50

Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BUKU ILMIAH

Citation preview

Page 1: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia
Page 2: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 3: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Sang Pemimpin

Ini soal kepemimpinan. Maklum saja, saat ini ada banyak orang yang sudah merasa menjadi pemimpin ketika sebuah tanda jabatan disematkan di dadanya. Banyak orang yang merasa sudah menjadi “ketua” ke-tika dilantik oleh pejabat di atasnya. Pokoknya, asal su-dah disebut ketua, dia seolah berhak memimpin.

Menarik untuk melihat kemunculan figur-figur pemimpin ini dalam kajian ilmu komunikasi. Kemun-culan figur-figur pemimpin ini harus disambut sangat positif. Hal ini karena semakin banyak figur pemimpin yang muncul maka publik akan bisa semakin mempu-nyai tatanan kepemimpinan yang baik.

Munculnya figur-figur pemimpin ini tentu tak bisa seperti bermain sulap. Dibutuhkan strategi ko-munikasi yang efektif untuk (mulai) memperkenalkan seorang pemimpin pada publik. Paling tidak dibutuh-kan tiga tahapan penting dalam merancang strategi komunikasi yang efektif. Pertama, pembangunan citra (image builder), kedua, peneguhan personalitas (per-sonality awareness), dan ketiga, memposisikan (po-sitioning) figur calon pemimpin pada publik. Dengan mengusung ketiga tahapan penting ini, maka diharap-kan terbangunnya sebuah strategi komunikasi yang efektif untuk mendukung figur calon pemimpin yang akan ikut dalam ajang pilkada.

Lantas mengapa diperlukan strategi komunikasi yang efektif? Jawabannya adalah, tidak peduli seber-apa berbakatnya, betapapun unggulnya, atau berapa-pun banyak uang disiapkan seorang calon pemimpin, karena kesuksesan tidak akan pernah diperoleh tanpa komunikasi yang efektif.

Kemampuan seorang calon pemimpin dalam

Page 4: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

mengirimkan pesan atau informasi dengan baik, ke-mampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau ketrampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.

Banyak orang yang menyepelekan soal komuni-kasi yang efektif ini. Hal ini wajar saja, karena mereka menganggap komunikasi merupakan bagian dari ke-hidupan ini. Renungkan saja, kita menghabiskan se-bagian besar waktu untuk berkomunikasi. Seperti juga seperti bernafas, komunikasi sering dianggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga sering tidak terpikirkan untuk melakukannya dengan efektif.

Bagaimana berkomunikasi secara efektif? Per-

tanyaan itu sering terlontar ketika saya memberikan pelatihan soal komunikasi publik. Pertanyaan ini mun-cul karena kita sering tidak pernah secara khusus mem-pelajari bagaimana menulis dengan efektif, bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbi-cara secara efektif. Bahkan kita tak pernah belajar un-tuk menjadi pendengar yang baik.

Komunikasi yang efektif menurut Littlejohn (1999) bisa dibangun dibangun dengan konsep sal-ing ketergantungan (interdependency). Karena unsur paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang dikatakan atau ditulis, tetapi pada karakter komunikator dan bagaimana ia menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komunikan). Melalui konsep saling ketergantungan ini, diharapkan munculnya efek saling percaya, saling menghargai dan rasa empati.

Selain konsep interdependency, Aribowo Prijo-saksono dan Roy Sembel dari The Indonesia Learning Institute (INLINE) membangun 5 Hukum Komunikasi

Page 5: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

5Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

yang Efektif (The Inevitable Laws of Effevtive Com-munication). Kelima hukum ini adalah respect (peng-hargaan), empathy (empati), audible (dapat didengar), clarity (jelas) dan humble (rendah hati).

Respect (penghargaan) sangat diperlukan dalam mengembangkan komunikasi yang efektif. Rasa hor-mat dan saling menghargai merupakan hukum per-tama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pada prinsipnya semua manusia ingin dihargai dan diang-gap penting. Sedangkan empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu pra-syarat utama dalam memiliki sikap empati adalah ke-mampuan seorang pemimpin untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.

Makna dari audible (dapat didengar) adalah seorang pemimpin hendaknya mampu menerima um-pan balik dengan baik. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel hingga dapat diterima dengan baik oleh pe-nerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk menggunakan berbagai me-dia maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan (clarity) dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transpar-ansi. Dalam berkomunikasi seorang pemimpin perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutu-pi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan. Dan hukum

Page 6: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

terakhir dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati (humble). Sikap ini merupak-an unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain.

Dengan membangun sistem komunikasi yang efektif, saya meyakini, tidaklah sulit memenangkan pertarungan di arena Pilgubsu.

Page 7: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 8: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Uji Figur Calon GUBSU

Ketika mengikuti sebuah talkshow di Lite FM Medan, pekan lalu, bertajuk Mekanisme Pemilihan Calon Gubernur dari Parpol, dibahas fenomena Partai Amanat Nasional (PAN) Sumatera Utara yang telah melontarkan usulan nama paket calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusung dalam Pilkada Gu-bernur Sumut, tahun �00� mendatang. Seperti yang telah beredar luas di media massa, kabarnya hasil Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) PAN Sumut, telah menunjuk H.Syamsul Arifin yang kini menjabat Bu-pati Langkat dan H. Ibrahim Sakti Batubara yang kini duduk sebagai Ketua Umum PAN Sumut, untuk maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.

Dari sudut pandang komunikasi politik ada dua hal yang penting diperhatikan dalam mencermati fenomena komunikasi politik PAN Sumut ini. Pertama, PAN Sumut ingin melakukan uji figur kepada publik terhadap paket Syamsul-Ibrahim. Kedua, PAN Sumut bukanlah partai yang punya kursi yang cukup di DPRD Sumut sebagai syarat mengajukan paket calon guber-nur.

Dalam pandangan saya, apa yang dilakukan PAN Sumut dengan mengusung paket Syamsul-Ibrahim se-jak dini ini, merupakan sebuah usaha untuk menguji figur paket calon gubernur dan wakil gubernur kepada publik. PAN Sumut seolah ingin “mencuri start” men-arik perhatian publik dengan menjagokan paket Syam-sul dan Ibrahim.

Upaya PAN Sumut untuk menguji figur kedua orang ini ke publik haruslah disambut positif. Strate-gi komunikasi politik yang dibangun PAN Sumut ini, bahkan telah menimbulkan reaksi. Pengurus Partai

Page 9: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

9Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Langkat, misalnya, mengklaim partainya terlambat menyodork-an paket calon gubernur. Terlepas soal politik dukung-mendukung, saya hanya melihat persoalan ini dari sisi komunikasi politik.

Saya juga melihat dari pandangan komunikasi politik, sikap PAN Sumut ini bisa diartikan sebagai upaya melakukan pengenalan kepada publik (public in-troducing) terhadap paket calon gubernur yang mereka usung. PAN Sumut ingin menunjukkan kepada publik bahwa paket Syamsul-Ibrahim merupakan paket “se-mentara” yang bisa dikritisi, diinvestigasi perjalanan karirnya, atau bahkan jika publik menghendaki bisa digusur dan digantikan paket lainnya.

