87

CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 2: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 3: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

ISSN: 2085-546X

CAKRADONYA DENTAL JOURNAL

Alamat Redaksi:

Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Darussalam Banda Aceh 23111. Tel. 0651-7555183

Website: www.cakradonyadental.org

email: [email protected]

Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Penanggung Jawab: Wakil Dekan I FKG Unsyiah

Ketua Penyunting: Sunnati, drg, Sp. Perio

Wakil Ketua Penyunting: Rafinus Arifin, drg. Sp.Ort

Penyunting Ahli: Prof. drg. Bambang Irawan, PhD (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp.KG (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Elza Ibrahim Auekari, M. Biomed (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho (FKG UNPAD)

Prof. drg. Ismet Danial Nasution, Sp. Prostho, Ph.D (FKG USU)

Prof. Dr. drg. Tet Supardi, Sp.BM (K) (UNPAD)

Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio (FKG UI)

drg. Gus Permana Subita, PhD, Sp.PM (FGK UI)

Prof. Dr. drg. Hanna B. Iskandar, Sp.RKG (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Retno Hayati, Sp.KGA (K) (FKG UI)

Dr. drg. Zaki Mubarak, MS (FKG Unsyiah)

Penyunting Pelaksana: Liana Rahmayani, drg, Sp.Pros

Abdillah Imron Nasution, drh, M.Si

Viona Diansari, S.Si, M.Si

Diana Setya Ningsih, drg. M.Si

Pelaksana Tata Usaha: Nurmalawati, ST

Muhammad Aulia Azmi

ISSN: 2085-546X

CAKRADONYA DENTAL JOURNAL

Alamat Redaksi:

Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Darussalam Banda Aceh 23111. Tel. 0651-7555183

Website: www.cakradonyadental.org

email: [email protected]

Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Penanggung Jawab: Wakil Dekan I FKG Unsyiah

Ketua Penyunting: Sunnati, drg, Sp. Perio

Wakil Ketua Penyunting: Rafinus Arifin, drg. Sp.Ort

Penyunting Ahli: Prof. drg. Bambang Irawan, PhD (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp.KG (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Elza Ibrahim Auekari, M. Biomed (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho (FKG UNPAD)

Prof. drg. Ismet Danial Nasution, Sp. Prostho, Ph.D (FKG USU)

Prof. Dr. drg. Tet Supardi, Sp.BM (K) (UNPAD)

Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio (FKG UI)

drg. Gus Permana Subita, PhD, Sp.PM (FGK UI)

Prof. Dr. drg. Hanna B. Iskandar, Sp.RKG (FKG UI)

Prof. Dr. drg. Retno Hayati, Sp.KGA (K) (FKG UI)

Dr. Syahrul, Sp.S (FK Unsyiah)

drg. Zaki Mubarak, MS (FK Unsyiah)

Penyunting Pelaksana: Liana Rahmayani, drg, Sp.Pros

Abdillah Imron Nasution, drh, M.Si

Viona Diansari, S.Si, M.Si

Diana Setya Ningsih, drg. M.Si

Pelaksana Tata Usaha: Nurmalawati, ST

Muhammad Aulia Azmi

Dr. drg. Rasmi Rikmasari, Sp.ProsDr. Syahrul, Sp.S (FK Unsyiah)

Page 4: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 5: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

ISSN: 2085-546X

EDITORIAL

Cakradonya Dental Journal (CDJ) yang diterbitkan oleh Fakultas Kedoktaran Gigi

Universitas Syiah Kuala merupakan media komunikasi ilmiah antar intelektual yang akan

menjadi referensi bagi mahasiswa dan praktisi Kedokteran Gigi. Sebagaimana volume

sebelumnya, volume ini masih mengangkat isu seputar teknologi pengembangan ilmu

kedokteran gigi, aplikasi, dan korelasi ilmu kesehatan terintegrasi. Pada volume 8 nomor 1

ini mencakup tinjauan pustaka, penelitian, dan laporan kasus yang didalamnya mencukup

bidang Biologi Oral, Periodonsia, Konservasi, Ortodonsia, Prostodonsia, Penyakit Mulut,

Kedokteran Gigi Anak dan Dental Material.

Tulisan yang tersaji dari berbagai artikel tersebut secara keilmiahan telah

dilakukan pengeditan oleh tim ahli sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, namun jika

pada artikel tersebut masih terjadi kesalahan, maka akan dijadikan referensi kami untuk

perbaikan edisi selanjutnya. Secara keseluruhan informasi yang tersampaikan dalam jurnal

CDJ volume 8 nomor 1 telah mewakili pengembangan ilmu kedokteran gigi.

Ucapan terima kasih kepada penulis atas kepercayaan memilih CDJ sebagai wadah

publikasi ilmiah. Kepercayaan anda ini akan menjadi tantangan bagi kami untuk selalu

memperbaharui dan memperbaiki sistem dan manajemen pengelolaan jurnal CDJ menjadi

lebih baik. Semoga

Banda Aceh, Juni 2016

Ketua Penyunting

Sunnati, drg, Sp.Perio

ISSN: 2085-546X

EDITORIAL

Cakradonya Dental Journal (CDJ) yang diterbitkan oleh Fakultas Kedoktaran Gigi

Universitas Syiah Kuala merupakan media komunikasi ilmiah antar intelektual yang akan

menjadi referensi bagi mahasiswa dan praktisi Kedokteran Gigi. Sebagaimana volume

sebelumnya, volume ini masih mengangkat isu seputar teknologi pengembangan ilmu

kedokteran gigi, aplikasi, dan korelasi ilmu kesehatan terintegrasi. Pada volume 8 nomor 1

ini mencakup tinjauan pustaka, penelitian, dan laporan kasus yang didalamnya mencukup

bidang Biologi Oral, Periodonsia, Konservasi, Ortodonsia, Prostodonsia, Penyakit Mulut,

Kedokteran Gigi Anak dan Dental Material.

Tulisan yang tersaji dari berbagai artikel tersebut secara keilmiahan telah

dilakukan pengeditan oleh tim ahli sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, namun jika

pada artikel tersebut masih terjadi kesalahan, maka akan dijadikan referensi kami untuk

perbaikan edisi selanjutnya. Secara keseluruhan informasi yang tersampaikan dalam jurnal

CDJ volume 8 nomor 1 telah mewakili pengembangan ilmu kedokteran gigi.

