Buku2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Buku buku

Citation preview

  • Kajian Lingkungan Hidup Strategis:

    Terobosan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

    Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 - DANIDA

  • iii

    Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan

    Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun. Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan sumber daya hayati.

    Situasi ini menunjukkan betapa laju kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan di negeri kita berlangsung dalam kecepatan yang lebih tinggi dibanding laju pencegahan dan pemulihannya. Menurut kalangan akademisi dan penggiat lingkungan salah satu penyebabnya adalah masalah kelembagaan atau masalah struktural. Maksudnya, krisis ekologi yang melanda di sekitar kita muncul karena kebijakan, peraturan perundangan, dan program-program pembangunan selama ini belum mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Lingkungan hidup belum menjadi arus utama pembangunan.

    Salah satu terobosan penting yang akan ditempuh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) untuk

    mengatasi masalah struktural tersebut adalah dengan menggagas, memperluas dan menginternalisasikan pertimbangan lingkungan hidup dan prinsip keberlanjutan dalam formulasi kebijakan (policy), rencana (plan), dan program-program pembangunan. Instrumen atau mekanisme yang telah dikenal luas di berbagai belahan dunia untuk maksud tersebut adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) (Strategic Environmental Assessment).

    Tujuan utama KLHS dengan demikian bukan terletak pada dokumen yang dihasilkan melainkan dilahirkannya kebijakan, rencana dan program-program yang mempertimbangkan lingkungan hidup dan keberlanjutan. Walau sudah barang tentu KLHS bukanlah satu-satunya solusi mujarab untuk mengatasi masalah lingkungan hidup, namun melalui aplikasi instrumen ini diharapkan terjadi perubahan paradigma berpikir dikalangan perencana pembangunan. Dari yang semula berpandangan sempit (myopic), terpisah-pisah dan parsial menjadi berpandangan jangka panjang, saling terkait dan holistik.

    Akhir kata, semoga dengan membaca buku ini para pembaca dapat memperoleh inspirasi dan tertarik mengaplikasikan KLHS, sehingga di tahun-tahun mendatang dapat dilahirkan kebijakan, rencana dan program-program pembangunan yang sungguh-sungguh mempertimbangkan lingkungan hidup dan keberlanjutannya.

    Jakarta, Desember 2007

    Ir. Hermien Roosita, MM Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan

    Kementerian Negara Lingkungan Hidup

  • vIsu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena - antara lain - perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

    Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan suatu kerangka kerja atau framework pada tahap dini perencanaan pembangunan dengan maksud agar di masa mendatang dapat dicapai harmoni antara pembangunan dengan lingkungan hidup. Dengan

    menggunakan KLHS, para perencana pembangunan dapat mempertimbangkan jauh ke depan berbagai dampak pembangunan yang akan timbul dan pengaruhnya terhadap politik dan ekonomi. Demikian pula, KLHS dapat dimanfaatkan sebagai kerangka integratif bagi semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat.

    Buku ini merupakan buah kerjasama antara Pemerintah Kerajaan Denmark dengan Pemerintah Republik Indonesia, melalui Danish International Development Agency [DANIDA], Environmental Support Programme Phase (ESP) 1; serta buah pemikiran dan kerja keras dari Atiek Koesrijanti, Laksmi Wijayanti, Soeryo Adiwibowo, Triarko Nurlambang, Chay Asdak, Tjuk Kuswartojo, dan Hardoyo. Kepada mereka yang telah memungkinkan terbitnya buku ini diucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

    Semoga dengan hadirnya buku ini para pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat memahami manfaat dan lingkup KLHS serta peluang aplikasi KLHS di daerah dan sektor masing-masing.

    Jakarta, Desember 2007

    Ir. Bambang Seryabudi, MURPAsisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup

    Kata Pengantar

  • vi

    Diterbitkan olehDeputi Bidang Tata LingkunganKementerian Negara Lingkungan Hidup Republik IndonesiaGedung A, Lantai 4Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas, Jakarta 13410Telp/Faks. (021) 8590667Website: http:\\www.menlh.go.id

    ApresiasiUcapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini, antara lain:Tjuk Kuswartojo dan HardoyoDanish International Development Agency (DANIDA) melalui Environmental Support Programme (ESP) Phase 1.

    PengarahHermien Roosita(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

    Ketua PelaksanaBambang Setyabudi(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

    PenyusunAtiek Koesrijanti (KLH), Laksmi Wijayanti (KLH),Soeryo Adiwibowo (IPB), Triarko Nurlambang (UI),Chay Asdak (UNPAD)

    EditorYenni Lisanova Chaterina, Widhi Handoyo, Teguh Irawan, Suhartono(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)Esthi S. Noorsabri

    PendukungArifin, Irine Nurhayati, Supriyadi, Yusnimar, Satriajaya, Nana(Kementerian Negara Lingkungan Hidup)M. Putrawidjaja, Pritha Wibisono, Devi Widianto

    Kreatif DesainMATOAwww.matoa.org

    Kajian Lingkungan Hidup Strategis:Terobosan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

  • vii

    Daftar Isi

    Sambutan Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan Kata Pengantar Daftar IsiDaftar TabelDaftar GambarGlossary PENDAHULUAN 1KEBIJAKAN DALAM KONTEKS HUKUM DAN ADMINISTRASI 31. Kebijakan Utama Pembangunan dan Relevansinya Dengan Lingkungan Hidup ....................................... 3 A. Tujuan Pembangunan Nasional ......................................................................................................... 3 B. Strategi Pembangunan Berkelanjutan ............................................................................................... 6 C. Peluang Aplikasi KLHS Dalam Konteks Kebijakan Pembangunan ....................................................... 102. Landasan Hukum Pembangunan Lingkungan Hidup dan Berkelanjutan Serta Relevansinya Dengan Otonomi Daerah .......................................................................................................................... 11 A. Lingkungan Hidup Dalam Sistem Hukum Indonesia .......................................................................... 11 B. Desentralisasi dan Partisipasi Publik ................................................................................................. 113. Konteks Institusi dan Administrasi Dalam Menilai Performa Pembangunana Lingkungan Hidup ............ 13 A. Tanggungjawab Perumusan Kebijakan, Rencana Dan Program Pembangunan ................................. 13

    B. Sikap Politik ; Peluang dan Hambatan ................................................................................................ 14

    INTEGRASI PERTIMBANGAN LINGKUNGAN: PENGALAMAN INDONESIA 151. Beberapa Inisiatif KLHS Di Indonesia ....................................................................................................... 15 A. Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH Bidang Air [2004] ....................................................................... 15 B. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi .................................................................. 17 C. National Urban Environment Strategy (NUES) ................................................................................... 21 D. SENRA Bappenas ............................................................................................................................... 23 E. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Andalan Bogor, Depok, dan Bekasi [2004] .............................. 27 F. Kajian Lingkungan Strategis Kebijakan, Rencana, dan Program Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur

    (Bopunjur) [2003] ............................................................................................................................... 29 G. Studi Kajian Lingkungan Strategis Cipamatuh [2001] ........................................................................ 31 H. Studi Dampak Lingkungan Kebijakan, Rencana dan Program Kawasan Pusat Perkotaan Yogyakarta

    [2001/2002] ....................................................................................................................................... 32 I. Kajian Awal Lingkungan Strategis Jaringan Jalan Sumatera Barat [2003] ........................................... 37 J. Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Cirebon dan Sekitarnya [Cireme Watershed] .......................... 402. Membanding Beberapa Inisiatif KLHS ....................................................................................................... 42

    APLIKASI KLHS DI MASA DEPAN 451. Prospek Pengembangan KLHS Di Indonesia ............................................................................................. 45

    2. Alternatif Adopsi KLHS Di Masa Mendatang ............................................................................................ 46

    Daftar Pustaka

  • viii

    Tabel Halaman

    1. Strategi Lingkungan Kawasan Perkotaan........................ 232. Matriks CEPP...................... 253. Pengalaman KLHS di Indonesia......................... 43

    Gambar Halaman

    1. Pendekatan Ekosistem dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya air........................... 162. Model Global Lingkungan Perkotaan............................. 213. Model Global CEPP.......................... 244. Adaptive Environmental Management System (AEMS)............................ 345. Penerapan KLHS untuk Jaringan Jalan.............................. 386. Peran KLHS dalam Pengambilan Keputusan Pembangunan.............................. 42

    Daftar Tabel

    Daftar Gambar

  • ix

    AEMS (Adaptive Environmental Management System): Sebuah proses berkesinambungan dalam sistem manajemen lingkungan.

    Kebijakan Publik: Suatu keputusan politik yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau bersama dewan perwakilan rakyat

    di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan yang berlaku untuk memenuhi kepentingan publik.

