Upload
gusti
View
40
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BULETIN MAHASISWA PPG SM-3T UNDANA 2015/2016bersatu dalam satu media, memang asik. Berbagi ide dan pengelamanItulah Mahasiswa PPG SM-3T Undana.
Citation preview
Goresan Sang Guru
EDISI 01
TIRTA KAPOER
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN PROFESI GURU
2015
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Salam Redaksi .. ii
Artikel .. 1
Apel Pagi Bukan Apel-apelan
Menulis Opini: Menyampaikan Kegalauan Masyarakat
Gambar Jurnalistik .. 7
Cerpen .. 13
Lucia
Picturesque
Karikatur . 25
Puisi ... 27
Cendana: Pada Lidah Sejarah Ku Buru Wangimu
Padamu Kita Kelak
i
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
SaLaM REDAkSI
Redaksi Tirta Kapoer, Buletin mahasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru) FKIP
UNDANA memperkenalkan karya yang namanya diambil dari benda yang sangat dekat
dengan aktivitas manusia, khususnya guru. Tirta dari Bahasa Sanksekerta yang berarti air,
dan memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia. Sedangkan Kapoer, adalah
ejaan lama dari kata kapur. Kapur tulis sebagai alat tulis yang digunakan oleh guru zaman
dulu atau masih digunakan sampai zaman sekarang. Kapur tulis dikenal sebagai alat/ media
seorang guru untuk berbagi ilmu dengan siswanya.
Cobalah bayangkan! Apakah menulis di atas air susah atau mudah? Pasti susahkan.
Tapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Nah, untuk menjadi seorang guru profesional juga
susah dan perlu usaha yang sungguh-sungguh. Dalam kaitan dengan mahasiswa PPG,
dimana mahasiswa PPG FKIP UNDANA diberi tugas-tugas workshop. Disamping itu,
dihadapkan pula pada masalah-masalah kehidupan berasrama. Di sini, seorang calon guru
profesional dengan segala kemampuan dan kreativitasnya dituntut untuk dapat memberikan
arti pada sesuatu yang terkadang oleh banyak orang dipandang sebagai kesia-siaan. Sama
halnya dalam menjalani PPG, mahasiswa dituntut pula untuk menyeimbangkan 4 aspek,
kepribadian, sosial, profesional, dan pendagogik sekaligus. Terlebih, mahasiswa PPG FKIP
UNDANA sering dihadapkan pada masalah-masalah yang seharusnya bukan menjadi
masalah seperti listrik padam, angkat air, dan seabrek masalah workshop dan lain
sebagainya. Dimana sebagai seorang calon guru profesional harus memiliki kepekaan
terhadap masalah-masalah yang dialami baik dalam bidang akademik maupun non
akademik.
Tirta Kapoer, merupakan buletin yang akan terbit sebulan sekali dengan tema-tema
yang disesuaikan baik dengan isu-isu dan kebijakan terkait pendidikan dan pelaksanaan
pendidikan yang sedang hangat dibicarakan maupun dengan permasalahan menarik lainnya.
Terlebih untuk memberi ruang pada karya-karya para Calon Guru Profesional dalam bidang
penulisan. Tirta Kapoer bermaksud menampung informasi dan kreativitas mahasiswa PPG
sekaligus membaginya pada sesama mahasiswa PPG maupun masyarakat luas.
Terima kasih kepada semua narasumber dan pihak yang telah berkontribusi dalam
penerbitan Buletin ini. Bagi yang berminat, silahkan mengirimkan tulisan beserta data diri
secukupnya ke Emai: [email protected], atau bisa langsung ke Sekretariat Kelompok
penulis Mahasiswa PPG FKIP UNDANA di Rusunawa PPG FKIP UNDANA, komplek
Kampus UNDANA, jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, NTT, Kode Pos: 85111. HP.
085200770760
Tirta Kapoer
Diterbitkan Oleh: Kelompok Penulis PPG FKIP UNDANA
Pada Tanggal : 01 Juni 2015 (Edisi 01)
Penanggungjawab: Prof.Dr. I Gusti B. Arjana,MS Penasihat: Drs. Laurensius Kian
Bera,M.A Pemimpin Redaksi: Jumai Rofiana,S.Pd Sekretaris: Maria M. Goran,S.Pd
Bendahara: Melianus Molum,S.Pd Karya Ilmiah/ Populer: Gusti O. Hingmane,S.Pd
Cerpen: Wira Syafutra,S.Pd Puisi: Muhammad Syarafudin,S.Pd Gambar/Foto
Jurnalistik: Janur Ok Lantang,S.Pd Karikatur: Fransiskus Letor, S.Pd Design Cover
dan Lay Out: Ferdinandus Charles Jemahan,S.Pd
ii
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
Apel Pagi bukan Apel-apelan
amis, hari yang indah dalam minggu itu. Hari yang sulit dilupakan.
Ada manis dan pahit yang mendekorasinya. Walaupun, tak semanis
dan sepahit waktu di daerah 3T. Saat itu, saya dan Rangga -- teman
akrabku-- pergi ke tempat penjualan buah-buahan. Buah-buahan yang paling
disukai oleh kami adalah buah apel.
