77
BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa bangunan gedung sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia karena berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya; b. bahwa bangunan gedung baik konstruksi maupun tata letaknya harus dapat memberikan kenyamanan dan keamanan bagi kehidupan masyarakat dan perlu disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta disesuaikan dengan daya dukung serta daya tampung lingkungan; c. bahwa dalam rangka pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung di Wilayah Kabupaten Pekalongan sesuai Pasal 105 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung perlu pengaturan bangunan gedung dalam Peraturan Daerah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung. Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

BUPATI PEKALONGAN...Kabupaten Pekalongan Tahun 2008 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 7); 27. Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BUPATI PEKALONGAN

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN

    NOMOR 1 TAHUN 2013

    TENTANG

    BANGUNAN GEDUNG

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    BUPATI PEKALONGAN,

    Menimbang : a. bahwa bangunan gedung sebagai wujud fisik hasil

    pekerjaan konstruksi merupakan kebutuhan mendasar

    bagi manusia karena berfungsi sebagai tempat manusia

    melakukan kegiatannya;

    b. bahwa bangunan gedung baik konstruksi maupun tata

    letaknya harus dapat memberikan kenyamanan dan

    keamanan bagi kehidupan masyarakat dan perlu

    disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta

    disesuaikan dengan daya dukung serta daya tampung

    lingkungan;

    c. bahwa dalam rangka pembinaan penyelenggaraan

    bangunan gedung di Wilayah Kabupaten Pekalongan sesuai

    Pasal 105 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005

    tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28

    Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung perlu pengaturan

    bangunan gedung dalam Peraturan Daerah;

    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

    dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan

    Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung.

    Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945;

  • 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang

    Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam

    Lingkungan Provinsi Jawa Tengah;

    3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

    Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

    4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang

    Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan Mengubah

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang

    Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam

    Lingkungan Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2757);

    5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun

    1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik

    lndonesia Nomor 3209);

    6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa

    Konstruksi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun

    1999 Nomor 54,Tambahan Lembaran Negara Republik

    lndonesia Nomor 3833);

    7. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

    Gedung (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2002

    Nomor 134,Tambahan Lembaran Negara Republik

    lndonesia Nomor 4247);

    8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

    lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran

    Negara Republik lndonesia Nomor 4438) sebagaimana telah

    diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang

    Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

    lndonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran

    Negarra Republik lndonesia Nomor 4844);

  • 9. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

    Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

    10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

    Ruang (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007

    Nomor 68,Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia

    Nomor 4725);

    11. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

    Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

    12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

    (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor

    140, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia

    Nomor 5059);

    13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan

    dan Permukiman (Lembaran Negara Republik lndonesia

    Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5188);

    14. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

    Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252);

    15. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1986 tentang

    Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II

    Pekalongan dari Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II

    Pekalongan ke Kota Kajen di Wilayah Kabupaten Daerah

    Tingkat II Pekalongan (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 1986 Nomor 70);

    16. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah

    Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988

    Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3372);

    17. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun1988 tentang

    Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II

    Pekalongan, Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan dan

    Kabupaten Daerah Tingkat II Batang (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 42, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3381);

  • 18. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang

    Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata

    Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor

    69 ,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    3373);

    19. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang

    Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor

    132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3776);

    20. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang

    Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Tahun

    2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956);

    21. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun

    2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara

    Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 83 ; Tambahan

    Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4532);

    22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

    Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

    Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah

    Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2007 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4737);

    23. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

    Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara

    Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan

    Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4833);

    24. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang

    Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara

    Republik lndonesia Tahun 2010 Nomor 21,Tambahan

    Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5103);

    25. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin

    Lingkungan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun

    2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik

    lndonesia Nomor 5285);

    26. Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 8 Tahun

    2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi

    Kewenangan Pemerintahan Daerah (Lembaran Daerah

    Kabupaten Pekalongan Tahun 2008 Nomor 8, Tambahan

    Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 7);

  • 27. Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 2 Tahun 2011 tentang

    Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pekalongan Tahun

    2011 – 2031 (Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan

    Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah

    Kabupaten Pekalongan Nomor 19).

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

    KABUPATEN PEKALONGAN

    Dan

    BUPATI PEKALONGAN

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG

    BAB I KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

    1. Daerah adalah Kabupaten Pekalongan.

    2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur

    penyelenggara Pemerintahan Daerah.

    3. Bupati adalah Bupati Pekalongan.

    4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pekalongan.

    5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Pekalongan yang

    tugas pokok dan fungsinya di bidang Bangunan Gedung.

    6. Kapala Dinas adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten

    Pekalongan yang tugas pokok dan fungsinya di bidang Bangunan Gedung.

    7. Pengembang adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengadaan

    dan/atau pengolahan tanah dan/atau bangunan serta sarana dan

    prasarana dengan maksud untuk dijual dan/atau disewakan.

    8. Pengembang Individu/Perseorangan adalah orang/perseorangan yang

    melakukan kegiatan pengadaan dan/atau pengolahan tanah dan/atau

    bangunan serta sarana dan prasarana dengan maksud untuk dijual

    dan/atau disewakan.

  • 9. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang

    menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di

    atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat

    manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal,

    kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun

    kegiatan khusus.

    10. Bangunan Gedung Umum adalah Bangunan Gedung yang fungsinya untuk

    kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun

    fungsi sosial dan budaya.

    11. Bangunan Gedung Tertentu adalah Bangunan Gedung yang fungsinya untuk

    kepentingan umum dan Bangunan Gedung fungsi khusus, yang dalam

    pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus

    dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak

    penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.

    12. Bangunan Gedung Negara adalah Bangunan Gedung yang digunakan untuk

    keperluan dinas pemerintah/pemerintah daerah yang menjadi/akan menjadi

    kekayaan milik Negara dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang

    berasal dari dana APBN dan/atau APBD dan/atau sumber pembiayaan

    lainnya.

    13. Bangunan Gedung Adat adalah bangunan gedung yang didirikan

    berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, atau tradisi masyarakat serta

    kearifan lokal sesuai dengan budayanya.

    14. Bangunan Tradisional adalah bangunan gedung yang dibangun dengan

    menggunakan sebagian atau seluruhnya arsitektur, simbol, ornamen yang

    terdapat Bangunan Gedung Adat.

    15. Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi Bangunan

    Gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan

    persyaratan teknis.

    16. Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan

    bangunan gedung yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan

    konstruksi serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran.

    17. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik, penyedia jasa konstruksi,

    dan pengguna bangunan gedung.

    18. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, kelompok orang, perkumpulan atau

    badan hukum yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

  • 19. Penyedia Jasa Konstruksi Bangunan Gedung adalah orang, kelompok orang

    atau badan hukum yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa

    konstruksi bidang bangunan gedung, meliputi perencanaan teknis,

    pelaksanaan konstruksi, pengawasan/manajemen konstruksi, termasuk

    mengkaji teknis bangunan gedung dan penyedia jasa konstruksi lainnya

    sesuai ketentuan izin yang berlaku serta memiliki izin kerja.

    20. Pengguna Bangunan Gedung adalah orang, kelompok orang atau badan

    hukum sebagai pemilik atau bukan pemilik bangunan gedung yang

    menggunakan/memanfaatkan/mengelola bangunan gedung untuk suatu

    kegiatan tertentu, baik sebagian atau keseluruhan bangunan gedung sesuai

    dengan fungsi yang ditetapkan

    21. Pemeliharaan Bangunan Gedung adalah kegiatan menjaga keandalan

    bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung

    selalu laik fungsi (preventive maintenance)

    22. Perawatan Bangunan Gedung adalah kegiatan memperbaiki dan/atau

    mengganti bagian banagunan gedung, komponen, bahan bangunan,

    dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi

    (currative maintenance)

    23. Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung adalah kegiatan pemeriksaan

    keandalan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan

    bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang waktu

    tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung.

