174
BUKU PEDOMAN PENANGANAN PERKARA DI LINGKUNGAN DJPLN/PUPN Disusun oleh : Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN DEPARTEMEN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA DIREKTORAT INFORMASI DAN HUKUM Jakarta 2005

Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

BUKU PEDOMANPENANGANAN PERKARADI LINGKUNGAN DJPLN/PUPN

Disusun oleh :Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN

DEPARTEMEN KEUANGANDIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

DIREKTORAT INFORMASI DAN HUKUM Jakarta 2005

Page 2: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

i

KATA SAMBUTAN

Sebagaimana dimaklumi pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang saat

ini menjadi semakin berat karena kompleksitas akibat perkembangan hukum,

perkembangan bisnis maupun berbagai aspek lain yang bersinggungan dengan Undang-

Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan Vendu Reglement. Sementara itu, dilain pihak

daya kritis masyarakat juga meningkat seiring dengan perkembangan demokrasi. Itu

sebabnya tidak jarang hasil kerja kita mendapat tantangan maupun gugatan.

Kita harus selalu siap apabila hasil pekerjaan kita dikritisi atau bahkan diuji di

lembaga peradilan. Kita tidak perlu takut atau kecil hati sepanjang kita berpijak pada

aturan undang-undang yang dilandasi dengan itikad baik dan selalu berpegang pada prinsip

good governance.

Dalam rangka menghadapi berbagai gugatan di peradilan, diperlukan kesiapan

bagi para petugas terkait. Kemampuan petugas penanganan perkara harus terus diasah,

sehingga perlu pembekalan agar kualitas dalam menghadapi gugatan semakin baik. Oleh

karena itu, kami menyambut baik hadirnya “Buku Pedoman Penanganan Perkara di

Lingkungan DJPLN/PUPN” ini. Dengan buku ini petugas akan mendapat gambaran

bahkan petunjuk yang jelas bagaimana menyusun gugatan, menyusun jawaban atas

gugatan, menyusun duplik, menyusun replik, dan mempersiapkan alat bukti serta

bagaimana menyikapi putusan pengadilan, dan sebagainya. Kepada Tim Penyusun Buku

Pedoman yang telah bekerja keras menyusun buku ini, kiranya layak kami sampaikan

penghargaan dan terima kasih.

Demikian agar menjadi perhatian seluruh jajaran DJPLN. Manfaatkan buku ini

sebaik-baiknya.

Jakarta, Maret 2005

Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara

Machfud Sidik NIP 060043114

Page 3: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

i

KATA SAMBUTAN

Sebagaimana dimaklumi pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang saat

ini menjadi semakin berat karena kompleksitas akibat perkembangan hukum,

perkembangan bisnis maupun berbagai aspek lain yang bersinggungan dengan Undang-

Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan Vendu Reglement. Sementara itu, dilain pihak

daya kritis masyarakat juga meningkat seiring dengan perkembangan demokrasi. Itu

sebabnya tidak jarang hasil kerja kita mendapat tantangan maupun gugatan.

Kita harus selalu siap apabila hasil pekerjaan kita dikritisi atau bahkan diuji di

lembaga peradilan. Kita tidak perlu takut atau kecil hati sepanjang kita berpijak pada

aturan undang-undang yang dilandasi dengan itikad baik dan selalu berpegang pada prinsip

good governance.

Dalam rangka menghadapi berbagai gugatan di peradilan, diperlukan kesiapan

bagi para petugas terkait. Kemampuan petugas penanganan perkara harus terus diasah,

sehingga perlu pembekalan agar kualitas dalam menghadapi gugatan semakin baik. Oleh

karena itu, kami menyambut baik hadirnya “Buku Pedoman Penanganan Perkara di

Lingkungan DJPLN/PUPN” ini. Dengan buku ini petugas akan mendapat gambaran

bahkan petunjuk yang jelas bagaimana menyusun gugatan, menyusun jawaban atas

gugatan, menyusun duplik, menyusun replik, dan mempersiapkan alat bukti serta

bagaimana menyikapi putusan pengadilan, dan sebagainya. Kepada Tim Penyusun Buku

Pedoman yang telah bekerja keras menyusun buku ini, kiranya layak kami sampaikan

penghargaan dan terima kasih.

Demikian agar menjadi perhatian seluruh jajaran DJPLN. Manfaatkan buku ini

sebaik-baiknya.

Jakarta, Maret 2005

Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara

Machfud Sidik NIP 060043114

Page 4: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

iii

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ……………………………………………………………… KATA PENGANTAR ……………………………………..……………………… DAFTAR ISI………………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN………………………………………….…………..

A. Latar Belakang…………………………………………..…….……. B. Maksud dan Tujuan……………………………………..…………..

BAB II KEWENANGAN PENANGANAN PERKARA DI LINGKUNGAN DJPLN……………………..….…………………

A. Kewenangan Penanganan Perkara Perdata………..………………. B. Kewenangan Penanganan Perkara Tata Usaha Negara……………. C. Kewenangan Penanganan Perkara Pidana…………………………. D. Surat Kuasa Khusus………………………………………………...

1. SKU dalam Perkara Perdata …………………………………… 2. SKU dalam Perkara TUN ……………………………………… 3. Surat Tugas dalam Perkara Pidana …………………………….

BAB III PETUNJUK PENANGANAN PERKARA PERDATA……………… A. Menghadapi Gugatan Perdata………………………………………

1. Meneliti Relaas Panggilan …………………………………….. 2. Meneliti Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN).………………. 3. Meneliti Dokumen Lelang……………………………………… 4. Meneliti Surat Gugat…………………………….……………… 5. Mempersiapkan Dasar Hukum dan Alat Bukti Penyusunan

Jawaban…………………………………………………………. 6. Memenuhi Surat Panggilan……………………………………... 7. Menghadiri Sidang Mediasi ..……….………………………….. 8. Menyusun Jawaban ..…………………………………………… 9. Menyampaikan Jawaban .………………………………………. 10. Menerima Replik .……………………………………………… 11. Mengajukan Duplik ..…………………………………………… 12. Menyampaikan Bukti ………………………………………… 13. Menyampaikan Kesimpulan ……………………………………

B. Mengajukan Gugatan………………………...……………………… 1. Persiapan Penyusunan Surat Gugat…………………………….. 2. Persiapan Surat Kuasa Khusus………………..………………... 3. Penyusunan Gugatan…………………….…………………..…. 4. Pendaftaran Gugatan………………………….………………… 5. Penyusunan Replik……..………………………………………. 6. Pengajuan Bukti……..…………………………………………. 7. Penyusunan Kesimpulan………………………………………..

hlm. i

ii

iii 1 1 1 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7 8 8 9 9 10 10 10 15 15 15 16 18 18 18 19 19 21 21 21 21

Page 5: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

iv

BAB IV PETUNJUK PENANGANAN PERKARA TATA USAHA NEGARA

A. Persiapan Menghadapi Gugatan…………………………………… 1. Dismissal Procedure …………………………………………. 2. Pemeriksaan Persiapan…………………………………………. 3. Penelitian Surat Gugat…………………………………………..

B. Penyusunan Jawaban atas Gugatan…………………………………. 1. Penelitian dan Pencantuman Identitas Para Pihak………………. 2. Penyusunan Eksepsi……………………………………….…….. 3. Penyusunan Jawaban………………………………………….… 4. Penyusunan Petitum……………………………………………. 5. Penyusunan Duplik………………………………………………

C. Pengajuan Bukti…………………………………………………….. 1. Pemeriksaan Alat Bukti Surat……………………………..…….. 2. Pemeriksaan Saksi…………………………………..…………..

D. Penyusunan Kesimpulan…………………………………….……… BAB V PUTUSAN PERADILAN………………………………………………

A. Putusan Pengadilan Negeri…………………………………………. 1. Putusan Sela (Tussenvonis)……………………………………… 2. Putusan Akhir (Eindvonis)……………………………………… 3. Putusan Serta Merta…………………….………………………. 4. Susunan dan Isi Putusan………………..……………………….. 5. Tindakan yang Dilakukan dalam Menghadapi Putusan…………

B. Putusan Pengadilan Tinggi………………………………………….. C. Putusan Pengadilan TUN …………….……………………………..

1. Putusan Sela …………………….……………………………… 2. Putusan Akhir………………………………………………..….. 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN…………………………..

D. Putusan Pengadilan Tinggi TUN……………………………………. E. Putusan Mahkamah Agung…………………………………………..

BAB VI UPAYA HUKUM ……………………………………………………..

A. Perkara Perdata……………………………………………………… 1. Banding…………………………..………………………………. 2. Kasasi…………………………..………………………………… 3. Perlawanan……………………..………………………………… 4. Peninjauan Kembali………………………………………………

B. Perkara TUN ……………..…………………….…………………… 1. Banding…………………………………………..………………. 2. Kasasi…………………………………………..………………… 3. Peninjauan Kembali………………………………………………

BAB VII PETUNJUK MENGHADAPI PERKARA PIDANA…………………..

A. Saksi………………………………………………………………… B. Saksi Ahli ………………………………….………………………..

23 24 24 24 25 25 25 26 27 28 28 29 29 30 31

32 32 32 33 33 34 35 36 36 36 36 37 38 38

39 39 39 42 44 45 47 47 48 50

52 52 53

Page 6: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

v

C. Tersangka…………………………………………………………… BAB VIII PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN…………………………..

A. Proses Kepailitan …………………….………..…………………… B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit…………………………………… C. Hal yang Diperhatikan dalam Penanganan Perkara Pailit ………….

BAB IX HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENANGANAN PERKARA…………………………………………..

A. Petunjuk Menghadiri Sidang…………………………………….…. B. Kiat Menghadapi Perkara…………………………………………... C. Istilah Hukum… ..…………………………………………………..

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA …………………………………..………………………….

54

55 55 55 56

57 57 57 58

62

168

Page 7: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana dimaklumi bahwa peranan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)/Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dalam menunjang pengamanan keuangan dan penerimaan negara semakin meningkat. Disisi lain perkembangan budaya masyarakat sekarang nampak semakin kritis dalam menilai dan mengoreksi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan mereka, termasuk keputusan mengenai piutang dan lelang negara, yaitu dengan mengajukan gugatan ke lembaga peradilan. Gugatan yang ditujukan kepada DJPLN/PUPN terutama terhadap unit-unit operasionalnya sangat mempengaruhi pengurusan piutang negara. Piutang negara dapat tidak tertagih atau sekurang-kurangnya terhenti sementara sampai gugatan tersebut mendapat putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Begitu juga pelaksanaan lelang dapat terhenti atau tertunda dengan diajukannya gugatan, bahkan dapat dibatalkan apabila gugatan yang diajukan dikabulkan oleh hakim. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian negara. Selain itu, jumlah gugatan yang banyak akan mempengaruhi pandangan masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Penanganan perkara di pengadilan memerlukan pengetahuan hukum yang baik sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Untuk itu DJPLN telah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi para pegawai khususnya yang menangani perkara di pengadilan. Diklat tersebut diselenggarakan bekerja sama baik dengan Badan Pendidikan Pelatihan Keuangan maupun dengan lembaga profesi advokat. Namun, penyelenggaraan diklat tidak dapat dilaksanakan secara rutin karena dana yang tersedia masih terbatas. Mengingat keterbatasan penyelenggaraan diklat penanganan perkara, maka perlu disusun Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara guna memudahkan penanganan perkara di pengadilan. Dengan adanya buku pedoman tersebut diharapkan perkara-perkara perdata, tata usaha negara, niaga maupun perkara pidana dapat ditangani dan diselesaikan lebih baik dan cepat sehingga pada akhirnya dapat mendukung peningkatan kinerja DJPLN/PUPN.

B. Maksud dan Tujuan

Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN ini disusun dengan maksud agar dapat dijadikan pola/kerangka dalam menangani perkara/gugatan yang diajukan terhadap DJPLN/PUPN, baik dalam penyusunan jawaban, eksepsi, duplik, pembuktian, kesimpulan, maupun dalam melakukan upaya hukum yang ada. Selain itu, pedoman ini juga diharapkan dapat digunakan dalam hal DJPLN/PUPN bertindak sebagai penggugat. Mengingat perkara yang dihadapi bersifat khusus, tentunya pedoman yang diberikan dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai permasalahan gugatan yang dihadapi.

Page 8: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

2

Adapun tujuan buku pedoman penanganan perkara ini adalah untuk memberikan panduan bagi penangan perkara dalam rangka meningkatkan kualitas beracara di pengadilan termasuk penyusunan: 1. jawaban/gugatan/bantahan/perlawanan; 2. duplik/replik; 3. pembuktian; 4. kesimpulan; 5. memori/kontra memori banding/kasasi/peninjauan kembali. Dengan tertanganinya perkara secara cepat dan tepat, diharapkan pengurusan piutang negara dan lelang tidak terhambat.

Page 9: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

3

BAB II KEWENANGAN PENANGANAN PERKARA

DI LINGKUNGAN DJPLN A. Kewenangan Penanganan Perkara Perdata

Pada awalnya seluruh perkara perdata yang berada di lingkungan DJPLN/PUPN ditangani oleh Biro Hukum Departemen Keuangan sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Keuangan Nomor 05/IMK.01/1978 tanggal 22 Desember 1978 tentang Penanganan Perkara di Pengadilan yang menyangkut Departemen Keuangan serta Instansi-instansi dan Badan-badan/Badan-badan Usaha Negara yang berada di bawah lingkungan Departemen Keuangan. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 139/KMK.08/2001 tanggal 22 Maret 2001 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-08/PL/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Penanganan Perkara Perdata di Lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, maka kewenangan penanganan perkara perdata diatur sebagai berikut : 1. Perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi dan tuntutan ganti ruginya

ditujukan kepada DJPLN/PUPN ditangani oleh Biro Hukum Departemen Keuangan.1

2. Perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi namun tuntutan ganti ruginya tidak ditujukan kepada DJPLN/PUPN tetapi kepada pihak lain, ditangani oleh DJPLN.

3. Perkara perdata yang tidak mengandung tuntutan ganti rugi ditangani oleh DJPLN, walaupun dalam gugatannya dicantumkan tuntutan berupa uang paksa (dwangsoom).

4. DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum menangani perkara-perkara yang memiliki jumlah piutang negara lebih dari Rp 20 milyar termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang yang bersifat kompleks/tingkat kesulitannya tinggi serta mengandung public interest yang besar. Perkara tersebut ditangani langsung oleh Kantor Pusat DJPLN dengan kuasa substitusi kepada Kanwil/KP2LN.

5. Kanwil DJPLN menangani perkara-perkara yang memiliki jumlah piutang negara antara Rp 10 milyar sampai dengan Rp 20 milyar dengan kuasa substitusi kepada para petugas di KP2LN.

6. Pada dasarnya Kanwil DJPLN/KP2LN/PUPN Cabang yang digugat bertanggung jawab menangani perkara tersebut, namun KP2LN/Kanwil DJPLN/PUPN Cabang dapat meminta bantuan hukum penanganan perkara kepada Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum. Bantuan penanganan perkara tersebut dapat berupa pembuatan jawaban, pembuatan duplik, penyusunan bukti, penyusunan kesimpulan, pembuatan memori/kontra memori banding/kasasi/peninjauan kembali.

1 Terhadap putusan berkekuatan hukum tetap yang menghukum DJPLN/PUPN membayar ganti rugi kepada penggugat, unit yang digugat harus melakukan koordinasi dengan Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum. Selanjutnya, kantor pusat akan berkoordinasi dengan Biro Hukum Departemen Keuangan.

Page 10: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

4

B. Kewenangan Penanganan Perkara Tata Usaha Negara

Kewenangan penanganan perkara Tata Usaha Negara (TUN) di lingkungan DJPLN diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-27/PL/2003 tanggal 12 Desember 2003, bahwa perkara TUN ditangani oleh unit yang menerbitkan Keputusan TUN yang digugat. Ini berarti apabila Kanwil DJPLN/KP2LN/PUPN Cabang digugat dalam perkara TUN, maka kewenangan untuk menangani perkara TUN tersebut ada pada Kepala Kanwil DJPLN/KP2LN/PUPN Cabang yang bersangkutan.

C. Kewenangan Penanganan Perkara Pidana

Selama ini penanganan perkara pidana mengacu pada Instruksi Menteri Keuangan Nomor 05/IMK/1978 tanggal 22 Desember 1978 yang antara lain menyatakan bahwa dalam hal Kepala/Pimpinan Instansi dan Pejabat yang berada di lingkungan Departemen Keuangan diminta keterangannya sebagai saksi, saksi ahli atau memberikan pernyataan tertulis dalam perkara perdata maupun pidana agar menghubungi Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, diatur dalam Pasal 100 dan Pasal 101 bahwa salah satu fungsi Biro Hukum Departemen Keuangan adalah menyelenggarakan pendampingan kepada para pejabat, mantan pejabat dan pegawai dari semua unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan yang dalam pelaksanaan tugasnya diperiksa dalam perkara pidana di luar tindak pidana korupsi. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara juga melaksanakan fungsi bantuan hukum yang dilakukan oleh Subdit Peraturan dan Bantuan Hukum Direktorat Informasi dan Hukum. Dalam melaksanakan tugasnya Subdit Peraturan dan Bantuan Hukum mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor 31/PL/2003 tanggal 19 Desember 2003. Dalam Surat Edaran tersebut telah diatur bahwa pejabat/pegawai yang dipanggil oleh penyidik (Kepolisian/Kejaksaan) baik dalam kedudukan sebagai tersangka maupun sebagai saksi dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang, dapat segera melaporkan masalah tersebut secara tertulis ke Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum disertai dokumen pendukung dan resume kasus yang bersangkutan. Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum bersama dengan direktorat teknis terkait akan melakukan gelar perkara dengan mengundang dan/atau mendatangi unit yang bersangkutan dan pejabat/petugas terkait, apabila masalahnya mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi atau menjadi perhatian masyarakat. Hal ini guna mendapatkan informasi yang lebih lengkap dalam menyusun pendapat dan saran sebagai jalan keluar penyelesaiannya seperti: 1. memberikan bantuan hukum kepada pejabat/pegawai yang bersangkutan

dengan mendampinginya pada saat pemeriksaan oleh petugas penyidik (Kepolisian/Kejaksaan);

2. memberikan asistensi kepada advokat yang ditunjuk oleh terdakwa dalam proses persidangan.

Page 11: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

5

Kanwil DJPLN/KP2LN memberitahukan kepada Kantor Pusat DJPLN apabila penyidik meminta keterangan saksi ahli kepada Kanwil DJPLN/KP2LN yang bersangkutan. Permintaan saksi ahli tersebut segera dikonsultasikan dengan Biro Hukum Departemen Keuangan untuk mendapat penunjukan saksi ahli yang tepat sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan.

D. Surat Kuasa Khusus Dalam penanganan perkara baik perkara perdata maupun perkara TUN disyaratkan ada suatu Surat Kuasa Khusus (SKU) bagi petugas penangan perkara. Permohonan dan penerbitan SKU tersebut diatur sebagaimana terurai di bawah ini. 1. SKU dalam Perkara Perdata

Permohonan SKU untuk menangani perkara perdata diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 139/KMK.08/2001 tanggal 22 Maret 2001 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-08/PL/2004 tanggal 8 April 2004, sebagai berikut : 1.1. SKU untuk menangani perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi

diatur sebagai berikut : a. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Kanwil DJPLN/KP2LN, maka

SKU diterbitkan serta ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal untuk dan atas nama Menteri Keuangan.

b. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Ketua PUPN maka SKU diterbitkan serta ditandatangani oleh Ketua PUPN Pusat.

c. SKU yang diterbitkan dapat dikuasakan dengan hak substitusi ke petugas penangan perkara lainnya.

1.2. Permohonan SKU penanganan perkara yang mengandung tuntutan ganti rugi diajukan oleh Direktur Informasi dan Hukum/Kepala Kanwil DJPLN/Kepala KP2LN/Ketua PUPN Cabang kepada Biro Hukum Departemen Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan menyebutkan/melampirkan: a. identitas penerima kuasa; b. fotokopi panggilan sidang; c. fotokopi surat gugat.

1.3. SKU penanganan perkara perdata yang tidak mengandung tuntutan ganti rugi diatur sebagai berikut : a. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Kantor Pusat DJPLN/Kanwil

DJPLN/KP2LN maka SKU diterbitkan serta ditandatangani oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dan atas nama Menteri Keuangan.

b. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Ketua PUPN Pusat/PUPN Cabang maka SKU diterbitkan serta ditandatangani oleh Ketua PUPN Pusat.

c. SKU yang diterbitkan dapat dikuasakan dengan hak substitusi ke petugas penanganan perkara lainnya.

1.4. Permohonan SKU penanganan perkara yang tidak mengandung tuntutan ganti rugi diajukan oleh Kepala Kanwil DJPLN/Kepala KP2LN/Ketua PUPN Cabang kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Ketua PUPN Pusat melalui Direktorat Informasi dan Hukum dengan menyebutkan/melampirkan:

Page 12: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

6

a. identitas penerima kuasa; b. fotokopi panggilan sidang; c. fotokopi surat gugatan atau sanggahan.

Apabila SKU dalam perkara perdata belum diterima, Kepala Kanwil DJPLN/Kepala KP2LN/Ketua PUPN Cabang dapat menerbitkan surat tugas kepada penangan perkara untuk menghadiri sidang sambil menunggu SKU dari Kantor Pusat DJPLN/PUPN.

2. SKU dalam Perkara TUN 2.1. SKU dalam perkara TUN diterbitkan dan ditandangani oleh pejabat yang

digugat. Ketentuan mengenai SKU ini diatur sebagai berikut: a. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Kepala KP2LN maka SKU

diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala KP2LN. b. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Kepala Kanwil DJPLN maka SKU

diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Kanwil DJPLN. c. Dalam hal gugatan ditujukan kepada Ketua PUPN Cabang maka Surat

Kuasa Khusus diterbitkan dan ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang yang bersangkutan.

d. Di dalam SKU dicantumkan klausul hak menguasakan kembali (hak substitusi).

e. Salah satu fotokopi SKU disampaikan ke Direktorat Informasi dan Hukum berikut surat gugat.

2.2. Dalam penyusunan SKU dalam perkara TUN perlu diperhatikan, hal-hal sebagai berikut : a. Penulisan identitas penerima kuasa harus jelas dan benar. b. Penulisan pemberi kuasa tidak ditulis secara berjenjang, hanya pejabat

TUN yang bersangkutan. Misalnya: Ketua PUPN Cabang …… Jalan ……………………………………….. atau Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ……… Jalan……

c. Penulisan kata “Khusus” dicantumkan tersendiri secara jelas di tengah halaman.

Misalnya: Khusus

Guna menghadap di muka persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara….…. dalam perkara Nomor……………… mengenai gugatan ………… yang diajukan terhadapnya oleh……………….. dalam hal ini diwakili oleh kuasanya………………………………..

d. Pencantuman kewenangan penerima kuasa meliputi juga kewenangan untuk menghadiri sidang dismissal.

3. Surat Tugas dalam Perkara Pidana Dalam hal pejabat/pegawai memenuhi panggilan penyidik (Kepolisian/Kejaksaan) untuk dimintai keterangannya sebagai saksi, tersangka atau saksi ahli yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang, pejabat/pegawai yang bersangkutan dilengkapi dengan surat tugas.

Page 13: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

7

BAB III PETUNJUK PENANGANAN PERKARA PERDATA

Dalam pelaksanaan tugas pengurusan piutang dan lelang negara, DJPLN/PUPN adakalanya menghadapi perkara perdata baik berupa gugatan, bantahan ataupun perlawanan yang diajukan debitor maupun pihak ketiga. Pada umumnya dalam penanganan perkara perdata, DJPLN/PUPN merupakan pihak yang digugat (tergugat), namun demikian tidak tertutup kemungkinan DJPLN/PUPN bertindak sebagai pihak yang mengajukan gugatan (penggugat). Proses gugatan, bantahan dan perlawanan termasuk acara dalam persidangannya hampir sama, walaupun mempunyai tujuan yang berbeda. Pihak dalam bantahan disebut pembantah dan terbantah, sedangkan dalam perlawanan pihaknya disebut dengan pelawan dan terlawan. Secara umum tahap dalam penanganan perkara perdata dapat digambarkan sebagai berikut: Gugatan

⇒ Jawaban ⇒ Replik ⇒

Duplik

⇒ Pembuktian ⇒ Kesimpulan ⇒ Putusan

Dalam setiap perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, para pihak wajib terlebih dahulu mengupayakan perdamaian melalui lembaga mediasi yang disediakan oleh pengadilan, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Namun, apabila sampai batas waktu yang ditetapkan, perdamaian tidak tercapai maka acara dilanjutkan dengan penyampaian jawaban tergugat. A. Menghadapi Gugatan Perdata

Gugatan perdata yang diajukan oleh debitor/penanggung hutang ataupun oleh pihak ketiga kepada DJPLN/PUPN pada umumnya disebabkan ada tindakan hukum yang dilakukan oleh DJPLN/PUPN dalam rangka pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang. Tindakan hukum tersebut oleh penanggung hutang atau pihak ketiga dianggap tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan DJPLN/PUPN berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah sah dan benar sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena kedua pihak berbeda pendapat maka terjadilah sengketa. Persengketaan inilah yang diajukan oleh penggugat ke badan peradilan dengan mengajukan gugatan yang penyelesaiannya diproses sesuai dengan hukum acara perdata. Untuk memenuhi proses beracara, penangan perkara perlu melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Meneliti Relaas Panggilan

Dalam proses pembuatan SKU, penangan perkara perlu melakukan penelitian terhadap relaas panggilan untuk mengetahui: a. Pengadilan negeri yang memeriksa gugatan. b. Nama penggugat. c. Nama tergugat. d. Register perkara. e. Pokok perkara/sengketa, misalnya pembatalan lelang.

Page 14: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

8

f. Hari dan tanggal persidangan. Hasil penelitian dituangkan dalam resume sebagai lampiran surat permohonan penerbitan SKU dengan menyampaikan pendapat dan saran.

2. Meneliti Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) Untuk bahan penyusunan jawaban dan pengajuan alat bukti, penangan perkara perlu melakukan penelitian BKPN yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang dimuat dalam surat gugat untuk mengetahui: a. Nama/badan hukum penanggung hutang. b. Nama penjamin. c. Nama penyerah piutang. d. Dasar hukum terjadinya hutang. e. Surat penyerahan, termasuk nomor dan tanggal f. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), termasuk nomor dan

tanggal. g. Dokumen-dokumen asli atau fotokopi yang dikuasai oleh DJPLN atau kreditor

penyerah piutang yang dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membantah dalil-dalil dalam surat gugat.

h. Prosedur pengurusan yang sudah dan akan dilaksanakan dan dasar hukum pelaksanaannya seperti surat panggilan, tanggal penerbitan Surat Paksa, Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa, tanggal penerbitan Surat Perintah Penyitaan dan Berita Acara Penyitaan.

i. Surat menyurat antara penanggung hutang dan penyerah piutang dan/atau Kantor Pelayanan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, penangan perkara mengajukan pendapat dan saran antara lain: - PUPN berwenang mengurus piutang negara berdasarkan Surat Penyerahan

Nomor …….. tanggal…… dan SP3N Nomor …… tanggal ……. (vide Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960).

- Penyitaan dilaksanakan PUPN karena penggugat tidak melunasi hutangnya setelah dilakukan pemanggilan melalui Surat Panggilan No……. tanggal …….., tidak mematuhi Surat Paksa No…… tanggal ……. atau seandainya gugatan diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik jaminan tanah, maka ditambahkan alasan bahwa tanah tersebut telah diikat secara sempurna sesuai dengan Sertifikat Hak Tanggungan No…... tanggal…… .

- Pelaksanaan sita dilakukan oleh juru sita dan disaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan sehingga penyitaan adalah sah sesuai dengan Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.

- Tersedia alat-alat bukti yang dapat membuktikan sahnya tindakan hukum PUPN/DJPLN

3. Meneliti Dokumen Lelang Apabila gugatan berkaitan dengan lelang baik yang sudah ataupun yang belum dilaksanakan, maka penangan perkara perlu melakukan penelitian terhadap dokumen/ berkas yang berkaitan dengan proses lelang guna mengetahui: a. Dasar hukum pelaksanaan lelang. b. Nama/badan hukum pemohon lelang. c. Nama termohon lelang. d. Status hukum objek lelang. e. Harga jual lelang dan nama pemenang lelang.

Page 15: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

9

f. Pejabat lelang dan pejabat penjual. g. Dokumen-dokumen asli atau fotokopi yang dikuasai oleh DJPLN yang dapat

digunakan sebagai alat bukti untuk membantah dalil-dalil dalam surat gugat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, penangan perkara mengajukan pendapat dan saran antara lain: - Kantor Pelayanan berwenang melaksanakan lelang berdasarkan ………… - Pelaksanaan lelang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan prosedur

yang berlaku. - Pelaksanaan lelang yang dilaksanakan sudah diketahui oleh umum karena

sudah diumumkan berdasarkan Pengumuman Lelang No ……. tanggal …….. - Tersedia alat-alat bukti yang dapat membuktikan sahnya tindakan hukum

Kantor Pelayanan dalam melaksanakan lelang. 4. Meneliti Surat Gugat

Isi surat gugat menerangkan dengan jelas kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang merupakan dasar gugatan penggugat serta dengan jelas menerangkan tuntutan/hukuman yang dimohonkan penggugat kepada majelis hakim. Kejelasan ini penting bagi tergugat, agar yang bersangkutan dapat mengerti dasar hukum gugatan dan apa yang dituntut penggugat. Isi surat gugat terdiri dari posita dan petitum. Posita adalah objek dan alasan gugatan, fakta hukum dan dasar hukum, sedangkan petitum merupakan hal yang dituntut. Dalam surat gugat dapat diketahui tentang: a. Tempat persidangan perkara. b. Penggugat dan pihak-pihak yang menjadi tergugat dan atau turut tergugat yang

mempunyai hubungan hukum dengan pokok perkara c. Pokok permasalahan (posita) serta dasar hukumnya, misalnya pokok

permasalahan pelaksanaan sita tidak sah karena Berita Acara Penyitaan tidak ditandatangani oleh juru sita dan/atau saksi-saksi.

d. Tuntutan (petitum), misalnya pembatalan pelaksanaan sita atas objek sita. Dari hasil penelitian terhadap isi surat gugat, penangan perkara dapat mengetahui dan menguraikan hal-hal yang dipermasalahkan seperti: - Penggugat mempersoalkan penerbitan Surat Paksa yang tidak sah karena

belum dilakukan pemanggilan secara patut terhadap penggugat terbukti tidak ada relaas penerimaan pemanggilan atau tidak didahului dengan pembuatan Pernyataan Bersama, sehingga penyitaan dan pelaksanaan lelang tidak sah menurut hukum.

- Penggugat (pihak ketiga) mempersoalkan peralihan hak atas objek barang jaminan cacat hukum, karena objek jaminan tersebut merupakan harta gono-gini yang dijual oleh suami kepada penanggung hutang tanpa persetujuan isteri sebelum penanggung hutang menjaminkan kepada penyerah piutang.

5. Mempersiapkan Dasar Hukum dan Alat Bukti Penyusunan Jawaban Dalam rangka mempersiapkan dasar hukum dan alat bukti untuk menangkis dalil-dalil penggugat, terlebih dahulu dilakukan persandingan antara resume hasil penelitian BKPN dan/atau dokumen lelang dengan resume hasil penelitian surat gugat, sehingga dapat diketahui dasar hukum dan alat-alat bukti yang akan digunakan dalam penyusunan jawaban. Hasil persandingan yang memuat dasar hukum dan alat-alat bukti dituangkan dalam resume disertai pendapat dan saran,

Page 16: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

10

antara lain: a. perlu atau tidak mengajukan eksepsi dengan menyebutkan alasan hukumnya; b. menolak atau menyangkal dalil penggugat dengan alasan hukum dan disertai

alat-alat bukti. 6. Memenuhi Surat Panggilan

Dalam rangka memenuhi panggilan sidang pertama, hal-hal yang perlu dilakukan oleh penangan perkara, adalah: a. Menghubungi panitera perkara dengan membawa surat tugas untuk memohon

penundaan sidang dalam hal SKU belum diterima. b. Menyampaikan SKU dan surat tugas kepada majelis hakim dalam

persidangan.2 c. Menyampaikan jawaban kepada majelis hakim dalam hal mediasi tidak ada.3 d. Melaporkan hasil persidangan.

7. Menghadiri Sidang Mediasi Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib melalui mediasi. Pada persidangan pertama, majelis hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan perdamaian dengan bantuan mediator. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Para pihak dapat menunjuk mediator dari daftar mediator yang dimiliki pengadilan, yaitu hakim selain ketua dan anggota majelis yang memeriksa perkara, atau mediator di luar daftar pengadilan. Proses mediasi berlangsung paling lama 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator dan hasil akhir proses mediasi berupa kesepakatan atau ketidaksepakatan. Dalam hal dicapai kesepakatan, kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu akta perdamaian dan ditetapkan oleh majelis hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan. Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam jangka waktu yang telah diberikan, maka persidangan dilanjutkan. Hal-hal yang menjadi perhatian penangan perkara dalam proses mediasi antara lain: a. Melakukan koordinasi dengan penyerah piutang mengenai hal-hal apa saja

yang dapat diterima dalam usul perdamaian. b. Menyampaikan materi usul perdamaian. c. Melaporkan konsep hasil perdamaian disertai saran dan pendapat. d. Melaporkan waktu persidangan berikutnya dalam hal tidak tercapai

perdamaian. 8. Menyusun Jawaban

Dalam proses beracara di muka pengadilan negeri, jawaban perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh karena jawaban merupakan hal yang pokok/essensial. Oleh karena itu, semua eksepsi/tangkisan dan sanggahan/

2 Pada pengadilan negeri tertentu SKU didaftar terlebih dahulu pada panitera sebelum disampaikan kepada majelis hakim. 3 Apabila mediasi dilakukan, jawaban disampaikan setelah proses mediasi tidak tercapai.

Page 17: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

11

penolakan terhadap dalil-dalil penggugat dalam pokok perkara harus dikemukakan dalam jawaban. Setiap sanggahan terhadap dalil-dalil penggugat harus menyebut alasan/dasar hukumnya baik berupa peraturan perundangan maupun yurisprudensi Mahkamah Agung. Sanggahan yang tidak mempunyai dasar hukum tidak akan diperhatikan dan akan dikesampingkan. Penyusunan jawaban diawali dengan penelitian dan penilaian terhadap surat gugat guna mengetahui perlu atau tidak eksepsi atau tangkisan diajukan sebelum menyusun jawaban dalam pokok perkara. Pada umumnya jawaban disusun dengan mengikuti pola yang sudah lazim dalam proses beracara di pengadilan, yaitu eksepsi, pokok perkara dan petitum. Namun, ada kalanya dalam gugatan, penggugat juga mengajukan gugatan provisi. 8.1. Dalam eksepsi

8.1.1. Eksepsi kompetensi absolut Eksepsi kompetensi absolut merupakan eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer atau peradilan tata usaha negara. Sesuai dengan ketentuan hukum acara, majelis hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bukan merupakan kewenangannya dan tidak tergantung kepada ada tidaknya eksepsi tergugat. Eksepsi ini sedapat mungkin diajukan pada saat membuat jawaban.

8.1.2. Eksepsi kompetensi relatif Eksepsi kompetensi relatif merupakan eksepsi yang menyangkut kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa perkara. Eksepsi kompetensi relatif ini harus diajukan pada kesempatan pertama tergugat memberikan jawaban. Eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan terpisah, yaitu sebelum pengajuan jawaban mengenai pokok perkara. Pada dasarnya gugatan diajukan pada pengadilan dalam wilayah hukum tergugat bertempat tinggal atau berdasarkan domisili hukum tergugat yang secara tegas dinyatakan dalam akta. Namun, apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum penggugat bertempat tinggal atau kepada pengadilan dalam wilayah hukum objek sengketa berada (benda tetap).

8.1.3. Eksepsi obscuur libel Eksepsi obscuur libel merupakan tangkisan yang menyatakan gugatan penggugat kabur. Hal ini terjadi karena : a. Posita tidak jelas/kabur, sebab dasar hukum yang menjadi dasar

gugatan tidak jelas/tidak ada atau salah satu dari dasar hukum yang dijadikan dasar gugatan tidak jelas.

b. Objek sengketa di dalam gugatan tidak jelas. c. Penggabungan dua atau lebih gugatan yang masing-masing tidak

ada kaitan atau pada hakekatnya berdiri sendiri-sendiri. d. Pertentangan antara posita dengan petitum.

Page 18: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

12

8.1.4. Eksepsi rei judicatie Eksepsi rei judicatie merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem). Nebis in idem terjadi apabila tuntutan/gugatan didasarkan pada alasan yang sama, diajukan oleh dan terhadap orang yang sama serta dalam hubungan yang sama.

8.1.5. Eksepsi declinatoir. Eksepsi declinatoir merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa gugatan merupakan perkara yang sama dan masih dalam proses di pengadilan serta belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

8.1.6. Eksepsi dilatoir. Eksepsi dilatoir merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan masih prematur, misalnya benar bahwa tergugat mempunyai utang kepada penggugat tetapi belum jatuh tempo.

8.1.7. Eksepsi diskualifikasi. Eksepsi diskualifikasi merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa penggugat adalah orang yang tidak mempunyai kualitas/berhak untuk mengajukan gugatan.

8.1.8. Eksepsi error in persona. Eksepsi error in persona merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa yang seharusnya digugat adalah orang lain bukan tergugat

8.1.9. Eksepsi plurium litis consortium. Eksepsi plurium litis consortium merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa gugatan kurang pihak.

8.1.10. Eksepsi premtoir. Eksepsi premtoir merupakan tangkisan yang mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukakan tambahan yang prinsip sehingga gugatan tidak dapat diterima, misalnya dengan mengemukakan bahwa tergugat tidak pernah berutang kepada penggugat atau utang tersebut telah dibayar lunas oleh tergugat kepada penggugat.

8.1.11. Eksepsi koneksitas (exceptie van connexiteit) Eksepsi koneksitas merupakan tangkisan yang menyatakan bahwa perkara yang bersangkutan masih ada hubungan dengan perkara lain yang sedang ditangani oleh pengadilan/instansi lain dan belum ada putusan.

8.2. Dalam provisi Gugatan provisi adalah gugatan penggugat yang memohon agar dilakukan tindakan pendahuluan berdasarkan suatu penetapan hakim dan atau putusan hakim (putusan sela) sebelum putusan akhir dijatuhkan. Gugatan provisi yang ditujukan kepada DJPLN/PUPN pada umumnya mengenai penundaan pelaksanaan lelang, keberatan atas penyitaan, dan permintaan agar terhadap barang jaminan diletakkan conservatoir beslag. Penangan perkara yang mewakili tergugat dapat mengemukakan keberatan atas gugatan dalam provisi dengan alasan-alasan yang jelas seperti: a. Menyatakan bahwa lelang eksekusi tersebut tidak dapat ditunda karena

merupakan pelaksanaan dari suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap (contoh tanggapan atas

Page 19: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

13

permohonan penundaan lelang eksekusi pengadilan). b. Menyatakan bahwa pelaksanaan lelang tidak dapat ditunda karena

pelaksanaan lelang adalah merupakan konsekuensi tidak dipatuhinya surat paksa yang bertitel eksekutorial dan mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti grosse putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding (contoh tanggapan atas permohonan penundaan pelaksanaan lelang).

8.3. Dalam pokok perkara Pokok perkara gugatan yang diajukan kepada DJPLN/PUPN pada umumnya mengenai penundaan atau pembatalan lelang, perbuatan melawan hukum, pengikatan barang jaminan, harta gono gini, penetapan jumlah utang, keberatan atas penyitaan, dan keberatan atas pengosongan. Jawaban atas gugatan pada umumnya bersifat menolak/membantah dalil-dalil penggugat, namun ada juga jawaban yang sifatnya membenarkan dalil penggugat apabila dalil tersebut menguntungkan tergugat. Untuk mendukung alasan-alasan atau dalil-dalil dalam jawaban, penangan perkara harus mengemukakan dasar-dasar hukum dalam dalil-dalil jawabannya agar diperhatikan oleh majelis hakim. Oleh karena itu, penangan perkara dalam menyusun jawaban hendaknya mempelajari : a. peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. yurisprudensi Mahkamah Agung; c. pendapat para ahli; d. literatur lain yang berkaitan dengan objek gugatan; e. petitum gugatan dikaitkan dengan tiap-tiap dalil gugatan. Jawaban ditujukan terhadap dalil-dalil penggugat yang secara langsung berkaitan dengan pelaksanaan tugas DJPLN/PUPN dan apabila dipandang perlu penangan perkara dapat juga menanggapi dalil-dalil yang ditujukan kepada tergugat lain sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengurusan piutang negara dan lelang. Jawaban disusun secara sistematis dan urut dimulai dengan mengemukakan sanggahan terhadap dalil penggugat disertai alasan hukum, fakta hukum yang dimiliki dan dikuatkan dengan dasar hukum yang mendukung fakta hukum tersebut. Contoh : - Bahwa pelaksanaan lelang pada tanggal …………… atas sebidang tanah

di Jalan ……………. adalah sah dan berharga. - Bahwa pelaksanaan lelang pada tanggal …………. atas sebidang tanah

di Jalan ………… telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Vendu Reglement ……….. dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor ……………..