    Musrenbang: Musyawarah Rencana Pembangunan, merupakan satu forum untuk membahas dan menetapkan usulan

    kegiatan pembangunan berikut anggarannya untuk tahun fiskal berjalan berikutnya, baik di tingkat pusat (Musrenbangnas) maupun daerah (Musrenbangda).

    Partisipasi Publik: Suatu mekanisme keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.

    SEA (Strategic Environmental Assessment): Istilah internasional untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

    AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

    APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

    BAPEDALDA : Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

    BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

    BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    BKPRD : Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah

    BKTRN : Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional

    KL : Kementerian/Lembaga

    KLH : Kementerian Lingkungan Hidup

    KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis

    KRP : Kebijakan, Rencana, dan Program

    POKJA : Kelompok Kerja

    Permen : Peraturan Menteri

    Perpres : Peraturan Presiden

    PP : Peraturan Pemerintah

    RAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

    RAPBN : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

    Renja : Rencana Kerja

    Renstra : Rencana Strategis

    RKA : Rencana Kerja Anggaran

    RKP : Rencana Kerja Pemerintah

    RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah

    RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang

    SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

    UU : Undang-Undang

    UUD : Undang-Undang Dasar

    UU KN : Undang-Undang Keuangan Negara

    UU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

    Glossary

  • 1Pendahuluan | 1

    Bab

    Pendahuluan1Bab

    Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup. Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik. Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan di suatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya.

    Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.

    Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

    Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap

    penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.

    Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 3

    Bab

    Berakhirnya rezim Suharto dengan Orde Barunya pada tahun 1998 menjadi awal dari perubahan sistem tatanegara Republik Indonesia, dan merupakan bagian dari proses reformasi politik dan birokrasi. Sejalan dengan ini, proses perencanaan pembangunan nasional mengalami sejumlah perubahan, baik dari sisi filosofi atau dasar pemikiran sampai dengan tahap implementasinya. Pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam sebagai bagian dari pembangunan nasional juga mengikuti proses perubahan ini.

    Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan negara telah mengalami perubahan sebanyak empat kali selama periode 1999 2002, melalui diterbitkannya amandemen UUD. Dalam kaitannya dengan pengelolaan pembangunan, hal-hal pokok yang berubah adalah sebagai berikut:

    a. Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

    b. Ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan lima tahun nasional; dan

    c. Desentralisasi kekuasaan pemerintahan negara melalui penguatan otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Sebagai landasan pengelolaan pembangunan nasional, pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN). Sebelumnya, melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terlebih dahulu dirumuskan alokasi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah. Undang-Undang ini dikenal sebagai UU Otonomi Daerah, dimana dalam rumusannya juga menekankan perlunya keharmonisan dan keselarasan pembangunan, baik di tingkat nasional, daerah maupun antardaerah.

    1. KEBIJAKAN UTAMA PEMBANGUNAN DAN RELEVANSINYA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP

    A. Tujuan Pembangunan Nasional

    UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan, baik pusat maupun daerah. Ditegaskan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tatacara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 5 tahun dan tahunan, serta penjabaran RPJM nasional yang memuat prioritas pembangunan yang disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP), yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan rakyat. Dalam pasal 5, 6, dan 7 UU SPPN disebutkan bahwa tindaklanjut dari rencana pembangunan nasional tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RPJP Daerah, RPJMD dan RKPD. Adapun rencana pelaksanaan kegiatan program pembangunan tertuang dalam Rencana StrategisKementerian/Lembaga (RenstraKL) di tingkat pusat dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (RenstraSKPD) untuk masa lima tahun. RenstraKL dan RenstraSKPD ini memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai tugas dan fungsi kementerian/lembaga ataupun Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dengan melibatkan partisipasi rakyat (stakeholders).

    Ada empat pendekatan yang digunakan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan, yaitu:

    1. Politik

    Pemilihan presiden atau kepala daerah adalah bagian dari proses perencanaan pembangunan, dimana masing-masing calon mengkampanyekan rencana program pembangunan yang akan dijalankan, yang kemudian mendapat dukungan mayoritas rakyat pada tingkat nasional atau daerah yang bersangkutan.

    2. Teknokratik

    Pemikiran dan pelaksanaan program pembangunan berdasarkan pendekatan kerangka pikir ilmiah yang

    Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi2

    Bab

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi4

    Bab

    ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang secara fungsional akan melaksanakan program pembangunan terkait.

    3. Partisipatif

    Pelaksanaan program pembangunan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Keterlibatan mereka untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.

    4. Top-down dan bottom-up

    Kedua pendekatan ini digunakan untuk menyelaraskan proses hirarkis perumusan rencana program pembangunan. Proses penyelarasan ini dilakukan melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan.

    Ada empat tahapan dalam proses perencanaan pembangunan, yaitu:

    a. Penyusunan rencana

    Proses ini menghasilkan suatu rencana yang siap untuk ditetapkan dan terdiri dari empat langkah. Pertama, rancangan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja sesuai dengan rancangan rencana pembangunan di atas. Ketiga melibatkan partisipasi rakyat (stakeholders) untuk menyelaraskan masing-masing rencana program pembangunan melalui Musrenbang, dan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan untuk siap ditetapkan.

    b. Penetapan rencana

    Pada tahap ini dihasilkan produk hukum dari rancangan program pembangunan, sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Ketetapan ini berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah sesuai dengan jenjang wilayah administratif masing-masing Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Tahunan.

    c. Pengendalian pelaksanaan rencana

    Dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana program melalui kegiatan-kegiatan, dikoreksi oleh para pelaksana yaitu lembaga/instansi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya Menteri/Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan yang bersangkutan sesuai tugas dan kewenangannya.

    d. Evaluasi pelaksanaan rencana

    Dilakukan secara sistematis melalui pengumpulan dan analisis data dan informasi untuk menilai

    pencapaian tujuan, sasaran dan kinerja teknis pelaksanaan pembangunan. Evaluasi ini diukur berdasarkan indikator kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator ini mencakup input, output, hasil (result), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact). Pelaksanaan evaluasi ini bersifat wajib bagi semua instansi atau unit kerja pelaksana program pembangunan.

    Adapun sistematika dokumen perencanaan mencakup Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan Pembangunan, Ruang Lingkup, Tahapan Perencanaan, Penyusunan dan Penetapan Rencana, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana, Data dan Informasi, Kelembagaan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.

    Untuk tahun 20042009 telah disusun RPJM Nasional sebagai agenda pembangunan nasional. Agenda pembangunan ini disusun dengan memperhatikan adanya 11 (sebelas) permasalahan pokok pembangunan, yaitu:

    1. Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional,

    2. Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih rendah,

    3. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah ini dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup,

    4. Kesenjangan pembangunan antar daerah masih lebar,

    5. Kurangnya perbaikan kesejahteraan rakyat; dan masalah ini sangat dipengaruhi oleh lemahnya dukungan infrastruktur pembangunan.

    6. Belum tuntasnya penanganan aksi separatisme di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) dan Papua untuk menjamin Negara Kesatuan RI,

    7. Masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional,

    8. Masih adanya ancaman keamanan nasional baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama mengingat luasnya wilayah RI serta beragamnya kondisi sosial, ekonomi dan budaya,

    9. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia,

    10. Rendahnya kualitas pelayanan umum sebagai akibat masih adanya penyalahgunaan wewenang dan rendahnya kinerja aparatur pemerintah, dan

    11. Belum kuatnya lembaga politik, lembaga penyelenggara negara, dan lembaga masyarakat.

    Adapun masalah lain yang juga penting dan mendasar adalah lemahnya karakter bangsa, belum terbangunnya sistem pembangunan berkelanjutan, melemahnya rasa nasionalisme, belum terlembaganya nilai-nilai utama

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 5

    Bab

    kebangsaan, dan belum siapnya sistem pembangunan pemerintah dalam mengantisipasi perubahan.

    Berdasarkan permasalahan dan tantangan di atas, kemudian dirumuskan Visi Pembangunan Nasional Indonesia untuk tahun 2004 2009, yaitu:

    Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai;

    Terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; serta

    Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan.

    Selanjutnya ditetapkan 3 (tiga) Misi Pembangunan, yaitu:

    Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai

    Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

    Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera

    Untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut di atas kemudian dirumuskan 2 (dua) Strategi Pokok Pembangunan Indonesia, yaitu:

    1. Strategi Penataan Kembali Indonesia

    Diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 45 agar tetap tegak sebagai Negara Kesatuan RI dan berkembangnya pluralitas sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

    2. Strategi Pembangunan Indonesia

    Diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang agar hak dasar rakyat terpenuhi dan tercipta landasan pembangunan yang kokoh.