    24. Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/kawasan melalui

    pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan

    fungsi kawasan sebelumnya.

    25. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan

    bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan

    bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan

    menurut periode yang dikehendaki.

    26. Pendataan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengumpulan data suatu

    bangunan gedung oleh pemerintah daerah yang dilakukan secara bersama

    dengan proses izin mendirikan bangunan gedung, proses sertifikasi laik

    fungsi bangunan gedung, dan pembongkaran bangunan gedung, serta

    mendata dan mendaftarkan bangunan gedung yang telah ada.

    27. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan

    pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman

    perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,

    pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

  • 28. Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama

    pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi

    kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa

    pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

    29. Mendirikan Bangunan Gedung adalah pekerjaan mengadakan bangunan

    seluruhnya atau sebagian, termasuk perkerjaan menggali, menimbun atau

    meratakan tanah yang, berhubungan dengan kegiatan pengadaan bangunan

    gedung.

    30. Mengubah Bangunan Gedung adalah pekerjaan mengganti dan atau

    menambah atau mengurangi bagian bangunan tanpa mengubah fungsi

    bangunan.

    31. Membongkar Bangunan Gedung adalah kegiatan membongkar atau

    merobohkan seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan

    bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.

    32. lzin Mendirikan Bangunan gedung yang selanjutnya disingkat IMB adalah

    perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik untuk

    membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi dan atau/merawat

    bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan

    teknis.

    33. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat PIMB

    adalah permohonan yang diajukan oleh pemilik/pengguna/pengelola

    bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan lzin

    Mendirikan Bangunan Gedung.

    34. Garis Sempadan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat GSB adalah

    garis maya pada persil atau tapak sebagai batas minimum diperkenankannya

    didirikan bangunan gedung, dihitung dari garis sempadan jalan, tepi sungai

    atau tepi pantai atau jaringan tegangan tinggi atau garis sempadan pagar

    atau batas persil atau tapak.

    35. Garis Sempadan Jalan yang selanjutnya disingkat GSJ adalah garis yang

    merupakan batas ruang milik jalan.

    36. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka

    prosentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh lantai dasar

    bangunan gedung dengan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan

    yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan

    lingkungan.

  • 37. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka

    prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung

    terhadap luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai

    sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

    38. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka

    prosentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar

    bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan

    dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai

    rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

    39. Koefisien Tapak Basement yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka

    prosentase berdasarkan perbandingan antara luas tapak basement dengan

    luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai

    rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

    40. Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat TABG adalah tim

    yang terdiri dari pada ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan

    gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian

    dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk

    memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan

    bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus

    perkasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu

    tersebut.

    41. Ketinggian bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan tanah,

    dimana bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak bangunan.

    42. Laik Fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi

    persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi

    bangunan gedung yang ditetapkan.

    43. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang

    diterbitkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali untuk bangunan gedung fungsi

    khusus oleh Pemerintah untuk menyatakan kelaikan fungsi suatu bangunan

    gedung baik secara administratif maupun teknis sebelum pemanfaatannya

    44. Pemugaran Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah

    kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk

    aslinya.

    45. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran serta pemeliharaan

    bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan

    bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan

    menurut periode yang dikehendaki.

  • 46. Karakteristik Bangunan Gedung adalah kekhasan atau ciri-ciri bangunan

    gedung dilihat dari segi bentuk, tampak, profil, detail, material maupun

    warna bangunannya serta lingkungan yang ada di sekitarnya.

    47. Keterangan Rencana Kabupaten adalah informasi tentang persyaratan tata

    bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten

    pada lokasi tertentu.

    48. Surat Keterangan Rencana Kabupaten adalah surat keterangan yang

    dikeluarkan oleh pemerintah daerah kepada orang/perseorangan/badan

    hukum yang akan mengajukan Permohonan Izin Mendirikan Bangunan yang

    berisi tentang Keterangan Rencana Kabupaten.

    49. Dampak Lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh

    suatu kegiatan.

    50. Dampak Penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang

    diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan

    51. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya disingkat AMDAL

    adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau

    kegiatan yanag direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi

    proses pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

    52. Upaya Pengelolaan Lingkungan yang selanjutnya disingkat UKL adalah

    Rencana Kerja dan atau Pedoman Kerja yang berisi program pengelolaan

    lingkungan yang dibuat secara sepihak oleh pemrakarsa dan sifatnya

    mengikat.

    53. Upaya Pemantauan Lingkungan yang selanjutnya disingkat UPL adalah

    Rencana Kerja dan atau Pedoman Kerja yang berisi program pemantauan

    lingkungan yang dibuat secara sepihak oleh pemrakarsa dan sifatnya

    mengikat.

    54. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTRW

    Kabupaten adalah hasil perencanaan tata ruang yang memuat rencana

    struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah kabupaten.

    55. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten selanjutnya disingkat RDTRK adalah

    hasil perencanaan tata ruang yang merupakan rencana rinci tata ruang

    sebagai penjabaran lebih lanjut dari RTRW Kabupaten.

    56. Rencana Teknik Ruang Kabupaten selanjutnya disingkat RTRK adalah hasil

    perencanaan tata ruang yang menunjukkan pengaturan letak komponen

    ruang pada blok tertentu sebagai penjabaran lebih lanjut dari RDTR

    Kabupaten.

  • 57. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan selanjutnya disingkat RTBL adalah

    panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan

    pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan

    lingkungan, rencana rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana

    pelaksanaan, umum dan panduan rancangan, dan pedoman pengendalian.

    58. Peraturan Zonasi adalah peraturan yang mengatur tentang klasifikasi zona,

    pengaturan lebih lanjut dari pemanfaatan rahan dan prosedur peraksanaan

    pembangunan.

    59. Peran Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah

    berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan

    keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi

    masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan

    gugatan perwakilan berkaitan dengan penyelenggaran bangunan gedung.

    60. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan

    lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung,

    termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang

    berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

    61. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

    bangunan gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili

    kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan

    sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau

    dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

    62. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengaturan

    pemberdayaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata

    pemerintahan yang baik sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung

    dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang

    sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

    63. Pengawasan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran

    akan hak, kewajiban, dan peran para penyelenggara banagunan gedung dan

    aparat pemerintah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

    64. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat

    Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang

    diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan

    terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.

    65. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar

    mutu nasional yang ditetapkan oleh lembaga yanag berwenang.

  • BAB II

    ASAS, MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

    Bagian Kesatu Asas

    Pasal 2

    Pengaturan bangunan gedung berasaskan:

    a. kemanfaatan;

    b. keselamatan;

    c. keseimbangan;

    d. kelestarian dan keberlanjutan ekologi;

    e. keterpaduan;

    f. keadilan;

    g. keterbukaan dan peran serta;

    h. akuntabilitas.

    Bagian Kedua

    Maksud

    Pasal 3

    Pengaturan bangunan gedung dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengatur

    dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung sejak dari perizinan,

    perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, kelaikan bangunan gedung

    agar sesuai dengan peraturan perundang - undangan.

    Bagian Ketiga

    Tujuan

    Pasal 4

    Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk:

    a. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata

    bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

    b. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin

    keandalan teknis bangunan gedung dari keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan, dan kemudahan; dan

    c. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

  • Bagian Keempat

    Ruang Lingkup

    Pasal 5

    Ruang lingkup pengaturan bangunan gedung meliputi ketentuan mengenai

    fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan

    bangunan gedung, peran masyarakat dan pembinaan dalam penyelenggaraan

    bangunan gedung.