Namun langkah PAN Sumut ini pun tentu pu-nya kelemahan dari sisi komunikasi politik. Dengan menetapkan paket calon gubernur melalui Rakerwil (saya tidak tahu pasti apakah ini keputusan resmi Rakerwil PAN Sumut atau tidak), terlihat PAN sedikit bersikap elitis. Kita tahu, Rakerwil merupakan sebuah mekanisme partai yang diisi oleh kalangan elit partai. Padahal persoalan penting macam figur calon guber-nur dan wakil gubernur ini, hendaknya menjadi urusan semua orang yang selama ini menjadi kader, pendu-kung ataupun simpatisan PAN.

Alangkah eloknya jika PAN Sumut bisa meng-gelar konvensi atau paling tidak mewacanakan kepa-da publik secara lebih luas dan lebih panjang waktu-nya, soal paket calon gubernur ini sebelum diputuskan dalam Rakerwil. Walaupun menurut informasi teman-teman pengurus PAN Sumut, keputusan itu belumlah final dan kemungkinan paket Syamsul-Ibrahim ini bisa akan berubah melihat kondisi politik di Sumut. Tetapi ini tentu sangat merugikan. Disini, konsistensi PAN

Page 10: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

10 Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Sumut dipertaruhkan dihadapan publik. Bagaimana mungkin sebuah keputusan Rakerwil (jika memang itu keputusan resmi) diubah hanya karena mengikuti kon-disi politik? Ini yang mungkin bisa dijawab oleh para perancang strategi komunikasi politik di PAN Sumut.

Hal lain yang menarik adalah soal peroleh kur-si PAN Sumut di DPRD Sumut yang hanya berjumlah � kursi. Artinya, dengan jumlah kursi tersebut, musta-hil PAN Sumut bisa mencalonkan paket calon guber-nur dan wakil gubernur tanpa berkoalisi dengan partai lain. Di lain pihak, Partai Golkar dan PDI Perjuangan yang punya kursi diatas 1�, dimana ini merupakan ba-tas minimal partai bisa mencalonkan paket gubernur dan wakil gubernur, malah belum menentukan sikap apapun.

Nah, dengan keterbatasan ini, saya lebih cen-derung melihat PAN Sumut akan sangat “cair” atau fleksibel dalam menghadapi Pilkada Gubernur Sumut tahun �00� mendatang. Jika PAN Sumut memaksakan paket Syamsul-Ibrahim, belum tentu partai yang dia-jak berkoalisi menerima paket ini. Kalaupun meneri-ma tentu harus ada konsesi yang diberikan. Dan disini akan terjadi kontrak politik yang alot. Atau kemungki-nan lain, seperti tergusurnya nama Syamsul Arifin atau Ibrahim Sakti.

Memaksimalkan Peran Media

Heboh soal Pilkada Gubernur ini tentu tak lepas dari peran media massa. Publik mengetahui adanya paket Syamsul-Ibrahim yang digulirkan PAN Sumut karena media massa. Publik juga tahu adanya sejumlah tokoh di Sumut seperti Chairuman Harahap, dan Hery

Page 11: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

11Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Wijaya Marzuki yang akan maju sebagai calon guber-nur, itu pun karena media massa. Bahkan media massa kini sudah membentuk wacana khusus yang “memak-sa” sekaligus mendidik publik untuk bisa ikut terlibat dalam perhelatan ini.

Untuk itu tentunya diperlukan sebuah strategi komunikasi politik yang apik. Syamsul Arifin dengan enteng bisa menyambangi hampir seluruh pemimpin media massa di Medan. Chairuman Harahap juga akrab dengan pers. Hery Wijaya Marzuki pun tak ket-inggalan. Setiap ada kegiatan publik, minimal karan-gan bunganya hadir menyapa publik.

Memanfaat media massa tentu penting. Namun diperlukan “energi ekstra” untuk terus bisa berhubun-gan dengan media massa. “Energi ekstra” yang saya maksud adalah kemampuan mengemas sang kandidat gubernur untuk tetap mendapatkan perhatian publik.

Sebagai ilustrasi, ketika Partai Golkar dipimpin oleh Akbar Tandjung dan menghadapi Pemilihan Pres-iden tahun �00�. Saat itu Partai Golkar menjalankan berbagai strategi komunikasi politik yang sangat jitu. Apapun yang dilakukan Partai Golkar dan Akbar Tand-jung bisa menyedot perhatian media massa. Saya me-lihat, ketika itu perhatian media massa yang begitu besar tidak sekedar karena Partai Golkar merupakan sebuah partai besar, atau Akbar Tandjung memimpin parlemen. Ini karena kemampuan Partai Golkar mengemas berbagai isu, kegiatan publik, bahkan ma-salah tuduhan kasus korupsi kepada Akbar Tandjung sebagai bagian dari kampanye publik yang harus dike-mas secara bagus.

Tanpa “energi ekstra” ini kita bisa melihat ban-yak tokoh atau lembaga politik yang tiba-tiba jadi ke-

Page 12: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

hilangan arah atau ditinggalkan media massa karena dianggap tidak bermutu. Hanya dengan strategi komu-nikasi politik yang jitu, maka media massa akan terus memantau perkembangan sang tokoh atau sebuah lembaga politik untuk disampaikan ke publik. Ini bu-kan soal berapa banyak uang yang bisa atau mau di-habiskan untuk memasang iklan, spanduk atau pun membuat kegiatan publik secara besar-besaran. Ini soal apakah kita bisa menyahuti keinginan publik, yang dinilai oleh media massa akan bermanfaat bagi pembacanya.

Page 13: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1�Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 14: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Selamat Datang Tokoh Spanduk!

Penciptaan sekaligus pencitraan seorang tokoh melalui spanduk atau pamflet akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menarik dicermati. Untuk mudahn-ya, kita sebut saja gejala ini dengan fenomena “tokoh spanduk”. Cara para elit (baca: orang-orang yang ingin ditokohkan ini) kita berkomunikasi saat ini memang cenderung aneh. Mereka beramai-ramai memajang dirinya melalui spanduk dan pamflet yang dipajang di tempat-tempat publik. Temanya pun beragam. Jika sedang mendekati lebaran, isinya pasti Mohon Maaf Lahir Batin. Jika hendak hari Natal dan pergantian tahun, isinya pun mudah ditebak: Selamat Natal dan Tahun Baru.

Lihat saja di seputar jalan di Kota Medan. Bera-gam spanduk dan pamflet dengan tokoh spanduk ber-munculan. Sebut saja, Ketua DPD Golkar Medan, Oka Chaidir yang muncul dengan puluhan spanduk secara sporadis. Di sepanjang Jalan Lintas Sumatera, kita juga bisa menjumpai puluhan spanduk dari anggota DPR RI, Safri Hutauruk.

Munculnya fenomena tokoh spanduk ini jika dilihat dari sisi komunikasi, bisa dikatakan wajar saja. Para tokoh itu (seolah ingin) menunjukkan keinginan-nya untuk berkomunikasi dengan publik. Memasang spanduk atau pamflet dianggap efektif menjangkau publik ketimbang melakukan road show secara lang-sung ke publik. Ada lagi alasan karena kesibukan dan jauhnya lokasi publik yang bisa ditinjau langsung oleh sang tokoh. Namun yang paling parah jika alasannya karena takut nanti “ditodong” oleh konstituen yang se-lama ini memang tak pernah merasakan manfaat dari dukungan yang diberikannya.

