekatan dengan rule of reason.
F. Pembuktian dalam Persidangan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
Dalam memutus suatu perkara, Majelis Komisi harus bersikap objektif
dan tidak berpihak. Putusan seorang Majelis Komisi harus bebas dari segala
macam intervensi atau politik hukum yang dilakukan pihak-pihak
berkepentingan di dalam perkara tersebut. Agar putusan yang dihasilkan
objektif, seorang Majelis Komisi memerlukan alat bukti yang dapat dijadikan
bahan pertimbangannya dalam memutus perkara. Pada dasarnya, baik di
dalam hukum pidana maupun hukum perdata yang berlaku di Indonesia, tidak
banyak perbedaan yang berarti bagi seorang Majelis Komisi dalam memutus
perkara menggunakan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Tujuan dari pembuktian sendiri ialah untuk memperkuat putusan yang akan
dijatuhkan Majelis Komisi terhadap suatu perkara yang ditanganinya. Hukum
acara pidana lebih mengedepankan kebenaran materiil. Apa yang dimaksud
dengan kebenaran materiil adalah putusan yang tidak hanya didasari alat-alat
bukti formal belaka, namun juga didampingi dengan keterangan yang
tersembunyi di balik fakta-fakta yang tampak di permukaan. Seorang Hakim
pidana harus selalu bersungguh-sungguh dalam menggali kebenaran dari
setiap fakta-fakta yang ditemukan di lapangan agar memangkas kemungkinan
adanya putusan yang merugikan pihak manapun.22
Dalam Kitab Undang-
21
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia... h.
83-84.
22 Jimly Asshiddiqi, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang... h. 140.
26
Undang Hukum Pidana, alat bukti yang secara sah berlaku dalam pembuktian
perkara diatur dalam Pasal 184 ayat (1), yang isinya antara lain:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Selain daripada hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1),
sesuatu dapat menjadi alat bukti yang sah apabila hal tersebut secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan yang dapat dikelompokan sebagai
barang bukti. Berdasarkan pemaparan dari beberapa sarjana hukum seperti
Martiman Prodjohamidjojo, Prof. Andi Hamzah, Ansori Hasibuan, dan Nurul
Afifah, dapat disimpulkan bahwa barang bukti adalah:23
1. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
2. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu
tindak pidana;
3. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana;
4. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana;
5. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi
penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun
berupab rekaman suara;
6. Ratna Nurul Afifah dalam wawancaranya bersama Hukum Online
mengatakan bahwa barang bukti yang merupakan penunjang alat
bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu
perkara pidana, tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak
23
Hukum Online, Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? http:// www.
hukumonline. com/ klinik/detail /lt4e8ec99e4d2ae /apa-perbedaan -alat-bukti -dengan-barang -bukti-
diakses dari laman internet Hukum Online pada tanggal 27 Februari, 2018, pukul 12.01 WIB.
27
dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana
yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti,
seperti tindak pidana penghinaan secara lisan.
Apabila dalam keadaan-keadaan tertentu, dalam suatu perkara
terdapat sangat minim alat bukti, seorang Hakim hanya dapat memutus suatu
perkara apabila telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dengan
ditambah keyakinan Hakim bahwa suatu tindakan pidana telah benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.24
Alat bukti
yang digunakan dalam hukum pidana pada dasarnya sama seperti apa yang
digunakan dalam hukum perdata. Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sendiri menyebutkan beberapa alat bukti yang sah di dalam
pembuktian suatu perkara perdata. Alat bukti yang sah tersebut antara lain
adalah:
1. Bukti tertulis;
2. Bukti saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Dalam hukum perdata, alat bukti yang ditemukan selama proses
penyelidikan hampir selalu dalam bentuk tertulis dan merupakan akta
autentik. Hal ini yang membedakan hukum perdata dengan hukum pidana.
Hanya dengan berdasarkan pada surat-surat berupa akta autentik tersebut
seorang Hakim perdata dapat mencari kebenaran formil.25
Namun demikian,
Hakim tetap memerlukan bukti-bukti lainnya apabila akta otentik saja tidak
cukup meyakinkan bagi dirinya untuk dapat memutus suatu perkara. Seorang
Hakim harus selalu menyertakan keyakinannya dalam memutus suatu perkara.
Keyakinan Hakim ini harus berasal dari pengamatan yang menyeluruh selama
24 Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana.
25 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang... h. 140.
28
adanya proses pemeriksaan sampai jatuh suatu putusan yang bukan
merupakan hasil pengaruh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan
dalam perkara tersebut.
Sebagai lembaga yang bersifat independen, KPPU memiliki
kewenangan dalam mengawasi setiap kegiatan usaha yang berlangsung di
dalam negeri. Penangan perkara persaingan usaha oleh KPPU dapat dilakukan
secara proaktif (inisiatif sendiri) atau setelah menerima pengaduan atau
laporan tertulis dari masyarakat.26
Hal ini diatur dalam Pasal 40 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa KPPU dapat
melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan
pelanggaran terhadap undang-undang ini yang dilakukan oleh pelaku usaha
walapun tanpa adanya laporan yang mengawalinya. Penanganan perkara oleh
KPPU dapat dilakukan berdasarkan laporan tertulis yang berisi aduan dari
masyarakat atau Pelapor yang merasa dirugikan dengan adanya perilaku yang
dianggap telah menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat, atau karena
ada inisiatif komisi sendiri untuk menyelidiki perilaku pelaku usaha yang
dicurigai telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun
2010 dijelaskan tentang tata cara penanganan perkara oleh KPPU. Untuk
laporan yang ditujukan kepada KPPU oleh Pelapor yang merasa telah terjadi
suatu perilaku pelaku usaha yang mengindikasikan persaingan usaha tidak
sehat, maka Pelapor harus mengajukan laporan dalam bentuk tertulis dan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Isi dari laporan tertulis
itu harus menjelaskan jenis pelanggaran yang disangkakannya kepada pihak
26
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia... h. 120.
29
Terlapor dengan menyertakan alat bukti yang menguatkan argumennya.27
Apabila laporan diajukan oleh Pelapor yang meminta ganti rugi, maka wajib
baginya untuk menyertakan bukti kerugian yang dideritanya.28
Berbeda dari
penanganan perkara yang didasari adanya laporan yang mendahuluinya, maka
penanganan perkara yang dilakukan KPPU berdasarkan inisiatif sendiri
memerlukan beberapa data dan atau informasi untuk dapat memulai suatu
penyelidikan. Data atau informasi yang dibutuhkan oleh KPPU ditentukan
dalam Pasal 15 dari Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara oleh KPPU. Data atau informasi itu antara lain:
1. Hasil kajian;
2. Berita di media;
3. Hasil pengawasan;
4. Laporan yang tidak lengkap;
5. Hasil dengar pendapat yang dilakukan KPPU;
6. Temuan dalam pemeriksaan; atau
7. Sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di dalam hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia, alat
bukti yang sah digunakan di dalam persidangan oleh KPPU disebutkan dalam
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Alat bukti yang sah menurut
undang-undang tersebut terdiri dari:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat dan/atau dokumen;
4. Petunjuk;
5. Keterangan pelaku usaha.
Sebagai perpaduan dari hukum pidana dan hukum perdata, alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
27
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia... h. 123.
28 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia... h. 123.
30
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terdiri dari hal-hal yang hampir
sama seperti yang berlaku pada kedua jenis hukum tersebut. Ketentuan
mengenai alat-alat bukti dalam pemerikasaan KPPU, dipertegas kembali
dalam Pasal 72 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1
Tahun 2010.29
Isi Pasal 72 tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 72
(1) Dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran, Majelis Komisi
menggunakan alat-alat bukti berupa:
a. Keterangan Saksi;
b. Pendapat Ahli;
c. Surat dan/atau dokumen;
d. Petunjuk;
e. Keterangan Terlapor.
(2) Majelis Komisi menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti.
(3) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan
pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
(4) Keterangan Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat diterima oleh Majelis Komisi.
Pada Pasal 72 ayat (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 1 Tahun 2010 yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa keabsahan
suatu alat bukti dalam pemerikasaan perkara persaingan usaha ditentukan dan
dinilai oleh Majelis Komisi.30
Petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) huruf d pada pasal yang sama, merupakan pengetahuan Majelis
Komisi yang diketahui dan diyakini sendiri kebenarannya.
29
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia... h. 160.
30 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia... h. 162.
31
E. Teori-Teori Pembuktian dalam Hukum Persaingan Usaha
1. Teori Keadilan
Arti kata adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama
berat, tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpegang pada kebenaran,
dan tidak berlaku sewenang-wenang, sedangkan arti keadilan adalah
bentuk perbuatan atau perilaku yang sifatnya adil. Dari makna keadilan
sebagai hukum, kemudian berkembang arti dari kata “justice” sebagai
“lawfullness” yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang
melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah “fairness”
yang sepadan dengan kelayakan.31
Menurut Hans Kelsen32
, konsep hukum dikembangkan sejalan
dengan cita-cita keadilan tertentu, yaitu cita-cita demokrasi dan
liberalisme. Walaupun hukum melambangkan penegakan keadilan, ada
tatanan hukum yang dari sudut pandang tertentu dianggap tidak adil. Oleh
karena itu, Kelsen secara tegas memisahkan antara konsep hukum dengan
ide keadilan. Menurut Kelsen tidak mungkin ada tatanan yang dapat
memberikan kebahagiaan kepada setiap orang. Hukum yang dicita-citakan
oleh banyak orang adalah hukum yang diciptakan bukan hanya untuk
memuaskan kepentingan satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya,
tetapi yang dapat menghasilkan suatu kompromi di antara kepentingan-
kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil kemungkinan
31
Bahder Johan Nasution, Kajian Filosofis tentang Hukum dan Keadilan dari Pemikiran
Klasik sampai Pemikiran Modern, (Fakultas Hukum Universitas Jambi: Jurnal Yustisia Vol. 3 No.2
Mei - Agustus 2014), h. 13. 32
Hans Kelsen (bahasa Jerman: [hans ˈkɛlzən]; 11 Oktober 1881 – 19 April 1973) adalah
seorang ahli hukum dan filsuf Austria beraliran positivisme hukum yang dikenal dengan teori hukum
murninya. Dalam bidang filsafat politik, ia berupaya mempertahankan teori identitas negara-hukum
dan mendukung penyandingan sentralisasi dan desentralisasi sebagai konsep yang berlawanan dalam
teori pemerintahan. Kelsen juga merupakan pendukung gagasan pemisahan negara dan masyarakat
dalam penelitian ilmu hukum. Diakses melalui laman internet Wikipedia https://id.wikipedia.org/
wiki/Hans_Kelsen pada Sabtu, 31 Maret 2018, pukul 22.21 WIB.
32
terjadinya friksi atau gesekan antar kubu. Tidak adil jika suatu peraturan
umum diterapkan pada satu kasus namun tidak diterapkan pada kasus lain
yang serupa.33
Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan hukum.
Berbeda dengan Hans Kelsen, John Rawls, seorang filsuf asal
Jerman, mengemukakan teori keadilan menurut sudut pandangnya sendiri.
Keadilan menurut Rawls harus mengedepankan dua prinsip utama,
Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle
of greatest equal liberty), kedua, yaitu prinsip yang terdiri dari dua bagian,
yaitu prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan
yang adil atas kesempatan (the prinsiple of fair equality of opportunity). 34
Prinsip kebebasan menurut Rawls adalah prinsip yang memberikan
kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan dan menjalankan
hak-haknya. Hak-hak itu meliputi kebebasan untuk berperan serta dalam
kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan),
kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers), kebebasan berkeyakinan
(termasuk keyakinan beragama), kebebasan menjadi diri sendiri (person),
dan hak untuk mempertahankan milik pribadi. Prinsip kedua yang
mencakup prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas
kesempatan memiliki sifat yang lebih condong pada kepentingan bersama
atau bermasyarakat.35
Prinsip persamaan yang adil atas kesempatan adalah
prinsip yang mana membuka jalan seluas-luasnya bagi setiap individu
untuk berkembang dan melakukan usaha, tidak ada sekat yang
menghalangi seseorang untuk menerima haknya untuk melangsungkan
33
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj., Raisul Muttaqien, (Bandung:
Nusa Media, 2009), h. 16-17.
34 Damanhuri Fattah, Teori Keadilan menurut John Rawls, (Jurnal TAPIs Vol.9 No.2 Juli -
Desember 2013), h. 35.