    BAB III

    FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG

    Pasal 6

    (1) Fungsi bangunan gedung ditetapkan berdasarkan pemenuhan persyaratan

    teknis bangunan gedung baik ditinjau dari segi tata bangunan dan

    lingkungan maupun keandalan bangunannya.

    (2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

    a. bangunan gedung fungsi hunian dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia tinggal;

    b. bangunan gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan ibadah;

    c. bangunan gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan kegiatan usaha;

    d. bangunan gedung fungsi sosial dan budaya dengan fungsi utama sebagai

    tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya;

    e. bangunan gedung fungsi khusus dengan fungsi utama yang mempunyai

    tingkat kerahasiaan tinggi dan/atau tingkat risiko bahaya tinggi; dan

    f. bangunan gedung lebih dari satu fungsi.

    Pasal 7

    (1) Bangunan gedung fungsi hunian dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia tinggal dapat berbentuk:

    a. bangunan rumah tinggal tunggal;

    b. bangunan rumah tinggal deret;

    c. bangunan rumah tinggal susun; atau

    d. bangunan rumah tinggal sementara.

  • (2) Bangunan gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan ibadah keagamaan dapat berbentuk:

    a. bangunan masjid, mushalla, langgar, surau;

    b. bangunan gereja, kapel;

    c. bangunan pura;

    d. bangunan vihara;

    e. bangunan kelenteng; atau

    f. bangunan keagamaan dengan sebutan lainnya.

    (3) Bangunan gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan kegiatan usaha dapat berbentuk:

    a. bangunan gedung perkantoran seperti bangunan perkantoran pemerintah,

    perkantoran niaga, dan sejenisnya;

    b. bangunan gedung perdagangan seperti bangunan pasar, pertokoan, pusat

    perbelanjaan, mal, rumah makan, dan sejenisnya;

    c. bangunan gedung perindustrian seperti bangunan gedung industri kecil,

    industri sedang, industri besar/berat, termasuk bangunan gedung yang

    digunakan untuk penangkaran, pemeliharaan, dan/atau penggemukan

    binatang/satwa dalam rangka usaha;

    d. bangunan gedung perhotelan seperti bangunan hotel, motel, hostel,

    penginapan dan sejenisnya;

    e. bangunan gedung wisata dan rekreasi seperti tempat rekreasi, bioskop dan

    sejenisnya;

    f. bangunan gedung terminal seperti bangunan stasiun kereta api, terminal

    angkutan umum, halte pemberhentian angkutan umum, terminal peti

    kemas, pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan perikanan;

    g. bagunan gedung tempat penyimpanan sementara seperti bangunan

    gudang, gedung parkir dan sejenisnya; atau

    h. bangunan gedung dengan fungsi usaha lainnya.

    (4) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya dengan fungsi utama sebagai

    tempat manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya dapat berbentuk:

    a. bangunan gedung pelayanan pendidikan seperti pendidikan anak usia dini,

    sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah

    tinggi/universitas, sekolah luar biasa, termasuk bangunan gedung untuk

    tempat kursus dan/atau pelatihan, dan pesantren;

    b. bangunan gedung pelayanan kesehatan seperti bangunan puskesmas,

    poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit, termasuk panti-panti dan

    pelayanan kesehatan alternatif atau sejenisnya;

  • c. bangunan gedung kebudayaan seperti bangunan museum, gedung

    kesenian, bangunan gedung adat, bangunan gedung yang ditetapkan

    sebagai cara budaya, dan sejenisnya;

    d. bangunan gedung laboratorium seperti bangunan laboratorium fisika,

    laboratorium kimia, laboratorium biologi, dan laboratorium kebakaran;

    atau

    e. bangunan gedung pelayanan umum seperti bangunan stadion, gedung

    olah raga, hall, dan sejenisnya.

    (5) Bangunan gedung fungsi khusus dengan fungsi utama yang mempunyai

    tingkat kerahasiaan tinggi dan yang mempunyai tingkat risiko bahaya yang

    tinggi.

    (6) Bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi misalnya bangunan

    rumah-toko (ruko), bangunan rumah-kantor (rukan), bangunan gedung mall-

    apartmen-perkantoran, atau bangunan gedung mal-apartmen-perkantoran-

    perhotelan.

    Pasal 8

    (1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

    diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi,

    tingkat risiko kebakaran, zonasi gempa, tingkat kerawanan bencana lainnya,

    lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan bangunan gedung.

    (2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi bangunan gedung

    sederhana, bangunan gedung tidak sederhana, dan bangunan gedung

    khusus.

    (3) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi meliputi bangunan gedung

    permanen, bangunan gedung semi permanen, dan bangunan gedung darurat

    atau sementara.

    (4) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran meliputi bangunan gedung

    tingkat risiko kebakaran tinggi, tingkat risiko kebakaran sedang, dan tingkat

    risiko kebakaran rendah.

    (5) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi tingkat zonasi gempa yang

    ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

    (6) Klasifikasi berdasarkan tingkat kerawanan bencana lain meliputi bangunan

    gedung tingkat kerawanan bencana tinggi, tingkat kerawanan bencana

    sedang, dan tingkat kerawanan bencana rendah.

    (7) Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi bangunan gedung di lokasi padat,

    bangunan gedung di lokasi sedang, dan bangunan gedung di lokasi renggang.

  • (8) Klasifikasi berdasarkan ketinggian meliputi bangunan gedung bertingkat

    tinggi, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung bertingkat

    rendah.

    (9) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan meliputi bangunan gedung milik negara,

    bangunan gedung milik badan usaha, dan bangunan gedung milik

    perorangan.

    Pasal 9

    (1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan

    lokasi yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten, RDTRK, dan/atau RTBL.

    (2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung yang diusulkan oleh pemilik

    bangunan gedung dalam pengajuan permohonan IMB harus sesuai dengan

    fungsi dan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    (3) Bupati menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangannya berdasarkan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Pasal 10

    (1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui revisi

    penetapan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sepanjang masih

    sesuai dengan peruntukan ruang yang diatur dalam RTRW Kabupaten,

    RDTRK, dan/atau RTBL.

    (2) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pemilik bangunan gedung harus

    sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2)

    (3) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti

    dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis

    bangunan gedung baru.

    (4) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh

    Bupati sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku.

    (5) Dalam hal perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diikuti dengan

    pembangunan, rehabilitasi dan/atau renovasi bangunan gedung dan/atau

    prasarananya, maka pengusulannya harus melalui proses perizinan baru.

  • (6) Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung harus diikuti

    dengan perubahan data fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung.

    Pasal 11

    (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendataan bangunan gedung sesuai

    dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku.

    (2) Pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

    terhadap kepemilikan, fungsi, klasifikasi, dan peruntukan bangunan gedung,

    serta sarana dan prasarana bangunan gedung.

    BAB IV

    PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 12

    Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan

    persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

    Bagian Kedua

    Persyaratan Administratif Bangunan Gedung

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 13

    Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    12 meliputi :

    a. status kepemilikan hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari

    pemegang hak atas tanah;

    b. status kepemilikan bangunan gedung; dan

    c. IMB.

  • Paragraf 2

    Status Kepemilikan Hak Atas Tanah

    Pasal 14

    (1) Setiap bangunan gedung harus didirikan di atas tanah yang status

    kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.

    (2) Status kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan

    dalam bentuk dokumen sertifikat hak atas tanah atau bentuk dokumen

    keterangan status tanah lainnya yang sah.