Page 15: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

15Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Model komunikasi publik dengan memasang spanduk ini bisa dikatakan sangat dangkal. Mereka beranggapan dengan memasang spanduk, tanggung-jawab moral terhadap publik atau konstituennya di-anggap telah lunas. Perangai seperti ini sebenarnya hal yang jamak di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukan hal yang sama. Kita bisa menjumpai banyak sekali pamflet yang berisi himbau-an dari sang presiden berikut foto wajahnya.

Konsekwensi logis dari kemunculan tokoh-to-koh spanduk ini juga menghadirkan budaya populis di kalangan publik. Publik menjadi kenal atau merasa sok kenal dengan tokoh spanduk itu. Mereka kemudian sering membicarakan popularitas sang tokoh. Perbin-cangan mengenai sang tokoh akan terus bergulir tanpa terkendali. Soal apakah pesan yang ingin disampaikan punya makna atau tidak, sama sekali tidak dipersoal-kan lagi. Atau apakah sang tokoh yang juga merupakan pejabat publik telah bekerja dengan baik, pun tidak lagi menjadi masalah. Publik seolah dilenakan dengan ke-figuran semu yang sengaja dibangun melalui spanduk.

Munculnya figur-figur tokoh spanduk ini tentu sangat tidak efektif. Jika ingin menjadi tokoh, ses-eorang membutuhkan rancangan strategi komunikasi yang efektif. Dan itu bukan pekerjaan gampang, apa-lagi cuma bermodalkan spanduk atau pamflet.

Paling tidak dibutuhkan tiga tahapan penting dalam merancang strategi komunikasi yang efektif. Pertama, pembangunan citra (image builder), kedua, peneguhan personalitas (personality awareness), dan ketiga, memposisikan (positioning) figur sang tokoh pada publik. Dengan mengusung ketiga tahapan pent-ing ini, maka diharapkan terbangunnya sebuah strategi komunikasi yang efektif untuk mendukung figur tokoh

Page 16: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

itu.

Lantas mengapa diperlukan strategi komunikasi yang efektif? Jawabannya adalah, tidak peduli sebera-pa berbakatnya, betapapun unggulnya, atau berapapun banyak uang disiapkan seorang tokoh, karena kesuk-sesan tidak akan pernah diperoleh tanpa komunikasi yang efektif.

Kemampuan seorang tokoh dalam mengirimkan pesan atau informasi dengan baik, kemampuan men-jadi pendengar yang baik, kemampuan atau ketrampi-lan menggunakan berbagai media atau alat audio vi-sual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif.

Banyak orang yang menyepelekan soal komuni-kasi yang efektif ini. Hal ini wajar saja, karena mereka menganggap komunikasi merupakan bagian dari ke-hidupan ini. Renungkan saja, kita menghabiskan se-bagian besar waktu untuk berkomunikasi. Seperti juga seperti bernafas, komunikasi sering dianggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga sering tidak terpikirkan untuk melakukannya dengan efektif.

Bagaimana berkomunikasi secara efektif? Per-tanyaan itu sering terlontar ketika saya memberikan pelatihan soal komunikasi publik. Pertanyaan ini mun-cul karena kita sering tidak pernah secara khusus mem-pelajari bagaimana menulis dengan efektif, bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbi-cara secara efektif. Bahkan kita tak pernah belajar un-tuk menjadi pendengar yang baik.

Komunikasi yang efektif menurut Littlejohn (1999) bisa dibangun dibangun dengan konsep sal-ing ketergantungan (interdependency) dengan pub-

Page 17: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1�Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

lik. Karena unsur paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang dikatakan atau ditulis, tetapi pada karakter komunikator dan bagaimana ia menyampaikan pesan kepada penerima pesan (komu-nikan). Melalui konsep saling ketergantungan ini, di-harapkan munculnya efek saling percaya, saling meng-hargai dan rasa empati.

Selain itu ada juga 5 Hukum Komunikasi yang Efektif (The Inevitable Laws of Effevtive Communica-tion). Kelima hukum ini adalah respect (penghargaan), empathy (empati), audible (dapat didengar), clarity (jelas) dan humble (rendah hati).

Respect (penghargaan) sangat diperlukan dalam mengembangkan komunikasi yang efektif. Rasa hor-mat dan saling menghargai merupakan hukum per-tama dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pada prinsipnya semua manusia ingin dihargai dan diang-gap penting. Sedangkan empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain.

Makna dari audible (dapat didengar) adalah seorang pemimpin hendaknya mampu menerima um-pan balik dengan baik. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau deliv-ery channel hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Selain bahwa pesan harus dapat di-mengerti dengan baik, maka hukum keempat yang ter-kait dengan itu adalah kejelasan (clarity) dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpre-tasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dan hukum terakhir dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati (humble). Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama

Page 18: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

1� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

untuk membangun rasa menghargai orang lain.

Dengan mengetahui dan membangun rencana strategi komunikasi yang efektif, rasanya model kam-panye dengan spanduk yang memunculkan tokoh spanduk, bisa segera ditinggalkan. Karena memang publik tak peduli lagi dengan berbagai rayuan dan bu-jukan gombal di spanduk.

Page 19: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

19Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 20: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�0 Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Menimbang Ikut Pilkada GUBSU Pasca Keputusan MK

Pilkada Gubernur Sumut yang kemungkinan be-sar dilaksanakan tahun �00� semakin dekat. Sudahlah menjadi hal yang jamak, banyak orang (terutama yang menganggap dirinya sebagai tokoh dan dikenal publik di Sumut) kemudian “bernafsu” ingin ikut serta dalam ajang ini. Tentu saja ini sebuah hal yang wajar. Pilka-da dengan sistem langsung ini seolah membuka pintu lebar bagi sejumlah orang untuk bertarung di arena Pilkada Gubernur Sumut. Apalagi Mahkamah Konsti-tusi (MK) telah mengabulkan diperbolehkannya calon independen ikut serta dalam pilkada. Ini tentu sangat menggembirakan. Bisa dipastikan banyak tokoh di Sumut yang akan berpartisipasi dalam pilkada.

Dari pemetaan di media massa yang selama ini menjadi konsumsi publik, sejumlah tokoh masyarakat di Sumut sudah mulai “unjuk gigi”. Ada yang berusaha mengenalkan dirinya pada publik dengan mengikuti berbagai kegiatan sosial. Ada pula yang menggelar aca-ra hiburan untuk menarik perhatian ribuan khalayak. Mereka muncul dengan berbagai cara dihadapan pub-lik melalui media massa. Bermacam-macam cara un-tuk mendekati publik ini, tentu harus dimaknai positif bahwa publik kini sudah diletakkan sebagai pihak yang harus diperhatikan.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa ikut Pilkada Gubernur Sumut merupakan hak setiap warga masyarakat di Sumut. Namun perlu jugalah kiranya para tokoh yang ingin ikut ajang Pilkada Gubernur Sumut berhitung-hitung sekaligus mengukur (juga bisa dibaca: berkaca) diri.