- Bahwa Buku II Mahkamah Agung dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor …………… menyebutkan bahwa pelaksanaan lelang yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.

- Bahwa Penggugat dalam gugatannya pada butir ………. mengakui bahwa tanah sengketa merupakan jaminan utang Penggugat kepada ………... Pengakuan tersebut merupakan bukti sempurna karena dikemukakan dalam persidangan.

Jawaban yang disampaikan adalah hal-hal yang menguntungkan DJPLN/PUPN, dan hal-hal yang merugikan tidak perlu dikemukakan.

Page 20: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

14

8.4. Petitum Selain jawaban dalam eksepsi dan pokok perkara, penangan perkara dalam menyusun jawaban memasukkan hal-hal yang dimohonkan kepada majelis hakim (petitum). Petitum terdiri dari primair dan subsidair. Petitum primair memuat tuntutan pokok termasuk dalam eksepsi dan pokok perkara.4 Sedangkan petitum subsidair umumnya memuat kalimat “Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”. Dalam menyusun petitum pada jawaban terdapat hal-hal umum yang biasanya dicantumkan seperti : - menerima eksepsi tergugat seluruhnya; - menolak gugatan penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya tidak dapat

menerima; - menerima seluruh jawaban tergugat; - menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara. Selain hal-hal umum di atas, dalam petitum harus juga dikemukakan keinginan lain tergugat seperti : - menyatakan bahwa lelang tersebut adalah sah dan tidak dapat

dibatalkan; - menyatakan bahwa penyitaan yang dilakukan tergugat telah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Dalam perkara perdata, petitum sangat penting karena secara prinsip hakim harus memutus sebatas petitum yang diajukan baik oleh penggugat maupun tergugat dan hakim tidak boleh memutus lebih dari apa yang diminta. Oleh karena itu, agar majelis hakim dapat memutus tidak terbatas pada hal yang dinyatakan secara tegas dalam petitum, maka pada akhir petitum sebaiknya dicantumkan kalimat “Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”.

8.5. Dalam gugat balik/gugat rekonvensi Gugat balik/rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat dalam jawaban terhadap gugatan penggugat. Gugat balik/rekonvensi harus dikemukakan bersamaan dengan pengajuan jawaban. Dalam gugat balik/rekonvensi kedudukan penggugat dalam konvensi menjadi tergugat dalam rekonvensi dan tergugat dalam konvensi menjadi penggugat dalam rekonvensi. Gugat balik/rekonvensi hanya dapat diajukan kepada penggugat dan tidak dapat diajukan kepada tergugat lain dalam perkara tersebut. Penggugat dalam rekonvensi (tergugat dalam konvensi) dapat mengajukan gugat balik dalam segala hal perkara, kecuali: a. Penggugat dalam gugat konvensi mewakili kepentingan orang lain dan

tidak bertindak untuk diri sendiri. Misalnya, penggugat dalam gugat konvensi bertindak sebagai wali, tetapi gugat rekonvensi ditujukan terhadap pribadi wali.

4 Apabila dalam gugatan terdapat gugat provisi, maka isi petitum memuat pula petitum dalam provisi. Demikian pula apabila diajukan gugat balik/rekonvensi, maka isi petitum juga memuat petitum dalam rekonvensi.

Page 21: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

15

b. Apabila pengadilan negeri yang memeriksa gugatan konvensi tidak berwenang secara mutlak untuk memeriksa gugat balik/rekonvensi. Misalnya, objek gugatan dalam konvensi adalah utang piutang, sedangkan objek gugatan dalam gugat balik/rekonvensi memohon kepailitan tergugat dalam rekonvensi.

c. Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan hakim. d. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugat

balik/rekonvensi, maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan gugat balik/rekonvensi.

Gugat balik/rekonvensi dalam pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang dapat diajukan, misalnya penggugat dalam konvensi (tergugat dalam rekonvensi) telah menghambat penagihan piutang negara dan mengakibatkan kerugian negara atau penggugat dalam konvensi (tergugat dalam rekonvensi) hanya berusaha menunda-nunda pelaksanaan lelang yang mengakibatkan kerugian negara. Dalam gugat balik/rekonvensi yang demikian penangan perkara selaku kuasa dari tergugat dalam konvensi dapat menuntut ganti rugi baik materil maupun immateril (moril).

9. Menyampaikan Jawaban Setelah melalui proses mediasi dan proses pemeriksaan perkara dilanjutkan, penangan perkara menghadiri sidang pada waktu yang telah ditetapkan untuk menyampaikan jawaban yang telah disusun. Setelah selesai mengikuti persidangan, penangan perkara wajib membuat laporan hasil sidang secara tertulis kepada atasannya.

10. Menerima Replik Replik adalah jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat yang pada pokoknya memuat tanggapan terhadap sanggahan/dalil-dalil yang diajukan oleh tergugat dalam jawabannya, seraya menjelaskan dalil-dalil dalam surat gugat. Dalam acara replik penangan perkara melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menghadiri persidangan. b. Menerima replik penggugat. c. Membuat laporan hasil sidang secara tertulis.

11. Mengajukan Duplik Duplik adalah bantahan terhadap replik yang diajukan oleh penggugat. Duplik tidak wajib disampaikan, namun apabila penggugat mengajukan replik atas jawaban tergugat, penangan perkara juga harus menyusun duplik. Selain berfungsi sebagai bantahan atas replik, duplik juga berfungsi sebagai pelengkap jawaban. Hal-hal yang belum dimasukkan dalam jawaban atau sekedar untuk memperkuat dalil-dalil yang sudah disampaikan dalam jawaban dapat dikemukakan dalam duplik. Teknik pembuatan duplik pada dasarnya sama dengan teknik pembuatan jawaban, yaitu terdiri dari eksepsi, pokok perkara dan petitum. Dalam duplik umumnya dicantumkan bahwa tergugat tetap pada jawaban atau pendirian semula dan menolak semua dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat. Adakalanya dalam replik terdapat dalil yang menguntungkan tergugat. Dalil tersebut sebaiknya dikuatkan dalam duplik. Dalam acara duplik, penangan perkara melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menghadiri persidangan. b. Menyampaikan duplik. c. Membuat laporan hasil sidang secara tertulis.

Page 22: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

16

12. Menyampaikan Bukti Acara pembuktian dilakukan setelah proses pengajuan duplik oleh tergugat. Dalam jawab-menjawab di muka sidang pengadilan negeri, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya, maupun untuk membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa yang dikemukakan harus disertai pembuktian secara yuridis, yaitu penyajian alat bukti yang sah menurut hukum kepada majelis hakim yang memeriksa perkara. Alat bukti yang diajukan di muka persidangan adalah alat bukti yang menguntungkan dan mendukung dalil-dalil yang diajukan dalam jawaban dan duplik. Alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari bukti surat (tulisan), bukti saksi, sangka, pengakuan, dan sumpah.5 Namun demikian, alat bukti yang sering diajukan dalam persidangan adalah bukti surat dan bukti saksi. 12.1. Bukti surat

Peradilan perdata mengutamakan kebenaran formil, sehingga alat bukti berupa surat sangat penting. Alat bukti surat (tulisan) terdiri dari akta dan bukan akta. 12.1.1. Akta terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan.

a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan Undang-Undang. Akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat artinya apa yang tercantum dalam akta tersebut harus dianggap sebagai sesuatu yang benar sepanjang ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Sempurna artinya akta otentik sudah cukup untuk membuktikan suatu peristiwa tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain. Contoh: akta kelahiran, akta jual beli tanah.

b. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta di bawah tangan merupakan akta yang sempurna sepanjang tanda tangan yang ada didalamnya diakui oleh pihak-pihak, namun tidak mengikat terhadap pihak ketiga. Contoh: kuitansi yang tandatangan didalamnya diakui pihak-pihak.

12.1.2. Surat biasa (bukan akta) Surat biasa adalah setiap tulisan yang ditandatangi atau tidak oleh pembuatnya tentang suatu peristiwa dan dibuat bukan dengan maksud sebagai alat bukti, namun secara kebetulan menjadi alat bukti di pengadilan. Kekuatan pembuktian surat (tulisan) ini adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut. Contoh: surat-surat pribadi antara seorang sahabat atau keluarga.

Kekuatan pembuktian suatu tulisan terdapat pada akta yang asli. Apabila terdapat akta yang asli, salinan dicocokkan dengan aslinya. Namun, apabila akta asli tidak ada atau hilang, maka salinan akta yang hilang hanya sebagai suatu permulaan pembuktian.

5 Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg.

Page 23: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

17

Dalam rangka penyampaian alat bukti surat dalam persidangan, penangan perkara menyampaikan fotokopi bukti-bukti yang telah dibubuhi materai dan dilegalisir (leges) di kantor pos dengan memperlihatkan bukti-bukti asli kepada majelis hakim guna pencocokan. Surat asli atau akta otentik tidak perlu diberikan kepada majelis hakim. Fotokopi yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedangkan terdapat hal yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua belah pihak, bukan merupakan bukti yang sah menurut hukum.6 Untuk mengajukan bukti surat maka dibuatlah daftar bukti yang akan diajukan. Bukti-bukti disusun berdasarkan tingkat kepentingannya dan atau urutan waktu. Untuk memudahkan sebaiknya alat bukti diberi tanda (kode). Alat bukti tergugat ditandai dengan T, tergugat dua ditandai dengan TII sedangkan turut tergugat ditandai dengan TT. Dalam kedudukan sebagai tergugat dua, maka penandaan pada alat bukti dilakukan seperti T.II.1, T.II.2, dan seterusnya. Untuk mendukung dalil-dalil yang diajukan, setiap bukti harus diberi keterangan sebagai apa dan untuk apa.

Contoh :

No. Urut

Jenis Alat Bukti Kode Keterangan

1. Surat Penyerahan dari Penyerah Piutang No……. tanggal ……..

T.II.1 Surat sebagai bukti telah terjadi penyerahan pengurusan piutang negara.

2. SP3N No…….. T.II.2 Surat Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang yang menerima pengurusan piutang negara, berarti secara yuridis pengurusan piutang negara telah beralih kepada PUPN.

dst. dst. dst. dst.

12.2. Bukti saksi

Apabila bukti surat dirasa kurang cukup, para pihak dapat mengajukan saksi untuk didengar keterangannya. Namun demikian, sekalipun bukti surat dirasa telah cukup, dapat pula diajukan saksi yang menguntungkan. Kesaksian adalah pemberian keterangan di depan majelis hakim yang dilakukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara. Keterangan tersebut hanya berkaitan dengan peristiwa atau kejadian yang dialami sendiri oleh saksi dan bukan merupakan pendapat atau penafsiran. Keterangan saksi dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwanya, bukan untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya. Sedangkan keterangan yang membantu hakim dalam menilai peristiwa merupakan keterangan ahli yang bukan merupakan alat bukti dalam perkara perdata. Keterangan ahli ini dalam praktek pengadilan sering disebut “saksi ahli”. Dalam hal penggugat mengajukan saksi, sebaiknya penangan perkara mengajukan pertanyaan yang lebih memperkuat dalil-dalil dalam jawaban

6 Putusan MA No. 701 K/Sip/1974 tgl. 14 April 1976.

Page 24: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

18

atau duplik. Apabila ada dalil-dalil yang dikuatkan oleh saksi penggugat, sebaiknya penangan perkara meminta penegasan kepada saksi atas dalil tersebut dan memohon kepada majelis hakim untuk dicatat. Dalam hal penangan perkara mengajukan saksi, penangan perkara sebaiknya memberikan arahan tentang hal-hal yang mungkin ditanyakan kepada saksi dalam persidangan. Untuk memudahkan pemberian arahan perlu disusun daftar pertanyaan dan jawaban untuk didiskusikan dengan saksi. Ada baiknya pengajuan saksi dikoordinasikan dengan tergugat lain, seperti penyerah piutang, dan kantor pertanahan. Dalam acara pembuktian, penangan perkara melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menghadiri persidangan. b. Mengajukan alat bukti. c. Membuat laporan hasil sidang secara tertulis.

13. Menyampaikan Kesimpulan Kesimpulan disusun setelah acara pembuktian berakhir. Kesimpulan biasanya memuat: a. kesimpulan dari jawab-menjawab; b. kesimpulan pembuktian surat; dan c. kesimpulan pembuktian saksi. Kesimpulan dapat juga berarti menguatkan dalil-dalil yang sudah diajukan pada acara persidangan awal dan menolak dalil-dalil yang diajukan penggugat. Tujuan pengajuan kesimpulan adalah untuk menyampaikan pendapat kepada majelis hakim tentang gugatan tidak terbukti. Dalam kesimpulan biasanya kata-kata seperti ini umum disampaikan, yaitu: a. Bahwa sudah terbukti …………….. b. Bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan …………. c. Bahwa berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh Penggugat ……….. Susunan kesimpulan sama dengan jawaban dan duplik yaitu eksepsi, pokok perkara dan petitum.

B. Mengajukan Gugatan

Pada umumnya DJPLN/PUPN merupakan pihak tergugat. Namun, tidak tertutup kemungkinan DJPLN/PUPN mengajukan gugatan kepada pihak lain. Sebagai pihak yang berinisiatif melakukan gugatan, DJPLN/PUPN mempunyai peranan penting terhadap jalannya proses perkara. Gugatan yang diajukan harus didukung oleh kejadian-kejadian/fakta-fakta hukum dan dasar hukum yang cukup kuat serta disusun secara sistematis. 1. Persiapan Penyusunan Surat Gugat

Sebelum menyusun surat gugat penangan perkara harus yakin ada perselisihan/ sengketa antara DJPLN/PUPN dengan pihak-pihak yang akan digugat. Untuk itu, penangan perkara perlu melakukan persiapan yang matang menyangkut penelitian terhadap objek gugatan, pihak yang akan digugat, dan pengadilan tempat gugatan akan diajukan dan didaftarkan. 1.1. Penelitian objek gugatan dan pengumpulan bahan gugatan

Sebelum menyusun gugatan, penangan perkara perlu menentukan objek sengketa dan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan (alasan gugatan). Selanjutnya, fakta-fakta hukum diinventarisir misalnya kejadian-

Page 25: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

19

kejadian hukum yang dianggap telah dilanggar dan/atau kejadian-kejadian hukum lain yang dapat mendukung gugatan. Setelah dilakukan inventarisasi fakta hukum, peristiwa hukum, maka penangan perkara mengumpulkan bahan-bahan peraturan perundangan, literatur, dan yurisprudensi serta bukti-bukti yang mendukung gugatan. Bukti-bukti tersebut dapat berupa bukti tertulis seperti surat, surat keputusan, akta, berita acara maupun bukti saksi. Pengumpulan bukti yang cukup dan disusun secara rapi sangat mendukung gugatan mengingat perkara perdata lebih mengutamakan kebenaran formil dari pada kebenaran materil.

1.2. Penelitian para pihak Penangan perkara harus benar-benar mengetahui identitas pihak yang akan digugat, termasuk alamat tempat tinggalnya (domisili hukum). Hal ini sangat penting karena gugatan harus diajukan terhadap pihak yang tepat dan diajukan/didaftarkan di pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup tempat tinggal pihak yang akan digugat. Apabila pihak yang akan digugat lebih dari satu, maka gugatan harus ditujukan kepada semua pihak untuk menghindari tidak terjadi kurang pihak. Misalnya, dalam sengketa tanah, perlu menarik kantor pertanahan dan PPAT/notaris menjadi pihak yang akan digugat. Kesalahan dalam menentukan pihak yang digugat dapat berakibat gugatan ditangkis (dieksepsi) oleh tergugat/para tergugat, yaitu eksepsi error in persona.

1.3. Pengadilan Pada dasarnya gugatan diajukan di pengadilan tempat tinggal tergugat, tetapi ada beberapa pengecualian, antara lain: a. Apabila tergugat lebih dari satu, gugatan diajukan di wilayah hukum

pengadilan negeri tempat tinggal salah satu tergugat menurut pilihan penggugat.

b. Apabila tergugat tidak diketahui alamatnya, gugatan diajukan di pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah satu penggugat atau di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi benda tetap yang menjadi objek sengketa terletak.

2. Persiapan Surat Kuasa Khusus Apabila berdasarkan hasil penelitian, penangan perkara yakin untuk mengajukan gugatan maka penangan perkara mempersiapkan permohonan penerbitan SKU kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Permohonan penerbitan SKU pada prinsipnya sama dengan permohonan penerbitan SKU dalam hal DJPLN/PUPN berkedudukan sebagai tergugat.

3. Penyusunan Gugatan Penyusunan gugatan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini: 3.1. Identitas para pihak

Pada gugatan dicantumkan identitas para pihak, yaitu identitas penggugat dan tergugat. Identitas penggugat (untuk DJPLN/PUPN) disebutkan dari jenjang tertinggi, yaitu Pemerintah RI cq. Menteri Keuangan RI cq. DJPLN/ PUPN Pusat cq. Kanwil ....... cq. KP2LN ........ Pencantuman dan penulisan identitas tergugat perlu dilakukan secara cermat dan tepat untuk menghindari tangkisan (eksepsi) tergugat. Dalam

Page 26: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

20

hal terdapat lebih dari satu tergugat, identitas tergugat disusun berdasarkan tingkat kepentingan, dimulai dari tergugat utama.

3.2. Menyusun gugatan provisi Pada dasarnya isi gugatan terdiri dari posita dan petitum. Namun, beberapa gugatan mencantumkan gugatan provisi. Gugatan ini adalah gugatan yang diajukan untuk mendapatkan putusan sela dari majelis hakim, karena apabila menunggu sampai dengan putusan akhir akan memakan waktu yang cukup lama.

Umumnya gugatan provisi dilakukan untuk menunda eksekusi ataupun mendahulukan eksekusi. Hal ini tercantum dalam petitum dalam gugatan provisi.

3.3. Menyusun pokok perkara (posita) Dalam menyusun pokok perkara harus dimuat uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum yang menjelaskan duduk perkara dan adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan/gugatan. Penyusunan pokok perkara dimulai dari kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, misalnya, tergugat menjual barang jaminan tanpa sepengetahuan kreditor/DJPLN/PUPN. Penangan perkara tidak hanya mendalilkan bahwa jual beli tersebut tidak sah tetapi juga harus menyebutkan bahwa barang tersebut merupakan barang jaminan yang telah disita PUPN seraya mengemukakan bukti penjaminan dan berita acara penyitaannya. Dalam menguraikan dalil-dalil dalam posita, penangan perkara sebaiknya mempertimbangkan keterkaitan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain. Posita disusun secara sistematis, mudah dimengerti, dan hindari pemakaian kalimat yang panjang.

3.4. Menyusun petitum Petitum atau tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan oleh Penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Penangan perkara harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas untuk menghindari gugatan kabur (obscure libel) dan dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak. Dalam menyusun petitum (tuntutan) penangan perkara harus memperhatikan tujuan gugatan, misalnya apakah gugatan itu bertujuan untuk membatalkan suatu peristiwa hukum seperti eksekusi (diluar eksekusi PUPN) atau menuntut untuk dilakukannya suatu peristiwa hukum. Hal ini harus dicantumkan secara tegas di dalam petitum gugatan. Selain itu dalam petitum dapat pula dicantumkan tuntutan ganti rugi dengan menguraikan perhitungan secara jelas dan rinci di dalam posita. Tuntutan ganti rugi tidak hanya diperhitungkan terhadap hal yang bersifat materil tetapi dapat juga terhadap hal yang bersifat immateril. Adakalanya dalam petitum dimasukkan juga tuntutan uang paksa (dwangsoom). Hal ini dimaksudkan untuk memaksa pihak tergugat segera mematuhi isi putusan. Dwangsoom ini akan menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang setiap harinya sejak putusan berlaku efektif sampai dengan putusan dilaksanakan. Petitum terdiri dari petitum dalam provisi (kalau ada) dan petitum dalam pokok perkara.

Page 27: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

21

Petitum dalam pokok perkara terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu petitum primair dan petitum subsidair. Petitum primair berisi tentang hal-hal pokok yang dimohonkan untuk dikabulkan oleh majelis hakim, sedangkan petitum subsidair memuat hal-hal selain yang disebutkan dalam petitum primair. Petitum primair antara lain berisikan hal-hal sebagai berikut : a. Menerima gugatan Penggugat seluruhnya atau mengabulkan gugatan

Penggugat seluruhnya. b. Menyatakan sah dan berharga sita (conservatoir, revindicatoir) yang

telah diletakkan oleh juru sita Pengadilan Negeri ............. c. Menyatakan perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan

hukum. d. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar.............

kepada Penggugat. e. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu

(uitvoerbaar bij voorraad) meskipun Tergugat melakukan upaya banding atau kasasi.

f. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini.

Petitum Subsidair berisi “apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”.

4. Pendaftaran Gugatan Surat gugatan didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang mengadili/memeriksa perkara tersebut. Pendaftaran gugatan dilakukan bersamaan dengan pendaftaran surat kuasa penggugat dan sekaligus membayarkan uang muka biaya perkara.

5. Penyusunan Replik Penyusunan replik didahului dengan meneliti jawaban tergugat, termasuk eksepsi. Penyusunan replik pada dasarnya sama dengan cara penyusunan jawaban. Replik harus disusun secara sistematis dan urut sesuai dengan jawaban tergugat. Tangkisan disusun berdasarkan dalil-dalil yang diajukan tergugat dalam jawaban. Selain menangkis, replik dapat berfungsi sebagai penegasan atas dalil-dalil yang telah disampaikan pada gugatan sekaligus mematahkan dalil-dalil tergugat dalam jawaban.

6. Pengajuan Bukti Dalam posisi sebagai penggugat, penangan perkara harus mempersiapkan alat bukti sejak gugatan akan diajukan. Pengajuan alat bukti sama dengan proses pengajuan alat bukti dalam kedudukan sebagai tergugat. Namun, dalam penandaan/pengkodean alat bukti tertulis disesuaikan dengan kedudukan sebagai penggugat, seperti P.1, P.2, dan seterusnya.

7. Penyusunan Kesimpulan Kesimpulan bukan merupakan suatu keharusan, tetapi sudah merupakan kebiasaan dalam praktek peradilan selalu ada penyusunan kesimpulan oleh para pihak yang berperkara. Tujuan kesimpulan untuk menyampaikan pendapat kepada hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu gugatan.

Page 28: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

22

Dalam menyusun kesimpulan hendaknya dilakukan secara ringkas dan jelas dengan mengemukakan hal-hal yang terbukti dan atau yang tidak terbukti berdasarkan acara persidangan sebelumnya. Isi dari kesimpulan memuat: a. Kesimpulan jawab-menjawab. b. Kesimpulan dari bukti tertulis. c. Kesimpulan dari saksi.

Page 29: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

23

BAB IV PETUNJUK PENANGANAN PERKARA TATA USAHA NEGARA

Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul di bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Dalam hal badan atau pejabat TUN digugat oleh orang atau badan hukum perdata, pejabat TUN akan menerima relaas panggilan sidang beserta salinan gugatan.8 Dalam praktek tidak tertutup kemungkinan bahwa relaas panggilan tidak disertai dengan surat gugat mengingat pemanggilan tersebut baru dalam tahap acara pemeriksaan pendahuluan. Badan/pejabat TUN yang digugat (tergugat) akan menerima surat gugat setelah dipanggil menghadiri sidang berikutnya. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.9 Dari pengertian keputusan TUN ini terdapat beberapa hal yang perlu mendapat penjelasan, yaitu: 1. Penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi bukan kepada bentuk keputusan

yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan ini memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan dari segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota yang memenuhi syarat tertulis tersebut merupakan keputusan TUN menurut undang-undang, apabila sudah jelas: a. badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.10

2. Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat TUN di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan eksekutif.

3. Tindakan hukum TUN adalah perbuatan badan atau pejabat TUN yang bersumber pada ketentuan hukum TUN yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi orang lain.

4. Keputusan TUN bersifat kongkrit, individual, dan final. Konkrit artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu dan dapat ditentukan. Individual artinya keputusan TUN tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari satu orang, tiap-tiap nama yang terkena keputusan tersebut disebutkan. Final artinya sudah definitif dan karenanya menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karena belum menimbulkan suatu

7 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU PTUN). 8 Pasal 59 ayat (4) UU PTUN. 9 Pasal 1 angka 3 UU PTUN. 10 Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU PTUN.

Page 30: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

24

hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.11 A. Persiapan Menghadapi Gugatan

Dalam persiapan menghadapi gugatan, penangan perkara perlu memperhatikan dismissal procedure, pemeriksaan persiapan, dan meneliti surat gugat. 1. Dismissal Procedure

Dalam peradilan TUN dikenal istilah dismissal procedure, yaitu rapat permusyawaratan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan TUN untuk menentukan dapat tidaknya suatu gugatan disidangkan di pengadilan TUN sesuai dengan persyaratan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU PTUN). Dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan TUN berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila : a. pokok gugatan yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan nyata-nyata

tidak termasuk wewenang pengadilan TUN; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU

PTUN tidak dipenuhi sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan; c. gugatan tersebut didasarkan alasan-alasan yang tidak layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh

keputusan TUN yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Apabila salah satu dari syarat tersebut telah terpenuhi, maka ketua pengadilan TUN harus mengeluarkan penetapan yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak berdasar. Namun, apabila ketua pengadilan TUN menganggap gugatan tersebut telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai gugatan, maka ketua pengadilan TUN membentuk majelis hakim yang akan mengadili perkara gugatan tersebut.

2. Pemeriksaan Persiapan Selain acara rapat permusyawaratan (dismissal procedure), dalam acara peradilan TUN dikenal acara pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh hakim sebelum pemeriksaan pokok gugatan. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Hal ini diatur dalam Pasal 63 UU PTUN yang berbunyi: (1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib

mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.

(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim : a. wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki

gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari;

11 Ibid.

Page 31: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

25

b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, tergugat belum menyempurnakan gugatannya, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatannya tidak dapat diterima.

(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

3. Penelitian Surat Gugat Hal yang harus dilakukan oleh penangan perkara apabila menerima surat gugat adalah memeriksa dan meneliti syarat formil surat gugat tersebut, yaitu : 3.1. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat :

untuk mengetahui apakah penggugat adalah pihak yang memiliki hubungan hukum dengan tergugat maupun dengan keputusan TUN yang digugat;

3.2. nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat: untuk mengetahui apakah benar pejabat TUN tersebut yang mengeluarkan keputusan TUN yang digugat, dan untuk mengetahui apakah peradilan TUN yang akan mengadili perkara tersebut adalah pengadilan TUN yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut;

3.3. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan: untuk mengetahui benar tidaknya dasar gugatan yang diajukan oleh penggugat, menyangkut objek gugatan berupa keputusan TUN yang dikeluarkan;

3.4. objek gugatan berupa keputusan TUN yang digugat: untuk mengetahui apakah objek gugatan yang berupa keputusan TUN tersebut telah memenuhi syarat untuk diajukan gugatan atau belum atau telah lewat waktu.

Apabila surat gugat tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, penangan perkara dapat mengajukan keberatan berupa eksepsi dalam jawaban atau mengajukan keberatan tersebut pada saat memenuhi panggilan ketua pengadilan TUN dalam dismissal procedure.

B. Penyusunan Jawaban atas Gugatan

Dalam penyusunan jawaban atas gugatan, penangan perkara perlu melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Penelitian dan Pencantuman Identitas Para Pihak

Sebelum jawaban disusun, penangan perkara meneliti identitas para pihak yang tercantum dalam surat gugat. Tujuan penelitian identitas para pihak adalah untuk mengetahui apakah surat gugat sudah memuat secara lengkap pihak-pihak yang digugat atau masih ada pihak lain yang seharusnya digugat tetapi belum dimasukan sebagai pihak dalam gugatan. Hal ini sangat penting untuk menentukan apakah perlu dilakukan eksepsi tentang kualitas penggugat, error in persona, atau gugatan kurang pihak. Jawaban disusun secara sistematis dengan mencantumkan identitas tergugat terlebih dahulu seperti Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ........ beralamat ........ sebagai Tergugat ........ Penangan

Page 32: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

26

perkara harus meneliti apakah gugatan ditujukan kepada DJPLN atau kepada PUPN. Hal ini untuk mengetahui dalam kapasitas apa tergugat digugat. Identitas penggugat juga perlu dicantumkan sebagaimana yang dicantumkan dalam gugatan penggugat. Jawaban ditujukan kepada majelis hakim yang mengadili perkara.

2. Penyusunan Eksepsi Setelah pencantuman identitas para pihak, penangan perkara menyusun jawaban dimulai dari eksepsi (apabila dianggap perlu), yaitu tangkisan yang tidak menyangkut pokok perkara. Penangan perkara sebaiknya meneliti kelemahan-kelemahan dalam gugatan, guna dirumuskan dalam eksepsi dengan harapan majelis hakim yang memeriksa perkara dapat memutus “gugatan tidak dapat diterima” (NO=Niet Onvankelijk verklard) atau “gugatan ditolak”. Perumusan eksepsi tergantung pada hasil penelitian surat gugat, namun dalam hal menurut pertimbangan penangan perkara tidak terdapat alasan untuk mengajukan eksepsi, maka jawaban langsung pada pokok perkara. Agar eksepsi yang diajukan dapat tersusun secara cermat dan tepat, penangan perkara terlebih dahulu harus mengetahui jenis-jenis eksepsi, karena setiap jenis eksepsi berbeda fungsinya. Adapun jenis-jenis eksepsi tersebut adalah : 2.1. Eksepsi kompetensi absolut

Eksepsi ini dapat diajukan tersendiri, terpisah dari jawaban dalam pokok sengketa dan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan. Bahkan hakim karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan yang bersangkutan sekalipun eksepsi ini tidak diajukan.12 Eksepsi kompetensi absolut diajukan dalam hal error in objecto (cacat sebagai objek), yaitu: a. objek gugatan tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan TUN

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU PTUN; b. keputusan TUN yang diatur dalam Pasal 2 UU PTUN; c. objek TUN tersebut telah dicabut atau telah diterbitkan objek TUN

yang baru. 2.2. Eksepsi kompetensi relatif

Eksepsi ini diajukan sebelum jawaban dalam pokok sengketa disampaikan, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.13 Eksepsi ini diajukan apabila gugatan penggugat diajukan ke pengadilan TUN yang daerah hukumnya tidak meliputi tempat kedudukan tergugat.

2.3. Eksepsi lain-lain Eksepsi ini adalah eksepsi di luar eksepsi kompetensi absolut dan eksepsi kompetensi relatif. Eksepsi ini terdiri dari beberapa jenis, antara lain:

12 Pasal 77 ayat (1) UU PTUN. 13 Pasal 77 ayat (2) UU PTUN.

Page 33: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

27

2.3.1. Eksepsi error in persona (cacat sebagai subjek) Hal ini terjadi karena : a. Diskualifikasi in persona (tidak memenuhi syarat sebagai

pihak) sebab penggugat belum dewasa, penggugat bukan yang berkepentingan atau di bawah pengampuan, serta kuasa tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan (tidak ada surat kuasa atau surat kuasa khusus tidak sah).

b. Gemis Aanhoedanigheid (tidak tepat ditarik sebagai tergugat) sebab Pejabat TUN digugat sebagai pribadi.

c. Plurium Litis Consortium (tidak lengkap penarikan sebagai tergugat) sebab Pejabat TUN yang digugat sudah tidak berwenang karena wewenangnya telah beralih kepada pejabat lain, atau wewenangnya telah dihapus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.3.2. Eksepsi obscuur libel (gugatan cacat formil karena tidak jelas atau kabur) Hal ini terjadi karena : a. Posita tidak jelas, sebab dasar hukum yang menjadi dasar

gugatan tidak jelas/tidak ada/dicabut. b. Tidak jelas objek sengketa di dalam gugatan. c. Penggabungan dua atau lebih gugatan yang masing-masing

tidak ada kaitan yang erat atau pada hakekatnya berdiri sendiri-sendiri.

d. Pertentangan antara posita dengan petitum. e. Petitum atau posita tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 53

dan Pasal 97 ayat (9) UU PTUN. 2.3.3. Eksepsi gugatan prematur

Gugatan tertunda karena belum waktunya untuk diajukan, karena syarat yang ditentukan belum terjadi (Pasal 1 butir 3, Pasal 3 ayat (2) dan (3), Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 55 UU PTUN).

2.3.4. Eksepsi gugatan kadaluwarsa/lewat waktu Gugatan diajukan dalam waktu yang telah melampaui batas waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak diterbitkannya atau diketahuinya objek TUN tersebut.14

2.3.5. Eksepsi rei judicata deductae Objek gugatan masih bergantung pada putusan perkara lain yang masih dalam proses pemeriksaan, misalnya objek gugatan pernah diajukan dan diputus tidak dapat diterima atau objek gugatan masih dalam proses banding/kasasi.

3. Penyusunan Jawaban Jawaban dalam pokok perkara dirumuskan sedemikian rupa untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan penggugat dalam materi pokok gugatan. Penyusunan jawaban dalam pokok perkara dilakukan dengan cara sebagai berikut:

14 Pasal 55 UU PTUN.

Page 34: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

28

a. membantah dalil-dalil penggugat point per point; b. memberikan alasan-alasan dan dasar hukum jawaban tergugat yang

membantah dalil-dalil penggugat yang tidak benar dan tidak berdasar; c. menyatakan dalil-dalil gugatan penggugat yang dibantah tersebut

ditolak; d. menolak permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang

diajukan oleh penggugat. Untuk mendukung alasan-alasan atau dalil-dalil dalam jawaban, penangan perkara harus mengutamakan dasar-dasar hukum yang berlaku agar jawabannya menjadi pasti dan diperhatikan oleh majelis hakim. Oleh karena itu, penangan perkara di dalam membuat jawaban antara lain mengacu pada : a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku atas kasus gugatan. b. Yurisprudensi Mahkamah Agung (putusan kasasi dari Mahkamah

Agung yang telah berkekuatan hukum tetap). c. Literatur. d. Asas-asas umum pemerintahan yang baik. e. Pendapat para ahli. Pada umumnya objek gugatan TUN yang ditujukan kepada DJPLN/PUPN adalah: a. Surat Perintah Pengurusan Piutang negara (SP3N) b. Penetapan Jumlah Piutang Negara c. Surat Paksa d. Surat Perintah Penyitaan e. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan f. Pengumuman Lelang g. Pemberitahuan Lelang h. Risalah Lelang

4. Penyusunan Petitum Isi petitum adalah permohonan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara untuk memberikan putusan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu, penangan perkara menyusun petitum jawaban sebagai berikut : 4.1. Dalam eksepsi :

a. menyatakan eksepsi tergugat benar dan dapat diterima; b. menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.

4.2. Dalam pokok sengketa: a. menyatakan menolak seluruh gugatan penggugat; b. menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang

timbul; c. apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang

seadil-adilnya (ex aequo et bono). 5. Penyusunan Duplik

Setelah menerima replik dari penggugat, penangan perkara menyusun tanggapan atas replik penggugat yang dituangkan di dalam duplik. Penyusunan duplik pada dasarnya sama dengan pola penyusunan jawaban, yaitu terdiri dari eksepsi, pokok sengketa dan petitum. Perbedaannya hanya mengenai dalil yang dibantah, yaitu bantahan ditujukan kepada dalil penggugat yang terdapat di dalam replik. Dalam duplik pihak tergugat

Page 35: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

29

masih memiliki kesempatan untuk mengubah alasan-alasan yang mendasari jawabannya terdahulu dengan syarat alasan tersebut harus cukup berdasar serta tidak merugikan penggugat15.

C. Pengajuan Bukti

Setelah acara persidangan berupa penyerahan duplik dari tergugat selesai, maka persidangan akan dilanjutkan dengan acara pembuktian (surat dan saksi). Dalam pembuktian, majelis hakim pengadilan TUN bersifat aktif, yaitu dapat meminta para pihak untuk mengajukan bukti-bukti tertentu (vide Pasal 107 UU PTUN). Pihak yang memiliki kesempatan pertama untuk mengajukan bukti adalah pihak penggugat dan dilanjutkan dengan pengajuan bukti dari tergugat. Acara pembuktian terbagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu : 1. Pemeriksaan Alat Bukti Surat

Pada umumnya dalam acara pembuktian, para pihak yang berperkara hanya menggunakan kesempatan pemeriksaan alat bukti surat, karena bukti surat sudah dapat meyakinkan majelis hakim bahwa apa yang didalilkan memiliki dasar hukum yang kuat dan pantas untuk dimenangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan oleh penangan perkara dalam pengajuan bukti surat adalah sebagai berikut : a. Menyiapkan seluruh bukti-bukti pengurusan piutang negara dan

pelaksanaan lelang serta bukti-bukti yang mendukung jawaban dan duplik, terutama bukti-bukti yang menunjukkan tentang dalil-dalil gugatan penggugat tidak benar.

b. Mengajukan fotokopi tiap-tiap bukti yang telah dibubuhi meterai cukup dan disahkan oleh Kantor Pos dan Giro (Bagian Permateraian) atau notaris, serta membuat tanda (kode) sesuai dengan urutannya.

Contoh daftar bukti No. Urut

Jenis Alat Bukti Tanda/Kode Keterangan

1. Surat Panggilan Nomor

T.1. Surat sebagai bukti penggugat telah dipanggil. Untuk membuktikan dan

menyatakan bahwa dalil penggugat yang menyatakan tidak pernah dilakukan pemanggilan adalah dalil yang tidak benar .

2. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) No........... tanggal ...........

T.2. Surat sebagai bukti telah beralihnya pengurusan piutang negara kepada tergugat (vide Pasal 17 Keputusan Menkeu No.300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). Untuk membuktikan dan

menyatakan bahwa dalil penggugat yang menyatakan bahwa tergugat tidak berwenang melakukan pengurusan piutang negara adalah tidak benar.

15 Pasal 75 ayat (2) UU PTUN

Page 36: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

30

3. Pengumuman Lelang

No............ tanggal.... T.3. Surat sebagai bukti pemberitahuan

kepada khalayak ramai (umum). Untuk membuktikan dan

menyatakan bahwa dalil penggugat yang menyatakan bahwa pengumuman lelang adalah objek TUN merupakan dalil yang tidak benar karena pengumuman lelang adalah tindakan hukum perdata (vide Pasal 2 huruf a UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004).

4. Sertifikat Hak Tanggungan No........... tanggal.......

T.4. Sebagai bukti bahwa objek sengketa telah diikat secara sempurna dengan hak tanggungan. Untuk membuktikan dan

menyatakan bahwa dalil penggugat yang menyatakan bahwa tidak pernah menjaminkan objek sengketa adalah dalil yang tidak benar. Dokumen asli ada pada Tergugat

II (BRI Cabang ................). Keterangan :

Apabila berkedudukan sebagai Tergugat. T.1. : Alat bukti Pertama. T.2 : Alat bukti Kedua. dst. Apabila berkedudukan sebagai Tergugat I. T. I.1. : Tergugat I, alat bukti pertama. T. I.2. : Tergugat I, alat bukti kedua. T. I.3. : Tergugat I, alat bukti ketiga. dst. Apabila berkedudukan sebagai Tergugat II. T. II.1. : Tergugat II, alat bukti pertama. T. II.2. : Tergugat II, alat bukti kedua. T. II.3. : Tergugat II, alat bukti ketiga. dst.

c. Menyiapkan bukti asli untuk dibawa ke pengadilan pada saat pembuktian guna dicocokkan dengan fotokopi bukti yang diajukan.

d. Membubuhkan tanda tangan pada bagian akhir dari daftar bukti. 2. Pemeriksaan Saksi

Setelah selesai acara pemeriksaan bukti surat, para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan bukti saksi. Untuk menentukan perlu tidaknya mengajukan bukti saksi, penangan perkara harus memahami permasalahan yang akan menguatkan bukti surat yang telah diajukan sebelumnya. Bukti saksi tidak selalu menguntungkan pihak yang mengajukan, malah adakalanya menguntungkan pihak lawan. Namun, penangan perkara tetap perlu mengajukan saksi dalam hal:

Page 37: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

31

a. penggugat memiliki bukti surat yang menunjukkan bahwa objek yang disengketakan adalah miliknya, sedangkan tergugat juga memiliki bukti surat yang menunjukkan bahwa objek tersebut bukan milik penggugat;

b. bukti surat yang diajukan penangan perkara bukan merupakan alat bukti yang kuat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Sebelum saksi memberikan kesaksian di muka persidangan, penangan perkara sebaiknya memberikan arahan tentang hal-hal yang mungkin ditanyakan kepada saksi dalam persidangan agar kesaksiannya dapat mendukung/memperkuat alat bukti yang diajukan sebelumnya. Untuk memudahkan pemberian arahan perlu disusun daftar pertanyaan dan jawaban untuk didiskusikan dengan saksi. Penangan perkara perlu memberitahukan kepada saksi untuk membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai identitas diri yang akan diminta oleh majelis hakim sebelun memberikan kesaksian di muka persidangan.

