104
BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh : NIM : 054314004 Dominikus Bondan Pamungkas NIRM PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO ...1].pdfPada tahun 1870 tanah merupakan milik elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO

    DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

    Program Studi Ilmu Sejarah

    Oleh :

    NIM : 054314004 Dominikus Bondan Pamungkas

    NIRM

    PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

    2010

  • ii

  • iv

    Halaman Persembahan

    Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama.

    Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia,

    kemarin, kini dan esok.

  • v

  • vi

    ABSTRAK

    Universitas Sanata Dharma Dominikus Bondan Pamungkas

    Yogyakarta

    Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926.

    Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi.

    Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun, sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.

    Kata kunci: Semaun, Suryopranoto, Pergerakan Buruh

  • vii

    ABSTRACT

    Sanata Dharma University Dominikus Bondan Pamungkas

    Yogyakarta

    Thesis entitled “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” was formulated from three problems. First, the factors that brought Semaun and Suryopranoto struggling in the labor organization. Second, the role of Semaun and Suryopranoto in the labor movement in Indonesia at that era. Third, the factors that caused labor movement in Indonesia being terminated in 1926.

    For reviewing these issues, this study used Karl Marx's theory of class, which discussed about the emergence of class consciousness. In the economic practices, there is a conflict happened between classes caused by a welfare imbalance between the owners of capital and its workers. In using the class theory of Karl Marx, the other two perspectives were well balanced; the perspective of conflict between the natives and colonial government, and the view of Ratu Adil

    The study resulted on that the labor movement performed by Semaun and Suryopranoto was inspired by the conditions of oppression over the labors at that era. In the labor movement, Semaun was inspired by the Marxism that he had learned at Sneevliet, while Suryopranoto realized the need to repair the welfare of the labors. Their struggles succeed to give the labors a better bargaining position against the employers. However, the nature of leadership which tended to be dependent on single figure, the lack of succession planning and the arrest of the labor movement’s figures by the colonial government made this movement to be weakened and finally terminated in 1926.

    as a liberating figure and creating prosperity. This method was used in order to see the perspective of the conflict between colonial powers and natives communities.

    Keywords: Semaun, Suryopranoto, the Labor Movement

  • viii

    Kata Pengantar

    Penulisan skripsi ini terinspirasi dari sebuah diskusi dan pembelajaran

    bersama dengan aktivis Aliansi Buruh Jogjakarta (ABJ) yakni Ika Rubbi. Ia yang

    banyak membantu dan menginspirasi saya dalam menuliskan serta membedah

    permasalahan buruh. Hal ini tentunya berguna untuk pembelajaran bersama

    gerakan buruh di Indonesia.

    Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku

    Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan sebesar-besarnya

    serta ucapan terima kasih saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu

    Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery

    Santosa, M. Hum, dosen sekaligus kaprodi Ilmu Sejarah; Dr. Anton Haryono, M.

    Hum., dosen sekaligus pembimbing skipsi saya, Drs.Ign. Sandiwan Suharso

    dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno,

    M. Hum dan Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ., keduanya selaku dosen dan peneliti

    yang saya sukai, dan mendiang Prof. Dr. P. J. Suwarno , S. H. Sekali lagi saya

    ucapkan terima kasih atas segala pendidikannya untuk mengajarkan saya.

    Terima kasih juga kepada seluruh keluarga penulis ,kepada papa, mama,

    adik, kakak serta keponakan yang selalu mengingatkan saya. Kepada rekan-rekan

    saya mahasiswa prodi Ilmu Sejarah 2005 Suster Ann, S.S, Agung eko Ariestya,

    Flavianus Setyawan Anggoro, Yohana, dan Haven Hafidullah. Kepada kakak-

    kakak saya, Agus Budi Purwanato dan Darwin Awat yang selalu setia, sabar,

    mengkritik, untuk mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menuliskan

    skripsi ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada kakak sekaligus pembimbing

  • ix

    penulis yaitu Aditya Rahman dan Ika Rubbi. Terima kasih juga kepada Vonny

    Permana Sari Simon yang senantiasa mendukung penulisan ini. Tidak lupa juga

    kepada komunitas Tarekat Djuang Muda (TADJAM) atas pendidikan serta

    sumbangannya dalam pola pikir penulis. Terima kasih atas kesediaan Bernadette

    Steari Saraswati atas koreksi penulisan serta bantuan terjemahan bahasa Inggris

    kepada saya, serta segenap Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas

    Sanata Dharma 2009-2010 yang mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi

    ini.

  • x

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL……………………………………………………….i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………ii

    HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iii

    HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….iv

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………….v

    ABSTRAK………………………………………………………………….vi

    ABSTRACT………………………………………………………………..vii

    KATA PENGANTAR……………………………………………………...viii

    DAFTAR ISI………………………………………………………………...x

    DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….xiii

    BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……. 1

    A. Latar Belakang…………………………………………………. 1

    B. Rumusan Masalah……………………………………………… 8

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… 8

    D. Metode Penelitian……………………………………………… 9

    E. Landasan Teori………………………………………………… 11

    F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 15

    G. Sistematika Penulisan………………………………………… 17

  • xi

    BAB II KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD XX ….……………………………………………………. 19 A. Kereta Api………………………………………………………20

    B. Peralihan Fungsi Tanah...……………………………………… 22

    C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta……………… 26

    D. Hadirnya Modernisasi…………………………………………. 30

    E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik……………………………… 39

    BAB III SEMAUN DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………...………….. 41

    A. Latar Belakang Semaun……………………………………….. 41

    B. Awal Karir Politik……...……………………………………… 42

    C. Semaun dan Pergerakan Buruh………………..……………… 44

    D. Semaun dan Sikap Politiknya…………………………………. 47

    E. Semaun dan PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)…….. 51

    F. Semaun dan PKI………………………………………………... 52

    G .Runtuhnya Pergerakan Politik…………………………………. 56

    BAB IV SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………………...…. 62

    A. Latar Belakang Suryopranoto...……………………………….. 62

    B. Awal Karir Pergerakan……...…………………………………. 63

    1. Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo,

    dan Boedi Oetoma................................................................... 65

  • xii

    2. Suryopranoto dan Sarekat Islam..............................................66

    3. Suryopranoto dan Adidarmo (Adhidharma)............................69

    C. Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond hingga Persatuan

    Pergerakan Kaum Buruh PPKB...……………..……………… 72

    D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun……………………… 76

    E. Melemahnya Gerakan Buruh............................………………... 79

    BAB V KESIMPULAN………………………………………………..81

    DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….89

  • xiii

    DAFTAR SINGKATAN

    BO : Bodi Utomo

    CSI : Central Sarekat Islam

    HIS : Hollandsch Inlandsche Scholen

    ISDV : Indische Sociaal-Democratische Vereeniging

    IP : Indische Partij

    PFB : Personeel Fabrieks Bond

    PKI : Partai Komunis Indonesia

    PPKB : Persatuan Pergerakan Kaum Buruh

    PPPB : Persatuan Pergerakan Pegadaian Bumiputera

    SDI : Sarekat Dagang Islam

    SI : Sarekat Islam

    VSTP : Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel

  • 1

    BAB I

    PENGANTAR

    A. Latar Belakang

    Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh

    Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum 1870,

    melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara monopolistik bertindak

    sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru yaitu ekonomi liberal yang

    memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi swasta asing, khususnya swasta

    Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870 usaha perkebunan dikuasai oleh

    pemerintah kolonial, kini modal swasta diperbolehkan melakukan pengelolaan.

    Sistem ekonomi liberal menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan

    sistem kerja upahan.1

    Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan usaha

    dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain. Namun, modal asing

    ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat pribumi. Para

    pemodal swasta oleh Soe Hok Gie disebut berada dalam free fight competition to

    exploit Indonesian.

    2

    1Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

    PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 10. 2 Soe Hok Gie. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Bentang: Yogyakarta. hlm

    11.

    Meskipun mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha

    perkebunan mereka dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur

  • 2

    dalam Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk

    membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.3

    Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah). Sawah yang

    sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh petani disewakan

    kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan sistem tradisional yang ada,

    termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.

    Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh swasta para petani penggarap menjadi

    buruh dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap)

    sering sekali tidak diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi

    perusahaan. Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja

    kecil.

    4

    Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh pesat,

    terutama di daerah Semarang dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu lima tahun

    jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api naik hingga 270

    persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya pembangunan jalur transportasi

    guna pengangkutan barang perusahaan. Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara

    3Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT

    Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 12. Tanah pribumi tidak diperjualbelikan melainkan dapat di sewa. Akibat dari harga sewa yang sangat murah dan para pemilik tanah beserta masyarakat sekelilingnya kehilangan alat produksi, secara terpaksa menjadi buruh dari industri tersebut, dengan pendapatan yang kurang dari penghasilan mereka bila mengolah lahan sebelum disewakan.

    4 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 12.

  • 3

    drastis jumlah tanah di daerah vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta.5

    Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi masyarakat

    pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan

    industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan, sehingga berdampak

    pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin bertambah karena pengusaha

    senantiasa memegang prinsip untuk menekan upah sekecil-kecilnya guna

    menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya, yang antara lain diwujudkan dalam

    upah buruh yang rendah.