Page 21: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�1Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Dua Variabel Penentu

Paling tidak ada dua variabel yang sangat mem-pengaruhi keberhasilan untuk memenangi Pilkada Gubernur Sumut. Pertama, legalitas dan dukungan publik. Dengan keputusan MK yang memperbolehkan calon independen (selain calon yang diusulkan par-tai politik) ikut pilkada, maka legalitas dan dukungan publik ini menjadi hal yang sangat penting.

Ini bisa tercermin dari seberapa besar dukungan publik di Sumut mengenal calon gubernur yang akan maju di arena Pilkada Gubernur Sumut. Legalitas dan dukungan publik ini bisa dilihat dari aspek kedekatan seorang calon gubernur dengan publiknya. Kedekatan ini tentu saja bukan hanya soal keberadaan (lokasi) tetapi juga keterikatan emosional. Sentimen-sentimen kesukuan dan keagamaan sangat penting disentuh un-tuk meraih simpati di pilkada. Beberapa kandidat calon gubernur Sumut yang selama ini muncul tampaknya sudah punya modal ini.

Kedua, tentu saja dana yang memadai. Dana so-sialisasi untuk ikut di arena Pilkada Gubsu �00� tentu tidaklah sedikit. Banyak orang yang sudah berhitung-hitung soal ini. Jika dari jalur partai politik tentu saja akan ada “tagihan” ongkos politik (political cost) un-tuk kandidat yang cukup besar. Hal ini dianggap wajar karena selama ini sistem politik di Indonesia memang dibentuk seperti itu.

Sedangkan pasca keputusan MK soal calon inde-penden yang boleh ikut serta dalam pilkada, muncul pertanyaan apakah ongkos politik yang akan dikelu-arkan bisa lebih murah. Jawabannya tentu saja ma-sih bisa diperdebatkan. Saya berpendapat munculnya calon independen tidak serta merta akan membuat

Page 22: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

murah ongkos politik bagi calon yang ingin ikut Pilka-da Gubernur Sumut. Bahkan saya bisa memperkirakan untuk memenuhi syarat menjadi calon independen, kandidat akan mengeluarkan uang yang cukup besar untuk mencari dukungan dari publik.

Perangkat Aturan

Angin segar dari keputusan MK soal calon inde-penden ternyata menimbulkan eforia. Padahal sebena-rnya keputusan MK yang membatalkan pasal 5� ayat (�), pasal 59 ayat (�),( �), (5) huruf a dan c, ayat (�), serta Pasal �0 ayat (�) sampai dengan (5) dalam UU no �� tahun �00� tentang Pemerintahan Daerah karena dianggap bertentangan dengan UUD 19�5 pasal �� ayat (10), ��D ayat (1) dan (�), serta pasal �� I ayat (�), belumlah keputusan final. Saya sendiri belum mem-baca secara keseluruhan keputusan MK itu. Namun menurut norma hukum ketatanegaraan pembatalan beberapa pasal ini masih perlu ditindaklanjuti dalam sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-un-dang (perpu). Ini penting karena jika memang MK membatalkan pasal-pasal yang mengatur pencalonan kepala daerah itu maka perlu ada perangkat hukum lain yang menggantikannya. Contoh paling sederhana adalah bagaimana mekanisme pencalonan kepala dae-rah yang independen ini.

Pembuatan aturan (tentang syarat calon inde-penden) ini tentu saja tidak bisa dilakukan dengan pemaksaan kehendak serta keterburu-buruan. Apalagi kerinduan rakyat pada reformasi demokrasi di Indo-nesia jangan sampai dijadikan tameng bagi segelintir orang yang punya ambisi untuk berkuasa. Sejatinya, perpu atau perangkat hukum lain yang mengatur soal calon independen ini bisa dibuat dengan matang dan tidak sarat dengan berbagai kepentingan. Publik juga seharusnya bisa bersabar. “Bola panas” keputusan MK

Page 23: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

ini tentu kini berada ditangan Pemerintah, DPR RI, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Maka itu, ketiga pihak ini haruslah secara arif membuat langkah-lang-kah guna menentukan proses demokrasi yang baik di Indonesia.

Hal penting juga yang perlu digarisbawahi ter-kait akan munculnya perangkat peraturan soal calon independen ini adalah jangan sampai adanya aturan yang berjudul “tambal sulam”. Pengalaman menunjuk-kan banyak perangkat peraturan kita yang multitafsir dan berujung pada ketidakkepastian hukum. Namun tentu saja angin segar perubahan terhadap keputusan MK ini tidak menjadikan pemerintah ataupun par-lemen menjadi tidak nyaman dan kemudian berusaha melakukan manuver-manuver politik.

Page 24: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 25: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�5Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Terima Kasih Para Calon Gubernur

Pemilihan Gubernur Sumut (Pilgubsu) yang rencananya digelar bulan April �00�, kini semakin dekat. Partai-partai politik di Sumut satu demi satu sudah mulai menunjuk cagubsu yang akan diusung-nya. Diperkirakan, pada pekan kedua bulan Januari �00�, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut sudah akan membuka pendaftaran cagub dan cawagubsu. Ini artinya, sebentar lagi akan banyak tokoh yang selama ini “digadang-gadangkan” sebagai cagubsu yang akan menelan “pil pahit” kekecewaan karena tak bisa ikut bertarung dalam Pilgubsu.

Mungkin, akan banyak para tokoh yang berpele-sir ke luar negeri untuk membuang suntuk atau men-enangkan diri pasca “kalah” menjadi calon gubernur. Pertarungan sesungguhnya di Pilgubsu �00� nanti, jadi tidak lagi menarik, karena rasa kecewa para tokoh yang selama ini foto dan namanya bertengger di span-duk dan baliho karena tak bisa ikut Pilgubsu.

Kesimpulan itu bisa diambil karena melihat ban-yaknya spanduk yang bertebaran di Sumut. Politik pen-citraan yang sangat cerdas (memang sudah) dilakukan masing-masing tim sukses. Ada yang sudah membuat baliho seolah yakin sudah akan didukung parpol untuk ikut Pilgubsu. Bahkan ada juga yang sudah membuat iklan di televisi nasional.

Sejatinya, ada kesalahan memahami politik pen-citraan dalam Pilgubsu ini. Para tokoh yang berniat maju dalam Pilgubsu seolah berlomba mengejar popu-laritas, serta melupakan pentingnya membangun basis kekuatan di parpol. Ada anggapan, dengan popularitas yang kuat, maka parpol akan juga tertarik “meminang” sang tokoh untuk jadi cagubsu. Atau dengan kata lain,

Page 26: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

popularitas selalu berjalan linier dengan keinginan par-pol untuk mendapatkan cagubsu yang akan dimenang-kan dalam Pilgubsu.

Anggapan bahwa popularitas penting diban-gun untuk mendapatkan “tiket” dari parpol buat ikut Pilgubsu tentu ada benarnya. Tetapi, juga diperlukan pemahaman lain di era yang oleh Pengamat Komu-nikasi Politik dari UI, Effendy Ghazali yang saat ini menyebut era �C. Mengutip pakar komunikasi politik John Corner dan Dick Pels, �C yang terdiri dari con-sumerisme (konsumerisme), celebrity (selebriti) dan cynicism (sinisme) merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun politik pencitraan.