    (3) Pendirian bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain hanya dapat

    dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas

    tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara pemegang

    hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.

    (4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit

    memuat hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-batas tanah,

    serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

    Paragraf 3

    Status Kepemilikan Bangunan Gedung

    Pasal 15

    (1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti

    kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Bupati.

    (2) Penetapan status kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dilakukan pada saat proses IMB dan /atau pada saat

    pendataan bangunan gedung,

    (3) Pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung kepada pihak lain harus

    dilaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan surat keterangan bukti

    kepemilikan baru .

    (4) Pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (3) oleh pemilik bangunan gedung yang bukan pemegang hak atas

    tanah, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan pemegang hak atas

    tanah.

    (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)

    dikecualikan terhadap bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

  • (6) Ketentuan mengenai status kepemilikan bangunan gedung fungsi keagamaan

    diatur dengan Peraturan Bupati.

    Paragraf 4

    lzin Mendirikan Bangunan (lMB)

    Pasal 16

    (1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang akan mendirikan bangunan

    gedung dan/atau prasarana bangunan gedung termasuk rehabilitasi atau

    renovasinya wajib memiliki IMB.

    (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

    a. pekerjaan yang termasuk dalam pemeliharaan/perbaikan ringan

    bangunan gedung yang tidak merubah denah bangunan, bentuk arsitektur

    dan struktur bangunan kecuali bangunan yang dilestarikan;

    b. membuat lubang-lubang ventilasi, penerangan dan sebagainya yang

    luasnya tidak lebih dari 1 m² (satu meter persegi) dengan sisi mendatar

    terpanjang tidak lebih dari 2 (dua) meter;

    c. membuat kolam hias, taman dan patung-patung , tiang bendera di

    halaman pekarangan rumah;

    d. mendirikan kandang binatang peliharaan yang tidak menimbulkan

    gangguan bagi kesehatan di halaman belakang dengan volume ruang tidak

    lebih dari 12 m³ (dua belas meter kubik); dan

    e. bangunan sementara atau darurat;

    (3) Pemerintah Daerah wajib memberikan Surat Keterangan Rencana Kabupaten

    untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan

    permohonan IMB.

    (4) Surat Keterangan Rencana Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

    merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan

    berisi:

    a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

    b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;

    c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB

    yang diizinkan;

    d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang

    diizinkan;

    e. KDB maksimum yang diizinkan;

    f. KLB maksimum yang diizinkan;

  • g. KDH minimum yang diwajibkan;

    h. KTB maksimum yang diizinkan; dan

    i. Jaringan utilitas kota.

    (5) Dalam Surat Keterangan Rencana Kabupaten sebagaimana dimaksud pada

    ayat (3) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku

    untuk lokasi yang bersangkutan.

    (6) Keterangan Rencana Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

    digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.

    Pasal 17

    (1) Pengajukan permohonan IMB wajib dilengkapi dengan persyaratan

    dokumen:

    a. administrasi; dan

    b. rencana teknis.

    (2) Persyaratan dokumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    huruf a meliputi:

    a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian

    pemanfaatan tanah;

    b. data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);

    c. data pemilik bangunan;

    d. surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;

    e. surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB)

    dan/atau bukti setoran pajak bumi dan bangunan tahun berkenaan; dan

    f. dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan surat

    keputusan kelayakan lingkungan bagi bangunan gedung yang

    menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau Dokumen Upaya

    Pengelolaan Lingkungan/Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) dan

    rekomendasi UKL/UPL bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak

    tidak penting terhadap lingkungan.

    (3) Persyaratan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    huruf b meliputi:

    a. gambar rencana/arsitektur bangunan;

    b. gambar sistem struktur;

    c. gambar sistem utilitas;

    d. perhitungan struktur dan/atau bentang struktur bangunan disertai hasil

    penyelidikan tanah bagi bangunan 2 (dua) lantai atau lebih;

  • e. perhitungan utilitas bagi bangunan gedung bukan hunian rumah tinggal;

    dan

    f. data penyedia jasa perencanaan bagi yang diwajibkan.

    Pasal 18

    (1) Dokumen Permohonan IMB disampaikan kepada Satuan Kerja Perangkat

    Daerah yang tugas pokok dan fungsinya di bidang perizinan.

    (2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya di

    bidang perizinan dapat melimpahkan sebagian kewenangan penerbitan IMB

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Camat.

    (3) Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

    mempertimbangkan faktor :

    a. efisiensi dan efektivitas;

    b. mendekatkan pelayanan pemberian IMB kepada masyarakat;

    c. fungsi bangunan, klasifikasi bangunan, luasan tanah dan/atau bangunan

    yang mampu diselenggaraan di kecamatan; dan

    d. kecepatan penanganan penanggulangan darurat dan rehabilitasi

    bangunan gedung pasca bencana.

    Pasal 19

    (1) Terhadap dokumen permohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

    ayat (2) dan ayat (3) dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui

    kelengkapannya.

    (2) Terhadap dokumen permohonan IMB yang telah lengkap baik dokumen

    administrasi maupun rencana teknisnya dilakukan penilaian/evaluasi untuk

    dijadikan bahan persetujuan pemberian IMB.

    (3) Untuk kepentingan penilaian/evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

    dapat dilakukan pengecekan lapangan.

    (4) Persetujuan pemberian IMB untuk pendirian bangunan gedung di atas/di

    bawah tanah, air, atau prasarana/sarana umum, di daerah jaringan

    transmisi listrik tegangan tinggi, dan di Kawasan Keselamatan Operasional

    Penerbangan (KKOP), harus memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari

    TABG dan instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang undangan

    yang berlaku.

    (5) Persetujuan pemberian IMB untuk pendirian bangunan gedung di daerah

    yang berpotensi atau rawan bencana alam harus memperoleh pertimbangan

    dan persetujuan dari TABG dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

  • (6) Persetujuan pemberian IMB untuk pendirian bangunan gedung yang

    diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan

    hidup, harus mendapat pertimbangan teknis dari TABG dan Satuan Kerja

    Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya di bidang perlindungan

    dan pengelolaan lingkungan hidup.

    Pasal 20

    (1) Persetujuan pemberian IMB dapat ditangguhkan dalam hal:

    a. persyaratan administratif dan/atau persyaratan teknis kurang atau tidak

    lengkap; dan/atau

    b. terjadi sengketa hukum antara pemohon dengan pihak ketiga terkait

    dengan persoalan status kepemilikan tanah dan/atau rencana pendirian

    bangunan gedungnya.

    (2) Permohonan IMB ditolak apabila:

    a. fungsi bangunan gedung yang diajukan tidak sesuai dengan peruntukan

    lokasi yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten, RDTRK, dan/atau RTBL;

    b. terhadap rencana pembangunan bangunan gedung yang bersangkutan,

    dinyatakan tidak layak lingkungan oleh pejabat yang berwenang.

    (3) Penangguhan atau penolakan persetujuan pemberian IMB sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberitahukan secara tertulis kepada

    pemohon dengan disertai alasan.

    Pasal 21

    (1) Besarnya Retribusi IMB ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah

    (2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya di

    bidang perizinan menetapkan Retribusi IMB berdasarkan bahan persetujuan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

    (3) Pemohon membayar retribusi IMB berdasarkan penetapan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) ke kas daerah.

    (4) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya di

    bidang perizinan menerbitkan permohonan IMB setelah diterimanya bukti

    pembayaran Retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

    (5) IMB gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas

    umum Daerah.

    (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IMB diatur dalam

    Peraturan Bupati.