    Hal ini turut mendorong pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917

    hingga tahun 1926.

    Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan sangat

    cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran. Namun hal ini

    juga berdampak pada kaum pribumi.

    6

    Tahun 1870 merupakan permulaan dari kolonialisme modern di Indonesia.

    Bila sebelumnya kekuasaan dilakukan dengan dominasi teritorial melalui kekuatan

    Kondisi buruk atas kelangkaan serta naiknya harga bahan

    pangan dan upah buruh yang sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan

    masyarakat pribumi terhadap pemilik modal.

    5 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 11. Pada tahun 1870 tanah merupakan milik

    elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun juga para pekerja yang ada di dalamnya ikut tersewa.

    6 Bambang Sulistyo. op. cit. hlm 12.Teori Adam Smith (1723-1790), ilmuan

    ekonomi asal Inggris. Teori ekonomi inilah yang kemudian secara bersama dipergunaan kelompok pemodal guna menjalankan usaha dengan prinsip-prinsipnya. Para penganut ajaranya di sebut Smithcian.

  • 4

    bersenjata serta pendudukan fisik, maka sejak 1870 sistem yang berkembang adalah

    eksploitasi dan penguasaan ekonomi oleh pemodal-pemodal swasta besar asing.

    Selain sumber daya alam, eksploitasi pemodal Belanda juga dilakukan atas sumber

    daya manusia, yakni kaum pribumi Indonesia.

    Kritik terhadap praktik ekonomi liberal pun muncul, dan akhirnya kemudian

    lahir gagasan-gagasan etis, yang salah satunya adalah pentingnya pemerintah kolonial

    memberikan pendidikan dan pengajaran secara luas kepada penduduk pribumi.7

    Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang hanya

    sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh pergerakan nasional

    dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh. Semaun

    Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite pribumi sajalah

    yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu. Lagi pula, program Politik

    Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama dalam rangka menciptakan pendidikan

    yang layak (berkualitas) melainkan terutama menciptakan buruh modern lokal yang

    murah. Penyelenggaraan pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi

    kepentingan ekonomi perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan

    alat-alat produksi industri modern.

    8 dan Suryopranoto9

    7 Takashi Shiraishi . op. cit., hlm 35. 8 Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Semaoen,

    namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Semaun. 9Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Soerjopranoto,

    namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Suryopranoto.

    adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan Semaun

  • 5

    sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga sekolah

    tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan produk dari

    Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu untuk mensiasati

    ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.

    Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun 1900-

    1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi. Pada masa ini

    mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-serikat yang berpihak pada

    kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di Semarang pada saat kepemimpinan

    Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian berkembang menjadi Personeel Fabrieks

    Bond yang digagas oleh Suryopranoto.10

    Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat berusia

    19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era

    kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi, yaitu

    persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang kegiatan

    bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya pensejahteraan, baik

    melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga mogok kerja guna menuntut

    perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam pemikirannya banyak dipengaruhi

    oleh Henk Sneevliet

    11

    10 Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, LKiS: Yogyakarta. hlm

    13. 11 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 18-20.

    , seorang penganut komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan

  • 6

    Sneevliet membawanya tertarik dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya

    sesuai dengan kondisi pribumi saat itu.12

    Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan

    Yogyakarta.

    13 Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum

    pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh dimulai sejak ia

    menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta perjumpaan secara

    langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di Jawa. Ia berjuang dengan

    inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang diajarkan ayahnya bahwa tugas para

    priyayi adalah membantu serta menolong sesama masyarakat yang tertindas. Hampir

    serupa dengan Semaun, ia juga memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo

    dan Kokrosono. Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat

    pribumi menuju kehidupan yang lebih baik.14

    Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum buruh

    tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta tindakan melalui

    pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang Semarang guna

    membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan bilamana hak mereka

    tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia melakukan pendidikan serta

    membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum buruh

    15

    12 Soewarsono. 2000. Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 5. 13 Budiawan. op. cit., Hlm 17. 14 Ibid., hlm 45. 15 Ibid., hlm 78-97.

    .

  • 7

    Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian perbandingan

    antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah tokoh gerakan buruh

    sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun latarbelakang kondisi sosial

    dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing memiliki metode dan pemikiran

    tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun yang berhaluan Marxis menyatakan

    sebuah pergerakan massa secara politis revolusioner (bahkan dengan kekerasan

    sekalipun), sedangkan Suryopranoto yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke-

    Jawa-an memilih pendidikan dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.16

    Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya kesadaran

    masyarakat atas posisi dan alat produksinya

    17

    16Ibid., hlm 102. 17Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke

    Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001. hlm 113. Dalam hal ini buruh hidup dari upah, kaum pemiliki modal hidup dari laba (modal), dan tuan tanah hidup dari rente tanah. Alat produksi dalam pengertiannya adalah media yang mampu menciptakan sebuah produk yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dalam konteks kolonial di Indonesia alat produksi yang di maksud merupakan sawah ataupun lahan (semula di miliki petani pribumi namun terpaksa di sewakan akibat tekanan-tekanan tertentu) serta mesin industri. Tidak dimiliki dan dirampasnya alat produksi masyarakat pribumi pada tahun 1900-an menyebabakan terjadinya ketergantungan ekonomi yakni buruh dengan pemilik alat industri ataupun pemilik modal.

    . Hal ini menyebabkan tidak

    terbangunnya kesadaran kelas yang digagas oleh kaum Marxis Eropa, yang cita-

    citanya menjadi dasar pedoman Semaun dan juga Suryopranoto. Kondisi ini

    menciptakan pergerakan yang amat tergantung pada tokoh. Setelah sang tokoh atau

    organisasi pergerakan diberhentikan, maka gerakan buruh pun akan terhenti.

  • 8

    B. Rumusan Masalah

    Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa permasalahan

    yang akan di bahas antara lain:

    1. Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan?

    2. Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan perburuhan di

    Indonesia pada saat itu ?

    3. Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang dilakukan oleh

    Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut:

    1. Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan perburuhan yang

    dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.

    2. Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh Semaun dan

    Suryopranoto dalam pergerakan buruh.

    3. Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang dipimpin

    oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.

    Sementara itu tujuan praktisnya adalah melihat sebuah sistem pergerakan

    buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto sehingga mampu

    mempengaruhi massa buruh pada 1915-1926.

  • 9

    Manfaat dari penulisan ini, yaitu:

    1. Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh

    di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan negara Eropa.

    2. Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta

    menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan buruh

    saat ini.

    D. Metode Penelitian

    Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah karena

    peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam penulisan sejarah

    tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang penulis dalam melihat

    peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi. Cara pandang setiap orang

    berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini diharapkan muncul gagasan yang

    maksimal dalam membedah peristiwa tersebut.18

    Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis, yang

    merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan sebagai

    berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, analisa, dan yang

    18 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas

    Indonesia., hlm 27-28.

  • 10

    terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan sistematisasi tersebut,

    penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto

    tentang pergerakan buruh. Setelah topik ditentukan, langkah berikutnya adalah

    mengumpulkan sumber sejarah (heuristik), baik yang bersifat primer maupun

    sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung

    atau berupa dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.20

    1. Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang dirangkum

    dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya Budiawan.

    Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak terlibat dari

    peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta mendokumentasikan data sumber

    primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka yang didapatkan dari karya tulis, catatan

    dokumentasi maupun laporan penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal

    pergerakan buruh.

    Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik secara

    eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada kesesuaiannya dengan

    topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis terhadap sumber yang telah teruji

    dan melalui analisis inilah kemudian ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum.

    Tahap terakhir adalah penulisan.

    Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:

    19 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang

    Budaya., hlm 91. 20 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 35-37.

  • 11

    2. Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum dalam

    buku Lentera Merah

    3. Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam buku

    Bebareng Bergerak karya Soewarsono.

    4. Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada penguasaha

    swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel serta jumlah beban

    angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi gula di Yogyakarta dan

    jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun 1862-1920 dalam buku Zaman

    Bergerak karya Takashi Shiraishi.

    Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah:

    1. Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam bahasa

    Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah karya Harry A.

    Poeze.

    2. Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.

    3. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya

    Soewarsono.

    4. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto karya

    Budiawan.

    E. Landasan Teori

    Sebuah kajian sejarah yang bersifat analitis membutuhkan alat analisis berupa

    teori dan konsep yang dipinjam dari ilmu sosial. Penggunaan teori dan konsep ilmu

  • 12

    sosial dalam penelitian tentang perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto

    dalam pergerakan buruh berguna untuk menguji ataupun mengklarifikasi atas kondisi

    dari peristiwa yang diteliti.21

    Dalam pembahasan mengenai perbandingan gagasan Semaun dan

    Suryopranoto dalam pergerakan buruh, dipergunakan teori yang mempengaruhi

    kedua tokoh tersebut, yaitu: teori kelas Karl Marx. Dalam teori ini diungkapkan

    terjadinya perbedaan kelas antara pemilik modal dengan tenaga kerja. Dalam

    pemahamannya, Marx menyatakan tentang klaim negara bahwa ia mewujudkan

    kepentingan umum padahal ia tidak lebih dari sekedar melayani kepentingan kelas

    berkuasa.

    22

    21 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 183. 22 Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 110.