35 Damanhuri Fattah, Teori Keadilan menurut John Rawls... h. 35.
33
hidup dan melakukan apa yang mereka kehendaki selama proses
pemenuhan haknya tidak mengganggu hak orang lain. Prinsip ini
kemudian akan menghapuskan kesenjangan sosial di lingkup
bermasyarakat dengan cara memberikan manfaat yang lebih besar bagi
struktur masyarakat yang paling lemah. Lemah yang dimaksud di sini
ialah keadaan di mana seseorang kurang mempunyai peluang untuk
mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Memberikan
kemanfaatan lebih bagi mereka yang kurang beruntung baik dari segi
prospek kesejahteraan, pendapatan, dan/atau otoritas itulah yang
memberikan pengertian tersendiri dari prinsip perbedaan dalam teori
keadilan menurut Rawls.36
Jika melihat pemikiran Hans Kelsen maupun John Rawls, dapat
peneliti simpulkan bahwa keadilan adalah posisi dimana hukum harus
mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Walaupun
seseorang memiliki hak yang harus dilindungi, hukum harus bertindak
tegas untuk membatasi hak-hak individual tersebut apabila ada
kepentingan umum yang dilukai dengan adanya pemenuhan hak pribadi
tersebut. Dan apabila dihubungkan kepada hukum persaingan usaha, maka
hukum harus melindungi pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah dari
praktik monopoli yang dilakukan pelaku usaha dominan dalam pasar agar
keberlangsungan usahanya dapat terus berlanjut. Selain itu, hukum
persaingan usaha yang baik akan melindungi setiap elemen yang ada
dalam struktur pasar manapun sesuai porsinya, baik produsen, distributor,
sampai dengan konsumen. Pembuktian menggunakan teori keadilan
memiliki sifat yang memberikan keringanan bagi pihak-pihak yang
diberatkan dalam posisi-posisi tertentu. Apabila dikaitkan dengan beban
36
Damanhuri Fattah, Teori Keadilan menurut John Rawls... h. 35.
34
pembuktian, apabila seorang hakim menggunakan teori keadilan, maka
pembuktian akan dilakukan oleh pihak yang dituduhkan melakukan
pelanggaran. Dengan kata lain, apabila seorang pelaku usaha yang
dilaporkan melakukan persaingan usaha tidak sehat, yang bersangkutan
harus membuktikan dirinya tidak melakukan kegiatan yang melanggar
hukum persaingan usaha seperti yang dituduhkan oleh pelapor.
2. Teori Afirmatif (Affirmative Theory)
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam buku karangannya menyatakan
bahwa beban pembuktian haruslah dilimpahkan kepada pihak yang
mendalilkan. Dengan kata lain, pihak pelaporlah yang harus membuktikan
kebenaran dari apa yang disangkakannya kepada pihak terlapor, sehingga
pembuktian dilakukan bukan oleh yang dituduh melainkan oleh yang
menuduhkan. Pihak yang melapor atau yang menuduhkan adanya
pelanggaran harus bisa membuktikan kebenaran dari tuduhannya dan yang
dituduh tidak harus mengingkari tuduhan yang dilemparkan kepadanya
demi membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.37
Jika melihat
pengertian dari teori afirmatif tersebut, maka teori ini bertentangan dengan
teori keadilan yang membebankan pembuktian kepada pihak yang
tertuduh. Seorang hakim yang menganut teori afirmatif ini, tentu akan
membebankan tanggung jawab pembuktian kepada pihak yang melapor
atau yang menjatuhkan tuduhan. Teori ini menganggap apabila beban
pembuktian tetap dijatuhkan kepada pihak yang dituduh merupakan
bentuk ketidakadilan. Pembuktian dilakukan pihak yang dituduh dianggap
tidak adil karena apabila diumpamakan dengan istilah “sudah jatuh
tertimpa tangga”, selain dituduh, tertuduh harus membuktikan pula
37
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 180.
35
dirinya tidak bersalah.38
Di dalam Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia, Teori afirmatif ini merupakan bagian dari teori beban
pembuktian. Teori afirmatif sendiri memiliki posisi di dalam Pasal 1865
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa39
:
”Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia
mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga
membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Dilihat dari bunyi Pasal 1865 KUHPer di atas, maka pembebanan
pembuktian tidak hanya jatuh kepada pihak pelapor yang mendalilkan
suatu tuduhan atas suatu kasus, pihak terlapor juga dapat menghadirkan
pembuktian apabila dirinya mendalilkan bahwa dirinya tidak melakukan
sesuatu seperti apa yang didalilkan oleh pihak pelapor atau melakukan
bentuk pembelaan lainnya.40
Apabila dihubungkan dengan peran Komisi
Pengawas Persaingan Usaha sebagai penyelidik, penyidik, maupun pihak
yang mengadili sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, pihak yang melapor harus bisa membuktikan adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang
dilaporkannya dengan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya dan
dapat dihadirkan dalam persidangan dan apabila pihak terlapor juga ingin
meneguhkan haknya ataupun menyangkal hak orang lain harus
menghadirkan bukti-bukti yang dapat menguatkan dalilnya tersebut.
Apabila laporan atas suatu perkara dilakukan oleh KPPU yang memang
38
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang... h. 181.
39Diakses melalui http://digilib.unila.ac.id/7121/14/BAB%20II.pdf hlm 37, pada Sabtu, 31
Maret 2018, pukul 23.08 WIB.
40 http://digilib.unila.ac.id/7121/14/BAB%20II.pdf h. 37 pada Sabtu, 31 Maret 2018, pukul
23.10 WIB.
36
memiliki kewenangan untuk mengusut sendiri kegiatan usaha yang
dicurigai melakukan persaingan usaha tidak sehat, maka Investigator
KPPU harus bisa membuktikan adanya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut.
Selain itu, Majelis Komisi sebagai Hakim wajib mencari kebenaran yang
sesungguhnya dari bukti-bukti yang dihadirkan di dalam persidangan
tersebut.41
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Untuk menghindari adanya kesamaan antara proposal skripsi ini
dengan penelitian lain yang juga membahas tentang praktek kartel, maka
peneliti menyertakan beberapa tinjauan atau review kajian terdahulu beserta
dengan pembedanya dengan skripsi yang peneliti buat. Penelitian Ilmiah lain
yang menjadi bahan pembanding bagi tulisan peneliti di antaranya adalah:
1. Peneliti menjadikan skripsi milik Maulana Ichsan Setiadi, mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah yang diterbitkan pada tahun 2014 dengan judul Analisis
Yuridis Putusan KPPU Nomor 16/KPPU-L/2009 tentang
Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan (Cleaning Service) di
Bandara Soekarno Hatta sebagai bahan pembeda serta pembanding
antara permasalahan yang akan diangkat oleh peneliti dalam skripsi
ini. Dalam substansinya, skripsi Maulana Ichsan Setiadi menganalisis
pandangan KPPU terhadap unsur melawan hukum dalam putusan
KPPU Nomor 16/KPPU-I/2009 tentang persekongkolan tender yang
bertentangan dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dan upaya perlindungan hukum dan sanksi yang dapat dilakukan
41
http://digilib.unila.ac.id/7121/14/BAB%20II.pdf... h. 37.
37
oleh KPPU terhadap perkara persekongkolan tender dalam putusan
KPPU Nomor 16/KPPU-I/2009. Hal yang membedakan skripsi
peneliti dengan studi terdahulu tersebut ialah peneliti menganalisis
tentang kekuatan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dalam
proses sidang pembuktian terkait suatu perkara yang diindikasi
melakukan persaingan usaha tidak sehat oleh KPPU berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persaingan
Usaha Tidak Sehat terfokus pada putusan KPPU Nomor 04/KPPU-
I/2016.
2. Selain skripsi di atas, peneliti juga membandingkan skripsi milik Ali
Alatas, seorang mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
pada tahun 2015 dengan judul Pembuktian Perjanjian Kartel Semen
Menurut Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Studi Kasus Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/ KPPU-I/2010. Dalam skripsi
tersebut beliau menganalisis putusan KPPU Nomor 01/KPPU-I/2010
yang tidak dianggap terbukti secara sah telah melakukan adanya
pelanggaran sebagaimana yang diindikasikan kepada ciri persaingan
usaha tidak sehat berupa kartel dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan
skripsi peneliti ialah bahwa dalam skripsi ini menganalisis mengenai
kekuatan hukum bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
beredasarkan hukum acara pembuktian dalam persidangan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh KPPU.
3. Adapun perbandingan lain yang peneliti turut sertakan adalah sebuah
buku karangan Rachmadi Usman, S.H., M.H. yang berjudul Hukum
Acara Persaingan Usaha di Indonesia yang diterbitkan oleh Sinar
38
Grafika di Jakarta pada tahun 2013. Dalam buku tersebut, Rahcmadi
Usman menjelaskan tentang sistematika beracara di KPPU secara
umum dan cara KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam tahap
proses persidangan hingga jatuhnya putusan atas suatu perkara oleh
KPPU sendiri. Analisis kemanfaatan dari dihadirkannya bukti tidak
langsung (circumstantial evidence) dalam persidangan di KPPU
adalah bahan pembeda antara buku tersebut dengan skripsi milik
peneliti.
4. Peneliti turut menyertakan sebuah jurnal yang dipublikasi oleh Fendy
pada tahun 2016 dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya
Yogyakarta dengan judul Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) dalam Mendorong Persaingan Usaha yang Sehat di Sektor
Motor Skuter Matik. Dalam jurnal milik Fendy, dirinya hanya
menganalisis kesesuaian hasil putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sedangkan penulis justru
akan menganalisis tentang mekanisme pengumpulan bukti oleh KPPU
dalam penyidikan dan persidangan berdasarkan teknik pembuktian
Hukum Acara Persidangan KPPU. Proposal Skripsi ini juga
menganalisis tentang kriteria suatu alat bukti dapat dikategorikan
sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence).
39
BAB III
PENYERTAAN BUKTI TIDAK LANGSUNG
(CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE) DALAM PUTUSAN KPPU NOMOR
04/KPPU-I/2016
A. Pengertian Bukti Langsung (Hard Evidence) dan Bukti Tidak Langsung
(Circumstantial Evidence)
Para pelaku usaha dalam melakukan aksi kartel lebih banyak
menggunakan perjanjian dengan “understanding” atau perjanjian tidak tertulis
yang dipahami oleh para anggota kartel.1 Oleh karena itu, seorang Hakim
dapat menggunakan petunjuk sebagai salah satu bukti dalam persidangan
selain dari pada bukti yang dapat dengan jelas menyatakan adanya
pelanggaran. Petunjuk adalah alat bukti yang berasal dari pengetahuan Majelis
Komisi yang diketahui dan diyakini kebenarannya.2
Di dalam Hukum Persaingan Usaha dikenal pengelompokkan alat
bukti menurut bentuknya. Jenis bukti dibagi menjadi bukti langsung (direct
evidence) dan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) atau dikenal juga
dengan nama indirect evidence. Bukti langsung (direct evidence) adalah bukti
yang dapat diamati secara nyata dan keberadaannya dapat mengindikasikan
adanya suatu praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat oleh
pelaku usaha yang saling bersaing. Di dalam bukti langsung tersebut harus
menunjukkan adanya perjanjian atau kesepakatan para pelaku usaha yang
mengarah kepada kerjasama dengan substansi atau muatan perjanjian yang
disepakati bersama oleh para pelaku usaha. Bukti tidak langsung dapat berupa
1 Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 h. 98.
2 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 161.
40
bentuk perjanjian tertulis, bukti berupa fax, bukti rekaman percakapan
telepon, pesan singkat melalui perangkat lunak telepon genggam, email,
komunikasi video, dan bukti nyata lainnya.3
Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence juga dikenal dengan
sebutan indirect evidence, namun dalam penggunaanya oleh khalayak umum,
circumstantial evidence lebih sering digunakan. Lain halnya dengan bukti
langsung, bukti tidak langsung (circumstantial evidence) atau yang juga
dikenal dengan istilah indirect evidence, adalah suatu bentuk bukti yang
keberadaannya secara tidak langsung menyatakan adanya kesepakatan antara
pelaku usaha untuk melakukan kontrol atas pasar dan/atau melakukan
persaingan usaha yang tidak sehat. Bukti tidak langsung merupakan golongan
dari bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.
Bukti tidak langsung biasa dijadikan bukti atas adanya dugaan
perjanjian tidak tertulis antara pelaku usaha untuk melakukan kerjasama di
dalam pasar secara tidak sehat. Bukti tidak langsung tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanya bukti langsung yang menyertainya. 4 Keberadaan bukti
tidak langsung sangat diperlukan dalam proses pembuktian khususnya
pembuktian dalam kasus kartel. Kesulitan otoritas persaingan membongkar
keterkaitan antar pelaku usaha dalam sindikat kartel memaksa investigator
mencari bukti alternatif yang setidaknya menyatakan adanya kesepakatan
antara pelaku yang terlibat. keberadaan bukti tidak langsung digunakan
sebagai pembuktian terhadap kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas
3 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktek dan
Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 141.
4 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktek dan
Penerapan Hukumnya... h. 141.
41
pemberlakuan perjanjian lisan.5 Pembuktian secara tidak langsung yang
dilakukan oleh Komisi Persaingan Usaha (KPPU) dapat dijadikan sebagai
bukti awal untuk mengungkap kasus persaingan usaha, terutama pada jenis
pelanggaran berbentuk perjanjian yang dilarang berupa kartel dan penetapan
harga. Bukti tidak langsung dibagi menjadi 2, yaitu dapat berupa:
1. Bukti ekonomi; dan
2. Bukti komunikasi.
Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan/atau
pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak menjelaskan mengenai substansi
yang dibicarakan, contohnya adalah rekaman komunikasi antar pesaing dan
bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama antar pesaing. Selain itu,
notulen rapat yang menunjukkan pembicaraan mengenai harga, permintaan
atau kapasitas terpasang. Untuk bukti ekonomi, contohnya antara lain perilaku
pelaku usaha didalam pasar atau industri secara keseluruhan, dan bukti
perilaku yang memfasilitasi kartel seperti pertukaran informasi dan adanya
signal harga. 6
Dilansir dari laman internet Hukum Online, Hakim Agung Pengadilan
Federal Australia Nye Perram menyatakan bahwa ada tiga tahap yang harus
diperhatikan oleh Hakim sebelum meyakini suatu bukti tidak langsung yang
dihadirkan kepadanya. Hakim harus memperhatikan suatu bukti tidak
langsung dapat digunakan atau tidak. Tiga tahap itu dikenal dengan Plus
Factors atau faktor plus yang dapat membantu Hakim untuk mengganalisis
tindakan yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha yang berlawanan dengan
5 Hukum Online, Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence. https: //www.ucnews.id/
news/ Berjuang -Mencari -Legitimasi -Indirect-Evidence/ 2099612943090568.html diakses melalui
laman internet UC News pada tanggal 27 Februari 2018, pukul 21.38 WIB.