Konsumerisme telah menjadikan para calon gu-bernur tak beda dengan shampo. Strategi untuk men-jual para calon gubernur dijajakan dalam berbagai bentuk. Ada yang melakukan road show, pertunjukan musik, pengajian, dialog atau sekedar memberikan sumbangan. Semua cara-cara ini tentu (paling tidak) terinspirasi dari berbagai program marketing commu-nication yang selama ini dilakukan dalam dunia bisnis. Jadi, “menjual” figur calon gubernur tak jauh beda dengan berbisnis.

Kemudian selebritis. Politik pencitraan telah “memaksa” para calon gubernur menjadi selebritis dadakan. Ada tokoh yang dicalonkan sebagai guber-nur yang tiba-tiba kebanjiran tamu. Ada juga yang jadi sulit ditemui. Namun yang lebih sering terlihat adalah biasanya akan banyak “panglima talam” yang menga-gung-agungkan sang tokoh. Ini tentu membuat profil sang tokoh yang mau jadi gubernur itu tercitra sebagai selebritis.

Dan yang terakhir adalah sinisme. Cibiran tak

Page 27: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

pantas dan tak punya modal telah menjadi “makanan” sehari-hari di pentas politik pra Pilgubsu. Ada tokoh yang tak punya modal namun kuat dalam pencitraan, dianggap tak tahu diri. Ada juga yang punya modal tapi sama sekali tak punya basis massa di Sumut, disebut nekat. Sinisme kemudian memang melahirkan pro dan kontra dalam setiap perbincangan atau diskusi menge-nai Pilgubsu.

Menyimak pemaparan diatas mengenai ber-bagai strategi politik pencitraan yang selama ini di-lakukan para calon gubernur, kiranya sebagai bagian dari masyarakat Sumut, kami ingin menyampaikan rasa bangga dan terimakasih. Bangga karena ternyata Sumut tidak kekurangan figur tokoh yang akan mampu memimpin Sumut. Bangga karena ternyata memimpin Sumut merupakan sebuah kehormatan. Bangga juga karena semua pengorbanan yang Anda diberikan un-tuk berjuang mendapatkan kursi Sumut-1.

Selain itu, terimakasih juga untuk semua yang telah mereka (para calon gubernur) berikan. Terimak-asih dari lubuk hati yang paling dalam karena sudah menghiasi Sumut dengan berbagai spanduk, baliho dan poster. Terimakasih juga karena telah menjadikan para tukang becak dan warung-warung tidak pernah kesulitan mendapatkan spanduk bekas. Terimakasih juga karena ada beberapa teman yang pernah menjadi tim sukses dan bisa mendapatkan rezeki. Terimakasih karena ada tim sukses yang walaupun belum sukses sudah bisa mendapatkan limpahan rezeki. Terutama juga karena sudah memberikan sumbangan pada mes-jid, gereja, sekolah-sekolah dan para fakir miskin yang selama ini kadang terlupakan nasibnya. Terimakasih juga telah “membina” kawan-kawan mahasiswa yang selalu saja (kadang) dijadikan objek ketimbang dijadi-kan subjek yang punya peran penting dalam pembela-

Page 28: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

jaran politik pada publik.

Semua terimakasih ini tentunya kami sampai-kan tanpa mengurangi rasa hormat pada para tokoh yang selama ini telah berjuang untuk menjadi calon gubernur. Apapun yang telah Anda perjuangkan, pal-ing tidak telah membuka cakrawala berpikir masyara-kat Sumut menghadapi ajang Pilgubsu ini. Tentunya, kami juga berharap, Anda tak perlu kecewa karena ti-dak bisa ikut Pilgubsu. Jika panjang umur, Anda tentu masih bisa ikut berjuang dalam Pilgubsu �01�. Tetapi kalaupun tidak, Anda tak perlu kecewa ataupun mera-sa perjuangan Anda sia-sia. Menurut kami, tidak ada yang sia-sia dalam perjuangan memperebutkan kursi Sumut-1 karena paling tidak, nama Anda sudah tercatat dalam lembar sejarah, bahwa Anda pernah (akan) ber-juang ikut dalam ajang Pilgubsu. Paling tidak ini ter-catat dalam curriculum vitae yang tentu akan dikenang sepanjang hayat. Untuk semua pengorbanan materi dan tenaga yang pernah Anda berikan pada masyara-kat Sumut, mohon diikhlaskan saja. Mudah-mudahan itu bisa dicatat sebagai amal baik untuk kehidupan di alam lain. Jadi, ya terimakasih.

Page 29: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�9Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 30: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�0 Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Memahami Prilaku Pemilih dalamPILGUBSU

Wacana pemilihan gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) mulai mencuat ke permukaan. Padahal in-formasi yang beredar, ajang Pilgubsu ini baru akan di-laksanakan bulan Maret �00�. Namun Harian Waspa-da melalui rubrik opininya mulai menggiring opini publik untuk memberi perhatian serius terhadap haja-tan ini. Artikel yang ditulis Zulkarnain Lubis berjudul Dicari: Pemimpin Cerdas Emosional (Waspada, ��/1�) dan artikel H. Kosky Zakaria berjudul Sulitkah Men-cari Figur Gubsu �00�? (Waspada 1�/1) bisa menjadi kesimpulan sementara terhadap keinginan Waspada mendidik publiknya secara baik.

Saya tidak akan mengomentari apalagi me-nyanggah pendapat para senior saya yang berbicara soal Pilgubsu. Namun menurut saya, ada hal yang per-lu ditambah dan diperhatikan dalam mengembangkan wacana Pilgubsu ini.

Menghadapi ajang Pilgubsu ini, dalam kajian ilmu komunikasi, setidaknya ada tiga faktor yang ha-rus diperhatikan untuk memahami perilaku pemilih. Faktor-faktor itu adalah: sosiologis, psikologis dan rasional (Sugiono, �005). Ketiga faktor ini saya yaki-ni, bisa menjelaskan strategi komunikasi yang efektif dalam memahami prilaku pemilih dalam Pilgubsu.

Faktor sosiologis bisa dipahami bahwa prilaku pemilih berorientasi pada budaya, agama dan sos-ial. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Lip-set (dalam Sherman dan Kolker, 19��) menunjukkan adanya hubungan agama dengan kecenderungan ses-eorang memberikan pilihannya. Faktor ini pun sebena-rnya sangat gamblang terjadi di Indonesia. Lihat saja,

Page 31: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�1Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berbasis organ-isasi kemasyarakatan Nadhlatul Ulama bisa meraih jumlah suara yang cukup banyak dalam pemilu.

Faktor lainnya adalah faktor psikologis. Faktor ini secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya sangat dipengaruhi sikap dan sosialisasi. Proses pe-nyampaian sikap dan sosialisasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya, pemilih bisa di-pengaruhi oleh prilaku politik orang tua, kelompok acuan, kelompok pekerja, kelompok kebudayaan, dan lain-lain. Proses ini akan membentuk ikatan yang kuat terhadap seorang kandidat gubernur Sumut.