    Adanya sebuah pertentangan di balik saling keterlibatan antara buruh dan

    majikan. Buruh memiliki kemampuan tenaga kerja namun tidak memiliki alat

    produksi sehingga tidak berkuasa atas produknya. Sedangkan di sisi lain kaum

    pemodal yang merupakan pemilik alat produksi memerlukan buruh untuk

    menjalankan mesin dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan produk dan

    menghasilkan keuntungan. Namun, dalam pelaksanaannya tidak terjadi sebuah

    hubungan yang baik antara buruh dengan majikan, di mana majikan menekan upah

    buruh agar biaya produksi sedikit dan keuntungan banyak, di sisi lain buruh merasa

  • 13

    tertindas dengan upah yang minim sedangkan mereka telah bekerja keras dan

    memberikan keuntungan bagi pemilik modal.23

    Dalam praktik ekonomi terjadi pertentangan kelas. Ketidak-berimbangan

    kesejahteraan antara apa yang dinikmati oleh pemilik modal dan buruh adalah faktor

    utamanya. Pada satu sisi buruh tetap ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan

    dirinya, namun pada sisi lain mereka tidak mendapatkan upah yang cukup. Sementara

    itu perusahaan (pemilik modal) amat diuntungkan karena hasil produksi mereka.

    Kesenjangan yang terjadi inilah yang melahirkan pemahaman bahwa peranan buruh

    sangat vital dalam perindustrian, sehingga para tokoh buruh memanfaatkan pemikiran

    Marx untuk diaplikasikan guna melakukan pembacaan terhadap kolonialisasi

    ekonomi dan penghisapan di tingkat buruh.

    24

    Menurut Marx, kondisi para buruh yang buruk dan tereksploitasi telah

    menciptakan sebuah kesadaran, yang kemudian dikenal dengan kesadaran kelas.

    25

    23 Ibid., hlm 112-115. 24 Linda Smith dan William Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu

    dan sekarang. Yogyakarta: Kanisius. hlm116-120. 25 Franz Magnis. op. cit., hlm 120-121.

    Buruh memiliki keyakinan akan kebenaran dan vitalnya posisi mereka dalam industri.

    Namun, pemahaman terhadap gagasan Marxis ini baru muncul setelah gerakan buruh

    di Indonesia mengenal Sneevliet serta pemikirannya. Selain itu, pemahaman akan

    Marxisme di era gerakan buruh tidak dipahami secara utuh, dan hanya menjadi

    inspirasi saja. Dalam pengertiannya, Marx menyatakan bahwa kelas hanya akan

    muncul ketika ada sebuah kesadaran akan alat produksi, meningkatnya kesadaran

  • 14

    akan alat produksi akan melahirkan kesadaran kelas, dan hal inilah yang

    menyebabkan terjadinya pertentangan kelas di Eropa.

    Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, akan dicoba menyeimbangkan

    dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi

    dan pandangan tentang Ratu Adil26

    26 Dalam konsepnya gagasan Ratu Adil lahir dari sebuah tekanan sosial

    masyarakat, di mana terjadi sebuah kolonialisme dan tidak adanya peranan dari elit pribumi untuk melindungi masyarakat. Terjadi sebuah transformasi ekonomi, di mana sebelumnya penguasaan ada di tangan elit pribumi, kini berada pada swasta asing. serta terlepasnya perlindungan dari kelompok elit pribumi atas rakyatnya meyebabkan sebuah konflik struktural antara masyarakat dan kolonial.

    Terjadinya pemungutan pajak, penyewaan tanah dan kondisi perburuhan yang memprihatinkan. Pada kondisi tersebut hadir harapan pembebasan yang didorong oleh sosok Semaun dan Suryopranoto mengajak masyarakat bergerak untuk bebas serta melawan penindasan kolonial dan swasta asing.

    . Dalam perspektif konflik antara kekuatan

    kolonial dengan masyarakat pribumi, pemerintah kolonial dianggap sebagai institusi

    yang bertanggung jawab atas terampasnya alat produksi masyarakat pribumi.

    Munculnya pemilik modal swasta Barat merupakan sebuah gagasan mengenai

    konflik kolonialisme. Masyarakat pribumi memandang tidak ada perbedaan antara

    pemerintah kolonial dan swasta Belanda dalam hal penindasan dan eksploitasi.

    Gagasan yang kemudian muncul di masyarakat mengenai nasib buruh yang sengsara,

    adalah bahwa kesengsaraan itu disebabkan oleh para pemilik modal adalah kaum

    kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung

  • 15

    pergerakan buruh menjadi pergerakan nasionalistis yang menentang penindasan kaum

    Belanda terhadap rakyat pribumi.27

    Selain pandangan tentang konflik antara pemerintah kolonial dengan pribumi,

    muncul juga pandangan mengenai ratu adil sebagai tokoh yang membebaskan dan

    menciptakan kesejahteraan masyarakat. Banyak tokoh buruh di kalangan buruh

    sendiri dianggap sebagai ratu adil, kemudian setelah tokoh tersebut berjuang ternyata

    keadilan tidak pernah terwujud sempurna sesuai harapan. Namun harapan akan

    terciptanya sebuah kesejahteraan dan keadilan bagi buruh tetap melekat hingga saat

    itu. Hal ini menginspirasikan kaum buruh, bahwa ratu adil yang diharapkan bukanlah

    sosok jasmani tetapi sebuah gagasan tentang kesejahteraan buruh. Konsepsi ini juga

    diungkapkan oleh Emmanuel Subangun dalam perpektifnya tentang Ratu Adil, yang

    dipahaminya sebagai cita-cita. Ketika fisik, pikiran, dan tindakan sudah tidak lagi

    mampu menandingi pihak kolonial serta penjajahan senantiasa berlangsung, maka

    ratu adil bukan lagi cita-cita melainkan sebuah harapan belaka yang senantiasa

    dinantikan.

    28

    F. Tinjauan Pustaka

    Buku yang membahas tentang pergerakan buruh yang dilakukan oleh

    Semaun dan Suryopranoto, antara lain Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa

    27 Aloliliweri, M.S. 2005. Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya

    Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS. hlm 270-271. 28 Emmanuel Subangun, "Tidak Ada Messias dalam Pandangan Hidup Jawa"

    dalam Prisma No. 1 Januari 1977 Tahun VI., 1977

  • 16

    1912-1926, karya Takashi Shiraishi29. Posisi penting buku ini adalah mampu

    memberikan data-data mengenai luas lahan yang disewakan, gaji buruh, serta tingkat

    pembakaran lahan perusahaan yang dilakukan oleh para buruh saat berunjukrasa serta

    beberapa data lainnya. Hampir serupa dengan Zaman Bergerak, buku Pemogokan

    Buruh Sebuah Kajian Sejarah karya Bambang Sulistyo30, memberikan data-data

    mengenai jumlah hasil gula serta peranan Semaun dan Suryopranoto dalam

    pergerakan buruh. Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie31

    Buku lainnya bersifat biografis dan pemikiran Semaun yakni Bebareng

    Bergerak karya Soewarsono, penerbit LkiS Yogyakarta. Dalam buku ini digambarkan

    latar belakang, biografi, pemikiran serta perjuangan Semaun dalam membela hak

    buruh. Buku ini juga disertai surat, artikel dan catatan-catatan Semaun saat berjuang

    bersama SI, Suryopranoto dan PKI. Buku lainnya merupakan biografi dan pemikiran

    Suryopranoto, yakni Anak Bangsawan Bertukar Jalan, karya Budiawan. Buku ini

    berisi mengenai perjalanan hidup Raden Mas Suryopranoto, pergerakan dalam

    organisasi-organisasi yang mendukung kesejahteraan buruh, dan perseteruan

    Suryopranoto dengan Semaun. Dalam buku ini juga tertulis catatan pribadi, surat, dan

    tulisan Suryopranto di berbagai artikel.

    juga memuat data-

    data tentang luas tanah, biaya sewa dan perseteruan pergerakan buruh dengan

    pemerintah Belanda maupun antar gerakan (Semaun dan Suryopranoto).

    29 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 10-147. 30 Bambang Sulistiyo. op. cit.,hlm 9-159. 31 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 19-51.

  • 17

    Untuk melihat kondisi perburuhan pra Semaun dan Suryopranoto secara

    umum digunakan beragam buku pembantu seperti buku Di Negeri Penjajah karya

    Harry A. Poeze32

    G. Sistematika penulisan

    yang memuat catatan dan artikel asli dari Semaun saat berada di

    negeri Belanda.

    Berdasarkan buku-buku tersebut, penelitian yang memperbandingkan gagasan

    Semaun dan Suryopranoto ini diharapkan dapat memberikan pandangan serta gagasan

    mengenai gerakan buruh yang terjadi. Secara umum belum ada upaya ilmiah yang

    dengan tegas memperbandingkan pemikiran Semaun dan Suryopranoto, bukan untuk

    melihat siapa yang unggul melainkan melihat metode yang mereka gunakan. Studi

    perbandingan ini penting mengingat Semaun dan Suryopranoto berada pada waktu

    yang sama dan pernah berjuang bersama. Menarik untuk disimak mengapa keduanya

    kemudian saling bertentangan ketika kekuatan massa buruh sedang dalam masa

    matang, dan setelah 1926 keduanya saling tersingkir dari pergerakan perburuhannya

    sendiri.