D. Penyusunan Kesimpulan

Kesimpulan disusun setelah acara pembuktian berakhir. Susunan kesimpulan sama dengan susunan dalam jawaban dan duplik yaitu eksepsi, pokok perkara dan petitum. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penangan perkara dalam menyusun kesimpulan adalah : 1. Isi singkat dari jawaban dan duplik serta dihubungkan dengan bukti surat dan

saksi. 2. Mempertegas kembali dalil-dalil penggugat yang terbukti tidak berdasar

dengan menyebutkan kode dari bukti-bukti yang diajukan. 3. Membantah bukti-bukti baik surat maupun saksi yang diajukan oleh

penggugat, misalnya bukti surat tidak ada aslinya, bukti surat tidak ada relevansi dengan sengketa TUN atau saksi yang diajukan oleh penggugat tidak memenuhi syarat sebagai saksi.

4. Membuat petitum seperti pada jawaban dan duplik, serta menandatangani kesimpulan.

Page 38: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

32

BAB V PUTUSAN PERADILAN

Putusan peradilan adalah hasil akhir atau kesimpulan majelis hakim terhadap suatu pemeriksaan perkara yang didasarkan pada pertimbangan hukum dan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang harus ditandatangani oleh ketua majelis hakim, hakim anggota yang memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang.16 Putusan pada tingkat pertama diucapkan dimuka sidang majelis hakim dan dihadiri oleh para pihak yang berperkara. Putusan tersebut langsung mengikat para pihak yang hadir dalam persidangan. Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan pada saat putusan dibacakan, pemberitahuan disampaikan melalui panitera pengadilan yang memeriksa perkara. Sedangkan bagi pihak yang berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan tingkat pertama yang memeriksa perkara, putusan disampaikan dengan bantuan pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan. Khusus dalam perkara TUN, salinan putusan disampaikan melalui surat tercatat kepada para pihak yang tidak hadir pada saat pembacaan putusan. Putusan pada tingkat banding dan kasasi/peninjauan kembali disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang memeriksa perkara untuk diberitahukan kepada para pihak melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang memeriksa perkara. Apabila pihak yang berperkara berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan tingkat pertama yang memeriksa perkara, maka pengadilan tersebut meminta bantuan pemberitahuan putusan (relaas) kepada pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal pihak yang berperkara. Khusus dalam perkara TUN, salinan putusan disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama.

A. Putusan Pengadilan Negeri

Putusan pengadilan negeri adalah putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim pengadilan negeri yang memeriksa perkara. Putusan tersebut memuat pertimbangan hukum dan diktum atas pokok perkara serta diucapkan di muka sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.17 Pada pengadilan negeri dikenal dua jenis putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir. 1. Putusan Sela (Tussenvonnis)

Putusan sela merupakan suatu putusan yang dijatuhkan pada saat proses persidangan sedang berjalan, misalnya putusan sela mengenai sita jaminan atas objek perkara. Putusan sela bersifat sementara, oleh karena itu penangan perkara dapat mengajukan bantahan terhadap putusan sela tersebut baik di dalam jawaban, duplik maupun kesimpulan dengan tujuan agar majelis hakim mencabut putusan sela tersebut. Putusan sela dibagi menjadi 4 macam, yaitu:

16 Dalam lingkungan peradilan selain putusan dikenal pula istilah penetapan. Istilah putusan tidak sama dengan istilah penetapan. Penetapan dikeluarkan atau diterbitkan oleh ketua pengadilan atas dasar permohonan penggugat, seperti penetapan penundaan lelang dalam perkara TUN. 17 Diatur dalam Pasal 179 ayat (1) HIR/Pasal 190 ayat (1) RBg.

Page 39: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

33

a. Putusan preparatoir, yaitu putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempengaruhi pokok perkara atau putusan akhir, misalnya putusan untuk menggabungkan dua perkara atau menolak pengunduran pemeriksaan saksi. Putusan ini dapat diajukan banding, namun harus bersamaan dengan putusan akhir.

b. Putusan interlocutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan pemeriksaan pembuktian seperti pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir. Oleh karena itu, terhadap putusan ini dapat segera diajukan banding sebelum putusan akhir, kecuali jika majelis hakim menetapkan lain.

c. Putusan incidentieel, yaitu putusan yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang menghentikan prosedur suatu peradilan biasa dan tidak berhubungan dengan pokok perkara, misalnya putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam perkara (voeging, tussenkomst, atau vrijwaring) atau kematian salah satu kuasa hukum para pihak.

d. Putusan provisionel, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi untuk dilakukan suatu tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan, misalnya permohonan sita jaminan atau penundaan pelaksanaan lelang.

2. Putusan Akhir (Eindvonnis) Putusan akhir merupakan kesimpulan majelis hakim terhadap suatu pemeriksaan perkara guna mengakhiri perkara tersebut. Pihak yang merasa dirugikan dengan putusan akhir tersebut dapat mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dilihat dari diktumnya, putusan akhir dapat dibedakan menjadi 3 sifat, yaitu: a. Putusan comdemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Amar putusan comdemnatoir berbunyi “menghukum”, misalnya menghukum untuk melakukan pembayaran ganti rugi.

b. Putusan constitutif, yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum. Amar putusan constitutif berbunyi “menyatakan”, misalnya menyatakan perjanjian jual beli batal demi hukum.

c. Putusan declaratoir, yaitu putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Amar putusan declaratoir berbunyi “menyatakan... sah menurut hukum”, misalnya menyatakan pelaksanaan sita adalah sah menurut hukum.

Putusan akhir dapat dijatuhkan terhadap tergugat yang tidak hadir dalam persidangan sekalipun sudah dipanggil secara patut. Putusan ini dikenal dengan putusan verstek dan terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum perlawanan (verzet).

3. Putusan Serta Merta Putusan akhir majelis hakim pengadilan tingkat pertama dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun pihak yang dikalahkan mengajukan upaya hukum. Putusan ini dikenal dengan putusan serta-merta dan diatur dalam Pasal 180 (1) H.I.R dan Pasal 191 (1) Rbg. Putusan serta merta dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila:

Page 40: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

34

a. terdapat surat yang sah atau tulisan yang menurut aturan hukum diterima sebagai alat bukti;

b. terdapat penghukuman sebelumnya dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

c. tuntutan terdahulu dalam perselisihan tentang hak milik dikabulkan. Penangan perkara perlu memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta-Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil yang menyebutkan bahwa setiap akan melaksanakan putusan serta-merta harus disertai dengan penetapan adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi. Tanpa jaminan tersebut putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan. Pemberian jaminan ini dimaksudkan agar pihak lain tidak dirugikan apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.18

4. Susunan dan Isi Putusan Dilihat dari bentuk putusan, setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata terdiri dari 4 bagian, yaitu : 4.1. Kepala putusan

Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan syarat formil dari suatu putusan. Apabila kepala putusan tidak dibubuhkan, maka putusan tersebut tidak memenuhi syarat formil sehingga tidak dapat dijalankan (non executable).

4.2. Identitas para pihak yang berperkara Dalam putusan pengadilan, identitas pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara jelas, yaitu nama, alamat dan, apabila ada nama kuasa hukum yang bersangkutan.

4.3. Pertimbangan Pertimbangan (alasan-alasan) putusan majelis hakim terdiri dari dua bagian, yaitu : 4.3.1. Pertimbangan tentang duduk perkara.

Pertimbangan ini memuat intisari dari gugatan dan jawaban serta keterangan alat bukti baik dari penggugat ataupun tergugat.19 Seringkali gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutip secara lengkap.

4.3.2. Pertimbangan tentang hukumnya. Pertimbangan ini memuat pertimbangan hukum majelis hakim terhadap dalil-dalil para pihak dihubungkan dengan alat bukti yang ada untuk menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidak terbukti gugatan sebagai alasan untuk menjatuhkan putusan. Pertimbangan tentang hukum ini menentukan nilai dari suatu putusan. Penangan perkara perlu mempelajari dan memahaminya guna menentukan sikap dalam mengajukan upaya hukum.

Pertimbangan putusan majelis hakim pada umumnya dimulai dengan kata “Menimbang.....”.

18 Sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-10/PL/2004 tanggal 11 Mei 2004. 19 Pasal 184 ayat (1) HIR/Pasal 195 RBg.

Page 41: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

35

4.4. Amar putusan Amar (diktum) putusan merupakan jawaban terhadap petitum penggugat dalam gugatan. Dalam amar putusan, hakim berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dibuat memberikan putusan : a. menerima/mengabulkan gugatan berarti gugatan terbukti kebenarannya

di pengadilan, baik seluruh ataupun sebagian; b. menolak gugatan berarti gugatan tidak dapat dibuktikan kebenarannya

di pengadilan baik seluruh ataupun sebagian; c. menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau niet onvankelijk

verklaard (NO) berarti gugatan tidak memenuhi syarat formal untuk diajukan, seperti gugatan tidak berdasar hukum, gugatan kabur, objek gugatan tidak jelas, subjek gugatan tidak lengkap; atau

d. menyatakan gugatan gugur dalam hal penggugat melakukan pelanggaran terhadap hukum acara, misalnya penggugat tidak hadir sejak persidangan pertama dan pada persidangan-persidangan berikutnya berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali, meskipun telah dipanggil dengan sah dan patut; penggugat tidak membayar biaya administrasi gugatan.

Majelis hakim tidak boleh menjatuhkan putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut/diminta dalam petitum gugatan.20 Sebaliknya tidak dilarang memberi putusan kurang dari tuntutan. Amar putusan pada umumnya dimulai dengan kata “Mengadili....”.

5. Tindakan yang Dilakukan dalam Menghadapi Putusan Untuk mengetahui apakah suatu putusan pengadilan negeri berdasarkan hukum atau tidak, penangan perkara harus meneliti dan mempelajari bagian pertimbangan hukum putusan, serta amar putusan. Apabila isi putusan merugikan DJPLN/PUPN, maka penangan perkara harus melakukan upaya hukum banding melalui kepaniteraan pengadilan negeri yang mengadili perkara tersebut dengan memperhatikan tenggang waktu pengajuan banding yang telah ditentukan. Dalam hal DJPLN/PUPN berkedudukan sebagai penggugat dan gugatan yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima (NO), penangan perkara perlu meneliti dengan seksama pertimbangan hukum putusan untuk menentukan sikap apakah perlu mengajukan banding atau mengajukan gugatan baru. Apabila mengajukan gugatan baru, penangan perkara memperbaiki gugatan dengan mengacu pada pertimbangan hukum hakim. Dalam hal DJPLN/PUPN berkedudukan sebagai tergugat dan gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (NO), penangan perkara tidak perlu melakukan upaya hukum. Apabila penggugat mengajukan kembali gugatannya sebaiknya penangan perkara memperhatikan pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara terdahulu sebagai bahan penyusunan jawaban. Apabila penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah berturut-turut sebanyak tiga kali, sebaiknya dalam persidangan yang ketiga penangan perkara memohon kepada majelis hakim agar perkara dimaksud digugurkan dengan alasan penggugat tidak memiliki itikad baik dalam mengajukan gugatan.21

20 Pasal 178 (3) HIR/Pasal 189 (3) RBg. 21 Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg.

Page 42: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

36

B. Putusan Pengadilan Tinggi

Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim pengadilan tinggi yang memuat pertimbangan hukum dan diktum atas pokok perkara yang dimintakan banding. Untuk mengetahui apakah suatu putusan pengadilan tinggi berdasarkan hukum atau tidak, penangan perkara harus meneliti dan mempelajari pertimbangan hukum putusan dan amar putusan. Apabila isi putusan merugikan DJPLN/PUPN, penangan perkara mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung melalui kepaniteraan pengadilan negeri yang mengadili perkara dengan memperhatikan tenggang waktu kasasi. Putusan pengadilan tinggi dapat berupa: 1. Memperkuat putusan pengadilan negeri. 2. Membatalkan putusan pengadilan negeri. 3. Menjatuhkan putusannya sendiri atau mengadili sendiri.

C. Putusan Pengadilan TUN

Pada pengadilan TUN dikenal jenis putusan seperti halnya pada pengadilan negeri, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Kedua jenis putusan tersebut dapat dijelaskan sebagaimana tersebut di bawah ini. 1. Putusan Sela

Putusan sela bersifat dapat menunda pelaksanaan isi keputusan yang menjadi objek sengketa TUN. Putusan ini dapat dikeluarkan oleh ketua pengadilan TUN maupun oleh majelis hakim yang mengadili perkara. Dalam hal penangan perkara menemukan adanya putusan sela, maka penangan perkara harus mengajukan keberatan sekaligus meminta pembatalan putusan sela tersebut, baik dalam jawaban, duplik maupun kesimpulan. Putusan sela tidak dapat dilakukan banding tersendiri, melainkan hanya dilakukan bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan sela yang ditetapkan majelis hakim yang memeriksa perkara tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang. Sedangkan putusan sela yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan TUN berbentuk penetapan dan diberitahukan kepada para pihak melalui surat tercatat. Putusan sela yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan TUN dapat dibatalkan oleh majelis hakim yang mengadili perkara.

2. Putusan Akhir Putusan akhir merupakan kesimpulan majelis hakim terhadap suatu pemeriksaan perkara guna mengakhiri perkara tersebut. Untuk mengetahui suatu putusan berdasarkan hukum atau tidak, penangan perkara harus meneliti dan mempelajari pertimbangan hukum dan amar putusan. Apabila putusan merugikan DJPLN/PUPN atau tidak memenuhi persyaratan formal putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 109 UU PTUN, maka penangan perkara mengajukan upaya hukum banding melalui kepaniteraan pengadilan TUN yang mengadili perkara.

Page 43: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

37

Susunan dan isi putusan pengadilan TUN memuat kepala putusan, identitas para pihak, pertimbangan dan alasan, serta amar putusan. Amar putusan dapat berupa:22 a. Menolak gugatan. b. Mengabulkan gugatan. c. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima. d. Menyatakan gugatan gugur. Dalam hal gugatan dikabulkan, putusan pengadilan dapat menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN berupa:23 a. pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan; b. pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan

keputusan TUN yang baru; atau c. penerbitan keputusan TUN dalam hal Badan atau Pejabat TUN tidak

menerbitkan keputusan yang seharusnya diterbitkan. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah putusan pengadilan diucapkan, putusan harus ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang turut bersidang. Apabila hakim anggota majelis berhalangan, maka putusan ditandatangani oleh hakim ketua dengan menyatakan hakim anggota yang bersangkutan berhalangan. Pihak yang berkepentingan dapat memperoleh dari kepaniteraan salinan resmi putusan dengan terlebih dahulu membayar biaya salinan.

3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN Putusan pengadilan TUN yang dapat dilaksanakan hanya berupa putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.24 Pelaksanaan putusan pengadilan diatur lebih lanjut sebagai berikut:25 a. Salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara paling lama empat belas hari sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

c. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

22 Pasal 97 ayat (7) UU PTUN. Penjelasan mengenai amar putusan dapat dilihat pada pembahasan amar putusan pengadilan negeri di atas. 23 Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU PTUN. 24 Pasal 115 UU PTUN. 25 Pasal 116 UU PTUN.

Page 44: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

38

d. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif.

e. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera.

D. Putusan Pengadilan Tinggi TUN

Putusan pengadilan tinggi TUN merupakan putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim pengadilan tinggi yang memuat pertimbangan hukum dan diktum atas pokok perkara yang dimintakan banding. Untuk mengetahui apakah suatu putusan pengadilan tinggi TUN berdasarkan hukum atau tidak, penangan perkara harus meneliti dan mempelajari pertimbangan hukum putusan dan amar putusan. Apabila isi putusan merugikan DJPLN/PUPN, penangan perkara mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung melalui kepaniteraan pengadilan negeri yang mengadili perkara dengan memperhatikan tenggang waktu kasasi.

E. Putusan Mahkamah Agung

Putusan Mahkamah Agung merupakan putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung yang memuat pertimbangan hukum dan diktum atas keberatan yang diajukan oleh pihak pemohon kasasi terhadap suatu putusan pengadilan tingkat banding. Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap sejak putusan tersebut disampaikan kepada para pihak. Upaya hukum terhadap putusan Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan melalui upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Namun, permohonan peninjauan kembali tidak menunda pelaksanaan putusan (eksekusi).

Page 45: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

39

BAB VI UPAYA HUKUM

Upaya hukum adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada hakim atasan untuk memeriksa/meninjau kembali suatu putusan hakim bawahan yang merugikan pihak pemohon. Undang-Undang memberikan hak kepada para pihak yang berperkara untuk melakukan upaya hukum melawan putusan hakim. A. Perkara Perdata

Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding, kasasi, dan verzet (perlawanan terhadap putusan verstek). Upaya hukum biasa pada asasnya menangguhkan eksekusi atau isi putusan kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad).26 Upaya hukum luar biasa terdiri dari derden verzet dan peninjauan kembali. Pada asasnya upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi atau isi putusan. 1. Banding

Banding merupakan pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi terhadap suatu putusan pengadilan negeri. Permohonan banding diajukan oleh pihak yang berperkara karena tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri. Pengajuan banding menyebabkan putusan hakim belum dapat dilaksanakan karena belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kecuali dalam putusan majelis hakim terdapat diktum yang menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum yang diajukan (uitvoorbaar bij voorraad). Dalam permohonan banding, pemohon banding maupun termohon banding dapat mengajukan bukti baru atau keterangan lain, tetapi pemohon banding (penggugat asal) tidak dapat lagi mengajukan gugatan/tuntutan baru. Pengadilan tinggi memeriksa berkas perkara yang diajukan dan apabila dipandang perlu dapat meminta para pihak hadir guna didengar langsung keterangannya. Pihak yang hendak mengajukan banding harus memperhatikan tenggang waktu pengajuan permohonan, karena permohonan yang melewati tenggang waktu sebagaimana ditentukan undang-undang akan ditolak oleh pengadilan tingkat banding. Tenggang waktu pengajuan banding ditentukan sebagai berikut: a. Apabila pihak yang berperkara hadir pada saat putusan diucapkan, pihak

yang dikalahkan serta merta dapat mengajukan permohonan banding setelah hakim membacakan putusan atau mengajukan permohonan banding secara tertulis maupun lisan kepada pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan diucapkan.

26 Lihat Bab V huruf A angka 3.

Page 46: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

40

b. Apabila pihak yang berperkara atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka tenggang waktu pengajuan permohonan banding dihitung 14 hari sejak pemberitahuan putusan diterima.

Contoh perhitungan tenggang waktu pengajuan permohonan banding dapat diberikan sebagai berikut: Putusan dibacakan pada hari Senin, tanggal 1 Maret 2004 dengan dihadiri

pihak yang berperkara. Setelah pembacaan putusan, pihak yang dikalahkan langsung dapat mengajukan banding.

Putusan dibacakan pada hari Senin, tanggal 1 Maret 2004 dengan dihadiri pihak yang berperkara. Pihak yang dikalahkan dapat mengajukan permohonan banding secara tertulis ataupun lisan paling lambat pada hari Senin tanggal 15 Maret 2004. Namun, apabila hari Senin, tanggal 15 Maret 2004 merupakan hari libur nasional, maka permohonan banding masih bisa diajukan pada hari Selasa, tanggal 16 Maret 2004.

Putusan diberitahukan dan diterima pada hari Senin, tanggal 1 Maret 2004 oleh pihak yang tidak hadir pada waktu pembacaan putusan, maka permohonan banding diajukan secara tertulis ataupun lisan paling lambat pada hari Senin tanggal 15 Maret 2004. Namun, apabila hari Senin, tanggal 15 Maret 2004 merupakan hari libur nasional, maka permohonan banding masih bisa diajukan pada hari Selasa, tanggal 16 Maret 2004.

Apabila dalam contoh tersebut di atas terdapat hari libur yang jatuh diantara tanggal 1 sampai dengan 14 Maret 2004 dan hari Senin tanggal 15 Maret 2004 merupakan hari kerja, maka permohonan banding harus diajukan paling lambat pada hari Senin tanggal 15 Maret 2004.

Pemohon banding harus membayar biaya permohonan banding di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama. Permohonan banding yang diterima, dicatat di kepaniteraan pengadilan negeri dalam daftar register banding dan pembanding harus menandatangani akta banding. 1.1. Memori banding

Memori banding bukan merupakan syarat mutlak dalam permohonan banding, namun lebih baik apabila permohonan banding disertai dengan memori banding. Hal ini memudahkan majelis hakim pengadilan tinggi untuk mengetahui alasan pengajuan permohonan banding tersebut. Dalam memori banding harus dirumuskan dengan jelas alasan-alasan/keberatan pembanding terhadap putusan pengadilan negeri yang dianggap tidak tepat/salah. Penangan perkara hendaknya menyusun memori banding dengan kalimat sederhana, pendek, dan berisi. Apabila dianggap perlu, penangan perkara dapat memasukkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dalil-dalil dalam memori banding. Dalam menyusun memori banding, penangan perkara haruslah memperhatikan hal sebagai berikut: a. Memori banding ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi melalui

ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas pembanding (DJPLN/PUPN) dengan jelas,

yaitu nama, alamat, nomor dan tanggal surat kuasa. c. Menyebutkan identitas terbanding dengan jelas, yaitu nama dan

alamat dan jika ada, nama dan alamat kuasa hukum termohon banding.

Page 47: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

41

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan negeri yang memutus perkara.

e. Menyebutkan amar putusan pengadilan tingkat pertama. f. Menyebutkan alasan-alasan pembanding memohon pemeriksaan

banding dengan mengajukan keberatan atas pertimbangan hukum majelis hakim, seperti menyatakan bahwa majelis kurang tepat menjatuhkan putusannya karena putusan tidak berdasarkan hukum, tidak memperhatikan bukti yang diajukan, putusan melebihi dari yang diminta (ultra petita).

g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, termasuk memohon agar pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri dan mengadili sendiri perkara dimaksud serta mengabulkan permohonan pembanding.

h. Mengemukakan keterangan lain atau surat bukti yang lain, apabila ada.

i. Memori banding dibuat rangkap sebanyak pihak yang berperkara ditambah dua dan diserahkan kepada panitera pengadilan negeri.

Memori banding dapat disampaikan setelah pengajuan permohonan banding, sepanjang berkas perkara belum dikirim oleh panitera pengadilan negeri kepada pengadilan tinggi. Permohonan banding dapat dicabut setiap waktu sebelum perkara diputus tanpa minta persetujuan dari pihak lawan.

1.2. Kontra memori banding Kontra memori banding merupakan jawaban yang menyanggah memori banding. Pihak yang mengajukan kontra memori banding (terbanding) boleh memasukkan bukti tambahan. Dalam menyusun kontra memori banding, penangan perkara haruslah memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori banding ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi

melalui ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas terbanding (DJPLN/PUPN) dengan jelas,

yaitu nama, alamat, dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Mencantumkan identitas pembanding dengan jelas, yaitu nama,

alamat, dan jika ada, nama, alamat kuasa hukum, dan nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan negeri yang memutus perkara.

e. Memohon agar majelis hakim menolak permohonan banding pembanding.

f. Menjawab memori banding dengan menolak dalil-dalil pembanding yang merugikan terbanding dan menguatkan dalil-dalil pembanding yang menguntungkan terbanding serta menyatakan bahwa putusan majelis hakim pengadilan negeri telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

g. Mengemukakan keterangan lain atau surat bukti yang lain, apabila ada.

h. Kontra memori banding dibuat rangkap sebanyak pihak yang berperkara ditambah dua dan diserahkan kepada panitera pengadilan negeri.

Page 48: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

42

Sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi, penangan perkara sebaiknya menggunakan kesempatan yang diberikan oleh panitera pengadilan negeri untuk mempelajari dan memeriksa berkas perkara (inzage). Dalam kesempatan tersebut penangan perkara dapat memastikan apakah berkas telah lengkap atau masih ada hal-hal yang dianggap perlu untuk ditambahkan guna menguatkan dalil-dalil yang diajukan.

2. Kasasi Kasasi merupakan pemeriksaan terhadap putusan judex factie yang diajukan kepada Mahkamah Agung oleh pihak berperkara yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Pengajuan permohonan kasasi menyebabkan putusan judex factie belum dapat dilaksanakan karena belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa peristiwa hukum (rechtsfeiten) dan juga tidak memeriksa bukti baru yang belum diperiksa oleh judex factie (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi), tetapi yang diperiksa adalah tentang hukumnya. Oleh karena itu, alasan pengajuan permohonan kasasi dilakukan terhadap hal sebagai berikut: a. pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. pengadilan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

d. pengadilan tidak memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya (onvoldoende gemotivierd)

Dalam hal penangan perkara mengajukan permohonan kasasi, maka perlu diperhatikan tenggang waktu pengajuan kasasi, sebagai berikut: a. Permohonan kasasi disampaikan secara lisan atau tertulis melalui panitera

pengadilan negeri yang memutus perkara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan/penetapan pengadilan dimaksud diberitahukan kepada pemohon.

b. Apabila tenggang waktu permohonan kasasi telah lewat dan pihak berperkara tidak mengajukan kasasi, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.

Permohonan kasasi harus didaftarkan di pengadilan negeri yang memutus perkara dan membayar biaya perkara. Panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah permohonan kasasi terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis permohonan tersebut kepada pihak lawan. Setelah menerima memori kasasi dan kontra memori kasasi, panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.27 2.1. Memori kasasi

Memori kasasi merupakan suatu surat yang berisi alasan-alasan pemohon kasasi mengajukan kasasi dan wajib disampaikan dalam

27 Vide Pasal 48 UU MA.

Page 49: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

43

tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku register . Apabila memori kasasi tidak diajukan maka permohonan kasasi ditolak, sehingga putusan pengadilan tinggi menjadi berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Dalam menyusun memori kasasi, penangan perkara haruslah memperhatikan hal sebagai berikut: a. Permohonan memori kasasi ditujukan kepada ketua Mahkamah

Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas pemohon kasasi (DJPLN/PUPN) dengan

jelas, yaitu nama, alamat, dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Menyebutkan identitas termohon kasasi dengan jelas, yaitu nama,

alamat tempat tinggal, dan jika ada identitas kuasa termohon kasasi. d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang memutus perkara

baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. e. Menyebutkan amar putusan judex factie (pengadilan tingkat pertama

dan banding). f. Menyebutkan alasan-alasan permohonan kasasi dan keberatan

terhadap pertimbangan hukum putusan pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara, yaitu pengadilan tidak berwenang, melampaui batas wewenang, salah menerapkan hukum, melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, dan/atau tidak memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya (onvoldoende gemotivierd).

g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, yaitu membatalkan putusan tingkat banding oleh pengadilan tinggi, dan memohon Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak gugatan dalam perkara banding.

Dalam hal memori kasasi telah disusun, penangan perkara menyampaikannya kepada panitera pengadilan tingkat pertama yang memutus untuk disampaikan kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.

2.2. Kontra memori kasasi Kontra memori kasasi merupakan jawaban atas memori kasasi. Kontra memori kasasi sudah harus disampaikan kepada panitera pengadilan negeri dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal salinan memori kasasi diterima. Apabila kontra memori kasasi diajukan lewat dari tenggang waktu yang ditetapkan, maka kontra memori kasasi tidak dipertimbangkan. Oleh karena itu, penangan perkara harus memperhatikan tenggang waktu pengajuan kontra memori kasasi tersebut. Dalam menyusun kontra memori kasasi, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori kasasi ditujukan kepada ketua Mahkamah Agung

melalui ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas termohon kasasi (DJPLN/PUPN) dengan

jelas, yaitu nama, alamat, dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Menyebutkan identitas pemohon kasasi dengan jelas yaitu nama,

alamat tempat tinggal, dan jika ada identitas kuasa hukum pemohon kasasi.

Page 50: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

44

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang memutus perkara baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi.

e. Memohon agar majelis hakim menolak permohonan kasasi pemohon. f. Merumuskan jawaban atas memori kasasi, dengan menolak alasan

pemohon kasasi dan menyebutkan bahwa putusan majelis hakim pengadilan tinggi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

g. Menyebutkan bahwa alasan pemohon kasasi tidak berdasar. h. Memohon agar Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili serta

memutus permohonan kasasi tidak dapat diterima atau ditolak. Sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, penangan perkara sebaiknya menggunakan kesempatan yang diberikan oleh panitera pengadilan negeri untuk mempelajari dan memeriksa berkas perkara (inzage). Dalam kesempatan tersebut penangan perkara dapat memastikan apakah berkas telah lengkap untuk diajukan.

3. Perlawanan Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat (verstek), meskipun tergugat telah dipanggil secara patut.28 Pengajuan perlawanan harus memperhatikan tenggang waktu sebagai berikut: a. Apabila pemberitahuan putusan (verstek) diterima sendiri oleh tergugat,

perlawanan diajukan paling lambat dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan.29

b. Apabila pemberitahuan putusan (verstek) tidak terjadi dan tidak diterima sendiri oleh tergugat, perlawanan dapat diajukan sampai pada hari kedelapan setelah ada teguran (aanmaning) oleh ketua pengadilan negeri agar tergugat melaksanakan bunyi putusan.30

c. Apabila pada hari peneguran oleh ketua pengadilan negeri tergugat tidak hadir, perlawanan dapat diajukan selambatnya dalam waktu delapan hari setelah permulaan eksekusi.31

Perlawanan yang diajukan akan diproses sebagaimana memeriksa gugatan biasa. Tergugat asal dalam perlawanan terhadap putusan verstek berkedudukan sebagai pelawan, sebaliknya penggugat asal berkedudukan sebagai terlawan. Pada asasnya upaya hukum perlawanan disediakan bagi tergugat yang dikalahkan dalam putusan verstek, sedangkan bagi penggugat yang dikalahkan dalam putusan verstek, tersedia upaya hukum banding.32 Apabila dalam acara perlawanan penggugat asal (terlawan) tidak pernah datang sekalipun telah dipanggil secara sah dan patut, perkara akan diperiksa dan diputus secara contradictoir, yaitu dengan membatalkan putusan verstek semula dan mengadili serta menolak gugatan penggugat asal (terlawan). Terhadap putusan ini penggugat asal (terlawan) dapat mengajukan banding. Sedangkan apabila tergugat asal (pelawan) yang tidak pernah datang pada sidang yang ditentukan, maka putusan verstek dijatuhkan untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek ini tergugat asal (pelawan) tidak dapat mengajukan perlawanan lagi, tetapi dapat mengajukan permohonan banding.

28 Upaya hukum perlawanan juga digunakan oleh pihak ketiga yang hak miliknya disita (derden verzet). 29 Vide Pasal 129 ayat (1) HIR. 30 Vide Pasal 196 HIR. 31 Pasal 129 ayat (2) HIR. 32 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947/Pasal 200 RBg.

Page 51: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

45

Putusan verstek tidak dapat dilaksanakan sebelum lewat waktu 14 hari setelah pemberitahuan putusan kepada tergugat.33

4. Peninjauan Kembali Peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU MA). Permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap hanya dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut : a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat

pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau berdasar bukti-bukti yang dinyatakan palsu.

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabnya.

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberi putusan yang bertentangan satu sama lain.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Permohonan peninjauan kembali yang diajukan berdasarkan alasan sebagaimana tersebut di atas harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk:34 − huruf a, sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan

hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

− huruf b, sejak diketemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

− huruf c, d, dan f, sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang beperkara;

− huruf e, sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir.35 Panitera pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah menerima permohonan peninjauan kembali berikut memori peninjauan kembali menyampaikan pemberitahuan permohonan peninjauan kembali berikut memori peninjauan kembali kepada termohon peninjauan kembali. Setelah menerima salinan permohonan peninjauan kembali, termohon

33 Pasal 128 HIR/Pasal 152 ayat (1) RBg. 34 Pasal 69 UU MA. 35 Pasal 70 ayat (2) UU MA.

Page 52: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

46

peninjauan kembali diberi tenggang waktu untuk mengajukan jawaban (kontra memori peninjauan kembali). Tenggang waktu tersebut adalah 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali.36 Permohonan peninjauan kembali beserta berkas perkara dan biayanya dikirim kepada Mahkamah Agung oleh panitera pengadilan negeri yang memutus perkara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari. Dalam hal penangan perkara akan mengajukan permohonan peninjauan kembali, alasan-alasan peninjauan kembali sebagaimana tersebut di atas harus diperhatikan. Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara.37 4.1. Memori peninjauan kembali

Dalam penyusunan memori peninjauan kembali, penangan perkara haruslah memperhatikan hal sebagai berikut: a. Memori peninjauan kembali ditujukan kepada ketua Mahkamah

Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara. b. Mencantumkan identitas pemohon peninjauan kembali

(DJPLN/PUPN) dengan jelas, yaitu nama, alamat, dan nomor/tanggal surat kuasa.

c. Menyebutkan identitas termohon dengan jelas, yaitu nama, alamat tempat tinggal termohon.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang mengadili serta memutus perkara.

e. Menyebutkan amar putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan/atau kasasi.

f. Menyebutkan alasan-alasan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali secara jelas.

g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, termasuk memohon agar Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali.

4.2. Kontra memori peninjauan kembali Dalam penyusunan kontra memori peninjauan kembali, penangan perkara haruslah memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori peninjauan kembali ditujukan kepada ketua

mahkamah agung melalui ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkara.

b. Mencantumkan identitas termohon peninjauan kembali (DJPLN/PUPN) dengan jelas, yaitu nama, alamat, dan nomor/tanggal surat kuasa.

c. Menyebutkan identitas pemohon peninjauan kembali dengan jelas, yaitu nama, alamat tempat tinggal, dan jika ada identitas kuasa hukum pemohon peninjauan kembali serta nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang memutus perkara, yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan/atau Mahkamah Agung.

36 Pasal 72 UU MA. 37 Pasal 70 ayat (1) UU MA.

Page 53: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

47

e. Merumuskan dalil-dalil jawaban atas memori peninjauan kembali secara jelas dengan menyebutkan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak cukup alasan atau dasarnya.

f. Memohon agar Mahkamah Agung tidak dapat menerima dan/atau menolak permohonan peninjauan kembali.

B. Perkara TUN

Dalam hukum acara TUN dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Upaya hukum dalam perkara TUN diatur dalam UU PTUN. 1. Banding

Banding merupakan pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh pengadilan tinggi TUN terhadap suatu putusan pengadilan TUN. Permohonan banding diajukan oleh pihak yang berperkara karena tidak puas terhadap putusan pengadilan TUN. Permohonan banding diajukan secara tertulis kepada pengadilan TUN yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari menurut perhitungan tanggal kalender setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.38 Penangan perkara yang hendak mengajukan banding harus memperhatikan tenggang waktu pengajuan permohonan, karena permohonan yang melewati tenggang waktu sebagaimana ditentukan Undang-Undang akan ditolak oleh pengadilan tingkat banding. Permohonan banding diajukan bersamaan dengan pembayaran uang muka biaya perkara banding,39 dan dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara. Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor pengadilan TUN dalam tenggang waktu 30 hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. Dalam kesempatan tersebut penangan perkara dapat memastikan apakah berkas telah lengkap atau masih ada hal-hal yang dianggap perlu untuk ditambahkan guna menguatkan dalil-dalil yang diajukan. 1.1. Memori banding

Sebagaimana halnya dalam hukum acara perdata, dalam hukum acara TUN tidak ada keharusan untuk membuat memori banding. Perkara tetap diperiksa meskipun memori banding tidak dimasukkan. Namun, untuk memudahkan majelis hakim di pengadilan tinggi TUN mengetahui alasan-alasan permohonan banding, lebih baik apabila permohonan banding disertai dengan memori banding. Memori banding harus memuat dengan jelas alasan-alasan pembanding menganggap bahwa putusan pengadilan TUN tidak tepat/salah. Memori banding disusun dengan kalimat sederhana, jelas, berisi, dan dapat pula dimasukkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dalil-dalil memori banding. Memori banding dibuat rangkap sebanyak pihak yang berperkara ditambah dua dan diserahkan kepada panitera pengadilan TUN.

38 Pasal 123 UU PTUN berikut penjelasannya. 39 Pasal 123 ayat (2) UU PTUN

Page 54: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

48

Dalam penyusunan memori banding, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Memori banding ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi TUN melalui

ketua pengadilan TUN yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas pembanding (DJPLN/PUPN) dengan jelas, yaitu

nama, alamat, jabatan, dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Menyebutkan identitas terbanding dengan jelas, yaitu nama,

kewarganegaraan, alamat, pekerjaan dan jika ada, nama, alamat kuasa hukum terbanding serta nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan TUN yang memeriksa perkara.

e. Menyebutkan amar putusan pengadilan TUN. f. Menyebutkan alasan-alasan permohonan pemeriksaan banding, seperti

putusan tidak berdasar hukum, tidak memperhatikan bukti-bukti, putusan melebihi dari yang diminta (ultra petita).

g. Mengemukakan keterangan lain atau surat bukti yang lain, apabila ada. h. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, termasuk memohon agar pengadilan

tinggi TUN membatalkan putusan pengadilan TUN dan mengadili sendiri perkara dimaksud serta mengabulkan permohonan pembanding.

1.2. Kontra memori banding Penangan perkara yang menerima pemberitahuan permohonan banding yang disertai memori banding harus menyusun kontra memori banding dengan memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori banding ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi TUN

melalui ketua pengadilan TUN yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas terbanding (DJPLN/PUPN) dengan jelas, yaitu

nama, alamat, jabatan, dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Mencantumkan identitas pembanding dengan jelas, yaitu nama,

kewarganegaraan, alamat, pekerjaan dan jika ada, nama, alamat kuasa hukum pembanding dan nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan TUN yang memeriksa perkara.

e. Merumuskan dalil-dalil jawaban terhadap memori banding dengan jelas serta menolak alasan-alasan permohonan banding yang diajukan oleh pembanding.

f. Mengemukakan keterangan lain atau surat bukti yang lain, apabila ada. g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, yaitu agar pengadilan tinggi TUN

membatalkan putusan pengadilan TUN, mengadili sendiri perkara dimaksud dan memutus bahwa permohonan banding tidak dapat diterima atau ditolak.

h. Kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti diserahkan kepada panitera pengadilan TUN.

2. Kasasi Acara pemeriksaan kasasi perkara TUN sama seperti pemeriksaan kasasi dalam peradilan umum sebagaimana diatur dalam UU MA.40 Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, permohonan kasasi harus sudah diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan/penetapan pengadilan tinggi TUN

40 Pasal 131 ayat (2) UU PTUN.

Page 55: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

49

diberitahukan. Penangan perkara yang hendak mengajukan permohanan kasasi harus memperhatikan ketentuan tersebut. Apabila lewat tenggang waktu sebagaimana dimaksud di atas, permohonan kasasi tidak diajukan, maka para pihak dianggap telah menerima putusan. Pemohon kasasi harus mendaftarkan permohonan kasasinya di pengadilan TUN yang memeriksa perkara dengan membayar biaya perkara. Panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku register perkara dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah permohonan kasasi terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis permohonan tersebut kepada termohon kasasi. Setelah menerima memori kasasi dan kontra memori kasasi, panitera PTUN mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.41 2.1. Memori kasasi

Memori kasasi merupakan suatu surat yang berisi alasan-alasan pemohon kasasi mengajukan kasasi. Berbeda dengan pengajuan permohonan banding yang tidak mengharuskan menyampaikan memori banding, dalam pengajuan kasasi pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan dimaksud dicatat dalam buku daftar. Dalam menyusun memori kasasi, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Permohonan memori kasasi ditujukan kepada ketua Mahkamah Agung

melalui ketua pengadilan TUN yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas pemohon kasasi (DJPLN/PUPN) dengan jelas,

yaitu nama, alamat, jabatan dan nomor/tanggal surat kuasa. c. Menyebutkan identitas termohon kasasi dengan jelas yaitu nama, alamat

tempat tinggal, serta identitas kuasa termohon kasasi, dan jika ada, nama, alamat kuasa hukum termohon kasasi dan nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara, pengadilan TUN dan pengadilan tinggi TUN yang memutus perkara.

e. Menyebutkan amar putusan pengadilan tingkat pertama dan banding. f. Merumuskan alasan-alasan permohonan kasasi dan keberatan-keberatan

terhadap pertimbangan hukum putusan pengadilan tinggi TUN. g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, yaitu memohon agar Mahkamah

Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan pengadilan tingkat banding.

