Burst Abdomen RSUD Arjawinangun 2011

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dipersentasikan Untuk memenuhi tugas stase bedah

Citation preview

Case

BURST ABDOMEN

Disusun oleh : Achamd Iskandar 1102005001 Taswan Setiawan 1102005268 Sisca Angela 1102006250

PEMBIMBING: Dr.Herry Setya Yudha Utama,spB MH.Kes FINACS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI DESEMBER 2011

1

PERSENTASI KASUS IV A. Anamnesis Umum1. Identifikasi

Nama Umur Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat MRS B. Anamnesis Khusus1. Keluhan Utama

: Tn. Karnisa : 50 tahun : Islam : SMP : Petani :Mesugede : 8 Desember 2011

Bekas luka operasi diperut terbuka2. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien post operasi di rumah sakit Guning Jati. Pasca operasi, pasien disarankan untuk berpuasa selama 5 hari. Namun, Saat itu pasien hanya puasa selama 3 hari. Saat itu pasien tidak mengetahui apa penyakitnya. Sebelum di operasi di rumah sakit Gunung Jati awalnya pasien merasa nyeri perut di seluruh lapang perut. Paien tidak bisa BAB selama beberapa hari, dan tidak bisa kentut. Perut pasien semakin kembung dan keras, mual (-), muntah, (-) C. Pemeriksaan Fisik

Riwayat Penyakit Dahulu. Hipertensi disangkal. Diabetes mellitus disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga Dalam keluarga tidak ada yang memiliki gejala penyakit yang sama seperti pasien.2

PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang Kesadaran Tanda Vitalo o

: Compos Mentis

TD : 110/60 mmHg N : 80 x/menit

o R : 20 x/menit o S : 36,2C Kepala o Bentuk Matao

: Normocephal

Palpebra

: oedem -/: anemis -/: ikterik -/: Bulat isokor : +/+

o Konjungtivao o o

Sklera Pupil Refleks Cahaya

Leher o KGB : tidak terdapat pembesaran

3

Thorax Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Ictus Cordis tidak terlihat : Ictus Cordis teraba : batas jantung dbn : BJ I-II Reg G(-) M(-) : Hemithoraks kiri dan kanan simetri : Fremitus Taktil dan Vokal simetris pada kedua lapang paru : Sonor pada kedua lapang paru : Vesikuler pada semua lapang paru, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : datar, simetris : supel : timpani : BU (+)

Ekstremitas Superior : Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-).

4

Inferior

: Akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-).

B. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Laboratorium Darah Rutin Hemoglobin Leukosit Limfosit Monosit Granulosit Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit : 7.2 : 7.0 : 1,6 : 0,5 : 6,5 : 23,3 : 85,0 : 27,4 : 32.2 : 298

Sediaan Hapus Darah Tepi Eritrosit : Normositik Normositer Eliptosit Leukosit : Jumlah Normal Tidak ditemukan sel muda Trombosit : Jumlah Normal

5

Retikulosit

: 0.5%

Diagnosis Kerja Burst Abdomen e.c Post Laparatomy C. Prognosis Dubia ad Bonam D. Penatalaksanaan

Perbaikan keadaan umum Observasi tanda vital Injeksi Ceftazidin 2 x 1 Injeksi Tramadol 2x1 Perawatan luka operasi (kompres NaCl + Gentamysin 80 mg) Rencana Re-hecting Persiapan tindakan (alat, izin, obat, darah) BURST ABDOMEN

Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau keluarnya isi rongga abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi. Wound dehiscence merupakan komplikasi utama dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2%0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai 10%-40%, disebabkan penyembuhan lukaoperasi yang inadekuat.1,2,3

6

Proses penyembuhan luka terdiri atas tiga fase:1.

Inflamasi Beberapa hari pertama setelah luka, respon inflamasi menyebabkan pengeluaran cairan dari jaringan dan menyebabkan akumulasi sel dan fibroblas serta peningkatan suplai darah ke daerah luka. Leukosit dan sel lainnya memproduksi enzim proteolitik yang akan menguraikan dan mengangkat jaringan yang rusak. Proses ini berlangsung selama 3-7 hari. Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada pendekatan tepi luka.1,4,5

2.

Proliferasia.

Setelah proses debridement berjalan baik, fibroblas akan mulai membentuk matriks kolagen pada luka yang disebut dengan jaringan granulasi. Kolagen (substansi protein) adalah konstituen utama dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.

b.

Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama periode ini.

c. Kontraksi luka juga terjadi selama fase ini. Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat menguntungkan pada penutupan luka pada areaarea seperti glutea dan trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan

7

bentuk dan jaringan parut berlebihan. d. Luka operasi yang ditutup secara perprimum memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan.3,4,6,7

G 3. Gambar 1. Penyembuhan luka perprimum dan persekundum. Dikutip dari Remodelling11

Ketika deposisi kolagen selesai, pembuluh darah pada luka akan berangsur-angsur menurun dan permukaannya akan menjadi lebih pucat. Jumlah kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi.2,7

8

Gambar 2. Proses penyembuhan luka. Dikutip dari4 Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka. Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit konkomitan, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak adekuat.8,9 Komplikasi yang sering ditemukan pada proses penyembuhan luka adalah infeksi dan dehisensi luka operasi. Beberapa komplikasi yang dapat ditemukan pada proses penyembuhan luka antara lain adalah:

A. Infeksi Angka kejadian infeksi pada proses penyembuhan luka tercatat 2.5-29.7%.10 Infeksi merupakan masalah yang paling serius yang sering mengenai penderita luka operasi. Jika tetap dibiarkan akan terjadi penyakit yang makin memburuk yang berakhir pada kematian. Tingkat infeksi yang terjadi pada luka operasi berbeda-beda tergantung kepada jenis luka operasinya.9,11

9

B. Hematoma Hematoma menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka karena menyediakan tempat perkembangbiakan kuman yang baik. Risiko terjadinya hematoma akan meningkat pada luka dengan diseksi subkutis yang luas dan perlengketan jaringan yang terjadi jelek. Hematoma pada luka biasanya disertai dengan adanya rasa nyeri, tekanan dan pembengkakan disekitar luka.9 C. Seroma Seroma adalah pengumpulan limfe yang disebabkan oleh robeknya pembuluh limfe saat operasi. Pembuluh limfe akan membengkak disertai dengan rasa nyeri. Seroma pada luka dapat diatasi dengan melakukan aspirasi dengan jarum, setelah diyakini tidak ada tanda peradangan.9 D. Dehisensi luka operasi Dehisensi luka operasi adalah terpisahnya semua lapisan jahitan dinding perut yang meliputi kulit, jaringan subkutis, fascia sampai peritoneum. Bila isi perut keluar dari luka operasi disebut dengan wound eviseration atau burst abdomen. Bila tidak mengenai semua peritoneum disebut dengan incomplete wound disruption.9,10,11 Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat terjadi dini (7-12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya.9 Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus).8,10,12

10

Gambar 3. Penyembuhan luka paska operasi abdomen. Dikutip dari4 Faktor risiko terjadinya wound dehiscence, dibedakan atas faktor preoperasi (berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita), operasi (berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan) dan pascaoperasi (berhubungan dengan komplikasi pascaoperasi).6,12 Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi dan pemakaian preparat kortikosteroid. Faktor risiko operasi antara lain jenis insisi (mediana lebih rentan daripada transversal), cara penjahitan (lapis demi lapis lebih rentan daripada satu lapis), tehnik penjahitan (terputus cenderung lebih aman daripada kontinyu) dan pemilihan benang. Sedangkan burst faktor-faktor abdomen pascaoperasi yang dapat tekanan meningkatkan terjadinya seperti peningkatan

intraabdomen (batuk, muntah, ileus dan retensio urin), infeksi pada luka, perawatan pascaoperasi yang tidak optimal, nutrisi pascaoperasi, terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker.5,9,11,13

11

Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:1.

Faktor mekanik. Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.9,11,14,15

2.

Faktor metabolik. Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. 11,15

3.

Faktor infeksi. Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke-6 atau 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.11,15,16

12

Pada penderita ini, burst abdomen atau luka operasi abdomen terbuka ditegakkan berdasarkan temuan terbukanya atau terpisahnya kembali semua lapisan jahitan yang ditandai dengan keluarnya jaringan granulasi dan jaringan usus melalui luka operasi terbuka tersebut. Dehisensi luka operasi pada penderita ini digolongkan pada dehisensi luka operasi lambat, yaitu terjadinya pada hari ketujuh. Pada penderita ini terdapat beberapa faktor risiko terjadinya dehisensi luka operasi antara lain faktor intraoperasi (jenis insisi mediana, tehnik penjahitan dinding abdomen secara lapis demi lapis dan pemililhan benang chromic cat gut), dan faktor pascaoperasi (peningkatan tekanan intraabdominal, infeksi pada luka, nutrisi yang inadekuat dan perawatan pascaoperasi yang kurang optimal).

