32
Go re sa n San g Guru  EDISI 01 T  RT K  P O R UNIVERSITAS NUSA CENDANA FAKUL T AS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PENDIDIKAN PROFESI GURU 2015  

Buletin Mahasiswa PPG SM-3T Undana

  • Upload
    gusti

  • View
    40

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BULETIN MAHASISWA PPG SM-3T UNDANA 2015/2016bersatu dalam satu media, memang asik. Berbagi ide dan pengelamanItulah Mahasiswa PPG SM-3T Undana.

Citation preview

  • Goresan Sang Guru

    EDISI 01

    TIRTA KAPOER

    UNIVERSITAS NUSA CENDANA

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    PENDIDIKAN PROFESI GURU

    2015

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    DAFTAR ISI

    Daftar Isi i

    Salam Redaksi .. ii

    Artikel .. 1

    Apel Pagi Bukan Apel-apelan

    Menulis Opini: Menyampaikan Kegalauan Masyarakat

    Gambar Jurnalistik .. 7

    Cerpen .. 13

    Lucia

    Picturesque

    Karikatur . 25

    Puisi ... 27

    Cendana: Pada Lidah Sejarah Ku Buru Wangimu

    Padamu Kita Kelak

    i

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    SaLaM REDAkSI

    Redaksi Tirta Kapoer, Buletin mahasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru) FKIP

    UNDANA memperkenalkan karya yang namanya diambil dari benda yang sangat dekat

    dengan aktivitas manusia, khususnya guru. Tirta dari Bahasa Sanksekerta yang berarti air,

    dan memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia. Sedangkan Kapoer, adalah

    ejaan lama dari kata kapur. Kapur tulis sebagai alat tulis yang digunakan oleh guru zaman

    dulu atau masih digunakan sampai zaman sekarang. Kapur tulis dikenal sebagai alat/ media

    seorang guru untuk berbagi ilmu dengan siswanya.

    Cobalah bayangkan! Apakah menulis di atas air susah atau mudah? Pasti susahkan.

    Tapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Nah, untuk menjadi seorang guru profesional juga

    susah dan perlu usaha yang sungguh-sungguh. Dalam kaitan dengan mahasiswa PPG,

    dimana mahasiswa PPG FKIP UNDANA diberi tugas-tugas workshop. Disamping itu,

    dihadapkan pula pada masalah-masalah kehidupan berasrama. Di sini, seorang calon guru

    profesional dengan segala kemampuan dan kreativitasnya dituntut untuk dapat memberikan

    arti pada sesuatu yang terkadang oleh banyak orang dipandang sebagai kesia-siaan. Sama

    halnya dalam menjalani PPG, mahasiswa dituntut pula untuk menyeimbangkan 4 aspek,

    kepribadian, sosial, profesional, dan pendagogik sekaligus. Terlebih, mahasiswa PPG FKIP

    UNDANA sering dihadapkan pada masalah-masalah yang seharusnya bukan menjadi

    masalah seperti listrik padam, angkat air, dan seabrek masalah workshop dan lain

    sebagainya. Dimana sebagai seorang calon guru profesional harus memiliki kepekaan

    terhadap masalah-masalah yang dialami baik dalam bidang akademik maupun non

    akademik.

    Tirta Kapoer, merupakan buletin yang akan terbit sebulan sekali dengan tema-tema

    yang disesuaikan baik dengan isu-isu dan kebijakan terkait pendidikan dan pelaksanaan

    pendidikan yang sedang hangat dibicarakan maupun dengan permasalahan menarik lainnya.

    Terlebih untuk memberi ruang pada karya-karya para Calon Guru Profesional dalam bidang

    penulisan. Tirta Kapoer bermaksud menampung informasi dan kreativitas mahasiswa PPG

    sekaligus membaginya pada sesama mahasiswa PPG maupun masyarakat luas.

    Terima kasih kepada semua narasumber dan pihak yang telah berkontribusi dalam

    penerbitan Buletin ini. Bagi yang berminat, silahkan mengirimkan tulisan beserta data diri

    secukupnya ke Emai: [email protected], atau bisa langsung ke Sekretariat Kelompok

    penulis Mahasiswa PPG FKIP UNDANA di Rusunawa PPG FKIP UNDANA, komplek

    Kampus UNDANA, jl. Adisucipto, Penfui, Kupang, NTT, Kode Pos: 85111. HP.

    085200770760

    Tirta Kapoer

    Diterbitkan Oleh: Kelompok Penulis PPG FKIP UNDANA

    Pada Tanggal : 01 Juni 2015 (Edisi 01)

    Penanggungjawab: Prof.Dr. I Gusti B. Arjana,MS Penasihat: Drs. Laurensius Kian

    Bera,M.A Pemimpin Redaksi: Jumai Rofiana,S.Pd Sekretaris: Maria M. Goran,S.Pd

    Bendahara: Melianus Molum,S.Pd Karya Ilmiah/ Populer: Gusti O. Hingmane,S.Pd

    Cerpen: Wira Syafutra,S.Pd Puisi: Muhammad Syarafudin,S.Pd Gambar/Foto

    Jurnalistik: Janur Ok Lantang,S.Pd Karikatur: Fransiskus Letor, S.Pd Design Cover

    dan Lay Out: Ferdinandus Charles Jemahan,S.Pd

    ii

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    Apel Pagi bukan Apel-apelan

    amis, hari yang indah dalam minggu itu. Hari yang sulit dilupakan.