    Adapun jabaran sasaran dan prioritas pembangunan yang telah tersusun adalah sebagai berikut (khusus untuk yang terkait dengan Lingkungan Hidup serta sumberdaya alam akan dirinci lebih lanjut):

    1. Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai

    a. Sasaran 1 : penurunan ketegangan dan ancaman konflik antar kelompok dalam masyarakat

    b. Sasaran 2 : kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila

    c. Sasaran 3 : semakin berperannya RI dalam perdamaian dunia

    2. Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis

    a. Sasaran 1 : peningkatan keadilan dan penegakan hukum yang adil

    b. Sasaran 2 : terjaminnya keadilan jender bagi peningkatan peran perempuan dalam pembangunan

    c. Sasaran 3 : peningkatan pelayanan umum dengan menyelenggarakan otonomi daerah dan kepemerintahan daerah

    d. Sasaran 4 : peningkatan pelayanan birokrasi kepada masyarakat

    e. Sasaran 5 : terlaksananya pemilihan umum tahun 2009 secara demokratis, jujur, dan adil

    3. Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera

    a. Sasaran 1 : menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009.

    Prioritas yang ditetapkan: penanggulangan kemiskinan peningkatan investasi dan ekspor non-migas peningkatan daya saing industri manufaktur revitalisasi pertanian pemberdayaan koperasi dan usaha mikro,

    kecil, dan menengah peningkatan pengelolaan BUMN peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan perbaikan iklim ketenagakerjaan pemantapan stabilitas ekonomi makro

    b. Sasaran 2 : berkurangnya kesenjangan antarwilayah.

    Prioritas yang ditetapkan: pembangunan perdesaan pengurangan ketimpangan pembangunan

    wilayah

    c. Sasaran 3 : peningkatan kualitas manusia secara menyeluruh.

    Prioritas yang ditetapkan: peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan

    yang lebih berkualitas peningkatan akses rakyat terhadap layanan

    kesehatan yang lebih berkualitas peningkatan perlindungan dan kesejahteraan

    sosial pembangunan kependudukan dan keluarga

    kecil berkualitas serta pemuda dan olah raga peningkatan kualitas kehidupan beragama

    d. Sasaran 4 : membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam yang mengacu pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan.

    Prioritas yang ditetapkan adalah perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup; dengan arah kebijakan pembangunannya meliputi:

    1. mengelola sumberdaya alam untuk dimanfaatkan secara efisien, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh kelembagaan yang andal dan penegakan

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi6

    Bab

    hukum yang tegas

    2. mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun

    3. memulihkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang rusak

    4. mempertahankan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang masih dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan serta meningkatkan mutu dan potensinya

    5. meningkatkan kualitas lingkungan hidup

    e. Sasaran 5 : membaiknya infrastruktur sebagai sarana penunjang pembangunan.

    Prioritas yang ditetapkan adalah percepatan pembangunan infrastruktur.

    B. Strategi Pembangunan Berkelanjutan

    Seperti disebutkan dalam sasaran, prioritas, dan arah kebijakan pembangunan dalam RPJM 20042009, strategi pembangunan berkelanjutan ini juga tercakup dalam sasaran pembangunan untuk melestarikan lingkungan hidup dan perbaikan pengelolaan sumberdaya alam.

    Pada bagian awalnya dijelaskan terlebih dahulu bahwa untuk mewujudkan sasaran ini, Indonesia sedang menghadapi permasalahan sebagai berikut:

    1. Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia; pengelolaan hutan berkelanjutan belum optimal karena pembagian wewenang dan tanggungjawab pengelolaan hutan belum tegas.

    2. Lemahnya hukum sehingga masih terjadi pembalakan liar hasil hutan (illegal logging).

    3. Rendahnya kapasitas pengelola hutan.4. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan

    non-kayu dan jasa-jasa lingkungan lainnya.5. Kerusakan DAS.6. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak.7. Permasalahan batas wilayah laut dengan negara

    tetangga.8. Berkembangnya pencurian ikan dan pola

    penangkapan yang merusak lingkungan hidup.9. Potensi kelautan belum dimanfaatkan secara

    optimal.10. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.11. Citra dan pengelolaan usaha pertambangan yang

    merusak lingkungan.12. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman

    hayati (biodiversity).13. Pencemaran air semakin meningkat.14. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar,

    semakin menurun.15. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan

    secara baik.16. Ketidakpastian hukum dalam pengelolaan bidang

    pertambangan.

    17. Terjadinya penurunan kontribusi migas dan hasil tambang bagi penerimaan negara.

    18. Belum ada cara pengelolaan limbah berbahaya secara sistematis dan terpadu.

    19. Belum terlaksana adaptasi kebijakan menanggapi perubahan iklim.

    20. Isu lingkungan global belum dipahami menjadi bagian dari pembangunan nasional dan daerah.

    21. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup.

    22. Masih rendahnya kesadaran rakyat dalam pemeliharaan lingkungan hidup.

    Memahami permasalahan dan tantangan di atas, maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

    1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.

    2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi tanah.

    3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

    4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap sampai dengan tahun 2010.

    5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

    6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 20032020.

    7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

    8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang

    rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan lainnya).

    10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.

    11. Meningkatkan diplomasi internasional.12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya

    konservasi lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

    Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

    1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

    2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.

    3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

    4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan.

    5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 7

    Bab

    lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

    6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

    7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.

    Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 2009, sebagai berikut:

    1. Program perlindungan dan konservasi sumberdaya alam.

    Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain:

    a. Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam;

    b. Perlindungan sumberdaya alam dari pemanfaatan yang eksploitatif dan tidak terkendali terutama di kawasan konservasi termasuk kawasan konservasi laut dan lahan basah serta kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan;

    c. Perlindungan hutan dari kebakaran;d. Pengembangan koordinasi kelembagaan

    pengelolaan DAS terpadu;e. Pengelolaan dan perlindungan

    keanekaragaman hayati dari ancaman kepunahan, baik yang ada di daratan maupun di pesisir dan laut;

    f. Pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam perlindungan dan konservasi sumberdaya alam;

    g. Perumusan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan dan konservasi sumberdaya alam;

    h. Pengembangan kemitraan dengan perguruan tinggi, masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, legislatif, dan dunia usaha dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam;

    i. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam perlindungan sumberdaya alam;

    j. Pengembangan sistem perlindungan tanaman dan hewan melalui pengendalian hama penyakit dan gulma secara terpadu yang ramah lingkungan;

    k. Pengkajian dampak hujan asam (acid deposition) di sektor pertanian;

    l. Penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta bencana alam lainnya;

    m. Pengembangan hak paten jenis-jenis keanekaragaman hayati asli Indonesia dan sertifikasi jenis;

    n. Pengembangan daya dukung dan daya tampung lingkungan;

    o. Penetapan kriteria baku kerusakan; sertap. Pengusahaan dana alokasi khusus (DAK)

    sebagai kompensasi daerah yang memiliki dan menjaga kawasan lindung.

    2. Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam.

    Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan mempercepat pemulihan cadangan sumberdaya alam sehingga selain berfungsi sebagai penyangga kehidupan juga dapat berpotensi untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kegiatan pokok dari program ini antara lain mencakup:

    a. Penetapan wilayah prioritas rehabilitasi pertambangan, hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil;

    b. Peningkatan kapasitas kelembagaan, sarana, dan prasarana rehabilitasi hutan, lahan, dan kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil;

    c. Peningkatan efektivitas reboisasi yang dilaksanakan secara terpadu;

    d. Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di kawasan hutan, pesisir (terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan estuaria), perairan, dan bekas kawasan pertambangan, disertai pengembangan sistem manajemennya;

    e. Pengkayaan atau restocking sumberdaya pertanian dan perikanan;

    f. Rehabilitasi daerah hulu untuk menjamin pasokan air irigasi pertanian dan mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi di wilayah sungai dan pesisir; serta

    g. Revitalisasi danau, situ, dan sumber-sumber air lainnya, khususnya di Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya.