Demi buah apel, uang tidak menjadi persoalan. Berapa pun harganya, kami
siap membeli. Karena pada saat itu, kami baru pulang dari tempat mengajar, di
daerah SM-3T, di Kabupaten Dogiyai. Dapat dikata, uang di dompet pun masih
tebal. Demi kesukaan, kadang-kadang kualitas buah pun tidak menjadi titik fokus
pertimbangan. Layak dimakan atau tidak. Yang ada di benak adalah, siap hajar
saja.
Peristiwa ini benar-benar terjadi pada kami pada saat itu. Kami membeli
buah apel. Jumlahnya sekitar dua kiloan. Hati pun berbunga-bunga karena sekian
lama di Kabupaten Dogiyai, buah apel kesukaan kami, tak pernah dilihat, diraba,
K
Gusti O. Hingmane, S.Pd
(Koordinator Mahasiswa PPG SM-3T Undana)
Undana)
1
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
apalagi dimakan.
Setelah pulang dari pasar itu, dengan sedikit ego dan tanpa kompromi, kami
langsung melahap semua buah itu. Dalam hitungan menit, semua buah apel
dimakan habis. Hati kami pun lega.
Setelah beberapa jam, kami pun terkejut mendengar informasi yang ada di
berita Metro TV. Isi berita, ada apel-apelan di pasar apel. Banyak konsumen
yang konsumsi apel-apelan meninggal dan menderita berbagai penyakit. Penyakit
yang diderita sesuai isi berita, yakni: demam tinggi, sakit kepala parah, pegal,
mual, sakit perut, dan diare. Lebih jauh lagi, infeksi bakteri listeria dapat
menyebabkan keguguran pada perempuan hamil.
Setelah beberapa saat, kami mengingat benar bahwa hal itu pernah
dimediakan oleh banyak media cetak (http://www.timorexpress.com/;
http://sinarharapan.co/news/read/) di kota Kupang. Memang benar info yang di
berita itu. Dampak yang dimediakan, kami mengalami benar. Penulis sakit
kepala, sedangkan Rangga menderita sakit perut. Kami tidak bisa melakukan apa
pun. Kami cuma berbaring dan menjerit kesakitan. Sungguh derita!
Apel Pagi
Kata apel pagi yang dimaksud penulis berkaitan dengan buah apel ialah,
apel yang segar, sehat, bagus, berguna, dan layak dikonsumsi. Dan jika hal itu
dikaitkan dengan cerita di atas, ialah, kami membeli dan mengkonsumsi apel
yang tidak layak untuk dikonsumsi. Kami makan bukan apel pagi, tetapi apel-
apelan. Dampak dari pada itu, kami mengalami penderitaan yang cukup luar
biasa. Penyesalan pun datang. Teringat informasi yang disampaikan oleh
pembawa berita di Metro TV, sakitnya itu menggunung.
2
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
Berbicara tentang apel pagi, ternyata di Rusunawa PPG Undana, terdapat
komunitas intelektual yang melakukan rutinitas itu. Aktivitas yang mana ada
seorang pembina apel, dan pemimpin barisan. Peminpin barisan, tugasnya
mengatur barisan agar kelihatan rapih dan indah. Sedangkan pembina apel,
tugasnya menyampaikan informasi atau pengumuman yang berkaitan dengan
kehidupan berasrama atau bidang akademik.
Apel pagi kadang-kadang dianggap adalah apel-apelan. Suatu aktifitas yang
tidak ada gunanya, tidak berkualitas, tidak berbobot. Dengan pemikiran demikan,
banyak di antara kita --calon profesional-- yang sengaja mengabsenkan diri. Pada
tataran itu, kita tidak sedang menyadari bahwa sikap yang demikian sedang
merongrong keeksistensian diri kita sendiri.
Padahal, di apel pagi ini banyak hal yang sangat esensial, yang dapat
diperoleh. Katakanlah, dapat meningkatkan kedisplinan, rasa tanggung jawab,
belajar menjadi pemimpin, menjalin tali persaudaraan, memperoleh informasi
pasti, dan yang pastinya, dapat mewujudkan amanah Undang-Undang Guru dan
Dosen, Pasal 8, No 14, tahun 2005, yakni menghasilkan guru yang profesional.
Dalam pada itu, pertanyaannya ialah, seperti apakah guru yang profesional
itu? Itu pertanyaan mendasar untuk kita renungkan. Hal itu dapat dikatakan
secara sederhana bahwa, guru profesional adalah guru yang harus memiliki
kompetensi pedagogik, profesi, sosial, dan kepribadian. Bukan hanya memiliki
kompetensi pedagogik, atau profesi, atau sosial, atau kepribadian saja. Ketika
keempat kompetensi ini sudah dimiliki guru, maka guru tersebut benar-benar
profesional.
Semoga, apa yang diulas, dapat menjadi referensi kita bersama. Dan dari
pada itu, ada suatu sikap positif untuk tidak menganggap apel pagi adalah apel-
3
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
apelan. Tetapi, apel pagi bukan apel-apelan, sehingga apa yang diharapkan
bersama, dapat menjadi real di kemudian hari. Bukan menjadi racun untuk diri
kita sendiri, seperti yang dialami penulis dan Rangga. Padahal, sudah
disampaikan berulang-ulang di media massa. Jadi, apel pagi itu penting. Semoga!