Dan yang ketiga faktor rasional. Nursal (�00�) menjelaskan faktor rasional bermuara pada kesimpu-lan bahwa pemilih selalu bersikap rasional. Para pe-milih melakukan “penilaian” yang selektif terhadap tawaran dari seorang kandidat. Pemilih yang mem-berikan pilihan pada seorang kandidat akan melandasi pilihannya pada pertimbangan-pertimbangan dan ala-san yang logis.

Memahami ketiga faktor prilaku pemilih ini penting agar para kandidat gubernur Sumut atau pun tim suksesnya tidak terperosok melakukan strategi komunikasi yang tidak efektif. Namun pertanyaanya, bagaimana melakukan komunikasi yang efektif guna “menjual” seorang kandidat gubernur Sumut?

Newman (1999) dalam buku The Mass Mar-keting of Politics, Democracy in Age of Manufacturer menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu berusaha untuk melihat sang kandidat secara utuh.

Page 32: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Dalam bukunya yang lain Newman (19�5) juga menjelaskan bahwa individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif. Per-tama, program dan kebijakan publik. Seorang kandi-dat gubernur Sumut akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikannya jika kelak menjadi gubernur. Program dan kebijakan pub-lik itu termasuk didalamnya bidang ekonomi, hukum, budaya, dan sosial. Kedua, citra sosial adalah citra kan-didat dalam pikiran pemilih mengenai berada dalam posisi apa, tergolong kelompok sosial mana dan partai apa yang mengusungnya menjadi kandidat gubernur. Ketiga, perasaan, dimana pemilih akan memberikan penilaian terhadap prilaku atau pun aktivitas sang kandidat dalam memberikan pendapatnya terhadap sebuah peristiwa. Keempat, karakter yang bisa dinilai sebagai sifat-sifat personal dari seorang kandidat. Ke-lima, peristiwa mutakhir (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan, dan kebijakan sang kandidat menjelang pelaksanaan pemungutan suara. Keenam, peristiwa personal (personal event) dimana pemilih akan memberikan penilaiannya terhadap jalinan ke-hidupan sang kandidat. Seperti apakah sang kandidat seorang tokoh agama, birokrat, atau pengusaha. Ketu-juh, isu-isu, adalah aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih ter-hadap sang kandidat. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok kandidat sebagai figur yang benar-benar bisa diandalkan memecahkan persoalan publik.

Sistem pemilihan kepala daerah yang kini telah berubah menjadi sangat demokratis, dimana rakyat diberikan kebebasan untuk memilih langsung, tentu menjadi tantangan berat untuk memenangkan seorang kandidat. Dengan memahami prilaku pemilih, menu-rut saya akan bisa membantu para tim sukses kandidat

Page 33: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

gubernur Sumut untuk membangun strategi komuni-kasi yang efektif. Karena dengan strategi komunikasi yang efektif itu, saya meyakini, tidaklah sulit untuk “menjual” tokoh-tokoh sekelas Chairuman Harahap, Ali Umri, Syamsul Arifin, Djanius Djamin, Bahdin Nur Tandjung atau bahkan tokoh-tokoh lain yang akan muncul menjadi kandidat gubernur di Sumatera Utara.

Page 34: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 35: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�5Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Memetakan Pemilih dalam PILGUBSU

Hasil perhitungan suara dalam Pilgubsu �00� kiranya menjadi pelajaran penting bagi seluruh pelaku politik di Sumatera Utara. Walaupun masih banyak kekurangan disana-sini, namun bisa dikatakan Pilgub-su �00� ini sukses.

Hal yang menarik dipelajari dari Pilgubsu ini adalah memetakan pemilih yang memilih kelima calon gubernur dan wakil gubernur Sumut ini. Setidaknya ada tiga faktor yang harus diperhatikan untuk mema-hami perilaku pemilih. Faktor-faktor itu adalah: sosi-ologis, psikologis dan rasional (Sugiono, �005). Ketiga faktor ini saya yakini, bisa menjelaskan prilaku pemilih dalam Pilgubsu.

Faktor sosiologis bisa dipahami bahwa prilaku pemilih berorientasi pada budaya, agama dan sos-ial. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Lip-set (dalam Sherman dan Kolker, 19��) menunjukkan adanya hubungan agama dengan kecenderungan ses-eorang memberikan pilihannya.

Faktor lainnya adalah faktor psikologis. Faktor ini secara tegas menyebutkan bahwa pada dasarnya kecenderungan pemilih untuk memberikan suaranya sangat dipengaruhi sikap dan sosialisasi. Proses pe-nyampaian sikap dan sosialisasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya, pemilih bisa di-pengaruhi oleh prilaku politik orang tua, kelompok acuan, kelompok pekerja, kelompok kebudayaan, dan lain-lain. Proses ini akan membentuk ikatan yang kuat terhadap seorang kandidat gubernur Sumut.

Dan yang ketiga faktor rasional. Nursal (�00�) menjelaskan faktor rasional bermuara pada kesimpu-

Page 36: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

lan bahwa pemilih selalu bersikap rasional. Para pe-milih melakukan “penilaian” yang selektif terhadap tawaran dari seorang kandidat. Pemilih yang mem-berikan pilihan pada seorang kandidat akan melandasi pilihannya pada pertimbangan-pertimbangan dan ala-san yang logis.

Dari ketiga faktor diatas, kita dapat memetakan perolehan suara dari kelima calon gubernur dan wakil gubernur Sumut. Pasangan Syamsul-Gatot yang mem-perolah suara terbesar umumnya dipilih oleh pemilih yang punya orientasi keagamaan dan sosial. Mereka kebanyakan dari kelompok umat Islam dan masyara-kat Melayu. Hal yang sama juga terjadi pada pemilih Abdul Wahab Dalimunte-Raden Syafei. Pasangan ini pun menarik “simpati” pemilih yang berorientasi pada agama Islam.

Sedangkan pasangan RE Siahaan-Suherdi meraih suara dari masyarakat Jawa serta umat Kristen yang umumnya bisa dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang dipengaruhi faktor psikologis. Hal yang sama juga terjadi pada pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu meraih dukungan dari kelompok ma-syarakat Tionghoa serta umat Kristen. Sementara, Ali Umri-Maratua Simanjuntak memperoleh suara dari kelompok masyarakat rasional yang merupakan ke-lompok masyarakat campuran dari berbagai orientasi dan etnis.

Newman (1999) dalam buku The Mass Mar-keting of Politics, Democracy in Age of Manufacturer menyatakan bahwa setiap individu dalam perannya sebagai pemilih, selalu berusaha untuk melihat sang kandidat secara utuh.