  • Bagian Ketiga

    Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 22

    Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

    meliputi persyaratan tata bangunan dan lingkungan dan persyaratan keandalan

    bangunan gedung.

    Paragraf 2

    Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan

    Pasal 23

    Persyaratan tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    22 meliputi:

    a. persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung;

    b. persyaratan intensitas bangunan gedung;

    c. persyaratan arsitektur bangunan gedung;

    d. persyaratan pengendalian dampak lingkungan untuk bangunan gedung

    tertentu.

    Paragraf 3

    Persyaratan Peruntukan Lokasi Bangunan Gedung

    Pasal 24

    (1) Untuk memenuhi persyaratan peruntukan lokasi bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, maka setiap pendirian

    bangunan gedung dan/atau prasarana dan sarana umum:

    a. fungsinya harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang ditetapkan dalam

    RTRW Kabupaten, RDTRKP, dan/atau RTBL; dan

    b. dampaknya tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi

    lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang

    bersangkutan.

    (2) Dalam hal RDTRK, dan/atau RTBL untuk lokasi yang bersangkutan belum

    diatur, Bupati dapat memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung

    pada daerah tersebut untuk jangka waktu sementara.

    (3) Apabila RDTRK, dan/atau RTBL untuk lokasi yang bersangkutan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah ditetapkan, fungsi bangunan

    gedung yang telah ada harus disesuaikan dengan ketentuan yang ditetapkan.

  • (4) Terhadap kerugian yang timbul akibat pemberian persetujuan mendirikan

    bangunan gedung yang tidak sesuai dengan peruntukan lokasi sebagaimana

    dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Daerah memberikan penggantian yang

    layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan.

    (5) Bangunan gedung yang dibangun di atas/di bawah tanah, air, atau

    prasarana/sarana umum, di daerah jaringan transmisi listrik tegangan

    tinggi, dan di Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan, harus

    memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari TABG dan lnstansi terkait

    sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

    (6) Bangunan gedung yang dibangun di daerah yang berpotensi atau rawan

    bencana alam harus memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari TABG

    dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

    (7) Bangunan gedung yang pendiriannya diperkirakan dapat menimbulkan

    dampak penting terhadap lingkungan hidup, harus mendapat pertimbangan

    teknis dari TABG dan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas pokok dan

    fungsinya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

    Pasal 25

    (1) Pemerintah Daerah wajib memberikan informasi mengenai RTRW Kabupaten,

    RDTRK dan RTBL Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)

    huruf a kepada masyarakat secara cuma cuma.

    (2) lnformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi keterangan mengenai

    peruntukan lokasi, intensitas bangunan yang terdiri dari kepadatan

    bangunan, ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan.

    (3) Dalam hal terjadi perubahan RTRW Kabupaten, RDTRP dan/atau RTBL yang

    mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi bangunan gedung yang

    tidak sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan.

    (4) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi

    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Daerah dapat memberikan

    penggantian yang layak kepada pemilik bangunan gedung sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan.

    Paragraf 4

    Persyaratan Intensitas Bangunan Gedung

    Pasal 26

    Persyaratan intensitas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

    huruf b meliputi:

    a. persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung; dan

  • b. persyaratan jarak bebas bangunan gedung.

    Pasal 27

    (1) Untuk memenuhi persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, maka setiap bangunan

    gedung yang didirikan tidak boleh melebihi ketentuan maksimal kepadatan

    dan ketinggian yang ditetapkan dalam RTRW Kabupaten, RDTRK, dan/atau

    RTBL.

    (2) Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk Koefisien Dasar Bangunan

    (KDB) maksimal yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan

    renggang.

    (3) Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam bentuk Koefisien Lantai

    Bangunan (KLB) dan/atau jumlah lantai maksimal yang dibedakan dalam

    tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah.

    (4) Besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan mempertimbangkan

    perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung

    lahan/lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.

    (5) Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan,

    Bupati dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu

    kawasan/lingkungan tertentu dengan persyaratan:

    a. setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan

    yang telah diatur di dalam rencana tata ruang;

    b. apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan

    berdasarkan luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang

    dimiliki;

    c. untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan

    atau disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang

    persil tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut

    tersebut dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan

    panjangnya;

    d. penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan

    ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan

    keadaan lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi

    persyaratan teknis yang telah ditetapkan;

    e. dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB

    diantara perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga

    keseimbangan daya dukung lahan dan keserasian lingkungan;

  • f. bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk

    kepentingan umum, dapat diberikan kompensasi berupa penambahan

    besarnya KDB, JLB/KLB.

    Pasal 28

    (1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh melanggar ketentuan

    minimal jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan dalam RTRW

    Kabupaten, RDTRK, dan/atau RTBL.

    (2) Ketentuan jarak bebas bangunan gedung ditetapkan dalam bentuk:

    a. GSB dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau

    jaringan tegangan tinggi; dan

    b. jarak bebas bangunan gedung dengan batas-batas persil, jarak antar

    bangunan gedung, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman yang

    diizinkan pada lokasi yang bersangkutan, yang diberlakukan per kaveling,

    per persil, dan/atau per kawasan.

    Pasal 29

    (1) Ketentuan mengenai GSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)

    huruf a ditetapkan dalam RDTRK, dan/atau RTBL.

    (2) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi garis

    sempadan muka dan garis sempadan samping dan belakang bangunan

    gedung.

    (3) Penetapan GSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada

    pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan

    keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan.

    Pasal 30

    (1) Ketentuan mengenai jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b ditetapkan dalam RDTRK, dan/atau RTBL.

    (2) Penetapan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) didasarkan pada pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan.

    Pasal 31

    (1) Halaman muka, samping, dan belakang dari suatu bangunan harus

    dipisahkan dari jalan, sungai, atau selokan menurut cara yang ditetapkan

    oleh Bupati, dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, serta

    keserasian lingkungan.

  • (2) Dalam hal pemisah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk pagar,

    maka penetapan mengenai desain dan spesifikasinya harus memperhatikan

    hal-hal berikut:

    a. sedapat mungkin digunakan tanaman hidup sebagai pagar;

    b. penggunaan kawat berduri sebagai pemisah di sepanjang jalan-jalan

    umum tidak diperkenankan

    c. bangunan pagar harus menyisakan bagian yang tembus pandang.

    (3) Ketentuan mengenai desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang

    halaman muka, samping, dan belakang bangunan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

    Paragraf 5 Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

    Pasal 32

    Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

    huruf c meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam,

    keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan

    lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai

    adat/tradisional, sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai

    perkembangan arsitektur dan rekayasa.

    Pasal 33

    (1) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, baik

    bentuk, tampak, profil, detail, material bangunannya harus dirancang

    dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika, bentuk, karakteristik

    arsitektur, dan lingkungan yang ada di sekitarnya;

    (2) Penampilan bangunan gedung di kawasan cagar budaya, harus dirancang

    dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian.

    (3) Bentuk arsitektur bangunan gedung Pemerintah Daerah harus

    memperhatikan ciri khas daerah.

    (4) Setiap bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan

    yang dilestarikan, disesuaikan dengan bangunan yang dilestarikan tersebut.

    Pasal 34

    (1) Tata ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32,

    harus mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung, dan

    keandalan bangunan gedung.

  • (2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi dan efektivitas tata

    ruang dalam.

    (3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan

    tata ruang dalam terhadap kaidah-kaidah arsitektur bangunan gedung

    secara keseluruhan.

    (4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan

    persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan tata

    ruang-dalam.

    (5) Perancangan ruang dalam bangunan gedung fungsi hunian sekurang-

    kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang mewadahi kegiatan

    pribadi, kegiatan keluarga/bersama, dan kegiatan pelayanan.