    Ada manis dan pahit yang mendekorasinya. Walaupun, tak semanis

    dan sepahit waktu di daerah 3T. Saat itu, saya dan Rangga -- teman

    akrabku-- pergi ke tempat penjualan buah-buahan. Buah-buahan yang paling

    disukai oleh kami adalah buah apel.

    Demi buah apel, uang tidak menjadi persoalan. Berapa pun harganya, kami

    siap membeli. Karena pada saat itu, kami baru pulang dari tempat mengajar, di

    daerah SM-3T, di Kabupaten Dogiyai. Dapat dikata, uang di dompet pun masih

    tebal. Demi kesukaan, kadang-kadang kualitas buah pun tidak menjadi titik fokus

    pertimbangan. Layak dimakan atau tidak. Yang ada di benak adalah, siap hajar

    saja.

    Peristiwa ini benar-benar terjadi pada kami pada saat itu. Kami membeli

    buah apel. Jumlahnya sekitar dua kiloan. Hati pun berbunga-bunga karena sekian

    lama di Kabupaten Dogiyai, buah apel kesukaan kami, tak pernah dilihat, diraba,

    K

    Gusti O. Hingmane, S.Pd

    (Koordinator Mahasiswa PPG SM-3T Undana)

    Undana)

    1

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    apalagi dimakan.

    Setelah pulang dari pasar itu, dengan sedikit ego dan tanpa kompromi, kami

    langsung melahap semua buah itu. Dalam hitungan menit, semua buah apel

    dimakan habis. Hati kami pun lega.

    Setelah beberapa jam, kami pun terkejut mendengar informasi yang ada di

    berita Metro TV. Isi berita, ada apel-apelan di pasar apel. Banyak konsumen

    yang konsumsi apel-apelan meninggal dan menderita berbagai penyakit. Penyakit

    yang diderita sesuai isi berita, yakni: demam tinggi, sakit kepala parah, pegal,

    mual, sakit perut, dan diare. Lebih jauh lagi, infeksi bakteri listeria dapat

    menyebabkan keguguran pada perempuan hamil.

    Setelah beberapa saat, kami mengingat benar bahwa hal itu pernah

    dimediakan oleh banyak media cetak (http://www.timorexpress.com/;

    http://sinarharapan.co/news/read/) di kota Kupang. Memang benar info yang di

    berita itu. Dampak yang dimediakan, kami mengalami benar. Penulis sakit

    kepala, sedangkan Rangga menderita sakit perut. Kami tidak bisa melakukan apa

    pun. Kami cuma berbaring dan menjerit kesakitan. Sungguh derita!

    Apel Pagi

    Kata apel pagi yang dimaksud penulis berkaitan dengan buah apel ialah,

    apel yang segar, sehat, bagus, berguna, dan layak dikonsumsi. Dan jika hal itu

    dikaitkan dengan cerita di atas, ialah, kami membeli dan mengkonsumsi apel

    yang tidak layak untuk dikonsumsi. Kami makan bukan apel pagi, tetapi apel-

    apelan. Dampak dari pada itu, kami mengalami penderitaan yang cukup luar

    biasa. Penyesalan pun datang. Teringat informasi yang disampaikan oleh

    pembawa berita di Metro TV, sakitnya itu menggunung.

    2

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    Berbicara tentang apel pagi, ternyata di Rusunawa PPG Undana, terdapat

    komunitas intelektual yang melakukan rutinitas itu. Aktivitas yang mana ada

    seorang pembina apel, dan pemimpin barisan. Peminpin barisan, tugasnya

    mengatur barisan agar kelihatan rapih dan indah. Sedangkan pembina apel,

    tugasnya menyampaikan informasi atau pengumuman yang berkaitan dengan

    kehidupan berasrama atau bidang akademik.

    Apel pagi kadang-kadang dianggap adalah apel-apelan. Suatu aktifitas yang

    tidak ada gunanya, tidak berkualitas, tidak berbobot. Dengan pemikiran demikan,

    banyak di antara kita --calon profesional-- yang sengaja mengabsenkan diri. Pada

    tataran itu, kita tidak sedang menyadari bahwa sikap yang demikian sedang

    merongrong keeksistensian diri kita sendiri.

    Padahal, di apel pagi ini banyak hal yang sangat esensial, yang dapat

    diperoleh. Katakanlah, dapat meningkatkan kedisplinan, rasa tanggung jawab,

    belajar menjadi pemimpin, menjalin tali persaudaraan, memperoleh informasi

    pasti, dan yang pastinya, dapat mewujudkan amanah Undang-Undang Guru dan

    Dosen, Pasal 8, No 14, tahun 2005, yakni menghasilkan guru yang profesional.

    Dalam pada itu, pertanyaannya ialah, seperti apakah guru yang profesional

    itu? Itu pertanyaan mendasar untuk kita renungkan. Hal itu dapat dikatakan

    secara sederhana bahwa, guru profesional adalah guru yang harus memiliki

    kompetensi pedagogik, profesi, sosial, dan kepribadian. Bukan hanya memiliki

    kompetensi pedagogik, atau profesi, atau sosial, atau kepribadian saja. Ketika

    keempat kompetensi ini sudah dimiliki guru, maka guru tersebut benar-benar

    profesional.

    Semoga, apa yang diulas, dapat menjadi referensi kita bersama. Dan dari

    pada itu, ada suatu sikap positif untuk tidak menganggap apel pagi adalah apel-

    3

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    apelan. Tetapi, apel pagi bukan apel-apelan, sehingga apa yang diharapkan

    bersama, dapat menjadi real di kemudian hari. Bukan menjadi racun untuk diri

    kita sendiri, seperti yang dialami penulis dan Rangga. Padahal, sudah

    disampaikan berulang-ulang di media massa. Jadi, apel pagi itu penting. Semoga!