    Hasil dari penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai

    berikut:

    Bab I merupakan pendahuluan yang berisiskan latar belakang dan hal-hal

    yang mendorong penelitian ini.

    32 Harry A. Poeze, Cees van Djik, Van der Meulen. Di Negeri Penjajah

    Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. hlm 184-188.

  • 18

    Bab II berisiskan latar belakang yang mempengaruhi Semaun dan

    Suryopranoto untuk melakukan pergerakan buruh.

    Bab III berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik

    dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Semaun.

    Bab IV berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik

    dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Suryopranoto.

    Bab V merupakan sebuah kesimpulan dan pernyataan dari penulis mengenai

    kekuatan, kelemahan, ancaman serta peluang dari gerakan buruh yang diprakarsai

    oleh Semaun dan Suryopranoto.

  • 19

    BAB II

    KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD

    XX

    Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks ini

    adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan pada tahun

    1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat Semarang dan

    Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada sektor industri, tanah

    dan tentunya buruh.

    Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis. Hal ini

    ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi. Proses produksi yang

    sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan kepada pihak swasta. Selain itu

    diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan munculnya Undang-Undang Agraria

    tahun 1870 yang memuat aturan penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala

    1882 yang kemudian menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage

    labourer), sampai sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya

    meningkat hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan

    jalan.1

    Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang mulai

    memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam sistem modern

    1Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 10-11.

  • 20

    kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern tersebut adalah upaya

    menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan memperkenalkan mesin-mesin

    modern. Berdasarkan laporan Mindere Welvaart Commissie, terjadi penurunan

    tingkat kemakmuran pribumi pada akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar

    pemerintah kolonial membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan

    Politik Etis.2

    Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah (middle class)

    pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Kelompok ini merupakan

    masyarakat prakapitalis yang menyandarkan penghidupannya dari gaji. Meski

    demikian, fungsi awal dari kelompok ini adalah pengisi pasar tenaga kerja yang

    memiliki keahlian. Namun kemudian, masyarakat kelas menengah yang sebagian

    besar adalah kaum terpelajar ini yang mengawali perubahan sosial dengan

    dilakukannya pergerakan.

    3

    A. Kereta Api

    Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya adalah

    munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah satu acuan

    modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media transportasi

    merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha lokal maupun

    Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-Vorstenlanden merupakan

    2Ibid., hlm 11. 3Ibid.

  • 21

    contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan meningkatnya jumlah angkutan membuat

    industri kereta api semakin membutuhkan banyak pekerja.

    Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana penunjang

    ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan jumlah barang maupun

    hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api yang memadai.

    Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas areal kereta

    api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun barang. Data-data

    diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.4

    Tahun

    Tabel II.1 Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta Api

    Kilometer Penumpang Penghasilan dari

    Penumpang

    (dalam ribu gulden)

    Barang

    (dalam ribu gulden)

    1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588

    1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743

    1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216

    1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738

    1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194

    Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916

    4Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.

    PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 11. Data diperoleh dari buku Zaman Bergerak yang mempergunakan sumber Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.

  • 22

    B. Peralihan Fungsi Tanah

    Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi adalah

    beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal

    mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis serta iklim

    mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih padi sebagai tanaman

    pokok.

    Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda guna

    mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh pemerintah

    kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial memunculkan kebijakan

    berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi dari petani dan ketentuan jumlah

    maksimal padi yang disimpan. Tentunya kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik

    dari segi penghasilan maupun pemenuhan kebutuhan.5

    Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan pengusaha

    gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit lahan pertanian padi.

    Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat pribumi. Harga beras yang

    rendah, membuat para pengusaha swasta melirik tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda

    Kebijakan lainnya adalah

    dilakukannya monopoli pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit

    peluang pribumi kelas menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini

    membuktikan adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi

    guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

    5 Ibid.

  • 23

    dirasakan masyarakat pribumi yang kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh

    dengan menanam padi secara terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi

    kelangkaan padi yang berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang

    awalnya mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata

    mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya harga

    beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras, tidak

    mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah yang

    menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk mempertahankan

    ataupun memperluas areal tanaman padi. 6

    Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola lahan

    pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama semakin meluas

    mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari rendahnya penghasilan hingga

    krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kehidupan petani semakin

    terpuruk.

    7

    Peralihan fungsi lahan padi menjadi lahan tebu menjadikan harga beras naik.

    Para petani padi yang bekerja pada kelas menengah lokal beralih menjadi buruh di

    perkebuan tebu dengan gaji yang rendah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan

    untuk membeli beras yang semakin langka dan harganya terus melonjak. Pada tahun

    6 Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm

    61. 7 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. Bentang. Yogyakarta., hlm 12.

  • 24

    1918, akibat kelangkaan dan harga beras yang tinggi, di banyak tempat di Jawa

    muncul keadaan di mana masyarakat harus antri saat membeli beras. Di Pekalongan

    antrian terjadi sepanjang kira-kira satu kilometer, tidak jarang pula terjadi perkelahian

    dalam antrian karena berebut tempat untuk lebih dahulu mendapatkan beras.8

    Kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kematian semakin meluas

    pada tahun 1919. Sulitnya mendapatkan beras dan makanan layak mengakibatkan

    masyarakat terpaksa mengkonsumsi palawija, sayur-mayur dan bahkan ada yang

    memakan bonggol pisang. Secara umum, karena kesulitan ekonomi, buruh dan petani

    kecil banyak yang hanya makan satu kali sehari.

    9

    Di samping kematian, hal lainnya adalah terjadinya penyakit akibat

    kekurangan gizi seperti beri-beri, TBC, dan influenza. Kondisi terburuk terjadi di

    Vorstenlanden terutama Yogyakarta,yang pada tahun 1919 angka kematiannya

    mencapai 25.956 jiwa. Pada tahun tersebut penduduk Yogyakarta berjumlah

    1.313.486 orang. Untuk melihat angka kematian penduduk Yogyakarta pada kuartal

    pertama tahun 1919 bisa diliihat pada tabel berikut ini .

    10

    8 Bambang Sulistyo, op. cit., hlm 62. 9 Ibid., hlm 62. Data dan informasi diambil dari surat kabar Neratja 8

    November tahun 1919. Media ini merupakan Organ dari Sarekat Islam Cabang Jakarta. Weltevvreden.

    10 Ibid. Data diperoleh dari buku Bambang Sulistyo didapatkan dari surat

    kabar Sri Mataram tahun Yogyakarta 4 September 1919.

  • 25

    Tabel II. 2 Jumlah Kematian Penduduk

    Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian

    Yogyakarta 755.472 10.623

    Kulonprogo 281.216 5.436

    Gunungkidul 276.798 9.897

    Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

    Pada tabel II.2, meningkatnya angka kematian di Yogyakarta disebabkan

    karena kekurangan gizi yang disebabkan kurangnya jumlah beras dan munculnya

    wabah penyakit seperti beri-beri, TBC, dan influensa.

    Pada kuartal kedua tahun 1919 terjadi penurunan jumlah kematian, hal ini

    desbabkan karena wabah penyakit telah mereda. Data selanjutnya adalah hasil

    penelitian kuartal kedua tahun 1919 berupa perbandingan antara jumlah angka

    kelahiran dan kematian di daerah yang sama, seperti pada tabel berikut:11

    Afdeeling

    Tabel II.3 Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk

    Angka kematian Angka Kelahiran

    Yogyakarta 7.238 4.759

    Kulonprogo 2.241 1.255

    Gunungkidul 3.089 1.680

    11 Ibid.

  • 26

    Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

    Melalui data mengenai jumlah angka kelahiran dan kematian pada tabel II.2

    dan II.3 dapat memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah kematian masyarakat

    pribumi. Surat kabar Sri Mataram Yogyakarta pada 4 September 1919 melampirkan

    data tabel Tabel II. 2 berdasarkan penelitian pada kuartal pertama tahun 1919,

    sedangkan Tabel II.3 berdasarkan penelitian pada kuartal kedua tahun 1919.

    Meningkatnya kematian penduduk disebabkan karena daerah potensial penghasil

    pangan yakni Jogjakarta mulai beralih menjadi lahan perkebunan. Kulonprogo dan

    Gunungkidul merupakan daerah yang bergantung pada pasokan hasil pangan dari

    Yogyakarta. Namun, karena terjadi peralihan fungsi lahan di Yogyakarta dari lahan

    persawahan menjadi gula maka terjadi penurunan hasil pangan sehingga Kulonprogo

    dan Gunungkidul terkena dampak yakni krisis pangan.

    Tentunya meningkatnya jumlah kematian masyarakat pribumi ini tidak dapat

    dilepaskan dari permasalahan kelangkaan bahan pangan dan kondisi kesejahteraan

    yang tidak layak. Krisis pangan yang terjadi menyebabkan gizi buruk dan masyarakat

    mudah terjangkit penyakit, yang paling mengenaskan adalah kondisi pada kuartal

    pertama tahun 1919 karena krisis pangan yang bersamaan dengan datangnya wabah

    penyakit.

