11
Edisi 01 JUNI 2014

Buletin senthir edisi juni 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Senthir Edisi Juni 2014, hadir dengan tema "Kemiskinan". Semoga memberi seteguk pengetahuan dan pemahaman yang segar. Selamat Membaca..

Citation preview

Page 1: Buletin senthir edisi juni 2014

Edisi 01 JUNI 2014

Page 2: Buletin senthir edisi juni 2014

Pembaca yang budiman dan teman-teman seperjuangan, melalui

proses yang panjang dan penuh dinamika pemikiran yang beragam

akhirnya Senthir edisi kali ini bisa hadir di hadapan anda. Kami hadir

dengan rubrik yang baru, tampilan yang segar dan tata letak yang lebih

menarik. Walaupun untuk masa yang telah lewat Senthir sempat kali

vacum di usianya yang cukup berumur, namun hal itu tak membuat

kami berhenti untuk menghadirkan Senthir di depan mata pembaca

yang budiman.

Untuk edisi kali ini, kami mengangkat tema “Kemiskinan” sebagai

pokok bahasan utama. Berdasarkan forum-forum diskusi yang kami

jajaki dan pergulatan pemikiran di dalam tubuh organisasi, berkepu-

tusan bahwa “perkara kemiskinan merupakan pokok persoalan yang

dihadapi bangsa ini”. Bagi kami problema kemiskinan merupakan dasar

masalah dari segala masalah yang muncul di permukaan.

Dengan azas yang kami yakini, masalah kemiskinan adalah ma-

salah rakyat banyak. Berbicara masalah kebangsaan tak bisa lepas dari

masalah tentang rakyat, dan berbicara masalah rakyat tak bisa lepas dari

masalah yang menimpanya, masalah hidupnya yakni “kondisi hidupnya

yang sampai sekarang masih saja dihantui penderitaan dan kekuran-

gan”. Di tengah kondisi yang penuh ketidakadilan dan penuh penurunan

derajad kemanusiaan, diam adalah sebuah sikap yang dapat di ukur dan

di nilai, ia dapat bernilai “status quo”, juga dapat bernilai

“penghianatan” terhadap gerak realita objektif yang ada. Kita tidaklah

hidup di ruang hampa, kita tidaklah hidup di tengah kuburan yang sepi.

Segala sesuatu dapat “menjadi” karena ia berelasi dengan yang lain.

Senthir memilih mencoba untuk “menerangi” segala yang gelap

tentang perkara kemiskinan. Mencoba memberikan seberkas cahaya

untuk setitik penerangan dan paling tidak tak ada lagi yang digelapkan

serta kegelapan yang dapat membelenggu jiwa untuk menatap masa

depan. Sifat kami dalam menghadirkan konten, bukanlah menyampai-

kan sesuatu yang populis dan bukan pula menghadirkan sesuatu yang di

luar atau melawan arus utama (mainstream). Akan tetapi, kami men-

coba menghadirkan realita yang menimpa rakyat, mengangkat masalah

yang pelik dalam kehidupan rakyat.

Kami akan berusaha menjadi corong suara rakyat, ada bersama

rakyat dan mengangkat masalah-masalah nyata yang di hadapi oleh

rakyat. Azas kami berkata bahwa “penderitaan rakyat adalah spirit per-

juangan”. Di luar semua itu, tentulah kami mempunyai banyak kekuran-

gan dalam menyampaikan konten informasi dan pengetahuan. Untuk

itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari anda agar kami

mampu berefleksi, mengurangi kekurangan, dan mendewasakan

pikiran.

Selamat Membaca..

Salam Redaksi

Pimpinan Umum dan Pemimpin Redaksi

Arjuna Putra Aldino

Pimpinan Perusahaan

M. Maulana Zulkarnaen

Redaksi

Eko Setiawan, Imanudin, Mastono,

Desi, Novri Sihite

Editor

Arjuna Putra Aldino, Novri Sihite

Ilustrasi dan Layout

Mastono, Novri Sihite

Alamat Redaksi

Gg. Tulip No 334 Gatak Rt 10/05

Karangbendo, Banguntapan, Bantul,

D.I Yogyakarta

CP: 087830312225

Email: [email protected]

Page 3: Buletin senthir edisi juni 2014

B adan Pusat Statistik merilis

data kemiskinan berdasar-

kan Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) untuk

tahun 2013. Data tersebut menyebutkan

angka kemiskinan untuk tahun 2013

sebanyak 28,55 juta orang miskin di

Indonesia. Dengan 10,63 juta orang

berada di perkotaan dan 17,92 juta orang

di pedesaan. Artinya angka kemiskinan

berkurang dari 11,66 persen pada tahun

2012 menjadi 11,3 persen di tahun 2013.

Berkurang dari 28,59 juta orang menjadi

28,55 orang miskin di Indonesia.