Ucapan terima kasih kepada penulis atas kepercayaan memilih CDJ sebagai wadah

publikasi ilmiah. Kepercayaan anda ini akan menjadi tantangan bagi kami untuk selalu

memperbaharui dan memperbaiki sistem dan manajemen pengelolaan jurnal CDJ menjadi

lebih baik. Semoga

Banda Aceh, Juni 2016

Ketua Penyunting

Sunnati, drg, Sp.Perio

Page 6: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 7: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

ISSN: 2085-546XPetunjuk Bagi Penulis

Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yangterbit dua kali setahun, Juni dan Desember. Artikel yangditerima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuanyang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberikesempatan untuk memperbaikinya.

CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian originalyang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dankedokteran. CDJ juga menerima tinjauan pustaka, dan laporankasus.

Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernahdipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerimaartikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktubersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruhpenulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.

1. Artikel PenelitianTatacara penulisan: Judul dalam bahasa Indonesia Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,

dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlahmaksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembacamemahami tentang aspek baru atau penting tanpaharus membaca seluruh isi artikel. Diketik denganspasi tunggal satu kolom.

Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang samadengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapatmembantu penyusunan indek.

Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times NewRoman ukuran 11 point, spasi satu dan dibuat dalambentuk dua lajur (page layout)

Artikel termasuk tabel, daftar pustaka dan gambarharus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,jumlah halaman maksimum 12. Laporan tentangpenelitian pada manusia harus memperolehpersetujuan tertulis (signed informed consent).

Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalahsebagai berikut: Judul Nama dan alamat penulis serta alamat email Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris Kata kunci Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar

belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, danmasalah/tujuan penelitian). Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Ucapan terima kasih Daftar Pustaka.

2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasilpenelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan ataubuku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dankesehatan mutakhir memuat: Judul Nama penulis Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Pendahuluan (tanpa subjudul) Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan Penutup (kesimpulan dan saran) Daftar pustaka

3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yangcukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan dikalangansejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan,Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.

4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkanbersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.

5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secararinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judulsingkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasukhuruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas darihalaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point.

7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar danalamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap danjelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomorfacsimile, dan alamat e-mail.

8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untukpara profesional yang membantu penyusunan naskah,termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukunganumum dari suatu institusi.

9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai denganaturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuaidengan pemunculan dalam keseluruhan teks ditulis secarasuper script. Jumlah daftar pustaka minimal 10 referensi.Bila pengarang lebih dari 6 orang, maka disebutkan 6nama pengarang kemudian baru at al/dkk. Bila kurangdari 6 orang maka disebutkan semua nama pengarangnya.- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical

intervation for speech rehabilitation in Parkinsondisease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.

- Buku: Lavelle CLB. Dental plaque. In: Applied OralPhysiology, 2nd ed. London: Wright. 1988:93-5.

- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The HistoricalBackground of Periodontology. In: Carranza's ClinicalPeriodontology (Newman MG, Takei HH, KlokkevoldPR, Carranza FA, eds), 10th ed. St. Louis: SaundersElsevier, 2006: 1-32.

- Website : Almas K. The antimicrobial effects of sevendifferent types of Asian chewing sticks. Available inhttp://www.santetropicale.com/resume/49604.pdfAccessed on April, 2004.

10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalambentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan programyang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulansebelum bulan penerbitan kepada:Ketua Dewan PenyuntingCakradonya Dental Journal (CDJ)Fakultas Kedokteran Gigi -UnsyiahDarussalam Banda Aceh 23211Telp/fax. 0651-7551843

11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akandiberitahukan melalui email. Penulis yang artikelnyadimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak 1 (satu)eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akandikembalikan kecuali atas permintaan penulis.

ISSN: 2085-546XPetunjuk Bagi Penulis

Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yangterbit dua kali setahun, Juni dan Desember. Artikel yangditerima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuanyang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberikesempatan untuk memperbaikinya.

CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian originalyang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dankedokteran. CDJ juga menerima tinjauan pustaka, dan laporankasus.

Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernahdipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerimaartikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktubersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruhpenulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.

1. Artikel PenelitianTatacara penulisan: Judul dalam bahasa Indonesia Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,

dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlahmaksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembacamemahami tentang aspek baru atau penting tanpaharus membaca seluruh isi artikel. Diketik denganspasi tunggal satu kolom.

Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang samadengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapatmembantu penyusunan indek.

Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times NewRoman ukuran 11 point, spasi satu dan dibuat dalambentuk dua lajur (page layout)

Artikel termasuk tabel, daftar pustaka dan gambarharus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,jumlah halaman maksimum 12. Laporan tentangpenelitian pada manusia harus memperolehpersetujuan tertulis (signed informed consent).

Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalahsebagai berikut: Judul Nama dan alamat penulis serta alamat email Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris Kata kunci Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar

belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, danmasalah/tujuan penelitian). Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Ucapan terima kasih Daftar Pustaka.

2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasilpenelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan ataubuku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dankesehatan mutakhir memuat: Judul Nama penulis Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Pendahuluan (tanpa subjudul) Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan Penutup (kesimpulan dan saran) Daftar pustaka

3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yangcukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan dikalangansejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan,Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.

4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkanbersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.

5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secararinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judulsingkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasukhuruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas darihalaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point.

7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar danalamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap danjelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomorfacsimile, dan alamat e-mail.

8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untukpara profesional yang membantu penyusunan naskah,termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukunganumum dari suatu institusi.

9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai denganaturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuaidengan pemunculan dalam keseluruhan teks ditulis secarasuper script. Jumlah daftar pustaka minimal 10 referensi.Bila pengarang lebih dari 6 orang, maka disebutkan 6nama pengarang kemudian baru at al/dkk. Bila kurangdari 6 orang maka disebutkan semua nama pengarangnya.- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical

intervation for speech rehabilitation in Parkinsondisease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.

- Buku: Lavelle CLB. Dental plaque. In: Applied OralPhysiology, 2nd ed. London: Wright. 1988:93-5.

- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The HistoricalBackground of Periodontology. In: Carranza's ClinicalPeriodontology (Newman MG, Takei HH, KlokkevoldPR, Carranza FA, eds), 10th ed. St. Louis: SaundersElsevier, 2006: 1-32.

- Website : Almas K. The antimicrobial effects of sevendifferent types of Asian chewing sticks. Available inhttp://www.santetropicale.com/resume/49604.pdfAccessed on April, 2004.

10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalambentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan programyang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulansebelum bulan penerbitan kepada:Ketua Dewan PenyuntingCakradonya Dental Journal (CDJ)Fakultas Kedokteran Gigi -UnsyiahDarussalam Banda Aceh 23211Telp/fax. 0651-7551843

11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akandiberitahukan melalui email. Penulis yang artikelnyadimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak 1 (satu)eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akandikembalikan kecuali atas permintaan penulis.