    C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta

    Fenomena kemunculan pabrik gula di Hindia Belanda dipengaruhi oleh

    kondisi di Eropa. Setelah konvensi Brussels tahun 1902 Eropa mulai membuka

  • 27

    pasaran dunia bagi tebu.`12

    Terbukanya pasar gula di Eropa menyebabkan pertumbuhan perkebunan tebu

    di Hindia Belanda meningkat secara signifikan. Banyak pengusaha swasta Belanda

    mengalihkan lahan perkebunan mereka dari non tebu menjadi tebu. Pertumbuhan ini

    pun kemudian menggusur lahan-lahan pertanian padi, sehingga berdampak pada

    kurangnya hasil padi guna kebutuhan pangan masyarakat pribumi. Berdasarkan data

    dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911 terjadi peningkatan jumlah

    produksi gula di karesidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, Mangkunegaran

    dan Wonogiri.

    Hal ini membuat para pengusaha swasta Belanda tertarik

    dengan keuntungan dari potensi Hindia Belanda yang mampu menghasilkan tebu

    dengan kualitas baik.

    13

    Tahun

    Tabel berikut ini menunjukkan adanya peningkatan produksi gula

    secara bertahap.

    Tabel II.4

    Peningkatan Jumlah Produksi Gula

    Kota / Gula (dalam ribuan pikul)

    Surakarta Boyolali Klaten Sragen Wonogiri Mangkunegaran

    1890 - 103 203 26 - 48

    1900 66 41 520 98 - 102

    12Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 15. 13Ibid., hlm 16. Satu pikul sebanding dengan 61,76 kilogram. Data yang

    diambil dari Takashi Shiraisi bersumber dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911.

  • 28

    1910 91 112 829 183 - 195

    Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911

    Kondisi pertumbuhan perkebunan tebu juga berdampak pada perluasan lahan

    pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan tebu. Data berikut ini bersumber dari

    angka-angka sejak tahun 1862 hingga 1864 yang diambil dari Rossenschon, “De

    Westerse op Java,” halaman 450. Angka-angka dari tahun 1875 dan seterusnya

    berasal dari Koloniaal Verslag 1876, 1881, 1891, 1901, 1911, 1916 dan 1921. 14

    Tabel II.5 Jumlah Tanah Yang Disewakan di Yogyakarta

    Pada data tersebut diperlihatkan sebuah kenaikan jumlah tanah yang

    disewakan secara signifikan. Bila melihat dari tahun 1880 sampai 1890 terjadi

    14Ibid., hlm 14.

    Tahun Dalam bau

    1880 88.000

    1890 93.000

    1895 93.000

    1900 89.000

    1905 85.000

    1910 95.000

    1915 97.000

    1920 102.000

  • 29

    kenaikan penyewaan lahan sejumlah 5000 bau. Meskipun jumlah ini tetap hingga

    tahun 1895 dan turun sejumlah 4000 bau pada tahun 1900 dan kembali turun kembali

    sejumlah 4000 bau pada 1905. Namun pada tahun 1905 sampai tahun 1910 terjadi

    kenaikan sejumlah 10.000 bau bahkan pada tahun 1920 terjadi kenaikan hingga 7000

    bau.

    Berdasarkan data jumlah tanah yang disewakan oleh masyarakat pribumi

    (yang secara umum difasilitasi oleh lurah) diketahui bahwa luas tanah milik pribumi

    yang dikelola secara subsisten guna kebutuhan pribumi sendiri semakin kecil.

    Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa pertumbuhan swasta asing semakin

    meningkat.15

    Salah satu faktor yang menyebabkan meningkat dan mudahnya penyewaan

    lahan pertanian kepada pihak swasta Belanda menjadi perkebunan tebu adalah

    melalui peranan lurah. Dengan cara menyuap para lurah dengan uang 2,50 gulden

    untuk setiap baunya terjadi kemudahan untuk mendapatkan lahan. Karena “suap”

    inilah di desa-desa banyak terjadi pemaksaan penyewaan tanah.

    16

    Dalam masyarakat agraris tradisional, tanah sering dikonsepsikan sebagai

    milik raja. Tanah bukan semata-mata sebagai sumber nafkah namun juga sumber

    15Soe Hok Gie, op. cit., hlm 12. Dalam buku Di Bawah Lentera Merah

    terdapat pernyataan bahwa pada tahun 1919, para pengusaha perkebunan memberikan premi 2,50 Gulden untuk setiap bau kepada lurah yang dapat menyewakan tanah pertanian.

    16Ibid., hlm 13. Dalam pernyataannya Soe Hok Gie juga menambahkan bahwa

    untuk mendapatkan kajian lengkap mengenai peran “suap” yang dilakkan lurah dapat dilihat di Human Bondage in Southeast Asia (Chapel Hill, 1950) karya Bruno Lasker.

  • 30

    kekuasaan bagi pegawai raja (priyayi).17

    Namun, dari data atas tingkat kematian, jumlah produksi gula hingga luas

    lahan yang beralih fungsi menunjukkan sejumlah besar tanah milik masyarakat adat

    sepenuhnya telah disewa oleh pihak swasta. Luas tanah pertanian pangan yang

    semakin sempit, dan luas perkebunan tebu yang semakin membengkak berakibat pada

    terjadinya kelangkaan pangan (krisis pangan) dan meningkatnya jumlah kematian

    penduduk pribumi.

    Berdasarkan pengertian tersebut, Belanda

    yang datang dan melakukan kolonialisme mempergunakan sistem tersebut untuk

    menguasai tanah, yakni menguasai para raja dan secara sistematis tanah yang berada

    di bawah kekuasaan raja akan dikuasai oleh Belanda.

    18

    D. Hadirnya Modernisasi

    Bersamaan dengan dimulainya abad ke XX, hadir sebuah zaman baru di

    Hindia Belanda, yakni zaman etis. Dalam periode ini muncul kata-kata “kemajuan”,

    seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan

    opvoedening (pendidikan).

    Pada awal bulan Agustus 1899 Conrad Theodor van Deventer menulis sebuah

    artikel berjudul “Een Eereschlud” (“Hutang Budi”). Artikel ini diterbitkan oleh

    17Anton Haryono, “Dari Rakyat Legitimasi Dibangun, Kepada Rakyat

    Eksploitasi Diarahkan: Indonesia Pra-Kolonial, Kolonial, dabn Pasca-Kolonial”. Dalam Silverio R.L. Aji Sampurno dkk. 2003. Indonesia lternatif, Rakyat Sebagai Pemegang Kedaulatan ekonomi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. hlm 6.

    18 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. op. cit., hlm 17.

  • 31

    majalah De Gids. Melalui artikel tersebut dinyatakan bahwa bangsa Belanda telah

    memperoleh keuntungan dari bangsa Indonesia (Jawa) sejak 1867 hingga 1899 kira-

    kira sejumlah 200 juta gulden. Bagi van Deventer hal ini merupakan sebuah hutang

    kehormatan, sebuah hutang harus dibayarkan. Menurut van Deventer hutang tersebut

    dapat dibayarkan melalui cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memperhatikan

    nasib rakyat Hindia Belanda. berdasarkan pengamatannya, sejak 1885 penduduk

    bumiputera mengalami proses pemiskinan yang kian mendalam. Usulan van

    Deventer dalam artikel tersebut adalah mengembalikan utang melalui program

    pendidikan dan pembangunan ekonomi bumiputera.19

    Kritik van Deventer hanyalah salah satu dari sekian kritik bagi pemerintah

    Belanda kala itu. Hal ini kemudian direspon oleh parlemen Belanda dengan

    memutuskan sikap melalui program Politik Etis. Hadirnya zaman etis ditandai dengan

    bermunculannya sekolah-sekolah. Kritik yang melahirkan Politik Etis ini awalnya

    berasal dari internal negeri Belanda, sebagai bentuk keprihatinan terhadap

    ketidaklayakan sikap pemerintah kolonial atas penduduk pribumi. Berdasarkan kritik

    tersebut, parlemen Belanda memutuskan untuk membentuk sebuah program balas

    budi. Namun, seiring berjalannya waktu, langkah kolonial ternyata tidak sebatas pada

    upaya balas budi yang beritikad baik, tetapi memanfaatkan program etis sebagai

    media pemenuhan tenaga kerja murah .

    .

    20

    19Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm

    36.

    Lagi pula, kelompok yang dapat

    20Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 35-39.

  • 32

    mengenyam pendidikan praktis terbatas pada kaum menengah yang umumnya

    memiliki cukup uang.

    Awal pelaksanaan Politik Etis dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah sekolah

    bagi masyarakat pribumi. Merebaknya sekolah secara tidak langsung juga

    dimanfaatkan oleh pihak swasta Belanda untuk mendapatkan buruh-buruh

    perindustrian yang dapat mengoperasikan teknologi modern. Pada 1893 pemerintah

    membentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass Inladsche

    Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priyayi , dan Tweede

    Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Dua) untuk anak-anak

    pribumi dari kelas sosial yang lebih rendah.21

    21Ibid., hlm 37.