Badan Pusat Statistik menggunakan

pendekatan yang menghitung tingkat

konsumsi atau pengeluaran (expenditure

approach) sebagai indikator untuk men-

ghitung angka kemiskinan, dengan

asumsi bahwa tingkat konsumsi meng-

gambarkan tingkat kesejahteraan. Arti-

nya pendekatan ini beranggapan bahwa

tingkat konsumsi selalu berkorelasi

positif dengan tingkat kesejahteraan.

Berdasarkan pendekatan ini, garis kemi-

skinan dinyatakan besarnya rupiah yang

dibelanjakan untuk memenuhi kebutu-

han konsumsi setara dengan 2.100 kalori

perkapita per hari ditambah dengan pe-

menuhan kebutuhan pokok minimum,

seperti sandang, perumahan, kesehatan,

pendidikan, angkutan dan bahan bakar.

Peranan komoditi makanan terhadap

Garis Kemiskinan sangatlah besar yakni

73,43 persen (dikutip dari data BPS

2013).

Sehingga pendekatan ini berfokus

pada supply of goods atau ketersediaan

bahan pangan. Namun model pendeka-

tan ini menyimpan sederet kelemahan

yang terkadang luput dari perhitungan.

Pendekatan ini cenderung melewatkan

aspek “akses” dan “kapabilitas”. Metode

Menyoal Kemiskinan: Antara Data dan Realitas

pengukuran kemiskinan yang di kem-

bangkan oleh BPS berakar dari pendeka-

tan Ekonomi Klasik ala Adam

Smith&Malthus dengan perhitungan sis-

tem head counts yang dilakukan dengan

jalan menghitung jumlah individu yang

memiliki penghasilan di bawah standar

layak.

Thomas Pogge (1992) mengklaim

tiga aspek utama yang seringkali tidak

dibidik oleh teori Ekonomi Klasik. Per-

tama, di dalam suatu kondisi masyarakat

tertentu terjadi kemungkinan kesenjangan

kesempatan untuk berkontribusi terhadap

keputusan politis yang berpengaruh terha-

dap kehidupan mereka. Kedua, akibat

ketidakadilan sosial yang mendera be-

berapa kalangan masyarakat dimana

mereka tidak memiliki kesempatan untuk

mendapatkan pekerjaan dan pendidikan

yang baik. Ketiga, seringkali tren pereko-

nomian global justru membuahkan dis-

paritas keuntungan bagi masyarakat-

masyarakat marjinal. Pengertian miskin

dan lapar selama ini diarahkan pada keti-

daktersediaan sumber daya.

Tidak tersedianya sumber daya men-

jadi ukuran yang digeneralisasikan pada

semua kalangan masyarakat. Namun

fakta yang terjadi di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia, masalah

yang terjadi pada dasarnya bukanlah

diakibatkan oleh tidak tersedianya sum-

ber daya melainkan terbatasnya akses

masyarakat terhadap sumber daya terse-

but.

Amartya Sen pun mengungkapkan

bahwa masalah kemiskinan di Negara

Dunia Ketiga seringkali di akibatkan oleh

ketimpangan hak akses atas sumber daya

yang ada bukan ketiadaannya sumber

daya Akses dan fasilitas untuk mem-

peroleh sumber daya seharusnya tidaklah

terbatas hanya untuk segelintir elit,

golongan dan kelas sosial tertentu.

Sehingga jurang kesenjangan tidak

semakin lebar. Akibat dari luputnya

beberapa aspek dalam menganalisa

masalah kemiskinan, data BPS

kerapkali justru bertentangan dengan

kondisi di lapangan.

Sebagai misal, banyaknya

lapisan masyarakat kita yang hanya

memiliki kemampuan sebagai buruh

kasar. Kapabilitasnya sebagai buruh

kasar mempengaruhi sulitnya men-

cari pekerjaan yang lebih baik, men-

dapatkan upah dengan standar lebih

tinggi, dan harga komoditas yang

dapat ia beli. Dengan pendekatan

yang di gunakan oleh BPS, seakan

masalah kemiskinan hanya sekedar

perkara daya beli karena fokusnya

selalu pada supply of goods. Se-

hingga kebijakan yang sering mun-

cul dalam menanggapi angka kemi-

skinan yang ada, yakni memanipu-

lasi tingkat daya beli masyarakat,

seperti mempemudah akses kredit

konsumsi (kredit otomotif, property,

dll), impor barang dan bantuan lang-

sung tunai (BLT), yang kebanyakan

menguntungkan pasar industri besar

dan meciptakan pertumbuhan eko-

nomi yang semu. Kebijakan eko-

nomi yang lebih mengedepankan

pertumbuhan ekonomi, membawa

konsekuensi kepada kebijakan-

kebijakan ekonomi dan politik yang

cenderung memihak kepada ke-

pentingan pemilik modal, baik asing

maupun domestik.