Gambar 5. Burst abdomen pascaoperasi abdomen. Dikutip dari13 Pada dehisensi luka operasi ini faktor risiko intraoperatif cukup berperan. Tehnik insisi mediana diketahui lebih rentan untuk terbuka daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi. Selain itu,13

pemilihan tehnik penutupan dinding abdomen secara lapis demi lapis juga dapat berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya. Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan.4,6,9,11 Adapun faktor pascaoperasi yang berperan pada penderita ini adalah adanya peningkatan tekanan intraabdominal. Penderita mengeluh batuk hebat yang dimulai sejak dua hari pasca operasi, berlanjut hingga penderita pulang dan mencapai puncaknya dua hari sebelum penderita dirawat inap kembali, ditandai dengan keluarnya jaringan usus dari luka bekas operasi. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen. Faktor pascaoperasi lainnya yang diduga berperan adalah nutrisi. Dari anamnesis didapatkan penderita membatasi konsumsi protein (telur, daging, ikan). Hal ini menyebabkan asupan nutrisi terutama protein penderita menjadi inadekuat, hal ini dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu kadar albumin yang rendah. Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa komponen sulfasimukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka. Hal ini akan memperlambat proses penyembuhan luka.8,9,10,13 Berdasarkan National Nosocomial Infection Surveilance System, Culver

membedakan luka jahitan menjadi bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi

14

akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh A streptococcus B haemolyticus yang rentan terhadap Penicillin. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Streptococcuc aureus. Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus. Oleh karenanya faktor infeksi juga diduga berperan pada dehisiensi luka operasi penderita ini. Pencegahan dehisensi pada luka operasi dapat dilakukan dengan cara mengenali dengan baik dan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang dimiliki penderita, penggunaan tehnik operasi/penjahitan yang tepat, cara penjahitan dan perawatan luka setelah penjahitan yang baik. Penanganan pada penderita dehisensi luka operasi adalah dengan mengobati penyebab dari dehisensi yang terjadi. Prinsip dasarnya adalah dengan melakukan perawatan luka dengan baik.9,11,15 Pengetahuan akan faktor penyebab dehisensi luka (mekanik, metabolik dan infeksi) sangat berperan dalam pencegahannya. Koreksi terhadap faktor penyebab tersebut akan sangat bermakna dalam keberhasilan pencegahan dehisensi luka operasi. Pada kasus risiko tinggi, pemberian antibiotik dapat diberikan sebelum tindakan dan diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan arti klinis yang sangat bermakna.

Penatalaksanaan pasien dengan burst abdomen dan waktu penjahitan ulang. Pada dehisensi luka operasi, tehnik jahitan ulangan tidak seluruhnya dilakukan. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan throraks foto. Penatalaksanaan penderita dengan luka operasi

15

terbuka tergantung atas keadaan umum penderita, dibedakan atas penganganan operatif dan nonoperatif. Penatalaksanaan nonoperatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka, namun jika keadaan umum penderita membaik, dapat dilakukan operasi ulang secara elektif. Hernia abdominal merupakan salah satu komplikasi tersering dari luka operasi terbuka. Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka joperasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentun dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tandatanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga. Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang luka operasi terbuka adalah benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastik lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu. Pada penjahitan kembali dehisensi luka operas pada kasus ini telah sesuai dengan prosedur di atas.

16

DAFTAR PUSTAKA1. Anonymous, The suture in wound closure manual. Ethicon Inc. 1994; 4-12 2. Barnard B, Prevention of surgical site infection. Infection Control Today Magazine, Virgo Publishing. 2003; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

17

3. Baxter H, Management of surgical wound. Nur Time 99(13)2003;1-9 4. Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. Wound healing and sacrring sutures. The Federal University of Rio de Janeiro. 2007; 1-5. http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm 5. Cockbill S, Wound healing process. School of Pharmacy University College Cardiff. 2002; 255-260 6. Collier M, Recognition and management of wound infection. Lincolnshire Hospital. UK. http://www.worldwidewounds.com/2004/january/Collier/Managementof-Wound-infections.html 7. Enoch S, Leaper DJ, Basic science of wound healing. Sur Ox 23(2)2005; 37-42 8. Fishman TD, Phases of wound healing. Wound Care Information Network. 1995; 1-2. http://www.medicaledu.com/Advertise%20Here.htm 9. Gallup DG, Incision for gynecologic surgery. In: Rock JA, Thompson JD, eds. Te Lindes operative gynaecology. 8th ed. New York: Lippincott-Raven , 1997; 290-291 10.Helman G, Hayes K, Health care protocol: prevention of surgical site infection. Institute for Clinical System Improvement. 2006; 1-49 11.Hiyama DT, Zinner MJ, Surgical complication. In: Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Husser WC, eds. Principles of surgery. 6th ed. New York: McGraw-Hill. 1994; 441-452 12. Lund LR, Romer J, Bugge TH, et.al, Functional overlap between two classes of matrix-degrading proteases in wound healing. Embo J 18(17)1999; 4645-4656 13. Mercandetti M, Wound healing, healing and repair. 2005 http://as.emedicine.com/js.ng/Params.richmedia=yes&transactionID=81607799&am p. 14.Molene B, Good practice in infection prevention and control. Roy Coll N 2005; 1-20 15.Naumann RW, Hauth JC, Owen J, Hodgkins PM, Subcutaneous tissue approximation in relation to wound disruption after seccarian delivery in obese women. Obstet Gyneco 1995; 85: 412-416 16. Revaney L, Rowell KS, Improving surgical wound classification-why it matters. AORN J 80(2004); 208-223

18