    3. Program pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

    Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan melalui pelaksanaan prinsip-prinsip Good Environmental Governance (transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas). Kegiatan pokok dari program ini antara lain adalah:

    a. Pengkajian dan analisis instrumen pemanfaat-an sumberdaya alam secara berkelanjutan;

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi8

    Bab

    b. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di pusat dan daerah, termasuk lembaga masyarakat adat;

    c. Peningkatan peran serta rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui pola kemitraan;

    d. Pengembangan sistem pengendalian dan pengawasan sumberdaya alam termasuk sistem penanggulangan bencana;

    e. Pengembangan sistem pendanaan alternatif untuk lingkungan hidup;

    f. Peningkatan koordinasi antarlembaga baik di pusat maupun di daerah;

    g. Pengembangan peraturan perundangan lingkungan hidup dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;

    h. Penegakan hukum terpadu dan penyelesaian hukum atas kasus perusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

    i. Pengesahan, penerapan, dan pemantauan perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup yang telah disahkan;

    j. Upaya pembentukan Dewan Nasional Pembangunan Berkelanjutan;

    k. Pendirian Komisi Keanekaragaman Hayati yang didahului dengan pendirian sekretariat bersama tim terpadu keanekaragaman hayati nasional;

    l. Penyempurnaan prosedur dan sistem perwakilan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional bidang lingkungan hidup;

    m. Pengkajian kembali dan penerapan kebijakan pembangunan melalui internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;

    n. Peningkatan pendidikan lingkungan hidup secara formal dan non-formal; dan

    o. Pengembangan program Good Environmental Governance (GEG) secara terpadu dengan program good governance di bidang lainnya.

    4. Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

    Program ini bertujuan untuk mendukung perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Kegiatan pokok program ini antara lain adalah sebagai berikut:

    a. Penyusunan data sumberdaya alam, baik data potensi maupun data daya dukung kawasan ekosistem, termasuk di pulau-pulau kecil;

    b. Pengembangan valuasi sumberdaya alam meliputi hutan, air, pesisir, dan cadangan mineral;

    c. Penyusunan neraca sumberdaya alam nasional dan neraca lingkungan hidup;

    d. Penyusunan dan penerapan produk domestik bruto hijau (PDB Hijau)

    e. Penyusunan data potensi sumberdaya hutan

    dan Neraca Sumberdaya Hutan (NSDH);f. Pendataan dan penyelesaian tata hutan dan

    kawasan perbatasan dengan negara tetangga;g. Penyusunan indikator keberhasilan

    pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

    h. Penyebaran dan peningkatan akses informasi kepada rakyat, termasuk informasi mitigasi bencana dan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup;

    i. Pengembangan sistem informasi dini yang berkaitan dengan dinamika global dan perubahan kondisi alam, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan kekeringan;

    j. Pengembangan sistem informasi terpadu mengenai pemantauan kualitas lingkungan hidup antara nasional dan daerah;

    k. Sosialisasi, pelaksanaan, dan pemantauan berbagai perjanjian internasional baik di tingkat pusat maupun daerah;

    l. Penyusunan laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) sebagai alat pendukung pengambilan keputusan publik; dan

    m. Peningkatan keterlibatan peran rakyat dalam bidang informasi dan pemantauan kualitas lingkungan hidup.

    5. Program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

    Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan hidup, baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara, sehingga rakyat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kegiatan pokok dari program ini secara keseluruhan terfokus pada upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan, dengan penekanan pada kasus-kasus kualitas udara (emisi gas buang), air tanah, dan sampah di daerah perkotaan atau kabupaten, serta permasalahan regulasi dan kelembagaan berikut pendanaannya.

    Kajian terhadap konsep pembangunan nasional yang tertuang dalam UU SPPN dan operasionalisasinya melalui RPJM 20042009 ini dapat memberikan indikasi adanya beberapa hal tentang lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang perlu menjadi perhatian, jika dikaitkan dengan kemungkinan penerapan konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

    Terdapat kesulitan dalam memahami struktur pemikiran yang sistemik dalam konteks fenomena dinamika lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana yang terjadi dalam satu perilaku ekosistem. Segala daftar substansi dalam arah, strategi dan program yang ada lebih menunjukkan semacam partial shopping list yang cenderung berorientasi pada objek ketimbang satu kerangka pemikiran konstruktif hasil sintesa kompleksitas fenomena lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 9

    Bab

    pada satu kesatuan geografis negara kepulauan tropis Indonesia yang khas. Hal tersebut terlihat dengan ditetapkannya urusan hutan, pertambangan minyak dan gas, serta pertambangan mineral dan batu bara sebagai satu pembahasan tersendiri sejajar dengan urusan lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

    Demikian pula dengan adanya beberapa butir program yang tumpang tindih. Sebagai contoh, kegiatan konservasi disinggung dalam dua program yang berbeda sementara isi kegiatannya kurang lebih sama, yaitu pada program konservasi sumberdaya alam dan program pengembangan dan pengelolaan sumberdaya laut. Secara konsep dan realitanya, urusan-urusan tadi seharusnya ada dalam satu lingkup besar lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sementara urusan hutan, laut, dan pertambangan merupakan sub-bagian dari sumberdaya alam. Hal ini menjadi lebih rumit dengan adanya fakta bahwa sebagai hasil kebijakan publik yang semestinya melibatkan sistem birokrasi dan sistem politik, dokumen RPJM ini tidak menjadi bahan pertimbangan utama agar tercipta satu konvergensi antara idealisme dan realita, hingga dapat tercipta satu kebijakan publik yang realistik dalam konteks keberagaman atau heterogenitas sosial-budaya-politik-ekonomi yang menjadi ciri stakeholders di Indonesia.

    Lebih jauh lagi, walaupun disebutkan adanya program peningkatan kapasitas, namun tidak disebutkan keberadaan lembaga legislatif baik di pusat maupun di daerah sebagai unsur utama dalam mekanisme pembuatan kebijakan. Hal-hal pokok di atas inilah yang menjadi dasar bagi kemungkinan adanya satu kesulitan tersendiri dalam hal menerjemahkannya pada satu mekanisme atau metode pengambilan keputusan sampai dengan implementasinya.

    Argumentasi selanjutnya yang terkait dengan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

    Adanya perbedaan pemahaman mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti yang telah dikonvensikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Secara formal, definisi pembangunan berkelanjutan sudah ditetapkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab 1 pasal 1:

    Bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

    Hal ini sangat substansial mengingat pembangunan lingkungan adalah basis dari mainstreaming pembangunan berkelanjutan. Lebih dari itu, pembangunan berkelanjutan ini dalam RPJM tidak dimaknai sebagai outcome pembangunan, dimana keselarasan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup adalah syarat pokoknya. Pengertian pembangunan berkelanjutan

    masih diperlakukan secara parsial pada tingkat operasionalisasi pembangunan sektoral. Dengan demikian, tecermin kuat bahwa kegiatan pembangunan berkelanjutan ini cenderung dirancang secara parsial, bukan sebagai payung konsep yang menjadi landasan operasional outcome pembangunan Indonesia. Lebih jauh lagi, argumentasi ini diperkuat dengan gambaran berikut:

    Konsep lingkungan hidup masih tetap dipandang sebagai satu bidang pembangunan yang sejajar dengan bidang sektoral lainnya. Di sisi lain, terlihat jelas adanya inkonsistensi konsep lingkungan hidup yang digunakan dalam SPPN dan RPJM ini. Bahkan dalam penjabaran sasaran, prioritas, dan arah pembangunan lebih perlu ditegaskan dan diluruskan mengikuti klausul dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

    bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan 1. ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk lain.

    bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah 2. upaya untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

    Adanya pergeseran penekanan ke arah pentingnya politik dan sosial-budaya untuk demokratisasi dan kesetaraan, namun sektor ekonomi masih menjadi generator utama pembangunan Indonesia yang dianggap mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa pendulum dalam konsep segitiga kepentingan pembangunan berkelanjutan (sosial ekonomi lingkungan hidup) masih belum dirancang secara tepat, apalagi konsisten. Maksudnya, jika RPJM 2004 2009 diterapkan secara ketat, maka pembangunan masih bertumpu pada upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya (terutama alam) untuk kepentingan ekonomi semata, sehingga konsekuensi yang berupa kemungkinan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem masih akan terjadi.

    Adanya bab yang menjelaskan tentang lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam yang memerlukan tindakan proteksi dan pemeliharaan mutu lingkungan hidup, serta keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam. Namun karena peletakan posisi komponen ini semata-mata hanya sebagai bagian dari cakupan kebijakan pembangunan, maka secara metodologis teridentifikasi sebagai suatu bagian pembangunan yang bersifat fragmentedbukan sistemik sehingga masih diragukan untuk dapat

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi10

    Bab

    berperan dalam mainstreaming pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, fenomena lingkungan hidup beserta komponen sumberdaya alam dan sumber-sumber budaya adalah satu sistem perilaku yang interdependen.

    Ketiadaan penjelasan tahapan dalam proses pembangunan untuk mencapai tujuannya juga dapat memberikan keraguan akan efektivitas pencapaiannya. Dengan kata lain, ada kesan bahwa RPJM ini berupa partial shopping list program pembangunan, tetapi cara (how to achieve), tujuan, sasaran, dan target pembangunan serta sistem pengendaliannya sama sekali tidak ada (setidak-tidaknya) pengarahannya.