6 Sutrisno Iwanto, (Bisnis Indonesia, 23 Juli 2010), diakses melalui laman internet Komisi
Pengawas Persaingan Usaha: pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 13.06 WIB. http://
www.kppu.go.id /id /blog /2010/ 07/ sulitnya- membuktikan -praktik- kartel/ .
42
kepentingan ekonominya sendiri. Tahap pertama adalah Hakim, melalui
keterangan saksi atau saksi ahli, menemukan adanya perilaku seorang pelaku
usaha yang tidak memotong harga produk yang diperdagangkannya untuk
meningkatkan market share atau pangsa pasar sedangkan lawannya menaruh
harga di atas marginal cost 7. Tahap kedua, yaitu adanya pertemuan yang
dilakukan para pelaku usaha untuk saling bertukar informasi. Tahap ketiga,
Hakim menemukan adanya motif pelaku usaha yang bersepakat untuk
mengatur harga.8 Dalam melakukan pembuktian kasus kartel, KPPU sering
kali menggunakan bukti tidak langsung. KPPU menggunakan bukti tidak
langsung karena persekongkolan kartel dilakukan secara sembunyi-bunyi dan
secara lisan sehingga pembuktiannya sangat sulit dilakukan, tetapi dampaknya
dapat dirasakan. Dengan keadaan yang tidak mendukung karena sulitnya
membuktikan suatu perilaku pelaku usaha melanggar ketentuan Undang-
Undang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka
pembuktian tidak cukup dilakukan secara normatif (per se illegal) saja, tetapi
juga melalui pendekatan ekonomi (rule of reason).9
Di negara yang menganut sistem hukum yang berbeda dengan
Indonesia, seperti Australia dan Amerika, penggunaan pembuktian secara
7Marginal Cost atau biaya marjinal adalah peningkatan biaya total yang berasal dari
produksi satu unit output produksi. Jika perusahaan memproduksi 1.000 unit, biaya tambahan
peningkatan output menjadi 1.001 unit adalah biaya marjinal. Biaya marjinal mengukur biaya input
tambahan yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit output berikutnya. Karena biaya tetap tidak
berubah ketika ada biaya output, biaya marjinal mencerminkan perubahan biaya variabel. Diakses
melalui laman Wikipedia pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 21.26 WIB. https:// id.wikipedia. org
/wiki / Biaya_marjinal
8 HRS, Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel. Diakses
melalui laman internet Hukum Online pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 21.33 WIB.http:// www.
hukumonline. com /berita /baca /lt53b5ecfaad76a /hakim -australia --circumstantial-evidence- penting-
dalam- kasus- kartel
9 Happy Rayna Stephany, Pengadilan Masih Alergi dengan Indirect Evidence. Diakses
melalui laman internet Hukum Online: Pada 28 Februari 2018, pukul 14.45 WIB. http://
www.hukumonline. com/ berita/ baca/ lt5398841721bba /pengadilan -masih -alergi -dengan-iindirect-
evidence-i
43
tidak langsung sudah wajar digunakan dalam proses pengadilan. Negara-
negara tersebut beranggapan bahwa dengan semakin banyaknya bukti tidak
langsung yang ditemukan di lapangan akan semakin menguatkan keberadaan
alat bukti lain di persidangan.10
Berbeda dengan Indonesia yang menganut
paham civil law, pembuktian secara tidak langsung masih jarang digunakan
dan sulit diterima beberapa kalangan dikarenakan paham hukum dan sistem
hukum dalam peradilan Hakim atau Majelis Hakim bersifat aktif dalam
persidangan dan memutus berdasarkan undang-undang yang berlaku.11
Penggunaan bukti tidak langsung sendiri masih sering terbentur dengan dalih-
dalih pelanggaran terhadap asas Testimonium de Auditu dan asas Unus Testis
Nullus Testis.
Testimonium de Auditu adalah di saat seseorang memberikan
kesaksian yang bukan hasil dari melihat, mendengar, ataupun menyaksikan
sendiri suatu peristiwa yang menjadi masalah atau berkaitan dengan masalah.
Kesaksian yang demikian tidak dapat diterima dan tidak bisa dijadikan alat
bukti. Adapun asas Unus Testis Nullus Testis adalah apabila hanya ada satu
orang saksi yang melihat suatu kejadian yang memiliki keterkaitan dengan
perkara, maka kesaksiannya tidak dapat diterima. Kesaksian yang dihasilkan
dari testimonium de auditu dan kesaksian tunggal tersebut tidak dapat
diterima, karena dianggap membahayakan apabila terjadi kebohongan dan
manipulasi di dalam kesaksian orang tersebut. Padahal, apabila kesaksian
yang diberikan di muka pengadilan dirasa masuk di akal dan saling berkaitan
dengan perkara tersebut, seorang hakim tetap dapat mempertimbangkan
kesaksiannya itu.
10
HRS, Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel. Diakses
melalui laman internet Hukum Online pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 21.06 WIB.
11Marzuki Sagala, Eksistensi Pembuktian Secara Tidak Langsung. Diakses melalui laman
internet Kompasiana pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 15. 51 WIB.
44
Namun, karena kedudukan bukti tidak langsung belum kuat dan
masih sulit diterima di dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia,
putusan perkara yang dibuat oleh KPPU terkadang dapat dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri saat pelaku usaha merasa keberatan atas putusan KPPU
tersebut dan membawa perkaranya itu untuk banding Pengadilan Negeri.
Sangat disayangkan melihat banyaknya pelaku usaha yang merasa tidak puas
dengan hasil putusan KPPU dan mengajukan permohon pembatalan dan
bahkan mengajukan Kasasi sebagai bentuk keberatan terhadap putusan
tersebut. Penguatan posisi bukti tidak langsung yang merupakan bagian dari
proses penyelesaian perkara dalam perundang-undangan Indonesia dirasa
penting dan memiliki urgensi. Hal ini penting demi menegaskan kembali
posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga independen yang
berhak memutus perkara persaingan usaha sebagaimana yang telah diatur
dalam undang-undang yang bersangkutan dengan menggunakan proses dan
ketentuannya sendiri selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang
berada di atasnya.
B. Duduk Perkara Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016
Dari sebanyak 20 perkara yang telah ditangani sepanjang tahun 2016
sampai dengan tahun 2018, ada dua perkara kartel yang telah diputus oleh
KPPU, salah satunya adalah perkara kartel sepeda motor matik ukuran 110-
125 cc. Perkara ini dinyatakan oleh KPPU telah melakukan pelanggaran Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perkara kartel dengan Nomor Perkara:
04/KPPU-I/2016 ini melibatkan dua pelaku usaha di bidang otomotif yaitu,
PT. Honda HONDA Motor (AHM) dan PT. Yamaha Indonesia Motor
Manufaturing (YIMM) yang diputus bersalah atas kartel sepeda motor matik
110-125 cc.
45
Sebelumnya peneliti harus menjelaskan mengenai pangsa pasar skuter
matik ukuran 110-125 cc di Indonesia. Di Indonesia, terdapat 6 pelaku usaha
yang memasarkan kendaraan bermotor roda dua. Berdasarkan hasil
penyelidikan dan pemeriksaan majelis komisi hanya 4 pelaku usaha yang
mengeluarkan dan memasarkan produk sepeda motor skuter matik 110-125
cc. Untuk pemegang pangsa pasar paling besar pertama di Indonesia
kedudukannya ditempati oleh PT. Honda HONDA Motor (AHM). Posisi
kedua diduduki oleh PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM).
Kedua perusahaan ini mengambil kurang lebih 98% pangsa pasar skuter matik
110-125cc berdasarkan pada presentase penjualan di tahun 2014. Barulah
posisi ketiga dan keempat diduduki oleh PT. Indomobil Suzuki International
(SUZUKI) dan PT. TVS Motor Company Indonesia (TVS). Posisi pelaku
usaha ini dibuktikan oleh KPPU melalui diagram di bawah ini:
Berdasarkan duduk perkara dalam putusan KPPU Nomor 04/KKPU-
I/2016, KPPU menemukan dugaan adanya kegiatan kartel sepeda motor matik
ukuran 110-125 cc yang melibatkan PT. Yamaha Indonesia Motor
46
Manufacturing (YIMM) sebagai Terlapor I dan PT. Honda HONDA Motor
(AHM) sebagai Terlapor II.
Dalam perkara ini KPPU bertindak dengan inisiatifnya sendiri sebagai
Pelapor yang didahului dengan adanya investigasi tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Industri
Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110-125 CC di Indonesia. Proses
penyelidikan terhadap perkara ini dilakukan oleh KPPU dimulai sejak tanggal
19 Juli 2016. Yamaha dan HONDA dalam perkara ini diperiksa karena
dugaan adanya perjanjian yang dilarang berupa penetapan harga yang diatur
dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mana
melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yaitu:
Pasal 5 ayat (1)
“(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.”
Harus diketahui terlebih dahulu bahwa kartel yang dilarang oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat terbagi menjadi penetapan harga (price fixing),
pembagian wilayah pemasaran atau pembagian pelanggan, perjanjian
pembatasan produk di pasar, dan persekongkolan penawaran tender. Di dalam
perkara ini, kartel yang terjadi di antara pelaku usaha adalah jenis kartel
penetapan harga (price fixing). Penetapan harga (price fixing) sendiri diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas, karena perilaku pelaku usaha yang
demikian merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian yang dilarang
karena dapat menghambat persaingan.
47
Gambar 2: KPPU-04/KPPU-I/2016
Berdasarkan kronologis yang disajikan oleh Investigator, grafik di atas
merupakan urutan kejadian yang mana diduga perjanjian diam-diam di antara
Terlapor I dan Terlapor II terjadi di dalamnya. KPPU selaku pihak pelapor
menduga Terlapor I (YAMAHA) dan Terlapor II (HONDA) saling bertukar
informasi dan Terlapor I melakukan penyamaan harga (price parallelism)
terhadap harga skuter matik jenis skuter 110-125 cc yang dikeluarkan oleh
Terlapor II. Investigator menduga adanya kartel di antara kedua pelaku usaha
tersebut, karena adanya temuan email pada tahun 2014 yang mengindikasikan
arahan dari Yoichiro Kojima, Presiden Direktur (YAMAHA) yang menjabat
kala itu, kepada Yutaka Terada selaku Direktur Pemasaran Yamaha. Yoichiro
Kojima selaku Presiden Direktur (YAMAHA) kala itu, juga sempat
melakukan pertemuan dengan Toshiyuki Inuma yang menjabat sebagai
Presiden Direktur (HONDA) yang memiliki masa jabatan sampai dengan
perkara telah diputus di lapangan golf yang diduga menjadi lokasi pertemuan
dimana kesepakatan kartel terjadi di antara. Selain yang dari pada itu,
berdasarkan data dan grafik penjualan produk sepeda motor matik ukuran
48
110-125 cc milik kedua perusahaan, hampir selalu mengalami kenaikan harga
secara bersamaan.
Bukti kiriman email yang mengindikasikan adanya komunikasi
kesepakatan penetapan harga (email) pun ditemukan oleh Investigator.
Presiden Direktur Yoichiro Kojima yang menjabat saat itu menginstruksikan
kepada Divisi Manajemen Pemasaran untuk melakukan penyamaan harga
produk skuter matik YAMAHA mengikuti pola harga skuter matik milik
HONDA sebagai bentuk pemenuhan janji beliau kepada Toshiyuki Inuma
selaku Presiden Direktur HONDA. Bahwa mendengar kabar tersebut Yukata
Terada selaku Direktur Pemasaran menyampaikan ketidaksetujuannya kepada
grup. Melalui email Yukata Terada keberatannya itu dengan sebagai berikut:
“President Kojima san has requested us to follow Honda price
increase many times since January 2014 because of his promise with Mr.
Inuma President of AHM at Golf Course. As we know this is illegal. We never
follow such price negotiation process. YMC also educated all employees not
to negotiate prices with competitors.”
Bukti lainnya yang ditemukan tim Investigasi KPPU ialah kiriman
email internal Terlapor I yang dikirim oleh Bapak Dyonisius Beti selaku
Wakil Presiden Direktur YAMAHA pada hari Senin, 28 April 2014,
menggunakan alamat email email [email protected]
forward yang isinya berupa email dari Presiden Direktur Yoichiro Kojima
melalui alamat email [email protected]) sebagai terusan:
Pricing Issue yang merupakan email yang ditujukan kepada Tuan Terada
sebelumnya. Tuan Dyonisius Beti (Dyon) mengirimkan email terusan tersebut
ke beberapa orang di antaranya Tuan Yuji Tokunaga (Direktur Marketing PT.