    Meluasnya sekolah bagi pribumi juga meningkatkan jumlah murid pribumi di

    dalamnya. Sekolah bagi kaum pribumi yang awalnya dibentuk guna menghasilkan

    tenaga kerja murah ini kemudian secara bertahap melahirkan kaum terdidik yang

    kritis terhadap kebijakan kolonial dan bersedia melakukan usaha-usaha pembangunan

    kesadaran pada masyarakat pribumi. Jumlah kaum terdidik yang bersekolah pada

    sekolah Belanda setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.

  • 33

    Jumlah sekolah Bumiputera Angka Dua dan jumlah murid, berdasarkan data

    dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-

    1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963) dinyatakan sebagai berikut.22

    Jumlah Sekolah

    Tabel II.6 Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Sekolah Negara dan Swasta

    Jumlah Murid

    Tahun Negara Swasta Total Negara Swasta Total

    1900 551 836 1.387 64.742 36.431 98.173

    1905 674 1.286 1.942 95.075 66.741 161.816

    1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629

    1915 1.202 2.198 3.400 186.300 134.644 320.974

    1920 1.845 2.368 4.213 241.414 116.556 357.970

    Sumber: Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B.

    Wolters, 1963).

    Sedangkan berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1896, 18906,

    18911, dan 1916. Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura sebagai

    berikut.23

    22Ibid. Data yang dipergunakan oleh Takashi Shiraishi berasal dari data dari S.

    L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963).

    23Ibid. data yang diperoleh Takashi Shiraishi berasal dari Koloniaal Verslag

    tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916.

  • 34

    Tabel II.7 Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura

    Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta

    1895 391 15 13

    1905 722 19 40

    1910 1.088 41 111

    1915 1.237 61 109

    Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916

    Pada tahun 1900, Hoofden Scholeen yang mendidik para calon pegawai

    priyayi pribumi disempurnakan menjadi Opleiding School Voor Inladsche

    Ambtenaren (OSVIA). Pada waktu yang bersamaan, sekolah untuk dokter Jawa yakni

    Indische Arsten dikembangkan menjadi Opleiding van Indische Arsten atau STOVIA.

    Pada 1902, di Bogor didirikan sekolah pertanian menegah untuk pribumi bernama

    Inlandsche Lanbouw School. Pada 1907, jumlah sekolah dasar dengan sistem

    pendidikan Barat berjumlah 675 sekolah, namun karena desakan kaum priyayi

    pribumi maka pemerintah kolonial menyatakan akan membangun lagi 700 sekolah.

    Pada tahun 1907, Sekolah Angka Satu atau Eerste Klasse School dikembangkan

    menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dengan lama pendidikan 7 tahun.24

    23Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39.

  • 35

    Jumlah sekolah dengan pendidikan tradisional tanpa pelajaran bahasa Belanda yang

    tercatat pada tahun 1912 sejumlah 2.500 buah.25

    Program pokok Politik Etis adalah Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Dalam

    konsepnya ketiga program tersebut merupakan upaya untuk peningkatan ekonomi,

    mendistribusikan kepadatan penduduk, dan penerapan pendidikan. Meskipun

    demikian, ternyata program-program tersebut juga hanya menjadi perpanjangan

    tangan perusahaan swasta. Program irigasi dalam implementasinya hanya

    menguntungkan perkebunan swasta bukan pribumi, transmigrasi (umumnya dari

    Jawa ke Sumatra dan Kalimatan) cenderung sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja

    buruh perusahaan swasta daripada upaya distribusi kepadatan penduduk, dan edukasi

    secara umum dipandang sebagai usaha untuk mengenalkan teknologi industri kepada

    calon buruh. Namun, dari ketiga program itu, edukasi nampak mengalami kemajuan

    yang cepat.

    26

    Meningkatnya jumlah sekolah dan terbukanya pendidikan bagi masyarakat

    pribumi, meskipun masih sebatas kaum golongan atas dan menengah saja,

    memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dampak program pendidikan tidak

    sebatas pada masyarakat bisa membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga

    munculnya menjadi pegawai-pegawai administrasi kolonial dari kalangan pribumi

    25Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia. Terjemahan. hlm 50-

    99. 26Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39

  • 36

    baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta. Program etis juga memunculkan

    kesadaran baru bagi masyarakat pribumi.

    Pendidikan bagi publik memperkenalkan sebuah pandangan baru. Orang-

    orang pribumi mulai sadar dan peka apa yang disebut kolonialisme. Mereka semakin

    menyadari bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Hindia

    Belanda sesungguhnya merupakan bentuk penindasan, yang oleh masyarakat Eropa

    sendiripun kolonalisme pada masa itu ditolak. Melalui pendidikan yang semakin

    meluas inilah kemudian masyarakat pribumi menemukan cara baru dalam melakukan

    perlawanan terhadap pemerintah kolonial.27

    Dengan menjamurnya sekolah dan makin bertambahnya kaum terdidik, maka

    kesadaran masyarakat pun meningkat. Berdasarkan catatan yang diperoleh dari

    perkebunan tebu, terjadi penurunan angka protes dengan cara membakar lahan tebu

    menjadi protes melalui jalur keorganisasian, menjemur diri dan mogok kerja sebagai

    ungkapan perlawanan buruh terhadap majikan. pada tahun 1907, di luar daerah

    Vorstenlanden aksi pembakaran tercatat 2.300 kali, dengan areal yang dibakar seluas

    4.700 bau lebih. Pada 1912 aksi serupa tercatat 2.700 kali dengan areal yang

    dirugikan sejumlah 6.650 bau. Setelah lahirnya organisasi serikat pekerja, aksi

    pembakaran mengalami penurunan. Pada 1913 jumlah aksi pembakaran turun

    menjadi 1.900 kali pada areal seluas 5.300 bau, kemudian pada 1914 turun lagi

    27Bambang Sulistyo., Ibid., hlm 40.

  • 37

    menjadi 1.500 kali aksi dengan luas areal 4.100 bau. Jumlah ini terus menurun hingga

    pada 1917 hanya terjadi 886 kali pada areal seluas 1.925 bau.28

    Dengan hadirnya era modernisasi inilah muncul kelompok menengah

    pribumi, melalui cara mendidik para calon tenaga kerja yang terlatih.

    Dalam catatan perusahaan gula dinyatakan bahwa sejak hadirnya SI terjadi

    penurunan aksi. Lahirnya organisasi serupa bernama Boedi Utomo, dan sejenisnya

    (termasuk SI) menanamkan sikap baru dalam menyampaikan aksi. Mereka umumnya

    mengawali dengan menggunakan negosiasi. Bila hal yang diinginkan tidak terwujud,

    maka barulah aksi massa dikerahkan. Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan awal

    ini merupakan embrio bagi lahirnya gerakan nasionalisme.

    29

    Politik Etis dapat dikatakan gagal, sebagai akibat dari munculnya kerjasama

    kolonial antara kekuatan ekonomi dan pemerintahan. Ekspansi dan konsentrasi

    kekuatan dipegang oleh beberapa pihak saja, sehingga pengaruh pemilik modal

    Meskipun

    telah hadir sarana transportasi, pendidikan, dan organisasi massa bagi kaum pribumi,

    namun usaha dalam bidang ekonomi masih sulit. Kondisi ini disebabkan oleh kuatnya

    monopoli dan penguasaan modal oleh pihak Belanda.

    28Ibid.,hlm 40. Data yang dikaji oleh Bamabang Sulistyo berdasarakan

    Verslag van Algemeen Syndicaat van Suikerfabriekanten in Ned-Indie overhet 27e Jaar,1921, hlm 60-63.

    29 Anton Haryono. op. cit., hlm 26.

  • 38

    terhadap pemegang kekuasaan cukup besar . Menjadi hal yang wajar ketika banyak

    kebijakan bersifat politis namun menguntungkan kaum pemodal.30

    Mendekati akhir abad XIX, yaitu pada tahun 1897, mulai bermunculan

    organisasi perburuhan. Pada awalnya organisasi perburuhan ini sebagian besar

    diprakarsai oleh para buruh Belanda yang bekerja di Hindia Belanda. Beberapa

    organisasi tersebut adalah Cultuurbond, Handelsbond dan Zuikerbond. kemunculan

    mereka disebabkan karena para pegawai Belanda di negara asalnya memiliki hak atas

    pekerjaan, sehingga mereka bebas membentuk organisasi. Pada awalnya organisasi

    pekerja yang dibuat oleh pegawai tinggi Belanda bersifat ekslusif. Namun kondisi

    mulai berubah setelah tahun 1900-an. Pada awalnya pekerja Eropa mendominasi

    serikat pekerja. Namun, semakin bertambah banyaknya jumlah pekerja pribumi dan

    semakin sedikitnya jumlah pekerja dari negeri Belanda berpengaruh terhadap

    organisasi serikat pekerja. Para pegawai Belanda mengangap perlunya sebuah

    kesatuan yang sama serta memperkuat jumlah massa buruh dalam organisasi,

    sehingga dilibatkanlah buruh-buruh pribumi di dalamnya. Kondisi ini yang kemudian

    menjadi embrio bagi pergerakan buruh pribumi di Hindia Belanda.

    31

    Pada periode 1900-1926 pergerakan buruh yang muncul umumnya menuntut

    perbaikan nasib (kesejahteraan) bagi para pekerjanya. Pada awal era Politik Etis

    muncul Semaun dan Suryopranoto dalam organisasi pergerakan pribumi yang

    30Ibid., hlm 27-28 . 31Sandra. Pergerakan Buruh Indonesia. hlm 7-8.