    Lebih dari itu, jika kembali kepada pendekatan yang digunakan dan permasalahan nasional yang diidentifikasi dalam dokumen RPJM, dapat dikatakan bahwa pendekatan-pendekatan tersebut (politik, teknokratik, partisipatif dan top-down/bottom-up) masih dilakukan secara terbatas dan parsial, atau tidak terjadi proses sinkronisasi di antaranya. Indikasi praktis yang menunjukkan keadaan ini adalah masih banyaknya konflik antar pembangunan sektoral maupun daerah, dan juga konflik sosial-budaya-politik. Indikasi lain adalah munculnya keinginan pemekaran wilayah (lebih dari 150 daerah yang ingin bahkan sebagian sudah membentuk pemerintahan daerah baru) yang merefleksikan menguatnya gerakan politisi lokal untuk menentukan arah pembangunan daerahnya sendiri, selain ambisi untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar.

    Kondisi ini dimungkinkan oleh struktur proses pengambilan keputusan, dimana sistem administrasi (eksekutif) dan sistem politik (legislatif) masih kuat dipengaruhi pola orientasi sektoral. Selain itu, masih kuatnya tipikal sistem clientilistic atau patronage model dalam dinamika sistem politik di Indonesia, menyebabkan kepentingan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat atau membangun kekuatan pembangunan ekonomi (welfare state model dan economic development model) belum sepenuhnya menjadi kepentingan utama operasional pembangunan. Dengan kata lain, ada semacam sikap apatis dalam memahami visi pembangunan nasional sebagai amanat bangsa.

    Namun demikian, ada satu peluang kemungkinan dalam konteks penerapan konsep KLHS, khususnya dengan semakin fleksibelnya ruang publik untuk berpartisipasi melalui berbagai jalur media, sehingga dapat menciptakan tekanan sosial. Tekanan sosial ini secara teoritis dapat diharapkan menjadi aspirasi yang diserap dan dijadikan sebagai isu politik, untuk kemudian menjadi agenda pembuatan kebijakan pembangunan. Harapan ini sejalan dengan yang ditetapkan dalam RPJM 2004 2009, khususnya dalam penjelasan tentang tiga butir terakhir dari kegiatan pokok Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, serta pada

    Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sayangnya kegiatan ini tidak diposisikan sebagai program payung yang bersifat holistik dari keseluruhan program pembangunan berkelanjutan, sebagaimana filosofi dari KLHS.

    Adapun peraturan perundangan lain yang relevan dan dapat disinergikan dengan urusan lingkungan hidup adalah undang-undang penataan ruang. Hal ini dimungkinkan mengingat filosofi, konsep, sampai dengan teknis penerapannya merupakan satu horizon yang identik. Sementara itu, secara praktis dapat dipahami bahwa hampir seluruh aspek rencana pembangunan memerlukan lokasi atau ruang untuk mengalokasikan kegiatannya.

    C. Peluang Aplikasi KLHS dalam Kebijakan Pembangunan

    Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004 2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

    Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi, serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).

    Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 11

    Bab

    1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengan sistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

    2. LANDASAN HUKUM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DAN BERKELANJUTAN SERTA RELEVANSINYA DENGAN OTONOMI DAERAH

    A. Lingkungan Hidup dalam Sistem Hukum Indonesia

    Pada dasarnya, segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan mengakar pada UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa:

    Tanah, air dan sumberdaya alam adalah milik negara dan dikelola oleh pemerintah untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup menetapkan secara jelas bahwa lingkungan hidup terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Pernyataan ini dapat ditemui pada pembukaan UU ini:

    Butir (b) yang menyatakan bahwa, dalam rangka untuk meningkatkan taraf hidup rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUD 45 dan untuk mencapai kehidupan yang harmonis sejalan dengan filosofi Pancasila, dibutuhkan satu tindakan bertahap untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan sebagai satu kesatuan kebijakan nasional demi memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang.

    Dalam butir (d) disebutkan bahwa, pengelolaan lingkungan hidup ada dalam bingkai pembangunan berkelanjutan (berwawasan lingkungan hidup) sesuai dengan norma hukum dan aturan yang berlaku dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, perhatian terhadap pembangunan lingkungan global, dan hukum internasional untuk lingkungan hidup.

    Di sisi lain, hukum sektoral mengatur pemanfaatan atau eksploitasi ekonomis sumberdaya lingkungan, seperti UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, Pertanian, Perikanan, Penataan Ruang, dan lain-lain. Secara substansial, instrumen-instrumen hukum ini masih mengandung kecenderungan lemahnya perhatian

    terhadap kepentingan pembangunan lingkungan hidup. Ada kemungkinan nilai dan sikap yang tertuang dalam instrumen-instrumen hukum sektoral ini disebabkan oleh interpretasi sempit dari makna UUD 45 pasal 33 yang menyatakan bahwa sumberdaya alam dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga seolah-olah para pelaku ekonomi mendapat justifikasi untuk melakukan eksploitasi ekonomis. Namun demikian, sesungguhnya isi pasal ini dapat pula dimaknai bahwa eksploitasi ekonomi sumberdaya alam diperbolehkan sepanjang untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

    B. Desentralisasi dan Partisipasi Publik

    Dalam UU SPPN dan RPJM ditegaskan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengimplementasikan program-program pembangunan nasional di daerah masing-masing. Penguatan peran pelaksana pembangunan di daerah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sistem pemerintahan daerah memiliki hak otonom untuk menjalankan tugas kepemerintahan secara terdesentralisasi. Ada dua tujuan utama mengapa sistem desentralisasi yang diterapkan, yaitu:

    1. Pemerintahan daerah dapat meningkatkan kesejahteraan dengan memberikan layanan publik di daerah.

    2. Pemerintah daerah menjadi instrumen pendidikan politik untuk mempromosikan demokratisasi di daerah.

    Adapun filosofi adanya pemerintah daerah, seperti yang dijelaskan Direktur Jenderal PUOD (Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri, adalah:

    1. Pemerintah daerah ada karena rakyat.2. Rakyat memberikan legitimasi kepada wakil-wakil

    rakyat melalui Pemilu.3. Tugas DPRD dan Kepala Daerah dibantu pegawai

    negeri sipil adalah mensejahterakan rakyat dengan cara-cara demokratis.

    4. Kesejahteraan diukur dengan Human Development Index (HDI).

    5. Kata kuncinya adalah pelayanan publik.6. Hasil akhir pemerintah daerah adalah pelayanan

    dasar dan pengembangan sektor unggulan.7. Pelayanan publik terdiri dari public goods dan

    regulasi publik.

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa peran partisipasi rakyat akan menjadi dasar yang sangat kuat bagi proses pengambilan kebijakan pembangunan di daerah dan keberlangsungan penyelenggaraan pemerintah daerah. Partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan lingkungan hidup ini sebelumnya telah ditegaskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab 3 yang menetapkan Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat sebagaimana tercantum dalam pasal 5,

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi12

    Bab

    pasal 6, dan pasal 7 seperti yang dikutip berikut ini.

    Pasal 51. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas

    lingkungan hidup yang baik dan sehat.2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi

    lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

    3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 61. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian

    fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

    2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

    Pasal 71. Masyarakat mempunyai kesempatan yang

    sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

    2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas dilakukan dengan cara:a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan

    masyarakat, dan kemitraan;b. Menumbuhkembangkan kemampuan dan

    kepeloporan masyarakat;c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan

    masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;

    d. Memberikan saran pendapat;e. Menyampaikan informasi dan/atau

    menyampaikan laporan.

    Pasal-pasal di atas menunjukkan validitas akan hak dan peran partisipatif rakyat dalam proses pembangunan lingkungan hidupnya. Hal ini dapat diinterpretasikan juga bahwa segala tahapan pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan, implementasi, dan pengendalian lingkungan hidup, diamanatkan untuk dan bahkan harus melibatkan rakyat.

    Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu diperhatikan adanya elemen-elemen pokok sebagai berikut:

    1. Fungsi pemerintah daerah 2. Struktur organisasi pemerintah daerah 3. Pegawai pemerintah daerah4. Keuangan pemerintah daerah5. Keterwakilan rakyat6. Layanan publik7. Supervisi

    Elemen-elemen di atas merupakan satu sistem yang holistik bukan parsial dalam menjalankan pemerintahan daerah. Strategi yang dibutuhkan dalam

    menjalankan pemerintahan daerah secara garis besar terdiri dari butir-butir berikut:

    1. Penguatan ketujuh elemen di atas 2. Identifikasi susunan yang ideal setiap elemen

    tersebut dengan mengacu pada koridor UU 32/2004

    3. Identifikasi kondisi eksisting ketujuh elemen4. Identifikasi kesenjangan antara kondisi ideal

    dan kondisi eksisting sehingga dapat diketahui permasalahan, hambatan, dan lain-lainnya

    5. Susun atau rumuskan rencana kerja untuk masing-masing elemen dalam upaya mengatasi kesenjangan di atas

    6. Seluruh rencana kerja terikat dalam satu kesatuan rancangan otonomi

    Terkait dengan otonomi daerah, pemerintah daerah terbagi dalam sejumlah cakupan urusan sebagai berikut:

    1. Rumpun Lingkungan Hidup, PU, Perumahan2. Rumpun Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga3. Rumpun Kesehatan4. Rumpun Penanaman Modal, UKM, Indag5. Rumpun Kependudukan, Nakertrans, PP, BKKBN6. Rumpun Perhubungan dan Kominfo7. Rumpun Statistik, Arsip8. Rumpun Pertanahan9. Rumpun Kesbangpol10. Rumpun PMD, Sosial11. Rumpun Kepegawaian12. Rumpun Kelautan dan Perikanan Laut13. Rumpun Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

    Tanaman Pangan, Kehutanan14. Rumpun Pertambangan15. Rumpun Pariwisata dan Kebudayaan

    Kemudian kelima belas urusan tersebut dipilah ke dalam dua kategori, yaitu:

    a. Dinas urusan wajib:1. Rumpun Lingkungan Hidup, PU, Perumahan2. Rumpun Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga3. Rumpun Kesehatan4. Rumpun Penanaman Modal, UKM,5. Rumpun Kependudukan, Nakertrans, PP,

    BKKBNl6. Rumpun Perhubungan dan Kominfo7. Rumpun Pertanahan8. Rumpun Kesbangpol9. Rumpun PMD, Sosial

    b. Dinas urusan pilihan:1. Rumpun Kelautan dan Perikanan Laut2. Rumpun Pertanian, Perkebunan, Peternakan,

    Tanaman Pangan, Perikanan Darat, Kehutanan

    3. Rumpun Pertambangan4. Rumpun Pariwisata dan Kebudayaan5. Rumpun Industri, Perdagangan

    Sementara itu dalam perspektif kelembagaan,

  • 2Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi | 13

    Bab

    pemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok, yaitu:

    a. Badan/kantor (techno structure):1. Rumpun Perencanaan, BPS, 2. Rumpun Kepegawaian, Diklat, Arsip3. Rumpun Keuangan4. Rumpun Pengawasan

    b. Pendukung (supporting staff):1. Rumpun Asisten2. Rumpun Biro/Bagian

    Memahami kategori urusan pemerintah daerah ini, dapat dikatakan bahwa seyogyanya urusan lingkungan hidup dan perlindungan ketersediaan sumberdaya alam menjadi salah satu agenda pokok pembangunan di daerah.

    Dalam kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat daerah bagi kepentingan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, pada dasarnya UU Otonomi Daerah dapat dikatakan akomodatif. Namun di sisi lain dapat juga terjadi sebaliknya, terutama jika dikaji dalam konteks keuangan daerah yang mengharuskan daerah lebih mampu menjadi mandiri. Hal ini memaksa para pelaku pembangunan di daerah untuk lebih berorientasi pada eksploitasi sumberdaya alam agar lebih cepat mengakumulasikan pendapatan daerah yang berakibat pada akselerasi kerusakan lingkungan hidup dan kelangkaan sumberdaya alam. Sejumlah kasus akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang dimaksud, misalnya illegal logging, pertambangan di pemukiman padat di Sidoarjo, penambangan pasir di kepulauan Riau, dan lain-lain. Situasi ini sangat dimungkinkan, mengingat terbatasnya kapasitas pelaku pembangunan dalam memahami dan mengoperasionalkan filosofi pembangunan berkelanjutan atau diperkenalkan oleh UNDP sebagai sustainable skills. Sejumlah pakar dari IPB dan UI bahkan menyatakan bahwa, dengan adanya UU Otonomi Daerah maka pemerintah daerah seperti memiliki legitimasi untuk mengeksploitasi sumberdaya alamnya, untuk kepentingan performa pembangunan ekonomi daerahnya.

    3. KONTEKS INSTITUSI DAN ADMINISTRASI DALAM MENILAI PERFORMA PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

    A. Tanggungjawab Perumusan Kebijakan, Rencana, dan Program Pembangunan

    Dasar hukum yang menjadi acuan tanggung jawab dalam merumuskan kebijakan, rencana, dan program pembangunan adalah UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam UU SPPN tersebut, khususnya pada Bab 1 tentang Kebijakan Umum, ditetapkan terminologi kunci dari definisi kebijakan, rencana, dan program

    serta hal-hal lain yang terkait. Selain itu, pada bagian ini juga dijelaskan tahapan perencanaan.

    Mengacu pada Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Status, Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Tata Laksana Organisasi Kementerian RI, maka kita kenal tiga tipe kementerian yang menjadi penanggung jawab pelaksanaan pembangunan, yaitu:

    Menteri Koordinator Bertanggung jawab mendukung tugas presiden

    dalam mengkoordinir perumusan kebijakan dan perencanaan, serta sinkronisasi implementasi kebijakan tersebut di antara bidang-bidang pembangunan yang tergabung dalam portofolio Menteri Koordinator yang bersangkutan.

    Menteri yang membawahi sebuah Departemen Mempunyai tugas untuk membantu presiden

    melalui satu mekanisme pendelegasian otoritas untuk melaksanakan bidang tertentu dari tugas pemerintahan.

    Menteri Negara Mempunyai tugas untuk membantu presiden

    dalam merumuskan kebijakan, dan koordinasi bidang tugas khusus yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Pada saat ini ada tiga Menteri Koordinator (Menko) yaitu Menko Politik, Hukum, dan Keamanan; Menko Perekonomian; dan Menko Kesejahteraan Rakyat. Menteri Negara Lingkungan Hidup ada di antara sepuluh kementerian di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat.

    Seperti yang disebutkan di atas, Menko Kesejahteraan Rakyat memiliki fungsi utama untuk mengkoordinasi perencanaan dan kebijakan, agar diperoleh sinkronisasi dan pengawasan implementasi penyejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. Sepuluh kementerian dalam koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat adalah:

    Departemen Kesehatan; Departemen Pendidikan Nasional; Departemen Sosial; Departemen Agama; Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Kementerian Negara Lingkungan Hidup; Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita; Kementerian Negara Percepatan Pembangunan; Kementerian Negara Perumahan Rakyat; Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga;

    Sementara itu, departemen memiliki otoritas tugas fungsional pemerintahan untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan di bidang yang bersangkutan. Departemen yang dimaksud terdiri dari:

    Departemen Dalam Negeri Departemen Luar Negeri Departemen Keuangan Departemen Perhubungan

  • 2| Kebijakan dalam Konteks Hukum dan Administrasi14

    Bab

    Departemen Pekerjaan Umum Departemen Perindustrian Departemen Perdagangan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Departemen Pertanian Departemen Kehutanan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Departemen Perikanan dan Kelautan Departemen Komunikasi dan Informasi Departemen Pertahanan dan Keamanan

    Di sisi lain, Menteri-menteri Negara bertanggung jawab untuk merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan nasional pada bidang-bidang yang bersifat khusus. Urusan lingkungan hidup ditangani oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), dengan tugas utamanya membantu presiden dalam merumuskan dan mengkoordinasikan kebijakan bidang lingkungan hidup beserta dampak lingkungan hidup. Lembaga sejenis yang erat kaitannya dengan urusan pembangunan lingkungan hidup adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan merangkap Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan mengkoordinir bidang perencanaan pembangunan. Keterkaitan kedua lembaga ini terwujud dalam mekanisme perumusan dan penyelenggaraan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.

    B. Sikap Politik; Peluang dan Hambatan

    Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan, bahwa diperlukan satu tindakan yang bijak dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan bagi pencapaian tujuan pembangunan, seperti diamanatkan UUD 45. Selanjutnya, keselarasan kepentingan pelestarian lingkungan hidup bagi proses pembangunan nasional, juga tertuang dalam UU Sistem Perencanaan

    Pembangunan Nasional dan UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Pada umumnya, hukum atau UU sektoral tidak secara spesifik menyatakan keterkaitan kepentingan lingkungan hidup dalam pembangunan sektoral. Namun melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 2009, keterkaitan ini telah dipertegas. Keterkaitan yang telah diatur dalam satu undang-undang ini, dengan demikian, mengikat seluruh sektor pembangunan melalui satu visi pembangunan yang gamblang, dengan mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan perbaikan kualitas lingkungan. Disamping itu, juga relevan untuk mengkaitkan urusan ini dengan kebijakan otonomi daerah dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan pembangunan, termasuk keterbukaan informasi dan hasil kajian terhadap dampak lingkungan hidup secara regional.