Page 8: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 9: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

ISSN 2085-546X

DAFTAR ISI

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Terhadap Pertumbuhan Enterococcus faecalis ...................................................................... 1

Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari

Perbedaan Efektifitas Menyikat Gigi Dengan Metode Roll Dan Horizontal

Pada Anak Usia 8 Dan 10 Tahun Di Medan ........................................................................... 11

Ayudia Rifki, T. Hermina

Hubungan Antara Periodontitis Dengan Kelahiran Bayi Prematur

Berberat Badan Lahir Rendah Ditinjau Dari Aspek Destruksi Periodontal ...................... 17

Khairiyah Ulfah, Irma Ervina

Pola Asupan Nutrisi Pada Pasien Yang Kehilangan Gigi Sebagian

Di Poli Gigi Dan Mulut RSUDZA Banda Aceh ...................................................................... 23

Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika

Ovate Pontic Sebagai Alternatif Perawatan Gigi Tiruan Jembatan ..................................... 30

Pocut Aya Sofya

Uji Aktivitas Antifungal Ekstrak Kulit Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)

Terhadap Candida albicans ...................................................................................................... 36

Ridha Andayani, Afrina

Hubungan Antara Durasi Hemodialisis Dengan Periodontitis

Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ........................................................................................... 47

Sri Rezeki, Sunnati, Dara Mauliza

Bentuk Residual Ridge Dan Hubungannya Dengan Retensi

Gigi Tiruan Penuh.......................................................................................................... 55

Silvia Pridana, Ismet Danial Nasution

Studi Pelepasan Monomer Sisa Dari Resin Akrilik Heat Cured

Setelah Perendaman Dalam Akuades ..................................................................................... 61

Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi

Konsentrasi Hambat Dan Bunuh Minimum Ekstrak Daun Jeruk Nipis

(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans

Secara In Vitro .......................................................................................................................... 68

Afrina, Santi Chismirina, Risa Yulanda Magistra

ISSN 2085-546X

DAFTAR ISI

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)

Terhadap Pertumbuhan Enterococcus faecalis ...................................................................... 1

Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari

Perbedaan Efektifitas Menyikat Gigi Dengan Metode Roll Dan Horizontal

Pada Anak Usia 8 Dan 10 Tahun Di Medan ........................................................................... 11

Ayudia Rifki, T. Hermina

Hubungan Antara Periodontitis Dengan Kelahiran Bayi Prematur

Berberat Badan Lahir Rendah Ditinjau Dari Aspek Destruksi Periodontal ...................... 17

Khairiyah Ulfah, Irma Ervina

Pola Asupan Nutrisi Pada Pasien Yang Kehilangan Gigi Sebagian

Di Poli Gigi Dan Mulut RSUDZA Banda Aceh ...................................................................... 23

Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika

Ovate Pontic Sebagai Alternatif Perawatan Gigi Tiruan Jembatan ..................................... 30

Pocut Aya Sofya

Uji Aktivitas Antifungal Ekstrak Kulit Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)

Terhadap Candida albicans ...................................................................................................... 36

Ridha Andayani, Afrina

Hubungan Antara Durasi Hemodialisis Dengan Periodontitis

Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ........................................................................................... 47

Sri Rezeki, Sunnati, Dara Mauliza

Bentuk Residual Ridge Dan Hubungannya Dengan Retensi

Gigi Tiruan Penuh.......................................................................................................... 55

Silvia Pridana, Ismet Danial Nasution

Studi Pelepasan Monomer Sisa Dari Resin Akrilik Heat Cured

Setelah Perendaman Dalam Akuades ..................................................................................... 61

Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi

Konsentrasi Hambat Dan Bunuh Minimum Ekstrak Daun Jeruk Nipis

(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans

Secara In Vitro .......................................................................................................................... 68

Afrina, Santi Chismirina, Risa Yulanda Magistra

Page 10: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Page 11: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

1

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)

TERHADAP PERTUMBUHAN Enterococcus faecalis

Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Enterococcus faecalis adalah salah satu flora normal rongga mulut yang sering ditemukan pada kasus

kegagalan perawatan endodontik. Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan tanaman herbal

yang sering digunakan sebagai rempah-rempah, namun juga memiliki sifat antibakteri karena

kandungan kimia yang dimilikinya berupa alkaloid, saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon dan

triterpenoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak kayu

manis (Cinnamomum burmannii) terhadap pertumbuhan E. faecalis. Enterococcus faecalis yang telah

dikultur pada media CHROMagar VRE Base diinkubasi pada suhu 37°C dalam suasana anaerob.

E. faecalis yang telah dikultur dan diidentifikasi, dipaparkan ekstrak kayu manis (Cinnamomum

burmannii) untuk uji aktivitas antibakteri dengan metode Standart Plate Count menggunakan media

MHA. Dari hasil analisis data menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,003

(p<0,05). Hasil uji menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni pada setiap konsentrasi kelompok

perlakuan dibandingkan kelompok kontrol negatif mengalami penurunan, pertumbuhan koloni

E. faecalis pada konsentrasi 1,5% adalah 299,3 x 104 CFU/ml dan pada konsentrasi 7,5% adalah

6 x 104 CFU/ml. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak kayu manis (Cinnamomum

burmannii) memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Enterococcus faecalis dengan Kadar

Hambat Minimum (KHM) berada pada konsentrasi ekstrak 1,5%.

Kata kunci: Enterococcus faecalis, perawatan endodontik, Cinnamomum burmannii

ABSTRACT

Enterococcus faecalis is one of the normal flora in oral cavity that often found in cases of endodontic

treatment failure. Cinnamon (Cinnamomum burmannii) is a herb that is often used as a spice, but also

has antibacterial properties due to its chemical constituents such as alkaloid, saponin, tannin,

polyphenol, flavonoid, quinon and triterpenoid. The purpose of this study was to determine the

antibacterial activity of cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract on E. faecalis growth.