    4

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    Menyampaikan Kegalauan Masyarakat1

    (Oleh: Jumai Rofiana,S.Pd2)

    ebagai seorang mahasiswa, tiga aktivitas pokok yang kemudian disebut

    dengan trilogi mahasiwa seharusnya sudah menjadi tradisi positif yang

    terus dikembangkan. Trilogi mahasiswa tersebut, yaitu: membaca,

    berdiskusi, dan menulis. Membaca buku, membaca situasi serta kondisi sudah

    seharusnya dilakukan untuk mengasah kepekaan dan menambah kapasitas diri

    sebagai seorang akademisi. Menurut sastrawan sekaligus sejarawan Pramoerdya

    Ananta Toer, Semua yang tertulis akan abadi, semua yang terucap akan sirna.

    Memori manusia sangatlah terbatas untuk menyimpan hasil belajar, maka

    menulis kemudian dijadikan sebagai cara recall informasi serta ilmu pengetahuan

    yang sudah kita dapatkan.

    Sebagai seorang pemuda yang semangatnya masih menggelora,

    idealismenya belum tergadaikan, mahasiswa sangat dekat dengan hati rakyat dan

    masyarakat. Sehingga, sudah menjadi tanggung jawab mahasiswa untuk lebih

    peka dengan permasalahan rakyat. Tidak harus dengan angkat suara dan angkat

    1 Diedit dari materi yang pernah disampaikan dalam belajar menulis opini bersama Sospol BEM FIS

    UNY 2013, di Ormawa FIS UNY, pada tanggal 24 Mei 2013.

    2 Mahasiswa PPG SM-3T FKIP UNDANA, Jurusan Pendidikan Sejarah.

    S

    Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, cara

    untuk menyapa suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah

    dimana. Cara itulah yang bermacam-

    macam dan disanalah harga kreativitas

    ditimbang-timbang. (Seno Gumira Ajidarma)

    5

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    ARTIKEL

    rontek, cara paling sederhana yaitu dengan melakukan apa yang bisa dilakukan.

    Menulis bisa dijadikan suatu alternatif untuk menyuarakan keresahan diri dan

    masyarakat.

    Menulis Opini

    Menulis Opini sama dengan menulis kritis. Menuliskan segala macam

    permasalahan yang ada. Untuk dapat menulis opini hendaknya harus lebih peka

    dengan isu-isu dan segala macam kenyataan sosial. Selain itu, perlu pula

    melakukan analisis terhadap fakta-fakta yang ada. Hal ini agar penulisan lebih

    objektif dan penulis lebih bijak dalam memposisikan diri.

    Sebelum menulis opini hendaknya penulis melakukan persiapan. Persiapan

    yang harus dilakukan yaitu: mengenali fakta, update informasi, mengumpulkan

    bahan (baik dari buku, majalah, Koran atau media elektronik), dan menentukan

    gagasan3 (Mengidentifikasi isu, mengidentifikasi persoalan, menentukan topik,

    dan membuat kerangka).

    Perlu diingat, bahwa menulis opini tidak sekedar menuliskan gagasan atau

    argumen saja. Menulis opini berarti mengolah fakta dan data dengan argumen

    penulis secara tepat. Opini hendaknya ditulis dengan solutif. Selain menyediakan

    fakta dan data serta argumen dan kritik penulis, penulis juga harus memberikan

    solusi sebagai saran dari permasalahan yang dibahas.

    ***

    3 Gagasan ini yang harus memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri, dan harga sebuah opini ada

    pada bagian ini.

    6

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    Kuras Bak Air.Penghuni RUSUNAWA UNDANA bekerja sama menguras bak air untuk

    memperbaiki pompa air yang hampir

    seminggu telah rusak, Selasa (28/4).

    7

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    Angkat Air.Para penghuni wanita RUSUNAWA UNDANA terpaksa mengangkat air menuju

    lantai tiga sambil menaiki puluhan anak

    tangga akibat rusaknya Pompa air, Sabtu

    (2/5).

    8

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    Pramuka. Penyematan tanda peserta oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Drs. Sinun Petrus Manuk, sebagai tanda dimulainya kegiatan Kursus Mahir Dasar (KMD) Kepramukaan di Aula Kwarda Jl. Adisucipto Kupang. Pramuka menjadi salah satu persyaratan dalam menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG), Sabtu (2/5).

    9

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    SENTER. Mahasiswa PPG Pendidikan Biologi UNDANA

    melaksanakan peer teaching dengan dibantu cahaya

    senter dari Handphone akibat matinya listrik di Kampus

    PPG UNDANA, Selasa (26/5).

    10

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    MENYETRIKA. Seorang mahasiswi PPG UNDANA sedang menyetrika

    pakaian di salah satu lopo Fakultas Hukum Undana pada malam hari.

    Fakultas Hukum menjadi tempat pelarian bagi para mahasiswa akibat

    listrik yang telah mati selama hampir satu bulan di Asrama Rusunawa

    UNDANA, Minggu (14/6)

    11

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    GAMBAR JURNALISTIK

    Aksi.Mahasiswa PPG UNDANA mendatangi kantor FKIP untuk meminta penjelasan dan solusi dari

    pengelolah PPG terhadap beberapa masalah yang

    dihadapi, di antaranya pemadaman listrik. Tampak

    Pembantu Dekan 1, Dr. Paulus Taek, M.Si, sedang

    memberikan penjelasan kepada mahasiswa setelah

    sebelumnya melakukan diskusi dengan perwakilan

    mahasiswa PPG dari tiap Program studi, Jumad (5/6).