  • 39

    kemudian dalam perjalanannya melakukan transformasi organisasi yang bersifat

    memperjuangkan nasib kaum pekerja pribumi secara politis maupun secara organisasi

    massa.

    E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik

    Bila pada tahun 1900 hanya kelompok priyayi yang menjadi administrator,

    maka pada tahun 1914 kelompok elit baru bertambah dengan sejumlah pegawai

    pemerintah, teknisi dan cendekiawan. Hadirnya kaum elit baru ini sesungguhnya

    berkaitan dengan kebutuhan pemerintah kolonial akan penambahan jumlah tenaga

    kerja terdidik dalam setiap bidang pekerjaan.

    Lahirnya kaum terdidik menciptakan perubahan baru. Tirto Adi Suryo

    seorang keturunan bangsawan yang merupakan lulusan STOVIA, tercatat sebagai

    pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar.32 Ia menerbitkan Medan Prijaji,

    sebuah jurnal yang berisikan berita harian tentang kehidupan masyarakat. Namun

    kemudian, karena tergerak melihat situasi sosial yang kian buruk bagi masyarakat

    pribumi, ia menuliskannya dalam surat kabar tersebut. Dengan tulisan-tulisannya

    yang dimuat di Medan Prijaji banyak kaum intelektual pribumi lainnya tergerak

    untuk ikut dalam pergerakan. Melalui surat kabar ini, pergerakan nasional dimulai.33

    32Dalam Skripsi ini digunakan ejaan Tirto Adi Suryo, sedangkan dalam buku lain dituliskan dalam ejaan Tirto Adi Soerjo. 33Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918. KITLV. hlm 128.

  • 40

    Tirto sendiri kemudian bergerak lebih dalam dengan membentuk Serikat

    Dagang Islam di Bogor pada 1911. Pergerakan Tirto dilakukan bersama dengan

    rekannya asal Surabaya yaitu H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berdua mendirikan SDI

    (Sarekat Dagang Islam) yang kemudian berkembang pesat sebagai organisasi awal di

    Indonesia.34

    Selain SDI, hadir pula organisasi priyayi Jawa bernama Budi Utomo (BO) di

    Jogjakarta pada 10 Oktober 1908. Organisasi ini masih bersifat kedaerahaan, namun

    merupakan organisasi yang memiliki struktur yang sesuai dengan organisasi modern.

    Organisasi ini terdiri dari mahasiswa asal Jawa yang berkumpul dan membicarakan

    masa depan masyarakat Jawa.

    35

    34 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 2005. hlm 251-252. 35 Akira Nagazumi. op. cit., hlm 95-100.

    Secara umum, organisasi BO dan SDI menjadi pemicu bagi lahirnya

    organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Termasuk

    Suryopranoto yang terlahir dari BO, dan Semaun yang terlahir dari SDI yang

    kemudian berubah menjadi SI. Suryopranoto dan Semaun adalah dua tokoh

    pergerakan yang memfokuskan pada kajian perburuhan pribumi.

  • 41

    BAB III

    SEMAUN,

    DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH

    Tahun 1900 hingga 1919 merupakan awal pergerakan buruh di Indonesia.

    Kondisi ekonomi dan politik yang semakin menekan masyarakat pribumi pada

    masa tersebut menjadikan rasa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda

    semakin menguat. Pada era 1900-an ini hadir pula tokoh-tokoh pergerakan buruh.

    Satu diantaranya adalah Semaun.

    A. Latar Belakang Semaun

    Semaun dalam beberapa catatan sejarah mulai dikenal ketika ia menjabat

    sebagai presiden Sarikat Islam (SI) Semarang pada tanggal 6 Mei 1917. Semaun

    lahir di kota kecil Tjurah Malang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899.1

    Semaun merupakan anak dari seorang pegawai rendahan bernama

    Prawiroatmodjo. Ayah Semaun merupakan pegawai rendah di jawatan kereta api,

    tepatnya seorang tukang batu. Semaun sempat bersekolah Tweede Klas (sekolah

    bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda

    dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah

    dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kondisi

    1 Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta., hlm 40.

  • 42

    tersebut mendorongnya untuk bekerja di Staatspoor (SS) Surabaya sebagai juru

    tulis (klerk) kecil. 2

    Bermula dari usia 15 tahun, Semaun muda memulai karir politiknya.

    Tepatnya pada tahun 1914, Semaun mulai bergabung dalam organisasi Sarekat

    Islam (SI) cabang Surabaya dan segera menjadi sekretaris cabang tersebut.

    B. Awal Karir Politik

    3

    Dalam catatan Arnold C. Brackman dalam buku Indonesian Communism

    dinyatakan bahwa ada hal lain yang sesungguhnya terjadi, yakni sebuah kesulitan

    yang dihadapi oleh Sneevliet dalam melancarkan propaganda terhadap kaum

    Dalam organisasi ini Semaun kemudian menjadi aktif dalam serikat buruh kereta

    api. Aktivitas Semaun sebagai penggerak organisasi buruh kereta api membuatnya

    tertarik pada upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia

    yang digerakan oleh Sneevliet. Perjumpaan Semaun diawali ketika Sneevliet

    menjabat di VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel. Melalui

    perjumpaan tersebut ia kemudian bergabung dalam Indische Sociaal-

    Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV)

    cabang Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en

    Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) cabang Surabaya

    pada tahun 1915. Satu tahun kemudian (1916), Semaun menjabat sebagai wakil

    ketua cabang ISDV Surabaya, saat itu usianya 17 tahun.

    2 Ibid . 3 Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu.

    Jakarta. 2010. Hlm 32.

  • 43

    pribumi, adanya kendala bahasa, agama dan ras. Sneevliet merasa perlu agar

    paham Marxisme mampu menembus organisasi SI. Dengan demikian, Sneevliet

    mencoba melakukan metode baru ,“bloc within” yakni keanggotaan ganda, baik

    dalam ISDV maupun SI.4

    Tahun 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatspoor. Hal ini

    disebabkan karena Semaun diangkat menjadi propagandis di VSTP Semarang.

    Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, Semaun berhasil memperluas

    hubungan dan pergaulannya melalui media massa. Kedekatan Semaun dengan

    Sneevliet juga menjadikan faktor yang menyebabkan dirinya menempati posisi

    penting pada organisasi tersebut.

    Kondisi ini terbantu dengan hadirnya Semaun di

    Semarang pada 1916.

    5 Kemampuan dan kepandaian Semaun dalam

    berbicara tentang organisasinya mendapatkan simpati luas dari banyak kalangan,

    terutama buruh. Pada saat yang bersamaan juga mulai bermunculan anggota muda

    SI yang bersimpati pada Semaun, karena selain anggota ISDV dan VSTP ia juga

    merupakan anggota SI Semarang. Dengan kemampuan bicaranya serta

    propaganda media massa milik organisasi SI, anggota SI bertambah jumlahnya.

    Pada 1916 jumlah anggota SI 1.700 orang dan pada 1917 berlipat hingga 20.000

    orang.6

    4 Soewarsono, op. cit.,hlm 2. Soewarsono mengutip catatan Arnold C.

    Brackman dalam bukunya Indonesian Comunism : A History, New York: Fredrick A. Praeger, 1963, hlm 7.

    5 Ibid. 6 Ruth McVey. op. cit., hlm 32-33.

  • 44

    Saat berada di Semarang, Semaun menjadi redaktur majalah VSTP

    berbahasa Melayu. Selain itu ia juga menjadi redaktur di berbagai media massa

    lainnya seperti Sinar Djawa dan Sinar Hindia (keduanya Koran Sarekat Islam

    Semarang). Posisinya sebagai propagandis menjadikannya ahli dalam bidang

    pengorganisasian masyarakat melalui media massa. Kejelian dan kecerdasannya

    dalam melakukan kritik dan intrik serta keberaniannya berkomentar atas

    kebijakan-kebijakan kolonial membuatnya semakin dikenal.7

    Pada tahun 1918, Semaun menjabat sebagai dewan pimpinan di Sarekat

    Islam. Kondisi perburuhan di Semarang yang umumnya sama dengan kondisi

    perburuhan lainnya di pulau Jawa menjadi perhatian khusus. Keprihatinan atas

    ketertindasan yang terjadi di dalam tubuh masyarakat buruh menjadikan Semaun

    berupaya melakukan advokasi serta menggerakkan pemogokan buruh.

    Pemogokan terbesar dan cukup berhasil dilaksanakan pada awal tahun 1918.

    Peristiwa tersebut dihadiri oleh 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920,

    pemogokan besar-besaran di kalangan buruh kembali terjadi, kali ini oleh para

    buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang, yang berhasil memaksa

    majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10

    persen.