4
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
Menyampaikan Kegalauan Masyarakat1
(Oleh: Jumai Rofiana,S.Pd2)
ebagai seorang mahasiswa, tiga aktivitas pokok yang kemudian disebut
dengan trilogi mahasiwa seharusnya sudah menjadi tradisi positif yang
terus dikembangkan. Trilogi mahasiswa tersebut, yaitu: membaca,
berdiskusi, dan menulis. Membaca buku, membaca situasi serta kondisi sudah
seharusnya dilakukan untuk mengasah kepekaan dan menambah kapasitas diri
sebagai seorang akademisi. Menurut sastrawan sekaligus sejarawan Pramoerdya
Ananta Toer, Semua yang tertulis akan abadi, semua yang terucap akan sirna.
Memori manusia sangatlah terbatas untuk menyimpan hasil belajar, maka
menulis kemudian dijadikan sebagai cara recall informasi serta ilmu pengetahuan
yang sudah kita dapatkan.
Sebagai seorang pemuda yang semangatnya masih menggelora,
idealismenya belum tergadaikan, mahasiswa sangat dekat dengan hati rakyat dan
masyarakat. Sehingga, sudah menjadi tanggung jawab mahasiswa untuk lebih
peka dengan permasalahan rakyat. Tidak harus dengan angkat suara dan angkat
1 Diedit dari materi yang pernah disampaikan dalam belajar menulis opini bersama Sospol BEM FIS
UNY 2013, di Ormawa FIS UNY, pada tanggal 24 Mei 2013.
2 Mahasiswa PPG SM-3T FKIP UNDANA, Jurusan Pendidikan Sejarah.
S
Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, cara
untuk menyapa suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah
dimana. Cara itulah yang bermacam-
macam dan disanalah harga kreativitas
ditimbang-timbang. (Seno Gumira Ajidarma)
5
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
ARTIKEL
rontek, cara paling sederhana yaitu dengan melakukan apa yang bisa dilakukan.
Menulis bisa dijadikan suatu alternatif untuk menyuarakan keresahan diri dan
masyarakat.
Menulis Opini
Menulis Opini sama dengan menulis kritis. Menuliskan segala macam
permasalahan yang ada. Untuk dapat menulis opini hendaknya harus lebih peka
dengan isu-isu dan segala macam kenyataan sosial. Selain itu, perlu pula
melakukan analisis terhadap fakta-fakta yang ada. Hal ini agar penulisan lebih
objektif dan penulis lebih bijak dalam memposisikan diri.
Sebelum menulis opini hendaknya penulis melakukan persiapan. Persiapan
yang harus dilakukan yaitu: mengenali fakta, update informasi, mengumpulkan
bahan (baik dari buku, majalah, Koran atau media elektronik), dan menentukan
gagasan3 (Mengidentifikasi isu, mengidentifikasi persoalan, menentukan topik,
dan membuat kerangka).
Perlu diingat, bahwa menulis opini tidak sekedar menuliskan gagasan atau
argumen saja. Menulis opini berarti mengolah fakta dan data dengan argumen
penulis secara tepat. Opini hendaknya ditulis dengan solutif. Selain menyediakan
fakta dan data serta argumen dan kritik penulis, penulis juga harus memberikan
solusi sebagai saran dari permasalahan yang dibahas.
***
3 Gagasan ini yang harus memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri, dan harga sebuah opini ada
pada bagian ini.
6
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
Kuras Bak Air.Penghuni RUSUNAWA UNDANA bekerja sama menguras bak air untuk
memperbaiki pompa air yang hampir
seminggu telah rusak, Selasa (28/4).
7
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
Angkat Air.Para penghuni wanita RUSUNAWA UNDANA terpaksa mengangkat air menuju
lantai tiga sambil menaiki puluhan anak
tangga akibat rusaknya Pompa air, Sabtu
(2/5).
8
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
Pramuka. Penyematan tanda peserta oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Sinun Petrus Manuk, sebagai tanda dimulainya kegiatan Kursus Mahir Dasar (KMD) Kepramukaan di Aula Kwarda Jl. Adisucipto Kupang. Pramuka menjadi salah satu persyaratan dalam menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG), Sabtu (2/5).
9
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
SENTER. Mahasiswa PPG Pendidikan Biologi UNDANA
melaksanakan peer teaching dengan dibantu cahaya
senter dari Handphone akibat matinya listrik di Kampus
PPG UNDANA, Selasa (26/5).
10
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
MENYETRIKA. Seorang mahasiswi PPG UNDANA sedang menyetrika
pakaian di salah satu lopo Fakultas Hukum Undana pada malam hari.
Fakultas Hukum menjadi tempat pelarian bagi para mahasiswa akibat
listrik yang telah mati selama hampir satu bulan di Asrama Rusunawa
UNDANA, Minggu (14/6)
11
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
GAMBAR JURNALISTIK
Aksi.Mahasiswa PPG UNDANA mendatangi kantor FKIP untuk meminta penjelasan dan solusi dari
pengelolah PPG terhadap beberapa masalah yang
dihadapi, di antaranya pemadaman listrik. Tampak
Pembantu Dekan 1, Dr. Paulus Taek, M.Si, sedang
memberikan penjelasan kepada mahasiswa setelah
sebelumnya melakukan diskusi dengan perwakilan
mahasiswa PPG dari tiap Program studi, Jumad (5/6).