    12

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    Lucia (Maria Marselina Goran, S.Pd. Mahasiswa PPG, Prodi Bahasa Inggris)

    angit gelap. Gelap yang benar-benar hitam dan mencekam. Langit gelap

    itu menyelimuti kota yang kudiami. Aku membenci gelap, gelap yang

    sungguh hadir hampir sekitar delapan jam sehari. Aku membenci gelap,

    gelap inilah yang merenggut terang dan siang yang kusukai. Gelap inilah yang

    membuyarkan niatku untuk berbagi hari denganmu. Aku khawatir, jika kita

    berbagi hari, maka bukan tidak mungkin sesekali kamu akan bergelut dengan

    gelap sementara aku bersukaria dengan terang. Dan sesekali aku berada dalam

    gelap dan tak mampu melihatmu yang jauh disana, di terang yang kusukai. Aku

    tak ikhlas, bila gelap harus kau lewati dalam tangis dan penyesalan. Aku tak

    mampu mendengarnya, bahkan aku berharap sama sekali tak mendengar itu

    sepanjang hidupku. Aku tak ingin, sungguh benar-benar tak ingin melihatnya.

    melihat sayup matamu saja, aku merasa seperti menyakiti diriku sendiri, apalagi

    membiarkanmu dalam gelap. tidak, aku tak pernah melakukannya.

    Aku diam, Lucia pun diam. Kami tak pernah larut dalam diam seperti ini.

    Tapi kuanggap diam ini sebagai parafrase dari pendewasaan yang membuat aku

    dan Lucia mencoba mengerti jalan didepan kami. Jalan yang terus terang

    kuingini sebagai jalan yang sama, dengan langkah kaki yang sama dan pijakan

    yang tetap sama. Namun aku sadari, dua jalan yang berbeda ini seolah-olah

    membiarkan aku dan Lucia memilih di persimpangan. Aku merenung beberapa

    hari, dalam beberapa hari yang kunamai kehampaan. Bukan tanpa sebab

    kehampaan ini menjemput aku diujung logika berpikirku dalam diam yang aku

    dan Lucia sematkan, namun tak terbiasa aku diam dan mendiamkan Lucia seperti

    L

    13

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    ini. Tak terbiasa pula aku membiarkan Lucia mendiamkan aku seperti ini. Takdir,

    seceroboh apa dirimu, sehingga hari sukaku kau renggut dalam diam, merenung

    dan tertekan seperti ini, takdir seolah menari dan membiarkan aku mencaci

    dirinya, tanpa peduli seberapa sakit aku menekan dadaku merasai setiap detik

    dalam kehampaan itu.

    Aku sendiri tak sanggup berkata. Pikiranku buntu, aku tak pernah ingin

    meninggalkan Lucia. Sedetikpun tak pernah, dan kalau boleh aku ingin

    bersamanya seumur hidupku, seumur hidupku untuk berbagi hari. Aku

    menginginkan siang yang sama dan malam yang sama dengannya.

    Sebab dalam siang yang sama aku bisa memandangnya, dan dalam gelap

    yang sama aku terus menggenggam tangannya dan berjalan seperti siang hari,

    tanpa takut gelap, tanpa khawatir akan hitam yang memenuhi tatapan kami. Aku

    ingin melukis kisah yang sesempurna mungkin bersamanya tanpa berpikir

    sedikitpun untuk melukainya. Namun lagi-lagi, gelap benar-benar ingin

    merenggut semuanya. Lucia, maaf... itu smsku. Tak bisa kujelaskan semua

    yang kurasa, dan kuanggap kata maaf itu bisa dimengerti Lucia. Kata maaf itu,

    mungkin juga adalah ucapan selamat tinggalku padanya, meski aku selalu

    menganggapnya ada didalam hatiku. Kuharap, Lucia memaafkanku, dalam

    doanya, dalam hidupnya kelak. Aku membayangkan wajahnya dalam tangisan,

    tidak, itu tak boleh. Lucia adalah gadis kuat dan tegar, dan jika dia menjadi

    rapuh, kuharap itu bukan karena aku. Aku menunggu balasan smsnya, lima

    menit, sepuluh menit, sejam lalu sehari.

    Lucia, gadis manis yang kupacari enam tahun ini. Dia adalah pacarku,

    temanku, sahabatku dan wanita yang kuidam-idamkan. Aku beruntung, karena

    pada waktu itu banyak pria yang menginginkan Lucia namun ia mengaku

    14

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    nyaman bila bersamaku. Kami kuliah dijurusan yang sama, dan itulah kali

    pertama aku bersorak girang dalam hatiku, karena bagiku itu adalah

    kemenanganku atas takdir meski aku dan dia berbeda. Lucia teguh pada

    Tuhannya, dan aku selalu menengadah pada Tuhanku dan itu yang kuyakini

    bahwa Tuhanku dan Tuhanmu adalah wujud yang sama.

    Lucia, bagiku ia adalah cerita tentang takdir yang berpaut, saling

    memperjuangkan dan tentang wanita sederhana nan polos, yang kuimpikan

    menjadi ibu dari anak-anakku kelak. wanita yang memanggilku kakak dengan

    suara pelan. Wanita yang tak pandai berdandan namun tetap cantik dan

    menawan. Wanita yang membagiku sukanya dan tak pernah lelah menceritakan

    sedihnya. Lucia, bagiku adalah telinga yang tak lelah mendengarku

    mengungkapkan semua yang kurasa sembari menguatkanku dengan suara

    pelannya.