    (6) Perancangan ruang dalam bangunan gedung fungsi ibadah sekurang-

    kurangnya dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan kakus, atau fasilitas

    lain yang diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan ibadah.

    (7) Perancangan ruang dalam bangunan gedung selain fungsi hunian dan fungsi

    ibadah sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi utama yang

    mewadahi kegiatan kerja, ruang umum, ruang pelayanan, tempat ibadah

    yang mudah dijangkau, serta fasilitas kamar mandi dan kakus.

    Pasal 35

    (1) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan

    lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 harus

    mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang

    terbuka hijau yang seimbang.

    (2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang

    terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan,

    akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya

    kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.

    (3) Bangunan gedung pemerintah, fasilitas umum, dan kawasan perumahan

    wajib menyediakan lahan untuk ruang terbuka hijau dan sumur resapan

    sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

    Paragraf 6

    Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

    Pasal 36

    (1) Untuk memenuhi persyaratan pengendalian dampak lingkungan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d, maka pendirian bangunan

  • gedung yang menurut peraturan perundang-undangan diperkirakan dapat

    menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup harus memiliki

    dokumen AMDAL.

    (2) Dalam hal pendirian bangunan gedung menurut peraturan perundang-

    undangan menimbulkan dampak tidak penting terhadap lingkungan hidup

    harus memiliki dokumen UKL/UPL.

    Paragraf 7

    Persyaratan Keandalan Bangunan gedung

    Pasal 37

    Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    22 meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

    Paragraf 8

    Persyaratan Keselamatan

    Pasal 38

    Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi

    persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan,

    serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi

    bahaya kebakaran dan bahaya petir.

    Pasal 39

    (1) Bangunan gedung harus mampu mendukung beban muatan, maka struktur

    bangunan gedung harus direncanakan kuat/kokoh, dan stabil dalam

    memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan kelayanan

    (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan

    mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan, dan

    kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

    (2) Kemampuan memikul beban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-

    beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban

    muatan tetap maupun beban muatan sementara yang timbul akibat gempa,

    banjir, rob, angin, jamur, korosi, dan serangga perusak.

    (3) Bangunan gedung harus mampu menahan pengaruh gempa, maka semua

    unsur struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun

    struktur gedung, harus diperhitungkan mampu memikul pengaruh gempa

    sesuai dengan zona gempanya.

  • (4) Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara “daktail” sehingga

    pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, kondisi

    strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung

    menyelamatkan diri apabila terjadi keruntuhan.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembebanan, ketahanan bangunan gedung

    terhadap gempa bumi dan/atau angin, dan perhitungan strukturnya

    mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

    Pasal 40

    (1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana, harus menerapkan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif

    terhadap bahaya kebakaran.

    (2) Penerapan sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    didasarkan pada fungsi/klasifikasi risiko kebakaran, geometri ruang, bahan

    bangunan terpasang, dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam

    bangunan gedung.

    (3) Penerapan sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    didasarkan pada fungsi, klasifikasi, luas, ketinggian, volume bangunan,

    dan/atau jumlah dan kondisi penghuni dalam bangunan gedung.

    (4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai,

    dan/atau dengan jumlah penghuni tertentu harus memiliki unit manajemen

    pengamanan kebakaran.

    Pasal 41

    (1) Setiap bangunan gedung yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk,

    ketinggian, dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir harus

    dilengkapi dengan instalasi penangkal petir.

    (2) Sistem penangkal petir yang dirancang dan dipasang harus dapat

    mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir

    terhadap bangunan gedung dan peralatan yang diproteksinya, serta

    melindungi manusia di dalamnya.

    Pasal 42

    Setiap bangunan gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik termasuk

    sumber daya listriknya harus dijamin aman, andal, dan ramah lingkungan.

  • Pasal 43

    Bangunan gedung dengan fungsi sesuai Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4), atau

    bangunan gedung fungsi khusus harus dilengkapi dengan sistem pengamanan

    yang memadai untuk mencegah terancamnya keselamatan penghuni dan harta

    benda akibat bahan peledak.

    Pasal 44

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan,

    pemeliharaan sistem proteksi pasif dan proteksi aktif serta penerapan

    manajemen pengamanan kebakaran, instalasi penangkal petir, instalasi listrik,

    dan sistem pengamanan bangunan mengikuti pedoman dan standar teknis yang

    berlaku.

    Paragraf 9

    Persyaratan Kesehatan

    Pasal 45

    Persyaratan kesehatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

    meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan

    penggunaan bahan bangunan gedung.

    Pasal 46

    (1) Untuk memenuhi persyaratan sistem penghawaan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 45, maka setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi

    alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya.

    (2) Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan kesehatan

    khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya

    ruang kelas, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai

    bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan

    permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.

    Pasal 47

    (1) Ventilasi alami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) harus

    memenuhi ketentuan bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela,

    sarana lain yang dapat dibuka dan/atau dapat berasal dari ruangan yang

    bersebelahan untuk memberikan sirkulasi udara yang sehat.

    (2) Ventilasi mekanik/buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)

    harus disediakan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat.

    (3) Penerapan sistem ventilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

    harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan

    energi dalam bangunan gedung.

  • Pasal 48

    (1) Untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 45, maka setiap bangunan gedung harus mempunyai

    pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan

    darurat sesuai dengan fungsinya.

    (2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan

    bangunan pelayanan umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan

    alami.

    (3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus optimal,

    disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing-masing

    ruang di dalam bangunan gedung.

    (4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai

    fungsi ruang dalam bangunan gedung dengan mempertimbangkan efisiensi,

    penghematan energi yang digunakan, dan penempatannya tidak

    menimbulkan efek silau atau pantulan.

    (5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan darurat

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang pada bangunan gedung

    dengan fungsi tertentu, serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai

    tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman.

    (6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang diperlukan untuk

    pencahayaan darurat, harus dilengkapi dengan pengendali manual, dan/atau

    otomatis, serta ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh

    pengguna ruang.

    Pasal 49

    Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 45, maka setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sistem air

    bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah,

    serta penyaluran air hujan.

    Pasal 50

    (1) Sistem air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 harus direncanakan

    dan dipasang dengan mempertimbangkan sumber air bersih dan sistem

    distribusinya.

  • (2) Sumber air bersih dapat diperoleh dari sumber air gali (sumur), sumber air

    gunung (mata air), sumber air tanah dalam (artetis), dan/atau sumber air

    berlangganan (PDAM) yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan.

    (3) Perencanaan sistem distribusi air bersih dalam bangunan gedung harus

    memenuhi debit air dan tekanan minimal yang disyaratkan.

    (4) Pemerintah Daerah berkewajiban mensosialisasikan ketentuan mengenai

    standar kualitas air dan sistem distribusinya.

    Pasal 51

    (1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 49 harus direncanakan dan dipasang dengan

    mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya.

    (2) Pertimbangan jenis air kotor dan/atau air limbah diwujudkan dalam bentuk

    pemilihan sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang

    dibutuhkan.

    (3) Pertimbangan tingkat bahaya air kotor dan/atau air limbah diwujudkan

    dalam bentuk sistem pengolahan dan pembuangannya.

    Pasal 52

    (1) Sistem pembuangan kotoran dan sampah sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 49 harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan

    fasilitas penampungan dan jenisnya.

    (2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan

    tempat penampungan kotoran dan sampah pada masing-masing bangunan

    gedung, yang diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah

    penghuni, dan volume kotoran dan sampah.

    (3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk

    penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu

    kesehatan penghuni, masyarakat dan lingkungannya.