12
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
Lucia (Maria Marselina Goran, S.Pd. Mahasiswa PPG, Prodi Bahasa Inggris)
angit gelap. Gelap yang benar-benar hitam dan mencekam. Langit gelap
itu menyelimuti kota yang kudiami. Aku membenci gelap, gelap yang
sungguh hadir hampir sekitar delapan jam sehari. Aku membenci gelap,
gelap inilah yang merenggut terang dan siang yang kusukai. Gelap inilah yang
membuyarkan niatku untuk berbagi hari denganmu. Aku khawatir, jika kita
berbagi hari, maka bukan tidak mungkin sesekali kamu akan bergelut dengan
gelap sementara aku bersukaria dengan terang. Dan sesekali aku berada dalam
gelap dan tak mampu melihatmu yang jauh disana, di terang yang kusukai. Aku
tak ikhlas, bila gelap harus kau lewati dalam tangis dan penyesalan. Aku tak
mampu mendengarnya, bahkan aku berharap sama sekali tak mendengar itu
sepanjang hidupku. Aku tak ingin, sungguh benar-benar tak ingin melihatnya.
melihat sayup matamu saja, aku merasa seperti menyakiti diriku sendiri, apalagi
membiarkanmu dalam gelap. tidak, aku tak pernah melakukannya.
Aku diam, Lucia pun diam. Kami tak pernah larut dalam diam seperti ini.
Tapi kuanggap diam ini sebagai parafrase dari pendewasaan yang membuat aku
dan Lucia mencoba mengerti jalan didepan kami. Jalan yang terus terang
kuingini sebagai jalan yang sama, dengan langkah kaki yang sama dan pijakan
yang tetap sama. Namun aku sadari, dua jalan yang berbeda ini seolah-olah
membiarkan aku dan Lucia memilih di persimpangan. Aku merenung beberapa
hari, dalam beberapa hari yang kunamai kehampaan. Bukan tanpa sebab
kehampaan ini menjemput aku diujung logika berpikirku dalam diam yang aku
dan Lucia sematkan, namun tak terbiasa aku diam dan mendiamkan Lucia seperti
L
13
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
ini. Tak terbiasa pula aku membiarkan Lucia mendiamkan aku seperti ini. Takdir,
seceroboh apa dirimu, sehingga hari sukaku kau renggut dalam diam, merenung
dan tertekan seperti ini, takdir seolah menari dan membiarkan aku mencaci
dirinya, tanpa peduli seberapa sakit aku menekan dadaku merasai setiap detik
dalam kehampaan itu.
Aku sendiri tak sanggup berkata. Pikiranku buntu, aku tak pernah ingin
meninggalkan Lucia. Sedetikpun tak pernah, dan kalau boleh aku ingin
bersamanya seumur hidupku, seumur hidupku untuk berbagi hari. Aku
menginginkan siang yang sama dan malam yang sama dengannya.
Sebab dalam siang yang sama aku bisa memandangnya, dan dalam gelap
yang sama aku terus menggenggam tangannya dan berjalan seperti siang hari,
tanpa takut gelap, tanpa khawatir akan hitam yang memenuhi tatapan kami. Aku
ingin melukis kisah yang sesempurna mungkin bersamanya tanpa berpikir
sedikitpun untuk melukainya. Namun lagi-lagi, gelap benar-benar ingin
merenggut semuanya. Lucia, maaf... itu smsku. Tak bisa kujelaskan semua
yang kurasa, dan kuanggap kata maaf itu bisa dimengerti Lucia. Kata maaf itu,
mungkin juga adalah ucapan selamat tinggalku padanya, meski aku selalu
menganggapnya ada didalam hatiku. Kuharap, Lucia memaafkanku, dalam
doanya, dalam hidupnya kelak. Aku membayangkan wajahnya dalam tangisan,
tidak, itu tak boleh. Lucia adalah gadis kuat dan tegar, dan jika dia menjadi
rapuh, kuharap itu bukan karena aku. Aku menunggu balasan smsnya, lima
menit, sepuluh menit, sejam lalu sehari.
Lucia, gadis manis yang kupacari enam tahun ini. Dia adalah pacarku,
temanku, sahabatku dan wanita yang kuidam-idamkan. Aku beruntung, karena
pada waktu itu banyak pria yang menginginkan Lucia namun ia mengaku
14
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
nyaman bila bersamaku. Kami kuliah dijurusan yang sama, dan itulah kali
pertama aku bersorak girang dalam hatiku, karena bagiku itu adalah
kemenanganku atas takdir meski aku dan dia berbeda. Lucia teguh pada
Tuhannya, dan aku selalu menengadah pada Tuhanku dan itu yang kuyakini
bahwa Tuhanku dan Tuhanmu adalah wujud yang sama.
Lucia, bagiku ia adalah cerita tentang takdir yang berpaut, saling
memperjuangkan dan tentang wanita sederhana nan polos, yang kuimpikan
menjadi ibu dari anak-anakku kelak. wanita yang memanggilku kakak dengan
suara pelan. Wanita yang tak pandai berdandan namun tetap cantik dan
menawan. Wanita yang membagiku sukanya dan tak pernah lelah menceritakan
sedihnya. Lucia, bagiku adalah telinga yang tak lelah mendengarku
mengungkapkan semua yang kurasa sembari menguatkanku dengan suara
pelannya.