2.2. Kontra memori kasasi Kontra memori kasasi merupakan jawaban terhadap memori kasasi. Kontra memori kasasi disampaikan kepada panitera pengadilan TUN dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal salinan memori kasasi diterima. Dalam penyusunan kontra memori kasasi, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori kasasi ditujukan kepada ketua Mahkamah Agung

melalui ketua pengadilan TUN yang memeriksa perkara. 41 Pasal 48 UU MA.

Page 56: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

50

b. Mencantumkan identitas termohon kasasi (DJPLN/PUPN) dengan jelas, yaitu nama, alamat, jabatan dan nomor/tanggal surat kuasa.

c. Menyebutkan identitas pemohon kasasi dengan jelas, yaitu nama, alamat tempat tinggal, identitas kuasa hukum pemohon kasasi, jika ada.

d. Menyebutkan nomor perkara, pengadilan TUN, dan pengadilan tinggi TUN yang memutus perkara.

e. Merumuskan jawaban atas memori kasasi, dengan menolak alasan pemohon kasasi dan menyebutkan bahwa putusan majelis hakim pengadilan tinggi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

f. Menyebutkan bahwa alasan pemohon kasasi tidak berdasar. g. Memohon agar Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili serta

memutus permohonan kasasi tidak dapat diterima atau ditolak. 3. Peninjauan Kembali

Acara pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara TUN dilaksanakan menurut hukum acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 66 s.d. Pasal 75 UU MA.42 Alasan peninjauan kembali putusan perkara TUN sama seperti alasan permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata.43 Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan TUN yang memutus perkara dengan membayar biaya perkara. Mahkamah agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Panitera pengadilan TUN selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permohonan peninjauan kembali diterima memberikan salinan permohonan peninjauan kembali kepada termohon peninjauan kembali. Setelah menerima salinan permohonan peninjauan kembali, termohon peninjauan kembali diberi tenggang waktu untuk mengajukan kontra memori peninjauan kembali, yaitu dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal salinan permohonan peninjauan kembali diterima. 3.1. Memori peninjauan kembali

Dalam menyusun memori peninjauan kembali, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Memori peninjauan kembali ditujukan kepada ketua Mahkamah Agung

melalui panitera pengadilan TUN yang memutus perkara. b. Mencantumkan identitas pemohon peninjauan kembali (DJPLN/PUPN)

dengan jelas, yaitu nama, alamat, jabatan dan nomor/tanggal surat kuasa.

c. Menyebutkan identitas termohon peninjauan kembali dengan jelas, yaitu nama, kewarganegaraan, alamat, pekerjaan dan nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang mengadili serta memutus perkara.

e. Menyebutkan amar putusan pengadilan tingkat pertama, banding dan/atau kasasi.

f. Merumuskan alasan-alasan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali.

42 Pasal 132 ayat (2) UU PTUN jo. Pasal 77 ayat (1) UU MA. 43 Lihat Bab VI huruf A angka 4.

Page 57: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

51

g. Menyebutkan hal-hal yang dituntut, termasuk memohon agar Mahkamah Agung menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali.

h. Mengemukakan keterangan lain atau surat bukti yang lain, apabila ada. 3.2. Kontra memori peninjauan kembali

Dalam menyusun kontra memori peninjauan kembali, penangan perkara harus memperhatikan hal sebagai berikut: a. Kontra memori peninjauan kembali ditujukan kepada ketua Mahkamah

Agung melalui ketua pengadilan TUN yang memeriksa perkara. b. Mencantumkan identitas termohon peninjauan kembali (DJPLN/PUPN)

dengan jelas, yaitu nama, alamat, jabatan dan nomor/tanggal surat kuasa.

c. Menyebutkan identitas pemohon peninjauan kembali dengan jelas yaitu nama, kewarganegaraan, alamat, pekerjaan dan jika ada identitas kuasa hukum pemohon peninjauan kembali serta nomor/tanggal surat kuasa.

d. Menyebutkan nomor perkara dan pengadilan yang memutus perkara, yaitu pengadilan TUN, pengadilan tinggi TUN dan/atau Mahkamah Agung.

e. Merumuskan dalil-dalil jawaban atas memori peninjauan kembali secara jelas dengan menyebutkan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak cukup alasan atau dasarnya.

f. Memohon agar Mahkamah Agung tidak dapat menerima dan/atau menolak permohonan peninjauan kembali.

Page 58: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

52

BAB VII

PETUNJUK MENGHADAPI PERKARA PIDANA Dalam pelaksanaan tugas pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang, tidak jarang petugas atau pejabat DJPLN dilaporkan kepada pihak penyidik baik kepolisian ataupun pihak kejaksaan. Laporan ini dapat terjadi karena pelapor tidak puas atas tindakan petugas atau pejabat DJPLN dalam melaksanakan pengurusan piutang negara dan lelang. Atas laporan tersebut, pihak kepolisian dan/atau pihak kejaksaan memanggil petugas atau pejabat di lingkungan DJPLN untuk dimintai keterangannya, baik sebagai saksi, saksi ahli atau tersangka. Dalam hal petugas atau pejabat DJPLN dipanggil oleh penyidik (kepolisian/ kejaksaan) baik sebagai saksi, saksi ahli, atau tersangka, maka sebelum memenuhi panggilan perlu diperhatikan hal sebagai berikut: 1. meneliti dengan cermat surat panggilan yang diterimanya, yaitu:

a. hari, tanggal, dan jam menghadap; b. tempat menghadap; c. pejabat yang memanggil; d. kapasitas petugas atau pejabat yang dipanggil (sebagai saksi, saksi ahli, atau

tersangka); e. tindak pidana dan pasal yang dituduhkan; f. tanggal surat panggilan.

2. mempelajari kasus yang berkaitan dengan panggilan penyidik; 3. berkoordinasi dengan Kanwil atau Kantor Pusat DJPLN.

A. Saksi

Saksi adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu tindak pidana yang dialami, dilihat dan didengar secara langsung.44 Dalam penyampaian keterangan sebagai saksi, petugas atau pejabat yang dipanggil hanya memberikan keterangan mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang dialami, dilihat atau didengar secara langsung dan tidak menyampaikan keterangan yang didapat dari orang lain atau pendapat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Petugas atau pejabat yang dipanggil sebagai saksi perlu mempersiapkan diri dengan memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Mempelajari permasalahan dan membuat resume atas kasus yang berkaitan. 2. Berkoordinasi dengan pejabat kanwil dan/atau kantor pusat. 3. Meminta kepada Kanwil dan/atau Kantor Pusat DJPLN untuk mendampingi yang

bersangkutan dalam pemberian keterangan dihadapan penyidik. 4. Memenuhi panggilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang ditentukan dalam

surat panggilan. Apabila berhalangan, hendaknya menghubungi pejabat yang memanggil dengan mengemukakan alasan yang tepat.

5. Memberikan keterangan hanya mengenai hal-hal dan keadaan-keadaan yang dialami, dilihat atau didengar secara langsung.

6. Jawaban cukup singkat dan padat; kalau tidak tahu, cukup jawab “tidak tahu”.

44 Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa (vide Pasal 184 ayat (1) KUHAP).

Page 59: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

53

7. Membaca dan meneliti berita acara pemeriksaan serta membubuhkan paraf pada setiap lembar berita acara pemeriksaan sebelum menandatanganinya.

8. Menyanggah isi berita acara pemeriksaan apabila tidak sesuai dengan keterangan yang telah diberikan dan tidak membubuhkan paraf serta tidak menandatangani berita acara.45

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi, kecuali:46 1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai

derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; 2. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama dengan terdakwa, saudara ibu atau

saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama sebagai terdakwa.

Saksi diperiksa dengan tidak disumpah, kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.47

B. Saksi Ahli

Dalam KUHAP tidak dikenal istilah saksi ahli, melainkan keterangan ahli, yaitu apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.48 Dalam KUHAP tidak dijelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Definisi keterangan ahli terdapat dalam Pasal 343 Ned.Sv. yaitu, pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.49 Permintaan terhadap petugas atau pejabat DJPLN untuk didengar keterangannya sebagai ahli (saksi ahli) pada umumnya diajukan oleh penyidik kepada institusi (Kantor Pusat DJPLN, Kanwil DJPLN, KP2LN atau Biro Hukum Departemen Keuangan). Dalam hal dipanggil sebagai ahli (saksi ahli) oleh penyidik, petugas atau pejabat DJPLN hendaknya memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Mempelajari permasalahan. 2. Berkoordinasi dengan pejabat Kanwil dan/atau Kantor Pusat DJPLN. 3. Memenuhi panggilan sesuai dengan surat panggilan. Apabila berhalangan

hendaknya menghubungi pejabat yang memanggil dengan mengemukakan alasan yang tepat.

4. Memberikan keterangan hanya sebatas hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan keahlian.

5. Jawaban cukup singkat dan padat; kalau tidak tahu, cukup jawab “tidak tahu”.

45 Saksi tidak dapat dipaksa untuk menandatangani berita acara pemeriksaan, apabila ia menolak isi berita acara pemeriksaan. Penyidik cukup mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya (vide Pasal 118 ayat (2) KUHAP). 46 Pasal 168 KUHAP. 47 Pasal 116 ayat (1) KUHAP. 48 Pasal 184 ayat (1) huruf b jo. Pasal 186 KUHAP. 49 Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, h.268-269.

Page 60: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

54

C. Tersangka

Sejak pemeriksaan awal, tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.50 Selain itu tersangka mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut:51 1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50

KUHAP). 2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan (Pasal 51 huruf a KUHAP). 3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52

KUHAP). 4. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP). 5. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka yang ditahan (Pasal 58 KUHAP). 6. Hak untuk diberitahu kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan

tersangka yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanan (Pasal 59 KUHAP).

7. Hak untuk berhubungan dengan keluarga untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanan (Pasal 60 KUHAP).

8. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61 KUHAP).

9. Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukum (Pasal 62 KUHAP).

10. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP).

11. Hak untuk mengajukan ganti rugi (Pasal 68 KUHAP). Petugas atau pejabat DJPLN yang diminta keterangannya sebagai tersangka hendaknya memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Pelajari unsur-unsur tindak pidana dan pasal yang disangkakan. 2. Pelajari dan pahami ketentuan pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang

yang berkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan. 3. Pahami maksud pertanyaan yang diajukan sebelum menjawab. 4. Jawab pertanyaan secara singkat, padat, dan usahakan jawaban tidak

menimbulkan pertanyaan baru. 5. Kalau tidak tahu, cukup jawab “tidak tahu”.

50 Vide Pasal 54 KUHAP. 51 Vide Pasal 50 sampai Pasal 68 KUHAP.

Page 61: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

55

BAB VIII PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN

A. Proses Kepailitan

Kepailitan melewati beberapa prosedur yang dimulai dari permohonan pailit sampai dengan proses rehabilitasi. Secara garis besar proses kepailitan dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Permohonan Pailit. 2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 3. Perdamaian (akkord). 4. Pengesahan perdamaian oleh pengadilan (homologasi). 5. Putusan pailit tingkat pertama (mulai berlaku penangguhan eksekusi hak

jaminan/stay). 6. Putusan pailit telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). 7. Tindakan verifikasi (pencocokkan piutang). 8. Pernyataan insolvensi (debitor dalam keadaan tidak mampu membayar). 9. Pemberesan (termasuk penyusunan daftar piutang dan pembagian).

10. Kepailitan berakhir. 11. Rehabilitasi.

B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Putusan pailit oleh pengadilan niaga mengakibatkan debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang telah dimasukkan dalam harta kekayaan pailit (boedel pailit) baik yang diperoleh sebelum maupun dalam masa pailit. Seluruh harta kekayaan debitor pailit berada dalam penyitaan umum pengadilan.52 Untuk melindungi kepentingan debitor pailit maupun pihak ketiga yang berhubungan hukum dengan debitor pailit, majelis hakim yang menjatuhkan putusan pailit mengangkat kurator dalam putusannya.53 Kurator melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan harta pailit, terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Selain mengangkat kurator, majelis hakim juga mengangkat hakim pengawas dari hakim pengadilan untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.54 Hakim pengawas tersebut bukan merupakan anggota hakim majelis yang menangani perkara pailit yang bersangkutan.

52 Akibat hukum pernyataan pailit diatur dalam Bagian Kedua tentang Akibat Kepailitan pada Bab II (Pasal 21 – Pasal 64) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan). Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Segala hak dan kewajiban debitor diwakili kurator yang ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga dalam putusannya (Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan), termasuk tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator (vide Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan). 53 Vide Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. 54 Vide Pasal 65 Undang-Undang Kepailitan.

Page 62: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

56

C. Hal yang Diperhatikan dalam Penanganan Perkara Pailit

Dalam hal diketahui ada perkara kepailitan yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara, penangan perkara seyogyanya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Melakukan penelitian terhadap Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang

berkaitan dengan perkara pailit dengan maksud antara lain untuk mengetahui jumlah piutang negara, tingkat pengurusan, dan barang jaminan.

2. Mengajukan permohonan SKU kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dapat ikut dalam proses kepailitan, misalnya pendaftaran tagihan, pencocokan piutang (verifikasi).

3. Melakukan koordinasi dengan penyerah piutang. 4. Menghubungi pengadilan niaga atau kurator dengan membawa surat tugas

(dalam hal SKU belum diperoleh), agar piutang negara dimasukkan dalam pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.

5. Menghadiri rapat pencocokan piutang dengan membawa SKU yang sudah didaftarkan di kepaniteraan.

6. Menghadiri rapat pencocokan piutang. Dalam rapat ini penangan perkara harus dapat meyakinkan kurator dan hakim pengawas tentang adanya dan besarnya piutang negara yang diurus dengan cara menyerahkan surat tagihan ataupun bukti tertulis yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan disertai bukti-bukti pendukung lainnya yang dianggap perlu.

7. Memperhatikan kedudukan penyerah piutang apakah sebagai kreditor separatis atau konkuren.

8. Meyakinkan kurator dan/atau hakim pengawas bahwa piutang negara mempunyai hak preference.

9. Memperhatikan masa stay atau penangguhan eksekusi hak jaminan. Masa stay berakhir paling lama 90 hari setelah putusan pailit. Dengan berakhirnya masa stay tindakan eksekusi barang jaminan yang diikat sempurna dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat dua bulan terhitung sejak dimulainya keadaan insolvensi.55

10. Apabila jaminan kebendaan telah diikat secara sempurna dan DJPLN/PUPN akan menggunakan hak sebagai kreditor separatis, penangan perkara tidak boleh ikut dalam perhitungan suara untuk rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit. Apabila penangan perkara ikut serta dalam perhitungan suara dimaksud, maka kedudukan kreditor separatis berubah menjadi kreditor konkuren, bahkan kedudukan sebagai kreditor konkuren tetap berlaku dalam hal perdamaian tidak diterima.56

11. Mempelajari dan mempertimbangkan manfaat ikut serta dalam rencana PKPU dan/atau perdamaian bagi pengurusan piutang negara.

12. Apabila jaminan tidak diikat secara sempurna atau tidak ada jaminan, maka penangan perkara mengikuti proses perdamaian dengan mempelajari rencana perdamaian yang diajukan terutama substansi/materi yang menguntungkan atau merugikan pengurusan piutang negara.

55 Vide Pasal 56 jo Pasal 57 ayat (1) jo. Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. 56 Vide Pasal 149 Undang-Undang Kepailitan.

Page 63: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

57

BAB IX

HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENANGANAN PERKARA

A. Petunjuk Menghadiri Sidang

- Berpakaian rapi dan sopan. Bagi penangan perkara pria sebaiknya memakai baju lengan panjang dan berdasi.

- Datang sebelum persidangan dimulai. - Membawa surat kuasa khusus untuk menangani perkara tersebut. - Menghubungi panitera perkara di ruang panitera pengadilan yang bersangkutan

untuk melapor dan mencari tahu ruang sidang. - Pada saat sidang akan dimulai, para pihak dipanggil untuk memasuki ruang sidang

dan duduk di tempat yang telah disediakan (tempat duduk tergugat berbeda dengan tempat duduk penggugat).

- Pada saat majelis hakim memasuki ruang sidang, penangan perkara berdiri dan duduk setelah hakim duduk.

- Setelah sidang dibuka, ketua majelis hakim menanyakan pihak-pihak yang hadir berikut SKU yang bersangkutan. Pada saat hal tersebut ditanyakan, penangan perkara maju ke depan meja sidang dan menyerahkan SKU kepada ketua majelis hakim.57

- Penangan perkara yang memperoleh kuasa khusus berhak menangani perkara sekalipun bukan seorang advokat.58

- Dalam setiap persidangan, penangan perkara senantiasa mengenakan tanda pengenal/identitas.

- Dalam hal pihak lawan diwakili oleh kuasa hukum, penangan perkara memohon kepada majelis hakim untuk memeriksa izin praktek kuasa hukum lawan (masa berlaku).

- Dalam setiap proses/tahap persidangan, penangan perkara membuat laporan tertulis kepada kepala kantor.

B. Kiat Menghadapi Perkara

- Jawaban merupakan kunci keberhasilan untuk memenangkan suatu perkara. Oleh karena itu, jawaban harus disusun secara cermat, teliti, dan tepat dengan mencantumkan bukti-bukti yang mendukung dalil-dalil bantahan yang diajukan.

- Dalam hal belum memasukkan jawaban sedangkan persidangan sudah masuk dalam tahap acara pembuktian, dapat dimintakan kepada hakim majelis pada saat memasukkan bukti disertai dengan narasi/uraian jawaban (agar bukti yang diajukan mempunyai arti).

- Apabila jawaban belum (tidak) dimasukkan sedangkan persidangan sudah masuk dalam acara pembuktian, penangan perkara memasukkan bukti tulisan disertai

57 Pada prinsipnya SKU harus diserahkan dalam persidangan. Namun, ada kalanya majelis hakim meminta agar SKU didaftarkan pada pengadilan yang bersangkutan termasuk permohonan izin beracara untuk perkara tersebut (insidentil). 58 Lihat Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor SE-02/PL/2005 tanggal 10 Januari 2005.

Page 64: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

58

dengan narasi/uraian jawaban (agar bukti yang diajukan mempunyai arti). - Dalam hal pada saat menerima surat panggilan tidak dilampiri dengan surat

gugatan, penangan perkara datang menghadiri sidang sesuai dengan jadwal dalam surat panggilan dan meminta agar sidang ditunda. Penangan perkara meminta salinan gugatan kepada panitera.

- Dalam persidangan apabila ada keterangan/penjelasan pihak lawan/saksi yang menguatkan posisi, penangan perkara hendaknya memohon kepada ketua majelis hakim agar keterangan atau penjelasan tersebut dicatat oleh panitera sidang.

- Untuk mengetahui pihak yang berwenang mewakili suatu perusahaaan dalam suatu gugatan, penangan perkara dapat memohon kepada majelis hakim agar pihak yang bersangkutan menunjukkan AD/ART perusahaan.

- Dalam hal majelis hakim tidak menawarkan perdamaian (mediasi), penangan perkara dapat menggunakan hal tersebut sebagai alasan pembatalan putusan pengadilan negeri pada saat melakukan upaya hukum banding dan/atau kasasi.59

- Hal lain yang patut dan seharusnya dilakukan dalam menangani perkara gugatan.

C. Istilah Hukum

A de charge : untuk meringankan, misalnya saksi a de charge. Affidavit : keterangan di bawah sumpah. A quo : bersangkutan (penunjukan pada perkara). Boedel : keseluruhan harta kekayaan dan tagihan debitor pailit. Casu quo (c.q.) : dalam hal ini. Conservatoir beslag (sita jaminan)

: sita yang dimohonkan terhadap suatu barang tergugat untuk dijadikan jaminan dalam rangka keputusan yang berkaitan dengan pembayaran.

Consignatie : penyimpanan/penitipan uang atau barang berharga pada kepaniteraan pengadilan negeri yang memerlukan pengesahan oleh hakim.

Detournement de pouvoir

: penyalahgunaan wewenang.

Dismissal process (dismissal procedure)

: rapat permusyawaratan yang dipimpin oleh ketua pengadilan TUN untuk menentukan dapat tidaknya gugatan disidangkan di pengadilan TUN sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam UU PTUN.

Duplik : bantahan/sanggahan atas replik tergugat. Eksepsi : tangkisan yang tidak menyangkut pokok perkara. Ex aequo et bono : mohon putusan yang seadil-adilnya, biasanya dimuat

pada bagian akhir petitum (pokok tuntutan). Executorial beslag (sita eksekusi)

: sita yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ex nunc : berlaku sejak saat ditetapkan. Ex tunc : berlaku pada waktu yang akan ditentukan (berlaku surut

atau berlaku kemudian). Ex officio : karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau

59 Hakim wajib mendamaikan para pihak yang bersengketa (vide Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. Lihat juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003). Apabila hakim tidak menawarkan perdamaian, hal ini berarti hakim keliru menerapkan hukum acara.

Page 65: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

59

pengangkatan. Exploit : pemberitahuan oleh juru sita kepada yang bersangkutan

berupa keterangan mengenai apa yang harus dilakukan. Fiat executie : pernyataan setuju dengan pelaksanaan suatu putusan. Fundamentum petendi : dasar gugatan dalam perkara perdata sebagai kebalikan

dari petitum (pokok perkara/tuntutan). Gugatan ditolak (TUN)

: putusan yang diberikan oleh majelis hakim setelah diperiksa ternyata gugatan yang diajukan tidak terbukti.

Gugatan gugur (TUN) : putusan yang diberikan oleh majelis hakim apabila penggugat tidak hadir setelah dipanggil dengan patut.

Gugatan tidak dapat diterima (TUN)

: putusan yang diberikan oleh majelis hakim apabila eksepsi tergugat diterima oleh majelis.

Iedereen wordt geacht de wette kennen

: setiap orang dianggap mengetahui hukum.

Insolvensi : Debitor pailit berada dalam keadaan tidak mampu bayar. Judex factie : pengadilan yang memeriksa fakta-fakta dan bukti-bukti. Keputusan TUN : penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Kompetensi Absolut : berkaitan dengan pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan. Kewenangan badan peradilan apakah untuk memeriksa suatu perkara terjadi, seperti apakah peradilan umum atau peradilan tun.

Kompetensi Relatif : berkaitan dengan kewenangan pengadilan sejenis mana untuk memeriksa perkara, seperti apakah Pengadilan Negeri Pekan Baru atau Pengadilan Negeri Rengat.

Konvensi : gugatan. Marital beslag : sita yang dimohonkan terhadap harta gono-gini dalam

perkara perceraian. Minuut : asli, lembar pertama dari suatu akta atau dokumen. Nebis in idem : tidak boleh suatu perkara yang sama, yang sudah

diputus, diperiksa, dan diputus untuk kedua kalinya. Niet Ontvankelijk Verklaard (NO)

: gugatan tidak dapat diterima.

Lex posterior derogat legi priori

: undang-undang yang baru mendahulukan undang-undang yang lama.

Lex specialis derogat legi generali

: hukum/peraturan yang khusus mendahului hukum/ peraturan yang bersifat umum.

Lex superior derogat legi inferiori

: undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.

Penggugat Intervensi : masuknya pihak ketiga dalam perkara setelah permohonannya disetujui oleh Majelis Hakim.

Petitum : hal-hal yang dituntut/diminta penggugat dalam gugatannya, pokok perkara/tuntutan.

Positum : dalil, objek dan alasan gugatan, fakta hukum dan dasar hukum; bentuk jamaknya: posita.

Page 66: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

60

Pokok gugatan (TUN) : fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.

Prodeo : permohonan tergugat/penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk berperkara secara cuma-cuma.

Putusan akhir : suatu putusan yang memuat pertimbangan hukum dan dictum atas pokok perkara yang disengketakan.

Putusan sela (Interlocutoir vonis)

: suatu putusan yang bersifat sementara (bukan putusan akhir) yang dikeluarkan oleh majelis hakim pada saat persidangan sedang berjalan.

Quad non : seandainya pun itu benar. Maksudnya, tidak membantah secara tegas, tetapi juga tidak mengakui secara pasti.

Rechtspraak : peradilan Rekonvensi : gugat balik yang diajukan oleh tergugat. Replik : bantahan/sanggahan atas jawaban penggugat. Revindicator beslag : sita yang diletakkan apabila Penggugat menggugat benda

bergerak yang berasal darinya dan benda itu masih utuh (untuk mendapatkan hak kembali).

Sengketa TUN : sengketa yang timbul di bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tussenkomst : permohonan masuknya pihak ketiga atas kemauan sendiri untuk ikut serta dalam proses pemeriksaan di persidangan guna mempertahankan dan membela hak dan kepentingannya.

Unus testis nullus testis

: satu saksi bukanlah saksi.

Uitvoerbaarheid bij voorraad

: putusan serta-merta, putusan hakim yang dapat dijalankan segera dengan tidak mengindahkan kemungkinan perlawanan, banding atau kasasi.

Verstek : putusan hakim dalam perkara perdata yang diputus karena ketidakhadiran tergugat, walaupun sudah dipanggil secara patut.

Verzet : upaya hukum terhadap putusan hakim atau penetapan pengadilan yang diputuskan tanpa kehadiran tergugat.

Voeging : masuknya pihak ketiga dalam perkara untuk menggabungkan diri dengan salah satu pihak (tergugat/penggugat).

Page 67: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

61

DAFTAR LAMPIRAN

hlm. A. Contoh

1. Surat Tugas Sebelum SKU Diterbitkan ……………………………………

2. Surat Tugas Setelah SKU Terbit………………………………...…………

3. Surat Kuasa Khusus TUN……………………………………..…………..

4. Jawaban Gugatan……………………………………………..…………...

5. Replik ………………………………………………………..……………

6. Duplik…………………………………………………………….……….

7. Akta Pembuktian Gugatan………………………………………..……….

8. Kesimpulan ……………………………………………………..………...

9. Memori Banding…………………………………………………..………

10. Kontra Memori Banding……………………………………..……………

11. Memori Kasasi………………………………………………..…………...

12. Kontra Memori Kasasi………………………………………..…………...

13. Memori Peninjauan Kembali……………………………………..……….

14. Kontra Memori Peninjauan Kembali……………………………..……….

63

64

65

67

71

75

78

81

83

89

92

95

98

106

B. Keputusan Menteri Keuangan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Piutang dan

Lelang Negara

1. Instruksi Menteri Keuangan Nomor 05/IMK.01/1978 tentang Penanganan Perkara-Perkara Dimuka Pengadilan yang Menyangkut Departemen Keuangan serta Instansi-instansi dan Badan-badan/Badan-badan Usaha Negara yang Berada Dibawah Lingkungan Departemen Keuangan ............

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

139/KMK.08/2001 tentang Penunjukan Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan Untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Guna Menghadap di Muka Peradilan Umum................

111 113

Page 68: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

62

3. SE-27/PL/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Penanganan Perkara Tata Usaha Negara di Lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara........................................................

4. SE-28/PL/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Peningkatan Kualitas

Penanganan Perkara Pengurusan Piutang Negara dan Lelang ..................... 5. SE-31/PL/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Bantuan Hukum

Terhadap Pejabat/Pegawai yang Tersangkut Perkara Pidana dalam Menjalankan Tugas.....................................................................................

6. SE-08/PL/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Penanganan Perkara Perdata

di Lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara..................................................................................

7. SE-10/PL/2004 tanggal 11 Mei 2004 tentang Pelaksanaan Putusan Serta

Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil....................................... 8. SE-11/PL/2004 tanggal 14 Mei 2004 tentang Pelaksanaan Mediasi di

Pengadilan .................................................................................................... 9. SE-19/PL/2004 tanggal 27 September 2004 tentang Evaluasi Penanganan

Perkara Per Semester I Tahun 2004.............................................................. 10. SE-02/PL/2005 tanggal 10 Januari 2005 tentang Penanganan Perkara

Tidak Harus Berprofesi Sebagai Advokat.....................................................

115 117 119 122 124 128 136 138

C. Surat Keputusan Pembentukan Tim

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KM.1/2004 tentang Pembentukan Tim Penyususnan Buku Pedoman Penanganan Perkara ................

139

Page 69: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

63

Contoh Surat Tugas Sebelum SKU Diterbitkan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ........ ......... KANTOR PELAYANAN PENGURUSAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ........

Jalan ................................... Telepon ................... .......(kota/kode pos).............. Faksimili ................

SURAT TUGAS

Nomor : ST- ....... /......./........

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini memberi tugas kepada: 1. Nama : ............................................

NIP : ............................................ Jabatan : ...........................................

2. Nama : ............................................ NIP : ............................................ Jabatan : ...........................................

untuk bersama-sama atau sendiri-sendiri menghadiri proses persidangan dalam perkara perdata No. ........................................... di Pengadilan Negeri .............................. sebagaimana dimaksud dalam Surat Kuasa Khusus Nomor : SKU-......./....../........ tanggal ...............................

Setelah pelaksanaan tugas tersebut selesai, Saudara diminta untuk menyampaikan laporan tertulis kepada kami.

Kepada instansi yang bersangkutan, kami meminta bantuan seperlunya.

Dikeluarkan di : ........................ Pada tanggal : ........................

Kepala Kantor,

.......................... NIP ..................

Tembusan: ...........................

Page 70: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

64

Contoh Surat Tugas Setelah SKU Terbit

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ........ ......... KANTOR PELAYANAN PENGURUSAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ........

Jalan ................................... Telepon ................... .......(kota/kode pos).............. Faksimili ................

SURAT TUGAS

Nomor : ST- ....... /......./........

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini memberi tugas kepada: 1. Nama : ............................................

NIP : ............................................ Jabatan : ...........................................

2. Nama : ............................................ NIP : ............................................ Jabatan : ...........................................

untuk bersama-sama atau sendiri-sendiri menghadiri proses persidangan dalam perkara perdata No. ........................................... di Pengadilan Negeri .............................. sebagaimana dimaksud dalam Surat Kuasa Khusus Nomor : SKU-......./....../........ tanggal ...............................

Setelah pelaksanaan tugas tersebut selesai, Saudara diminta untuk menyampaikan laporan tertulis kepada kami.

Kepada instansi yang bersangkutan, kami meminta bantuan seperlunya.

Dikeluarkan di : ........................ Pada tanggal : ........................

Kepala Kantor,

.......................... NIP ..................

Tembusan: ...........................

Page 71: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

65

Contoh Surat Kuasa Khusus TUN

KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ……………..

SURAT KUASA KHUSUS Nomor : SKU- /…… /……

Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara …………, dengan ini memberi

kuasa kepada :

1. ……(Nama Penerima Kuasa)……………….

2. ……(Nama Penerima Kuasa)……………….

3. ……(Nama Penerima Kuasa)……………….

untuk bersama-sama atau sendiri-sendiri mewakili Kepala Kantor Pelayanan Pengurusan

Piutang dan Lelang ………… beralamat di Jalan …………………………………………. ,

serta bertindak untuk dan atas namanya,

Khusus

guna menghadap dimuka persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara

……………………….. dalam perkara Nomor ………………. mengenai ………………. yang

diajukan terhadapnya sebagai Tergugat …….. oleh :

……… (Nama Penggugat)……….

beralamat di ………………………… dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya

………………………………., Advokat dari Kantor Hukum ……………. yang berkantor di

Jalan ……………………….

Selanjutnya yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap pada semua pengadilan, semua

hakim di Indonesia, mengikuti dismissal procedure, memajukan dan menjalankan perkara-

perkara lainnya yang perlu untuk menyelesaikan perkara tersebut di atas, mengambil segala

tindakan yang dianggap baik, memberi keterangan-keterangan yang menurut hukum harus

diberikan oleh seseorang yang diberi kuasa, memajukan segala rekes, konklusi dan lain-lain

surat, bantahan, menandatangani akte perdamaian, memenuhi aanmaning, mengajukan banding

serta menyusun memori banding/kontra memori banding, mengajukan kasasi serta menyusun

memori kasasi/kontra memori kasasi, meminta agar supaya perkara diperiksa lagi dengan

mengajukan permohonan peninjauan kembali, meminta sesuatu pihak disumpah, dan

Page 72: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

66

selebihnya berusaha segala-galanya yang dianggap penting dan berguna oleh seseorang yang

diberi kuasa.

Kuasa ini diberikan dengan hak menguasakan terus kepada orang lain lagi (substitusi).

Tempat,Tanggal-Bulan-Tahun

Penerima Kuasa :

1. ………………………… Pemberi Kuasa :

(Nama Penerima Kuasa)

2. ………………………… ……(Jabatan Pemberi Kuasa) ….

(Nama Penerima Kuasa)

3. …………………………. …………………………………….

(Nama Penerima Kuasa) (Nama Pemberi Kuasa)

Page 73: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

67

Contoh Jawaban Gugatan

PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA CABANG …………………..

JAWABAN TERGUGAT III

Dalam Perkara Nomor : ……………….…………

Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Keuangan cq. Panitia Urusan Piutang Negara Pusat cq. Panitia Urusan Piutang Negara Cabang ………………., beralamat di Jalan………… Nomor…….……………………………………………………..sebagai………………………………..………TERGUGAT III

melawan

…………. berkedudukan di ………………………., dalam hal ini diwakili oleh ……………. Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara ……………..……, beralamat di Jalan……………………………….…..…..……… sebagai …………………………………...……PENGGUGAT.

…….(Tempat, Tgl/Bulan/Tahun)……..

Kepada Yth. Majelis Hakim Pengadilan Negeri ……………… di Jalan ………………………. …………………………..

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Pusat: SKU- …/PUPN/…. tanggal …………….., dengan ini menyampaikan Jawaban dalam Perkara Perdata Nomor: …/Pdt.G/…./PN……… Adapun yang menjadi dasar dan alasan untuk mengajukan jawaban adalah sebagai berikut :

Page 74: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

68

A. Dalam Eksepsi

1. Bahwa Tergugat III menolak seluruh dalil-dalil Penggugat dalam gugatan kecuali terhadap hal-hal yang dengan tegas diakuinya;

2. Eksepsi Kompetensi Relatif

- Bahwa gugatan ini telah secara keliru diajukan Penggugat pada Pengadilan Negeri ……..

di …………………;

- Bahwa tanah yang dijadikan sebagai objek gugatan adalah SHM Nomor …/…. atas nama …………… yang telah diikat dengan Hipotik dengan Nomor … tanggal……………………….. terletak di………. Kabupaten …………………dan merupakan wilayah hukum Pengadilan Negeri ………………

- Bahwa gugatan yang menyangkut benda tidak bergerak harus diajukan di pengadilan negeri tempat benda tersebut berada (vide Pasal Pasal 142 ayat (5) Rbg).

- Bahwa dalam sertifikat Hipotik Nomor … tanggal …………. dengan syarat-syarat seperti tertera dalam Akta Hipotik Nomor ……… tanggal………., jelas dinyatakan bahwa jika kedua belah pihak bersengketa dalam perkara mengenai hak-hak tersebut, maka kedua belah pihak memilih Pengadilan Negeri …………...di …………..…..

3. Eksepsi Kompetensi Absolut

- Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, Tergugat III berwenang melakukan Pengurusan Piutang Negara.

- Bahwa sesuai dengan surat Nomor : ………………... tanggal ……….., Tergugat II telah

menyerahkan kepada Tergugat III pengurusan piutang negara yang berasal dari kredit macet atas nama Penggugat.

- Berdasarkan Yurisprundensi Mahkamah Agung Nomor 1205K/Sip 1971 yang menyatakan

bahwa terhadap perkara pengurusan piutang negara yang telah terlebih dahulu diperiksa oleh PUPN/BUPLN dari pada Pengadilan Negeri, maka Pengadilan tidak berwenang memeriksanya.

Maka berdasarkan hal tersebut di atas, sudah tepat kiranya jika Majelis Hakim berkenan memutuskan : Menyatakan Pengadilan Negeri ………. tidak berwenang untuk mengadili perkara ini dan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini. Namun, apabila Majelis Hakim berpendapat lain maka perkenankan pula Tergugat III untuk mengajukan eksepsi lain, yaitu :

Page 75: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

69

4. Eksepsi Gugatan Kurang Pihak

- Bahwa gugatan a quo masih kurang pihak karena tidak melibatkan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) …..(nama)….sebagai pihak karena objek sengketa merupakan jaminan hutang Penggugat kepada Tergugat I, sebagaimana tertuang dalam Akta Hipotik Nomor…… tanggal…….. yang dibuat dihadapan Notaris /PPAT……(nama)….. .

- Bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 216K/Sip/1974 tanggal 27 Maret 1975 jo. Nomor 1424K/Sip/1975 tanggal 6 Juni 1976 Jo 878K/Sip/1977 tanggal 19 Juni 1979 menyatakan, “bahwa tidak dapat diterimanya gugatan a quo adalah karena ada kesalahan formil yaitu pihak yang seharusnya digugat tetapi belum digugat”.

- Bahwa dengan tidak ditariknya notaris/PPAT ……..(nama)…. sebagai pihak dalam perkara

a quo, maka terdapat kesalahan formil dalam gugatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklraad).

B. Dalam Pokok Perkara

1. Bahwa terhadap hal-hal yang dikemukakan dalam eksepsi di atas, mohon dianggap termasuk dalam pokok perkara ini dan Tergugat III menolak seluruh dalil Penggugat pada gugatannya, kecuali terhadap hal-hal yang secara tegas diakuinya;

2. Bahwa Tergugat III adalah lembaga yang berwenang untuk melaksanakan tugas pengurusan piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. 1960 dan peraturan pelaksanaannya;

3. Bahwa Tergugat III telah menerima penyerahan pengurusan piutang negara atas nama …………dari Tergugat I melalui suratnya Nomor ………. tanggal………… , dan dituangkan dalam Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) Nomor SP3N-…./PUPNC…./… tanggal ………….. , sebagai tanda beralihnya secara hukum pengurusan piutang negara dari Tergugat I kepada Tergugat III;

4. Bahwa berdasarkan penerimaan pengurusan piutang negara tersebut di atas, Penggugat telah

dipanggil secara patut untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian hutangnya, yaitu : - Surat Nomor: ……………………………… tanggal ……….; - Surat Nomor: ………………………………. tanggal ……….;

5. Bahwa karena Penggugat tidak pernah datang menghadap guna merundingkan penyelesaian

hutangnya, walaupun telah dipanggil secara patut, maka Tergugat III melaksanakan penagihan sekaligus dengan Surat Paksa Nomor: SP-…../PUPNC…./…. tanggal…………. Surat paksa ini berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, surat paksa tersebut mempunyai kekuatan sama seperti suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).

6. Bahwa meskipun telah dilakukan penagihan sekaligus dengan Surat Paksa, kenyataannya

Penggugat tidak menunjukkan itikad baiknya untuk melunasi hutangnya kepada negara cq. Tergugat I, sehingga untuk mengamankan keuangan negara, Tergugat III mengeluarkan

Page 76: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

70

perintah penyitaan terhadap objek sengketa a quo sesuai dengan Surat Perintah Penyitaan Nomor: SPS-…. /PUPN/…. tanggal …….. yang pelaksanaannya dilakukan oleh juru sita sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Penyitaan Nomor ……..tanggal ……..;

7. Bahwa Tergugat III menolak dalil Penggugat yang menyatakan penyitaan tidak sah tanpa

kehadiran Penggugat, karena dalil Penggugat tidak berdasar dan tidak ada ketentuan yang mensyaratkan pelaksanaan penyitaan dihadiri oleh Penggugat, melainkan syarat utama adalah pelaksanaan penyitaan tersebut disaksikan oleh dua orang saksi;

8. Bahwa pelaksanaan penyitaan atas objek sengketa a quo telah dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, karena disaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan Nomor …….. tanggal ………. . Dengan demikian, penyitaan yang dilakukan oleh Tergugat III pada tanggal ………..… secara hukum sah dan berharga;

9. Bahwa meskipun telah diberi kesempatan, Penggugat tetap tidak mempunyai itikad baik untuk

menyelesaikan hutangnya, sehingga Tergugat III melaksanakan penjualan lelang terhadap objek sengketa a quo berdasarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) Nomor : SPPBS………/PUPN………/…..;

10. Bahwa tindakan penjualan secara lelang objek sengketa berupa sebidang tanah SHM Nomor

……. berikut bangunan yang berdiri di atasnya, selain didasarkan atas kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya, juga didasarkan atas Sertifikat Hipotik Nomor ……… tanggal ………… yang memberikan hak pertama kepada kreditor untuk menjual barang jaminan tersebut dengan kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut, baik secara di bawah tangan atau secara lelang (vide Akta Hipotik Nomor ……. tanggal ……… halaman ……. angka……..). Dengan demikian tindakan Tergugat III merupakan perbuatan yang didasarkan atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat III mohon agar Majelis Hakim yang mulia memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan yang amar putusannya sebagai berikut: Dalam Eksepsi: 1. Menerima eksepsi Tergugat III; 2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; Dalam Pokok Perkara: 1. Menolak seluruh gugatan Penggugat; 2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul; Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).