    Mengingat situasi inilah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis menjadi sangat relevan, dan bahkan perlu segera diadakan untuk mengarahkan kebijakan, strategi, dan program pembangunan ke dalam mainstream keberlanjutan. Sebagai catatan, perencanaan pembangunan dirancang untuk kurun waktu berturut-turut 20 tahunan, 5 tahunan, dan 1 tahunan. Dalam konteks satu rangkaian proses atau mekanisme perencanaan pembangunan dan penyelenggaraannya, Kajian Lingkungan Hidup Strategis dapat berperan sebagai asupan untuk meningkatkan ketepatan dan efisiensi pencapaian tujuan pembangunan. Namun demikian, keterlibatan KLHS dalam setiap bagian proses perencanaan pembangunan masih mengalami sejumlah hambatan. Hal ini, selain karena ketersediaan sumberdaya manusianya yang terbatas dalam mengintegrasikan nilai-nilai lingkungan hidup, terutama disebabkan oleh adanya sikap penolakan (reluctant) dari departemen-departemen sektoral, karena dianggap menghambat eksekusi pembangunan dan sekaligus berpotensi menimbulkan tambahan biaya.

  • 3Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia | 15

    Bab

    Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank. Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu.

    Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih nearly SEA. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

    1. BEBERAPA INISIATIF KLHS DI INDONESIA

    Dalam dua tahun terakhir ini, didukung oleh lembaga donor dari Kerajaan Denmark (Danida), ketiga instansi utama yaitu Bappenas, KLH, dan Depdagri bekerjasama untuk merealisasikan konsep dan aplikasi KLHS ini.

    Selanjutnya, konsep dan aplikasi KLHS diupayakan secara terus menerus untuk menjadi bagian dari kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan.

    Berikut ini adalah deskripsi sejumlah kegiatan yang merupakan inisiatif penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang telah dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Bappenas, dan Departemen Dalam Negeri, bekerjasama dengan beberapa instansi terkait baik di tingkat pusat maupun di daerah.

    A. Kebijakan Pengelolaan SDA dan LH Bidang Air [2004]

    a. Deskripsi Singkat

    Tidak terpenuhinya sumberdaya air secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas, meskipun telah banyak kebijakan, rencana, dan program terkait maupun peran serta berbagai pihak berkenaan dengan hal tersebut, telah mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumberdaya air yang lebih komprehensif untuk melengkapi kebijakan, rencana, dan program yang telah ada.

    Dalam menyusun kebijakan ini digunakan perangkat KLHS terhadap kebijakan, rencana, dan program yang telah ada dan terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Sebagai suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan, KLHS mengedepankan proses partisipatif dan koordinatif yang melibatkan berbagai pihak terkait. Kajian tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pengumpulan data dan informasi, identifikasi masalah dan kendala, tinjauan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah, serta prakiraan dampak positif dan negatif dari kebijakan yang ada. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi kebutuhan dan upaya solusinya, terutama kebutuhan kebijakan dan strategi implementasinya.

    Pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumberdaya air ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program para pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat, wilayah maupun daerah. Dalam hal ini, sangat disadari bahwa untuk mendorong pada pelaksanaan kebijakan masih

    Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia3

    Bab

  • 3| Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia16

    Bab

    menghadapi tantangan-tantangan, yaitu berupa komitmen stakeholder untuk menjabarkan secara kongkrit dalam bentuk program dan kegiatan.

    b. Tipe KLHS

    Kebijakan sektoral sumberdaya air.

    c. Pendekatan dan Metode

    Pendekatan kebijakan pengelolaan sumberdaya air yang rasional adalah berbasis ekosistem (Gambar 1). Pendekatan ini menempatkan keterkaitan antar komponen dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya air. Pendekatan ekosistem seperti tersebut pada Gambar 1 menunjukkan tiga sub-sistem yang harus menjadi perhatian dalam proses pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, yaitu sub-sistem produksi, sub-sistem distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Seluruh daya dan upaya seyogyanya ditujukan untuk mencapai keseimbangan antar sub-sistem atau keseimbangan secara proporsional dalam sub-sistem itu sendiri.

    Sub-sistem produksi merupakan sistem alam dalam bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) atau cekungan air tanah. Sub-sistem ini juga umum dikenal sebagai sistem tata air. Besarnya produksi air, selain tergantung pada besarnya curah hujan, juga ditentukan oleh karakteristik dan kondisi DAS maupun cekungan air tanah. Dalam banyak kasus, produksi air telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik, utamanya terkait dengan perubahan fungsi lahan dari yang bersifat meresapkan air ke dalam tanah menjadi kurang/tidak meresapkan air.

    Sub-sistem kedua dari keseluruhan sub-sistem yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan adalah sub-sistem

    distribusi. Kedudukan faktor distribusi air sangat erat kaitannya dengan (1) jaminan akses rakyat kurang mampu dalam memperoleh sumberdaya air, dan (2) penentuan prioritas distribusi air untuk berbagai keperluan, antara lain untuk rumah tangga, pertanian, industri, dan keperluan sektoral lainnya. Untuk dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, maka pola konsumsi air harus terkait dengan sistem produksi sumberdaya air.

    d. Tahapan Analisis

    Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis supply-demand dan analisis yang bersifat menggali terjadinya konflik pemanfaatan air, yang bersumber pada akses terhadap sumberdaya air, prioritas pemanfaatan air, dan tidak atau kurang tersedianya air pada musim kemarau. Analisis juga berupaya menggali kemungkinan menerapkan pendekatan konservasi sumberdaya air, misalnya melalui teknik pemanenan air hujan (rainwater harvesting) dan mekanisme insentif-disinsentif, selain prinsip-prinsip efisiensi pemanfaatan air.

    Analisis kajian lingkungan hidup strategis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

    Pelingkupan: Mengidentifikasi isu-isu dan dampak penting yang perlu dikaji dalam studi KLHS.

    Alternatif Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP):

    Mengenali dan membandingkan sejumlah alternatif KRP pengelolaan sumberdaya air, termasuk pilihan alternatif terbaik dari perspektif kepentingan lingkungan hidup.

    Curah Hujan Air Permukaan

    Tata Air

    (produksi)

    Tata Guna Air

    (Konsumsi)

    Tata Kelola

    (Distribusi)

    Tanah, Vegetasi, dll [DAS, Cekungan Air

    Tanah]

    Tata Ruang

    Tata Kelembagaan

    KRP = Kebijakan, Rencana, Program

    KRP KRP

    KRP

    KRP

    ( + )

    ( - )

    Gambar 1. Pendekatan Ekosistem dalam Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air

  • 3Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia | 17

    Bab

    Analisis Lingkungan (Evaluasi dan Valuasi Dampak Lingkungan):

    Mendeskripsi dampak lingkungan yang akan timbul akibat KRP dan menentukan bagaimana deskripsi dampak tersebut ditampilkan. Mengenali, memprakirakan dan mengevaluasi dampak KRP pengelolaan sumberdaya air termasuk alternatifnya. Menentukan signifikansi dampak dan mengkaitkan dampak tersebut dengan biaya dan keuntungan lain. Mengenali upaya-upaya untuk menghindari, menurunkan dan meniadakan dampak yang telah diprakirakan. Hal ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan pelaksanaan RKL dan RPL.

    Alternatif KRP dan Pengambilan Keputusan: Menyetujui, menolak atau merevisi usulan dan/atau KRP yang sedang berjalan disertai dengan alasan masing-masing keputusan.

    Rencana Pemantauan dan Pengelolaan KRP: Memastikan apakah implementasi KRP tetap mempertimbangkan LH sesuai dengan saran studi KLHS.

    e. Sumberdaya yang Digunakan

    Pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan selain memerlukan kapasitas kelembagaan yang koordinatif dan fleksibel, diharapkan juga mampu bersinergi antarsektor dan antarwilayah. Kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan tersebut di atas diperlukan, karena pengelolaan sumberdaya air bersifat lintas wilayah dan melibatkan kepentingan berbagai sektor. Untuk itu, SDM yang digunakan adalah keahlian bidang kebijakan dan regulasi, perencanaan ruang, dan pengelolaan sumberdaya air. Data/informasi yang digunakan bersifat time series meliputi data klimatologi, pemanfaatan sumberdaya air, kelembagaan pengelola sumberdaya air dan permasalahan pemanfaatan dan konservasi air. Tenaga ahli yang melaksanakan studi ini adalah para pakar pengelolaan lingkungan, pengelolaan sumberdaya air, regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya, sosial-budaya, dan perencanaan wilayah.

    f. Keluaran

    Arahan Kebijakan Produksi Air Berkelajutan Arahan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi air permukaan dan air tanah secara terintegrasi, guna mengatasi dan mengantisipasi permasalahan kekurangan air, serta mengatasi sebagian akar permasalahan di tingkat hulu yang mendukung terjadinya banjir. Besaran dan keberlanjutan produksi air selain ditentukan oleh besarnya curah hujan, juga ditentukan oleh kondisi daerah tangkapan air (catchment area) DAS. Secara empiris, apabila kondisi tutupan lahan (ground coverage) daerah tangkapan air suatu DAS telah terganggu, maka lebih banyak jumlah air hujan yang menjadi air larian, sehingga jumlah air hujan yang terinfiltrasi berkurang. Berkurangnya jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah akan menurunkan produksi air, terutama di musim kemarau.