    Pasal 53

    (1) Sistem penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 harus

    direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian

    permukaan air tanah, permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan

    drainase lingkungan/kota.

  • (2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem

    penyaluran air hujan.

    (3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus diresapkan ke dalam tanah

    pekarangan dan/atau dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke

    jaringan drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    (4) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab lain yang dapat

    diterima, maka penyaluran air hujan harus dilakukan dengan cara lain yang

    dibenarkan oleh satuan kerja perangkat daerah yang tugas pokok dan

    fungsinya di bidang pengairan.

    (5) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya

    endapan dan penyumbatan pada saluran.

    Pasal 54

    (1) Untuk memenuhi persyaratan penggunaan bahan bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, maka setiap bangunan gedung

    harus menggunakan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna

    bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap

    lingkungan.

    (2) Agar aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung, penggunaan bahan

    bangunan harus tidak mengandung bahan-bahan berbahaya/ beracun bagi

    kesehatan, dan aman bagi pengguna bangunan gedung.

    (3) Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak negatif terhadap

    lingkungan harus:

    a. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi pengguna bangunan

    gedung lain, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya;

    b. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu lingkungan di sekitarnya;

    c. mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan

    d. mewujudkan bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan

    lingkungannya.

    (4) Pemanfaatan dan penggunaan bahan bangunan lokal harus sesuai dengan

    kebutuhan dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

    Pasal 55

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan

    pemeliharaan sistem ventilasi, sistem pencahayaan, sistem air bersih, sistem

    pembuangan air kotor dan/atau air limbah, sistem pembuangan kotoran dan

    sampah, sistem penyaluran air hujan, serta penggunaan bahan bangunan pada

    bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

  • Paragraf 10

    Persyaratan Kenyamanan

    Pasal 56

    Persyaratan kenyamanan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    37 meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang, kondisi udara

    dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan.

    Pasal 57

    (1) Untuk mendapatkan kenyamanan ruang gerak dalam bangunan gedung,

    penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan:

    a. fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/peralatan, aksesibilitas ruang di

    dalam bangunan gedung; dan

    b. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

    (2) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antar ruang, penyelenggara

    bangunan gedung harus mempertimbangkan:

    a. fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah pengguna dan

    perabot/peralatan di dalam bangunan gedung;

    b. sirkulasi antar ruang horisontal dan vertikal; dan

    c. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

    Pasal 58

    (1) Untuk mendapatkan kenyamanan kondisi udara ruang di dalam bangunan

    gedung penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan

    temperatur dan kelembaban.

    (2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam

    ruangan dapat dilakukan dengan pengkondisian udara dengan

    mempertimbangkan:

    a. fungsi bangunan gedung/ruang, jumlah pengguna, letak, volume ruang,

    jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;

    b. kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan

    c. prinsip-prinsip penghematan energi dan kelestarian lingkungan.

    Pasal 59

    (1) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan, penyelenggara bangunan

    gedung harus mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam

  • bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang tertentu dalam

    bangunan gedung.

    (2) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar,

    penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan:

    a. gubahan massa bangunan, rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar

    bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan;

    b. pemanfaatan potensi ruang luar bangunan gedung dan penyediaan ruang

    terbuka hijau; dan

    c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan sinar.

    (3) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan dari luar ke dalam bangunan,

    penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan:

    a. rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan

    bentuk luar bangunan gedung; dan

    b. keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau yang akan ada di

    sekitarnya.

    Pasal 60

    Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap getaran pada bangunan

    gedung, penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan jenis

    kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber getar lainnya baik yang

    berada pada bangunan gedung maupun di luar bangunan gedung.

    Pasal 61

    (1) Untuk mendapatkan tingkat kenyamanan terhadap kebisingan pada

    bangunan gedung, penyelenggara bangunan gedung harus

    mempertimbangkan jenis kegiatan, penggunaan peralatan, dan/atau sumber

    bising lainnya baik yang berada pada bangunan gedung maupun di luar

    bangunan gedung.

    (2) Setiap bangunan gedung dan/atau kegiatan yang karena fungsinya

    menimbulkan dampak kebisingan terhadap lingkungannya dan/atau

    terhadap bangunan gedung yang telah ada, harus meminimalkan kebisingan

    yang ditimbulkan sampai dengan tingkat yang diizinkan.

    Pasal 62

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan

    pemeliharaan kenyamanan kondisi udara, tata cara perencanaan kenyamanan

    ruang gerak dan hubungan antar ruang, tingkat kenyamanan pandangan,

    kenyamanan terhadap getaran, serta kenyamanan terhadap kebisingan pada

    bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

  • Paragraf 11

    Persyaratan Kemudahan

    Pasal 63

    Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi

    kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta

    kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.

    Pasal 64

    (1) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 meliputi tersedianya fasilitas dan

    aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang

    cacat dan lanjut usia.

    (2) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus mempertimbangkan tersedianya

    hubungan horizontal dan vertikal antar ruang dalam bangunan gedung,

    akses evakuasi, termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

    (3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61

    disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan persyaratan lingkungan

    lokasi bangunan gedung.

    Pasal 65

    (1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kemudahan

    hubungan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) berupa

    tersedianya pintu dan/atau koridor yang memadai untuk terselenggaranya

    fungsi bangunan gedung tersebut.

    (2) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan dipertimbangkan

    berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang, dan jumlah pengguna ruang.

    (3) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan dipertimbangkan

    berdasarkan fungsi ruang dan aspek keselamatan.

    (4) Ukuran koridor sebagai akses horisontal antar ruang dipertimbangkan

    berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang, dan jumlah pengguna.

    Pasal 66

    (1) Setiap bangunan gedung bertingkat harus menyediakan sarana hubungan

    vertikal antar lantai yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan

    gedung tersebut berupa tersedianya tangga, ram, lift, tangga

    berjalan/eskalator, dan/atau lantai berjalan/travelator.

  • (2) Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal harus

    berdasarkan fungsi bangunan gedung, luas bangunan, dan jumlah pengguna

    ruang, serta keselamatan pengguna bangunan gedung.

    Pasal 67

    (1) Setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas 5 (lima) lantai harus

    menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lift.

    (2) Jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lift sebagai sarana hubungan vertikal

    dalam bangunan gedung harus mampu melakukan pelayanan yang optimal

    untuk sirkulasi vertikal pada bangunan, sesuai dengan fungsi dan jumlah

    pengguna bangunan gedung.

    (3) Setiap bangunan gedung yang menggunakan lift harus menyediakan lift

    kebakaran.

    (4) Lift kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa lift khusus

    kebakaran atau lift penumpang biasa atau lif barang yang dapat diatur

    pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara

    khusus oleh petugas kebakaran.

    Pasal 68

    (1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana, harus menyediakan sarana evakuasi yang meliputi sistem

    peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi

    yang dapat menjamin kemudahan pengguna bangunan gedung untuk

    melakukan evakuasi dari dalam bangunan gedung secara aman apabila

    terjadi bencana atau keadaan darurat.

    (2) Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat,

    dan jalur evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan

    fungsi dan klasifikasi bangunan gedung, jumlah dan kondisi pengguna

    bangunan gedung, serta jarak pencapaian ke tempat yang aman.

    (3) Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus dilengkapi dengan

    tanda arah yang mudah dibaca dan jelas.

    (4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai,

    dan/atau jumlah penghuni dalam bangunan gedung tertentu harus memiliki

    manajemen penanggulangan bencana atau keadaan darurat.

  • Pasal 69

    (1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana, harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin

    terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia masuk ke

    dan keluar dari bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung

    secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.