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email
[email protected], Bapak Sutarya (Direktur Sales PT.
Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email
49
[email protected], Bapak Hendri Wijaya (General Manager
Marketing PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email
[email protected], dan Bapak Ichsan Nulhakim (Chief DDS 3
PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing) dengan alamat email
[email protected]. Bukti kiriman email tersebut adalah
sebagai berikut:
“Please find attached the IDN price comparison material presented by
YMC at Asean Mtg just after GEC. As You can notice, prices of some models
are lower Honda, such as Vixion, Fino, etc. We need to send message to
Honda that Yamaha follows H price increase to countermeasure exchange
rate fractuation / labor cost increase as a common issue for the industry. So
please review the current pricing and where there is a room, please adjust the
price. I understand that to maintain the volume, if necessary, we use the
amount of price increase for promotion of the models at least for the time
being. Thanks, Kojima (see attached file: Price position IDN 2014. PPT.x)”.
Berdasarkan isi email tersebut, Investigator meyakini bahwa benar
telah terjadi komunikasi yang mengindikasikan adanya perilaku kartel yang
dilakukan Terlapor I dan Terlapor II. Huruf “H” yang disebut di dalam email
tersebut disebut sebagai simbol yang melambangkan Honda atau Terlapor II
yang harganya akan diikuti oleh Terlapor I. Investigator KPPU menemukan
kejanggalan dalam grafik penjualan produk-produk skuter matik ukuran 110-
125cc di Indonesia yang didapatkan melalui proses penyidikan dan
penyelidikan. Bahwa tim Investigasi KPPU melihat anomali harga yang
terjadi di antara harga Yamaha dan Honda. Bahwa sebelum adanya email
tentang Pricing Issue yang diteruskan oleh Tuan Dyon kepada rekan-rekan
kerjanya tersebut, harga produk skuter matik 110-125 cc Terlapor I belum
mengalami kenaikan dan cenderung tidak mengikuti pola harga produk
Terlapor II. Lalu, setelah adanya kiriman email tersebut terjadi kenaikan harga
produk Terlapor I yang bersisian dengan harga produk Terlapor II. Dengan
adanya fakta tersebut, Investigator menyatakan dakwaannya terhadap
50
Terlapor I dan Terlapor II tentang perjanjian kartel di antara keduanya adalah
benar adanya.
Berdasarkan dakwaan yang dipaparkan di dalam persidangan oleh
Majelis Komisi tersebut, Terlapor I menjawabnya melalui kesimpulan dan
menghadirkan saksi-saksi ahli untuk menguatkan bantahannya. Bahwa sejak
awal Terlapor I mengatakan bahwa bukti komunikasi berupa email seperti
yang disangkakan oleh Invistigator (KPPU) tidak benar apabila dijadikan
bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Email yang dikirim oleh Saksi
Yoichiro Kojima kepada Saksi Yukata Terada yang selanjutnya dilanjutkan
kepada Saksi Dyonisius Beti dan Saksi Sutarya merupakan bentuk
komunikasi internal perusahaan yang hanya bertujuan menyebarkan informasi
tentang harga skuter matik Vixion untuk ditingkatkan. Email tersebut sama
sekali tidak ditujukan untuk Terlapor II sebagaimana yang disangkakan oleh
Investigator sebagai bentuk komunikasi yang bertujuan menginformasikan
Terlapor II bahwa Terlapor I akan melakukan price parallelism atau
penyamaan harga dengan harga produk Terlapor II.
Terlapor I dan Terlapor II merasa diperlakukan tidak layak dan tidak
berdasarkan ketentuan beracara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Mereka keberatan atas proses Investigator dalam mengumpulkan data-data
melakukannya dengan paksa dan tidak sesuai aturan. Terlapor I dan Terlapor
II merasa dokumen perusahaannya telah diambil dari orang-orang yang tidak
memiliki wewenang untuk menyerahkannya dan data-data itu diminta oleh
Investigator tanpa surat penunjukkan resmi. Terlapor I juga mengatakan
keberatan atas penghadiran alat bukti berupa data penjualan produknya yang
merupakan dokumen perusahaan, Terlapor I menganggap bahwa dokumen
rahasia itu tidak sepantasnya dihadirkan di dalam persidangan karena
ditakutkan dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Oleh karena itu,
51
Terlapor I dan Terlapor II menyatakan Investigator telah bergerak sendiri dan
tidak sesuai dengan prinsip due process of law. Terlapor I dan Terlapor II
merasa bahwa penggunaan email dan pertemuan antara Presiden Direktur
Terlapor I yang menjabat kala itu (Yoichiro Kojima) dengan Presiden
Direktur Terlapor II (Toshiyuki Inuma) adalah tidak tepat. Bahwa bukti tidak
langsung sampai saat ini masih belum diterapkan dalam proses peradilan di
Indonesia, dan baru bisa ditemukan di negara-negara yang telah
mengesahkannya seperti Amerika dan Australia. Bahwa bukti tidak langsung
oleh KPPU menyalahi apa yang dimaksud dengan alat bukti di dalam undang-
undang Hukum Perdata, sehingga penerapannya ke dalam perkara a quo
adalah tidak tepat. Selain dari pada itu, Terlapor I (Tuan Yoichiro Kojima
selaku Presiden Direktur Yamaha yang menjabat saat itu) yang pada saat itu
bermain golf dengan Terlapor II (Tuan Toshiyuki Inuma yang pada itu –
hingga saat ini berperan selaku Presiden Direktur Honda) tidak setuju
terhadap tuduhan Investigator yang menyatakan telah terjadi perjanjian diam-
diam di lapangan golf terkait penyamaan pola harga yang dilakukan Yamaha
kepada Honda. Terlapor I dan Terlapor II mengaku bertemu di lapangan golf
pada tahun 2013 dan terakhir pada bulan November 2014 hanya sebatas
pemenuhan hobi dan pertemuan itu tidak hanya dihadiri oleh mereka berdua,
namun juga dihadiri oleh PT. SUZUKI dan PT. TVS.
Bahwa Terlapor I dan Terlapor II menyatakan tidak mungkin terlibat
dalam kartel. Hal ini didasari alasan bahwa sesungguhnya kedua perusahaan
saling bersaing. Tidak ada alasan untuk melakukan penyamaan harga (price
parallelism). Bahwa Terlapor I dan Terlapor II membantah bahwa kenaikan
harga yang terjadi pada pemasaran produknya di tahun 2014 merupakan
kejanggalan. Bahwa kenaikan harga produk yang terjadi antara pelaku usaha
yang bersaing, tidak selalu mencerminkan perilaku kartel. Bahwa menurut
Terlapor I dan Terlapor II, kenaikan harga produk mereka telah melalui
52
pertimbangan. Kebijakan perusahaan dalam menaikkan harga produk sepeda
motor matik yang mereka pasarkan mempertimbangkan beberapa faktor, di
antaranya:
1. Faktor eksternal, seperti pajak dari pemerintah, BBN (Bea Balik
Nama) yang pada dasarnya mengikuti harga yang ditetapkan oleh
Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) tiap-tiap
daerah,
2. Faktor nilai tukar Dollar terhadap Rupiah dan inflasi;
3. Faktor musiman (seasonal) seperti Lebaran, dimana terjadi
peningkatan masyarakat pada musim ini.
4. Faktor ekonomi perusahaan, seperti Upah Minimum Regional
(UMR) yang rutin menjadi masalah utama dan juga
mempertimbangkan biaya produksi dan biaya bahan baku.
Selanjutnya Terlapor II berdasarkan penuturan Ahli Kurnia Toha yang
menyatakan “Jika penetapan harga ini independen, kebetulan mirip saja
maka tidak melanggar, namun jika mirip/menetapkan harga ini karena ada
kolusi maka ini tidak boleh”12
dan Terlapor I dengan ini menyatakan bahwa
pola harga yang diterapkan oleh perusahaannya terhadap produknya hanya
semata-mata untuk mencari kesempatan sebesar-besarnya untuk menarik
minat pasar di saat Terlapor II yang merupakan pemegang posisi dominan
dalam pasar menaikkan harga produknya. Terlapor I dan II juga
menghadirkan bukti-bukti dalam persidangan berupa grafik penjualan produk
mereka. Dari grafik yang mereka hadirkan, Terlapor I mengatakan bahwa
Investigator telah salah melakukan analisis penghitungan atas grafik penjualan
produk mereka. Mereka mengatakan bahwa kesalahan metode penghitungan
akan menimbulkan kesimpulan yang salah pula. Terlapor I juga turut
12
Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016, poin 7.2.25, h. 383.
53
menghadirkan grafik penjualan yang diakui sebagai grafik penjualan yang
benar dan sesuai fakta, yang mana disana diperlihatkan bahwa tidak terjadi
kenaikan harga produk seperti apa yang didakwakan oleh Investigator. Produk
yang mereka pasarkan bahkan mengalami penuruna harga serta keuntungan-
keuntungan yang didakwakan oleh Investigator dinyatakan keliru. Hal itu
dipertegas dengan adanya grafik lainnya yang menunjukkan bahwa presentase
keuntungan penjualan Terlapor I berbeda jauh dari apa yang didakwakan oleh
Investigator. Terlihat di dalam grafik keuntungan yang diraih oleh Terlapor I
jauh lebih rendah dari apa yang ditaksir di dalam persidangan.
Apabila melihat sifat pasar oligopoli, pelaku usaha yang bersaing di
dalam pasar dengan produk yang homogen dan saling substitusi, saat pelaku
usaha dominan menaikkan harga produknya, pelaku usaha yang menjadi
pesaingnya akan cenderung menjaga harga tetap atau menaikkan harga tetapi
tidak terlalu mendekati harga yang ditawarkan pelaku usaha dominan tersebut.
Dengan kata lain, apa yang menjadi alasan Terlapor I tidak dapat diterima.
Hal itu dikarenakan di sisi lain, sebuah perusahaan oligopolistis tidak dapat
menaikan pangsa pasarnya melalui penurunan harga karena oligopolis lain
dalam industri akan mengikuti penurunan harga tadi.13
Maka hal yang
sewajarnya dilakukan oleh Terlapor I bukanlah ikut menaikkan harga
produknya, melainkan menjaga harga produknya tetap rendah agar konsumen
beralih kepada produk yang dipasarkannya. Sedangkan menurut keterangan
pelaku usaha lain seperti PT. SUZUKI dan PT. TVS yang juga memproduksi
sepeda motor jenis matik 110-125 cc, pada tahun 2014 mereka cenderung
memilih tidak menaikkan harga atau menaikkan harga pada jenis-jenis
tertentu, dengan alasan menjaga minat konsumen terhadap produk mereka
atau market share.
13
Model kurva permintaan berlekuk (kinked demand curve model) atau mode Sweezy, dari
buku Dominick Salvatore, Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. Dikutip dari Putusan KPPU Nomor
04/KPPU-I/2016 h. 373.
54
Di dalam pertimbangan Majelis Komisi, berdasarkan analisis prilaku,
pasar oligopoli yang di dalamnya ada pemimpin pasar (leader) dan
perusahaan lainnya sebagai pengikut (follower), pemimpin pasar merupakan
perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang paling besar (dominan).
Kemudian terkait dengan penetapan harga, perilaku harga perusahaan follower
akan mengikuti harga yang dilakukan oleh perusahaan leader. Strategi yang
dilakukan perusahaan follower salah satunya ialah menjaga harga relatif tetap
sama dengan harga produk perusahaan leader dengan cara mengikuti setiap
harga dari perusahaan leader.14
Bahwa terlepas dari substansi email tersebut,
Majelis Komisi menilai adanya fakta bahwa email tersebut merupakan
komunikasi resmi yang dilakukan antar pejabat tinggi Terlapor I (top level
management Terlapor I). Oleh karena itu mengingat kapasitas pengirim dan
penerima email serta media yang digunakan yaitu email resmi perusahaan,
maka Majelis Komisi tidak serta merta mengabaikan fakta tersebut sebagai
alat bukti.15
Berdasarkan pertimbangan Majelis Komisi sendiri, Terlapor I
dapat dibuktikan telah melakukan manipulasi data. Terlapor I telah
memanipulasi data harga sepeda motor matik jenis Xeon dengan Xeon RC
sehingga seolah-olah telah terjadi penurunan harga, dan bermaksud pemalsuan
data sehingga Investigator dianggap salah dalam melakukan penghitungan dan
pengolahan data.16
Selain itu Majelis Komisi menyatakan perilaku yang
ditunjukkan oleh Terlapor I di muka persidangan sudah melanggar prinsip
contempt of court yaitu berlaku tidak sopan dan menggangu jalannya
persidangan. Terlapor I kerap kali berteriak di dalam menyampaikan
pendapatnya di dalam persidangan yang tengah berjalan, menunjuk-
nunjukkan tangannya ke hadapan saksi maupun Investigator. Terlapor I juga
14 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 poin 7.5.2.4, h. 402. 15
Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 poin 6.3.4.3, h. 364.
16 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 poin 7.4 .4, h. 395.
55
tidak bersikap kooperatif kepada jalannya penyidikan dengan tidak juga
menyerahkan data yang dimintakan oleh Investigator maupun Majelis Komisi
di saat persidangan berlangsung. Hal ini tentunya menghambat proses
penyelesaian perkara.