    Aku sering mengingatkan Lucia tentang Tuhannya dan sebaliknya ia terus

    mengingatkan aku tentang Tuhanku. Aku tahu, Tuhan milikku dan miliknya

    adalah Tuhan yang sama namun kami berjalan di jalan yang berbeda. Ia

    membangunkanku dengan menelpon setiap pagi untuk sahur dan aku tak pernah

    lupa mengantarnya ke Gereja setiap hari Minggu bahkan dalam setiap organisasi

    keagamaannya. Aku tak ingin membawa Lucia ke tempat aku memuja Tuhanku,

    tempat kebangganku dan menikah disana, dihadapan penghulu dan saksi,

    sementara Luciapun tak ingin mengajakku ke rumah Tuhannya untuk mengikat

    sumpah di altar suci yang ia sakralkan seumur hidupnya. Bertahun-tahun, aku

    mencintainya dengan caraku, tanpa kupeduli semanis apataupun sepahit apa

    akhir yang akan kami dapatkan. Dalam hati kecilku, aku tahu Lucia

    menginginkan gaun putih nan menawan dengan mahkota diatas kepalanya,

    15

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    sementara aku menginginkan jilbab putih nan manis berhiaskan mutiara putih

    berkilauan yang menutupi kepalanya. Namun, akhirnya kusadari ketika gelap itu

    datang. Anggapku, itu terlalu cepat. Aku sungguh membenci gelap. Semakin

    membenci. Gelap inilah yang memisahkan aku dan Lucia. Gelap ini pula yang

    membuat aku tak mungkin lagi bersama Lucia. Karena jika aku memaksanya

    bersama maka Lucia tetap menganggapku gelap, bukan Lucia, namun dunia yang

    mungkin menghakimi kami. Aku menginginkan senja, setidaknya saat senja aku

    masih bisa melihat sedikit terang dan Lucia tak terjebak gelap. Namun, senja

    itupun tak kunjung datang meski aku terus berharap dan menantinya.

    Pacaran beda agama itu hanya ada dua pilihan, jika bukan mengganti

    pacar maka kamu harus mengganti Tuhanmu. Itulah yang kuanggap gelap nan

    pekat. Seandainya Tuhan hanya memberi satu agama saja, maka aku tak pernah

    ingin berada dalam lingkaran ini. Aku ingin berlari dan menjauhi ini, membawa

    Lucia ke tempat dimana dunia tak peduli dan tak memperhitungkan perbedaan

    itu.

    Beberapa Minggu kemudian, Lucia membalas smsku. Lucia mengatakan ia

    lelah memikirkannya, ia lelah dijalan yang kami lewati. Ia tak ingin

    meninggalkanku namun ia lelah bertahan dijalan yang sama-sama kami ketahui

    sebagai jalan buntu. Ia menungguku untuk menemukan seorang kekasih dan

    setelah aku bahagia, ia akan mencari seseorang yang baik untuk dirinya sendiri.

    Tapi aku tak sekejam itu, aku menolak pemikirannya dan berharap keadaan yang

    sebaliknya untuk dia. Aku ingin dia memiliki seorang pria yang mengasihinya,

    melebihi cintaku...aku menginginkan ia mencintai pria itu melebihi cintanya

    kepadaku...aku ingin itu. Aku ingin seorang pria yang berada di jalan yang sama

    dengannya, memberinya gaun putih menawan dengan mahkota indah yang

    16

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    menghiasi kepalanya, mengajaknya melangkah menuju altar diiringi pandangan

    penuh syukur dan mengikat janji disana.

    Dan akhirnya aku melihat senja, bagiku itu adalah selamat tinggal... Terima

    kasih gelap, engkau lebih berkuasa dari siangku. Engkau lebih cepat merenggut

    semua yang kuingini. Kuakui jalanmu, ku terima tantanganmu dan aku mengaku

    kalah dan Lucia Teruslah ke utara, ke jalan yang sesengguhnya harus kau lalui,

    dan aku, akan terus beranjak ke selatan, selatan yang kau hindari. Harapku, bila

    angin telah bertiup perlahan, berjalanlah, Jangan melihatku, sekali lagi jangan,

    ikutilah arah angin Hingga kau temui altar nan suci pengikat janji Aku tak ingin

    melihat sayup dimatamu, jangan, karena sayup matamu itu, tak pernah memberi

    isyarat tentang apa yang sedang berkecamuk dalam hatimu, aku takut, bila salah

    menafsirkannya dan kembali bergulat dengan takdir.... Biarlah aku dan kisah ini

    berbagi dalam gelap, Karena, sekalipun dalam gelap, aku masih ingin melihatmu.

    ***

    17

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    Picturesque

    Oleh: Surya Kencana4

    Bapak sadar, apa yang bapak nasehatkan sekarang ini tidaklah mudah

    untuk mengubah prilaku kalian semua anak-anakku. Karena selama bertahun-

    tahun sebelumnya kalian telah dididik dengan lingkungan yang keras, sedangkan

    kalian bertemu bapak hanya sejenak, saat sekolah saja. Tapi, bapak percaya

    sebuah kemungkinan akan terjadi, bapak yakin hati kalian yang saat ini sedang

    tertutup, pasti memiliki kunci, entah itu kalimat yang berarti ataupun pengalaman

    berharga kalian. Bapak tidak tahu letak kunci kalian ada dimana, tapi seiring

    dengan berjalannya waktu kalian akan menemukannya sendiri, kunci menuju

    kedewasaan menjadi manusia yang dapat menghargai hidup.