Enterococcus faecalis that has been cultured on CHROMagar VRE Base media were incubated at

37°C in an anaerobic atmosphere. Enterococcus faecalis that has been cultured and identified,

described by cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract for antibacterial activity testing using

Standard Plate Count method in MHA media. The results of Kruskal-Wallis analysis showed the

value of p=0.003 (p<0.05). The results showed that E. faecalis growth in every concentrations of

treatment group compared to negative control group was decreased, E. faecalis growth at 1.5% extract

was 299.3 x 104 CFU/ml and at 7.5% extract was 6 x 10

4 CFU/ml. Based on this study it can

concluded that cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract has antibacterial activity against

E. faecalis growth with Minimum Inhibitory Concentration (MIC) was at 1.5% extract.

Key words: Enterococcus faecalis, endodontic treatment, Cinnamomum burmanni

Page 12: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

2

PENDAHULUAN

Endodontologi adalah ilmu yang ber-

kaitan dengan bentuk, fungsi dan penyakit dari

pulpa gigi dan jaringan periradikular yang

disebabkan oleh suatu infeksi.1,2

Perawatan

endodontik merupakan suatu prosedur untuk

menjaga kesehatan sebagian atau seluruh

jaringan pulpa gigi yang terinfeksi.1 Tujuan

utama dari perawatan endodontik yaitu untuk

membersihkan mikroorganisme dari sistem

saluran akar dan mencegah terjadinya infeksi

ulang.3,4,5,6

Kunci dari keberhasilan perawatan

endodontik dipengaruhi oleh triad endodontic

yaitu preparasi akses (endo access), preparasi

saluran akar (cleaning and shaping), serta

pengisian saluran akar (obturation).7

Penyebab dari infeksi saluran akar

adalah invasi mikroorganisme ke dalam pulpa

melalui tubulus dentin yang terbuka dan

kegagalan perawatan endodontik.2,8

Mikro-

organisme yang paling sering ditemukan pada

kasus endodontik yaitu Enterococcus

faecalis.9,10

Enterococcus faecalis merupakan

flora normal rongga mulut berupa bakteri

anaerob fakultatif Gram-positif yang

mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup

hingga pH 11.1–11.5 (basa) dengan

keterbatasan nutrisi dalam saluran akar.11,12,13,14

Bahan terapi yang sering digunakan

sebagai antibakteri pada perawatan saluran

akar adalah kalsium hidroksida dan

klorheksidin.15

Kalsium hidroksida memiliki

kelemahan dimana E. faecalis resisten

terhadap efek antibakteri dari kalsium

hidroksida. Ketika bahan ini diletakkan ke

dalam saluran akar, terjadi penurunan tingkat

pH diakibatkan oleh efek buffer pada dentin

radikular sehingga pH awal kalsium

hidroksida yang bernilai 12.3 (basa) akan

turun menjadi 10.3 (basa), sedangkan

E. faecalis masih bisa bertahan hingga

pH 11.1–11.5.12,13

Klorheksidin digunakan

untuk mengurangi jumlah bakteri dalam

saluran akar, namun bahan ini memiliki efek

toksik.16

Hal ini mendorong untuk ditemukannya

bahan baku obat alternatif baru yang berasal

dari bahan alam. Salah satu bahan alam yang

dapat digunakan sebagai antibakteri adalah

kayu manis (Cinnamomum burmannii). Dari

hasil penelitian Cinnamomum burmannii

diketahui dapat dimanfaatkan sebagai

antibakteri, antijamur, antiinflamasi, analge-

tika, antidiabetik, antioksidan, antitumor,

antitrombotik, menghambat pembentukan plak

gigi dan penyakit periodontal, serta aktivitas

lainnya.17

Senyawa kimia yang diduga ber-

peran sebagai antibakteri pada C. burmannii

yaitu minyak atsiri sekitar 0,5–2% (seperti

eugenol, safrol, cinnamaldehyde dan linalool),

polisakarida sekitar 10% (seperti diterpen serta

coumarin), komponen fenol 4–10% (seperti

tanin) dan flavonoid.17,18,19,20

Penelitian yang dilakukan oleh Shan

dkk (2007) tentang sifat antibakteri dan kom-

ponen bioaktif utama C. burmannii terhadap

bakteri patogen dalam makanan menunjukkan

bahwa C. burmannii memiliki efek antibakteri

terhadap pertumbuhan Bacillus cereus,

Listeria monocytogenes, Staphylococcus

aureus, Escherichia coli dan Salmonella

anatum.21

Penelitian yang dilakukan oleh

Rajsekhar dkk (2012) tentang peninjauan

terhadap rempah-rempah sebagai agen

mikrobial menunjukkan bahwa KHM ekstrak

kayu manis terhadap pertumbuhan S. mutans

berada pada konsentrasi 3,12%.22

Penelitian

yang dilakukan oleh Magetsari (2013) tentang

efektivitas pelapisan minyak kayu manis di

K-wire sebagai agen antimikroba terhadap

Staphylococcus epidermidis menunjukkan

bahwa C. burmannii memiliki sifat anti-

mikrobial terhadap S. epidermidis.23

BAHAN DAN METODE

Beberapa alat dan bahan yang akan

digunakan seperti cawan petri, gelas ukur, labu

erlenmeyer, tabung reaksi, batang L, pipet

ukur dan kulit batang kayu manis harus dicuci

bersih terlebih dahulu sebelum digunakan

dalam penelitian. Selanjutnya, alat tersebut

dikeringkan dan disterilkan menggunakan

autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan

2 atm selama 15 menit. Setelah itu, disimpan

dalam sterilisator agar alat tersebut tetap

steril.24,25

Kulit batang kayu manis (C. burmannii)

dirajang dalam keadaan masih basah dan lunak

untuk mempercepat proses pengeringan dan

penggilingan. Selanjutnya, rajangan dijemur di

bawah paparan sinar matahari dan ditutup

dengan kain hitam.

Pemeriksaan alkaloid dilakukan dengan

mengambil serbuk simplisia ditimbang

sebanyak 0,5 gr kemudian ditambahkan 1 ml

HCl 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di

atas penangas air selama 2 menit, didinginkan

dan disaring. Filtrat yang diperoleh diambil

3 tetes, dimasukkan ke tabung reaksi dan

dicampurkan dengan 2 tetes pereaksi Burchad

Page 13: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

3

(hasil positif jika terbentuk endapan berwarna

coklat sampai hitam), Dragendorf (hasil

positif jika terbentuk endapan berwarna merah

atau jingga), Mayer (hasil positif jika

terbentuk gumpalan berwarna putih atau

kuning) dan Wagner (hasil positif jika

terbentuk endapan berwarna coklat).20,26

Saponin diuji dengan menimbang

serbuk simplisia sebanyak 0,5 gr dan

dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu

ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan,

kemudian dikocok kuat selama 10 detik. Jika

terbentuk busa setinggi 1–10 cm yang stabil

tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang

dengan penambahan 1 tetes HCl 0,1 me-

nunjukkan adanya saponin.