Terima kasih.

Hormat Kuasa Hukum Tergugat III

1. ……………… 2. …………………

Page 77: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

71

Contoh Replik

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ……………………….. KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ………….

REPLIK TERLAWAN Dalam Perkara Nomor : ……………………………………..

Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah …………………..cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ……….. beralamat di Jalan ………………………... ………………… sebagai….……………………………………....PELAWAN

melawan

………………………berkedudukan di …………… , dalam hal ini diwakili oleh ……………….. Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara ……, beralamat di Jalan……………………………………………. sebagai..……………………………...…….... TERLAWAN

…….(Tempat, Tgl/Bulan/Tahun)……..

Kepada Yth. Majelis Hakim Perkara Nomor ………….. Pengadilan Negeri ………………… di Jalan …………………………………….. …………………………

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU- …/MK…./…. tanggal ……… dengan ini menyampaikan Replik Pelawan atas jawaban Terlawan dalam perkara perdata Nomor …/Pdt.G/…./PN…………… di Pengadilan Negeri ………………, sebagai berikut :

Page 78: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

72

A. Dalam Eksepsi :

1. Bahwa Pelawan menolak dengan tegas semua dalil-dalil yang diajukan oleh Terlawan dalam eksepsinya;

2. Bahwa Pelawan menolak dalil Terlawan yang menyatakan tenggang waktu mengajukan perlawanan telah lewat 14 hari, karena perlawanan dalam perkara Nomor ……………. telah diajukan sebelum tenggang waktu 14 Hari sejak pemberitahuan putusan, yaitu pada tanggal ………;

3. Bahwa Terlawan harus bisa membedakan antara verzet terhadap penetapan eksekusi pengadilan dengan derden verzet;

4. Bahwa dalil Terlawan butir 3 yang menyatakan bahwa perlawanan tidak dapat diajukan oleh pihak perkara adalah sangat tidak berdasar hukum karena sesuai dengan Pasal 195 ayat (6), (7) HIR/ Pasal 206 ayat (6),(7)RBg yang menyatakan bahwa perlawanan terhadap sita eksekutorial dapat diajukan oleh pihak tersita (dalam hal ini KP2LN ……….);

5. Bahwa Pelawan Menolak dalil Terlawan yang menyatakan perkara Nomor ……………….. "Nebis in idem", karena dalam perkara Nomor …………….. belum pernah diperiksa pokok perkaranya sehingga tidak dapat dinyatakan nebis in idem;

6. Bahwa jawaban Terlawan jelas mengada-ada yang tidak berdasar hukum. B. Dalam Pokok Perkara

1. Bahwa segala apa yang telah dikemukakan dalam eksepsi di atas, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dengan pokok perkara ini;

2. Bahwa Pelawan tetap berpegang pada dalil-dalil perlawanannya semula dan menolak dengan tegas semua dalil yang diajukan oleh Terlawan kecuali terhadap hal-hal yang dengan tegas diakui oleh Terlawan;

3. Bahwa Pasal 131 Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comtabiliteitswet) ICW; S. 1864 No. 106 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968) menyatakan bahwa barang-barang yang masih diperuntukan bagi dinas-dinas Negara tidak boleh dipindahtangankan (vervreemd). Berdasarkan ketentuan tersebut penyitaan seharusnya tidak dilakukan karena barang bergerak yang disita merupakan kendaraan dinas yang dipergunakan oleh Pelawan untuk kepentingan dinas;

4. Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri …….. tersebut tidak berdasar pada hukum dan ketentuan yang berlaku serta tidak mengindahkan syarat-syarat penyitaan sebagaimana diatur dalam undang-undang khususnya Undang-undang Perbendaharaan Negara (ICW, S. 1864 No. 106 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968).

5. Bahwa dalil Terlawan dalam angka 5 yang menyatakan tidak perlu izin dari Mahkamah Agung dalam melakukan penyitaan terhadap barang milik negara adalah tidak benar,

Page 79: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

73

karena berdasarkan Undang-Undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comtabiliteitswet/ICW) Bagian X tentang Larangan Menyita Uang, dan Barang-barang Milik Negara, Pasal 65 dan Pasal 66 dinyatakan bahwa penyitaan terhadap barang milik negara harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Agung.

6. Bahwa sesuai dengan ketentuan sebagaimana dikemukakan dalam angka 5 di atas, maka penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri …….. terhadap aset/barang inventaris kantor milik Pelawan tidak memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku karena tidak mendapat izin dari Mahkamah Agung sehingga Pelawan berhak untuk menolaknya;

7. Bahwa berdasarkan Pasal 211 RBg. yang mengatur tentang larangan penyitaan terhadap peralatan/perkakas yang benar-benar dipergunakan untuk menjalankan mata pencaharian (kegiatan), maka Pelawan tetap berpendirian bahwa penyitaan terhadap kendaraan dinas tidak dapat dibenarkan karena kendaraan dinas merupakan peralatan/perkakas yang masih dipergunakan untuk melaksanakan tugas/kegiatan kantor dalam rangka penyelamatan keuangan negara. Hal ini diakui oleh Terlawan dalam angka 5 jawabannya bahwa barang yang disita merupakan peralatan/perkakas yang dipergunakan Pelawan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan kantor;

8. Bahwa berdasarkan Pasal 66 ICW barang-barang hak kebendaan yang karena sifatnya ataupun tujuannya harus dianggap barang bukan untuk diperdagangkan, oleh undang-undang maupun peraturan umum dinyatakan tidak dapat disita. Oleh karena itu, terhadap barang milik Pelawan tidak dapat dilakukan penyitaan karena barang tersebut bukan merupakan barang untuk diperdagangkan, melainkan barang inventaris kantor Pelawan yang dibeli dengan dana dari APBN;

9. Bahwa dalil Terlawan dalam angka 4 yang menyatakan bahwa Pelawan mempunyai hutang kepada Terlawan adalah sangat tidak rasional dan memutarbalikkan fakta, Pelawan tidak pernah mempunyai hutang kepada Terlawan, bahkan sebaliknya Terlawanlah yang mempunyai hutang kepada Negara cq. PT Bank …………… dan hal tersebut sudah diakui oleh Terlawan;

10. Bahwa Pasal 30 ICW menentukan bahwa barang-barang negara berupa apapun tidak boleh diserahkan kepada mereka yang mempunyai tagihan terhadap negara, oleh karena itu, penyitaan terhadap barang-barang milik negara tidak dapat dibenarkan;

11. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan di atas maka penyitaan yang dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri …… terhadap kendaraan dinas Pelawan tidak sah menurut hukum karena dilaksanakan dengan tidak mengindahkan syarat-syarat dan prosedur penyitaan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Maka : Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, bersama ini Pelawan mohon kepada Majelis Hakim agar sudilah kiranya memutus perkara ini sebagai berikut : Dalam Eksepsi 1. Menolak Eksepsi Terlawan seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa eksekusi perkara ini ditangguhkan sebelum ada putusan yang

Page 80: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

74

mempunyai kekuatan hukum tetap atas perkara verzet. Dalam Pokok Perkara 1. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang benar;

2. Menyatakan bahwa penyitaan atas kendaraan dinas milik Pelawan adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal demi hukum.

3. Bahwa kendaraan dinas milik Pelawan harus dinyatakan tidak dapat disita (Non executable).

4. Memerintahkan untuk mengangkat kembali sita eksekutorial tanggal 2 April 2001 atas kendaraan dinas milik Pelawan.

5. Menghukum Terlawan untuk membayar biaya perkara.

6. Menyatakan keputusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad) meskipun timbul verzet atau banding.

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Terima kasih.

Hormat Kuasa Pelawan

(………………………..) (……………………….)

Page 81: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

75

Contoh Duplik

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ………………….. KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ………….

DUPLIK TERGUGAT II

Dalam Perkara Nomor : ……………………………………..

Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah …………………..cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ……….. beralamat di Jalan ……….………………………………… sebagai ......…………………………..…..TERGUGAT II

melawan

…………………………berkedudukan di…, dalam hal ini diwakili oleh ……………….. …… Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara……, beralamat di Jalan.……………………………………..… sebagai……………………………..…….. PENGGUGAT

…….(Tempat, Tgl/Bulan/Tahun)……..

Kepada Yth. Majelis Hakim Perkara Nomor ………….. Pengadilan Negeri ………………… di Jalan …………………………………….. …………………………

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU- …/MK…./…. tanggal ……… dengan ini menyampaikan Duplik atas Replik Penggugat dalam perkara Perdata Nomor …/Pdt.G/…./PN…………… pada Pengadilan Negeri ………………, sebagai berikut :

Page 82: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

76

A. Dalam Eksepsi

1. Bahwa Tergugat II tetap pada eksepsi semula sebaimana dikemukakan dalam jawaban dan menolak dengan tegas dalil yang diajukan Penggugat dalam replik;

2. ………. ( tambahan dalil tergantung pada replik penggugat dalam eksepsi) ……… . B. Dalam Pokok Perkara

1. Bahwa terhadap hal-hal yang dikemukakan dalam eksepsi di atas, mohon dianggap termasuk dalam pokok perkara;

2. Bahwa Tergugat II tetap dengan tegas berpegang pada dalil-dalil semula sebagaimana

telah dikemukakan dalam jawaban, dan menolak seluruh dalil-dalil Penggugat dalam Replik kecuali terhadap hal-hal yang dengan tegas diakuinya;

3. Bahwa Tergugat II menolak dengan tegas replik Penggugat pada angka … dan angka … dan menegaskan kembali jawaban Tergugat II pada angka … yang menyatakan bahwa Tergugat II telah memanggil Penggugat secara patut dengan: - Surat Nomor: …../….../KP…/…. tanggal……………..; - Surat Nomor: …../….../KP…/…. tanggal……………..;

4. Bahwa setelah Penggugat dipanggil secara patut dengan Surat Panggilan sebagaimana

dikemukakan pada angka 2 di atas, Penggugat tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya. Oleh karena itu, Tergugat II melanjutkan proses pengurusan piutang negara dengan menerbitkan:

5. Surat Paksa Nomor: SP-…/PUPN……./… tanggal ……….… yang disampaikan pada tanggal ………. sesuai dengan Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa tanggal ……..

6. Surat Perintah Penyitaan Nomor: SPS-…/PUPN…./… tanggal ……… yang dilaksanakan pada tanggal ………. sesuai dengan Berita Acara Penyitaan No…………..…. tanggal …….……

7. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan Nomor: SPPBS-.… /PUPN….../…. tanggal…………...

8. Bahwa rencana pelaksanaan lelang barang sitaan berdasarkan Surat Perintah Penjualan

Barang Sitaan telah diberitahukan oleh Tergugat II kepada Penggugat melalui Surat Pemberitahuan Rencana Penjualan Barang Sitaan Nomor: S-…../ ………./KP …./…. tanggal………………. dan diumumkan pada Harian …. terbitan tanggal ……. . Dengan demikian, tidaklah benar Penggugat tidak mengetahui rencana pelaksanaan lelang barang jaminan hutang Penggugat;

Page 83: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

77

9. Bahwa dalil Penggugat yang menyatakan bahwa penyitaan dan penjualan secara lelang yang dilakukan oleh Tergugat II tidak memenuhi prosedur hukum maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah keliru dan tidak benar. Oleh karena itu, dalil tersebut harus dikesampingkan;

10. Bahwa berdasarkan apa yang dikemukan di atas, jelas bahwa pelaksanaan penyitaan dan penjualan lelang barang jaminan hutang Penggugat yang dilakukan oleh Tergugat II telah sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat II mohon agar Majelis Hakim yang mulia memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan yang amar putusannya sebagai berikut:

Dalam Eksepsi: 1. Menerima eksepsi Tergugat II;

2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara: 1. Menolak seluruh gugatan Penggugat;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul; Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Terima kasih.

Hormat kami Kuasa Hukum Tergugat II

(………………………………) (…………………………………)

Page 84: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

78

Contoh Akta Pembuktian Gugatan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ………………… KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ………………

AKTA PEMBUKTIAN TERLAWAN II

Dalam Perkara Nomor : ………………………

Pemerintah Republik Keuangan cq. Departemen Keuangan Republik Indonesia cq. Kantor Wilayah …….. cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara…………., beralamat di Jalan …….Nomor……………………………………………, sebagai…….………………………….……TERLAWAN II

melawan

…………. berkedudukan di ……….., dalam hal ini diwakili oleh …………. Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara…………………...……………, beralamat di Jl. .…………………………………………., sebagai ………………………………………….PELAWAN.

…….(Tempat,Tgl/Bulan/Tahun)…….. Kepada Yth. Majelis Hakim Pengadilan Negeri ……………… Dalam Perkara Nomor………….. di Jalan ………………………….. …………………………………….

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU- …/MK…./…. tanggal ……………., dengan ini perkenankan kami menyampaikan bukti-bukti sebagai berikut :

Page 85: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

79

No. Urut

Jenis Alat Bukti Kode Keterangan

1 Surat Penyerahan dari Penyerah Piutang No……. tanggal ……..

T.II.1 Surat sebagai bukti telah terjadi penyerahan pengurusan piutang negara.

2 SP3N No…….. T.II.2 Surat Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang yang menerima pengurusan piutang negara, berarti secara yuridis pengurusan piutang negara telah beralih kepada PUPN.

3 Surat Nomor: ……….. /……..

….. tanggal ……….;

T.II.3A

4 Surat Nomor: ……….. /…….. ….. tanggal ……….;

T.II.3B

Surat panggilan Terlawan II kepada Pelawan yang membuktikan bahwa Terlawan II telah memanggil Pelawan secara patut untuk menyelesaikan hutangnya.

6 Surat Paksa Nomor: SP-….../PUPNC/…/……..

T.II.4 Surat yang dikeluarkan oleh Ketua PUPN Cabang yang berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang memerintahkan Pelawan untuk membayar hutangnya dalam waktu 1 x 24 jam

7 Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa tgl…………….

T.II.5 Berita Acara Terlawan II yang memuat pemberitahuan/penyampai-an surat paksa kepada Pelawan

8 Surat Perintah Penyitaan Nomor: SPP-……/PUPNC/../..

T.II.6 Surat yang diterbitkan oleh Ketua PUPN Cabang .. untuk menyita barang jaminan hutang pelawan karena tidak memenuhi Surat Paksa No: SP-../PUPNC/…./

9 Berita Acara Penyitaan Nomor BA-…./PUPC…./…. Tanggal……………..,

T.II.7 Berita Acara yang menyebutkan bahwa telah dilakukan penyitaan atas barang jaminan hutang.

10 Sertifikat Hak Milik Nomor ……/ …… tanggal ….. atas nama.… seluas ……………

T.II.8 Sertifikat Hak Milik yang merupakan jaminan hutang pelawan

11 Sertifikat Hak Tanggungan Nomor ……. tanggal ……

T.II.9 Sertifikat pengikatan barang jaminan a quo.

Page 86: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

80

Demikian bukti-bukti ini kami sampaikan sebagai bahan untuk melengkapi dalil-dalil yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar dapat memberikan putusan yang adil bagi terwujudnya supremasi hukum.

Hormat Kuasa Hukum Terlawan II

1…………………………….. 2…………………………… ( ) ( )

Page 87: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

81

Contoh Kesimpulan

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH …………………… KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ………….

KESIMPULAN TERGUGAT IV

Dalam Perkara Nomor : ……………………………………..

Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah …………………..cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ……….. beralamat di Jalan ……….………………………………… sebagai ......…………………………..….TERGUGAT IV

melawan …………………………berkedudukan di…, dalam hal ini diwakili oleh ……………….. …… Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Pengacara……, beralamat di Jalan.……………………………………..… sebagai……………………………..…….. PENGGUGAT

Kepada Yth. Majelis Hakim Perkara Nomor ………….. Pengadilan Negeri ………………… di Jalan …………………………………….. …………………………

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU- …/MK…./…. tanggal ……… dengan ini menyampaikan Kesimpulan Penggugat IV dalam perkara Perdata Nomor …/Pdt.G/…./PN…………… pada Pengadilan Negeri ………………, sebagai berikut :

Page 88: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

82

A. Dalam Eksepsi

Bahwa Tergugat IV tetap pada eksepsi semula sebagaimana dikemukakan dalam jawaban dan duplik serta menolak dengan tegas dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatan dan replik;

B. Dalam Pokok Perkara

1. Bahwa dengan tegas Tergugat IV tetap pada jawaban dan duplik terdahulu, yang telah didukung oleh bukti-bukti otentik.

2. Bahwa Tergugat IV menolak dengan tegas seluruh dalil Penggugat dan bukti-bukti yang diajukan, kecuali terhadap hal-hal yang diakui Tergugat IV secara tegas kebenarannya.

3. Bahwa dari bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat IV, terbukti bahwa prosedur pengurusan piutang negara telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku, termasuk penyampaian Surat Paksa, pelaksanaan sita, sampai dengan pelaksanaan lelang barang jaminan hutang atas nama Penggugat.

4. Bahwa sebaliknya bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat dan keterangan yang disampaikan oleh saksi tidak perlu dipertimbangkan karena alat bukti tersebut hanya berupa keterangan tertulis yang diragukan keabsahannya dan keterangan saksi hanya menyampaikan pendapatnya, bukan keterangan berdasarkan apa yang dilihatnya.

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat IV mohon agar Majelis Hakim yang mulia untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. Terima kasih.

Hormat kami Kuasa Hukum Tergugat IV

(………………………………) (…………………………………)

Page 89: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

83

Contoh Memori Banding

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ………………….. KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA …………..

MEMORI BANDING

Dalam Perkara Nomor: ......................................................

1. Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang .................., beralamat di Jalan ............................, selanjutnya disebut sebagai.................PEMBANDING I (d.h. TERGUGAT I)

2. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara .............., beralamat di Jalan ..............., selanjutnya disebut sebagai...............PEMBANDING II (d.h.TERGUGAT II)

melawan

1. ………….., beralamat di Jalan ..............., selanjutnya disebut

sebagai TERBANDING I (d.h. PENGGUGAT I) 2. .................., beralamat di Jalan ............................., selanjutnya

disebut sebagai TERBANDING II (d.h. PENGGUGAT II) Terbanding I dan Terbanding II dalam hal ini diwakili oleh ............................ advokat, beralamat di Jalan .............................

.........(Tempat, Tanggal/Bulan/Tahun).............. Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara .............. melalui

Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara ............. di Jalan .......................................

..............

Page 90: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

84

Kami yang bertandatangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa dan Surat Tugas, mewakili Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang ............ dan Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) ……….., dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa Pembanding I (d.h. Tergugat I) dan Pembanding II (d.h. Tergugat II) dalam perkara ................, bersama ini menyampaikan Memori Banding atas Putusan Majelis Hakim PTUN ……… untuk perkara a quo pada tanggal .............. yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

M E N G A D I L I :

DALAM EKSEPSI

Menolak eksepsi dari Tergugat I dan Tergugat II;

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan gugatan para Penggugat ;

2. Menyatakan : ………………………………………………………………………….

- Surat Paksa tanggal ……….. yang diterbitkan oleh Tergugat I Nomor: SP-…/PUPNC…../…., beserta turutannya yaitu:

1. Surat Perintah Penyitaan tanggal ………. Nomor: SPS-…/PUPNC…. /…. dan tanggal ……… Nomor: SPS-…/PUPNC…../…., yang diterbitkan oleh Tergugat I;

2. Berita Acara Penyitaan tanggal…………Nomor: BA-……/WPL…/KP……/…… dan tanggal ……… Nomor : BA-…/WPL…/KP……/….. yang diterbitkan oleh Tergugat II;

3. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan tanggal ………. Nomor: SPPBS-…./PUPNC…../…. yang diterbitkan oleh Tergugat I;

Melanggar azas kecermatan dan azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara sebagaimana ditentukan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, dan atas dasar itu terhadap surat-surat Keputusan a quo dinyatakan batal serta memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II untuk mencabut surat-surat Keputusan Tata Usaha Negara tersebut;

3. Menyatakan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara ……… Nomor: ………….., tanggal ……… tentang Penundaan Pelaksanaan Lelang, tetap berlaku sah sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

4. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III Intervensi secara tanggung renteng sebesar …………

Page 91: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

85

Bahwa terhadap perkara a quo telah diputus pada tanggal ............... dan Para Pembanding mengajukan permohonan banding pada tanggal ..............., dengan demikian pengajuan banding ini masih dalam tenggat waktu yang diperbolehkan oleh undang-undang. Bahwa Pembanding I dan II (d.h. Tergugat I dan II) keberatan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ............ dalam register perkara Nomor .............., baik mengenai pertimbangan-pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya. Adapun keberatan Pembanding I dan II (d.h. Tergugat I dan II) tersebut adalah sebagai berikut: Dalam Pokok Perkara :

1. Bahwa Pembanding I dan II keberatan terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim pada

halaman …. alenia (paragraf) ..... yang menyatakan: “Bahwa oleh karena secara legal formal belum terpenuhi, maka penyerahan penagihan pinjaman macet a.n. ............... dari PT Bank ........... (Persero) kepada Tergugat I dan Tergugat II, dengan suratnya Nomor ................. tanggal ............... (Bukti T.I-1 sama dengan T.III i-18, yang ternyata telah dijadikan sebagai dasar atas penerbitan surat-surat keputusan objek sengketa, menurut majelis hakim sebenarnya tidak mengikat bagi Tergugat I maupun Tergugat II, karena telah tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, dimana PT....................... sebagai Perseroan Modal Asing belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman (legal formal belum terpenuhi.)

2. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut kurang tepat karena surat Tergugat III Intervensi Nomor .............. tanggal............ bukan merupakan dasar penerbitan surat-surat yang menjadi objek sengketa a quo, karena yang menjadi dasar penerbitan objek sengketa a quo adalah Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) Nomor SP3N-.../PUPNC... /..... (vide Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002). Bahwa dengan diterbitkannya SP3N maka secara yuridis formal pengurusan piutang negara atas nama PT .......... beralih baik kualitas maupun kuantitas dari Tergugat III Intervensi kepada Pembanding

3. Penyerahan piutang negara dari Tergugat III Intervensi kepada Pembanding I dan Pembanding telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu: a. Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN; b. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang PUPN; c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang PUPN;

Page 92: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

86

d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002;

e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara;

f. Keputusan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor 25/WPL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara.

4. Bahwa yang diserahkan oleh Tergugat III Intervensi kepada Pembanding I dan Pembanding II adalah kredit macet atas nama PT .............. yang wajib diserahkan pengurusannya kepada Pembanding I dan II (vide Pasal 12 Undang-Undang 49 Prp Tahun 1960).

5. Bahwa penagihan yang dilakukan terhadap PT ................ adalah sah dan memenuhi syarat legal formal karena PT ................ adalah badan hukum yang sah berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas No............. tanggal .......... Adapun perubahan pengurus dan status persero yang tidak didaftarkan tidak mengikat pihak ketiga termasuk Pembanding dan pengurus baru yang belum terdaftar bertanggung jawab penuh sampai dengan harta pribadi yaitu harta kekayaan PT dan harta kekayaan pribadi.

6. Bahwa Pembanding II keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman ……. paragraf …….. yang menyatakan: “Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tindakan Tergugat I dan Tergugat II yang telah menindaklanjuti surat Tergugat III Intervensi tentang penagihan pinjaman macet a.n PT ............., dengan menerbitkan surat-surat keputusan yang sekarang menjadi objek sengketa, meskipun secara formal telah sesuai dengan kewenangan yang ada padanya, tetapi secara legal formal PT............... sebagai perseroan Modal Asing belum terpenuhi, maka ditinjau dari segi substansiilnya surat-surat keputusan yang diterbitkan Tergugat I dan Tergugat II dan sekarang menjadi objek sengketa,yang berisi penyitaan terhadap harta kekayaan PT. .............., adalah mengandung cacat yuridis, dan dengan demikian telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (vide Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara); Karena sesuai ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dalam kasus a quo, seharusnya penyitaan hanya dibolehkan terhadap harta pribadi dan tidak terhadap harta kekayaan PT yang bersangkutan. Tergugat seharusnya mengetahui tentang hal itu dan atas dasar kewenangan yang dimilikinya seharusnya meneliti tentang aset-aset yang dilimpahkan kepadanya untuk dilakukan pelelangan dan dapat bertindak secara cermat serta hati-hati dalam rangka menjalankan kewenangan publik yang dimilikinya.

Page 93: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

87

7. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas kurang tepat karena: a. PT. .............. adalah badan hukum yang berwenang melakukan perbuatan hukum dan

status hukumnya tidak pernah dicabut. Perubahan status PT ..................... dari badan hukum nasional menjadi perusahaan Penanaman Modal Asing yang belum didaftarkan tidaklah berarti bahwa PT tersebut tidak mempunyai persona standi in judicio hanya saja pertanggungjawaban direksi adalah sebagai mana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. PT ...................... dalam hal ini sudah dapat melakukan perbuatan hukum karena sudah memiliki persona standi in judicio ( lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 297 K/Sip/1974 tanggal 12 Januari 1977).

b. Bahwa objek sengketa yang diterbitkan oleh Pembanding yaitu adalah untuk memerintahkan PT...................... melunasi hutangnya (SP-…./PUPNC…../…. tanggal …………). Karena tidak dipenuhi maka Pembanding I menerbitkan Surat Perintah Penyitaan terhadap barang jaminan hutang PT ...................... tanggal ………. Nomor: SPS-……/PUPNC…../….. dan tanggal …… Nomor: SPS-…/PUPNC…../…… sesuai dengan yang diperjanjian dalam Akta Perjanjian Kredit Nomor .......... serta Akta Perjanjian Kredit tangggal ........... Nomor ........... termasuk perubahan dan tambahannya. Dan pada tanggal ……. dan dan tanggal …….. telah dilakukan penyitaan terhadap barang jaminan hutang PT ……………berdasarkan berita acara Nomor : BA-…/WPL…./KP…../…… Nomor : BA-…./WPL…/KP…./….. Dan diteruskan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan tanggal ………… Nomor: SPPBS-…../PUPNC…../……. Penerbitan objek sengketa aquo telah melalui penelitian dan kecermatan yang tinggi sebelum diterbitkan.

c. Bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Terbanding I dan Terbanding II mewakili PT ...................... dengan Tergugat III Intervensi adalah sah dan berharga karena berdasarkan teori altar ego atau organ tindakan hukum yang dilakukan pengurus menjadi tanggung jawab perusahaan sebagai persona standi in judicio oleh karena itu penyitaan yang dilakukan terhadap harta kekayaan PT ...................... adalah sah karena aset-aset tersebut merupakan barang jaminan hutang dan diperjanjikan dalam perjanjian Perjanjian Kredit Nomor ........... serta Akta Perjanjian Kredit tangggal ......... Nomor ............. termasuk perubahan dan tambahannya.

d. Bahwa pembanding berkeberatan atas pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama yang menyatakan “Karena sesuai ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dalam kasus a quo, seharusnya penyitaan hanya dibolehkan terhadap harta pribadi dan tidak terhadap harta kekayaan PT yang bersangkutan”,karena tidak ada

Page 94: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

88

ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas dan penjelasannya yang menyatakan bahwa penyitaan hanya dibolehkan terhadap harta pribadi dan tidak terhadap harta kekayaan PT yang bersangkutan. PT ...................... sudah memenuhi syarat sebagai badan hukum dan berwenang melakukan perbuatan dalam lalu lintas hukum sehingga PT ...................... berwenang melakukan perjanjian dan harta kekayaannya dapat dijaminkan untuk pelunasan atau pemenuhan suatu prestasi.

e. Bahwa kurang tepat apabila hutang yang hasilnya dinikmati oleh PT ...................... dan Para Terbanding namun ketika macet tidak bersedia melaksanakan kewajibannya termasuk menyerahkan barang jaminan guna pelunasan hutangnya.

8. Bahwa Pembanding merasa keberatan atas pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa penerbitan objek sengketa a quo adalah tidak cermat, melanggar asas akuntabilitas, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena penerbitan objek sengketa a quo telah melalui penelitian berkas dan penelitian lapangan secara cermat dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pembanding I dan Pembanding II mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara …………untuk memeriksa dan memutus sebagai berikut : 1. Menerima Banding para Pembanding; 2. Membatalkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ………. untuk

Perkara Nomor ……………. yang diputus pada tanggal ……….. dan mengadili sendiri ; 3. Mencabut penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara ………. Nomor:

………….., tanggal …………. tentang Penundaan Pelaksanaan Lelang 4. Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar segala biaya yang timbul dalam

perkara ini. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Hormat Kami

Kuasa Hukum Pembanding

..................................................... ......................................................................

.................

Page 95: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

89

Contoh Kontra Memori Banding

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH ..................... KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ...............

KONTRA MEMORI BANDING Dalam perkara perdata Nomor : …………………………….

Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah ............... cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara …………………….........................., sebagai …….………………..TERBANDING d.h. TERGUGAT

melawan .............................., beralamat di Jalan ……………., yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya ......................, advokat, beralamat di .........……………………………………............…………………., sebagai …………………... PEMBANDING d.h. PENGGUGAT

Tempat, Tgl/Bulan/Tahun

Kepada Yth. Ketua Pengadilan Tinggi .................................. di .................... Melalui Ketua Pengadilan Negeri ................................. Jalan ............................ ............................ Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU- .................... / ...... tanggal .............. dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai Terbanding d.h. Tergugat, bersama ini menyampaikan KONTRA MEMORI BANDING dalam perkara perdata Nomor ...../PDT.G/....../...../PN..........…..... sebagai berikut:

Page 96: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

90

1. Bahwa Terbanding d.h. Tergugat secara resmi menerima relaas pemberitahuan pernyataan permohonan banding Nomor: ..../PDT.G/..../..../PN............. tanggal .................. telah menerima relaas pemberitahuan dan penyerahan memori banding pada tanggal ...................... melalui Juru Sita Pengadilan Negeri ......................, sehingga Kontra Memori Banding yang diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang dan oleh karena itu mohon agar dapat diterima.

2. Bahwa Terbanding d.h. Tergugat sangat sependapat dengan seluruh pertimbangan hukum

serta diktum putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ................... Nomor : ...../PDT.G/...../...../PN................ tanggal ...................... Bahwa demi penegakkan hukum dan menjunjung tinggi keadilan, Terbanding d.h. Tergugat mohon dengan hormat kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara a quo untuk menolak permohonan banding dari Pembanding d.h. Penggugat dan menerima serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri ................. Nomor : ...../PDT.G/...../...../PN.............. tanggal ......................

3. Bahwa Terbanding d.h. Tergugat menolak seluruh dalil yang diajukan Pembanding d.h. Penggugat a quo sebagaimana yang dikemukakan dalam memori bandingnya, kecuali terhadap hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya.

4. Bahwa keberatan Pembanding d.h. Penggugat terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang tidak mempertimbangkan pelaksanaan pemeriksaan setempat atas keberadaan obyek tanah yang menjadi sengketa harus ditolak, karena keberadaan objek tanah, luas, dan batas-batasnya sudah jelas tertera dalam Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan ……….….., sehingga pemeriksaan setempat tidak perlu dilakukan. Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Hakim untuk tidak melaksanakan pemeriksaan setempat terhadap keberadaan objek tanah sengketa sudah tepat dan benar.

5. Bahwa dalil Pembanding d.h. Penggugat yang menyatakan pertimbangan hukum Majelis Hakim berat sebelah, tidak obyektif dan tidak jujur karena tidak mempertimbangkan tindakan Terbanding d.h. Tergugat yang telah tidak mengindahkan asas-asas eksekusi dalam pelaksaaan eksekusi pengosongan terhadap tanah milik Pembanding d.h. Penggugat, sehingga menimbulkan kerugian bagi Pembanding d.h. Penggugat adalah dalil yang keliru dan harus dikesampingkan. Bahwa Terbanding d.h. Tergugat tidak pernah melaksanakan eksekusi pengosongan, karena yang melakukan eksekusi pengosongan adalah Pengadilan Negeri ……. berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemenang Lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri …… sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR.

6. Bahwa keberatan Pembanding d.h. Penggugat pada angka ……. memori banding yang menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri ……. tidak mempertimbangkan keberatan Pembanding d.h. Penggugat mengenai perbuatan Terbanding d.h. Tergugat yang melanggar Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960, dengan alasan pelaksanaan lelang tidak diumumkan pada papan pengumuman di lokasi serta tidak diberitahukan secara tertulis kepada Pembanding d.h. Penggugat adalah dalil yang keliru dan harus dikesampingkan. Bahwa Pembanding d.h. Penggugat telah salah menafsirkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960, karena Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No.49 Prp Tahun 1960 merupakan pasal yang mengatur mengenai

Page 97: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

91

penagihan dengan Surat Paksa, Pensitaan dan Penjualan Lelang, dan bukan pengaturan mengenai pengumuman dan pemberitahuan lelang.

7. Bahwa pelaksanaan lelang telah diumumkan di Surat Kabar Harian ………….. edisi ………… tanggal ……………. dan telah diberitahukan secara tertulis kepada Pembanding d.h. Penggugat dengan surat Nomor ……… tanggal …….. . Dengan demikian Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan oleh Pembanding d.h. Penggugat jelas mengada-ada dan oleh karena itu harus ditolak.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas, mohon dengan hormat sudilah kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Tinggi ......................... berkenan memeriksa dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dengan amar sebagai berikut : 1. Menolak permohonan Banding yang diajukan Pembanding d.h. Penggugat atau setidak-

tidaknya permohonan Banding a quo tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) 2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri ......... Nomor : ...../PDT. ...../....... /PN.........

tanggal ........................... Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Terima kasih.

Hormat Kuasa Hukum Terbanding

1. …………………………….. 2. …………………………….

---------------------------------- ----------------------------------

Page 98: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

92

Contoh Memori Kasasi

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDRAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH .................... KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ..................

MEMORI KASASI

Atas Putusan Pengadilan Tinggi TUN.................... Nomor: ....../......./PTTUN........... jo. Putusan Pengadilan TUN ..... Nomor : ...../G.TUN/...../PTUN............ tanggal ............... dalam perkara antara : Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.........., berkedudukan di ..............., Jalan....................., sebagai ....................................... PEMOHON KASASI semula Pembanding/Tergugat .....

melawan

.................................., beralamat di Jalan .................................., sebagai.....................…………......... TERMOHON KASASI semula Terbanding/Penggugat.

Tempat, Tgl/Bulan/Tahun

Kepada Yth. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta melalui : Ketua Pengadilan TUN..................... Jalan .............................. ............................ Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Nomor : SKU-...../....../...... tanggal ......................

Page 99: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

93

karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa serta mewakilinya, dengan ini mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi TUN.................... Nomor: ....../......./PTTUN........... jo. Putusan Pengadilan TUN Nomor : ...../G.TUN/...../PTUN............ tanggal ............... yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

Mengadili :

− Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. − Menyatakan batal Risalah Lelang Nomor ............../...... tanggal yang dikeluarkan oleh

Kantor Lelang Negara ............ terhadap barang-barang a quo. − Menolak gugatan Penggugat selebihnya. − Membebankan biaya perkara kepada Tergugat – Pembanding dalam kedua tingkat

peradilan yang dalam tingkat banding saja ditetapkan sebesar Rp 50.000,- (limapuluh ribu rupiah).

− Memerintahkan panitera Pengadilan Tinggi TUN ...... untuk mengirimkan salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan TUN .........

Bahwa relaas pemberitahuan isi Putusan Pengadilan Tinggi TUN ................. Nomor : ...../...../PT.TUN........jo. Putusan Pengadilan TUN............................. Nomor : ...../G.TUN/...../ PTUN................ tanggal ................... telah diterima oleh Pemohon Kasasi pada tanggal ...................... dan pada tanggal ................. Pemohon Kasasi telah mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi TUN ................. Nomor : ...../...../PT.TUN......... jo. Putusan Pengadilan TUN ............................. Nomor : ...../G.TUN/...../PTUN................ tanggal ..................., dengan demikian permohonan kasasi yang diajukan masih dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Adapun alasan-alasan Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Bahwa Pengadilan Tinggi TUN ..... telah tidak cukup memberi pertimbangan

(Onvoldoende Gemotiveerd) karena hanya mengambil alih pertimbangan hukum putusan Pengadilan TUN ...... tanggal ......... Nomor ....../G.TUN/..../PTUN..... tanpa didasari alasan-alasan hukum yang diwajibkan, maka sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 588K/Sip/1975 tanggal 13 Juli 1976 jis. No. 492K/Sip/1970 tanggal 16 Desember 1970, No.638K/Sip/1969 tanggal 22 Juli 1970 putusan a quo harus dibatalkan.

2. Bahwa Pengadilan Tinggi TUN .... telah salah menerapkan hukum, yaitu hukum pembuktian dengan mengesampingkan memori banding Pemohon Kasasi yang telah menunjukkan bukti-bukti kelengkapan dokumen yang dinilai kurang sempurna oleh Pengadilan Tinggi TUN ......, bahkan Pemohon Kasasi juga melampirkan bukti tambahan yang belum diajukan dalam pemeriksaan tingkat pertama.

Page 100: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

94

3. Bahwa Pengadilan Tinggi TUN......... telah salah menerapkan hukum tentang Peraturan Pelelangan yaitu mengenai ketentuan harga patokan terendah (harga limit), karena kedudukan sebagai perantara/pelaksana yang tidak ikut menentukan dan tidak mempunyai wewenang menentukan harga limit tersebut karena sepenuhnya hal tersebut wewenang penjual, i.c. Pengadilan Negeri ..........

4. Bahwa Pengadilan Tinggi TUN .... telah salah menerapkan hukum karena mengesampingkan pendapat/fatwa Mahkamah Agung yang disampaikan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan TUN dengan surat No.027/Td.TUN/II/1994 tanggal 2 Februari 1994 kepada Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Wilayah VI yang pada pokoknya menyatakan bila pelelangan adalah sebagai pelaksanaan perintah Ketua Pengadilan Negeri dalam rangka eksekusi perkara perdata, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena itu putusan yang membatalkan Risalah Lelang No. .../......... tanggal .......... dan menjadikan sebagai objek gugatan TUN adalah telah salah menerapkan hukum.

5. Bahwa Risalah Lelang bukan objek TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 dengan jelas dapat dibaca dari makalah Bapak Th. Ketut Suraputra, S.H. saat menjabat Tuada TUN MA-RI dalam Panel Diskusi III BUPLN - MA - Bank-bank Pemerintah/Daerah tanggal 8 Maret 1996 di Medan.

6. Bahwa selain itu Risalah Lelang bukan objek TUN juga sesuai dengan teori ”melebur” karena Risalah Lelang sebagai suatu akta jual beli melahirkan hubungan hukum perdata yang termasuk dalam pengertian Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Berdasarkan uraian dan alasan tersebut di atas, Pemohon Kasasi memohon kepada yang Mulia Majelis Hakim Agung berkenan memutus dengan amar putusan sebagai berikut : 1. menerima dan mengabulkan permohonan kasasi ini; 2. membatalkan isi Putusan Pengadilan Tinggi TUN ................. Nomor :

...../...../PT.TUN......... jo. Putusan Pengadilan TUN ............................. Nomor :

...../G.TUN/...../PTUN................ tanggal ................... Apabila Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Terima kasih.

Hormat Kami, Kuasa Hukum Pemohon Kasasi

…………………………… …………………

Page 101: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

95

Contoh Kontra Memori Kasasi

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDRAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH .................... KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ..................

KONTRA MEMORI KASASI

Atas Putusan Pengadilan Tinggi.................... Nomor: ....../......./PT........... jo. Putusan Pengadilan Negeri ........ Nomor : ...../Pdt.G/...../PN............ tanggal ............... dalam perkara antara : .................................., beralamat di Jalan .................................., sebagai.....................…………......... PEMOHON KASASI semula Pembanding/Penggugat

melawan Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah …………………..cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ………….….. beralamat di Jalan ……………………………………………... sebagai........TURUT TERMOHON KASASI semula Turut Terbanding/Turut Tergugat

Tempat, Tgl/Bulan/Tahun

Kepada Yth. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta melalui Yth. Ketua Pengadilan Negeri ............................... di Jalan. ................................. ...............................