Aku sering mengingatkan Lucia tentang Tuhannya dan sebaliknya ia terus
mengingatkan aku tentang Tuhanku. Aku tahu, Tuhan milikku dan miliknya
adalah Tuhan yang sama namun kami berjalan di jalan yang berbeda. Ia
membangunkanku dengan menelpon setiap pagi untuk sahur dan aku tak pernah
lupa mengantarnya ke Gereja setiap hari Minggu bahkan dalam setiap organisasi
keagamaannya. Aku tak ingin membawa Lucia ke tempat aku memuja Tuhanku,
tempat kebangganku dan menikah disana, dihadapan penghulu dan saksi,
sementara Luciapun tak ingin mengajakku ke rumah Tuhannya untuk mengikat
sumpah di altar suci yang ia sakralkan seumur hidupnya. Bertahun-tahun, aku
mencintainya dengan caraku, tanpa kupeduli semanis apataupun sepahit apa
akhir yang akan kami dapatkan. Dalam hati kecilku, aku tahu Lucia
menginginkan gaun putih nan menawan dengan mahkota diatas kepalanya,
15
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
sementara aku menginginkan jilbab putih nan manis berhiaskan mutiara putih
berkilauan yang menutupi kepalanya. Namun, akhirnya kusadari ketika gelap itu
datang. Anggapku, itu terlalu cepat. Aku sungguh membenci gelap. Semakin
membenci. Gelap inilah yang memisahkan aku dan Lucia. Gelap ini pula yang
membuat aku tak mungkin lagi bersama Lucia. Karena jika aku memaksanya
bersama maka Lucia tetap menganggapku gelap, bukan Lucia, namun dunia yang
mungkin menghakimi kami. Aku menginginkan senja, setidaknya saat senja aku
masih bisa melihat sedikit terang dan Lucia tak terjebak gelap. Namun, senja
itupun tak kunjung datang meski aku terus berharap dan menantinya.
Pacaran beda agama itu hanya ada dua pilihan, jika bukan mengganti
pacar maka kamu harus mengganti Tuhanmu. Itulah yang kuanggap gelap nan
pekat. Seandainya Tuhan hanya memberi satu agama saja, maka aku tak pernah
ingin berada dalam lingkaran ini. Aku ingin berlari dan menjauhi ini, membawa
Lucia ke tempat dimana dunia tak peduli dan tak memperhitungkan perbedaan
itu.
Beberapa Minggu kemudian, Lucia membalas smsku. Lucia mengatakan ia
lelah memikirkannya, ia lelah dijalan yang kami lewati. Ia tak ingin
meninggalkanku namun ia lelah bertahan dijalan yang sama-sama kami ketahui
sebagai jalan buntu. Ia menungguku untuk menemukan seorang kekasih dan
setelah aku bahagia, ia akan mencari seseorang yang baik untuk dirinya sendiri.
Tapi aku tak sekejam itu, aku menolak pemikirannya dan berharap keadaan yang
sebaliknya untuk dia. Aku ingin dia memiliki seorang pria yang mengasihinya,
melebihi cintaku...aku menginginkan ia mencintai pria itu melebihi cintanya
kepadaku...aku ingin itu. Aku ingin seorang pria yang berada di jalan yang sama
dengannya, memberinya gaun putih menawan dengan mahkota indah yang
16
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
menghiasi kepalanya, mengajaknya melangkah menuju altar diiringi pandangan
penuh syukur dan mengikat janji disana.
Dan akhirnya aku melihat senja, bagiku itu adalah selamat tinggal... Terima
kasih gelap, engkau lebih berkuasa dari siangku. Engkau lebih cepat merenggut
semua yang kuingini. Kuakui jalanmu, ku terima tantanganmu dan aku mengaku
kalah dan Lucia Teruslah ke utara, ke jalan yang sesengguhnya harus kau lalui,
dan aku, akan terus beranjak ke selatan, selatan yang kau hindari. Harapku, bila
angin telah bertiup perlahan, berjalanlah, Jangan melihatku, sekali lagi jangan,
ikutilah arah angin Hingga kau temui altar nan suci pengikat janji Aku tak ingin
melihat sayup dimatamu, jangan, karena sayup matamu itu, tak pernah memberi
isyarat tentang apa yang sedang berkecamuk dalam hatimu, aku takut, bila salah
menafsirkannya dan kembali bergulat dengan takdir.... Biarlah aku dan kisah ini
berbagi dalam gelap, Karena, sekalipun dalam gelap, aku masih ingin melihatmu.
***
17
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
Picturesque
Oleh: Surya Kencana4
Bapak sadar, apa yang bapak nasehatkan sekarang ini tidaklah mudah
untuk mengubah prilaku kalian semua anak-anakku. Karena selama bertahun-
tahun sebelumnya kalian telah dididik dengan lingkungan yang keras, sedangkan
kalian bertemu bapak hanya sejenak, saat sekolah saja. Tapi, bapak percaya
sebuah kemungkinan akan terjadi, bapak yakin hati kalian yang saat ini sedang
tertutup, pasti memiliki kunci, entah itu kalimat yang berarti ataupun pengalaman
berharga kalian. Bapak tidak tahu letak kunci kalian ada dimana, tapi seiring
dengan berjalannya waktu kalian akan menemukannya sendiri, kunci menuju
kedewasaan menjadi manusia yang dapat menghargai hidup.