Padahal konsumsi atas suatu

barang/komoditas tidak dapat dilihat

sebagai berjalannya sistem keadilan

yang menjamin setiap individu

Edisi 01 ║ Juni 2014

FOKUS

1

Page 4: Buletin senthir edisi juni 2014

FOKUS

Edisi 01 ║ Juni 2014

untuk meraih well being. Realitas kemiskinan

tidaklah sederhana. Ia tak dapat dipahami

hanya dari sederet angka tentang seberapa

besar jumlah orang yang tingkat biaya kon-

sumsinya tidak mencapai "garis kemiskinan".

Kenyataan yang ada jauh lebih jauh lebih ru-

mit. Kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai

realitas sepi. Realitas kemiskinan selalu meru-

pakan akibat dari sesuatu, dan sesuatu itu

datang di luar yang bersangkutan. Masalah

kemiskinan seharusnya dipandang dari per-

spektif hak. Kaum miskin selalu menempati

wilayah perkotaan yang kumuh. Akses air

bersih tidak memadai, tempat tinggal tidak

layak, tidak ada jaminan kesehatan dan pen-

didikan, tidak ada akses pendaftaran kepen-

dudukan, serta tidak ada jaminan keamanan

dalam menjalankan pekerjaannya.

Sebagai warga negara, mereka harus men-

jalani kehidupan yang tidak bermartabat.

Ketika kaum miskin berjuang mencari pen-

ghidupan dan menciptakan pekerjaan, misal-

nya sebagai pedagang kaki lima, mereka ser-

ingkali menjadi obyek penertiban, dan acap

kali juga mengarah pada perampasan harta

kaum miskin oleh petugas penertiban. Situasi

yang sama terjadi di kalangan petani miskin

yang tidak bertanah dan memiliki tanah

kurang dari 0,2 hektar. Selama ini juga tidak

tampak kebijakan yang menyelesaikan ketim-

pangan pemilikan dan penguasaan tanah. Di

tengah tangis kemiskinan dan bercokolnya

ketidakadilan seperti itu, Negara justru tidak

ada untuk mereka kaum miskin. Negara kini

hanya menjadi penjaga pasar bebas dan pe-

layan kepentingan korporasi.

Negara sebagai penguasa tertinggi sering-

kali diragukan keberpihakannya, dalam seng-

keta tanah misalnya, Negara justru tidak berpi-

hak pada rakyat kecil. Di sektor perkebunan

saja, proyek pemerintah mengalokasikan tanah

untuk perkembangan perkebunan besar kelapa

sawit telah menyebabkan sampai tahun 2004

seluas 6.059.441 hektar tanah di kawasan

perdesaan telah dikontrol oleh perusahaan

besar perkebunan kelapa sawit di berbagai

tempat di Indonesia (Afrizal, 2011).

Sebagai konsekuensinya tentulah aktor

yang paling bertanggung jawab atas akibat-

akibat negatif dari semua itu adalah negara

itu sendiri. Negara adalah aktor pengatur

utama dan mengatur banyak hal dalam ke-

hidupan sosial. Di atas kondisi demikian

aparatur Negara justru seingkali terlihat me-

mainkan pemburuan rente (rent seeking),

dengan memanfaatkan kontrol atas sumber-

daya ekonomi yang diberikan pemerintah

kepada kelompok usaha besar, seperti pem-

berian hak monopoli usaha, pemanfaatan

lahan, yang ditujukan untuk memaksimum-

kan keuntungan bagi pejabat negara.

Akibatnya Negara justru mempersempit

akses rakyat kecil terhadap sumber-sumber

ekonomi. Negara terlihat seperti pemangsa

ganas bagi rakyatnya. Negara kerapkali di-

pandang oleh elit politik dan elit ekonomi

hanya sebagai “batu loncatan” mereka untuk

meraih sukses dalam dunia usaha dengan

mengandalkan monopoli yang dibagikan

negara, sehingga mereka akan mampu masuk

dan bersaing dalam sektor bisnis strategis.

Mereka mengharapkan negara akan mem-

berikan konsesi dalam bisnis kehutanan,

lisensi impor barang konsumsi, hak distri-

busi barang-barang kebutuhan pangan, ter-

masuk memfasilitasi kontrak untuk memban-

gun sektor property dan lainnya. Hal ini

membawa bangsa kita layaknya kembali

pada era penjajahan. Dimana penguasa

pribumi (raja dan tuan tanah) “berkuasa” atas

rakyat secara langsung, dan menjadi bagian

utuh dari pemerintah negara jajahan bentu-

kan belanda.

Mereka berpihak pada pemerintah Hin-

dia Belanda dan mempermudah akses penin-

dasan, serta melakukan praktek penghisapan.

Belanda memberikan dan melindungi hak-

hak istimewa para raja dan bangsawan feo-

dal, asalkan mereka bersedia tunduk dalam

kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Mereka meraih keuntungan di

tengah penderitaan rakyat.