    Sudah tujuh belas tahun semenjak aku terakhir kali bertemuPak Yusuf, tapi

    selalu saja kalimat tersebut muncul dalam kepalaku, kalimat yang tidak mudah

    untuk dilupakan. Yah, Pak Yusuf Guru yang bersemangat, penuh motivasi,

    murah senyum dan sabar. Pengabdiannya untuk mengajar amatlah hebat, padahal

    aku tahu ia hanya seorang guru bantu, yang gajinya tidak akan pernah mencukupi

    apapun, bahkan dengan pendapatan pengemis di pasar pun tidak bisa

    dibandingkan, malah membuat sesak dada bila mengetahuinya, orang-orang akan

    menangis mendengarnya, air matanya bisa-bisa menyaingi sungai Kapuas.

    Pak Yusuf mengajarku saat aku duduk di bangku sekolah dasar dulu, di SD

    Hilir, tempat yang jauh dari peradaban kota. Sekolah dengan nasib yang

    mengenaskan, letaknya dekat dengan pasar, bangunan reyot, kumuh, sarang para

    cecunguk pasar, penjahat kecil kelas teri, markas para pencopet pasar, anak

    4 Nama Pena Raditya Ilham Fadilllah, Mahasiswa Pendidikan Sejarah PPG FKIP UNDANA.

    18

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    pedagang curang dan lain sebagainya. Semua citra buruk dan embel-embelnya

    melekat di sekolahku.

    Sekolah kami sekolah bobrok dengan kondisi menghawatirkan, aku teringat

    kawanku Iwan murid tertua dan terdungu disekolahku umurnya sudah delapan

    belas tahun tapi masih duduk di kelas lima SD. Yah meskipun semua kebanyakan

    usia murid-murid di SD Hilir kebanyakan sudah tidak layak lagi untuk disebut

    anak sekolah dasar, tapi Iwan adalah puncak dari kekacauan. Aku sadar usiaku

    sudah dua belas tahun tapi masih di kelas empat, masih mending dibanding si

    Iwan. Teman-temanku sekelasku hanya terdiri dari sebelas siswa saja, tapi

    liarnya tidak pernah terbayangkan.

    Aku masih teringat alasan kenapa orang tua murid-murid memasukkan

    kami ke bangku sekolah dasar, alasannya sederhana agar kami bisa membaca,

    jadi ketika kami ketahuan mencopet dan dikejar massa, jadinya kami tidak

    melarikan diri ke tempat yang salah, seperti pos keamanan gara-gara tidak bisa

    membaca. Atau ditipu sesama pencopet lainnya saat pembagian hasil mencopet

    gara-gara tidak bisa berhitung. Sebenarnya ada satu dua tiga orang tua yang

    memang berniat menyekolahkan anak-anaknya, untuk memperbaiki kondisi

    ekonomi keluarga dimasa depan. Walau sekedar bisa membaca, menulis dan

    berhitung.

    Meskipun demikian masih ada harapan disekolahku itu, dengan hadirnya

    Pak Yusuf Guru bantu yang cintanya besar terhadap murid-muridnya. Pak Yusuf

    berbeda dengan Guru lainnya yang ketika jengkel dengan kami akan langsung

    dimarahi, melakukan tindak kekerasan, menempeleng, memukul kami dengan

    penggaris panjang di betis atau menjemur kami. Pak Yusuf tidak begitu, ia selalu

    sabar, murah senyum, selalu bersemangat. Pernah aku dan teman-teman

    19

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    sekelasku menjahilinya, dengan menyembunyikan papan tulis kelas, tapi ia tidak

    kehilangan akal, ia mengajak kami keluar kelas dan belajar di alam. Hingga

    akhirnya kami mengaku sendiri bahwa kami yang menyembunyikannya. Atau

    ketika kursi duduknya kami sengaja utak-atik agar ketika duduk ia terjatuh, tapi

    hal itu tidak berdampak apa-apa padanya. Padahal ketika ia terjatuh, aku

    yakinPak Yusuf merasa kesakitan, tapi ia acuh saja dan meneruskan

    mengajar.Aku menyadari bahwa apa yang diajarkan dan dinasehatkan oleh pak

    Yusuf menyenangkan, tapi aku dan teman-temanku selalu berpura-pura

    menolaknya. Aku pikir semua guru sama saja, menyebalkan dan sok mengatur.

    Sekali waktu aku dan beberapa teman-temanku sengaja membuntutinya

    agar mengetahui dimana rumahnya, ingin tahu seperti apa kehidupan

    keluarganya, ternyata amat menyedihkan, rumahnya hanya gubuk yang terbuat

    dari bilik-bilik bambu, letaknya empat kilometer dari sekolah, menjorok masuk

    ke dalam gang sempit. Aneh memang bahwa aku sendiri baru tahu dan

    menyadari ada tempat, yang didiami oleh pak Yusuf. Aku tidak berani untuk

    mendekati lebih jauh lagi, takut-takut ketahuan dan bingung mencari alasan

    mengapa aku berada dekat rumahnya.