Sudah tujuh belas tahun semenjak aku terakhir kali bertemuPak Yusuf, tapi
selalu saja kalimat tersebut muncul dalam kepalaku, kalimat yang tidak mudah
untuk dilupakan. Yah, Pak Yusuf Guru yang bersemangat, penuh motivasi,
murah senyum dan sabar. Pengabdiannya untuk mengajar amatlah hebat, padahal
aku tahu ia hanya seorang guru bantu, yang gajinya tidak akan pernah mencukupi
apapun, bahkan dengan pendapatan pengemis di pasar pun tidak bisa
dibandingkan, malah membuat sesak dada bila mengetahuinya, orang-orang akan
menangis mendengarnya, air matanya bisa-bisa menyaingi sungai Kapuas.
Pak Yusuf mengajarku saat aku duduk di bangku sekolah dasar dulu, di SD
Hilir, tempat yang jauh dari peradaban kota. Sekolah dengan nasib yang
mengenaskan, letaknya dekat dengan pasar, bangunan reyot, kumuh, sarang para
cecunguk pasar, penjahat kecil kelas teri, markas para pencopet pasar, anak
4 Nama Pena Raditya Ilham Fadilllah, Mahasiswa Pendidikan Sejarah PPG FKIP UNDANA.
18
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
pedagang curang dan lain sebagainya. Semua citra buruk dan embel-embelnya
melekat di sekolahku.
Sekolah kami sekolah bobrok dengan kondisi menghawatirkan, aku teringat
kawanku Iwan murid tertua dan terdungu disekolahku umurnya sudah delapan
belas tahun tapi masih duduk di kelas lima SD. Yah meskipun semua kebanyakan
usia murid-murid di SD Hilir kebanyakan sudah tidak layak lagi untuk disebut
anak sekolah dasar, tapi Iwan adalah puncak dari kekacauan. Aku sadar usiaku
sudah dua belas tahun tapi masih di kelas empat, masih mending dibanding si
Iwan. Teman-temanku sekelasku hanya terdiri dari sebelas siswa saja, tapi
liarnya tidak pernah terbayangkan.
Aku masih teringat alasan kenapa orang tua murid-murid memasukkan
kami ke bangku sekolah dasar, alasannya sederhana agar kami bisa membaca,
jadi ketika kami ketahuan mencopet dan dikejar massa, jadinya kami tidak
melarikan diri ke tempat yang salah, seperti pos keamanan gara-gara tidak bisa
membaca. Atau ditipu sesama pencopet lainnya saat pembagian hasil mencopet
gara-gara tidak bisa berhitung. Sebenarnya ada satu dua tiga orang tua yang
memang berniat menyekolahkan anak-anaknya, untuk memperbaiki kondisi
ekonomi keluarga dimasa depan. Walau sekedar bisa membaca, menulis dan
berhitung.
Meskipun demikian masih ada harapan disekolahku itu, dengan hadirnya
Pak Yusuf Guru bantu yang cintanya besar terhadap murid-muridnya. Pak Yusuf
berbeda dengan Guru lainnya yang ketika jengkel dengan kami akan langsung
dimarahi, melakukan tindak kekerasan, menempeleng, memukul kami dengan
penggaris panjang di betis atau menjemur kami. Pak Yusuf tidak begitu, ia selalu
sabar, murah senyum, selalu bersemangat. Pernah aku dan teman-teman
19
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
sekelasku menjahilinya, dengan menyembunyikan papan tulis kelas, tapi ia tidak
kehilangan akal, ia mengajak kami keluar kelas dan belajar di alam. Hingga
akhirnya kami mengaku sendiri bahwa kami yang menyembunyikannya. Atau
ketika kursi duduknya kami sengaja utak-atik agar ketika duduk ia terjatuh, tapi
hal itu tidak berdampak apa-apa padanya. Padahal ketika ia terjatuh, aku
yakinPak Yusuf merasa kesakitan, tapi ia acuh saja dan meneruskan
mengajar.Aku menyadari bahwa apa yang diajarkan dan dinasehatkan oleh pak
Yusuf menyenangkan, tapi aku dan teman-temanku selalu berpura-pura
menolaknya. Aku pikir semua guru sama saja, menyebalkan dan sok mengatur.
Sekali waktu aku dan beberapa teman-temanku sengaja membuntutinya
agar mengetahui dimana rumahnya, ingin tahu seperti apa kehidupan
keluarganya, ternyata amat menyedihkan, rumahnya hanya gubuk yang terbuat
dari bilik-bilik bambu, letaknya empat kilometer dari sekolah, menjorok masuk
ke dalam gang sempit. Aneh memang bahwa aku sendiri baru tahu dan
menyadari ada tempat, yang didiami oleh pak Yusuf. Aku tidak berani untuk
mendekati lebih jauh lagi, takut-takut ketahuan dan bingung mencari alasan
mengapa aku berada dekat rumahnya.