Penguasa pribumi hanya organ

kekuasaan negara jajahan di

tingkat lokal yang menjadi

bagian utuh dari negara jaja-

han yang terpusat di Batavia

bahkan global dan mengefek-

tifkan penghisapan feodal agar

memperoleh super-profit dari

tanah Hindia Belanda.

Fenomena diatas mem-

punyai kesamaan pola walau

terkadang berbeda bentuknya

dengan kondisi saat ini. Pe-

merintah saat ini selalu men-

ganggap perampokan sumber

kekayaan alam dari tangan

rakyat dalam bahasa resmi

pemerintah dimaknai sebagai

usaha meningkatkan penana-

man investasi untuk menjaga

pertumbuhan ekonomi, men-

ingkatkan kesejahteraan dan

mengurangi pengangguran.

Akhirnya cita-cita untuk mem-

bebaskan bangsa ini dari kemi-

skinan dan ketidakadilan

kerapkali harus berhadapan

dengan kebijakan pemerintah.

Peran Negara seharusnya

menghormati, melindungi, dan

memenuhi hak-hak dasar kaum

miskin, dengan melakukan

tindakan yang nondiskrimi-

natif. Dengan demikian untuk

mempersoalkan masalah kemi-

skinan dan pemiskinan tidak-

lah sekedar perkara gotak-

gatuk angka layaknya di dalam

laboratorium yang bebas ku-

man namun haruslah melibat-

kan kaum miskin! (Redaksi)

2

Page 5: Buletin senthir edisi juni 2014

K redit Usaha Rakyat

(KUR) merupakan salah

satu program pemerin-

tahan SBY yang mulai

diluncurkan tahun 2007 melalui In-

struksi Presiden No. 6 Tahun 2007

tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebija-

kan Percepatan Pengembangan Sek-

tor Riil dan Pemberdayaan UMKM

dan Nota Kesepahaman Bersama

antara Pemerintah, Perbankan dan

Perusahaan Penjaminan pada tang-

gal 9 Oktober 2007. Pemerintah

menujuk 6 bank pelaksana KUR

yakni Bank BRI, Bank Mandiri,

Bank BNI, Bank BTN, Bank Bu-

kopin dan Bank Syariah Mandiri

sebagai penyalur dana KUR ke

masyarakat.

Berdasarkan data yang dilansir

oleh Kementerian Koperasi dan

UMKM, dari 6 bank pelaksana KUR,

Bank BRI merupakan penyalur terbe-

sar yakni sebanyak 1,5 juta debitor

atau 96,17 persen. Kemudian diikuti

oleh Bank Mandiri sebanyak 36.974

debitor (2,52 persen), BNI 8.982 debi-

tor (0,61 persen), Bank Syariah

Mandiri sebanyak 5.956 debitor (0,43

persen), dan Bank Bukopin sebanyak

2.952 debitor (0,2 persen). Program

KUR menawarkan pinjaman hingga

Rp 500 juta. Saat program KUR terse-

but diluncurkan, pemerintah gencar

mempromosikan bahwa KUR sebagai

kredit tanpa agunan (jaminan) atau

kredit yang dijamin oleh pemerintah.

Secara konseptual, program ini

dirancang dengan pola penjaminan

asuransi kredit yakni pemerintah

menyuntikan dana kepada dua BUMN

yaitu PT. Askrindo dan Perum Jami-

nan Kredit Indonesia (Jamkrindo) se-

bagai penjamin kerugian bank apabila

KUR tersebut bermasalah dengan pola

70% dari nilai kredit merupakan tang-

gungan pemerintah (Askrindo dan

Jamkrindo), sedangkan 30% sisanya

menjadi risiko Bank pelaksana KUR.

Namun fakta dilapangan, Bank justru

meminta agunan kepada peminjam dalam

bentuk BPKB atau sertifikat tanah.

Syarat adanya agunan (jaminan)

merupakan hal yang tidak dimungkinkan

program KUR bisa di akses oleh rakyat

kecil seperti pedagang kaki lima, peda-

gang kecil dan pedagang asongan.

Seperti yang diungkapkan oleh Nurhayati

seorang pedagang rokok asongan di seki-

tar kampus UGM, “Saya cuma pedagang

asongan, tidak punya apa-apa untuk jadi

jaminan jika saya ditawarkan pinjaman

modal dari Bank (KUR)”, tandas Nurha-

yati. Fakta tersebut menjadi bertentangan

dengan janji pemerintah bahwa adanya

KUR bermaksud untuk membantu

berkembangnya usaha kecil tanpa

agunan. Begitu pula yang terjadi pada

David seorang tukang reparasi Jok se-

peda motor di sekitar Jalan Colombo,

“Jaminan BPKB atau sertifikat tanah

sangat berat buat saya, wong saya cuma

tukang jok”, keluh David.

Namun alasan pihak Bank

meminta agunan kepada nasabah

adalah sebagai bahan guna memper-

timbangkan kelayakan dan kesanggu-

pan calon nasabah menggunakan KUR

atau untuk menghindari kredit macet.