Berdasarkan penjelasan atas duduk perkara kartel skuter matik 110-
125 cc tersebut, hasil dari putusan KPPU atas perkara kartel yang melibatkan
Yamaha dan Honda tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, dan Terlapor II terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp.25.000.000.000 (Dua Puluh
Lima Miliar Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan
Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah
dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di
Bidang Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp.22.500.000.000 (Dua Puluh
Dua Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) dan disetor ke Kas Negara
sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Memerintahkan Terlapor I, dan Terlapor II, untuk melakukan
pembayaran denda, melaporkan dan menyerahkan bukti pembayaran
denda ke KPPU.
C. Bukti Tidak Langsung dalam Perkara Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-
I/2016
Berdasarkan penjabaran tentang duduk isi perkara Putusan KPPU
Nomor 04/KPPU-I/2016 di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan bukti tidak
langsung oleh KPPU tidak serta merta dapat diterima penggunaannya oleh
pelaku usaha sebagai suatu alat bukti. Di dalam perkara kartel skuter matik
56
ukuran 110-125 cc itu ada dua alat bukti tidak langsung yang disampaikan di
dalam persidangan oleh KPPU. Sesuai dengan karakternya yang berguna
untuk menguatkan kedudukan bukti langsung lainnya di persidangan, ada dua
bukti tidak langsung (circumstantial evidence) yang dihadirkan oleh
Investigator KPPU. Bukti tidak langsung itu antara lain:
1. Bukti komunikasi berupa pertemuan di lapangan golf yang
dilakukan beberapa kali oleh Terlapor I dan Terlapor 2 dari tahun
2013 sampai dengan Bulan November 2014 dan bukti surat
elektronik (email) yang menyiratkan adanya komunikasi internal
Terlapor I untuk mengawasi harga dan mengirim sinyal kepada
Terlapor II bahwa akan ada penyamaan pola harga (price
parallelism) yang akan dilakukan oleh Terlapor I terhadap harga
penjualan produk skuter matik ukuran 110-125 cc miliknya
mengikuti harga produk skuter matik 110-125 cc milik Terlapor II.
2. Bukti ekonomi berupa grafik kenaikan harga penjualan produk
skuter matik 110-125 cc milik Terlapor I dan Terlapor II yang
selalu terjadi pada waktu yang berdekatan.
57
BAB IV
KEKUATAN BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE)
DALAM TATANAN HUKUM DI INDONESIA
A. Penggunaan Bukti Tidak Langsung dalam Sistem Hukum di Indonesia
Di negara yang menganut sistem hukum yang berbeda dengan
Indonesia, seperti Australia dan Amerika, penggunaan bukti secara tidak
langsung sudah wajar digunakan dalam proses pengadilan. Negara-negara
tersebut beranggapan bahwa dengan semakin banyaknya bukti tidak langsung
yang ditemukan di lapangan akan semakin menguatkan keberadaan alat bukti
lain di persidangan.1 Berbeda dengan negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon atau common law system, badan peradilan di Indonesia yang
menganut paham civil law masih sulit pembuktian secara tidak langsung
karena masih jarang digunakan dan sulit diterima karena dianggap tidak
termasuk ke dalam golongan alat bukti yang diakui di dalam hukum pidana
maupun hukum perdata. Beberapa Hakim bahkan masih menolak adanya
penggunaan bukti tidak langsung sebagai alat bukti, sehingga seringkali hasil
putusan KPPU dibatalkan di tingkat Pengadilan Negeri atau mengajukan
keberatan ke Mahkamah Agung dengan alasan KPPU merupakan lembaga
quasi yudisial.2 Bagi para Hakim pengadilan tersebut, keberadaan bukti tidak
langsung tidak lebih dari sekedar suatu bentuk bukti yang sifatnya hanya
sebagai “petunjuk” atau “persangkaan” dan tidak dapat berdiri sendiri apabila
tidak ada bukti lain yang mendukungnya.
1 HRS, Hakim Australia: Circumstantial Evidence Penting dalam Kasus Kartel. Diakses
melalui laman internet Hukum Online pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 21.06 WIB.
2 Diakses melalui http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59bcd106a1fdd/mau-dibawa-
ke-mana-upaya-keberatan-atas-putusan-kppu pada Selasa, 10 April 2018, pukul 23.45.
58
Perdebatan tersebut timbul karena di dalam sistem hukum civil law
Hakim mengacu pada undang-undang dan tidak leluasa memutus berdasarkan
intuisinya saja. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law
system, Hakim bersifat aktif dalam persidangan dan memutus berdasarkan
undang-undang yang berlaku.3 Namun, Jepang sebagai salah satu contoh
negara dengan sistem hukum civil law telah menerima bukti tidak langsung
dalam proses pembuktian di dalam persidangan.
Penggunaan bukti tidak langsung sendiri masih sering terbentur
dengan dalih-dalih pelanggaran terhadap asas Testimonium de Auditu dan asas
Unus Testis Nullus Testis. Testimonium de Auditu adalah di saat seseorang
memberikan kesaksian yang bukan hasil dari melihat, mendengar, ataupun
menyaksikan sendiri suatu peristiwa yang menjadi masalah atau berkaitan
dengan masalah. Kesaksian yang demikian tidak dapat diterima dan tidak bisa
dijadikan alat bukti. Adapun asas Unus Testis Nullus Testis adalah apabila
hanya ada satu orang saksi yang melihat suatu kejadian yang memiliki
keterkaitan dengan perkara, maka kesaksiannya tidak dapat diterima.
Kesaksian yang dihasilkan dari testimonium de auditu dan kesaksian
tunggal tersebut tidak dapat diterima, karena dianggap membahayakan apabila
terjadi kebohongan dan manipulasi di dalam kesaksian orang tersebut.
Padahal, apabila kesaksian yang diberikan di muka pengadilan dirasa masuk
akal dan saling berkaitan dengan perkara tersebut, seorang hakim tetap dapat
mempertimbangkan kesaksiannya itu. Namun, karena kedudukan bukti tidak
langsung belum kuat dan masih sulit diterima di dalam sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, putusan perkara yang dibuat oleh KPPU terkadang dapat
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri saat pelaku usaha merasa keberatan atas
putusan KPPU tersebut dan membawa perkaranya itu untuk banding di
Pengadilan Tinggi atau bahkan melakukan kasasi di Mahkamah Agung.
3Marzuki Sagala, Eksistensi Pembuktian Secara Tidak Langsung. Diakses melalui laman
internet Kompasiana pada tanggal 28 Februari 2018, pukul 15. 51 WIB.
59
Sangat disayangkan melihat banyaknya pelaku usaha yang merasa
tidak puas dengan hasil putusan KPPU dan memilih untuk mengajukan
keberatan atas hasil putusan tersebut ke pengadilan di luar KPPU. Penguatan
posisi bukti tidak langsung yang merupakan bagian dari proses penyelesaian
perkara dalam perundang-undangan Indonesia dirasa penting dan memiliki
urgensi. Hal ini penting demi menegaskan kembali posisi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha sebagai lembaga independen yang berhak memutus perkara
persaingan usaha sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang yang
bersangkutan dengan menggunakan proses dan ketentuannya sendiri selama
tidak bertentangan dengan undang-undang yang berada di atasnya.
Hukum di Indonesia sudah sepatutnya memberikan tempat bagi bukti
tidak langsung untuk berperan dalam membuktikan adanya praktik kartel yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Lincahnya pelaku usaha dalam melakukan
kesepakatan secara diam-diam sedangkan sangat sulit untuk mendapatkan
bukti tertulis atau bukti langsung lainnya dalam membuktikan kartel sudah
seharusnya menjadi bahan pertimbangan lembaga yudikatif di Indonesia
mempertimbangkan kegunaan adanya bukti tidak langsung dalam persidangan
KPPU, terlebih lagi dampak atau kerugian yang ditimbulkan oleh adanya
praktik kartel di dalam usaha dan industri di Indonesia terhadap perekonomian
negara dan konsumen sangatlah besar.
B. Kekuatan Bukti Tidak Langsung dalam Putusan KPPU Nomor
04/KPPU-I/2016
Seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, KPPU
menghadirkan dua buah bukti tidak langsung berupa bukti ekonomi dan bukti
komunikasi antara Yamaha dan Honda di dalam persidangan perkara Nomor
04/KPPU-I/2016. Bukti ekonomi yang dihadirkan oleh Investigator KPPU
menjelaskan bahwa adanya pola kesamaan harga yang mengindikasikan
adanya perjanjian persamaan harga jual (price parallelism) atas produk skuter
60
matik ukuran 110-125 cc yang dipasarkan oleh Yamaha dan Honda. Bukti
ekonomi yang dihadirkan oleh Investigator tersebut berupa grafik penjualan
produk yang menerangkan bahwa tren harga yang terus meningkat terjadi
pada merk Honda.4 Yamaha meningkatkan harga pada Maret setelah Honda
meningkatkan harga pada Februari dan Maret. Yamaha tidak lagi merubah
harga selama tahun 2014 walaupun Honda menurunkan atau menaikan
kembali harganya. Walaupun demikian, pada akhirnya kedua Terlapor
berusaha mempertahankan harga relatif kedua produk mereka terutama mulai
bulan Oktober 2014.5
Selain bukti ekonomi di atas, KPPU juga menghadirkan bukti
komunikasi dalam perkara kartel yang melibatkan Yamaha dan Honda. Bukti
komunikasi tersebut ialah suatu bukti yang dikemukakan oleh Investigator
KPPU sendiri berupa adanya pertemuan di lapangan golf yang dicurigai
menjadi lokasi terjalinnya kesepakatan kartel penetapan harga antara Yoichiro
Kojima, Presiden Direktur Yamaha yang menjabat kala itu, dengan Toshiyuki
Inuma, selaku Presiden Direktur Honda yang menjabat saat terjadinya
pertemuan sampai dengan saat persidangan perkara tersebut berlangsung.
Bahwa adanya pertemuan antara Presiden Direktur PT. Yamaha Indonesia
Motor Manufacturing dan Presiden Direktur PT. Astra Honda Motor pada
tahun 2013 sampai dengan November 2014, sebagaimana dijelaskan dalam
kronologis di atas merupakan bukti adanya komunikasi.6 Sebab dijadikannya
pertemuan di lapangan golf yang melibatkan kedua petinggi perusahaan
tersebut sebagai suatu bentuk komunikasi yang dicurigai ialah KPPU melihat
adanya perilaku mengikuti kenaikan harga produk yang dilakukan oleh
Yamaha terhadap kenaikan harga produk pesaingnya, yaitu Honda sebagai
4 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 poin 7.5.2.9, h. 403.
5 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 poin 7.5.2.9... h. 403.
6 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016... h. 108.
61
penguasa pangsa pasar skuter matik di Indonesia setelah adanya pertemuan
tersebut.
Sebuah bukti komunikasi lainnya berupa adanya komunikasi internal
antara petinggi perusahaan Yamaha yang berisi instruksi Yoichiro Kojima
kepada grup manajemen pemasaran untuk mengikuti pola kenaikan harga
mulai dari Januari 2014 sebagai janji kepada Presiden Direktur Honda,
Toshiyuki Inuma. Yukata Terada selaku Direktur Pemasaran Yamaha kala itu
kemudian menyebar informasi tersebut kepada Dyonisius Beti selaku Wakil
Presiden Direktur dan Sutarya selaku Direktur Penjualan. Di dalam emailnya
tersebut Terada menolak kebijakan tersebut, karena dapat menimbulkan kartel
dan bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha. Bahwa berdasarkan bukti
email dan keterangan BAP saksi Terada yang menyatakan Yamaha akan
mengikuti pola kenaikan harga dalam periode tahun 2014 merupakan bukti
telah terjadinya concerted action.7 Bahwa Ahli Prahasto W. Pamungkas
menyatakan, concerted action secara bahasa bisa diartikan acting in the same
way atau acting in concert. Istilah concerted action itu adalah istilah yang
digunakan di Amerika Serikat, bahwa menurut Sherman Act yang terpenting
adalah hasil dari perilaku kartel tersebut tidak perlu dilihat komunikasi yang
dilakukan oleh para anggota kartel.8
C. Urgensi Pasal Penerapan Bukti Tidak Langsung bagi Proses Persidangan
oleh KPPU
Kesulitan yang dialami oleh KPPU dalam melakukan pembuktian
dengan menggunakan bukti tidak langsung selama ini adalah tidak adanya
undang-undang khusus yang mengaturnya. Baik di dalam Hukum Perdata
maupun Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, tidak menjelaskan secara
7 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016... h. 108.
8 Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016... h. 109.
62
khusus mengenai apa yang dimaksud dengan bukti tidak langsung
(circumstantial evidence), sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
sendiri tidak menjelaskan tergolong dalam bentuk bukti macam apa suatu
bukti yang dikategorikan sebagai bukti tidak langsung itu. Selain itu, KPPU
yang hanya berhak melakukan penelitian dan penyelidikan atas suatu kasus,
tidak memiliki wewenang untuk melakukan penggeledahan terhadap pelaku
usaha yang diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.9 Walaupun demikian, di dalam Peraturan Komisi
Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal
11 tentang Kartel, KPPU menjelaskan bahwa dalam melakukan pembuktian,
KPPU dapat menjadikan beberapa hal sebagai alat bukti, di antaranya:10
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau
pembagian wilayah pemasaran.