    Kejadian yang paling kuingat dan merubah cara pandang hidupku terjadi

    pada suatu siang hari. Ketika itu aku dan beberapa temanku sepulang sekolah,

    seperti biasa melakukan operasi. Aku mencopet seorang ibu-ibu di pasar,

    namun naas ketika aku hendak mengambil dompetnya aku ketahuan, ibu itu

    berteriak copet sekerasnya, orang-orang yang ada dipasar langsung

    memandangku, teman-temanku yang lain berhamburan melarikan diri, tapi aku

    yang tertangkap basah tidak bisa kemana-mana. Ibu itu memegang tanganku erat,

    aku sempat melawan tapi tetap saja tidak bisa lepas. Sebenarnya sebagian orang-

    20

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    orang di pasar mengetahui bahwa aku adalah pencopet, tapi semuanya acuh saja

    membiarkan. Aku sering memberi setoran kepada preman dan beberapa oknum

    penjaga pasar, biar aku diberi keleluasaan saat beraksi. Tapi saat kejadian itu, aku

    tertangkap basah, semuanya sia-sia tidak ada yang dapat menolongku. Bahkan

    orang yang mengetahui dan membiarkan aku mencopet, malah menjadikan aku

    bulan-bulanannya. Semua menghajarku, apalagi si Heru, preman pasar yang

    sering kuberi uang rokok, malah ikut-ikutan, apa dia pikir aku ini samsak! Aku

    babak belur, darah amis mengucur dihidungku, luka lebam disana-sini

    membuatku hampir mati. Untung saja ada orang yang menolongku, meredam

    kemarahan orang-orang dan menjinakkannya. Setengah sadar aku melihat sosok

    itu, orang yang kukenal, dia pak Yusuf, setelahnya aku pingsan, dan tidak tahu

    apalagi yang terjadi.

    Setelah beberapa jam pingsan, aku baru tersadar. Ternyata aku berada

    disebuah rumah yang tidak aku kenal. Saat mataku terbuka sebenarnya yang aku

    lihat pertama kali adalah sebuah lukisan pemandangan alam yang ukurannya

    lumayan besar, dimana didalamnya terdapat panorama gunung dan persawahan,

    di tengahnya terdapat sebuah rumah kecil dari gubug, dipinggirnya terdapat

    aliran sungai yang jernih, terdapat seorang lelaki tampak sedang bertani, gambar

    lukisan murah yang sebenarnya biasa dijajakan di pasar, tapi entah kenapa saat

    itu aku nyaman di buatnya. Seorang lelaki setengah baya menungguiku dengan

    cemas, saat mengetahui aku sudah sadar orang itu berucap apakah kamu baik-

    baik saja?. Ketika tersadar ternyata pria tersebut pak Yusuf. baik apanya?

    Babak belur seperti ini masih dibilang baik?. Pak Yusuf hanya tersenyum dan

    berkata untunglah kau sudah siuman. Aku sebenarnya terharu dibuatnya. Tidak

    ada yang menolongku, kecuali pak Yusuf, yang merawatku danrepot-repot

    21

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    membawaku kerumahnya. Aku kesal pada semua orang yang tidak membantuku

    hingga hampir membuatku meregang nyawa. Dalam hati aku bertanya mengapa

    ia mau menolongku, padahal aku sering berbuat kejahatan kepadanya?. Seolah-

    olah ia dapat membaca hatiku, ia pun menjawab menolong itu merupakan

    kewajiban sesama manusia, tidak peduli ia pernah berbuat baik maupun buruk

    terhadap kita. Tuhan akan membalas setiap perbuatan yang kita lakukan. Ini

    sudah kewajiban bapak menolongmu, bapak tahu apa yang kamu lakukan itu

    salah, tapi sikap mereka juga tidak bisa dibenarkan. Bapak tahu sebenarnya kau

    anak yang baik hanya saja situasi dan kondisi yang membuatmu menjadi seperti

    sekarang ini.Tak terasa ternyata mataku berair, aku menangis sejadinya-jadinya,

    kemudian aku menceritakan apa yang terjadi padaku selama ini. Aku bercerita

    tentang banyak hal sambil menangis tersedu-sedu.

    Seusainya rasanya lega, bebanku menjadi ringan. Setelah selesai menangis,

    pak Yusuf pun bercerita untuk menghiburku, ia menceritakan tentang gambar

    lukisan yang menempel di dinding rumahya. Katanya itu merupakan gambar

    kesukaannya, ia memiliki cita-cita untuk memiliki rumah diantara hamparan

    sawah, di belakangnya ada gunung, dimana ia bebas untuk mengelola tanah,

    entah itu dengan bertani atau mengelola kolam ikan, ia tenggelam dalam

    ucapannya. Ia berujar ingin hidup di tempat seperti di lukisannya tersebut. Ia

    ingin hidup secara sederhana, penuh khidmat dan syukur. Ia bukan seorang yang

    silau dengan dunia, yang terpenting baginyakehidupan itu sendiri, dan

    bermanfaat bagi orang lain.

    Yah anak-anakku itulah cerita yang dapat bapak sampaikan kepada kalian

    semua, salah satu bagian dalam hidup manusia. Selalu ada kesempatan untuk

    menjadi lebih baik. Pelajaran selesai, sekarang sudah waktunya pulang, lain kali

    22

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    bapak akan bercerita lagi.

    Aku melihat, semua murid-murid hanya termenung, terlihat ada yang

    matanya berair, tapi mereka semuanya tersenyum. Aku harap mereka dapat

    mengambil hikmah dari cerita yang aku sampaikan, meskipun aku memang

    keluar jalur dari materi pelajaran. Tapi tak apalah bukannya pendidikan itu

    harusnya mengajarkan pada manusia untuk menghargai hidupnya. Bukan sekedar

    memberi informasi, mengenai materi pelajaran yang sudah tercetak dalam buku

    paket dan, murid-murid bisa membacanya sendiri. Tapi pelajaran mengenai

    perjalanan menjadi manusia untuk mencari jati dirinya tidak pernah tercetak

    dalam buku paket manapun.