Kejadian yang paling kuingat dan merubah cara pandang hidupku terjadi
pada suatu siang hari. Ketika itu aku dan beberapa temanku sepulang sekolah,
seperti biasa melakukan operasi. Aku mencopet seorang ibu-ibu di pasar,
namun naas ketika aku hendak mengambil dompetnya aku ketahuan, ibu itu
berteriak copet sekerasnya, orang-orang yang ada dipasar langsung
memandangku, teman-temanku yang lain berhamburan melarikan diri, tapi aku
yang tertangkap basah tidak bisa kemana-mana. Ibu itu memegang tanganku erat,
aku sempat melawan tapi tetap saja tidak bisa lepas. Sebenarnya sebagian orang-
20
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
orang di pasar mengetahui bahwa aku adalah pencopet, tapi semuanya acuh saja
membiarkan. Aku sering memberi setoran kepada preman dan beberapa oknum
penjaga pasar, biar aku diberi keleluasaan saat beraksi. Tapi saat kejadian itu, aku
tertangkap basah, semuanya sia-sia tidak ada yang dapat menolongku. Bahkan
orang yang mengetahui dan membiarkan aku mencopet, malah menjadikan aku
bulan-bulanannya. Semua menghajarku, apalagi si Heru, preman pasar yang
sering kuberi uang rokok, malah ikut-ikutan, apa dia pikir aku ini samsak! Aku
babak belur, darah amis mengucur dihidungku, luka lebam disana-sini
membuatku hampir mati. Untung saja ada orang yang menolongku, meredam
kemarahan orang-orang dan menjinakkannya. Setengah sadar aku melihat sosok
itu, orang yang kukenal, dia pak Yusuf, setelahnya aku pingsan, dan tidak tahu
apalagi yang terjadi.
Setelah beberapa jam pingsan, aku baru tersadar. Ternyata aku berada
disebuah rumah yang tidak aku kenal. Saat mataku terbuka sebenarnya yang aku
lihat pertama kali adalah sebuah lukisan pemandangan alam yang ukurannya
lumayan besar, dimana didalamnya terdapat panorama gunung dan persawahan,
di tengahnya terdapat sebuah rumah kecil dari gubug, dipinggirnya terdapat
aliran sungai yang jernih, terdapat seorang lelaki tampak sedang bertani, gambar
lukisan murah yang sebenarnya biasa dijajakan di pasar, tapi entah kenapa saat
itu aku nyaman di buatnya. Seorang lelaki setengah baya menungguiku dengan
cemas, saat mengetahui aku sudah sadar orang itu berucap apakah kamu baik-
baik saja?. Ketika tersadar ternyata pria tersebut pak Yusuf. baik apanya?
Babak belur seperti ini masih dibilang baik?. Pak Yusuf hanya tersenyum dan
berkata untunglah kau sudah siuman. Aku sebenarnya terharu dibuatnya. Tidak
ada yang menolongku, kecuali pak Yusuf, yang merawatku danrepot-repot
21
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
membawaku kerumahnya. Aku kesal pada semua orang yang tidak membantuku
hingga hampir membuatku meregang nyawa. Dalam hati aku bertanya mengapa
ia mau menolongku, padahal aku sering berbuat kejahatan kepadanya?. Seolah-
olah ia dapat membaca hatiku, ia pun menjawab menolong itu merupakan
kewajiban sesama manusia, tidak peduli ia pernah berbuat baik maupun buruk
terhadap kita. Tuhan akan membalas setiap perbuatan yang kita lakukan. Ini
sudah kewajiban bapak menolongmu, bapak tahu apa yang kamu lakukan itu
salah, tapi sikap mereka juga tidak bisa dibenarkan. Bapak tahu sebenarnya kau
anak yang baik hanya saja situasi dan kondisi yang membuatmu menjadi seperti
sekarang ini.Tak terasa ternyata mataku berair, aku menangis sejadinya-jadinya,
kemudian aku menceritakan apa yang terjadi padaku selama ini. Aku bercerita
tentang banyak hal sambil menangis tersedu-sedu.
Seusainya rasanya lega, bebanku menjadi ringan. Setelah selesai menangis,
pak Yusuf pun bercerita untuk menghiburku, ia menceritakan tentang gambar
lukisan yang menempel di dinding rumahya. Katanya itu merupakan gambar
kesukaannya, ia memiliki cita-cita untuk memiliki rumah diantara hamparan
sawah, di belakangnya ada gunung, dimana ia bebas untuk mengelola tanah,
entah itu dengan bertani atau mengelola kolam ikan, ia tenggelam dalam
ucapannya. Ia berujar ingin hidup di tempat seperti di lukisannya tersebut. Ia
ingin hidup secara sederhana, penuh khidmat dan syukur. Ia bukan seorang yang
silau dengan dunia, yang terpenting baginyakehidupan itu sendiri, dan
bermanfaat bagi orang lain.
Yah anak-anakku itulah cerita yang dapat bapak sampaikan kepada kalian
semua, salah satu bagian dalam hidup manusia. Selalu ada kesempatan untuk
menjadi lebih baik. Pelajaran selesai, sekarang sudah waktunya pulang, lain kali
22
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
bapak akan bercerita lagi.
Aku melihat, semua murid-murid hanya termenung, terlihat ada yang
matanya berair, tapi mereka semuanya tersenyum. Aku harap mereka dapat
mengambil hikmah dari cerita yang aku sampaikan, meskipun aku memang
keluar jalur dari materi pelajaran. Tapi tak apalah bukannya pendidikan itu
harusnya mengajarkan pada manusia untuk menghargai hidupnya. Bukan sekedar
memberi informasi, mengenai materi pelajaran yang sudah tercetak dalam buku
paket dan, murid-murid bisa membacanya sendiri. Tapi pelajaran mengenai
perjalanan menjadi manusia untuk mencari jati dirinya tidak pernah tercetak
dalam buku paket manapun.