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan
oleh pelaku usaha secara individu selama beberapa periode
terakhir (bisa tahunan atau per semester).
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan
di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir
(bulanan atau tahunan).
4. Data kapasitas produksi.
5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan
yang saling berkoordinasi.
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan
yang berlebih/excessive profit.
9 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, h. 313.
10 Peraturan Komisi Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Peaksanaan
Pasal 11 tentang Kartel, poin 4.4.1, h. 23.
63
7. Hasil analisis data concius paralelism11
terhadap koordinasi harga,
kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota
yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat
beserta perubahannya.
10. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual
yang diduga terlibat kartel.
12. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang
diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang
diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya
faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada
bagian Indikator Awal Identifikasi Kartel (poin 4.2.1)
Di dalam Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tersebut dijelaskan
pula, bahwa:12
KPPU akan menggunakan kewenangannya sesuai yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berupa permintaan
dokumen baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy,
menghadirkan saksi dan melakukan investigasi ke lapangan. Apabila
diperlukan akan dilakukan kerjasama dengan pihak berwajib yaitu
kepolisian untuk mengatasi hambatan dalam memperoleh alat bukti
11
Conscious parallelism atau kadang diartikan sebagai kolusi secara diam-diam, ialah suatu
keadaan dimana perusahaan satu mengikuti pola bisnis yang dilakukan oleh perusahaan pesaingnya
daripada melakukan persaingan dalam menarik peminat/konsumen. Perwujudan yang paling jelas
terjadi ketika harga yang ditawarkan suatu kalangan pelaku usaha di dalam suatu industri tidak hanya
secara mencurigakan memiliki kesamaan, namun juga tetapi juga secara paralel berubah dengan cepat
dalam cara yang mencolok. Reza Dibadj, Concious Parallelism Revisited, (San Fransisco: University
of San Francisco Law Research Paper No. 2011-17), p. 590.
12 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11
tentang Kartel, poin 4.4.1, h. 23.
64
dimaksud. Pada kasus tertentu, KPPU juga dapat memperoleh alat
bukti melalui kerjasama dengan para personel perusahaan yang terlibat
dalam suatu kartel dengan kompensasi tertentu.
Apabila hanya mengandalkan bukti langsung (direct evidence) di
lapangan, akan sangat sulit bagi KPPU untuk mengungkap adanya praktik
persaingan usaha tidak sehat, terutama dalam melaukan pembuktian perjanjian
kartel. Pada kenyataanya, akan sangat sulit bagi pelaku usaha melakukan
kesepakatan tertulis dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kartel, karena
akan sangat mudah bagi KPPU untuk menyelidikinya, sehingga para pelaku
usaha akan memilih melakukan kesepakatan tersebut secara tertutup atau
diam-diam, sehingga seringkali KPPU menghadapi kesulitan dalam
mengungkap dan membuktikan adanya kartel. Apalagi, KPPU tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penggeledahan atau penyitaan dokumen terkait
kesepakatan tersebut.13
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bersangkutan dengan topik tentang keabsahan bukti tidak langsung
(circumstantial evidence), peneliti melakukan sebuah wawancara melalui
surat elektronik (e-mail) dengan Dinnie Melanie, S.H., M.E.,14
seorang
narasumber yang saat ini tercatat sebagai salah satu Investigator KPPU pada
tanggal 7 Maret 2018. Dalam jawaban wawancaranya, beliau memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan peneliti mengenai pendapatnya terhadap
wacana pengesahan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sebagai
salah satu bukti yang sah dalam persidangan di Indonesia. Pembuktian
13
Jurnal Hukum Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha Edisi 6, Cetakan
Pertama, Desember, Tahun 2011. Diakses melalui www.kppu.co.id pada Jum’at, 06 April 2018, pukul
23.54 WIB.
14 Saat ini, Dinni Melanie tercatat sebagai investigator KPPU. Salah satu kasus yang pernah
diperiksa oleh Dinni yaitu persekongkolan dalam empat paket pengadaan alat kedokteran di RSUD
Abdul Wahab Sjahranie, Samarinda, Kalimantan Timur Tahun Anggaran 2012-2013. Diakses melalui
laman internet Hukum Online http:// www.hukumonline.com/ berita/ baca/ lt5a97fcfded8cd/ ini-profil-
18-calon-komisioner-kppu-yang-terganjal-di-dpr pada Sabtu, 7 April 2018, pukul 22.36 WIB.
65
dilakukan dengan mencari alat-alat bukti tidak langsung (circumstansial
evidence) yang dapat berupa:
1. alat bukti komunikasi (communication evidence), misalnya
komunikasi melalui telepon, email, BBM, WhatssApp, notulen rapat,
rekaman pembicaraan, dll; dan
2. alat bukti ekonomi (economics evidence) berupa analisis ekonomi
terhadap data pergerakan harga produk, data mengenai produksi,
pasokan, distribusi, wilayah pemasaran masing-masing pelaku kartel
di pasar dalam kurun waktu tertentu.
Menurut Dinni Melanie, alat bukti tidak langsung (circumstantial
evidence) sudah sepatutnya diakui baik dalam Hukum Pidana maupun Hukum
Perdata di Indonesia. Dalam Pasal 188 KUHAP diatur mengenai salah satu
alat bukti yang sah dalam Hukum Pidana yaitu “petunjuk” yang merupakan
circumstantial evidence/indirect evidence. Demikian pula dalam Hukum
Perdata yaitu Pasal 173 HIR, Pasal 310 RBG, dan Pasal 1915 KUH Perdata,
salah satu alat bukti yang sah dalam Hukum Perdata adalah “persangkaan”
yang merupakan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence/indirect
evidence). Dengan demikian, circumstantial evidence dalam perkara
persaingan usaha baik berupa bukti komunikasi maupun bukti ekonomi sudah
sepatutnya diakui dalam pembuktian perkara persaingan usaha terutama
dalam pembuktian perkara-perkara kartel.
Berdasarkan teori afirmatif yang mengedepankan pembebanan
pembuktian kepada pihak yang mendalilkan, maka sudah seharusnya KPPU
melakukan riset dan penyelidikan untuk dapat menghadirkan alat bukti di
muka persidangan. Dalam pemenuhan kewajibannya, KPPU telah
mengumpulkan data-data penjualan produk kedua Terlapor untuk diolah
sebagai alat bukti yang menunjukkan kebenaran adanya kartel harga. Olahan
data dan grafik penjualan tersebut yang kemudian disebut sebagai bukti
ekonomi. Kemudian KPPU dibantu oleh saksi Yukata Terada telah
66
mengungkap bahwa secara terang Yamaha telah melakukan price parallelism
atau penyamaan harga terhadap produk Honda. Unsur perjanjian diam-diam
pun telah terpenuhi bersamaan dengan adanya pertemuan antara Yamaha dan
Honda yang dicurigai menghasilkan pertukaran informasi dan terjalinnya
kesepakatan kartel. Dengan demikian, Investigator KPPU selaku pihak yang
mendalilkan sudah membuktikan bahwa dengan bukti tidak langsung berupa
bukti ekonomi dan komunikasi tersebut telah membenarkan adanya
kesepakatan kartel di antara para Terlapor.
KPPU sudah membuktikan bahwa dengan keberadaan bukti tidak
langsung berupa bukti ekonomi dan komunikasi tersebut adalah benar saling
berkaitan dan dapat dibuktikan kebenaran serta pengaruh kesepakatan kartel
tersebut bagi perekonomian masyarakat. Walaupun kartel yang terjadi tidak
secara langsung dirasakan dampaknya oleh masyarakat, namun secara per se
illegal dapat dinyatakan bahwa kartel tetap dianggap suatu bentuk
pelanggaran atas Pasal 5 ayat (1) tentang penetapan harga Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999. KPPU bahkan dapat membuktikan bahwa alat bukti
yang dihadirkan oleh Yamaha berupa grafik penjualan beberapa produk skuter
matik ukuran 110 dan 125 cc yang mereka produksi adalah data yang telah
dimanipulasi. Tidak adanya itikad baik Yamaha dalam menghadirkan saksi
dan data yang dimintakan Majelis Komisi selama proses pemeriksaan dan
penyidikan hingga proses persidangan berakhir yang menghambat proses
penyelesaian perkara tersebut juga secara hukum dapat diterima, sehingga
KPPU berhak menjatuhkan denda administratif lebih besar kepada Yamaha.
Apabila Majelis Komisi menggunakan teori keadilan yang
menghendaki terlapor untuk membuktikan dirinya tidak bersalah sebagai
bahan pertimbangan dalam memutus perkaranya, maka Majelis Hakim telah
memberikan haknya kepada pihak Terlapor, namun alat bukti tidak dapat
diterima karena dihasilkan dari data yang telah dimanipulasi sebelumnya.
Apabila Majelis Komisi menggunakan teori afirmatif yang membebankan
67
tanggung jawab pembuktian kepada pihak yang mendalilkan, di mana kedua
belah pihak baik Pelapor dan Terlapor boleh saling berdalil, maka pembuktian
yang dilakukan oleh Invetigator KPPU dapat pula diterima. Sehingga apabila
kedua teori itu dipadupadankan, maka pihak yang paling kuat dalam
melakukan pembuktianlah yang dibenarkan.
Di dalam perkara ini, KPPU lah yang kuat dan dapat diterima dalil-
dalilnya. Namun, lagi-lagi, butuh suatu kepastian hukum dari pembuktian
dengan menggunakan bukti tidak langsung oleh KPPU. Pembahasan yang
demikian adalah untuk memberikan rasa nyaman bagi pelaku usaha. Apabila
bukti tidak langsung tetap digunakan namun tidak ada sesuatu perundang-
undangan yang dapat dijadikan acuan, maka posisi pelaku usaha sangat
terancam, terutama apabila menggunakan bukti komunikasi yang tidak dapat
ditakar kebenarannya memiliki hubungan dengan adanya suatu perilaku yang
menunjukkan ciri-ciri kartel. Apabila terus berlanjut tanpa arahan, bukti tidak
langsung tersebut ditakutkan juga dapat membuat KPPU berlaku sewenang-
wenang dalam menjatuhkan putusan.
Berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh Investigator, hal yang
memberatkan KPPU dalam mengumpulkan bukti-bukti di dalam persidangan
di antaranya adalah tidak adanya wewenang khusus yang diberikan kepada
KPPU untuk melakukan penggeledahan termasuk menyita dari pelaku usaha.
Namun, di dalam persidangan tetap harus menjunjung prinsip due process of
law.15
Hal ini sangat merugikan posisi KPPU yang juga berwenang
melakukan proses peradilan. Tidak adanya suatu hukum tetap yang mengatur
tentang posisi bukti tidak langsung membuat setiap putusan yang dikeluarkan
oleh KPPU dapat diajukan pembatalan ke Pengadilan Negeri bahkan ke
tingkat banding dan kasasi. Namun, adanya pasal khusus tentang penambahan
15
Hukum Online, Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence, diakses melalui
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598aba978d57c/berjuang-mencari-legitimasi-indirect-
evidence pada Sabtu, 7 April 2018, pukul 23.36 WIB.
68
tugas dan wewenang KPPU untuk dapat melakukan penggeledahan dan
penyitaan dokumen dirasa tidak juga tepat karena dapat menimbulkan
kesewenangan jabatan. Penambahan wewenang kepada KPPU juga tidak
dapat menjamin bebasnya negara dari praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat lainnya. Kewenangan yang sangat besar kepada KPPU justru
ditakutkan bisa menggangu investasi, sehingga membuat iklim perekonomian
tidak kondusif.16
Urgensi menambahkan pasal khusus yang mengatur tentang ketentuan
seputar bukti tidak langsung (circumstantial evidence) di dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 sangat mendesak, melihat ketidakpastian yang
diberikan oleh Hukum Antimonopoli di Indonesia kepada pelaku usaha
mengenai apa yang dimaksudkan dengan bukti tidak langsung beserta
kegunaannya di dalam pembuktian di persidangan oleh KPPU masih menjadi
polemik di dalam tatanan hukum di Indonesia.
Tanggapan Dinni Melanie seakan memberikan angin segar bagi para
pelaku usaha yang mengharapkan suatu hukum yang terang untuk
kedepannya. Beliau mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, salah satu alat bukti yang digunakan
oleh KPPU adalah bukti petunjuk. Dalam rancangan amandemen Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, dalam diskusi dengan pemerintah dan DPR,
KPPU telah mengusulkan penjelasan tambahan mengenai alat bukti petunjuk
yang merupakan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) tersebut.
Hal ini dinilai cukup penting untuk memberikan pemahaman yang sama
mengenai circumstantial evidence bagi para Hakim di Pengadilan Negeri
dalam memutus perkara keberatan terhadap Putusan KPPU.