Tanin diuji dengan menambahkan

gelatin 10%, jika terbentuk endapan putih

maka sampel positif mengandung tanin.

Sementara itu, penambahan larutan FeCl3 1%

menunjukkan warna hijau kehitaman

membuktikan adanya kandungan polifenol

pada ekstrak kayu manis.27

Keberadaan flavonoid dibuktikan

dengan menambahkan Mg dan 1 ml HCl,

warna coklat yang terbentuk menunjukkan

sampel mengandung flavonoid.28

Kuinon

ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah

akibat penambahan NaOH 1% dan

terbentuknya warna merah setelah pe-

nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan

sampel mengandung triterpenoid, sedangkan

warna hijau yang terbentuk setelah pe-

nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan

sampel mengandung steroid.27

Hasil ekstrak murni dari C. burmanii

dilakukan pengenceran dengan akuades agar

didapatkan konsentrasi yang diperlukan.

Rumus pengenceran yang digunakan adalah29

C1 . V1 = C2 . V2

Keterangan:

C1: Konsentrasi Awal C2: Konsentrasi Akhir

V1: Volume Awal V2: Volume Akhir

Enterococcus faecalis dikultur pada

media CHROMagar VRE Base dengan teknik

goresan T (streak T). Cawan petri dibagi

menjadi 3 bagian dengan menggunakan spidol.

Jarum ose dipanaskan kemudian ditunggu

hingga dingin, lalu 1 ose dari biakan murni

diinokulasikan pada bagian 1 dengan goresan

zig-zag. Selanjutnya, dilakukan goresan

zig-zag pada bagian 2, tegak lurus dengan

bagian 1. Setelah itu, digoreskan zig-zag pada

bagian 3, tegak lurus dengan bagian 2. Cawan

petri yang telah diinokulasikan bakteri, ditutup

rapat, kemudian diinkubasi selama 24–72 jam

pada suhu 37°C.25

Selanjutnya uji konfirmasi E. faecalis

dilakukan dengan pewarnaan Gram. Preparat

ulas yang telah difiksasi E. faecalis diteteskan

kristal violet pada seluruh bagian preparat dan

ditunggu ± 1 menit, lalu preparat dicuci

dengan akuades mengalir. Teteskan Mordant

(lugol’s iodine), ditunggu ± 1 menit, lalu

preparat dicuci dengan akuades mengalir.

Setelah itu, preparat diteteskan etanol 96%

setetes demi setetes hingga etanol yang jatuh

berwarna jernih, kemudian preparat dicuci

dengan akuades mengalir. Selanjutnya,

diteteskan counterstain (safranin), ditunggu

± 45 detik, kemudian preparat dicuci dengan

akuades mengalir. Selanjutnya, preparat

dikeringkan menggunakan tissue pada sisi

ulasan, lalu preparat dikeringkan dengan cara

diangin-anginkan, kemudian diamati di bawah

mikroskop cahaya untuk mengonfirmasi

bakteri. Bakteri Gram-positif akan tampak

berwarna ungu.25

Enterococcus faecalis yang telah

dibiakkan di media CHROMagar VRE Base,

diambil 1 ose lalu disuspensikan dalam tabung

reaksi yang berisi 5 ml larutan NaCl 0,9%,

kemudian dihomogenkan menggunakan

vortex. Kekeruhan suspensi bakteri disetarakan

dengan larutan Mc. Farland (3 x 108 CFU/ml).

Pertama sekali, disiapkan 8 tabung

reaksi, masing-masing tabung diisi dengan

9 ml NaCl, diambil 1 ml suspensi E. faecalis

lalu dicampurkan dengan tabung pengenceran

1 (10-1

), lalu dihomogenkan. Diambil 1 ml dari

tabung 1 dengan pipet eppendorf kemudian

dipindahkan ke tabung pengenceran 2 (10-2

),

lalu dihomogenkan. Diambil 1 ml dari tabung

pengenceran 2 dengan pipet eppendorf

kemudian dipindahkan ke tabung pengenceran

3 (10-3

), lalu dihomogenkan. Begitu seterusnya

hingga tabung pengenceran terakhir dari seri

pengenceran.25

Setelah itu, diambil 0,1 ml suspensi

E. faecalis menggunakan pipet eppendorf pada

tabung pengenceran 2 (10-2

) sampai tabung

pengenceran 7 (10-7

), diteteskan ke cawan

petri untuk ditanam pada media MHA dengan

metode spread plate, lalu diratakan

menggunakan batang L, kemudian diinkubasi

selama 24–72 jam pada suhu 37ºC.

Pengamatan dilakukan setelah 24–72 jam

Page 14: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

4

dengan cara menghitung koloni E. faecalis

yang tumbuh pada media menggunakan colony

counter. Tabung pengenceran yang dipilih

adalah tabung yang berjumlah 30–300 koloni

bakteri.4

Pengujian Kadar Hambat Minimum

(KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)

pada penelitian ini terdiri dari 7 kelompok,

yaitu 5 kelompok perlakuan, 1 kelompok

kontrol negatif dan 1 kelompok kontrol positif.

Setiap tabung diisi 3,5 ml dengan aturan

sebagai berikut: pada tabung 1 (kontrol

positif/K+) diisi larutan Chlorhexidine 2%,

tabung 2 (kontrol negatif/K-) diisi dengan

akuades steril, tabung 3 (perlakuan 1/P1) diisi

dengan ekstrak C. burmannii dengan

konsentrasi 1,5%, tabung 4 (P2) 3%, tabung 5

(P3) 4,5%, tabung 6 (P4) 6% dan tabung 7

(P5) 7,5%. Selanjutnya, setiap tabung

ditambahkan 0,5 ml suspensi E. faecalis dan

dihomogenkan menggunakan vortex.

Selanjutnya, dari setiap tabung diambil

0,1 ml suspensi menggunakan pipet eppendorf,

ditanam dengan metode spread plate pada

media MHA dan diratakan menggunakan

batang L, lalu diinkubasi selama 24–72 jam

dengan suhu 37°C. Setelah 24–72 jam,

dihitung jumlah koloni yang tumbuh

menggunakan colony counter. Kadar Hambat

Minimum dari ekstrak C. burmannii adalah

konsentrasi terkecil dari ekstrak C. burmannii

yang tumbuh koloni E. faecalis lebih sedikit

daripada koloni yang terbentuk pada kontrol

negatif pada media MHA dan Kadar Bunuh

Minimum dari ekstrak C. burmannii adalah

konsentrasi terkecil dari ekstrak C. burmannii

yang tidak terdapat pertumbuhan E. faecalis

pada media MHA.25

HASIL PENELITIAN

Ekstraksi Kayu Manis (Cinnamomum

burmannii) dengan Pelarut Etanol Pada penelitian ini, proses ekstraksi

kayu manis dilakukan dengan metode

Gambar 1. Ekstrak Etanol Kayu Manis

(Cinnamomum burmannii)

maserasi. Sebanyak 800 gr bubuk kayu manis

dilarutkan dalam 2,5 L etanol 96% selama 3

hari, sehingga didapatkan ekstrak kental

berwarna coklat kehitaman sebanyak 111,3 gr

(Gambar 1).

Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kayu Manis

(Cinnamomum burmannii) Setelah dilakukan uji fitokimia,

diperoleh hasil bahwa ekstrak kayu manis

mengandung senyawa kimia berupa alkaloid,

saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon

dan triterpenoid. Hal tersebut dibuktikan

dengan terbentuknya endapan putih setelah

penambahan 2 tetes pereaksi Mayer, terbentuk

endapan jingga akibat penambahan 2 tetes

pereaksi Dragendrof dan terbentuk endapan

coklat setelah penambahan 2 tetes pereaksi

Burchad untuk uji alkaloid. Terbentuknya

gelembung setelah penambahan satu tetes

HCl 0,1 menunjukkan sampel mengandung

saponin. Terbentuknya endapan putih setelah

penambahan gelatin 10% membuktikan bahwa

sampel mengandung tanin. Warna hijau

kehitaman yang terbentuk setelah penambahan

larutan FeCl3 1% menunjukkan adanya

kandungan polifenol pada ekstrak kayu manis.

Sementara itu, warna coklat yang terbentuk

setelah Mg dan 1 ml HCl ditambahkan,

menunjukkan sampel mengandung flavonoid.

Kuinon terdeteksi keberadaannya di dalam

ekstrak kayu manis karena terbentuknya warna

merah akibat penambahan NaOH 1%.

Terbentuknya warna merah setelah pe-

nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan

sampel mengandung triterpenoid (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kayu

Manis; (a) Saponin, (b) Kuinon, (c)

Polifenol, (d) Tanin, (e) Flavonoid, (f)

Alkaloid (Dragendorf), (g) Alkaloid

(Burchad), (h) Alkaloid (Mayer)

a b c d e f g h

Page 15: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

5

Hasil Kultur dan Uji Konfirmasi

Enterococcus faecalis Hasil kultur E. faecalis pada media

CHROMAgar VRE Base yang telah diinkubasi

secara anaerob selama 48 jam pada suhu 37°C

menunjukkan warna koloni biru kehijauan

(Gambar 3).

Gambar 3. Hasil Kultur Enterococcus faecalis

pada Media CHROMAgar VRE Base

Selanjutnya, hasil pewarnaan Gram

pada penelitian ini menunjukkan bahwa koloni

E. faecalis yang terbentuk berwarna ungu

(Gambar 4).

Gambar 4. Hasil Pewarnaan Gram Enterococcus

faecalis

Hasil Pembuatan Suspensi dan

Pengenceran Bertingkat Enterococcus

faecalis

Gambar 5. Hasil Penyetaraan Kekeruhan Suspensi

dengan Larutan Mc. Farland;

(a) Suspensi Bakteri, (b) Larutan Mc.

Farland

Suspensi E. faecalis dibuat dengan cara

menyetarakan kekeruhan suspense dengan

larutan Mc. Farland (3 x 108 CFU/ml)

(Gambar 5).

Setelah itu, dilakukan pengenceran

bertingkat dari suspensi E. faecalis tersebut

dan diperoleh hasil seperti yang tertera pada

Tabel 1.

Tabel 1. Data Jumlah Koloni E. faecalis Hasil

Pengenceran Bertingkat

Tingkat

Pengenceran

Jumlah Pertumbuhan

Koloni

(koloni/cawan)

10-2 1040

10-3

630 10

-4 70

10-5

7 10

-6 1

10-7

1 10

-8 1

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa

pengenceran 10-4

merupakan tingkat

pengenceran yang memenuhi syarat dari

metode Standart Plate Count (SPC) karena

memiliki pertumbuhan bakteri sebanyak 70

koloni/cawan.

Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri

Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum

burmannii) terhadap Pertumbuhan

Enterococcus faecalis Pada penelitian ini, pengujian pengaruh

ekstrak kayu manis terhadap pertumbuhan

koloni E. faecalis dilakukan pada media MHA

dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga

kali. Hasil dari pengujian ini, pertumbuhan

koloni bakteri E. faecalis setelah dibagi

dengan tingkat pengencerannya (10-4

) maka

diperoleh jumlah rata-rata pertumbuhan koloni

terbanyak pada kelompok perlakuan dengan

konsentrasi 1,5% yaitu 299,3 x 104 CFU/ml

dan pertumbuhan koloni yang paling sedikit

berada pada konsentrasi 7,5% yaitu 6 x 104

CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol

positif (CHX 2%) tidak terdapat pertumbuhan

koloni bakteri dan pada kelompok kontrol

negatif (akuades) terdapat pertumbuhan

bakteri sebanyak 5470 x 104 CFU/ml. Hasil

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Koloni

E. faecalis

a

b

Page 16: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

6

Pada penelitian ini, jumlah kelompok perlakuan adalah tujuh kelompok, namunTabel 2. Jumlah Koloni E. faecalis setelah Diuji dengan Ekstrak Kayu Manis

Konsentrasi

Bahan Uji

Jumlah Koloni (CFU/ml) Rata-Rata Jumlah Koloni E.

faecalis (CFU/ml) P1 P2 P3

Akuades 5776 x 104 5218 x 10

4 5416 x 10

4 5470 x 10

4

CHX 2% 0 0 0 0

1,5% 302 x 104 294 x 10

4 302 x 10

4 299,3 x 10

4

3% 216 x 104 204 x 10

4 214 x 10

4 211,3 x 10

4

4,5% 46 x 104 34 x 10

4 44 x 10

4 41,3 x 10

4

6% 22 x 104 34 x 10

4 26 x 10

4 27,3 x 10

4

7,5% 6 x 104 8 x 10

4 4 x 10

4 6 x 10

4

Tabel 2. Hasil Uji Mann-Whitney Pengaruh Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) terhadap