Padahal dalam promosi program

KUR pemerintah berjanji apabila

KUR tersebut bermasalah atau men-

galami kredit macet maka 70% dari

nilai kredit merupakan tanggungan

pemerintah yakni PT Askrindo dan

Jamkrindo. Ketika terbukti bahwa

program KUR sulit di akses oleh

masyarakat kecil, di lain sisi Ke-

menterian Koperasi dan UKM men-

ingkatkan target penyaluran kredit

usaha rakyat atau KUR 25% untuk

realisasi tahun ini sekitar Rp 31,6

triliun. Lantas, siapakah yang menik-

mati program KUR?

Janganlah sampai keluarnya ang-

garan negara sedemikian besar tidak

menetes ke masyarakat bawah. Kebi-

jakan yang digadang-gadang pro

rakyat terbukti tidak sampai di tangan

rakyat. Kebijakan ekonomi yang dike-

luarkan dengan menggunakan justifi-

kasi ”demi kepentingan rakyat”, pada-

hal kebijakan tersebut sejatinya hanya

menguntungkan kelompok - kelompok

tertentu. (Juna/Eko)

KUR : Menguntungkankah bagi Kaum Marhaen?

KABAR MARHAEN

Edisi 01 ║ Juni 2014

3

Page 6: Buletin senthir edisi juni 2014

P ada tanggal 20 Juni 2014

bertempat di Sekretariat

Dewan Pimpinan Cabang

Gerakan Mahasiswa Na-

sional Indonesia (GMNI), Jalan gatak

Gang Tulip no 433, Banguntapan, Ban-

tul, Daerah Istimewa Yogyakarta, se-

buah pelatihan seni membuat “Wayang

Suket” digelar. Pelatihan yang digelar

pada pukul 20.00 tersebut ternyata

menarik banyak minat baik kader mau-

pun non kader GMNI.

Tataoweeng, salah satu mahasiswi

Fakultas Hukum UII pun menyempat-

kan hadir untuk mengikuti pelatihan

tersebut. Bung naen, penanggungjawab

pelatihan ini ketika dikonfirmasi di

sekretariat menyampaikan bahwa pe-

latihan ini pada mulanya tidak diper-

siapkan dengan matang,

Dan kita harus mulai kreatif dalam

memberikan kesibukan bagi masyarakat

saat ini. Pada pelatihan itu, para peserta

diajarkan untuk membuat wayang dari

suket (rumput). Dalam proses merangkai

wayang suket peserta dipandu oleh Novia

Kristiani, salah satu penggiat seni wayang

suket di Yogyakarta, dan selanjutnya pe-

serta dibiarkan untuk mencoba membuat

karyanya sendiri tanpa dipandu. Pelatihan

menjadi semakin seru ketika bung kendy,

salah satu peserta berhasil menyelesaikan

karyanya, kompetisi pun tak terhindarkan.

Peserta semakin berlomba-lomba un-

tuk membuat wayang dengan cepat dan

rapi. “Lain waktu, saya akan belajar mem-

buat wayang dengan bentuk yang berbeda,

yang unik dan mencirikan pribadi saya”

tutur bung naen yang juga asyik membuat

wayang suket.

Antusiasme juga muncul dari diri pe-

mandu pelatihan ini. Novia menuturkan

bahwa dirinya merasa perlu untuk mengge-

luti dan mengajarkan wayang suket.

“Wayang suket ini merupakan tradisi

masyarakat lokal, khususnya jawa, dan ini

merupakan pelestarian dari mainan anak-

anak yang sudah tergeser oleh perkemban-

gan teknologi terutama dalam hal per-

mainan tradisional, sehingga anak-anak

mulai meninggalkan permainan tradisional

yang tidak kalah serunya sebagai ajang

bersosial, tidak seperti permainan

sekarang yang cenderung instan,

berkonotasi kekerasan, dan membuat

diri anak menjadi individualis” tu-

turnya, “tidak kalah seru dari mainan

‘jaman sekarang’ karena mengasah

kreativitas untuk bisa berkreasi me-

lalui bentuk wayang”.

Diakhir wawancara, novia juga

menyampaikan pesan bahwa latihan

membuat wayang suket jangan dijadi-

kan untuk mengklaim kesenian ini

milik siapa, atau ingin memiliki hak

paten terhadapnya kalo sudah bisa.

“Wayang suket diajarkan untuk

mengingatkan kita, betapa kaya wari-

san leluhur kita yang boleh dimiliki

siapa saja sebagai sarana pendidikan,

berkesenian, pengembangan kreativi-

tas, dan pembentukan identitas/jatidiri

sebagai penghuni nusantara” tutupnya.