    (2) Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan marka,

    pintu, ram, tangga, dan lift bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

    (3) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi, luas, dan

    ketinggian bangunan gedung.

    Pasal 70

    (1) Setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum harus menyediakan

    kelengkapan prasarana dan sarana pemanfaatan bangunan gedung, meliputi

    ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah,

    serta fasilitas komunikasi dan informasi untuk memberikan kemudahan bagi

    pengguna bangunan gedung dalam beraktivitas dalam bangunan gedung.

    (2) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan fungsi dan luas

    bangunan gedung, serta jumlah pengguna bangunan gedung.

    Pasal 71

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan

    pemeliharaan pintu, koridor, lift, sarana evakuasi, kelengkapan prasarana dan

    sarana pemanfaatan bangunan gedung serta Ketentuan tentang ukuran,

    konstruksi, jumlah fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti

    pedoman dan standar teknis yang berlaku.

    BAB V

    PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG ADAT/TRADISIONAL

    Pasal 72

    Persyaratan bangunan gedung adat/tradisional tunduk pada persyaratan

    administratif dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12

    sampai Pasal 69.

  • BAB VI

    PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 73

    (1) Penyelenggaraan bangunan gedung terdiri atas kegiatan pembangunan,

    pemanfaatan, pelestarian serta pembongkaran.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dapat dilaksanakan oleh perorangan atau penyedia jasa di bidang

    penyelenggaraan gedung.

    Bagian Kedua

    Pembangunan

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 74

    (1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan

    perencanaan teknis dan pelaksanaan beserta pengawasannya.

    (2) Pembangunan bangunan gedung wajib dilaksanakan secara tertib

    administratif dan teknis untuk menjamin keandalan bangunan gedung tanpa

    menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

    (3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur, fungsional,

    prosedural, dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-

    nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur, ilmu

    pengetahuan dan teknologi.

    Paragraf 2

    Perencanaan Teknis

    Pasal 75

    (1) Setiap kegiatan mendirikan, mengubah, menambah dan membongkar

    bangunan gedung harus berdasarkan pada perencanaan teknis.

  • (2) Perencanaan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan bangunan gedung yang memiliki

    sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 76

    (1) Perencanaan teknis bangunan gedung dilakukan berdasarkan kerangka

    acuan kerja dan dokumen ikatan kerja.

    (2) Perencanaan teknis harus disusun dalam suatu dokumen rencana teknis

    bangunan gedung berdasarkan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai

    dengan lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.

    (3) Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa:

    a. rencana teknis arsitektur;

    b. rencana struktur dan konstruksi;

    c. rencana mekanikal dan elektrikal;

    d. gambar rencana pertamanan dan tata ruang-dalam;

    e. gambar detail pelaksanaan;

    f. rencana kerja;

    g. syarat-syarat administratif dan syarat teknis;

    h. rencana anggaran biaya pembangunan; dan/atau

    i. laporan perencanaan.

    Pasal 77

    (1) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3)

    diperiksa, dinilai, disetujui, dan disahkan untuk memperoleh IMB gedung.

    (2) Pemeriksaan dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan

    mempertimbangkan kelengkapan dokumen sesuai dengan fungsi dan

    klasifikasi bangunan gedung.

    (3) Penilaian dokumen rencana teknis dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk

    terhadap pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek

    lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.

    (4) Dalam hal rencana teknis diperuntukkan bagi pendirian bangunan gedung

    untuk kepentingan umum dan/atau bangunan gedung yang menimbulkan

    dampak penting, maka penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapat pertimbangan teknis

    dari TABG.

    (5) Terhadap dokumen rencana teknis yang telah memenuhi persyaratan sesuai

    dengan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan persetujuan

    tertulis oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas pokok dan

    fungsinya di bidang pekerjaan umum.

  • (6) Dokumen rencana teknis bangunan gedung yang telah diberikan persetujuan

    tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disahkan oleh Pemerintah

    Daerah.

    Pasal 78

    (1) Dokumen rencana teknis yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 76 ayat (3) dikenakan biaya Retribusi IMB gedung yang besarnya

    ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

    (2) Dokumen rencana teknis yang biaya Retribusi IMB gedungnya telah dibayar,

    diterbitkan IMB gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

    Pasal 79

    (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 78

    dikecualikan terhadap bangunan gedung oleh perorangan untuk kepentingan

    sendiri dan/atau bangunan gedung hunian tunggal sederhana, bangunan

    gedung hunian deret sederhana, dan bangunan gedung darurat.

    (2) Terhadap bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

    menggunakan gambar rencana teknis sederhana atau gambar rencana

    prototype.

    (3) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan teknis kepada pemilik

    bangunan gedung dengan menyediakan rencana teknik sederhana atau

    gambar prototype.

    Paragraf 3

    Pelaksanaan Konstruksi

    Pasal 80

    (1) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan

    gedung memperoleh IMB gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

    (2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus berdasarkan dokumen

    rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6) atau gambar rencana teknis sederhana

    atau gambar rencana prototype untuk bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).

    (3) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung berupa pembangunan bangunan

    gedung baru, perbaikan, penambahan, perubahan dan/atau pemugaran

    bangunan gedung dan/atau instalasi, dan/atau perlengkapan bangunan

    gedung.

  • Pasal 81

    (1) Kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung meliputi pemeriksaan

    dokumen pelaksanaan, persiapan lapangan, kegiatan konstruksi,

    pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi dan penyerahan hasil akhir

    pekerjaan.

    (2) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi pemeriksaan kelengkapan, kebenaran, dan keterlaksanaan

    konstruksi (constructability) dari semua dokumen pelaksanaan pekerjaan.

    (3) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi sumber daya, dan penyiapan

    fisik lapangan.

    (4) Kegiatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan, pembuatan laporan

    kemajuan pekerjaan, penyusunan gambar kerja pelaksanaan (shop drawings)

    dan gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang dilaksanakan (as

    built drawings), serta kegiatan masa pemeliharaan konstruksi.

    (5) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) harus menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

    (6) Kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) meliputi pemeriksaan hasil akhir pekerjaan konstruksi

    bangunan gedung terhadap kesesuaian dengan dokumen pelaksanaan.

    (7) Penyerahan hasil akhir bangunan gedung meliputi hasil pekerjaan konstruksi

    berupa bangunan gedung yang laik fungsi termasuk prasarana dan

    sarananya yang dilengkapi dengan dokumen pelaksanaan konstruksi,

    gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang dilaksanakan (as built

    drawings), pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung,

    peralatan serta perlengkapan mekanikal dan elektrikal bangunan gedung

    serta dokumen penyerahan hasil pekerjaan.

    Paragraf 4

    Pengawasan Konstruksi

    Pasal 82

    (1) Pengawasan konstruksi bangunan gedung dilaksanakan terhadap kegiatan

    pelaksanaan konstruksi dan manajemen konstruksi pembangunan bangunan

    gedung.

  • (2) Kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan biaya, mutu, dan

    waktu pembangunan bangunan gedung pada tahap pelaksanaan konstruksi,

    serta pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.

    (3) Kegiatan manajemen konstruksi pembangunan bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengendalian biaya, mutu, dan

    waktu pembangunan bangunan gedung, dari tahap perencanaan teknis dan

    pelaksanaan konstruksi bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan

    fungsi bangunan gedung.

    (4) Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (2) dan ayat (3) meliputi pemeriksaan kesesuaian fungsi, persyaratan

    tata bangunan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan,

    terhadap IMB gedung yang telah diberikan.

    Paragraf 5

    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung

    Pasal 83

    (1) Terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi

    persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi

    sebagaimana dimak