    Seandainya aku tidak ditolong Tuhan melalui pak Yusuf, aku mungkin

    sudah mati di hajar orang-orang di pasar. Setelah kejadian tersebut aku mulai

    sadar, apa yang aku lakukan bersama teman-temanku sebelumnya salah, aku

    mencoba memperbaiki diri. Tidak beberapa lama kemudian orang tuaku,

    memutuskan untuk pergi ke kota, mencari penghidupan yang lebih layak. Aku

    belajar lagi dari awal untuk mengerti untuk apa aku hidup ini. Akhirnya aku

    memutuskan untuk menjadi guru seperti pak Yusuf, menjadi guru yang mampu

    mengajarkan siswanya untuk mengerti apa hakikat hidup. Kabar terakhir dua

    tahun lalu,kudengar pak Yusuf katanya telah meninggal dunia, aku sedih

    mendengar kabarnya. Jasanya bagiku amat besar. Aku rindu sosoknya.

    Sepulang sekolah, saat dijalan pulang, aku melihat seorang bapak-bapak

    pedagang lukisan memamerkan lukisan-lukisan di sisi jalan trotoar untuk dibeli.

    Aku berhenti sejenak, karena tertarik untuk melihatnya. Aku memilih lukisan dan

    ternyata ada lukisan yang persis dengan lukisan di rumah pak Yusuf dulu.

    Akhirnya untuk mengenang masa lalu, aku putuskan membelinya. Tidak

    23

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    CERPEN

    kusangka ketika aku mencermati gambarnya, lukisan itu seperti hidup.

    Gambarnya begitu nyata, aku melihat gambar sosok petani yang sedang

    mencangkul sawah dalam lukisan tersebut bergerak, hembusan angin sepoi-sepoi

    keluar dari lukisan, dahan-dahan pepohonan di dalamnya pun bergoyang.

    Semakin kucermati, aku terperangah! Ternyata sosok petani dalam lukisan

    tersebut, adalah orang yang amat kukenal. Yah, itu adalah sosok Pak Yusuf, ia

    sedang tersenyum sambil mencangkul sawah. Sepertinya senang sekali

    keadaannya, cita-cita terwujud. Ia hidup sesuai harapannya. Pak Yusuf tidak

    meninggal, hanya saja sekarang ia hidup dalam sebuah lukisan, persis seperti

    keinginannya.

    ***

    24

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    KARIKATUR

    25

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    KARIKATUR

    26

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    PUISI

    Cendana: Pada Lidah Sejarah Ku Buru Wangimu Oleh: Lam Siena

    Sebabeng kau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu

    Serupa udara, wangimu menembus batas gunung juga lautan Di pelosok negeri gurun pasir, Dibalik tembok besar cina hingga kelembah gangga Kala wangimu membuming, keluarlah para lelaki Mata mereka tertuju pada jatuhnya matahari Ketanah diman aengkau mencengkram karang

    Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu

    Seru padara, para lelaki berburu pinangan Maharmu emas dan sutra Lalu atas restu leluhur serta prosesi sederhana Tubuhmu digelinding menuju lambung kapal Menunggu angin untuk berlayar pergi

    Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu

    Serupa dara, wangi tubuhmu terus diburu Dari benua barat berabad-abad silam Laki-laki putih dengan kapal bersama bedil Datang juga di rumah mu.

    Kali ini dengan nafsu mengubun, rakus Rumah rimbamu diobrak abrik, rusak Tubuhmu patah dengan tebasan parang, koyak Menganga luka muja diberbekas, duka

    Lalu Meredup wangimu, semakin jauh Tanah karang mengerang hingga karam Pun tak ada prosesi khusus mengantarmu

    Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu.

    Bila kini tak lagi kucium wangimu Apakah engkau mati? Jika masih ada lagi lelaki yang datang meminangmu Mungkinkah engkau mau mewangi kembali? Sejujurnya aku masih terpesona denganmu. Pada wangimu yang pernah membius jaman

    Sebab engkau primadona Pada lidah sejarah kuburu wangimu

    27

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015

    PUISI

    Pada Kita Kelak

    (Maria Marselina Goran, S.Pd. Mahasiswa PPG, Prodi Bahasa Inggris)

    Padamu

    Pada langkahmu yang kokoh

    Kau berikan kekuatan pada kaki-kaki kecil mereka

    Pada tanganmu

    Kau tuliskan mimpi-mimpi hangat.

    Pada matamu.

    Kau berikan tatapan membara tentang esok

    Dan pada telingamu,

    Kau dengarkan mimpi-mimpi yang tak terucap.

    Padanya,

    Penamu kelak menceritakan tentang dunia

    Dan padanya,

    Penanya kelaK menceritakan tentangmu dan dunia

    Padamu,

    Kertasmu tercoret mimpi mereka

    Padanya

    Kertasnya tercoret kamu diatas mimpi mereka

    Kamulah sang guru

    Dan mereka adalah pemimpi,

    Pada sang guru,

    Sang pemimpi menulis mimpinya

    Pada pena dan kertas

    Pada cakrawala dan awan,

    Pada pagi dan malam

    pada hitam dan putih

    dan pada hari ini dan esok

    pada dunia dan nirwana

    pada tawa dan tangis....

    28

  • B U L E T I N P P G U N D A N A

    JUNI 2015