Pertumbuhan E. faecalis

Kelompok

Perlakuan 1,5% 3% 4,5% 6% 7,5% Akuades CHX 2%

1,5% - 0,046* 0,046* 0,046* 0,046* 0,046* 0,034*

3% 0,046* - 0,050 0,050 0,050 0,050 0,037*

4,5% 0,046* 0,050 - 0,077 0,050 0,050 0,037*

6% 0,046* 0,050 0,077 - 0,050 0,050 0,037*

7,5% 0,046* 0,050 0,050 0,050 - 0,050 0,037*

Akuades 0,046* 0,050 0,050 0,050 0,050 - 0,037*

CHX 2% 0,034* 0,037* 0,037* 0,037* 0,037* 0,037* -

Keterangan : * = p<0,05 ; terdapat perbedaan bermakna

distribusi data tidak normal dan varians data

tidak homogen, dengan nilai p=0,002

(p<0,05), sehingga tidak memenuhi syarat

untuk dilakukan uji one way ANOVA. Oleh

karena itu, digunakan uji non-parametrik yaitu

uji Kruskal-Wallis sebagai uji alternatif dari

one way ANOVA dengan post hoc yaitu uji

Mann-Whitney.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan

nilai p<0,05 yaitu p=0,003, sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna antara kelompok perlakuan terhadap

pertumbuhan koloni E. faecalis. Oleh karena

itu, hipotesis dari penelitian ini yaitu ekstrak

kayu manis memiliki aktivitas antibakteri

dalam menghambat pertumbuhan E. faecalis

dapat diterima. Sementara itu, hipotesis untuk

Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar

Bunuh Minimum (KBM) dari penelitian ini

ditolak.

Sementara itu, hasil uji Mann-Whitney

menunjukkan bahwa jumlah koloni E. faecalis

memiliki perbedaan bermakna yaitu pada

konsentrasi 1,5% dan kelompok kontrol positif

terhadap semua konsentrasi dan kelompok

kontrol, konsentrasi 3%, 4,5%, 6%, 7,5% dan

kelompok kontrol negatif terhadap konsentrasi

1,5% dan kelompok kontrol positif (Tabel 3).

PEMBAHASAN

Penelitian ini dimulai dengan

pembuatan ekstrak kayu manis (Cinnamomum

burmannii) menggunakan metode maserasi.

Teknik maserasi dilakukan dengan cara

melarutkan simplisia dalam suatu pelarut,

kemudian pelarut diuapkan menggunakan

rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak

kental. Proses esktraksi menggunakan metode

maserasi karena metode ini cukup sederhana,

selain itu pengerjaannya pada suhu kamar

menyebabkan zat aktif yang terkandung dalam

ekstrak tidak rusak akibat pemanasan tinggi.20

Pelarut yang dipilih untuk proses ekstraksi

pada penelitian ini adalah etanol 96% karena

etanol bersifat inert sehingga tidak bereaksi

dengan komponen lainnya. Etanol juga mudah

Page 17: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

7

dipisahkan dengan minyak dalam proses

destilasi karena memiliki titik didih yang

rendah (78,37°C).30

Ekstrak kental hasil ekstraksi diuji

kandungan kimianya terlebih dahulu sebelum

dilakukan pengujian aktivitas antibakteri

terhadap E. faecalis untuk memastikan

senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak

kayu manis (Cinnamomum burmannii)

tersebut. Metode pengujian kandungan kimia

kayu manis yang digunakan pada penelitian ini

adalah uji fitokimia. Hasil uji fitokimia

menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis

mengandung senyawa kimia berupa alkaloid,

saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon

dan triterpenoid.

Hasil kultur bakteri setelah diinkubasi

dalam keadaan anaerob selama 48 jam pada

suhu 37°C menunjukkan bahwa bakteri yang

tumbuh pada media selektif CHROMAgar

VRE Base adalah E. faecalis. Hal ini terlihat

dari warna yang terbentuk yaitu biru kehijauan

yang disebabkan karena CHROMAgar VRE

Base memiliki komponen chromogenic mix

yang mengandung x-glucoside sebagai

chromogen. Chromogen x-glucoside ini

digunakan untuk mengidentifikasi E. faecalis

dengan cara memecah chromogen x-glucoside

yang ada pada media oleh enzim

β-glukosidase yang dimiliki E. faecalis,

sehingga menghasilkan warna biru

kehijauan.31

Tahap selanjutnya adalah

pengonfirmasian E. faecalis dengan

pewarnaan Gram. Hasil pewarnaan Gram

E. faecalis yang telah dikultur pada media

CHROMAgar VRE Base menunjukkan warna

ungu dengan bentuk kokus berantai pendek.

Warna ungu yang terbentuk menunjukkan

bahwa E. faecalis merupakan bakteri Gram-

positif, hal ini disebabkan karena bakteri

Gram-positif memiliki struktur dinding sel

yang tebal, mengandung sedikit lapisan lipid

dan selapis membran sel, sedangkan Gram-

negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis

yang berada di antara dua lapis membran sel

dan mengandung banyak lapisan lipid.

Pemberian kristal violet menyebabkan seluruh

permukaan bakteri terwarnai, baik bakteri

Gram-positif maupun Gram-negatif.

Penambahan lugol’s iodine akan menghasilkan

ikatan kristal violet dengan iodine yang akan

meningkatkan kemampuan pengikatan zat

warna oleh bakteri. Penetesan etanol 96%

menyebabkan terbentuknya pori-pori karena

lapisan lipid larut dalam etanol sehingga

kompleks kristal violet-iodine akan lepas dari

permukaan sel. Pada bakteri Gram-positif

hanya terbentuk pori-pori kecil sehingga

kompleks kristal violet-iodine yang berwarna

ungu dapat dipertahankan, sedangkan bakteri

Gram-negatif, memiliki banyak lapisan lipid

yang terlarut sehingga membentuk pori-pori

yang besar dan sel bakteri menjadi tidak

berwarna. Pemberian safranin yang berwarna

merah tidak akan berpengaruh pada bakteri

Gram-positif dan akan menjadi zat pewarna

utama bagi bakteri Gram-negatif.30

Selanjutnya dilakukan pengujian

aktivitas antibakteri ekstrak kayu manis

terhadap E. faecalis. Metode yang digunakan

untuk menentukan aktivitas antibakteri ekstrak

kayu manis (Cinnamomum burmannii)

terhadap pertumbuhan E. faecalis pada

penelitian ini adalah metode dilusi. Metode

serial dilution adalah proses pengenceran

bertingkat yang bertujuan untuk memperkecil

atau mengurangi jumlah mikroba dalam suatu

cairan.30

Setelah pengenceran bertingkat

selesai dan diperoleh tingkat pengenceran

yang sesuai dengan syarat metode Standart

Plate Count (SPC), dimana cawan yang dipilih

adalah cawan yang memiliki pertumbuhan

bakteri berkisar 30–300 koloni/cawan,

suspensi pada tingkat pengenceran tersebut

dicampurkan dengan ekstrak yang telah

disiapkan sesuai dengan konsentrasi

pengenceran yang diharapkan untuk dilihat

aktivitas antibakteri dari ekstrak.30

Pada penelitian ini, hasil uji aktivitas

antibakteri ekstrak kayu manis (Cinnamomum

burmannii) terhadap pertumbuhan E. faecalis

menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis

mampu menghambat pertumbuhan E. faecalis

pada setiap konsentrasi. Hal ini dibuktikan

dengan menurunnya jumlah koloni E. faecalis

yang tumbuh di setiap konsentrasi perlakuan

jika dibandingkan dengan kontrol negatif.