16
Kontan.co.id, Wewenang KPPU yang Besar Menakuti Pebisnis, diakses melalui laman
internet http://nasional.kontan.co.id/news/wewenang-kppu-yang-besar-menakuti-pebisnis pada
Minggu, 8 April 2018, pukul 13.47 WIB.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Legitimasi Bukti Tidak Langsung dalam Tatanan Hukum Indonesia
Kedudukan bukti tidak langsung (circumstantial evidence) hingga
detik ini masih menjadi perdebatan berbagai kalangan untuk dapat
menerima keberadaannya sebagai suatu bentuk bukti yang layak
digunakan untuk memutus suatu perkara. Padahal, di dalam ranah
persaingan usaha, terutama dalam melakukan pembuktian pelanggaran
pasal-pasal yang mengatur tentang bentuk perjanjian yang dilarang seperti
kartel, sangat sulit dilakukan apabila hanya mengacu pada bukti tertulis
atau bukti langsung (direct evidence) lainnya. Tidak diterimanya bukti
tidak langsung sebagai bukti yang sah, akhirnya menyulitkan KPPU dalam
menempatkan diri sebagai lembaga independen yang memiliki
kewenangan dalam memutus perkara dengan caranya sendiri. Masih
banyak hasil putusan Majelis Komisi KPPU yang akhirnya dibatalkan di
Pengadilan Negeri bahkan diajukan kembali ke tingkat Kasasi disebabkan
tidak diterimanya bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah. Hal
yang menyulitkan masuk dan diterimanya bukti tidak langsung
(circumstantial evidence) sebagai alat bukti yang sah adalah hakim
peradilan umum yang masih bertolak pada alat bukti pidana atau alat bukti
perdata.
2. Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 sebagai Penguat Bukti Tidak
Langsung di Mata Hukum yang Berlaku di Indonesia.
Dengan adanya putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 muncul
kecemasan di benak para pengamat ekonomi dan hukum terkait adanya
70
potensi terganggunya iklim investasi di Indonesia. KPPU demi
menanggapi pernyataan tersebut telah memberikan jawabanya. KPPU
berdalil bahwa salah satu tugas utama KPPU adalah melakukan penegakan
hukum persaingan usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999. Hasil proses penegakan hukum persaingan usaha tersebut adalah
berupa Putusan KPPU mengenai terbukti tidaknya suatu pelanggaran
hukum persaingan usaha. Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan
dalam rangka menjamin kepastian hukum dan mewujudkan iklim usaha
yang sehat dan kondusif di Indonesia. Persaingan usaha yang sehat di
suatu negara akan meningkatkan minat investor untuk melakukan
investasi di Indonesia. Dengan adanya Putusan KPPU terkait dengan
Yamaha dan Honda justru memberikan jaminan kepastian hukum bagi
para pelaku investasi dalam industri otomotif di Indonesia untuk selalu
menjaga persaingan usaha yang sehat.
B. Rekomendasi
1. Legitimasi Bukti Tidak Langsung dalam Tatanan Hukum Indonesia
Dibutuhkan suatu peraturan tambahan yang mengatur tentang apa
yang dimaksud dengan bukti tidak langsung dan dengan disertai kriteria
yang menjadikan sesuatu hal tersebut benar tergolong sebagai bukti tidak
langsung. Dengan demikian, KPPU dapat menguatkan kembali posisinya
sebagai lembaga independen negara yang memiliki kewenangan memutus
suatu perkara. Di samping itu, keberadaan peraturan tersendiri bagi bukti
tidak langsung dapat memberikan kejelasan bagi pelaku usaha untuk dapat
memahami alasan KPPU menjadikan suatu hal digolongkan sebagai alat
bukti tidak langsung. Dengan adanya peraturan khusus yang menjelaskan
secara rinci maksud dan tujuan dari diberlakukannya bukti tidak langsung
dapat memberikan peringatan kepada pelaku usaha untuk tetap pada
71
norma dan aturan persaingan usaha yang berlaku. Diharapkan setelah
disahkannya Amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, iklim usaha di
dalam negeri kembali efisien dan berjalan lebih kondusif. Selain daripada
itu, KPPU mempunyai fungsi sebagai penegak hukum di bidang
Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus
persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan
sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan
lembaga administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah
kewenangan administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan
sanksi administratif. Dengan demikian, penambahan pasal mengenai
penambahan wewenang bagi KPPU untuk dapat menggeledah atau
menyita dokumen pelaku usaha dirasa tidak diperlukan. Apabila seluruh
kewenangan tersebut dilimpahkan juga kepada KPPU akan menjadikan
Komisi ini berlaku sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.
2. Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016 sebagai Penguat Bukti Tidak
Langsung di Mata Hukum yang Berlaku di Indonesia.
Dibutuhkan adanya penerangan bagi pelaku usaha mengenai
hukum persaingan usaha, karena masih banyak yang belum memahami
apa manfaat dan tujuan hukum persangan usaha bagi terbentuknya iklim
usaha yang kondusif dan efisien. Pelaku usaha harus menyadari bahwa
hukum persaingan usaha bukan hanya melindungi konsumen dari
kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha, namun juga melindungi
pelaku usaha kecil dan menengah dari pelaku usaha lain yang memonopoli
pasar. Bukti tidak langsung (circumstantial evidence) yang dihadirkan
KPPU dalam persidangan perkara kartel sepeda motor matik 110-125 cc
antara Yamaha dan Honda sudah sepatutnya menjadi bahan pertimbangan
bagi hakim di lingkungan peradilan umum untuk menerima keberadaan
72
bukti tidak langsung (circumstantial evidence) sebagai alat bukti yang sah
untuk digunakan oleh KPPU untuk membuktikan kebenaran dalam
penyelesaian perkara persaingan usaha.
73
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Badrulzaman, Mariam Darus, dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2001.
Hovenkamp, Herbert. Federal Antitrust Policy: The Law of Competition and
It’s Practice, 2nd
ed., (1995), dalam Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum
Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks. Jakarta: ROV Creative
Media, 2009.
Kartte, Wolfgang, dkk. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat Law Concerning Prohibition of
Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Lembaga
Pengkajian Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2000.
Kaysen, Carl and Donald F. Turner. Antitrust Policy: an Economic and Legal
Analysis. Cambridge: Harvard University Press, 1971, dalam Andi
Fahmi Lubis, et.al. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Kontex. Jakarta: ROV Creative Media, 2009.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Penerjemah Raisul
Muttaqien. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusa
Media, 2008, Cet. III.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Panduan Penanganan Konflik Kepentingan
bagi Penyelenggara Negara. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,
2009.
74
Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks.
Jakarta: ROV Creative Media, 2009.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito,
2003.
Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori
dan Praktik serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Kencana, 2012.
Sinamo, Nomensen. Metode Penelitian Hukum. Bumi Intitama Sejahtera,
Jakarta, 2009.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.
Suharsil, Mohammad Taufik Makarao. Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Usman, Rachmadi. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2013
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
II. Skripsi, Jurnal, Artikel, dan Kamus
Alatas, Ali. Pembuktian Perjanjian Kartel Semen Menurut Hukum
Persaingan Usaha Indonesia (Studi Kasus Komisi Pengawas
75
Persaingan Usaha Nomor 01/ KPPU-I/2010, Jakarta: Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015.
Azizah. Asas Keseimbangan Dalam Hukum Persaingan Usaha: Pemaknaan
dan Pemfungsian Asas Keseimbangan dalam Putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha tentang Perjanjian Penetapan Harga
Berdasarkan Pendekatan Struktur Pasar, Program Studi Doktor Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2014.
Collins, P.H., Dictionary of Economics. London – Great Britain: A & C Black
Publishers Ltd., 2006.
Dibadj, Reza. Concious Parallelism Revisited. San Fransisco: University of
San Francisco Law Research Paper No. 2011-17.
Fattah, Damanhuri. Teori Keadilan menurut John Rawls. Jurnal TAPIs Vol.9
No.2 Juli - Desember 2013.
Fendy. Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam
Mendorong Persaingan Usaha yang Sehat di Sektor Motor Skuter
Matic. Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya: Yogyakarta,
2016.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, Seventh Edition. St. Paul –
Minnesota: West Group, 2000.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jurnal Hukum Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. KPPU: Jakarta: Edisi 6 Bulan
Desember 2011.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2013, dalam
Dewa Ayu Reninda Suryanitya dan Ni Ketut Sri Utari, Kedudukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai Lembaga
76
Pengawas Persaingan Usaha yang Independen, Bagian Hukum Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016.
Nasution, Bahder Johan. Kajian Filosofis tentang Hukum dan Keadilan dari
Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern, Fakultas Hukum
Universitas Jambi: Jurnal Yustisia Vol. 3 No.2 Mei - Agustus 2014.
Prayoga, Ayuda D., et.al. Persaingan Usaha dalam Hukum yang
Mengaturnya di Indonesia. Jakarta: Elips, 1999, dalam Dewa Ayu
Reninda Suryanitya dan Ni Ketut Sri Utari, Kedudukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai Lembaga Pengawas
Persaingan Usaha yang Independen, Bagian Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Udayana, 2016.
Setiadi, Muhammad Ichsan. Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor
16/KPPU-L/2009 tentang Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan
(Cleaning Service) di Bandara Soekarno Hatta. Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
2014.
III. Internet
https://business.idntimes.com/economy/rizal/kenapa-harga-motor-yamaha-
dan-honda-relatif-sama-ini-jawabannya/full
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59bcd106a1fdd/mau-dibawa-ke-
mana-upaya-keberatan-atas-putusan-kppu
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-
alat-bukti-dengan-barang-bukti-
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a97fcfded8cd/ini-profil-18-
calon-komisioner-kppu-yang-terganjal-di-dpr
77
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5398841721bba/pengadilan-
masih-alergi-dengan-iindirect-evidence-i
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53b5ecfaad76a/hakim-australia--
circumstantial-evidence-penting-dalam-kasus-kartel
https://id.wikipedia.org/wiki/Biaya_marjinal
https://kbbi.web.id/
http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/
http://www.kppu.go.id/id/blog/2017/02/putusan-perkara-no-04kppu-i2016/
IV. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel.
Putusan KPPU Nomor 04/KPPU-I/2016.
PRESS RELEASE
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Jakarta, 20 Februari 2017
Putusan Perkara No.04/KPPU-I/2016
PRESS RELEASE1
PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 04/KPPU-I/2016
TENTANG
Dugaan Pelanggaran Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam
Industri Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110 – 125 CC di Indonesia
Press release ini bukan merupakan bagian dari Putusan Perkara Nomor 04/KPPU-
I/2016, dan apabila terdapat perbedaan maka harus mengacu kembali kepada Putusan
Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016.
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) melalui Majelis Komisi
yang terdiri dari:
Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.S.. sebagai Ketua Majelis Komisi;
Drs. Munrokhim Misanam, MA.Ec., Ph.D. dan R. Kurnia Sya’ranie, S.H., M.H.
masing-masing sebagai Anggota Majelis Komisi dengan dibantu oleh Jafar Ali
Barsyan,S.H., R.Arif Yulianto,S.H. dan Detica Pakasih, S.H.,M.H. masing-masing
sebagai Panitera, telah selesai melakukan pemeriksaan terhadap Perkara Nomor
04/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
1 Diakses melalui laman internet KPPU, (http://www.kppu.go.id/id/blog/2017/02/putusan-
perkara-no-04kppu-i2016/) pada Senin, 30 April 2018, pukul 22.18 WIB.
Usaha Tidak Sehat Dalam Industri Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110 – 125 CC di
Indonesia.
Perkara ini berawal dari penelitian dan ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan
mengenai dugaan pelanggaran Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang dilakukan oleh:
1. PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing sebagai Terlapor I;
2. PT. Astra Honda Motor sebagai Terlapor II;
I. Bahwa objek perkara a quo adalah:
Industri Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110 – 125 CC di Indonesia.
II. Bahwa ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh para Terlapor
adalah Dugaan Pelanggaran Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dimana dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
menyatakan:
Pasal 5 ayat (1)
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
III. Tentang Kewenangan KPPU dalam Perkara A quo
Bahwa terkait kewenangan KPPU, Majelis Komisi menilai Perilaku Terlapor dalam 3
hal, sebagai berikut:
1. Tentang Pertemuan di Lapangan Golf
2. Tentang Surat Elektronik (email) Tanggal 28 April 2014
3. Tentang email 10 Januari 2015
Atas penilain 3 hal tersebut, Majelis Komisi berpendapat bahwa berdasarkan fakta
persidangan email 10 Januari 2015 adalah Email yang dikirimkan Saksi Sdr. Yutaka
Terada yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing Terlapor I dengan
menggunakan alamat email [email protected] dan dikirimkan kepada
Dyonisius Beti selaku Vice President Direktur Terlapor I dan Majelis Komisi menilai
adanya fakta bahwa email tersebut merupakan komunikasi resmi yang dilakukan
antar pejabat tinggi Terlapor I (top level management Terlapor I). Oleh karena itu
mengingat kapasitas pengirim dan penerima email serta media yang digunakan yaitu
email resmi perusahaan, maka Majelis Komisi tidak serta merta mengabaikan fakta
tersebut sebagai alat bukti.
IV. Tentang Pasar Bersangkutan
Majelis Komisi berpendapat penentuan 110 cc – 125 cc sudah sesuai dengan konsep
product definition dalam teori antitrust yang mana suatu produk perlu didefenisikan
sesempit/sedetil mungkin dan mempertimbangkan karakteristik produk, jangkauan
pemasaran serta perilaku para terlapor yang dipermasalahkan dalam perkara a quo;
V. Penetapan Harga
Majelis Komisi menilai terdapat penyajian data tidak benar yang dilakukan oleh
Terlapor I seolah-olah telah terjadi penurunan harga produk, a.l :
• Time Series harga produk Xeon dan Xeon RC tahun 2013
• Perbandingan harga produk Yamaha Mio dengan produk Honda Beat tahun 2013
dan tahun 2014
• Harga Skutik Kapasitas 125 CC Tahun 2013
• Harga Skutik Kapasitas 110 CC Tahun 2014
Majelis Komisi menilai Terlapor I telah berusaha secara sengaja dan sistematis untuk
menyajikan data dan fakta yang tidak benar agar terbentuk persepsi yang
menguntungkan kepentingan Terlapor I.