(Zul/Juna)

WARTA GMNI

GMNI Belajar Wayangan

Edisi 01 ║ Juni 2014

4

“Saya cuma iseng-iseng aja pengen

ngisi waktunya temen-temen dengan

sesuatu yang fun, Tapi ternyata

antusias kawan-kawan untuk ikut

belajar membuat wayang suket cukup

tinggi, Mungkin kita akan kembangkan

pelatihan ini untuk anak-anak

disekitar sini”

Page 7: Buletin senthir edisi juni 2014

D alam rupanya yang

paling termutakhir,

k a p i t a l i s m e

b e r t r a n s f r o m a s i

menjadi apa kita sebut sebagai

neoliberalisme. Secara esensial tidak

banyak perbedaan diantara kedua hal

tersebut. Namun sebelum kita

beranjak lebih lanjut, alangkah

baiknya kita mengklarifikasi apa itu

neoliberalisme?

Neoliberalisme merupakan pa-

ham dalam sistem kapitalis yang pal-

ing ekstrem, menekankan mini-

malisasi peranan pemerintahan dalam

ur u s a n e ko no mi d a n me n-

yerahkannnya kepada pasar. Neolib-

eralisme percaya bahwa pasar dapat

mengurus dirinya sendiri. Bentuk-

bentuk inteverensi pemerintah tentu

saja dianggap sebagai ancaman terha-

dap kebebasan, dalam pengertian

mengganggu kebebasan pasar

(Sangaji, 2013).

Tesis dasarnya adalah perpaduan

antara paham liberalisme dan doktrin

pasar bebas dalam tradisi ekonomi

neoklasik (Sangaji, 2013). Seperti

yang telah diketahui, liberalisme me-

rupakan paham yang menjunjung

tinggi kebebasan dan hak setiap indi-

vidu. Sementara doktrin pasar bebas

dalam tradisi ekonomi neoklasik

mendapat inspirasi dari liberalisme.

Pada perkembangan selanjutnya, hal

tersebut menjadi cikal bakal lahirnya

sistem ekonomi kapitalis, dan dalam

rupanya di masa kini, yakni neoliber-

alisme.

Dalam paham liberalisme-klasik,

manusia dianggap sebatas makhluk

ekonomi (homo economicus) hanya

dalam kegiatan ekonomi. Manusia

d i a n g g a p b e b a s me m e n u h i

k e b u t u h a n n y a b e r d a s a r k a n

kepentingan diri melalui kompetisi

pasar. Pemerintah terdistorsi

maknanya hingga sebatas dianggap

sebagai fasilitator. Tugas pokok

pemerintah adalah melindungi

kebabasan melalui penegakkan

hukum dan ketertiban, memperkuat

kontrak-kontrak swasta, dan akhirnya

menjamin jalannya perekonomian pasar

(Sangaji, 2013). Di Indonesia sendiri, sejak

runtuhnya orde lama d ibawah

kepemimpinan Soekarno, dan digantikan

dengan berdirinya kekuasaan orde baru

dibawah kepemimpinan Soeharto, benih-

benih agenda neoliberalisme mulai

tumbuh.

Masuknya paham neoliberalisme

adalah melalui sejumlah kebijakan atau

regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah

Indonesia. UU No.1/1967 tentang

Penanaman Modal Asing merupakan salah

satu contoh untuk menggambarkan titik

masuk para investor kapitalis asing di

Indonesia. Tentulah upaya menebarkan

paham Neoliberalisme bukannya tanpa

dorongan dari pihak luar. IMF dan Bank

Dunia, bersama negara-negara kapitalis

Barat memainkan peran penting dalam

agenda Neoliberalisme di seluruh dunia.

Dalam bidang ekonomi dan kehidupan

masyarakat dapat kita saksikan fenomena

yang biasa kita sebut sebagai kemiskinan.

Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan selalu

berorientasi pada kepentingan pasar, atau

lebih spesifik, kepada para pemodal.

Privatisasi sumber daya alam, pemotongan

subsidi, reformasi perpajakan, reformasi

pengupahan, komersialisasi pendidikan

berserta kesehatan, merupakan segala tu-

runan dari motif dasar neoliberalisme,

yakni kebebasan mengejar kepentingan

diri. Individualitas diatas segalanya, se-

hingga wacana mengenai kolektivitas, soli-

SUARA KADER

NEOLIBERALISME, POLITIK, DAN SOSIO-DEMOKRASI

Edisi 01 ║ Juni 2014

tugasnya untuk memberikan direksi

dan mengeluarkan regulasi. Di sini,

sifat pemerintah berupaya men-

yediakan panduan dan melakukan

intervensi sehingga bertabrakan

dengan sifat ekonomi yang memper-

cayai pasar bisa bekerja secara

mandiri.

Selanjutnya, politik juga men-

galokasikan nilai-nilai. Konsep nilai

dalam politik tidak seperti nilai

dalam ekonomi yang dimaknai seka-

dar efisiensi/laba. Dalam politik,

nilai itu bekerja berdasarkan norma-

norma yang hidup di masyarakat,

seperti perlunya pemerataan atau

keadilan pembangunan. Pada titik

ini barangkali cukup tepat untuk

mendudukan suatu sistem lain seba-

gai sebuah alternatif, khususnya

bagi negara Indonesia.