Dalam bukunya yang lain Newman (19�5) juga

Page 37: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

menjelaskan bahwa individu dalam perannya sebagai pemilih dipengaruhi oleh tujuh domain kognitif. Per-tama, program dan kebijakan publik. Seorang kandi-dat gubernur Sumut akan dinilai oleh pemilih melalui program dan kebijakan publik yang dijanjikannya jika kelak menjadi gubernur. Program dan kebijakan pub-lik itu termasuk didalamnya bidang ekonomi, hukum, budaya, dan sosial. Kedua, citra sosial adalah citra kan-didat dalam pikiran pemilih mengenai berada dalam posisi apa, tergolong kelompok sosial mana dan partai apa yang mengusungnya menjadi kandidat gubernur. Ketiga, perasaan, dimana pemilih akan memberikan penilaian terhadap prilaku atau pun aktivitas sang kandidat dalam memberikan pendapatnya terhadap sebuah peristiwa. Keempat, karakter yang bisa dinilai sebagai sifat-sifat personal dari seorang kandidat. Ke-lima, peristiwa mutakhir (current event/affair) yang meliputi isu, kegiatan, dan kebijakan sang kandidat menjelang pelaksanaan pemungutan suara. Keenam, peristiwa personal (personal event) dimana pemilih akan memberikan penilaiannya terhadap jalinan ke-hidupan sang kandidat. Seperti apakah sang kandidat seorang tokoh agama, birokrat, atau pengusaha. Ketu-juh, isu-isu, adalah aktivitas yang dilakukan dengan cermat untuk memancing keingintahuan pemilih ter-hadap sang kandidat. Pemilihan isu yang tepat akan membuat pemilih mengenal sosok kandidat sebagai figur yang benar-benar bisa diandalkan memecahkan persoalan publik.

Sistem pemilihan kepala daerah yang kini telah berubah menjadi sangat demokratis, dimana rakyat diberikan kebebasan untuk memilih langsung, tentu menjadi tantangan berat untuk memenangkan seorang kandidat. Dengan memahami peta pemilih, menurut saya akan bisa membantu para pelaku politik di Sumut untuk membangun strategi komunikasi yang efektif.

Page 38: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 39: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�9Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Perlukah Polling Menghadapi Pilkada?

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara lang-sung rupanya telah menyemai benih-benih bisnis. Li-hat saja, banyak sekali lembaga-lembaga survey atau polling yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Lagak latah buat lembaga polling atau survey ini me-mang bawaan kita. Waktu pemilihan presiden dan wakil presiden tahun �00� lalu, lembaga survey macam LSI (Lembaga Survey Indonesia) atau Polling Center me-mang panen raya. Tapi kini seiring semakin banyaknya daerah-daerah yang melakukan pilkada, lembaga sur-vey yang bepusat di Jakarta itu mulai harus membagi rezekinya dengan lembaga polling lokal.

Sebagai akademisi, saya pernah ditanya seorang pejabat publik yang kebetulan lagi bernafsu untuk ikut pilkada (tentu agar bisa jadi pejabat publik lagi). Katanya, dia ingin buat polling. Tapi sungguh-sungguh tak tahu apakah polling itu perlu atau tidak. Lalu saya jelaskan saja soal polling-polling-an atau sur-vey-survey-an ini.

Menurut saya polling atay survey opini publik hanyalah merupakan satu dari sekian banyak rencana kampanye yang harus dibangun. Pendapat ini saya ambil dari buku bertajuk Strategi Politik dan Perenca-naanya yang dikeluarkan Friedrich Naumann Stiftung (�00�).

Menurut saya bahwa penelitian jajak pendapat atau polling yang dilakukan secara kuantitatif tidak perlu berasal dari lembaga peneliti yang mahal. Yang penting adalah kita tahu dimana posisi kita. Artinya kita tahu apa yang sedang berkembang, dimana pihak lawan menunjukkan kelemahannya, tema atau isu-isu apa saja yang sedang “panas” dan yang dapat diman-

Page 40: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�0 Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

faatkan sebagai kenderaan bagi tujuan kita. Apakah data-data tersebut berasal dari lembaga polling atau survey yang berada di Jakarta atau sudah dikenal luas, kuranglah penting. Yang penting adalah independensi sumber yang memberikan fakta nyata tanpa kepentin-gan strategis.

Sering kali banyak calon pejabat publik yang ter-jebak kesalahan memilih lembaga polling yang lebih cenderung lebih mengikuti kemauan pihak yang men-danai polling, ketimbang memberikan hasil yang benar. Ini tentunya akan sangat merugikan calon pejabat pub-lik karena ia tidak akan mendapatkan hasil yang maksi-mal dari polling yang dibuat. Jika hal ini yang terjadi, maka polling hanyalah sekedar untuk menyenangkan, membenarkan atau membesarkan calon pejabat publik yang menjadi pendana untuk polling itu.

Saya juga melihat banyak sekali, khususnya di Sumatera Utara, calon-calon pejabat publik yang ngo-tot membuat polling tapi sama sekali tidak memahami arti dari polling itu sendiri atau polling macam apa yang dibutuhkannya saat ini. Polling secara terminilogi be-rarti penyatuan atau membuat menjadi satu. Dalam hal ini, polling dimaksudkan untuk menyatukan pendapat publik yang didapatkan melalui berbagai metode. Ada dengan menyebar questioner, wawancara, direct mail atau melalui pesan singkat (SMS).

Selain itu, polling juga mempunyai banyak macamnya. Karena tulisan ini berfokus pada polling yang terkait dengan manajemen politik, saya hanya akan menjabarkan beberapa jenis polling. Pertama, benchmark poll. Polling jenis ini adalah sebuah pen-gumpulan pendapat yang lengkap dan mendasar. Ja-jak pendapat berisi tentang citra, tema dan komposisi para pemilih sebelum kampanye dimulai. Benchmark

Page 41: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�1Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

poll harus menjadi sebuah petunjuk dasar untuk ke-giatan-kegiatan kampanye yang akan datang. Kedua, panel survey atau serial polling. Jenis ini akan lebih memfokuskan jajak pendapat dalam waktu yang cukup panjang. Publik akan dipantau dan diobservasi secara terus menerus untuk melihat perbedaan suasana dan strategi yang telah dijalankan. Ketiga, tracking polling. Jajak pendapat jenis ini hampir mirip dengan jenis kedua diatas. Perbedaannya hanya pada waktu pelak-sanaan jajak pendapat yang singkat (pada pekan-pekan terakhir menjelang hari pemilu). Dengan tracking poll-ing ini kita akan bisa mendapatkan informasi paling muktakhir tentang pemilih dan untuk mengarahkan taktik kampanye pada detik-detik terakhir.

Tiga jenis polling yang saya sebutkan paling ti-dak akan bisa membantu para calon pejabat publik untuk memutuskan apakah mereka akan melakukan polling atau tidak. Dengan mengetahui jenis-jenis poll-ing dalam manajemen politik ini, para calon pejabat publik bisa mendapatkan gambar utuh tentang polling yang akan mereka biayai. Saya juga berkeyakinan, poll-ing bisa paling tidak memperkecil kemungkinan kalah dalam pelaksanaan pilkada.

Meneliti Kelemahan Lawan Politik

Polling atau survey bisa juga dilakukan tak han-ya untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan seorang calon pejabat publik. Polling juga sebenarnya bisa dibuat untuk meneliti kelemahan lawan politik. Kon-sep ini dalam manajemen politik biasanya dinamai op-position research (penyelidikan tentang lawan). Dalam hal ini, semua aktivitas lawan politik seperti kampa-nye, kegiatan kehumasan, hubungan dengan media

Page 42: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

massa, dan lain sebagainya, haruslah mendapat perha-tian. Melalui polling untuk tujuan penyelidikan terha-dap kekuatan lawan, seorang calon pejabat publik bisa mendapatkan seluruh fakta-fakta yang disembunyikan oleh lawan politiknya. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan politik, seorang pejabat publik bisa dengan cepat memikirkan taktik jitu untuk mena-klukkan kekuatan lawan. Selain itu dengan melakukan polling yang bertujuan mengetahui kekuatan lawan politik, seorang calon pejabat publik bisa menyelidiki kelemahannya sendiri.