VI. Bahwa Unsur Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi:
1. Unsur Pelaku Usaha terpenuhi;
2. Unsur Perjanjian terpenuhi;
3. Unsur Pelaku Usaha dan Pelaku Usaha Pesaing terpenuhi;
4. Unsur Menetapkan Harga atas suatu Barang dan/atau Jasa Yang Harus Oleh
Konsumen atau Pelanggan terpenuhi;
5. Unsur Pasar Bersangkutan terpenuhi.
VII. Bahwa Majelis Komisi merekomendasikan kepada Komisi kepada :
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia agar lebih kuat lagi mendorong
peningkatan industri komponen lokal termasuk IKM (Industri Kecil Menengah)
sehingga komponen utama sepeda motor, yaitu engine, transmisi, rangka, dan
elektrikal dapat dihasilkan oleh industri domestik (PMDN) termasuk IKM nya.
VIII. Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan
yang telah diuraikan di atas, maka Majelis Komisi:
MEMUTUSKAN
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menghukum Terlapor I denda sebesar Rp.25.000.000.000 (Dua Puluh Lima Miliar
Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di
bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui
bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran
di Bidang Persaingan Usaha);
3. Menghukum Terlapor II denda sebesar Rp.22.500.000.000 (Dua Puluh Dua Miliar
Lima Ratus Juta Rupiah) dan disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan
denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Bahwa setelah Terlapor I dan Terlapor II melakukan pembayaran denda, maka
salinan bukti pembayaran denda tersebut dilaporkan dan diserahkan ke KPPU;
Jakarta, 20 Februari 2017
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Republik Indonesia
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA DENGAN KPPU
Oleh : Indriani
Narasumber: Dinni Melanie
Diajukan sebagai Bahan Analisis untuk Judul Skripsi:
BUKTI TIDAK LANGSUNG (CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE)
DALAM PERKARA KARTEL SEPEDA MOTOR MATIK
YAMAHA DAN HONDA
(Analisis Putusan Nomor 04/KPPU-I/2016)
1. Dalam putusan KPPU Nomor: 04/KPPU-I/2016, para pelaku usaha
dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) tentang Penetapan Harga, padahal kata
kartel lebih sering digunakan di dalam perkara tersebut. Lalu mengapa
KPPU memilih menggunakan Pasal 5 ayat (1) dibandingkan
menggunakan Pasal 11 tentang Kartel? Melihat denda yang dijatuhkan
terbilang ringan apabila pelaku usaha dikenakan pasal 5 ayat (1).
Penjelasan:
Berdasarkan teori mengenai kartel, terdapat 4 (empat) jenis kartel yaitu:
(1) Penetapan harga/price fixing (diatur dalam Pasal 5 UU 5/1999)
(2) Pembagian wilayah/geographical allocation (diatur dalam Pasal 9 UU
5/1999)
(3) Pengaturan produksi/production allocation (diatur dalam Pasal 11 UU
5/1999)
(4) Persekongkolan tender/bid rigging (diatur dalam Pasal 22 UU 5/1999)
Secara umum semua tipe tersebut di atas disebut dengan istilah kartel. Untuk
perkara ini, kartel yang dilakukan adalah dengan cara melakukan penetapan
harga produk yang sama (price fixing).
Istilah kartel yang tercantum dalam Pasal 11 UU 5/1999 merupakan istilah
yang digunakan oleh para penyusun UU 5/1999 untuk menyebut kartel yang
dilakukan dengan cara pengaturan produksi atau pemasaran suatu barang/jasa.
Namun secara substansi, yang dimaksud dengan kartel tidak hanya Pasal 11,
namun juga meliputi Pasal 5, Pasal 9 dan Pasal 22 UU 5/1999.
Denda yang dikenakan oleh KPPU untuk pelanggaran Pasal 5 ayat (1)
maupun Pasal 11 UU 5/1999 bukan tergantung pada pasal apa yang
dikenakan, namun tergantung pada alat-alat bukti yang diperoleh KPPU
dalam membuktikan perkara yang bersangkutan. Untuk pengenaan denda
secara umum sudah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf g UU 5/1999, yaitu
minimum Rp 1 Milyar dan maksimum Rp 25 Milyar.
2. Apakah dalam perkara kartel antara YAMAHA dengan HONDA hakim
tidak dapat menjerat para Terlapor menggunakan pasal berlapis, yaitu
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 secara bersama-sama kepada kedua pelaku
kartel tersebut?
Penjelasan:
Penggunaan istilah yang tepat untuk hakim di KPPU adalah “Majelis
Komisi”. Tuntutan pasal yang dikenakan adalah tergantung pada Laporan
Dugaan Pelanggaran yang dibuat oleh “Investigator” (istilah yang digunakan
untuk menyebut Jaksa/Penuntut Umum di KPPU). Sesuai dengan prinsip yang
berlaku umum, Majelis Komisi tidak berwenang memutus melebihi dari
tuntutan dari Investigator.
Dalam Laporan Dugaan Pelanggaran, Investigator dapat mengenakan pasal
berlapis sepanjang alat-alat bukti menunjukkan demikian. Dalam kasus ini,
alat-alat bukti menunjukkan adanya penetapan harga (Pasal 5 ayat (1)), namun
tidak ada indikasi pengaturan produksi (Pasal 11) yang dilakukan oleh para
Terlapor, sehingga pasal yang digunakan hanya Pasal 5 ayat (1) UU 5/1999.
3. Apa pendapat (narasumber) terhadap wacana pengesahan bukti tidak
langsung (circumstantial evidence) sebagai salah satu bukti yang sah
dalam persidangan di Indonesia?
Penjelasan:
Pembuktian perkara kartel diakui sebagai pembuktian yang sangat sulit oleh
seluruh otoritas persaingan usaha di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan
kesulitan untuk menemukan alat bukti langsung (direct evidence) untuk
membuktikan terjadinya kartel. Oleh karena kartel merupakan perjanjian yang
dilarang, bahkan di beberapa negara (seperti di Amerika Serikat)
dikategorikan sebagai tindak pidana, maka para pelaku kartel hampir tidak
pernah membuat perjanjian kartel secara tertulis.
Jika tidak ditemukan bukti tertulis berupa perjanjian kartel, kemudian
pembuktian dilakukan dengan mencari alat-alat bukti tidak langsung
(circumstansial evidence) yang dapat berupa:
a. alat bukti komunikasi (communication evidence), misalnya komunikasi
melalui telepon, email, BBM, WhatssApp, notulen rapat, rekaman
pembicaraan, dll; dan
b. alat bukti ekonomi (economics evidence) berupa analisis ekonomi
terhadap data pergerakan harga produk, data mengenai produksi, pasokan,
distribusi, wilayah pemasaran masing-masing pelaku kartel di pasar dalam
kurun waktu tertentu.
Menurut pendapat saya, alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence)
sudah diakui baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata di Indonesia.
Dalam Pasal 188 KUHAP diatur mengenai salah satu alat bukti yang sah
dalam hukum pidana yaitu “petunjuk” yang merupakan circumstantial
evidence/indirect evidence. Demikian pula dalam hukum perdata yaitu Pasal
173 HIR, Pasal 310 RBG, dan Pasal 1915 KUH Perdata, salah satu alat bukti
yang sah dalam hukum perdata adalah “persangkaan” yang merupakan alat
bukti tidak langsung (circumstantial evidence/indirect evidence).
Dengan demikian, circumstantial evidence dalam perkara persaingan usaha
baik berupa communication evidence maupun economics evidence sudah
sepatutnya diakui dalam pembuktian perkara persaingan usaha terutama
dalam pembuktian perkara-perkara kartel.
4. Menurut narasumber adakah urgensinya apabila KPPU membuat pasal
tambahan yang dapat memberikan penjelasan lebih tentang apa saja
yang dikategorikan sebagai bukti tidak langsung (circumstantial
evidence)?
Penjelasan:
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 UU 5/1999, salah satu alat bukti yang
digunakan oleh KPPU adalah bukti petunjuk. Dalam rancangan amandemen
UU 5/1999, dalam diskusi dengan pemerintah dan DPR, KPPU telah
mengusulkan penjelasan tambahan mengenai alat bukti petunjuk yang
merupakan alat bukti tidak langsung (circumstantial evidence) tersebut. Hal
ini dinilai cukup penting untuk memberikan pemahaman yang sama mengenai
circumstantial evidence bagi para Hakim di Pengadilan Negeri dalam
memutus perkara keberatan terhadap Putusan KPPU.
5. Mengutip pernyataan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dari
laman internet IDN Times
https://business.idntimes.com/economy/rizal/kenapa-harga-motor-
yamaha-dan-honda-relatif-sama-ini-jawabannya/full “Keputusan KPPU
yang menjatuhkan denda kepada Yamaha dan Honda tersebut
berpotensi mengganggu iklim investasi di Indonesia. YIMM dan AHM
punya hak mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.”, apa
tanggapan narasumber terkait kecemasan Menteri Perindustrian
tersebut terkait adanya potensi terganggunya iklim investasi di
Indonesia?
Penjelasan:
Salah satu tugas utama KPPU adalah melakukan penegakan hukum
persaingan usaha berdasarkan UU 5/1999. Output proses penegakan hukum
persaingan usaha tersebut adalah berupa Putusan KPPU mengenai terbukti
tidaknya suatu pelanggaran hukum persaingan usaha.
Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan dalam rangka menjamin
kepastian hukum dan mewujudkan iklim usaha yang sehat dan kondusif di
Indonesia. Persaingan usaha yang sehat di suatu negara akan meningkatkan
minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia. Dengan adanya
Putusan KPPU terkait dengan Yamaha-Honda justru memberikan jaminan
kepastian hukum bagi para pelaku investasi dalam industri otomotif di
Indonesia untuk selalu menjaga persaingan usaha yang sehat.
6. Di dalam kesimpulan persidangan Terlapor I (Yamaha) dan Terlapor II
(Honda), dikatakan bahwa Investigator KPPU telah melanggar prinsip
due process of law karena tidak meminta data/alat bukti secara layak
seperti yang dimaksudkan oleh kedua terlapor. Lalu, Majelis Komisi
mengatakan bahwa proses yang telah dilakukan oleh Investigator telah
sesuai dengan tata beracara di KPPU dan Investigator berhak untuk
meminta bukti yang dianggap bersangkutan dengan keperluan
pemeriksaan. Lalu apa pandangan narasumber terhadap pernyataan
Terlapor I dan II yang merasa KPPU tidak menjaga kerahasiaan data
para pihak?
Penjelasan:
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU 5/1999, Komisi wajib menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan
sebagai rahasia perusahaan. Dalam proses penanganan perkara, Majelis
Komisi berwenang menentukan dokumen/informasi apa saja yang termasuk
kategori rahasia perusahaan atau bukan terkait dengan pembuktian dalam
persidangan KPPU yang bersifat terbuka untuk umum.
7. Bagaimana KPPU menyikapi perilaku pelaku usaha yang tidak
kooperatif terhadap jalannya persidangan sampai dengan jatuhnya
putusan oleh Majelis Komisi, baik dari tahap penyerahan data yang
dibutuhkan dalam proses pemeriksaan dan pencarian alat bukti sampai
dengan cara bersikap di muka persidangan?
Penjelasan:
Sikap Terlapor selama proses persidangan baik dalam hal penyerahan data,
penyampaian keterangan maupun sikap di muka persidangan akan menjadi
bahan pertimbangan bagi Majelis Komisi dalam menjatuhkan sanksi kepada
pihak Terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU 5/1999.
Jika Terlapor tersebut dikenakan sanksi administratif berupa denda, maka
sikap tidak kooperatif tersebut akan menjadi faktor pemberat dalam
perhitungan denda. Dalam memutus, KPPU menggunakan asas yang berlaku
umum baik dalam hukum pembuktian baik secara pidana maupun perdata,
termasuk asas Unus Testis Nullus Testis dan prinsip Testimonium de Auditu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 UU 5/1999 tentang alat-alat bukti dalam
perkara persaingan usaha, maka yang dimaksud dengan keterangan Saksi
adalah keterangan di bawah sumpah yang didengar di persidangan. Sedangkan
keterangan Saksi yang telah dicatat dalam BAP di tahap penyelidikan tidak
bernilai sebagai alat bukti keterangan Saksi jika keterangan tersebut tidak
didengar kembali pada saat persidangan. Dalam kondisi ini, yang menjadi alat
bukti dalam persidangan bukan “Keterangan Saksi” melainkan alat bukti
“surat dan/atau dokumen” berupa BAP Saksi tersebut.
Sekian daftar pertanyaan yang peneliti ajukan. Mohon maaf apabila ada
kesalahan ucap dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, semoga saudari
Narasumber dapat memberikan penerangan kepada peneliti dan berkenan
untuk menjawab.
Jakarta, 7 Maret 2018
Peneliti Narasumber
Indriani Dinni Melanie, S.H., M.E.