Adalah gagasan Soekarno,

yakni Sosio-Demokrasi, suatu sis-

tem ekonomi politik yang menghen-

daki perekonomian yang bercorak

kolektivitas, dengan demikian berla-

wanan dengan sistem kapitalisme

maupun neoliberalisme. Dalam

sosio-demokrasi termuat dimensi

politik dan ekonomi, yang mana

ekonomi subordinat terhadap

politik. Ini berarti sesuai dengan

esensi politik yang sudah diuraikan

sebelumnya, yaitu politik sebagai

pemerintah, otoritas yang mengalo-

kasikan nilai, dan publik.

Dengan begini, ketika politik

dan ekonomi ditempatkan dalam

kerangka sosio-demokrasi, segala

kebijakan atau regulasi dapat

diarahkan pada kesejahteraan ber-

sama. Neoliberalisme yang mengge-

jala di bumi Indonesia dapat kita

lawan dengan suatu sistem, yang

mengutip Gatut Saksono sebenarnya

sudah pernah kita miliki, yaitu sosio

-demokrasi, marhaenisme.

Mohammad Imanudin,

Komisaris Filsafat UGM

5

Page 8: Buletin senthir edisi juni 2014

M e n d e n g a r i s t i l a h

kemiskinan, selain tak

asing lagi di telinga, hal

itu kita anggap dekat dan kita kenal

akrab di sekitar kita. Ketika

berbicara tentang kemiskinan tentu

yang ada di benak kita adalah aspek

yang tak asing lagi yaitu ekonomi.

Aspek ekonomi kerap kali menjadi

barometer segala sesuatu yang

berkaitan dengan aspek kehidupan

kita, begitu pula yang dilakukan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam

m e n i l a i k e m i s k i n a n y a i t u

menggunakan konsep basic needs

approach atau kemampuan memenuhi

kebutuhan.

Menurut BPS ada lima kriteria

terkait dengan kemiskinan yaitu

kategori “tidak miskin”, “hampir tidak

miskin”, “hampir miskin”, “miskin”

dan “sangat miskin”. Kelima kriteria

ini didasarkan pada pengeluaran

belanja per orang per bulan. Jika

direnungkan kembali , apakah

indikator yang digunakan sudah

sesuai mengingat masih banyak orang

-orang suku pedalaman di Indonesia?

Mereka tidak memiliki penghasilan

apalagi melakukan pengeluaran.

Mereka tidak berpendapatan

seperti masyarakat perkotaan, akan

tetapi mereka mampu memenuhi

kebutuhan dasar tanpa harus membeli

ataupun membayar karena semua

tersedia di alam. Dengan demikian

apakah pantas mereka disebut sebagai

miskin sedangkan mereka hidup di

daerah yang kaya? Agaknya hal ini

menunjukkan bahwa kemiskinan

bukanlah bersifat alamiah akan tetapi

cap yang diberikan oleh sekelompok

berkepentingan terhadap pihak yang

ingin dipengaruhi.

Term kemiskinan sendiri dapat kita

maknai sebagai akumulasi dari subjek yang

di’miskin’kan dalam suatu wilayah, yang ini

berarti setiap daerah diukur menggunakan

ukuran yang sama. Adanya kemiskinan

ialah hanya sentimen si ‘kaya’ terhadap

sekelompok masyarakat yang mampu

memenuhi kebutuhannya tanpa harus

membeli dan tanpa hak milik pribadi seperti

misalnya di hutan atau desa dimana

masyarakatnya secara swadaya memenuhi

kebutuhan dasarnya. Diduga term ini

sengaja diciptakan sebagai tuntunan

perubahan pola pikir dan mental dari

‘seadanya’ menjadi ‘sebanyak-banyaknya’.

Pada akhirnya kesejahteraan bukan

diukur dari pemenuhan kebutuhan akan

tetapi kemampuan menggali lebih banyak

dan memiliki lebih banyak dan homo

economicus mulai berlaku. Dengan

demikian niscaya tidak akan ada

kesejahteraan sosial jika masing-masing

individu mengukur segala sesuatu hanya

dengan aspek ekonomi. Jiwa spiritual pun

hilang ketika di hadapkan dengan indikator

buatan kolonial. Sebagai warga yang tinggal

di negara yang dianggap memiliki angka

kemiskinan yang cukup besar seharusnya

kita lebih kritis terutama mengenai

pelabelan kemiskinan yang diterapkan,

apalagi jika melihat suatu survei

yang mengatakan bahwa dalam

kurun waktu tertentu kemiskinan

di Indonesia berkurang tiap

tahunnya, itu jelas terjadi apabila

inflasi tetap berlangsung jika

mampu memenuhi kebutuhan

tanpa membeli bahkan bisa

mengambil langsung dari alam

dapatkan kita dikatakan miskin?