    8

    Semaun, seorang pemuda yang sempat bekerja sebagai pegawai di

    perusahaan kereta Api Surabaya, sebuah perusahaan yang membawanya

    C. Semaun dan Pergerakan Buruh

    7 Soewarsono. op. cit., hlm 7. 8 ibid., hlm 64.

  • 45

    bergabung dalam serikat pekerja. Bermula sebagai juru tulis (klerk), Semaun

    mulai mengikuti organisasi pekerja. Perhatiannya pada kaum pekerja awalnya

    tampak biasa-biasa saja, namun seiring dengan perjalanan waktu, di mana ia

    makin dewasa dan semakin kritis terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja,

    Semaun terus bergerak aktif menyuarakan kondisi ketertindasan buruh. Semaun

    dari usia 14 tahun hingga 27 tahun, secara konsisten mengabdikan dirinya guna

    memperjuangkan nasib kaum buruh.9

    Berdasarkan catatan Mas Marco Kartodikromo dalam tulisan “ Korban

    Pergerakan Rakyat” pada surat kabar Hidoep tahun 1924 diketahui bahwa,

    penampilan Semaun dalam berbicara politik adalah pada tahun 1915 di

    Vergadering dari perhimpunan VSTP Logegebouw Semarang.

    10

    Nama besar Semaun dimulai sejak masih muda. Pada 6 Mei 1917 ketika

    masih berusia 19 tahun, ia telah terpilih menjadi Presiden Sarekat Islam

    Semarang. Salah satu hal yang membuat Semaun terpilih sebagai ketua SI

    Semarang bermula dari permohonannya, sebagai propagandis, agar pengurus SI

    Semarang mengadakan debat terbuka mengenai posisi SI Semarang terhadap

    penahanan Mas Marco karena tulisan “sama rata sama rasa”. Dalam acara debat

    yang dilangsungkan pada 14 Maret 1917, terjadi perdebatan antara Semaun

    dengan Mohammad Joesoef selaku ketua SI Semarang di hadapan para anggota

    SI. Akhir dari perdebatan bukan hanya menghasilkan sebuah sikap bahwa SI

    Semarang akan mendukung Mas Marco melalui Commite voor de

    9 27 tahun terhitung dengan peristiwa prambanan 1926.

    10 Soewarsono. Ibid., hlm 43.

  • 46

    Drukpersvrijheid, namun juga menjadi faktor penting yang menghantarkan

    Semaun sebagai ketua SI Semarang.11

    Di bawah pimpinan Semaun banyak anggota SI yang berasal dari kaum

    buruh dan rakyat kecil. Pergantian kepengurusan SI ini merupakan bagian pertama

    dari pergerakan Sarekat Islam Semarang, dari pergerakan kaum menengah

    menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini menjadi penting, karena awal dari

    perubahan tersebutlah yang akan membawa Indonesia menuju arah gerakan

    Marxisme untuk pertama kalinya.

    12

    Meningkatnya sifat revolusioner Sarekat Islam Semarang tidak saja

    dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan saja, namun juga oleh kondisi sosial

    kemasyarakatan yang ada di Hindia Belanda kala itu. Sejak masuknya modal

    swasta asing ke tanah Hindia Belanda, maka mulai bermunculan perusahaan,

    pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik asing yang menyewa tanah pribumi

    dan menjadikan masyarakat di sekelilingnya menjadi buruh. Namun, hadirnya

    usaha-usaha swasta Barat tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi

    masyarakat yang bekerja sebagai buruh. Terjadinya transformasi lahan pertanian

    pangan menjadi lahan bahan baku industri telah menciptakan kelangkaan sumber

    pangan bagi pribumi. Kondisi memprihatinkan ini merupakan akibat dari sistem

    kebijakan yang menerapkan free fight competition to exploit Indonesian yang juga

    merupakan bagian dari liberalisme ekonomi. Kebijakan tersebut telah menjadikan

    11 Ibid., hlm 45-46. Data diperloeh dari Soewarsono yang mempergunakan sumber dari majalah Hidoep dengan judul Marco, ”Korban Pergerakan”, halaman 17-21 tahun 1917.

    12 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Bentang, Yogyakarta 2005.

    hlm 10.

  • 47

    Indonesia sebagai sumber bahan baku utama yang berharga dan menghasilkan

    keuntungan besar. Sementara para buruh pribumi terus dipaksa bekerja demi

    tuntutan produksi dan keuntungan bagi majikan-majikan Belanda. Kondisi buruk

    ini mendorong Semaun dan organisasinya bertindak kritis, dan melalui berbagai

    cara berusaha mensikapi ketertindasan masyarakat pribumi dan kebijakan tidak

    adil pemerintah kolonial. Sikap ini ditunjukkan melalui aksi-aksi massa maupun

    melalui tulisan-tulisan di media massa.13

    Sejak 19 November 1917 Semaun mengambil alih kepemimpinan SI

    Semarang dan pengelolaan redaksional Sinar Djawa yang dijadikannya sebagai

    media propaganda. Pada 1 Mei 1918, nama Sinar Djawa diubah menjadi Sinar

    Hindia. Pengambil-alihan pengelolaan redaksional media massa dilakukan untuk

    memperluas gagasan, mengkritisi situasi dan mengajak bertindak melalui

    organisasi SI Semarang. Hal ini bisa dikatakan berhasil. Perluasan dan

    penambahan jumlah anggota SI Semarang melonjak drastis. Bila pada tahun 1916

    jumlah anggota baru 1.700 orang, maka pada 1917 berlipat ganda menjadi 20.000

    orang.

    14

    Sikap politik Semaun yang “keras” dan kepeduliannya yang tinggi

    terhadap kondisi ketertindasan masyarakat, membuatnya geram dengan

    perwakilan penduduk pribumi di Volksraad. Hal ini semakin menguat ketika

    perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar

    D. Semaun dan Sikap Politiknya

    13 Soewarsono. op. cit., hlm 46. 14Ibid .

  • 48

    hanyalah seperti “wayang” yang dikendalikan oleh Belanda. Ungkapan yang

    menyatakan bahwa Indie Weerbaar seperti “wayang”, berkaitan dengan sikap

    perwakilan pribumi dalam Indie Weerbaar tidak mampu memberikan perlawanan

    dan memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda dalam Volksraad.15

    Peranan Semaun juga tampak dalam pertemuan Central Sarekat Islam.

    Dalam setiap kongres CSI, Semaun mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam

    kongres ke II CSI di Jakarta pada 20-27 Oktober 1917, ia menyampaikan

    gagasan-gagasannya tentang Marxisme. Dalam forum tersebut Semaun bersama

    dengan SI Semarang merekomendasikan perjuangan untuk melakukan

    nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.

    16

    Perjumpaan Semaun dengan para tokoh SI lainnya pun tidak selamanya

    baik. Salah satu perdebatan besar pernah terjadi pada Kongres Nasional Central

    Sarekat Islam ke-2 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Semaun dengan pandangan

    Marxisnya berdebat dengan Abdul Moeis yang merupakan utusan Indie Weerbaar

    tentang masa depan SI. Pada akhir kongres disepakati bahwa Sidang Kongres CSI

    ke-2 mengambil jalan tengah yaitu menentang kapitalisme jahat. Dalam hal ini

    berarti ada kapitalisme baik. Namun demikian dalam aturan anggaran dasar yang

    disusun kongres, jelas tampak adanya pengaruh sosialisme yang merupakan

    desakan dari kelompok Semaun. Hasil dari kongres CSI ke-2 berupa upaya

    perlawanan terhadap kolonialisme Belanda melalui hubungan antara agama,

    15 Soe Hok Gie, op. cit., hlm 32. 16 Ibid., hlm 38.

  • 49

    kekuasaan, dan kapitalisme.17

    Pada kongres CSI ke-3 disepakati keputusan mengenai sikap menentang

    kapitalisme dengan cara mengorganisasikan kaum buruh, yang disambut baik oleh

    SI Semarang. Sikap ini muncul karena SI dari daerah-daerah telah membentuk

    kesatuan gerakan buruh masing-masing. Kondisi ini juga memicu pertumbuhan

    akar perjuangan gagasan sosialis revolusioner hingga tahun 1926.

    Dalam hal ini pemikiran Semaun tetang Marxisme

    telah cukup matang . Hal ini terbukti dalam banyak perjumpaan ia mampu

    mempertahankan ideologinya.

    18 Dalam

    kongres, Semaun mengusulkan didirikannya organisasi pusat serikat buruh

    (vakcentral), tujuannya adalah mempersatukan gerakan buruh di lingkungan

    serikat pekerja dinas pemerintah dan serikat pekerja Eropa.19

    17 Ibid., hlm 37. 18Ibid., hlm 49. 19 Soewarsono. op. cit., hlm 71.

    Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di

    Surabaya, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Suryopranoto. Dalam

    perdebatan, Semaun menyatakan perlunya memberikan nama dengan tertulis

    “Revolutionnair”, sebagai lambang keseriusan gerakan buruh yang bersatu untuk

    mewujudkan perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah kolonial

    Belanda. Namun hal tersebut ditolak oleh Suryopranoto, yang menurutnya

    gagasan Semaun akan memicu reaksi keras Belanda dan membahayakan

    organisasi. Suryopranoto menyarankan untuk mengubah nama menjadi lebih

    umum namun dalam kerjanya tetap harus berpihak secara utuh terhadap buruh.

  • 50

    Pembentukan Vakcentral yang diusulkan oleh Semaun baru dapat

    direalisasikan pada pertemuan di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Setelah

    diadakan banyak pertimbangan yang dianalisa tidak hanya dari sudut pandang

    pergerakan namun j