Seandainya aku tidak ditolong Tuhan melalui pak Yusuf, aku mungkin
sudah mati di hajar orang-orang di pasar. Setelah kejadian tersebut aku mulai
sadar, apa yang aku lakukan bersama teman-temanku sebelumnya salah, aku
mencoba memperbaiki diri. Tidak beberapa lama kemudian orang tuaku,
memutuskan untuk pergi ke kota, mencari penghidupan yang lebih layak. Aku
belajar lagi dari awal untuk mengerti untuk apa aku hidup ini. Akhirnya aku
memutuskan untuk menjadi guru seperti pak Yusuf, menjadi guru yang mampu
mengajarkan siswanya untuk mengerti apa hakikat hidup. Kabar terakhir dua
tahun lalu,kudengar pak Yusuf katanya telah meninggal dunia, aku sedih
mendengar kabarnya. Jasanya bagiku amat besar. Aku rindu sosoknya.
Sepulang sekolah, saat dijalan pulang, aku melihat seorang bapak-bapak
pedagang lukisan memamerkan lukisan-lukisan di sisi jalan trotoar untuk dibeli.
Aku berhenti sejenak, karena tertarik untuk melihatnya. Aku memilih lukisan dan
ternyata ada lukisan yang persis dengan lukisan di rumah pak Yusuf dulu.
Akhirnya untuk mengenang masa lalu, aku putuskan membelinya. Tidak
23
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
CERPEN
kusangka ketika aku mencermati gambarnya, lukisan itu seperti hidup.
Gambarnya begitu nyata, aku melihat gambar sosok petani yang sedang
mencangkul sawah dalam lukisan tersebut bergerak, hembusan angin sepoi-sepoi
keluar dari lukisan, dahan-dahan pepohonan di dalamnya pun bergoyang.
Semakin kucermati, aku terperangah! Ternyata sosok petani dalam lukisan
tersebut, adalah orang yang amat kukenal. Yah, itu adalah sosok Pak Yusuf, ia
sedang tersenyum sambil mencangkul sawah. Sepertinya senang sekali
keadaannya, cita-cita terwujud. Ia hidup sesuai harapannya. Pak Yusuf tidak
meninggal, hanya saja sekarang ia hidup dalam sebuah lukisan, persis seperti
keinginannya.
***
24
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
KARIKATUR
25
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
KARIKATUR
26
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
PUISI
Cendana: Pada Lidah Sejarah Ku Buru Wangimu Oleh: Lam Siena
Sebabeng kau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu
Serupa udara, wangimu menembus batas gunung juga lautan Di pelosok negeri gurun pasir, Dibalik tembok besar cina hingga kelembah gangga Kala wangimu membuming, keluarlah para lelaki Mata mereka tertuju pada jatuhnya matahari Ketanah diman aengkau mencengkram karang
Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu
Seru padara, para lelaki berburu pinangan Maharmu emas dan sutra Lalu atas restu leluhur serta prosesi sederhana Tubuhmu digelinding menuju lambung kapal Menunggu angin untuk berlayar pergi
Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu
Serupa dara, wangi tubuhmu terus diburu Dari benua barat berabad-abad silam Laki-laki putih dengan kapal bersama bedil Datang juga di rumah mu.
Kali ini dengan nafsu mengubun, rakus Rumah rimbamu diobrak abrik, rusak Tubuhmu patah dengan tebasan parang, koyak Menganga luka muja diberbekas, duka
Lalu Meredup wangimu, semakin jauh Tanah karang mengerang hingga karam Pun tak ada prosesi khusus mengantarmu
Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu.
Bila kini tak lagi kucium wangimu Apakah engkau mati? Jika masih ada lagi lelaki yang datang meminangmu Mungkinkah engkau mau mewangi kembali? Sejujurnya aku masih terpesona denganmu. Pada wangimu yang pernah membius jaman
Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu
27
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015
PUISI
Pada Kita Kelak
(Maria Marselina Goran, S.Pd. Mahasiswa PPG, Prodi Bahasa Inggris)
Padamu
Pada langkahmu yang kokoh
Kau berikan kekuatan pada kaki-kaki kecil mereka
Pada tanganmu
Kau tuliskan mimpi-mimpi hangat.
Pada matamu.
Kau berikan tatapan membara tentang esok
Dan pada telingamu,
Kau dengarkan mimpi-mimpi yang tak terucap.
Padanya,
Penamu kelak menceritakan tentang dunia
Dan padanya,
Penanya kelaK menceritakan tentangmu dan dunia
Padamu,
Kertasmu tercoret mimpi mereka
Padanya
Kertasnya tercoret kamu diatas mimpi mereka
Kamulah sang guru
Dan mereka adalah pemimpi,
Pada sang guru,
Sang pemimpi menulis mimpinya
Pada pena dan kertas
Pada cakrawala dan awan,
Pada pagi dan malam
pada hitam dan putih
dan pada hari ini dan esok
pada dunia dan nirwana
pada tawa dan tangis....
28
B U L E T I N P P G U N D A N A
JUNI 2015