Page 102: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

96

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri

Keuangan Republik Indonesia Nomor : .......…………... tanggal ................... bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai Turut Termohon Kasasi dengan ini menyampaikan Kontra Memori Kasasi atas Memori Kasasi dari Pemohon Kasasi, sehubungan dengan Putusan Pengadilan Tinggi ............... Nomor : ...../Pdt/...../PT/..... tanggal............... jo. Putusan Pengadilan Negeri ............... Nomor : ...../Pdt.G/...../PN................... tanggal ..................., sebagai berikut:

1. Bahwa Turut Termohon Kasasi telah menerima relaas pemberitahuan/penyerahan salinan Memori Kasasi Nomor: …../Pdt.G/…../PN …………... dari Pengadilan Negeri …………… pada tanggal ………………. Oleh karena itu, Kontra Memori Kasasi yang diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang dan untuk itu mohon agar dapat diterima (vide Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004);

2. Bahwa Turut Termohon Kasasi dengan tegas menyatakan menolak seluruh keberatan yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi dalam Memori Kasasinya, kecuali hal-hal yang secara tegas diakui kebenarannya;

3. Bahwa Turut Termohon Kasasi sangat sependapat terhadap seluruh pertimbangan hukum dan diktum Putusan Pengadilan Tinggi ................. Nomor : ...../Pdt/...../PT/..... tanggal ................. yang telah tepat dan benar menguatkan Putusan Pengadilan Negeri .................. Nomor : ...../Pdt.G/...../PN...... tanggal .................. Sehingga demi penegakan hukum dan menjunjung tinggi keadilan, Turut Termohon Kasasi mohon dengan hormat kepada Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara a quo untuk menerima dan menguatkan putusan pengadilan tinggi tersebut;

4. Bahwa semua alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Kasasi sebagaimana tersebut pada angka ….. dalam Memori Kasasi bukanlah merupakan alasan-alasan yang dapat dipertimbangkan di tingkat kasasi, karena merupakan penilaian bukti/fakta yang telah dipertimbangkan dengan benar di tingkat judex factie sebagaimana dapat dilihat pada pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi ........................... (vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 279K.Sip/1972 tanggal 09 Juli 1972).

5. Bahwa sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, tidak ada alasan bagi Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi ...................No....../PDT/...../PT/..... tanggal .................... karena seluruh diktum maupun putusannya tidak ada yang memenuhi syarat untuk dibatalkan oleh Mahkamah Agung, yaitu:

• Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

• Salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku;

• Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Page 103: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

97

6. Bahwa oleh karena itu, Turut Termohon Kasasi memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk mempertahankan seluruh pertimbangan dan diktum/putusan judex factie (Putusan Pengadilan Tinggi) a quo, serta menolak keberatan-keberatan Pemohon Kasasi dalam Memori Kasasi;

Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Turut Termohon Kasasi memohon kepada yang terhormat Majelis Hakim Agung berkenan menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut : 1. Menyatakan Kontra Memori Kasasi yang diajukan oleh Turut Termohon Kasasi dapat

diterima untuk seluruhnya; 2. Menolak permohonan Kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi atau setidak-tidaknya

menyatakan permohonan kasasi a quo tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard); 3. Menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi ................. Nomor : ...../Pdt/...../PT/..... tanggal

...........… Apabila Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex

aequo et bono).

Terima kasih.

Hormat kami Kuasa Hukum Turut Termohon Kasasi

(...............................) (...........................) (............................)

Page 104: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

98

Contoh Memori Peninjauan Kembali

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDRAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH .................... KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ..................

MEMORI PENINJAUAN KEMBALI

Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor:......... jo. Pengadilan Tinggi............... Nomor: ....../......./PT............ jo. Putusan Pengadilan Negeri .................... Nomor : ...../Pdt.G/...../PN............ tanggal ............... dalam perkara antara : Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah ………………..cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ………….….. beralamat di Jalan………………….. ………………………….sebagai...... PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI semula Pemohon Kasasi/Pembanding/Tergugat

melawan

.................................., beralamat di Jalan ................................., sebagai.................TERMOHON PENINJAUAN KEMBALI semula Termohon Kasasi/Terbanding/Penggugat.

Tempat, Tgl/Bulan/Tahun

Kepada Yth. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta melalui Yth. Ketua Pengadilan Negeri ............................... di Jalan. ................................. ...............................

Page 105: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

99

Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU-...../....../...... tanggal ...................... karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa serta mewakilinya, dengan ini mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor .......... jo. Pengadilan Tinggi............... Nomor: ......../...../PT............ jo. Putusan Pengadilan Negeri ...... Nomor : ...../Pdt.G/...../PN....... tanggal ........

Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor ……………. tanggal ……. amarnya berbunyi sebagai berikut :

Mengadili:

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi…….. ; - Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi ………. tanggal…… Nomor…….

/Pdt/…./PT…… ;

Mengadili Sendiri :

Dalam Provisi: - Menolak tuntutan provisi Penggugat; Dalam Eksepsi: - Menyatakan eksepsi Tergugat …. , Tergugat….. , Tergugat….. , dan Tergugat ….… tidak

dapat diterima; Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian; 2. Menyatakan Penggugat adalah debitor yang beritikad baik; 3. Menghukum Tergugat …. dan Tergugat ….. untuk menyerahkan penguasaan jaminan yang

tersebut dalam akta kredit Nomor ………. kepada Penggugat dalam keadaan kosong, jika ingkar dengan bantuan polisi atau ABRI lainnya, karena penguasaan oleh Tergugat ……., telah dinyatakan batal demi hukum;

4. Menghukum Tergugat ……. secara tanggung renteng dengan Tergugat …… apabila barang-barang jaminan yang sudah direval/dilelang atau tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula kepada pemiliknya debitor/ Penggugat, maka Tergugat …… dan Tergugat ….. membayar ganti rugi kepada Penggugat/Pemilik dengan harga pasar dan bukan harga penjualan lelang;

5. Menghukum Tergugat ….. patuh dan tunduk pada putusan ini; 6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya; 7. Menghukum para Termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat

peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebanyak Rp………………

Page 106: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

100

Bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut di atas telah diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali oleh Pengadilan Negeri ……… dengan relaas pemberitahuan Keputusan Mahkamah Agung tanggal ……… Nomor ……../Pdt.G/…./PN…… jo. ………K/Pdt/……. dan telah pula mengajukan permohonan Peninjauan Kembali a quo yang kesemuanya telah dilakukan dengan cara dan dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang, sehingga permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali a quo sepatutnyalah secara formal dapat diterima untuk dipertimbangkan. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara a quo yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi ……… dengan cara mengabulkan permohonan kasasi dari Termohon Peninjauan Kembali dan telah memberikan pertimbangan hukum tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 67 huruf c,e, dan f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, yaitu: 1. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; 2. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang

sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

3. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Selanjutnya alasan-alasan keberatan Pemohon Peninjauan Kembali dalam Peninjauan Kembali a quo selengkapnya diuraikan sebagai berikut: Alasan I (Pertama) Putusan judex jurist telah mengabulkan hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut Penggugat.

1. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali dalam petitum gugatan sebelumnya pada angka 3 tuntutan dalam pokok perkara a quo memohon kepada judex jurist agar memutus perkara a quo dengan putusan sebagai berikut:“menghukum Tergugat ….. , secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat sebagai akibat dari segala perbuatan yang tidak sah dan melawan hukum itu sebesar Rp ……………”

2. Bahwa namun demikian, judex jurist dalam putusan Nomor ….. tanggal …… telah memberikan putusan melebihi daripada apa yang dituntut (ultra petita) oleh Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat dengan amar putusan sebagaimana tersebut pada angka 4 dalam pokok perkara yang berbunyi : “Menghukum Tergugat ……. secara tanggung renteng dengan Tergugat …… apabila barang-barang jaminan yang sudah direval/dilelang atau tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula kepada pemiliknya debitor/ Penggugat, maka Tergugat …… dan Tergugat ….. membayar ganti rugi kepada Penggugat/Pemilik dengan harga pasar dan

Page 107: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

101

bukan harga penjualan lelang.”

3. Bahwa putusan yang sedemikian rupa, bahwa Mahkamah Aung sebagai benteng terakhir penegakan hukum dan pengawas tertinggi dari jalannya peradilan di Indonesia, telah mengabaikan ketentuan ndang-undangnya sendiri yang mengatur tentang kewenangan dalam memutus perkara kasasi dan dalam perkara a quo Majelis Hakim Kasasi telah mengabulkan hal yang tidak dituntut atau lebih daripada apa yang dituntut (ultra petitta).

4. Bahwa dengan demikian putusan judex jurist dalam perkara a quo melanggar ketentuan Pasal 67 huruf c Undang-undang Mahkamah Agung sehingga tidak ada alasan serta sudah patut dan wajar untuk dibatalkan, selanjutnya mohon mengabulkan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali.

Alasan II (Kedua) Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah memberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain diantara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama.

5. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali ingin mempertegas kembali bahwa dalil-dalil yang dituntut oleh Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo dan dikabulkan judex jurist dalam putusannya Nomor ……. Adalah didasarkan pada putusan Mahkamah Agung RI sebelumnya yang telah bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung RI lainnya mengenai pihak yang sama, pokok perkara, dan dasar gugatan yang sama, dan tidak ada bedanya yang dengan tegas menolak dalil/tuntutan Termohon Peninjauan Kembali;

6. Bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung RI yang menurut Pemohon Peninjauan Kembali saling bertentangan tersebut dan salah satunya dijadikan dasar gugatan Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah sebagai berikut: “Putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor ……tanggal ….. jo. Putusan Pengadilan Tinggi ….. Nomor …../Pdt/Bth/…../PT…. tanggal …… jo. Putusan PN…… Nomor ….. /Pdt/Bth/…./PN…. tanggal …… (disebut putusan kasasi Nomor …… tanggal ….. ) yang mengabulkan bantahan para pembantah (salah satunya Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo)”.

dengan “Putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor ……tanggal ….. jo. Putusan Pengadilan Tinggi ….. Nomor …../Pdt.G/…../PT…. tanggal …… jo. Putusan PN…… Nomor ….. /Pdt.G/…./PN…. tanggal …… ( disebut putusan kasasi Nomor …… tanggal ….. )yang menolak gugatan para Penggugat (salah satunya Termohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo).”

7. Bahwa pihak-pihak, dasar hukum, dan objek perkara yang dipermasalahkan oleh Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat dalam perkara a quo secara materil sama dan tidak ada bedanya dengan dua perkara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dikemukakan pada angka 6 Memori Peninjauan Kembali a quo;

Page 108: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

102

8. Bahwa mohon dicermati bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor …… tanggal……., telah menolak gugatan Penggugat (Termohon Peninjauan Kembali) dengan pertimbangan hukum antara lain: - Bahwa …… perpanjangan waktu pengembalian kredit tidak selalu diberikan, kecuali

apabila dipandang layak incasu debitor dipandang tidak mampu sehingga utangnya dinyatakan macet

- Bahwa ………. Kredtur dapat secara sepihak membatalkan persetujuan apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya sehingga penagihan tidak perlu menunggu jatuh tempo;

- Bahwa ….. apabila kredit telah dinyatakan macet maka pengurusannya harus diserahkan pada BUPLN cq. Kantor Lelang Negara;

Dengan demikian penyerahan kredit macet kepada BUPLN dan pelaksanaan lelang atas objek agunan kredit termohon peninjauan kembali diakui syah dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

9. Bahwa judex jurist yang memeriksa perkara aquo dalam putusan Nomor …….. tanggal ……….. memberikan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut : - Bahwa ……….telah membatalkan putusan pengadilan negeri ……… dengan

menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan alasan gugatan penggugat nebis in idem ;

- Bahwa pertimbangan pengadilan tinggi demikian tidak dapat dibenarkan karena pelimpahan perkara kredit macet kepada KP3N/PUPN adalah prematur, sebab pelimpahan kredit macet tersebut dilaksanakan sebelum jatuh tempo karena sesuai dengan surat perjanjian bersama jatuh tempo adalah tanggal ……..;

- Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh PUPN dengan berita acara tertanggal ……… berita acara nomor BAP - .……/PUPN/…./……/ prematur, sebab telah melanggar kesepakatan bersama yang baru akan jatuh tempo tanggal ……, dan dengan demikian pelelangan yang dilakukan tersebut telah melanggar peraturan yang syah dan tidak berdasarkan hukum, oleh sebab itu penyitaan yang prematur tersebut batal demi hukum.

10. Bahwa adanya putusan yang saling bertentangan dan dengan pertimbangan hukum yang berbeda sudah jelas menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dapat diterima dan selanjutnya membatalkan putusan Mahkamah Agung Nomor ….. tanggal …… karena bertentangan dengan Pasal 67 huruf e Undang-Undang Mahkamah Agung.

Alasan III (Ketiga) Dalam putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

11. Bahwa dalam amar putusan judex jurist dalam pokok perkara angka 4 dinyatakan antara lain sebagai berikut:

Page 109: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

103

“Menghukum Tergugat ……. secara tanggung renteng dengan Tergugat …… apabila barang-barang jaminan yang sudah direval/dilelang atau tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula kepada pemiliknya debitor/Penggugat, maka Tergugat …… dan Tergugat ….. membayar ganti rugi kepada Penggugat/Pemilik dengan harga pasar dan bukan harga penjualan lelang.”

12. Bahwa judex jurist telah melakukan kekeliruan/kekhilafan dalam memutus perkara a quo sebagaimana nyata dalam pertimbangan hukumnya pada halaman …. yang antara lain menyatakan: “Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh PUPN dengan berita acara tertanggal ……… berita acara nomor BAP - .……/PUPN/…./……/ prematur, sebab telah melanggar kesepakatan bersama yang baru akan jatuh tempo tanggal ……, dan dengan demikian pelelangan yang dilakukan tersebut telah melanggar peraturan yang syah dan tidak berdasarkan hukum, oleh sebab itu penyitaan yang prematur tersebut batal demi hukum.”

13. Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 2/PMK.01/1977 tentang pelaksanaan penyelesaian piutang negara yang macet antara lain menentukan: “Untuk kredit-kredit jangka menengah dan panjang apabila pinjaman belum lewat jangka waktu akan tetapi terdapat tunggakan pembayaran sebanyak-banyaknya 3 kali angsuran pokok, dan berdasarkan penilaian kreditor diketahui bahwa debitor tidak akan dapat melunasi pokok dan bunganya untuk sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, serta usaha tersebut pada Pasal 1 ayat (1) tidak memberikan hasil yang diharapkan atau apabila debitor cidera janji lainnya atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ikatan hukum (perjanjian, peraturan-peraturan yang berlaku, dan lain sebagainya), maka kredit tersebut dapat digolongkan sebagai kredit macet.” Dengan demikian suatu kredit dinyatakan macet tidak tergantung kepada jangka waktu jatuh temponya perjanjian tetapi juga tergantung pada tunggakan pembayaran sebagaimana yang tercantum dalam Perjanjian Kredit Nomor …….. tanggal …….

14. Bahwa pertimbangan hukum judex jurist yang menyatakan “bahwa ……telah melanggar kesepakatan bersama yang baru akan jatuh tempo tanggal 16 Juni 1994 ……. , oleh sebab itu penyitaan yang prematur tersebut batal demi hukum.” adalah keliru, karena kesepakatan bersama yang dibuat antara PUPN dengan Termohon Peninjauan Kembali sebagaimana dituangkan dalam pernyataan bersama Nomor……./PUPN/…… tanggal …… yang menjadi dasar tindakan hukum selanjutnya jatuh temponya adalah pada tanggal 3 Juni 1994 bukan tanngal 16 Juni 1994 sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan hukum judex jurist.

15. Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, menurut hemat Pemohon Peninjauan Kembali bahwa judex jurist dalam memutus perkara a quo telah memberikan atau telah membuat sesuatu kekhilafan/kekeliruan yang nyata. Selain itu judex jurist telah tidak mempertimbangkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.01/1977 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Piutang Negara yang Macet.

Page 110: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

104

Bahwa atas dasar fakta-fakta hukum dan alasan-alasan sebagaimana dikemukakan di atas, kiranya telah cukup dasar hukum bagi Pemohon Penjauan Kembali untuk memohon dengan hormat kehadapan Ketua Mahkamah Agung agar sudilah kiranya Bapak Ketua Mahkamah Agung berkenan mengadili dan memutus permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ini dengan putusan sebagai berikut: 1. Menerima permohonan Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan

Kembali; 2. Membatalkan keputusan Mahkamah Agung RI Nomor ………..……….tanggal ……… ; Mengadili sekali lagi : - Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi ……… - Menolak seluruh gugatan Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi/Termohon Peninjauan

Kembali. - Menghukum Termohon Peninjauan Kembali luntuk membayar seluruh biaya perkara yang

timbul dalam perkara a quo untuk semua tingkat peradilan. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Hormat kami Kuasa Hukum Pemohon Peninjauan Kembali

(…………………….) (……………………….)

Page 111: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

105

Lampiran 1. …………………………… 2. ……………………… 3. …………………………….. Bukti-bukti 1. PK-1 : ………………………………………………….. 2. PK-2 : ………………………………………………….. 3. PK-3 : …………………………………………………..

Page 112: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

106

Contoh Kontra Memori Peninjauan Kembali

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDRAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

KANTOR WILAYAH .................... KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA ..................

KONTRA MEMORI PENINJAUAN KEMBALI

Atas Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali semula Turut Tergugat I PT .................terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: .......... tanggal ............ , dalam perkara gugatan di Pengadilan Negeri ................................. dalam perkara antara : Pemerintah Republik Indonesia cq. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara cq. Kantor Wilayah ………………….. cq. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara ……….….. beralamat di Jalan ………………………………………………………... sebagai...TURUT TERMOHON PENINJAUAN KEMBALI IV semula Tergugat IV

melawan

.................................., beralamat di Jalan ......................., sebagai... PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI I semula Penggugat

Tempat, Tgl/Bulan/Tahun

Kepada Yth. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta

melalui

Yth. Ketua Pengadilan Negeri ............................... di Jalan. ................................. ...............................

Page 113: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

107

Dengan hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : SKU-...../....../...... tanggal ...................... karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa serta mewakilinya, dengan ini mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali terhadap Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Mahkamah Agung Nomor .................. tanggal .............. yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali.................. I. Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor ……………. tanggal

……. amarnya berbunyi sebagai berikut :

MENGADILI

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi; - Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi

ini sebesar Rp ……………….

II. Bahwa terhadap permohonan peninjauan kembali dan Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal ………., baru diberitahukan kepada Turut Termohon Peninjauan Kembali IV melalui Relaas Pemberitahuan dan Penyerahan Turunan Memori Peninjauan Kembali Nomor ……………. pada hari …….. tanggal ……….. Dengan demikian, Kontra Memori Peninjauan Kembali a quo diajukan masih dalam tenggang waktu dan cara serta syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985, yaitu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali, karenanya sah dan secara formal dapat diterima.

III. Bahwa sebelum Termohon Peninjauan Kembali II menguraikan tanggapan terhadap

alasan-alasan permohonan peninjauan kembali, terlebih dahulu Termohon Peninjauan Kembali IV mohon perhatian Mahkamah Agung atas hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dalam peradilan tingkat pertama

kedudukannya adalah sebagai Turut Tergugat I. 2. Bahwa dalam kedudukannya sebagai Turut Tergugat I, maka sebenarnya apabila

ternyata gugatan Penggugat ditolak maka yang berkepentingan untuk mengajukan upaya hukum adalah Penggugat, bukan Turut Tergugat I.

3. Bahwa ternyata dalam pemeriksaan peninjauan kembali a quo, Pemohon Peninjauan Kembali yang semula adalah Turut Tergugat I telah mendudukkan dirinya seolah-olah sebagai Penggugat yang keberatan atas putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatannya.

4. Bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali/ Turut Tergugat I dimaksud sarna sekali tidak lazim dalam hukum acara perdata, sebab apabila dirinya menempatkan dirinya sama dengan Penggugat, maka seharusnya Pemohon Peninjauan Kembali/ Turut Tergugat I sejak semula bertindak

Page 114: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

108

sebagai Penggugat. 5. Bahwa seandainya (quod non) permohonan peninjauan kembali a quo dikabulkan,

maka akan menjadi preseden buruk dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

IV. Bahwa alasan yang dijadikan dasar bagi Pemohon Peninjauan Kembali untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap a quo, adalah karena telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut (ultra petita) dan terdapat suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan Mahkamah Agung (vide Pasal 67 huruf c dan f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985).

Bahwa alasan sebagaimana yang dipergunakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut, selain sifatnya hanya mengada-ada, tidak berdasar dan sarna sekali tidak beralasan, juga hanya akan menambah beban kerja dan bertumpuknya jumlah perkara di Mahkamah Agung, sehingga sangat bertentangan dengan program Mahkamah Agung yang bertekad untuk segera mengurangi jumlah tunggakan perkara. Bahwa untuk itu, sangat tepat kiranya apabila pengajuan permohonan peninjauan kembali yang hanya didasarkan pada alasan Pasal 67 huruf c dan f Undang-Undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana yang dipergunakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali a quo, tidak perlu dipertimbangkan dan dinyatakan ditolak. Bahwa namun demikian, sesuai dengan hak jawab Termohon Peninjauan Kembali II, dengan ini disampaikan tanggapan atas Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali sebagai berikut:

A. TANGGAPAN ATAS ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI

YANG PERTAMA :

1. Bahwa dalam memori peninjauan kembali yang diajukan, Pemohon Peninjaun Kembali menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi ………yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung telah melebihi dari apa yang diminta oleh Penggugat Rekonvensi.

2. Bahwa apa yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut sama sekali tidak berdasar, sebab amar putusan Pengadilan Tinggi ……. yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung dimaksud sama sekali tidak dapat disebut sebagai ultra petita, karena hanyalah berbeda redaksionalnya saja dengan redaksi petitum Penggugat Rekonpensi, dan hal ini dibenarkan oleh hukum karena dalam gugatan rekonpensinya, Penggugat Rekonpensi meminta kepada Majelis Hakim apabila berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Page 115: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

109

3. Bahwa suatu putusan baru dapat dianggap sebagai ultra petita, apabila amar putusan telah melampaui batas wewenangnya dengan mengabulkan sesuatu yang sarna sekali tidak diminta oleh Penggugat dalam petitum gugatannya.

4. Bahwa mengenai dalil Pemohon Peninjauan Kembali yang pada pokoknya menyatakan bahwa akibat hukum pembatalan akta hibah adalah tidak sama dengan akibat hukum akta hibah dinyatakan tidak berkekuatan hukum, adalah dalil yang sangat mengada-ada dan sama sekali tidak berdasar, sebab amar putusan Pengadilan Tinggi ……., yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung tersebut diambil, setelah Majelis Hakim mempertimbangkan sebagaimana tercantum pada halaman ….. dan … putusan, yakni bahwa ..." berdasarkan putusan-putusan tersebut ……. memikul kewajiban untuk membayar sejumlah uang maupun melakukan perbuatan tertentu karena wanprestasi, kewajiban-kewajiban mana adalah alas tanggungan seluruh harta kekayaannya, maka perbuatan ………… mengalihkan saham-sahamnya pada PT………… adalah anak-anaknya sendiri adalah mengandung itikad tidak baik, yaitu menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban tersebut'.

5. Bahwa dengan demikian, penghibahan saham-saham objek sengketa a quo sejak awal memang tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga amar putusan Pengadilan Tinggi …… yang dipermasalahkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali telah tepat dan benar.

B. TANGGAPAN ATAS ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI

YANG KEDUA:

1. Bahwa alasan yang kedua dari Pemohon Peninjauan Kembali yang pada pokoknya menyatakan bahwa telah terdapat kekhilafan/kekeliruan Hakim karena mengutip pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi …….. halaman 7 dan 8 putusan, adalah dalil-dalil yang sangat tidak berdasar dan patut ditolak atau setidak-tidaknya dikesampingkan.

2. Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidaklah termasuk kekhilafan Hakim sebagaimana dimaksud oleh pasal 67 huruf f Undang-Undang Mahkamah Agung, namun merupakan penilaian atas suatu pembuktian yang merupakan kewenangan judex factie untuk memeriksa dan mengadili.

3. Bahwa apa yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut, telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar oleh Pengadilan Tinggi ………. dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Karenanya alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali dimaksud tidak perlu dipertimbangkan lagi.

V. Bahwa berdasarkan uraian serta alasan-alasan yang telah disampaikan di atas, maka

alasan terdapatnya ultra petita dan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Makamah Agung No. ……….tanggal ………, tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, alasan Pemohon Peninjauan Kembali dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali hanya mengada-ada, tidak berdasar dan sarna sekali tidak

Page 116: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN A

110

beralasan. Oleh karena itu, sangat beralasan kiranya apabila Termohon Peninjauan Kembali II mohon ke hadapan Bapak Ketua Mahkamah Agung agar berkenan memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam tingkat peninjauan kembali dengan amar yang menyatakan : 1. Menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan

Kembali; 2. Menguatkan Putusan Mahkamah Agung RI No………. tanggal ……….. yang

dimohonkan peninjauan kembali; 3. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara di

seluruh tingkat peradilan. Terima kasih.

Hormat kami Kuasa Hukum Turut Termohon Peninjauan Kembali IV

(……………………) (……………………….)

Page 117: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

111

SALINAN

INSTRUKSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NO. : 05/IMK.01/1978

TENTANG

PENANGANAN PERKARA-PERKARA DIMUKA PENGADILAN YANG

MENYANGKUT DEPARTEMEN KEUANGAN SERTA INSTANSI-INSTANSI DAN BADAN-BADAN/BADAN-BADAN USAHA NEGARA YANG BERADA DI

BAWAH LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk ketertiban dalam penanganan perkara-perkara di muka Pengadilan yang menyangkut nama Departemen Keuangan beserta instansi-instansi dan badan-badan/Badan-badan Usaha Negara yang berada di bawah lingkungan Departemen Keuangan perlu adanya satu koordinasi.

b. bahwa Menteri Keuangan dengan Keputusannya No. KEP-

405/MK/6/4/1975 telah melimpahkan wewenang untuk menyelesaikan masalah tersebut pada huruf a pada Biro Hukum dan Hubungan masyarakat.

c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mempertegas dan

memperluas berlakunya Surat Edaran Menteri Keuangan No. S-561/MK/7/8/1974 tanggal 19 Agustus 1974 dan No. S-566/ MK.J/1977 tanggal 18 Mei 1977 serta menuangkannya dalam suatu bentuk hukum.

Mengingat : 1. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1974.

2. Keputusan Presiden No. 45 tahun 1974 jis Keputusan Presiden No. 12 tahun 1976 dan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1978.

4. Keputusan Presiden No. 54/M tahun 1978. 5. Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-405/MK/6/4/1978.

M E N G I N S T R U K S I K A N :

Kepada : 1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan.

2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan. 3. Para Direktur Jenderal dalam lingkungan Departemen

Keuangan. 4. Para Kepala Badan dan Pusat, dalam lingkungan Departemen

Keuangan. 5. Pimpinan Badan Usaha Negara dalam lingkungan Departemen

Keuangan.

Page 118: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

112

U N T U K Pertama : Dalam hal Saudara selaku Kepala / Pimpinan Instansi atau

Badan/Badan Usaha Negara yang berada dibawah lingkungan Departemen Keuangan, dalam suatu perkara dimuka Pengadilan digugat dalam perkara perdata diminta untuk didengar sebagai saksi, saksi ahli atau memberikan pernyataan tertulis dalam perkara baik perdata maupun pidana, agar segera menghubungi Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan.

Kedua : Dalam hal Pejabat yang berada dibawah lingkungan Instansi atau

Badan/Badan Usaha Negara yang Saudara Pimpin, karena kedudukannya tersebut dalam suatu perkara dimuka Pengadilan digugat sebagai pihak dalam perkara perdata, diminta untuk didengar sebagai saksi, saksi ahli atau memberikan pernyataan tertulis dalam perkara baik perdata maupun pidana, agar memerintahkan Pejabat tersebut untuk segera menghubungi Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan.

Ketiga : Senantiasa berkonsultasi dan bersama-sama dengan Biro Hukum

dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan menghadapi hal tersebut pada diktum Pertama dan Kedua.

Instruksi Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: J A K A R T A Pada tanggal: 22 Desember 1978 MENTERI KEUANGAN, ttd. ALI WARDANA.

Page 119: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

113

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 139/KMK.08/2001

TENTANG

PENUNJUKAN SEKRETARIS JENDERAL DAN DIREKTUR JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA DEPARTEMEN KEUANGAN UNTUK DAN ATAS NAMA MENTERI KEUANGAN MENANDATANGANI SURAT KUASA

KHUSUS MENTERI KEUANGAN GUNA MENGHADAP DI MUKA PERADILAN UMUM

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa berhubung dengan perubaban organisasi Badan Urusan Piutang

dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan, dipandang perlu meninjau kembali Keputusan Menteri Keuangan Nomor 167/KMK.0l/1999 untuk disesuaikan dengan perkembangan organisasi.

Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen. 2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 2/KMK.0l/ 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PENUNJUKAN SEKRETARIS JENDERAL DAN DIREKTUR

JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA DEPARTEMEN KEUANGAN UNTUK DAN ATAS NAMA MENTERI KEUANGAN MENANDATANGANI SURAT KUASA KHUSUS MENTERI KEUANGAN GUNA MENGHADAP DI MUKA PERADILAN UMUM

Pasal 1

Menunjuk Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan untuk dan atas nama Mcnteri Keuangan untuk menandatangani Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan kepada Pejabat Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat selaku kuasa penangan perkara gugatan perdata yang diajukan terhadap unit-unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Page 120: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

114

Pasal 2

Menunjuk Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan untuk menandatangani Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan kepada pejabat Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara selaku kuasa penanganan perkara gugatan perdata yang bersifat rutin / biasa serta tidak mengandung tuntutan ganti rugi, yang diajukan terhadap unit kerja Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

Pasal 3

Dalam hal Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan berhalangan, Surat Kuasa Khusus Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditandatangani oleh Pejabat pengganti sementara (Pgs) Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan yang ditunjuk.

Pasal 4

Dalam hal Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departermen Keuangan berhalangan, Sural Kuasa Khusus Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditandatangani oleh Pejabat pengganti sementara (Pgs) Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan yang ditunjuk.

Pasal 5

(1) Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 167/KMK.0I/1999 tanggal 10 Mei 1999 dinyatakan tidak berlaku.

(2) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 12 Februari 2001.

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada Yth.

1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan; 2. Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara; 3. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2001 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

Page 121: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

115

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA Gedung D Departemen Keuangan Lantai 10,11,12 Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 – 3847742 Jakarta - 10710 Yth. 1. Para Kepala Kanwil DJPLN

2. Para Kepala KP2LN 19 Desember 2003

1 dan 2 di lingkungan DJPLN seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE-27/PL/2003

Penanganan Perkara Tata Usaha Negara di Lingkungan

Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara / Panitia Urusan Piutang Negara

Dalam rangka efisiensi dan percepatan penyelesaian perkara dengan memperhatikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka penanganan perkara Tata Usaha Negara di lingkungan DJPLN / PUPN dilakukan sebagai berikut :

1. Perkara Tata Usaha Negara ditangani oleh unit yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Surat Kuasa Khusus penanganan perkara diterbitkan oleh pejabat yang digugat.

2. Dalam hal yang digugat adalah Kepala KP2LN dan atau Kepala Kanwil DJPLN maka Surat Kuasa Khusus diterbitkan oleh Kepala KP2LN dan atau Kepala Kanwil DJPLN dan ditandatangani oleh Kepala KP2LN dan atau Kepala Kanwil DJPLN serta penerima kuasa. Dalam hal yang digugat adalah Ketua PUPN Cabang maka Surat Kuasa Khusus diterbitkan oleh Ketua PUPN Cabang dan ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang yang bersangkutan serta penerima kuasa. Di dalam Surat Kuasa Khusus dapat dicantumkan klausul hak menguasakan kembali (hak substitusi). Satu tembusan Surat Kuasa Khusus disampaikan ke Direktorat Informasi dan Hukum berikut surat gugatannya.

3. Isi Surat Kuasa Khusus meliputi kuasa untuk menghadap pada semua pengadilan, semua hakim di Indonesia, memajukan dan menjalankan perkara-perkara lainnya yang perlu untuk menyelesaikan perkara tersebut di atas, mengambil segala tindakan yang dianggap baik, memberi keterangan-keterangan yang menurut hukum harus diberikan oleh seseorang yang diberi kuasa, memajukan segala rekes, konklusi dan lain-lain surat, mengajukan gugat balik, bantahan, menandatangani akta perdamaian, mengajukan banding serta menyusun memori banding/kontra memori banding, mengajukan kasasi serta menyusun memori kasasi/kontra memori kasasi, meminta agar perkara diperiksa lagi dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali, menyusun dan mengajukan memori/kontra memori peninjauan kembali, meminta

Page 122: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

116

sesuatu pihak disumpah, dan selebihnya berusaha segala-galanya yang dianggap penting dan berguna oleh seseorang yang diberi kuasa.

4. Dalam hal dipandang perlu KP2LN/PUPN Cabang dapat meminta bantuan Kantor Wilayah/Kantor Pusat dalam penanganan perkara. Untuk itu agar nama pejabat/pegawai Kanwil/Kantor Pusat dicantumkan sebagai salah satu penerima kuasa.

5. Dalam penyusunan jawaban, duplik, pembuktian, kesimpulan, memori banding/kontra memori banding, memori kasasi/kontra memori kasasi, dan memori peninjauan kembali/kontra memori peninjauan kembali agar selalu berkoordinasi dengan Kantor Pusat DJPLN dengan melampirkan fotokopi panggilan sidang, surat gugatan atau sanggahan, putusan berikut fotokopi berkas pengurusan piutang negara/pelaksanaan lelang.

6. Perkembangan perkara Tata Usaha Negara tetap dilaporkan kepada Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum (laporan triwulan), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. perkara yang dilaporkan hanya perkara aktif saja; b. perkara yang sudah selesai yaitu:

1) sudah diputus dan tidak dilakukan upaya hukum lagi; 2) dicabut; 3) perdamaian; 4) digugurkan; hanya dilaporkan sekali dan seterusnya tidak perlu dilaporkan;

c. perkara yang sudah diputus pada tingkat kasasi dianggap sudah selesai tanpa harus menunggu upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Apabila ada upaya hukum PK, maka perkara tersebut harus dicantumkan kembali ke dalam laporan triwulan.

7. Dengan terbitnya Surat Edaran ini maka Bagian III.A Surat Edaran Nomor: SE-14/PN/1999 tanggal 8 Juli 1999 tentang Penanganan Perkara di Lingkungan PUPN/BUPLN jo. Bagian III.A Surat Edaran Nomor: SE-24/PN/1999 tanggal 4 November 1999 tentang Perubahan Butir III.A Surat Edaran Nomor: SE-14/PN/1999 tanggal 8 Juli 1999 sepanjang telah diatur dalam Surat Edaran ini tidak berlaku lagi.

Para Kepala Kantor Wilayah DJPLN diminta untuk melakukan pengawasan dan

pemantauan terhadap pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Demikian, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal, ttd.

Achmad Rochjadi NIP 060047192 Tembusan : 1. Sekretaris DJPLN; 2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 123: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

117

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA Gedung D Departemen Keuangan Lantai 10,11,dan 12 Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 – 3847742 Jakarta - 10710 Yth. 1. Para Kepala Kanwil DJPLN

2. Para Kepala KP2LN 19 Desember 2003

1 dan 2 di lingkungan DJPLN seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE - 28 /PL/2003

Peningkatan Kualitas Penanganan Perkara Pengurusan Piutang Negara dan Lelang

Dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan perkara pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang, dengan ini disampaikan foto copy beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai yurisprudensi yang diperoleh dari majalah "Varia Peradilan" dengan harapan dapat digunakan sebagai bahan atau rujukan dalam penyusunan jawaban dan duplik. Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut memuat hal sebagai berikut :

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205/SIP/1971 tanggal 10 Januari 1973 intinya memuat

bahwa pengurusan piutang negara merupakan kewenangan absolut PUPN. Apabila PUPN telah mengurus piutang negara tersebut terlebih dahulu, maka Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Yurisprudensi ini dapat diajukan dalam eksepsi mengenai Kompetensi Absolut.

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 301 K/TUN/1999 tanggal 28 Juli 2003 memuat putusan

atas perkara gugatan pembatalan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN), yaitu perkara antara CV Ikhsan dengan Direktris Ny. Hj.Bainani Ismail melawan PUPN. Putusan Mahkamah Agung tersebut intinya memuat bahwa PUPN berwenang menetapkan jumlah piutang negara yang wajib dilunasi debitor apabila Pernyataan Bersama tidak dibuat. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) oleh Ketua PUPN adalah benar dan sah hukumnya, tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1755 K/Pdt/1997 tanggal 26 April 2001 memuat

putusan atas perkara mengenai gugatan harta gono-gini/harta bersama suami istri yang dijaminkan kepada kreditor tanpa persetujuan salah satu pihak, yaitu perkara antara istri Saipul Lapia dengan Bank Dagang Negara (Bank Mandiri) dkk. Putusan Mahkamah Agung tersebut intinya memuat bahwa harta bersama (gono-gini) merupakan jaminan untuk pembayaran hutang suami atau istri yang terjadi selama perkawinan. Gugatan pihak

Page 124: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

118

ketiga, yaitu gugatan istri terhadap suami yang menjaminkan harta bersama untuk hutang yang timbul selama perkawinan dengan alasan suami tidak meminta persetujuan lebih dahulu dari istri, secara hukum tidak dapat dibenarkan. Meskipun istri tidak dimintai persetujuannya lebih dahulu, maka perbuatan hukum suaminya atas harta bersama tetap sah menurut hukum.

4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 848 K/Pdt/1999 tanggal 9 Februari 2001 merupakan

putusan atas gugatan terhadap pelaksanaan lelang barang/tanah agunan suatu hutang yang macet yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara. Putusan Mahkamah Agung tersebut intinya memuat bahwa penentuan harga limit atas lelang barang jaminan tidak ditentukan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) melainkan didasarkan pada penilaian Tim Penaksir dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998 (sekarang Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2001).

5. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1456 K/Pdt/1998 tanggal 28 Juni 1999 memuat putusan

lelang eksekusi dalam perkara antara Ny. R. Nunung Siti Hadijah melawan The Pe Lie alias Themajaya Alex dkk. Putusan Mahkamah Agung tersebut intinya memuat bahwa untuk membuktikan apakah benar telah terjadi penyimpangan dari ketentuan undang-undang dalam pelaksanaan “lelang eksekusi” berdasarkan atas Penetapan Ketua PUPN oleh Pejabat Kantor Lelang Negara, maka gugatan yang demikian itu harus diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena masalah tersebut menyangkut kewenangan para Pejabat Tata Usaha Negara, dan bukan wewenang Peradilan Umum/Pengadilan Negeri.

6. Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/TUN/1997 tanggal 2 Januari 1998 memuat

putusan atas gugatan mengenai pembatalan Risalah Lelang dalam perkara antara Budi Laksono Direktur PT Marina Aneka Plywood melawan Kepala Kantor Lelang Klas I Surabaya. Putusan Mahkamah Agung tersebut intinya memuat bahwa Risalah Lelang bukan merupakan Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, tetapi merupakan Berita Acara hasil penjualan barang, sebab tidak ada unsur “beslissing”(penetapan tertulis/beschikking maupun keputusan) maupun pernyataan kehendak dari Pejabat Kantor Lelang.

Mengingat jawaban pertama merupakan hal yang mendasar dalam proses beracara, maka sebelum menyusun jawaban (termasuk duplik) hendaknya dipelajari secara cermat petitum (tuntutan) dan dasar gugatan (fundamentum petendi) untuk dapat memilih yurisprudensi yang tepat diajukan dalam jawaban.

Para Kepala Kantor Wilayah DJPLN diminta untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini.

Demikian, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,

ttd.

Achmad Rochjadi NIP 060047192

Page 125: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

119

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA Gedung D Departemen Keuangan Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 – 3847742 Jakarta - 10710 Yth. 1. Para Kepala Kanwil DJPLN

2. Para Kepala KP2LN 19 Desember 2003

1 dan 2 di lingkungan DJPLN seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE -31/PL/2003

Bantuan Hukum Terhadap Pejabat/Pegawai yang Tersangkut Perkara Pidana dalam Menjalankan Tugas

Dalam upaya mewujudkan suasana kondusif dalam pelaksanaan tugas pengurusan piutang dan lelang negara, dipandang perlu memberikan petunjuk penanganan perkara pidana sepanjang menyangkut para pejabat/petugas yang sedang menjalankan tugas/jabatannya sebagai berikut:

1. Pencegahan secara dini terjadinya permasalahan hukum dalam pelaksanaan tugas

pengurusan piutang dan lelang negara adalah lebih baik daripada menghadapi proses pidana. Untuk itu setiap pejabat/pegawai di lingkungan DJPLN dituntut untuk memberikan pelayanan secara transparan dan akuntabel kepada setiap pengguna jasa DJPLN dengan memegang teguh sikap kehati-hatian, kecermatan, taat pada ketentuan dan prosedur yang berlaku.