Hasil opposition research juga bisa dipakai un-tuk menyerang lawan politik dengan menyebarkan informasi negatif tentang prilaku, latar belakang dan posisi lawan politik. Ini akan bisa dilakukan berulang-ulang karena didukung oleh opposition research yang mendalam. Namun, sering kali penyebaran informasi negatif terhadap lawan politik di cap sebagai negative campaign atau black campaign. Hal ini karena infor-masi yang disebar tidak mempunyai basis data yang akurat dan tidak bisa dibuktikan. Maka itu, apapun ceritanya, dalam sebuah kampanye negatif, riset dan dokumentasi tentang lawan politik menjadi sangat penting.

Page 43: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 44: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Quick Count

Sistem perhitungan cepat atau quick count yang dibuat lembaga survey macam Lembaga Survey Indo-nesia (LSI) kini jadi blunder bagi masyarakat di Sumut. LSI yang ikut meramai-ramaikan hajatan Pilkada Gu-bernur Sumut, memprediksi pasangan nomor 5 yakni Syamsul Arifin-Gatot Pudjonugroho yang akan me-menangi Pilkada. Hasil ini keluar antara pukul 1�.00 WIB hingga 1�.00 WIB.

Melihat hasil ini, masyarakat Sumut tercen-gang. Ada yang menangis haru. Ada juga yang waja-hnya langsung kuyu tertekuk. Syamsul Arifin dengan histeris malah berteriak, “Tukang kue jadi gubernur.” Sedang, calon nomor 1 yakni Ali Umri tampak tegang di layar Metro TV.

Sementara Syaiful Munjani, sang pemimpin LSI sibuk berkomentar dan menganalisis hasil kerja bawahannya yang mengumpulkan informasi. Publik di Sumut lagi-lagi tercengang dengan statement-nya yang janggal didengar. Hal ini karena, Syaiful yang nun jauh berada di Jakarta, seolah paling tahu suasana di Sumut.

Melihat model komunikasi LSI dan quick count-nya ini, publik di Sumut jadi riuh-rendah. SMS dan telepon sambung menyambung. Sebagian ada yang isinya menyambut baik survey semacam yang dibuat LSI ini. Sebagian ada pula yang mengecamnya.

Saya termasuk kelompok yang mengecam pen-gumuman hasil survey LSI yang dilakukan secara sporadis serta terburu-buru lewat Metro TV. Dalam pandangan saya, apapun hasilnya, seharusnya LSI bisa bersabar untuk tidak mengumumkan hasil surveynya

Page 45: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�5Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

kepada publik. Paling tidak menunggu hingga penghi-tungan surat suara selesai seluruhnya di tingkat TPS.

Tapi apa yang terjadi. Di TPS tempat saya men-coblos, masyarakat menghitung suara sambil menon-ton Metro TV. Sedikit banyak ini mempengaruhi siapa pun yang berada di lingkungan TPS. Saksi dari kelima calon menjadi tidak tenang. Suasana pun jadi sedikit gaduh.

Mewaspadai Hasil Quick Count

Publik yang melihat hasil quick count di Metro TV tentu sama sekali tak tahu siapa yang mendanai survey itu. Publik hanya tahu bahwa LSI merupakan salah satu lembaga survey yang mengumumkan hasil Pilkada dan menetapkan Syamsul Arifin-Gatot Pud-jonugroho sebagai “calon” pemenang Pilkada.

Melihat sepak terjang LSI yang kini menuai ban-yak protes (di Jawa Barat, ratusan orang memprotes hasil survey LSI), kita paling tidak boleh mewaspadai survey-survey semacam ini. Pertama, survey semacam quick count harusnya jelas siapa pendananya. Hal ini penting karena hasil survey yang disebarluaskan melalui media massa secara sporadis ini akan sangat memberi pengaruh psikologis pada pemilih dan para calon.

Kedua, survey semacam ini tentu mempunyai dampak melemahnya pengawasan publik. Saya mera-sakan bahwa ketika LSI memperkirakan pasangan Sy-amsul Arifin-Gatot Pudjonugroho unggul, maka mun-cul pula sikap kendur dalam mengawasi hasil Pilkada. Publik pendukung Syamsul-Gatot kemudian ramai-

Page 46: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�� Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

ramai bersiap untuk pesta merayakan kemenangan ini. Padahal, kemenangan hasil quick count ini sama sekali masih sangat prematur. Namun publik seolah tak peduli.

Ketiga, munculnya kemarahan publik jika ternyata hasil LSI salah. Bayangkan saja, apa yang akan dikatakan pasangan Syamsul-Gatot jika nanti, hasil perhitungan KPU Provinsi Sumut tidak memenangkan mereka. Padahal sudah ribuan ucapan selamat dan SMS masuk. Jika Syamsul-Gatot bisa menerima kepu-tusan KPU Sumut, belum tentu para pendukungnya. Mereka tentu akan tergerus untuk memprotes KPU Sumut yang mengeluarkan keputusan berbeda dengan quick count.

Melecehkan KPU Sumut

Publikasi hasil quick count yang sangat prema-tur yang dilakukan LSI bisa dikatakan sebagai tinda-kan pelecehan terhadap KPU Sumut. Di satu sisi LSI sebagai lembaga survey memang mempunyai hak un-tuk mempublikasikan hasil surveynya. Di sisi lain, pub-lik juga punya hak untuk tahu. Namun, dari dua hal itu, tentunya LSI dan publik tidak pula mengabaikan keberadaan KPU. Pilkada yang saat ini diselenggara-kan di Sumut, jelas hasil kerja panjang dan keras KPU selama lebih kurang enam bulan.

UU No �� Tahun �00� sudah menyebutkan bahwa hasil perhitungan Pilkada yang sah adalah ha-sil perhitungan KPU dan bukan lembaga-lembaga lain. Bahkan KPU Sumut sendiri, jauh-jauh hari sudah me-minta agar lembaga-lembaga survey bisa menahan diri mengumumkan hasil survey-nya.

Page 47: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

��Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Tentunya apa yang dilakukan KPU Sumut ini dalam kerangka untuk memberikan kepastian bagi publik maupun pasangan calon gubernur dan wakil gu-bernur. Dengan mekanisme yang telah diatur melalui undang-undang, KPU Sumut kini sedang berusaha bekerja secara maksimal untuk menyelesaikan tahap perhitungan suara Pilkada.

Jadi apapun hasilnya, siapapun pemenang Pilkada Gubernur Sumut, kita tunggu saja hasilnya dari KPU Sumut. Dan jangan terlalu cepat percaya ha-sil quick count, karena itu hanya perkiraan semata.

Page 48: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia
Page 49: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

�9Komunikasi Politik Pilgubsu 2008

Page 50: Buku Komunikasi Politik Pilihan Raya Indonesia

50 Komunikasi Politik Pilgubsu 2008