    Arahan Kebijakan Distribusi Air Secara Efisien, Efektif dan Berkeadilan

    Mendorong perencanaan peruntukan air permukaan dan air tanah secara jelas, terintegrasi, dan saling mendukung berdasarkan prakiraan dan antisipasi jenis kebutuhan dengan mempertimbangkan potensi sumber daya air.

    Meningkatkan akses rakyat miskin terhadap perolehan air secara berkelanjutan melalui pelestarian sumber-sumber air, dan meningkatkan infrastruktur agar memadai dengan memberdayakan rakyat.

    Arah Kebijakan Konsumsi Air yang Hemat dan Efisien

    Mendorong efisiensi pemanfaatan air melalui penerapan sistem drainase hemat air. Dengan meningkatnya ketidakpastian jumlah dan waktu ketersediaan air, diperlukan perubahan komoditas pertanian yang dikembangkan di sentra produksi pertanian yang mampu beradaptasi dengan periode kritis air terutama di daerah-daerah dengan potensi kekeringan besar agar tidak terjadi kegagalan panen.

    Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air, perlu mendorong dilakukannya daur ulang penggunaan air untuk kepentingan produksi, serta mendorong pola konsumsi dan distribusi yang hemat air.

    Arah Kebijakan Tata Ruang dan Tata Kelembagaan

    Penyusunan rencana tata ruang yang adaptif, dengan memperhatikan pelestarian sumberdaya air dan daerah resapan melalui proses koordinatif dan partisipatif, diikuti penegakan hukum yang konsisten.

    Perlu dirumuskan bentuk dan mekanisme cash flow hulu-hilir DAS termasuk aspek kelembagaan yang diperlukan menuju pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan berbasis ekosistem DAS, terutama dalam menjaga stabilitas produksi air lintas wilayah. Untuk memberikan kepastian tentang aliran dana pencagaran sumberdaya air ke daerah konservasi (hulu DAS), maka perlu dipertimbangkan pembentukan mekanisme baru cash flow di luar mekanisme aliran dana konvensional.

    Merumuskan mekanisme insentif dan disinsentif terhadap aktivitas pemanfaatan ruang untuk pengembangan sumberdaya air, agar kecenderungan menguatnya komersialisasi dalam pengelolaan sumberdaya air tetap lebih memperhatikan kepentingan publik daripada kepentingan korporasi.

    B. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi

    a. Deskripsi Singkat

    Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bidang Energi menggunakan pendekatan Kajian Lingkungan Strategis berupaya untuk memprakarsai langkah-langkah strategis dan upaya terobosan guna mendorong pelurusan pola konsumsi dan produksi energi yang sedang berlangsung untuk menuju ke suatu pola yang berkelanjutan.

  • 3| Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia18

    Bab

    Kajian ini dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh adanya emisi gas buang dan limbah yang timbul dari berbagai kegiatan di bidang energi, sejak proses eksplorasi, eksploitasi, produksi, distribusi dan pemanfaatanya. Konsumsi BBM yang masih menggunakan bensin bertimbal serta penggunaan batubara yang berkadar sulfur tinggi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran udara serta berkorelasi positif dengan semakin tingginya kadar asam dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.

    Permasalahan lain yang diperkirakan masih akan mewarnai konflik antarsektor dan antarkepentingan, adalah kegiatan produksi sumberdaya energi, terutama pada tahap eksploitasi atau penambangan yang dilakukan secara terbuka di kawasan hutan lindung. Kegiatan ini akan menimbulkan kerusakan sumberdaya hutan dan lahan yang berdampak besar dan penting pada lingkungan, dan akan lebih serius lagi apabila areal bekas penambangan tidak dikelola dengan baik.

    Permasalahan ketiga yang berpengaruh cukup serius terhadap keuangan negara dan upaya pengembangan energi alternatif adalah kebijaksanaan subsidi energi, seperti subsidi terhadap BBM. Apabila kebijakan subsidi BBM tidak diubah maka Indonesia akan mengalami krisis yang lebih berat, yaitu:

    Kebutuhan BBM yang semakin meningkat akan sangat memberatkan keuangan negara, karena beban subsidi semakin membengkak. Di samping itu devisa yang diperoleh dari ekspor minyak yang selama ini menjadi salah satu sumber penting bagi penerimaan negara tidak dapat diharapkan lagi, karena Indonesia akan menjadi net oil importer.

    Daerah-daerah yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi non-minyak (batubara, gas, biomassa, panas bumi, dan lain-lain) sulit melaksanakannya.

    Pengembangan PLTA skala kecil dan biomassa di wilayah perdesaan untuk mendorong perekonomian rakyat dan pengentasan kemiskinan tidak dapat dilaksanakan, karena tidak bisa bersaing dengan BBM yang disubsidi.

    Mendorong terjadinya peningkatan pemilikan kendaraan pribadi yang berakibat pada kemacetan lalu lintas di perkotaan, pemborosan penggunaan BBM serta peningkatan polusi udara.

    Menyebabkan tidak berkembangnya pemanfaatan energi alternatif dan terbarukan karena tidak mampu bersaing di pasar, mendorong terjadinya penyelundupan ke luar negeri, dan mempercepat Indonesia menjadi net oil importer.

    Tujuan penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bidang energi ini adalah untuk mendorong para pihak yang kegiatannya terkait dengan bidang energi agar menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

    b. Tipe KLHS

    Kebijakan sektoral bidang sumberdaya energi

    c. Pendekatan dan Metode

    Kajian ini menggunakan pendekatan yang menempatkan keterkaitan antar komponen dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya energi. Pendekatan ini menunjukkan dua sub-sistem yang harus menjadi perhatian dalam proses pengelolaan sumberdaya energi berkelanjutan. Kedua sub-sistem tersebut adalah sub-sistem peluang dan sub-sistem tantangan. Seluruh daya dan upaya seyogyanya ditujukan untuk mencapai keseimbangan antar sub-sistem atau keseimbangan secara proporsional dalam sub-sistem itu sendiri.

    Sub-sistem yang menitikberatkan pada peluang sumberdaya energi yang menggali potensi sumberdaya energi tak terbarukan, sumberdaya energi terbarukan, serta dukungan teknologi dan juga peluang daerah untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada di daerah terbuka lebar sehingga memungkinkan dikembangkannya sumberdaya energi alternatif sesuai dengan karakteristik wilayahnya.

    Sementara itu, sub-sistem yang menitikberatkan pada tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sumberdaya energi, antara lain:

    Tingginya resiko (country risk)

    Iklim investasi di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini kurang kondusif terutama disebabkan oleh relatif tingginya resiko bila dibandingkan dengan negara-negara lain (resiko politik, keamanan, hukum, peradilan dan KKN). Hal ini sangat berpengaruh pada kegiatan proses produksi sumberdaya energi yang pada umumnya bersifat padat modal dan menggunakan teknologi tinggi.

    Terbatasnya infrastruktur BBG

    Saat ini infrastruktur untuk pengembangan gas, terutama prasarana dan saran distribusinya, masih sangat terbatas sehingga gas yang sangat kecil daya cemarnya kurang optimal digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik sebagai substitusi BBM.

    Kualitas batubara

    Walaupun potensi dan cadangan terbukti batubara di Indonesia cukup besar, namun sebagian berkualitas rendah sehingga selain akan menimbulkan permasalahan lingkungan, juga kurang ekonomis untuk dikembangkan (Partowidagdo, Widjajono, 2003).

    Lemahnya pelaksanaan good governance

    Eksploitasi sumberdaya alam telah menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan hidup. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak konsistennya pelaksanaan manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam, khususnya dalam

  • 3Integrasi Pertimbangan Lingkungan: Pengalaman Indonesia | 19

    Bab

    masalah pengawasan dan pengembangan mekanisme kelembagaan. Pemerintah dalam hal ini sedang berupaya sekuat tenaga menerapkan good environmental governance yang mengamanatkan prinsip rule of law, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat.

    Regulasi dan legislasi

    Produk hukum yang diperlukan untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup di sektor energi didasarkan pada UU