Yang terjadi sekarang ialah

p e r a m p a s a n a l a m y a n g

menyebabkan kita percaya

sungguh akan cap yang diberikan

dan kemiskinan menjadi niscaya

terjadi di negeri ini.

Lagi-lagi kita tidak boleh

patuh begitu saja dengan apa yang

diyakini dunia secara universal

tapi menanyakan darimana asal

semuanya itu diciptakan. Ketika

cap miskin sudah dilekatkan maka

setiap miskin dibentuk memiliki

mental pengemis dan selalu

merasa berkekurangan. Dengan

begitu seberapa banyak bantuan

yang diberikan tak akan pernah

cukup. Padahal yang perlu

diberikan pada si ‘miskin’

bukanlah bantuan tunai yang

diberikan pemerintah seperti

sekarang melainkan revolusi

sistem pemerintahan secara

menyeluruh untuk mencapai cita-

cita bangsa yang tercantum dalam

Pancasila.

Novia Kristiana,

Pegiat Wayang Suket

di Komunitas

Wayang Benges

PODIUM

Label Kemiskinan Ala Barat

Edisi 01 ║ Juni 2014

6

Page 9: Buletin senthir edisi juni 2014

Kita berbicara kemiskinan

Di saat mulut dibiarkan asam

Perut keruyukan minta makan

Kita berbicara kemiskinan

Di saat dalam pikiran bertanya-tanya

Mau bagaimana besok melanjutkan

hidup

Beras habis

Air minum tinggal segelas

Rokok tak terbeli

Ini kesunyian, ini kesepian

Kita berbicara perjuangan

Langkah strategi, gerak menuju

revolusi

Di saat logistik mahal

Di saat pagi hari kita habiskan den-

gan teh dan gandum

Mencari ke-Indonesia-an di kolong

meja

Di lembar-lembar buku bertuliskan

“Seri Pemikiran Nasional”

Kita berbicara kemiskinan

Di tengah hidup kedua orangtua mi-

skin

Ini kesunyian, ini kesepian

Kita berbicara perjuangan melawan

kemiskinan

Di saat teori tak selesai kita baca

Buku tak mampu terbeli

Bahkan digadai dengan sepiring nasi

Kita berbicara perlawanan

Di saat musuh semakin pintar

Sementara kita tak hargai teori

Kita berbicara kemiskinan

Dalam lamunan menjadi orang kaya

Dengan tontonan motivasi menuju

kesuksesan

Kita sendiri pun lupa menelaah kata

Membongkar makna di balik

“sukses”

Ini kesunyian, ini kesepian…

Kita berbicara kemiskinan

Perjuangan

Perlawanan

Revolusi

Di saat massa kita sibuk mencari

makan

Kita berbicara kemiskinan

Perjuangan

Perlawanan

Revolusi

Sudah ingatkah kita harus menghen-

tikan kesunyian?

PUJANGGA

Berbicara Kemiskinan

Oleh: Mastono

Namun kata-kata mereka

Hanya isapan janji yang penuh ilusi

Mereka ingat rakyat

Ketika mereka juga ingat dollar dan

kursi

Mereka teriak kesejahteraan

Namun rakyat di tinggal di pinggir

jalanan

Mereka teriak keadilan

Namun mereka justru menawarkan

jeruji besi

Ketika rakyat harus mencuri demi

sesuap nasi

Dimanakah engkau wahai rezeki?

Apakah engkau tertimbun di gedung-

gedung pencakar langit itu?

Ataukah engkau hanya berputar di

jalan yang itu-itu saja wahai

rezeki?

Dulu gedung sekolah menjanjikan

kata kesuksesan dan para pemim-

pin menjanjikan kata kemakmuran

Namun kata-kata itu tak lagi nam-

pak pada alunan kehidupan.

Sungguh berbahaya wahai kau

“kata-kata”.

Kau mampu membelenggu jiwa

anak manusia. Jiwa yang sedang di

timpa penderitaan dan kehinaan.

Kata “rakyat” ada di sana-sini

Ada di gedung pencakar langit

Ada di dalam seminar publik

Sampai di kampanye partai politik

Namun rakyat masih saja ada di

kolong jembatan

Dan hidup meringkik

Mungkinkah rakyat hanya menjadi

bulan-bulanan

Bulan-bulanan untuk menumpuk

sumber rezeki?

Para penguasa negeri pura-pura

buta tuli

Saat rakyat lapar dan sakit

Mereka pura-pura ikut prihatin

Edisi 01 ║ Juni 2014

Senandung Kawula Negeri

Oleh : Arjuna Putra Aldino

7

Page 10: Buletin senthir edisi juni 2014

JENAKA

Si “JAGUR” Episode 1 : “Membangun Demokrasi Rasional, Pemilih Cerdas”

Edisi 01 Juni 2014

8

Page 11: Buletin senthir edisi juni 2014