2. Pejabat/pegawai/pejabat lelang yang mengelola Berkas Kasus Piutang Negara

(BKPN)/berkas permohonan lelang hendaknya memahami karakteristik setiap BKPN/permohonan lelang yang ditangani, sehingga secara dini dapat diantisipasi kemungkinan masalah hukum yang timbul dalam pengurusan piutang dan lelang negara dimaksud. Untuk itu Kepala Kantor agar membiasakan diri menempuh cara diskusi dengan para petugas terkait sehingga diperoleh pemahaman dan kecermatan yang memadai.

3. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan seorang pejabat/pegawai yang

melaksanakan tugas pengurusan piutang dan lelang dapat terkait dengan masalah pidana dan dipanggil oleh pihak penyidik (Kepolisian/Kejaksaan) baik dalam kedudukannya sebagai tersangka, maupun saksi dan atau diminta untuk memberikan keterangan secara tertulis. Apabila hal dimaksud di atas terjadi, Saudara tidak perlu merasa khawatir sepanjang Saudara telah melaksanakan tugas dengan itikad baik, cermat dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Page 126: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

120

4. Dalam hal Saudara dan atau staf Saudara dipanggil oleh penyidik (Kepolisian/Kejaksaan) baik dalam kedudukan sebagai tersangka atau saksi dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas pengurusan piutang negara dan pelaksanaan lelang, diminta agar Saudara segera melaporkan masalah tersebut secara tertulis ke Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum disertai dokumen pendukung dan resume kasus yang bersangkutan. Laporan dimaksud agar ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah. Pada tahap pertama agar Saudara segera berkoordinasi dengan anggota PUPN yang mewakili unsur Kepolisian dan Kejaksaaan. Apabila masalahnya menyangkut juga Penyerah Piutang, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang agar diperoleh kesamaan persepsi. Laporan dapat disampaikan kepada Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum melalui mesin facsimile dengan nomor 021-3455386.

5. Kepala Kantor Wilayah agar segera mempelajari laporan tersebut dan memberikan

pendapat, petunjuk/dukungan kepada pejabat terkait. Apabila tingkat kesulitannya cukup berat, maka Kepala Kantor Wilayah agar memberikan pertimbangannya ke Kantor Pusat.

6. Kepala Kantor agar segera mepelajari berkas terkait, melengkapi berkas sesuai aturan dan

mengamankannya. Kepala Kantor juga harus aktif memantau secara seksama informasi masmedia mengenai masalah tersebut, sehingga bisa digunakan sebagai tambahan pertimbangan atas langkah yang tepat.

7. Apabila masalahnya mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi atau menjadi perhatian

masyarakat maka Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum bersama dengan direktorat teknis terkait setelah menerima laporan dimaksud, dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. melakukan gelar perkara dengan mengundang dan atau mendatangi unit, Pejabat/petugas terkait guna mendapatkan informasi yang lebih lengkap untuk menyusun pandangan/pendapat jalan keluar penyelesaiannya;

b. memberikan bantuan hukum kepada pejabat/pegawai yang bersangkutan dengan mendampinginya pada saat pemeriksaan oleh petugas penyidik (Kepolisian/Kejaksaan);

c. memberikan asistensi kepada advokat yang ditunjuk oleh terdakwa dalam proses persidangan.

8. Dalam hal pihak penyidik membutuhkan keterangan dari saksi ahli dan permintaan

tersebut ditujukan kepada Saudara, diminta agar hal tersebut dikonsultasikan dengan Kantor Pusat DJPLN, sehingga penunjukkan saksi ahli tersebut melalui Kantor Pusat akan segera dikonsultasikan dengan Biro Hukum Departemen Keuangan agar dapat diakomodir secara tepat sesuai keahlian yang dibutuhkan. Saksi ahli juga dapat ditunjuk dari Pejabat Kantor Wilayah atas instruksi Kantor Pusat.

9. Dalam hal tempat kedudukan pihak penyidik berada di luar wilayah kerja kantor Saudara,

biaya perjalanan dinas bagi pejabat/pegawai yang dipanggil dapat dibebankan kepada DIK kantor Saudara setelah terlebih dahulu berkonsultasi dengan Sekretaris DJPLN cq. Kepala Bagian Keuangan.

Page 127: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

121

10. Selama ini, hal-hal yang dapat mengarah pada dugaan tindak pidana antara lain adalah: - Kekurangcermatan dalam perencanaan lelang, yaitu mengumumkan lelang barang

jaminan atas BKPN yang sudah lunas, sehingga debitor merasa dicemarkan nama baiknya.

- Juru sita salah menunjukkan objek lelang, sehingga pemenang lelang merasa tertipu. - Kekurangcermatan dalam administrasi sehingga ada dugaan pemalsuan dokumen. - Menjanjikan sesuatu kepada debitor tanpa terlebih dahulu mencermati materi BKPN,

sehingga dianggap memberi janji palsu (diduga melakukan tindak pidana penipuan). - Pelaksanaan sita tidak didahului dengan Surat Perintah Penyitaan sehingga sita cacat

dan dituduh melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. - Menyita objek sita yang sudah terlebih dahulu disita oleh instansi lain sehingga dituduh

melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. - Tidak mentaati putusan penundaan lelang badan peradilan sehingga debitor mengadu

kepada polisi. 11. Para Kepala Kantor Wilayah DJPLN diminta untuk melakukan pengawasan

dan pemantauan terhadap pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Kepala Kantor Wilayah juga diminta membangun koordinasi dengan para penyidik agar mereka lebih memahami tugas pokok PUPN. Hal ini dapat dilakukan melalui sosialisasi secara umum. Apabila ditingkat regional ada lembaga pendidikan Kepolisian atau Kejaksaan, Kepala Kantor Wilayah agar membangun kerjasama dengan mereka untuk mohon setidak-tidaknya kita dapat memberi ceramah umum tentang unsur teknis piutang dan lelang. Secara non formal dapat ditempuh melalui jalur PUPN, olah raga dan sebagainya.

Demikian, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal,

ttd.

Achmad Rochjadi

NIP 060047192

Tembusan : 1. Sekretaris DJPLN;

2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 128: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

122

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

Gedung D Departemen Keuangan Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 - 3847742 Jakarta - 10710

Yth. 1. Para Kepala Kanwil

2. Para Kepala KP2LN 8 April 2004

1 dan 2 di lingkungan DJPLN seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE - 08/PL/2004

Penanganan Perkara Perdata di Lingkungan

Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara /Panitia Urusan Piutang Negara

Dalam rangka efektifitas dan efisiensi penanganan perkara perdata di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) / Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), dengan ini kami tegaskan kembali kebijakan penanganan perkara perdata di lingkungan DJPLN/PUPN sebagai berikut :

1. Perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi ditangani oleh Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 139/KMK.08/2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Penunjukan Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Departemen Keuangan Guna Menghadap di Muka Peradilan Umum.

Surat Kuasa Khusus (SKU) untuk menangani perkara tersebut diterbitkan serta ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal untuk dan atas nama Menteri Keuangan atau Ketua PUPN Pusat.

2. Permohonan SKU penanganan perkara yang mengandung tuntutan ganti rugi diajukan oleh Kepala Kanwil DJPLN/ Kepala KP2LN/ Ketua PUPN Cabang kepada Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan melalui Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan menyebutkan/melampirkan:

a. identitas penerima kuasa;

b. foto kopi panggilan sidang;

c. surat gugatan atau sanggahan;

d. fotokopi berkas pengurusan piutang negara/pelaksanaan lelang.

3. Perkara perdata yang tidak mengandung tuntutan ganti rugi ditangani oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, walaupun dalam gugatannya dicantumkan tuntutan berupa uang paksa (dwangsoom).

Page 129: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

123

4. Perkara perdata yang mengandung tuntutan ganti rugi namun tuntutan ganti ruginya tidak ditujukan kepada unit Saudara tetapi kepada pihak lain, tetap ditangani oleh Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.

5. Surat Kuasa Khusus (SKU) penanganan perkara perdata tersebut pada angka 3 dan 4 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara / Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Pusat. SKU penanganan perkara yang diterbitkan dapat dikuasakan dengan hak substitusi ke petugas penanganan perkara.

6. Permohonan SKU penanganan perkara diajukan oleh Kepala Kanwil DJPLN/

Kepala KP2LN/ Ketua PUPN Cabang kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/ Ketua PUPN Pusat melalui Direktorat Informasi dan Hukum dengan menyebutkan/melampirkan: a. identitas penerima kuasa; b. fotokopi panggilan sidang; c. surat gugatan atau sanggahan; d. fotokopi berkas pengurusan piutang negara/pelaksanaan lelang.

7. Kantor Pusat DJPLN cq. Direktorat Informasi dan Hukum menangani perkara-perkara yang memiliki jumlah piutang negara lebih dari Rp 20 Milyar termasuk perkara-perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang yang bersifat kompleks/ tingkat kesulitannya tinggi serta mengandung public interest yang besar. Perkara tersebut ditangani langsung oleh Kantor Pusat dengan kuasa substitusi kepada Kanwil / KP2LN.

8. Kanwil DJPLN menangani perkara-perkara yang memiliki jumlah piutang negara antara Rp 10 Milyar sampai dengan Rp 20 Milyar dengan kuasa substitusi kepada para petugas di KP2LN.

9. Pada dasarnya Kanwil DJPLN/ KP2LN/ PUPN Cabang yang digugat bertanggung jawab menangani perkara tersebut, namun KP2LN/Kanwil DJPLN/PUPN Cabang dapat meminta bantuan hukum penanganan perkara kepada Kantor Pusat cq. Direktorat Informasi dan Hukum dalam hal pembuatan jawaban, duplik, penyusunan bukti, kesimpulan, memori/kontra memori banding/kasasi/Peninjauan Kembali.

10. Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Nomor: SE-14/PN/1999 juncto Surat Edaran Nomor: SE-24/PN/1999 tentang Penanganan Perkara di Lingkungan PUPN/BUPLN dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikian, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal, ttd.

DR Machfud Sidik, Msc.

NIP 060043114 Tembusan : 1. Sekretaris DJPLN;

2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 130: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

124

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

Gedung D, lt.10-12 Departemen Keuangan Telepon : (021) 34357546

Jln. Dr Wahidin No. 1 Faksimile : 021-3847742 Jakarta- 10710

Yth. 1. Para Kepala Kanwil DJPLN 11 Mei 2004 2. Para Kepala KP2LN di. seluruh Indonesia

SURAT EDARAN

Nomor: SE -10/PL/2004

Tentang

Pelaksanaan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil

Terlampir disampaikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil untuk menjadi perhatian Saudara. Sehubungan dengan itu perlu kami berikan petunjuk sebagai berikut :

1. Pelajari benar-benar SEMA dimaksud, karena akan sangat berguna dalam rangka

penanganan perkara. Perlu kami ingatkan bahwa pernah terjadi dan tidak tertutup kemungkinan terjadi lelang yang telah dilaksanakan kemudian dibatalkan oleh pengadilan, padahal pemenang lelang telah melunasi kewajibannya atau mungkin yang bersangkutan telah/sedang memanfaatkan barang yang dibeli dari lelang tersebut. SEMA tersebut agar Saudara manfaatkan benar-benar sehingga putusan perkara yang mungkin mengalahkan PUPN/DJPLN tidak dilaksanakan secara Uitvoerbaar Bij Vooraad.

2. Dalam hal unit Saudara digugat dalam perkara perdata yang dalam perkembangan

penanganannya terdapat putusan serta merta, hendaknya Saudara meneliti terlebih dahulu apakah dalam keputusan serta merta tersebut diikuti dengan penetapan yang menyebutkan pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang objek eksekusi atau tidak. Apabila keputusan serta merta tersebut diikuti dengan penetapan yang menyebutkan pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang objek eksekusi maka keputusan tersebut dapat dilaksanakan. Namun, apabila keputusan serta merta tersebut tidak diikuti dengan penetapan yang menyebutkan pemberian jaminan

Page 131: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

125

yang nilainya sama dengan nilai barang objek eksekusi, hendaknya Saudara mengkonfirmasikannya lebih lanjut dengan Ketua Pengadilan setempat.

Demikian, untuk dipedomani. Direktur Jenderal

ttd.

Machfud Sidik

NIP 060043114

Tembusan: 1. Sekretaris DJPLN; 2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 132: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

126

KETUA MAHKAMAH AGUNG Jakarta, 20 Agustus 2001 REPUBLIK INDONESIA Nomor : MA/Kumdil/177/VIII/K/2001

Kepada Yth.

1. Sdr. KETUA PENGADILAN NEGERI

2. Sdr. KETUA PENGADILAN AGAMA Di –

SELURUH INDONESIA

S U R A T - E D A R A N Nomor : 4 Tahun 2001

Tentang

PERMASALAHAN PUTUSAN SERTA MERTA

(UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD ) DAN PROVISIONIL

Dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi, Pimpinan Mahkamah Agung memandang perlu menegaskan kembali kepada para Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia agar lebih meningkatkan tanggung jawab dan tanggap terhadap tuntutan dan perkembangan masyarakat yang menginginkan hal-hal seperti pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) atau kejahatan yang menyangkut kepentingan publik pada umumnya.

Selanjutnya, akhir-akhir ini Pimpinan Mahkamah Agung makin banyak menerima tuntutan, keluhan mengenai putusan dan eksekusi putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil. Berhubung dengan hal tersebut, sekali lagi ditegaskan agar Majelis Hakim yang memutus perkara serta merta hendaknya berhati-hati dan dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad ) dan Provisionil terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) tersebut. Setiap kali akan melaksanakan putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad ) harus disertai penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 Tahun 2000 yang menyebutkan :

Page 133: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

127

“Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian kepada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama”. Tanpa jaminan tersebut tidak boleh ada pelaksanaan putusan serta merta.

Lebih lanjut apabila Majelis akan mengabulkan permohonan putusan serta merta harus memberitahukan kepada Ketua Pengadilan. Demikian agar diperhatikan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. KETUA MAHKAMAH AGUNG – RI, Ttd. BAGIR MANAN Tembusan Yth. 1. Wakil Ketua Mahkamah Agung-RI. 2. Para Ketua Muda Mahkamah Agung-RI. 3. Para Hakim Agung Mahkamah Agung-RI. 4. Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung-RI. 5. Ketua Pengadilan Tinggi Seluruh Indonesia. 6. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia.

Page 134: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

128

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

Gedung D, lt.10-12 Departemen Keuangan Telepon : (021) 34357546 Jln. Dr Wahidin No. 1 Faksimile : 021-3847742

Jakarta- 10710 Yth. 1. Para Kepala Kanwil DJPLN 14 Mei 2004 2. Para Kepala KP2LN di. seluruh Indonesia

SURAT EDARAN

Nomor: SE -11/PL/2004

Tentang

Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan

Terlampir disampaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun

2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan untuk menjadi perhatian Saudara. Sehubungan dengan itu, perlu kami berikan petunjuk sebagai berikut :

1. Pelajari dan pahami benar-benar Perma dimaksud, karena mediasi merupakan

hal baru yang diintegrasikan dalam proses beracara di peradilan umum. 2. Beberapa materi yang diatur dalam Perma dimaksud antara lain:

a. Semua perkara perdata yang diajukan di Pengadilan Tingkat Pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator (vide Pasal 2 jo. Pasal 3).

b. Mediator adalah pihak yang bersifat netral clan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa. Para pihak dapat memilih Mediator baik mediator yang dimiliki oleh Pengadilan atau mediator di luar daftar Pengadilan (vide PasaI4).

c. Proses mediasi berlangsung paling lama dua puluh hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, baik tercapai kesepakatan atau tidak (vide Pasal 9).

d. Apabila para pihak mencapai kesepakatan yang tidak dimintakan penetapannya sebagai suatu akta perdamaian, pihak penggugat wajib mencabut gugatannya (vide Pasal 5).

e. Proses mediasi pacta asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki lain atau merupakan mediasi untuk sengketa publik (vide Pasal 14).

Page 135: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

129

3. Dalam rangka evaluasi pelaksanaan mediasi di pengadilan, kami minta agar

Saudara melaporkan secara tertulis kepada Kantor Pusat cq. Direktorat Informasi dan Hukum mengenai praktek pelaksanaan mediasi yang Saudara lakukan dalam menangani gugatan yang ditujukan pada unit Saudara.

Demikian, untuk dicermati dan dipahami.

Direktur Jenderal, ttd. Machfud Sidik NIP 060043114

Tembusan : 1. Sekretaris DJPLN; 2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 136: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

130

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003

TENTANG

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Mengingat : Menimbang :

a. bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.

b. bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi;

c. bahwa institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif);

d. bahwa Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan;

e. bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, rnendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama;

f. bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.

1. Pasal 28 D Undang-undang Dasar 1945. 2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor

44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227.

3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 74 tahun 1970.

4. Undang-undang Norrmor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor 73 tahun 1985;

Page 137: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

131

5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 20 tahun 1986.

6. Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.

M E M U T U S K A N : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN.

BAB I Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan ; 1. Akta perdamaian adalah dokumen kesepakatan yang merupakan hasil proses mediasi; 2. Daftar Mediator adalah sebuah dokumen yang memuat nama-nama mediator di

lingkungan sebuah pengadilan yang ditetapkan oleh Ketua pengadilan; 3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua pengadilan

tingkat pertama untuk memeriksa dan mengadili perkara; 4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh

pihak lainnya; 5. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi

membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa; 6. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan

dibantu oleh mediator; 7. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa

sengketa mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian; 8. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung ini; 9. Sengketa publik adalah sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup, hak asasi

manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan yang melibatkan kepentingan banyak buruh;

10. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung;

11. Proses mediasi terbuka untuk umum adalah anggota-anggota masyarakat dapat hadir atau mengamati, atau masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses mediasi.

Pasal 2

(1) Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertarna wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etika mediator.

Page 138: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

132

BAB II Tahap Pra Mediasi

Pasal 3

(1) Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.

(2) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

(3) Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi.

(4) Dalam hal para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukum, setiap keputusan yang diambil oleh kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.

Pasal 4

(1) Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan.

(2) Jika dalam waktu satu hari kerja para pihak atau kuasa hukum mereka tidak dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau di luar daftar pengadilan, para pihak wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.

(3) Jika dalam satu hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seorang mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan.

(4) Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, berlangsung paling lama tiga puluh hari kerja.

(2) Setelah waktu tiga puluh hari kerja terpenuhi para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan.

(3) Jika para pihak mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian.

(4) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang tidak dimintakan penetapannya sebagai suatu akta perdamaian, pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.

Pasal 6

(1) Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator.

(2) Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator. (3) Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator beserta riwayat hidup dan

pengalaman kerja mediator dan mengevaluasi daftar tersebut setiap tahun.

Page 139: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

133

Pasal 7 Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.

BAB III Tahap Mediasi

Pasal 8

Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.

Pasal 9

(1) Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. (2) Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. (3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. (4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan

mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. (5) Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau ketidaksepakatan, proses mediasi

berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator.

Pasal 10

(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan.

(2) Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

Pasal 11

(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.

(2) Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.

(3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.

(4) Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan.

(5) Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.

Pasal 12 (1) Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (5) mediasi tidak

menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.

Page 140: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

134

(2) Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.

Pasal 13

(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya.

(2) Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan. (3) Mediator tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang

bersangkutan.

Pasal 14 (1) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak

menghendaki lain. (2) Proses mediasi untuk sengketa publik terbuka untuk umum.

BAB IV Tempat dan Biaya

Pasal 15

(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.

(2) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya.

(3) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.

(4) Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya. (5) Biaya mediator bukan hakim ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan

kecuali terhadap para pihak yang tidak mampu.

BAB V Lain-Lain

Pasal 16

Apabila dipandang perlu, ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya.

BAB VI Penutup

Pasal 17

Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks pasal 130 HIR/ 154 RBg) dinyatakan tidak berlaku.

Page 141: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

135

Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 11 September 2003 KETUA MAHKAMAH AGUNG - RI, ttd.

BAGIR MANAN

Page 142: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

136

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA Gedung D Departemen Keuangan Lantai 10,11,dan 12 Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 - 3847742 Jakarta - 10710 Yth. 1. Para Kepala Kanwil

2. Para Kepala KP2LN 27 September 2004

1 dan 2 di lingkungan DJPLN seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE -19/PL/2004

Evaluasi Laporan Penanganan Perkara Per Semester I Tahun 2004

Berdasarkan Laporan Perkembangan Penanganan Perkara Semester I Tahun 2004 dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pada Semester I tahun 2004 jumlah perkara yang ditangani DJPLN adalah sebesar 2140 perkara. Perkara yang dapat diselesaikan sampai dengan Semester I tahun 2004 sebanyak 176 perkara, sehingga total perkara aktif sampai Semester I tahun 2004 sebesar 1.964 perkara yang terdiri dari Perdata sebanyak 1737 perkara dan Tata Usaha Negara sebanyak 227 perkara.

2. Berkaitan dengan masih tingginya outstanding tunggakan perkara lama, dengan ini diminta agar Saudara melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Segera melakukan pendataan perkara berdasarkan tahun dan peradilan yang memeriksa perkara dari tingkat pertama sampai dengan terakhir.

b. Segera melakukan koordinasi dengan lembaga peradilan untuk mencari informasi perkembangan perkara, khususnya perkara lama yang masih tetap dilaporkan aktif sedangkan menurut ketentuan sudah harus memperoleh putusan. Diharapkan agar setiap Kepala Kanwil DJPLN bersama Kepala KP2LN di lingkungannya untuk segera berkoordinasi dengan lembaga-lembaga peradilan untuk memastikan keberadaan perkara dimaksud.

c. Segera melakukan koordinasi dengan cara pencocokan data ataupun konfirmasi data terutama gugatan yang mengandung tuntutan ganti rugi dengan Biro Hukum Departemen Keuangan.

d. Melaporkan hasil kegiatan koordinasi dengan lembaga peradilan dan Biro Hukum Departemen Keuangan ke Kantor Pusat dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.

3. Guna mendukung koordinasi Saudara dengan Lembaga Peradilan dalam upaya percepatan penyelesaian perkara, diminta Saudara mempelajari Surat Edaran Mahkamah Agung

Page 143: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

137

Nomor : 3 Tahun 2001 tanggal 20 Agustus 2001 tentang Perkara-perkara Hukum yang Perlu Mendapat Perhatian Pengadilan (terlampir), salah satu substansi yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari lembaga peradilan adalah perkara yang menyangkut hutang piutang negara, karena secara langsung menyangkut kerugian terhadap negara dan rakyat.

4. Untuk meminimalisasi gugatan-gugatan yang mungkin timbul, hendaknya Saudara melakukan pencegahan secara dini terjadinya permasalahan hukum dalam pelaksanaan tugas pengurusan piutang dan lelang negara dengan cara memberikan pelayanan secara transparan dan akuntabel kepada setiap pengguna jasa DJPLN dengan memegang teguh sikap kehati-hatian, kecermatan, taat pada ketentuan dan prosedur yang berlaku.

5. Dalam hal Saudara menerima Surat Panggilan yang disertai dengan surat gugatan dari Pengadilan Negeri/Pengadilan Tata Usaha Negara setempat, diminta agar Saudara:

a. Melakukan diskusi dengan para Kepala Seksi yang terkait dan juga pemegang berkas guna mendapatkan masukan dalam rangka penyelesaian gugatan dimaksud. Apabila dimungkinkan diharapkan agar Saudara menempuh upaya persuasif agar kasus tersebut tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut.

b. Apabila dipandang perlu, Saudara dapat berkoordinasi dengan Kantor Pusat atau Kanwil di lingkungan Saudara untuk penyelesaian atas kasus perkara dimaksud.

c. Dalam menangani perkara yang diajukan kepada Saudara berkaitan dengan pengurusan piutang negara, sebaiknya Saudara bekerja sama dengan penyerah piutang.

6. Dalam kesempatan ini diminta agar Saudara mengirimkan kepada Kantor Pusat setiap salinan putusan perkara perdata dan tata usaha negara baik dalam posisi menang maupun kalah, sebagai bahan analisa kami dalam melakukan langkah pembinaan selanjutnya.

Demikian untuk menjadi perhatian Saudara.

Direktur Jenderal, ttd.

Machfud Sidik NIP 060043114

Tembusan: 1. Sekretaris DJPLN; 2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 144: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

138

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA

Gedung D Departemen Keuangan,Lt.10-12 Telepon : 021 - 34357546 Jln. Dr. Wahidin No. 1 Faksimile : 021 - 3847742 Jakarta - 10710

Yth.

1. Para Kepala Kanwil DJPLN 2. Para Kepala KP2LN

10 Januari 2005

1 dan 2 di Lingkungan DJPLN Seluruh Indonesia

SURAT EDARAN Nomor : SE – 02 /PL/2005

Penanganan Perkara Tidak Harus Berprofesi Sebagai Advokat

Sehubungan dengan masih adanya keraguan penanganan perkara di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dalam beracara pada Badan Peradilan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara), dengan ini kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara Konstitusi Nomor 006//PUU-II/2004 tentang permohonan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar 1945, telah menjatuhkan putusan dengan amar putusan sebagai berikut:

Mengadili

- Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan;

- Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

- Menyatakan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indoneia sebagaimana mestinya;

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut di atas menjadi rujukan bagi petugas penanganan perkara di lingkungan unit kerja Saudara apabila kehadirannya dalam beracara di Badan Peradilan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara) dipersoalkan. Selengkapnya copy Putusan Mahkamah Konstitusi RI dimaksud kami sampaikan kepada Saudara.

Demikian, untuk diketahui.

Direktur Jenderal,

ttd.

Machfud Sidik NIP 060043114 Tembusan : 1. Sekretaris DJPLN; 2. Para Direktur di lingkungan DJPLN.

Page 145: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

139

P U T U S A N

Perkara Nomor 006/PUU-II/2004

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnyanya disebut UU No. 18 Tahun 2003) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh: ------------------------------------- 1. Tongat, SH. M.Hum,

Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM; Pangkat/Golongan: Lektor/IIIc; Alamat Rumah: Dawuhan RT 16 RW 05 Desa Tegal Gondo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang-Jawa Timur; --------------------------------

2. Sumali, SH, MH. Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Sekretaris Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM; Pangkat /Golongan: Lektor/IIId; Alamat Rumah: Jalan Perum IKIP Tegal Gondo, 3 F/19 Kabupaten Malang- Jawa Timur; -------------------------------------------------------------

3. A. Fuad, SH,MSi Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jabatan: Staf Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang; Pangkat/ Golongan: Lektor/IIId, alamat Rumah: Jl. Kelud Gang I Nomor 37 RT 01 RW 01 Desa Pendem Kec. Junrejo Kota Batu-Jawa Timur; ------------------------------------------

berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 1 Maret 2004, ketiganya bertindak untuk dan atas nama Drs. Muhadjir Effendy, MAP, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Untuk selanjutnya telah memilih kediaman hukum (domisili) di kantor Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM, Alamat Jl.Raya Tlogomas Nomor 246 Malang-Jawa Timur; Telp.(0341) 464318, 464319. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon ; ---------------------------------------------------------------------------------------------

Telah membaca surat permohonan Pemohon; -------------------------------------------- Telah mendengar keterangan Pemohon; -------------------------------------------------- Telah mendengar keterangan dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia baik yang diajukan didalam persidangan maupun secara tertulis yang disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I;

Telah memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan dari pihak-pihak terkait; ---------------------------------------------------------------------------------------------------

Page 146: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

140

DUDUK PERKARA

Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya bertanggal 10 Maret 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Mahkamah) pada tanggal 25 Maret 2004 dan telah diregistrasi pada tanggal 30 Maret 2004 Jam 10.45 WIB dengan Nomor 006/PUU-II/2004 yang telah diperbaiki dan telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Kontitusi pada tanggal 7 Juli 2004 jam 10.25 WIB, telah mengajukan permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:-------------------------------- 1. Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan,

“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”; -------------------

2. Bahwa pada bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003. Pada alinea ketiga bagian Umum Penjelasan UU Advokat menyebutkan: “Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan”; ---------------

3. Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon; -

4. Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah. Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat ansich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan; -----------------------------------------------------------------------------------------

5. Bahwa pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nir laba (non profit oriented) telah memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Dalam pada itu, legalitas institusi Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM di dalam menjalankan aktivitasnya di bidang advokasi hukum didasarkan pada Persetujuan Kerjasama antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No. 04/KEP/KPT/VIII/2000- No. E.6.J/756/UMM/IX/2000. Namun sejak UU No. 18 Tahun 2003 ini lahir, praktis peran advokasi dari Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM menjadi vacuum. Hal ini disebabkan tidak ada institusi yang ditunjuk secara eksplisit oleh Undang-undang Advokat yang memberi legitimasi kepada perguruan tinggi hukum untuk

Page 147: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

141

memberikan Bantuan hukum khususnya bagi golongan masyarakat yang kurang mampu ; -------------------------------------------------------------------------------------------

6. Bahwa sebagaimana diketahui bersama, selama ini Pemohon yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum secara personal dan sekaligus secara struktural sebagai pengelola Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM telah menjalankan proses pendidikan profesi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum berdasarkan kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum yang antara lain mewajibkan penyelenggara pendidikan tinggi Hukum untuk melatih ketrampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum atau lebih popular dengan istilah pendidikan hukum klinis; ---

7. Bahwa keberadaan Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi sebagai Laboratorium Hukumnya Fakultas Hukum yang berfungsi untuk melatih praktik kemahiran hukum dan sekaligus berfungsi memberikan pelayanan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu, adalah sangat sesuai dengan Surat MA No.MA/SEK/034/II/2003 tentang Ijin Praktek Bantuan Hukum Bagi Lembaga Hukum Fakultas/Sekolah Tinggi Hukum yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia; ----------------------------------------------------------------------------------

8. Bahwa sebagaimana diketahui, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional, pada Pasal 20 ayat (3) menyebutkan: “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan vokasi”. Sementara itu pada Pasal 21 ayat (1) menegaskan “Perguruan Tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya”. Berdasarkan kedua pasal itu, sesungguhnya proses penyelengaraan pendidikan Fakultas Hukum UMM yang sudah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan status Unggul, secara legal dan absah memiliki otoritas dan kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum; ----------------------------------------------------------------------------------------------

9. Bahwa sementara itu dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang Pengabdian Masyarakat sebagai aktualisasi dari Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang berbunyi: “Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat”, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sejauh ini menerjemahkan amanat tersebut dengan melakukan kegiatan berupa konsultasi, advokasi dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan (justitiabelen) ;----

10. Bahwa dengan lahirnya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu, maka seluruh aktifitas LKPH UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi untuk dijalankan secara regular dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ketiga bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003; -------------------------------------------------------------------------------------------------

11. Bahwa implikasi dari hal demikian ini, Pemohon secara psikologis menjadi tidak tenang dan tidak konsentrasi didalam menjalankan profesinya sebagai dosen Fakultas Hukum UMM dan jabatannya sebagai pimpinan LKPH UMM. Pada akhirnya beban psikologis ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan proses pendidikan menjadi terganggu dan mengorbankan kepentingan mahasiswa; --------------------------------------

12. Bahwa salah satu bentuk kerugian riil yang pernah dialami oleh LKPH UMM pada saat melakukan pendampingan kepada klien di Kepolisian Resort Malang. Kuasa hukum dari LKPH UMM tidak dapat meneruskan pendampingan klien, disebabkan

Page 148: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

142

tidak dapatnya kuasa hukum LKPH menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh penyidik. Sementara itu izin praktek bantuan hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur sudah habis masa berlakunya; --------------------------------------------

13. Bahwa Pemohon berkeyakinan, rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu dibuat dalam suasana euphoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common sense). Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum. Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya. Dengan perkataan lain Undang-undang Advokat ini secara sistematis berusaha mereduksi dan menihilkan peran dan eksistensi pihak-pihak di luar profesi advokat, serta secara transparan dan arogan mewujudkan terjadinya monopoli profesi. Sungguh ironis, jika diingat bahwa profesi advokat yang mengklaim dirinya sebagai officium nobile dan tidak mengedepankan profit oriented, ternyata telah mengkhianati nilai-nilai luhur sikap profesionalisme-nya. Dan yang lebih menyedihkan, justru korban yang dirugikan oleh ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, tidak lain dan tidak bukan adalah lembaga perguruan tinggi hukum yang nota bene telah mengantarkan dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap kaum advokat untuk menjadi sosok profesional melalui proses edukasi hukum selama ini; ---

14. Bahwa sangat jelas diketahui pembuatan UU No. 18 Tahun 2003 secara materiil tidak dapat dikategorikan sebagai produk Undang-undang yang baik. Oleh sebab Undang-undang Advokat ini belum memenuhi sejumlah persyaratan ideal, sebagaimana layaknya sebuah peraturan undang-undang yang baik. Buktinya didalam UU No. 18 Tahun 2003 tidak mengakomodasi prinsip pengecualian (exception) sebagaimana dianut didalam system hukum manapun (there is no law without exception). Sebagai komparasi di dalam sistim perundang-undangan nasional yang ada, dapat diambil sebagai contoh kongkret dianutnya prinsip pengecualian tersebut, yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak cipta, terutama dapat dilihat pada Pasal 14, 15 dan 16; -----------------------------------------------------------------------------------------

15. Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga Negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya selama lebih dari 12 (dua belas) tahun, Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 yang secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil. Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 28C ayat (1) adalah:” setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan hidup umat manusia”. Sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Selanjutnya pasal 28D ayat (1) menegaskan: “setiap orang berhak atas

Page 149: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

143

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”. Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dalam pada itu Pasal 28I ayat (2) menegaskan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”; ------------------------------------------

16. Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji materiil atas Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ------------------------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut: -------------- 1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya; ------------------------------------------- 2. Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap

siapapun yang bukan Advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, bertentangan dengan UUD 1945; ---------------------------------------------------

3. Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM dan atau semua Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi Hukum di seluruh Indonesia;------------------------------------------------------------

4. Mohon keadilan yang seadil-adilnya; -----------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil dalam permohonannya Para Pemohon telah melampirkan bukti-bukti yang berupa: ------------------------------ Bukti P-1: Fotokopi Surat Kuasa Khusus Rektor UMM, Drs. Muhadjir Effendy,

MAP;------------------------------------------------------------------------------------- Bukti P-2: Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2.b/819/UMM/2000

Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Sumali, SH; -------------------------------------------------------

Bukti P-3: Fotokopi surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20358/A.2.IV.1/C/1994, atas nama Tongat, SH; -------------

Bukti P-4: Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2/1651/UM/X/1989 Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Ahmad Fuad, SH, MSi ‘---------------------------------------------------

Bukti P-5: Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 242/SKST/VIII/2003 Tentang Pengangkatan Kepala LKPH-UMM atas nama Tongat, SH. M.Hum;

Bukti P-6: Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 243/SKST/ VIII/2003 tentang Pengangkatan Sekretaris LKPH-UMM atas nama Sumali, SH.MH; --

Bukti P-7: Fotokopi Surat Dekan Fak. Hukum UMM Nomor.E.2e/0167/FHUMM/ V/2003 kepada A. Fuad Usfa, SH.M.Si sebagai Koordinator Pembela Umum PKPH/LKPH Fak. Hukum UMM; --------------------------------------------------

Bukti P-8: Fotokopi Statuta Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2001; -----------

Page 150: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

144

Bukti P-9: Fotokopi perpanjangan Persetujuan Kerjasama Antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No.04/Kep/KPT/VII/2000–No. E.6.j/756/ UMM/ IX/ 2000; ---------------------------------------------------------------------------------

Bukti P-10: Fotokopi Surat Mahkamah Agung RI Nomor: MA/SEK/o34/II/2003; --------- Bukti P-11: Fotokopi Surat Kuasa sebagai Kuasa Hukum dari Klien LKPH–FH UMM; --- Bukti P-12: Fotokopi Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 036/BAN-PT/AK-VII/SI/X/2003 tentang Hasil dan Peringkat Akreditasi program Studi untuk program sarjana di Perguruan Tinggi; ---------------------------------------

Bukti P-13: Fotokopi Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; --------------------- Bukti P-14: Fotokopi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; ------------------------------ Bukti P-15: Fotokopi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional; --------------------------------------------------------------------------------- Bukti P-16: Fotokopi Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; ---------- Bukti P-17: Surat tanggal 30 Oktober 2002 Nomor 01./IBBH/2002 dari Ikatan Biro

Bantuan (IBBH) Perguruan Tinggi Malang perihal Ijin Praktik Instruktur Kemahiran Hukum BKBH/BBH Perguruan Tinggi se Malang; -----------------

Bukti P-18: Kesepakatan dan Tuntutan Bersama BKBH/BBH Perguruan Tinggi se-Malang; ---------------------------------------------------------------------------------

Bukti P-19: Fotocopy artikel “Tersandung Pasal ‘Seolah-olah’ dari Majalah Tempo Edisi 12 september 2004; -------------------------------------------------------------

Menimbang, bahwa disamping mendengarkan keterangan Para Pemohon,

dipersidangan juga telah didengar keterangan tertulis Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H Direktur Jenderal Perundangan-undangan yang mewakili Menteri Kehakiman dan HAM R.I selaku Kuasa dengan hak subsitusi dari Presiden R.I, yang pokoknya sebagai berikut: ------------------------------------ 1. Bahwa pada surat permohonannya, Pemohon yang menyatakan rumusan Pasal 31 UU

No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, dengan alasan vang pada pokoknya sebagai berikut: --------------------------------------------------------------------- a. Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium

Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat baik dalam bentuk Litigasi maupun non Litigasi; -----------------------------------------------------------Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah;--------------------------Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat ansich yang mewakili otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan; -------------------------------------------------------------------------------------

b. Bahwa dengan lahirnya Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu maka seluruh aktivitas LKPM UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi dijalankan secara reguler dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ke tiga bagian Penjelasan UU No. 18 tahun 2003; -------------------------------------------------------------------------------------------

Page 151: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

145

c. Bahwa Pemohon berkeyakinan rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu di buat dalam suasana ephoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common sense); ---------------------------------------------------------------Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa Lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum; --------------------------------------------------------------------------Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya; --------------------- ------

d. Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH-UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun; ----------------Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil; --------------------------------------------------------------------------------------- Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28 C ayat (1) (2) dan Pasal 28 D ayat (1); (3); serta Pasal 28 1 ayat (2) Perubahan ke 2 UUD 1945; --------------------------------------------------------------------------------------------

2. Pemerintah tidak sependapat dengan argumen-argumen Pemohon dengan alasan-alasan sebagai berikut: ---------------------------------------------------------------------------- a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, menyebutkan

bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); ---Dari ketentuan tersebut terdapat beberapa unsur yang harus dapat dipenuhi agar orang dapat dipidana, yakni: ---------------------------------------------------------------- 1. dengan sengaja; ------------------------------------------------------------------------- 2. menjalankan pekerjaan profesi Advokat; -------------------------------------------- 3. bertindak seolah-olah sebagai Advokat; --------------------------------------------- 4. tetapi bukan Advokat; ------------------------------------------------------------------

b. Ketentuan di atas hanya ditujukan kepada orang mengaku-aku atau berpura-pura sebagai Advokat atau profesi Advokat, padahal pelaku yang bersangkutan bukan Advokat; ---------------------------------------------------------------------------------------- Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa titik berat Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 adalah mengenai larangan bagi orang yang mengaku-aku sebagai Advokat sedangkan profesi sebenarnya bukanlah Advokat seperti yang diatur oleh Undang-undang ini, bukan bagaimana ia bertugas dan berfungsi sebagai Advokat. Jika yang bersangkutan menjadi Advokat, maka berlaku ketentuan Pasal 3 ayat (1) yakni bahwa yang bersangkutan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara sehingga pada saat yang bersangkutan diangkat menjadi Advokat, maka ia bukan lagi berkedudukan sebagaimana yang dilarang oleh Pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan larangan bagi

Page 152: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

146

aktivitas yang dilakukan oleh Pemohon dalam Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, yang dikhawatirkan oleh Pemohon; --------------------------------------------------------------------------------------

c. Berkaitan dengan itu Pemerintah dapat menjelaskan pula bahwa ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya pemberian bantuan hukum murah oleh karena hal tersebut diatur secara tersendiri pada Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 yang mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma yang diwajibkan kepada Advokat kepada pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma akan di atur Iebih Ianjut dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga argumen Pemohon adalah tidak beralasan yang menganggap Undang-undang ini tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum, secara murah. Selain dari pada itu Pemerintah berpendapat bahwa mengenai seluk beluk yang mengatur perguruan tinggi sudah ada ketentuannya secara tersendiri yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; ----------------------------------------

d. Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa segala argumen dan fakta selebihnya yang diajukan oleh Pemohon tidak perlu ditanggapi satu persatu karena apa yang disampaikan Pemohon tidak ada relevansinya dan tidak membuktikan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon; ----------------------------------

3. Berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar hak-hak konstitusional Pemohon; -----------------------------------------

Kesimpulan; ------------------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut: ------------------------------------------------- 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai Legal Standing; -------------------------- 2. Menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan

Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima; ---------------------------------------------------- 3. Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan; --------------------------------------- 4. Menyatakan Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak

bertentangan dengan UUD 1945; --------------------------------------------------------------- 5. Menyatakan bawha Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tetap

mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia; -----------

Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat R.I, telah menyampaikan pula keterangan tertulisnya yang disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 7 September 2004 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: ------ I. Mengenai Syarat Permohonan

1. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon:-------------------------------------

Page 153: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

147

a. Bahwa permohonan diajukan untuk melaksanakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1); ayat (2); dan Pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945; --------------------------------------------------------------------------------------

b. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danlatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu:----------------------- 1) perorangan warga negara Indonesia; ---------------------------------------------- 2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang; ----------------------------------

3) badan hukum publik atau privat; atau; -------------------------------------------- 4) lembaga Negara; ---------------------------------------------------------------------

c. Bahwa para pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (setidak-tidaknya Pemohon I berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20358/A2.IV.I/C/1994 jo. Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan RI No. 045/Kop.VII/C.I/1996) yang menjabat sebagai Staf Laboratorium dan Konsultasi Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, karenanya adalah patut dan layak secara hukum agar pemohon mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk mengajukan pengujian Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945; --------------------------------------------------------------------------------

2. Syarat Formalitas Permohonan: ---------------------------------------------------------

a. Bahwa permohonan Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak-hak konstitusional yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; ---------------

b. Bahwa permohonan Pemohon mengenai Pasal yang mengatakan bahwa Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 adalah bukan hak konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; ---------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima; -------------------------------------------------- II. Mengenai Pokok Materi Permohonan

1) Bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: " Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah; -----------------

2) Bahwa ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa

Page 154: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

148

untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ----------------------------------------------------------------------------------------- a. warga negara Republik Indonesia; ----------------------------------------------------- b. bertempat tinggal di Indonesia; -------------------------------------------------------- c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara; ---------------------- d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh) lima tahun; ---------------------------- e. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor

Advokat; ----------------------------------------------------------------------------------- f. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; ------------------------------------ g. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas

yang tinggi; -------------------------------------------------------------------------------- 3) Bahwa ketentuan Pasal 3 dan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan

persyaratan yang lazim dan perlu bagi setiap profesi, baik berdasarkan keahlian dan ketrampilan, maupun untuk pertimbangan kepastian dan perlindungan kepentingan masyarakat, serta kepentingan negara dalam kaitannya dengan ketentuan larangan jabatan rangkap atau bagi pejabat negara dan pegawai negeri sipil; ---------------------------------------------------------------------------------------------

4) Bahwa persyaratan untuk di angkat menjadi Advokat, tidak berarti bertentangan atau tidak dapat dimaknai bertentangan dengan isi rumusan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945, karena persyaratan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa (pelaksanaan) hak asasi manusia tidak berarti tanpa pembatasan atau pengaturan, tetapi harus memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrartis sebagaimana yang tertuang Pasal 28 J UUD 1945; --

5) Bahwa Undang-undang No. 18 Tahun 2003 mengatur profesi Advokat, bukan mengatur kegiatan Lembaga Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum, oleh karena itu ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tidak dapat dimaknai membatasi apalagi melarang kegiatan pendidikan dan upaya mencerdaskan bangsa yang dilakukan oleh lembaga tersebut di setiap Fakultas Hukum Universitas atau lembaga-lembaga sejenis lainnya; ----------------------------------------------------------

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami berpendapat bahwa permohonan yang

diajukan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 bertentangan dengan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945 tidak beralasan, karena itu permohonan harus dinyatakan ditolak; -----------------------

Menimbang, bahwa disamping memeriksa bukti-bukti, mendengarkan keterangan Pemohon, Pemerintah dan DPR sebagaimana tersebut di atas Mahkamah juga memandang perlu untuk mendengar keterangan dari pihak-pihak terkait baik dari organisasi advokat maupun dari lembaga bantuan hukum perguruan tinggi dan non perguruan tingggi yaitu: --

1. Komite Kerja Advokat Indonesia yang diwakili oleh Dr. Teguh Samudera, S.H,

MH, Hari Pontoh, SH dan Hasanuddin Nasution, S.H. pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: --------------------------------------------------------------------- - Bahwa sangat tidak benar dalih yang menyatakan rumusan Pasal 31 UU No. 18

Tahun 2003 tentang Advokat sangat diskriminatif dan tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon. Karena Undang-undang Advokat lahir dan ada semata-mata untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang

Page 155: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

149

diskriminatif dan yang tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan kita yang berlaku. Juga Undang-undang Advokat itu lahir untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, sebagai pemenuhan amanat Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Jo. 35 tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman -------------------------------

- Bahwa Undang-undang Advokat lahir untuk mengatur berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, termasuk berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat, khususnya dalam peranannya menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Oleh karena itu tidaklah relevan apabila kepentingan Pemohon yang tidak berprofesi sebagai Advokat, akan tetapi berprofesi sebagai dosen, beranggapan dan menundukkan diri pada Undang-undang Advokat sehingga berpendapat rumusan Pasal 31 diskriminatif tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon;

- Bahwa oleh karena namanya saja Undang-undang Advokat, maka tentu saja didalamnya mengatur tentang Advokat dan tidak mungkin berisi aturanaturan yang mengatur tentang peran perguruan tinggi atau perguruan tinggi hukum, lembaga-lembaga yang berada atau bernaung dibawah perguruan tinggi maupun Dosen Fakultas Hukum. Hal-hal yang menyangkut perguruan tinggi berikut dengan segala kelengkapan, sarana dan prasarananya termasuk tetapi tidak terbatas pada perannya dalam melaksanakan Tridarma Perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat, adalah telah dengan jelas diatur didalam Undang-undang Sisdiknas yang terjabarkan dalam kurikulum. Dan jikapun ada mata kuliah tentang ketrampilan hukum atupun kegiatan praktisi hukum hal tersebut hanyalah semata-mata dalam wujud pembelajaran tentang implementasi ketentuanketentuan hukum formil atau hukum acara, jadi tidak harus atau tidak wajib melakukan atau menjalankan kegiatan yang merupakan ruang lingkup tugas pengabdian profesi Advokat; ----------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa hal-hal yang telah dilakukan Pemohon dengan melakukan kegiatan yang seolah-olah seperti profesi Advokat sebelum adanya Undang-undang Advokat, yang apabila dicermati berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Advokat, dapat dikategorikan dan dianggap sebagai ketentuan yang diskriminatif, karena perguruan tinggi kewenangannya adalah menyelenggarakan program pendidikan tertentu dalam hal ini termasuk profesi hukum akan tetapi sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur oleh undang-undang. Namun demikian perguruan tinggi apalagi seperti Pemohon tidaklah berwenang menyelenggarakan pendidikan tertentu misalnya profesi hakim, profesi jaksa maupun profesi penyidik, juga profesi Advokat. Karena undang-undangnya telah mengatur secara tersendiri secara khusus. Demikian pula kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Pemohon adalah tidak ada hubungannya atau tidak ada relevansinya dengan rumusan Pasal 31 Undang-undang Advokat, maka tidak terjadi rumusan tersebut diskriminatif karena pengabdian masyarakat sebagai perwujudan tridarma perguruan tinggi adalah kewajiban Pemohon dan tidak ada hubungannya dengan profesi Advokat dan itu merupakan kewajiban profesi Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi; ------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa sudah tepat tindakan Pemohon yang berprofesi sebagai dosen bukan sebagai Advokat dilarang apabila melakukan tugas pengabdian Advokat didalam masyarakat karena, apabila hal itu dilakukan berpotensi akan menyebabkan tidak

Page 156: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

150

adanya kepastian hukum, hilangnya tertib hukum dan berpotensial dapat merugikan mencari keadilan serta tidak kokohnya penegakkan hukum; ----------------------------

- Bahwa rumusan Pasal 31 adalah merupakan ketentuan universal yang dianut dan menjadi materi dari suatu Undang-undang profesi, karena suatu pekerjaan atau tindakan profesional tentu tidak dapat dilakukan oleh bukan profesi. Kalau dilakukan oleh bukan profesi nantinya akan dapat berpotensi merugikan kepentingan masyarakat mencari keadilan. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa profesi Dokter tidak dapat dilakukan oleh orang yang bukan Dokter demikian pula untuk profesi-profesi lainnya misalnya penegak hukum, Jaksa, Hakim, Polisi tidak bisa dilakukan oleh yang bukan hakim, yang bukan Jaksa yang bukan polisi; ---------------------------------------------------------------------

- Bahwa sebagaimana ditentukan dalam konsideran menimbang Undang-undang Advokat, profesi Advokat itu diperlukan semata-mata untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, yang adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua mencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan HAM yaitu supaya kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar. Advokat sebagai profesi bebas mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum perlu dijamin dan lindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Jadi jelas sudah Majelis yang mulia bahwa Undang-undang Advokat tidak menjamin dan tidak melindungi profesi dosen, maka Pemohon tidaklah mungkin dapat dikategorikan atau dikualifikasikan sebagai termasuk penegak hukum yang berprofesi Advokat. Kesimpulannya bahwa berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan maka permohonan Pemohon sudah sepatutnya dikesampingkan karena irelevan dan nyatanya rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (3) Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar; -----------------------------------------------

- Bahwa UU No. 18 Tahun 2003 itu mengatur tentang profesi Advokat; -------------- - Bahwa jika Pasal 31 dibaca secara seksama, itu bukan perlindungan terhadap

Advokat tetapi perlindungan terhadap masyarakat pencari keadilan dari orang-orang yang sesungguhnya bukan Advokat; -----------------------------------------------

- Bahwa profesi advokat dapat dianalogikan dengan dokter. Apabila ada orang yang berpraktek sebagai Dokter atau seolah-olah sebagai Dokter adalah pantas jika ada ancaman pidana terhadap orang itu; --------------------------------------------------------

- Bahwa tidak ada diskriminasi karena siapapun boleh memasuki profesi Advokat sepanjang dia memenuhi ketentuan-ketenatuan yang diatur dalam Undang-undang Advokat; ----------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa di Amerikapun orang yang mau berprofesi sebagai Advokat harus mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu bahkan tidak mustahil sampai 4 mungkin 5 kali ikut ujian, baru bisa lolos menjadi Advokat.

- Bahwa jika berbicara tentang pengabdian kepada masyarakat, fungsi LBH yang ada di dalam Universitas Muhammadiyah sesungguhnya bisa tetap dijalankan dengan misalnya bekerjasama dengan organisasi Advokat, karena di dalam Undang-undang Advokat juga ada Pasal 22 tentang bantuan hukum cuma-cuma; ---

- Bahwa jika dianalogikan dengan profesi dokter maka resiko malpraktek karena perlindungan Pasal 31 untuk melindungi pencari keadilan adalah sangat besar sekali. Karena walaupun latar belakang pendidikan sama-sama Sarjana Hukum, untuk berprofesi sebagai Advokat tidak semudah seperti pendapat orang, karena

Page 157: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

151

Sarjana Hukum hanya mempelajari tentang teori-teori. Sedangkan bagaimana mengimplementasikan teori-teori itu apalagi sebelum ada pengalaman, sebelum mengikuti pendidikan khusus untuk profesi Advokat sangat berpotensi untuk merugikan kepentingan pencari keadilan; --------------------------------------------------

- Bahwa profesi Advokat membutuhkan skill tertentu oleh karena itu dalam Undang-undang Advokat juga sudah diatur, misalnya selain dia lulusan perguruan tinggi hukum dia juga harus mengikuti kursus yang sekarang ini sedang didesain untuk litigasi maupun non litigasi. Juga harus ada proses magang selama 2 tahun. Karena akibat mal praktek yang dilakukan oleh seorang advokat akibat tidak menguasai profesinya dapat menyebabkan kerugian pada pencari keadilan; -----------------------

- Bahwa yang dimaksud kata seolah-olah adalah kalau orang itu bukan Advokat tetapi mengaku dirinya Advokat. Untuk pengakuan dan perbuatan itu didasari dengan unsur kesengajaan. Harus mengaku bahwa “saya Advokat”. Kalau dia tidak mengatakan sebagai Advokat tidak memenuhi unsur kesengajaan, sebagaimana ajaran dari Joncker; --------------------------------------------------------------------------

- Bahwa dari sisi pidana khusus Pasal 31 tidak cukup hanya dikaitkan dengan Pasal 1 butir 1. Tapi juga harus dikaitkan dengan butir 1 dan butir 7 karena disini Advokat adalah mendapatkan honorarium; ------------------------------------------------

- Bahwa untuk menjalankan profesi harus Advokat, tetapi untuk beracara di pengadilan tergantung dari siapa yang memberikan ketentuan hukum acaranya, bukan profesinya. Jadi untuk beracara di persidangan terletak atau berpatokan pada hukum acaranya, tetapi untuk melakukan profesi Advokat harus seorang Advokat sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Advokat; -----------------------------

- Bahwa yang berhak mewakili seseorang di pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum acara tidak disebutkan sebagai seorang Advokat tapi khusus seorang kuasa dengan mendapatkan surat kuasa. Profesi Advokat tunduk pada ketentuan Undang-undang Advokat; ------------------------------------------------------------------------------

2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang diwakili oleh

Ketuanya Munarman, S.H pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: -- - Bahwa YLBHI itu bukan organisasi profesi dan bukan juga lembaga yang

bernaung di bawah institusi Perguruan Tinggi seperti Pemohon, melainkan sebuah organisasi non pemerintah atau LSM yang independen yang memiliki core dibidang bantuan hukum; --------------------------------------------------------------------

- Bahwa YLBHI sangat menghargai semangat dari Pemohon, karena dalam konsteks Indonesia sekarang ini secara sosiologis memang acces to justice for poor people, akses masyarakat miskin untuk mendapat keadilan itu memang masih sangat terbatas; -----------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa berdasarkan pengalaman sebetulnya kita menghadapi dua problem hukum dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Yang pertama latent legal problem, yang kedua adalah manifest legal problem. --------------------------------------------------------------

- Pasal yang diajukan keberatan oleh Pemohon ini adalah yang berkaitan dengan manifest legal problem bukan latent legal problem. Karena apa yang dilakukan oleh Pemohon dan LBH yang bernaung dibawah institusi perguruan tinggi itu dari referensi yang ada dari laporan konsep penyuluhan dan bantuan hukum yang pernah dilakukan dan banyak dilakukan dalam lokakarya-lokakarya LBH bersama beberapa perguruan tinggi sejak tahun 80-an misinya itu lebih kepada latent legal problem, memperkuat posisiposisi rakyat, memberikan pendidikan hukum kepada

Page 158: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

152

rakyat dalam rangka hubungannya dengan hak mereka sebagai warga negara. Tetapi ketika masuk ke wilayah manifest legal problem memang membutuhkan satu spesifikasi dan kualifikasi tertentu. Menurut YLBHI, Undang-undang Advokat ini mengatur hal-hal yang berkaitan manifest legal problem yang berkaitan dengan problem hukum yang sengketanya sudah muncul kepermukaan., baik itu di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Itu yang menjadi wilayah atau scoop dari Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat; -------------------------------

- Bahwa kalau dikatakan Pasal 31 bersifat diskriminatif, maka yang disebut diskriminatif itu secara sosiologis maupun dari aspek HAM diletakan pada 4 dasar, yaitu pertama diskriminatif itu didasarkan pada etnik, ras, yang kedua pada agama, yang ketiga pada gender, yang ke empat pada umur. Kalau berkait paling tidak pada 3 aspek ini dilarang seseorang untuk menekuni profesi Advokat barulah Pasal 31 itu disebut bisa diskriminatif. Tetapi Pasal 31 adalah setiap orang, siapapun, jadi menurut kami 3 kriteria untuk dikatakan diskriminatif itu patut dipertimbangkan; --

- Bahwa dalam praktek sehari-hari secara empirik apa yang sudah disebutkan oleh Pemohon di dalam permohonannya, ketika ada problem misalnya institusi perguruan tinggi ada satu lembaga baik swasta maupun negeri yang digugat atau mendapat problem hukum tidak mesti diwakili Advokat sepanjang yang mewakili memiliki kaitan secara langsung dengan pihak yang bersengketa, tetapi kalau dia mewakili pihak lain dan orientasinya adalah profit dan dia masuk wilayah manifest legal problem hal-hal seperti ini sebenarnya bisa dikenakan Pasal 31; ----------------

- Bahwa penerapan Pasal 31 itu sangat kontekstual, spesifik dan macam-macam, tetapi memang Pasal 31 itu mengandung problem redaksional karena dia menyebutkan kata seolah-olah; --------------------------------------------------------------

3. Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (APHI) yang

diwakili oleh Dorma Sinaga, S.H ( Ketua ) dan Lambok Gultom, S.H (Sekjen) telah memberikan keterangan sebagaiberikut: ------------------------------------------------------ - Bahwa APHI sangat sependapat dengan Para Pemohon; -------------------------------- - Bahwa Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat ini sangat ideal dan

sangat berorientasi kepada profit. Sangat ideal pada saat penegakan hukum itu sudah berjalan dengan baik. Dalam kondisi negara seperti sekarang dimana penegakan hukum masih carut-marut dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat masih berjalan di mana-mana ini sangat berbahaya. Pembelaan terhadap hak-hak rakyat itu banyak dilakukan oleh Lembaga-lembaga Bantuan Hukum atau LSM atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum Kampus. Di daerah mayoritas dilakukan oleh LBH-LBH kampus; ---------------------------------------------------------------------

- Bahwa secara fakta LBH kampus itu memang sangat minim yang memiliki izin Advokat, tapi mereka dibantu oleh sarjana-sarjana hukum yang mahir pengetahuan umum tentang hukum. Peran mereka disini mereka memberikan suatu pelayanan hukum kepada masyarakat, karena dalam penanganan perkara atau melakukan advokasi terhadap hak-hak rakyat kita memakai 2 cara. Yang pertama melalui litigasi, yang kedua non litigasi. Litigasi itu pasti dilakukan oleh kawan-kawan yang mempunyai izin praktek Advokat, tapi yang non litigasi itu dilakukan oleh kawan-kawan Sarjana Hukum yang tidak memiliki izin, kami banyak juga dibantuk oleh mahasiswa tingkat akhir. Peran mereka sangat penting dalam pembelaan hak-hak rakyat namun mereka bisa terbentur dengan adanya Pasal 31 ini. Karena mereka secara tidak langsung dalam menjalan kan tugas-tugas non litigasi itu

Page 159: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

153

sudah dapat dikatakan menjalankan seolah-olah profesi Advokat, karena mereka memberikan pelayanan hukum, pendampingan di kepolisian, pendampingan dalam pemenuhan hak mereka, pendampingan terhadap Komnas HAM. Kawan-kawan yang mempunyai izin profit sangat minim yang mau terlibat untuk itu, apalagi pendampingan di lembaga-lembaga pemerintah seperti Komnas HAM, departemen atau DPR, itu sangat minim yang mau ikut serta dan banyak dilakukan oleh kawan-kawan Sarjana Hukum yang mahir akan pengetahuan hukum; -------------------------

- Bahwa dalam permohonan Pemohon sebenarnya persoalannya adalah persoalan legalitas, artinya kalau dulu kawan-kawan LBH kampus cukup dengan keputusan pengadilan tinggi, mereka bisa melakukan pelayanan hukum terhadap masyarakat tidak mampu, tapi pada saat sekarang hal itu tidak bisa. Persoalan legalitas itu kalau menurut Undang-undang Advokat terdapat dalam organisasi Advokat; --------

4. Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unpad (BBH FH-UNPAD) yang diwakili

oleh Eva Laela, S.H Dosen FH Unpad dan Ketua Biro Bantuan Hukum FH-Unpad dan Dedi Gozali, S.H, Dosen Fakultas Hukum Unpad dan Konsultan Senior Biro Bantuan Hukum FH-Unpad, pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: - Bahwa BBH FH-Unpad pernah mengalami satu kasus berkaitan dengan Pasal 31

ini karena Ketua BBH FH-Unpad sempat dilaporkan kepada Polwiltabes untuk pelanggaran Pasal 31 ini; ---------------------------------------------------------------------

- Bahwa Ketua BBH FH-Unpad mengalami kurang lebih 3 sampai 4 kali pemeriksaan di kepolisian, hanya karena memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu dalam konteks pengabdian masyarakat mengenai kasus perceraian; -------------------------------------------------------------------------------------

- Bahwa kasus tersebut sebetulnya sudah in kracht, tetapi kemudian sekitar bulan Februari ditulis di koran, kemudian dilaporkan ke kepolisian dan diproses; ----------

- Bahwa pada akhirnya ada keterangan dari Pengadilan Tinggi yang memberikan izin berdasarkan kerjasama antara Unpad dengan pengadilan tinggi, yang mengatakan bahwa ia masih boleh menggunakan kartu izinnya; -----------------------

- Bahwa pada pada saat menangani kasus itu, izinnya masih berlaku sampai Juli 2004. sedangkan ia menangani kasus sekitar Agustus 2003 yang dimulai sejak 2001. Jadi secara administratif masih boleh menggunakan kartu tersebut; ------------

- Bahwa kemudian kasus tersebut diproses di kepolisian dan pada akhirnya pada 31 Agustus 2004 kasus itu sudah di SP3kan, karena menurut pihak kepolisian tidak ada pelanggaran pidana disitu; --------------------------------------------------------------

- Bahwa yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah seseorang yang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu, bukan kepada masyarakat mampu dan dia tidak mendapatkan penghasilan atau mendapatkan dari memberikan bantuan hukum itu lalu itu dikategorikan dengan perbuatan pidana yang bisa diancam dengan hukuman 5 tahun dan denda 50 juta; -----------------------

- Bahwa eksistensi Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unpad ini tidak hanya menangani bantuan hukum saja tetap yang masyarakat tidak mampu, tapi juga untuk kepentingan universitas itu sendiri. Banyak kasus-kasus yang menggugat Universitas Padjajaran misalnya kasus drop out dimana Rektor itu di PTUN kan, kemudian aset-aset Unpad diserobot oleh masyarakat, itu selalu diselesaikan melalui peradilan. Selain itu juga kasus-kasus yang menyangkut karyawan; ---------

- Bahwa UU No. 18 Tahun 2003 akomodatif, tidak menyertakan institusi lain yang punya kepentingan; ----------------------------------------------------------------------------

Page 160: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

154

5. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH-UI ( LKBH FH–UI) yang diwakili

oleh Ketuanya Retno Muryati, S.H, MH pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: -------------------------------------------------------------------- - Bahwa masih banyak persoalan yang harus diselesaikan dalam Undang-undang

Advokat. Satu yang jadi fokus pembicaraan ialah Pasal 31 dimana kata seolah-olah itu akan membuat penafsiran yang bermacammacam, yang akan kena dampak adalah dari perguruan tinggi. Jadi dari Undang-undang Advokat pun ini perlu ada beberapa hal yang perlu dibahas kembali; -------------------------------------------------

- Bahwa berkaitan dengan kekecewaan dari organisasi advokat terhadap sarjana hukum yang baru lulus, oleh karena itu perlu pendidikan khusus untuk menjadi advokat yang handal. Kemampuan seorang seorang Sarjana Hukum tidak cukup hanya setelah menjadi sarjana. Adalah lebih sempurna kalau sejak mahasiswa pun sudah diperkenalkan bagaimana nantinya kalau mereka menjadi Advokat, karena pendidikan setelah Sarjana Hukum itu hanya berapa tahun, misalnya untuk Advokat berapa bulan, sedangkan untuk menjadi Sarjana Hukum 4 tahun atau 3,5 tahun atau 7 semester. Justru di sinilah untuk membuat sarjana yang siap pakai; ----

- Adanya satu laboratorium yang berupa Lembaga Bantuan Hukum mengacu kepada kurikulum nasional dimana ada mata kuliah mengenai kemahiran, keterampilan dan itu berlaku untuk seluruh Indonesia; ---------------------------------------------------

- Adanya Tri Darma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah pengabdian pada masyarakat, perlu diperhitungkan juga oleh Asosiasi Advokat. Jangan hanya mengatakan Sarjana Hukum perlu dididik lagi untuk menjadi Advokat yang betul-betul bisa memenuhi apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Justru ditingkat pertama, di S1, perlu disiapkan syarat minimal untuk mereka bisa maju kesana; ----

- Bahwa dengan adanya Undang-undang Advokat ini tentu LBH yang juga berfungsi sebagai laboratorium hukum bagi mahasiswa Fakultas Hukum betul-betul terkena dampaknya.

6. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH- Universitas Trisakti (LKBH FH-

Trisakti) yang diwakili oleh Ketuanya Sugeng Sudartono, S.H pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: -------------------------- - Bahwa secara prinsip sependapat bahwa Pasal 31 Undang-undang Advokat itu

sebaiknya ditinjau kembali karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar terutama dengan Pasal 28; --------------------------------

- Bahwa tujuan dibentuknya laboratorium hukum disetiap perguruan tinggi adalah untuk mendekatkan peranan perguruan tinggi dengan masyarakat termasuk di dalam Fakultas Hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Prof. Dr. Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa Fakultas Hukum dalam era globalisasi harus mempersiapkan mahasiswanya dengan pendidikan yang cukup. Disatu pihak pendidikan hukum harus melahirkan Sarjana Hukum yang mempunyai keterampilan dalam praktek hukum, disamping itu juga harus mampu menghadapi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat termasuk dengan jalan memberikan bantuan hukum;

- Bahwa jika dikaitkan dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, di dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) butir c dan d disebutkan bahwa seorang pendidik yang memberikan pendidikan pada mahasiswanya harus mendapatkan perlindungan hukum, agar mahasiswa yang

Page 161: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

155

bersangkutan dan pendidikan yang bersangkutan mendapatkan ketenangan dalam menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu untuk terciptanya suatu sistem pendidikan yang baik bagi Fakultas Hukum diperlukan adanya keterampilan pada para Sarjana Hukum yang hanya bisa diperoleh apabila para pendidik dan para mahasiswanya juga dilibatkan dalam proses beracara. Oleh karena itu peranan lembaga-lembaga bantuan hukum dalam proses beracara seharusnya diakomodir dalam Pasal 31; -----

Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala sesuatu

yang tertera dalam berita acara persidangan dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini; ----------------------------------------------------- PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; -----------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkara sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai: ----------------------------------------------------------------------------------------------- 1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa permohonan Pemohon a quo, ------------------ 2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon a quo. ----------------------------------------- 1. KEWENANGAN MAHKAMAH

Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK) yang menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Menimbang bahwa undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, in casu UU 18 Tahun 2003, diundangkan pada tanggal 5 April 2003 maka, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim mengenai Pasal 50 UUMK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan a quo; --------------------------------- 2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Menimbang bahwa Pasal 51 UUMK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: ------------------------------------------------------------------------------- a. Perorangan warga negara Indonesia; ----------------------------------------------------------- b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; --------------------------------------------------------------------

c. Badan hukum publik atau privat; atau ---------------------------------------------------------- d. Lembaga negara; ---------------------------------------------------------------------------------- yang dengan demikian berarti bahwa untuk dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 seseorang atau suatu pihak terlebih dahulu harus menjelaskan: ----------------------------------------------------------------- 1. Kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga negara

Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum (publik atau privat), ataukah sebagai lembaga negara; ---------------------------------------------------------------

Page 162: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

156

2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dideritanya dalam kualifikasi tersebut; ---------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa Pemohon adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

yang membawahkan Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (LKPH-UMM), sebuah lembaga nirlaba yang didirikan guna memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya sebagaimana telah disebut dalam duduk perkara yang masing-masing adalah sekaligus Kepala, Sekretaris, dan Staf LKPH-UMM; -

Menimbang bahwa dalam kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas Pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya UU No.18 Tahun 2003, in casu Pasal 31, yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah”, kerugian mana secara nyata telah dialami Para Kuasa Pemohon yakni dalam wujud ditolaknya kehadiran Para Kuasa Pemohon oleh pihak penyidik di Kepolisian Resort Malang pada saat melakukan pendampingan selaku kuasa hukum dari seorang klien karena Para Kuasa Pemohon tidak mampu menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh penyidik (vide butir 12 permohonan); -------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa, dengan demikian, telah ternyata terdapat kepentingan Pemohon terhadap berlakunya undang-undang a quo yang menurut Pemohon, dalam kualifikasi sebagaimana diuraikan di atas, telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon di hadapan Mahkamah; ----------- POKOK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 sebagai ketentuan yang sangat diskriminatif, tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena, dengan adanya ketentuan dimaksud, Pemohon tidak dapat lagi memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi. Di samping itu, ketentuan Pasal 31 dimaksud juga telah mengakibatkan Pemohon tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan pendidikan hukum klinis guna melatih keterampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum, padahal berdasarkan kurikulum pendidikan tinggi hukum hal itu wajib dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi hukum. Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 telah pula mengakibatkan Pemohon tidak mungkin melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dalam hal ini unsur pengabdian pada masyarakat, yang dalam hubungannya dengan Pemohon unsur pengabdian pada masyarakat tersebut dilaksanakan sebagai kegiatan pemberian konsultasi, advokasi, dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 1 angka 1 dan 2 undang-undang a quo menentukan bahwa “advokat adalah orang yang berprofesi member jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”, sedangkan yang diartikan sebagai jasa hukum adalah “jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”; ------------------------------------------------------

Page 163: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

157

Menimbang bahwa UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya; -----------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont & Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law...” [vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267- 296). Namun, peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPH UMM atau lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, melainkan peristiwa yang disangkakan tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo; ------------------------------------------------------------------ Menimbang bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah

Page 164: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

158

melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat;--------------------------------------------------------------- Menimbang bahwa Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang a quo. Sedangkan yang dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien; -----------------------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya; ----------------------------- Menimbang bahwa Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang-undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo; ------------------------------------------------------------------------------------------ Menimbang pula bahwa UU No. 18 Tahun 2003 adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat; ----------------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum; --

Menimbang bahwa sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya

Page 165: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

159

advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang mengatur hukum acara. Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33); --------------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945; --

Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the cases do not explain what that means” (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142); --------------------------------------------------------------------------

Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan; --------------------------------------------------------------------------------------------

Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; --------------------------------------------------------

M E N G A D I L I

Page 166: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

160

Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan; ------------------------------------ Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; -------------------------------------------------------------------------------------------

Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; -------------------------------------

Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; ----------------------------------------------------------------- PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion)

Menimbang, bahwa terhadap putusan Mahkamah tersebut diatas, Hakim Konstitusi

Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH, Prof. H.A.S. Natabaya, SH, LL.M, dan H. Achmad Roestandi, SH mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut :

Secara tekstual, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan een wet artikelgedeelte dari Undang-Undang Advokat, yang secara khusus diperuntukkan mengatur profesi advokat. Undang-Undang Advokat adalah undang-undang profesi, dalam hal ini undang-undang profesi advokat.Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dibuat guna melindungi profesi advokat, suatu pengaturan beroepsbescherming bagi advokat.

Manakala seseorang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat maka hal dimaksud merupakan strafbare sanctie (sanksi pidana) yang ditujukan kepada non profesi advokat, atau orang lain (profesi lain) di luar advocat beroep. Penolakan hakim atau pihak lain terhadap orang lain yang bukan advokat beracara di pengadilan (atau di luar pengadilan) tidak dapat dijadikan alasan guna pengujian (apalagi membatalkan) Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 karena hal dimaksud berpaut dengan salah penerapan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003, tidak terletak pada substansi normatif yang dimaksud pembuat undang-undang. Kesalahan penerapan Pasal a quo terungkap pula dari keterangan dan kesaksian dalam persidangan. Memang di tempat-tempat tertentu, dalam hal ini di Bandung dan Malang, pemberian kuasa kepada LBH Perguruan Tinggi pernah dipersoalkan oleh Polisi atau Pengadilan dengan mendasarkan pada Pasal a quo, tetapi di tempat-tempat lain pemberian kuasa semacam itu tidak pernah dipersoalkan, artinya tetap berjalan seperti yang dilakukan sebelum pasal a quo berlaku. Lagipula proses penanganan perkara tersebut baik di Bandung maupun di Malang pada akhirnya tidak dilanjutkan.

Dengan demikian ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya dengan perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1); (2) dan Pasal 28 D ayat (1); (3). Adapun bunyi Pasal 28 C ayat (1) adalah “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak

Page 167: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

161

untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selanjutnya Pasal 28 D ayat (1) menegaskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, jika dibaca sepintas memang seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP. Perlindungan itupun tidak berarti menutup pintu bagi Perguruan Tinggi untuk memberikan pelatihan praktis kepada para mahasiswa Fakultas Hukum, bahkan pelatihan itu akan berlangsung lebih terarah, lebih realistis dan lebih sejalan dengan Pasal 13 a quo, jika misalnya dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Asosiasi (Perkumpulan) advokat, sebagaimana yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dengan Rumah Sakit dalam rangka pelatihan mahasiswa Fakultas Kedokteran.

Adapun dalil Pemohon yang menyatakan dengan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat adalah bersifat tendensius dan berburuk sangka karena berdasarkan hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat di DPR (Ketetapan DPR dan Pemerintah) pernyataan Pemohon tidak benar. Pemohon sebagai anggota Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Malang yang bukan merupakan institusi Pemerintah (tidak berstatus Pegawai Negeri) dapat mendaftarkan diri untuk menjadi Advokat asal saja memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, dengan catatan bahwa setiap profesi sudah seharusnya dituntut untuk bekerja secara profesional di bidangnya masingmasing, termasuk advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi.

Adapun dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bukan undang-undang yang baik karena tidak ada aturan pengecualiannya, tidak tepat, karena tidak selalu harus suatu undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian (escape clausule).

Oleh karena itu, kami berpendapat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon bahwa Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah bertentangan (tegengesteld) dengan UUD 1945, tidak terbukti.

Sebagai penutup, izinkanlah kami menutup pendapat berbeda ini dengan mengutip pepatah Melayu “awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit” dan “buruk muka cermin dibelah”.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2004, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini, Senin tanggal 13 Desember 2004, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, selaku Ketua merangkap Anggota didampingi oleh Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H.,

Page 168: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN B

162

M.S., H. Achmad Roestandi, S.H., Dr. Harjono, SH, MCL., Soedarsono, S.H., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Maruarar Siahaan, SH, masing-masing sebagai anggota dan dibantu oleh Teuku Umar, SH, MH sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa Pemohon, pemerintah dan Pihak Terkait.

K E T U A ttd Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

ANGGOTA-ANGGOTA,

Ttd ttd

Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H Prof. H.A.S. Natabaya, S.H, LLM.

ttd ttd H. Achmad Roestandi, S.H. Dr. Harjono, S.H, MCL.

ttd ttd Prof.H.A.Mukthie Fadjar, SH, MS I Dewa Gede Palguna, S.H, MH ttd ttd Maruarar Siahaan, SH. Soedarsono, SH.

Panitera Pengganti,

ttd

Teuku Umar, SH.MH

Page 169: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN C

163

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALI NAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 152/KM.l/2004

TENT ANG

PEMBENTUKAN TIM PENYUSUNAN BUKU PEDOMAN PENANGANAN PERKARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a. bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan perkara terhadap gugatan-gugatan yang diajukan kepada unit-unit di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara diperlukan buku pedoman penanganan perkara;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

4. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212);

5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.01/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG

PEMBENTUKAN TIM PENYUSUNAN BUKU PEDOMAN PENANGANAN PERKARA DI LINGKUNGAN DJPLN.

PERTAMA : Membentuk Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara, yang susunan keanggotaannya terdiri dari Pengarah, Koordinator,

Page 170: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN C

164

dan Pelaksana, sebagaimana, ditetapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan ini.

KEDUA : Tugas Pengarah adalah sebagai berikut: 1. memberi petunjuk dan pengarahan kepada Koordinator dan

semua Pelaksana dalam rangka pelaksanaan penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara; dan

2. bertanggung jawab dan melaporkan serta menyampaikan pelaksanaan penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara kepada Menteri Keuangan.

KETIGA : Tugas Koordinator adalah sebagai berikut:

1. sebagai penghubung antara Pengarah dengan Pelaksana dalam penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara;

2. melaksanakan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Pengarah; dan

3. bertanggung jawab dan melaporkan kegiatan pelaksanaan penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara kepada Pengarah.

KEEMPAT : Tugas Pelaksana adalah sebagai berikut:

1. menyusun Buku Pedoman Penanganan Perkara; dan 2. membuat laporan hasil kerja Tim Penyusunan Buku Penanganan

Perkara kepada Koordinator .

KELIMA : Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara, Pengarah dapat mengangkat Pembantu Pelaksana.

KEENAM : Masa kerja Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara terhitung mulai tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 31 Desember 2004.

KETUJUH : Segala pengeluaran sebagai akibat ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan ini, dibebankan pada anggaran DIP Direktorat Jenderal Piutang dlan Lelang Negara/DJPLN Tahun 2004, Kode Proyek 18.1.03.261658.0.15.10.01

KEDELAPAN : Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1 Januari 2004.

Salinan Keputusan Menteri Keuangan ini disampaikan kepada: 1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Menteri Keuangan; 3. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 4. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan; 5. Direktur Jenderal Anggaran;

Page 171: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN C

165

6. Sekretaris Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Para Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara;

7. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara;

8. Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Keuangan;

9. Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Jakarta II; 10. Pemimpin dan Bendaharawan Proyek Penyempurnaan Sistem

Administrasi Pengurusan Piutang dan Lelang Negara; 11. Yang bersangkutan untuk diketahui dan diindahkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2004 a.n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SEKRETARIS JENDERAL ttd. AGUS HARYANTO NIP 060035211

Page 172: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN C

166

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 152 /KM.l/2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUNAN BUKU PEDOMAN PENANGANAN PERKARA

SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM PENYUSUNAN BUKU PEDOMAN PENANGANAN PERKARA

1. Machfud Sidik : Pengarah

Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara

2. Sutardjo : Koordinator

Direktur Informasi dan Hukum, DJPLN

3. Marhokkom Sitompul : Pelaksana

Kepala Subdit Peraturan dan Bantuan Hukum, DJPLN

4. Zulkarnain Saragih : Pelaksana

Kepala Subdit Informasi dan Perencanaan Lelang, DJPLN

5. Julius Sukardi : Pelaksana Kepala Subdit Piutang Negara Non Perbankan II, DJPLN

6. Hartono : Pelaksana Kepala Bagian Bantuan Hukum, Sekretariat Jenderal

7. Nur Purnomo : Pelaksana Pj. Kepala KP2LN Jakarta I, Kanwil III, DJPLN

8. Idris Ismail Liem : Pelaksana Kepala KP2LN Jakarta II, Kanwil III, DJPLN

9. Sya'abril Westri Hosen : Pelaksana Kepala Seksi Bantuan Hukum

10. Bambang Djoko Wahono : Pelaksana Kepala Seksi Informasi dan Perencanaan Pengurusan Piutang Negara

11. Hari Sunamto : Pelaksana Kepala Seksi Informasi Dan Perencanaan Lelang I, DJPLN

12. Saudara Mangiring P.H. : Pelaksana Kepala Seksi Peraturan Perundangan, DJPLN

13. Obor Pembimbing Harihara : Pelaksana NIP 060078954 Kepala Sub Bagian Bantuan Hukum II

14. Sugeng Harijadi : Pelaksana Kepala Seksi Piutang Negara Perbankan II B, DJPLN

Page 173: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

LAMPIRAN C

167

15. Evi Askaryanti : Pelaksana Kepala Sub Bagian Pelaporan, DJPLN

16. Ilma Diana Reniwati : Pelaksana Kepala Sub Bagian Umum, DJPLN

17. Nezaretta : Pelaksana Kepala Seksi Piutang Negara Non Perbankan II A, DJPLN

18. Haposan Janyoos : Pelaksana Kepala Seksi Piutang Negara Non Perbankan I B , DJPLN

19. Iva Nurdiana Azizah : Pelaksana Pelaksana pada Direktorat IH, DJPLN

20. Kurniawan : Pelaksana Pelaksana pada Direktorat IH, DJPLN

21. Andy Raffiwan : Pelaksana Pelaksana pada Direktorat IH, DJPLN

22. Tahyadi Setiawan : Pelaksana Pelaksana pada Direktorat IH, DJPLN

a.n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SEKRETARIS JENDERAL ttd. AGUS HARYANTO NIP 060035211

Page 174: Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJKN

168

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Kepailitan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.

C.S.T. Kansil, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003.

Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

H. Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesaint Blanc, 2003.

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Ropaum Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.

R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1989.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.