Hasil perhitungan rata-rata jumlah koloni

E. faecalis yang tumbuh secara berurutan pada

konsentrasi 1,5%, 3%, 4,5%, 6%, 7,5%,

kontrol negatif dan kontrol positif yaitu 299,3

x 104 CFU/ml, 211,3 x 10

4 CFU/ml, 41,3 x 10

4

CFU/ml, 27,3 x 104 CFU/ml, 6 x 10

4 CFU/ml,

5470 x 104 CFU/ml dan 0 CFU/ml.

Hasil uji statistik Mann-Whitney pada

penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah

koloni E. faecalis memiliki perbedaan

bermakna antara kelompok perlakuan dengan

kontrol positif yaitu konsentrasi 1,5% – CHX

Page 18: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

8

2% (p=0,034), konsentrasi 3% – CHX 2%

(p=0,037), konsentrasi 4,5% – CHX 2%

(p=0,037), konsentrasi 6% – CHX 2%

(p=0,037) dan konsentrasi 7,5% – CHX 2%

(p=0,037). Dapat disimpulkan bahwa

kelompok perlakuan dari semua konsentrasi

memiliki perbedaan bermakna terhadap

CHX 2%.

Hasil uji statistik Kruskal-Wallis pada

penelitian ini memperoleh nilai p=0,003

(p<0,05), menunjukkan ekstrak kayu manis

memiliki perbedaan bermakna terhadap

pertumbuhan E. faecalis. Hal ini sesuai dengan

salah satu hipotesis penelitian ini bahwa

ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii)

memiliki aktivitas antibakteri terhadap

pertumbuhan E. faecalis, akan tetapi hipotesis

untuk Kadar Hambat Minimum (KHM) dan

Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari penelitian

ini ditolak karena pada penelitian ini KHM

ditemukan pada konsentrasi 1,5% dan tidak

ditemukan adanya KBM. Hal ini diduga

karena interval perbedaan konsentrasi terlalu

kecil.

Aktivitas antibakteri ditunjukkan

dengan adanya hasil positif pada uji fitokimia

terhadap senyawa alkaloid, saponin, tanin,

polifenol, flavonoid, kuinon dan triterpenoid.

Penelitian yang dilakukan oleh Shan dkk

(2007) menunjukkan bahwa C. burmannii

memiliki efek antibakteri terhadap

pertumbuhan Bacillus cereus, Listeria

monocytogenes, Staphylococcus aureus,

Escherichia coli dan Salmonella anatum yang

merupakan bakteri Gram-postif dan Gram-

negatif.21

Penelitian yang dilakukan oleh

Magetsari (2013) menunjukkan bahwa

C. burmannii memiliki sifat antimikrobial

terhadap S. epidermidis.23

Hasil penelitian ini

dan beberapa penelitian sebelumnya juga telah

membuktikan bahwa kayu manis

(Cinnamomum burmannii) memiliki aktivitas

antibakteri karena memiliki senyawa aktif

berupa alkaloid, saponin, tanin, polifenol,

flavonoid, kuinon dan triterpenoid. Sifat basa

alkaloid akan mempengaruhi tekanan osmotik

antara bakteri dengan lingkungan hidupnya.32

Saponin memiliki kemampuan dalam

membentuk busa dan menghemolisis darah.33

Tanin berperan sebagai antibakteri dengan

cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi

enzim dan destruksi atau inaktivasi fungsi

materi genetik bakteri.34

Polifenol merupakan

senyawa golongan dari fenol yang berperan

merusak membran sitoplasma bakteri,

sehingga menyebabkan ketidakstabilan fungsi

pengendalian susunan protein dari sel

bakteri.35,36

Flavonoid berfungsi sebagai

antibakteri dengan cara membentuk senyawa

kompleks terhadap protein ekstraseluler yang

mengganggu integritas membran sel bakteri.

Kuinon mampu membentuk kompleks dengan

asam amino sehingga protein bakteri

kehilangan fungsi. Triterpenoid akan berikatan

dengan lemak dan karbohidrat menyebabkan

permeabilitas membran sel bakteri

terganggu.37

Akuades digunakan sebagai

kontrol negatif tidak memiliki zat antibakteri

sehingga tidak mempunyai daya hambat yang

menyebabkan E. faecalis dapat tumbuh bebas

dengan jumlah koloni yang tumbuh lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah koloni

pada kelompok perlakuan. CHX 2%

digunakan sebagai kontrol positif karena

diketahui memiliki aktivitas antibakteri

spektrum luas terhadap pertumbuhan bakteri

aerob dan anaerob, baik Gram-positif maupun

Gram-negatif serta Candida albicans.30

Dari penelitian ini, dapat disimpulkanm

bahwa C. burmannii memiliki aktivitas

antibakteri berupa kemampuan dalam

menghambat pertumbuhan E. faecalis.

KESIMPULAN

Ekstrak kayu manis (Cinnamomum

burmannii) memiliki aktivitas antibakteri

berupa kemampuan dalam menghambat

pertumbuhan E. faecalis dengan jumlah koloni

terbanyak ditemukan pada konsentrasi 1,5%

yaitu 299,3 x 104 CFU/ml dan jumlah koloni

paling sedikit ditemukan pada konsentrasi

7,5% yaitu 6 x 104 CFU/ml. Kadar Hambat

Minimum (KHM) dari penelitian ini untuk

pertumbuhan E. faecalis berada pada

konsentrasi 1,5% dan tidak ditemukan adanya

Kadar Bunuh Minimum (KBM).

DAFTAR PUSTAKA

1. European Society of Endodontology.

Quality guidelines for endodontic

treatment: consensus report of the

European Society of Endodontology. Intl

Endo J 2006; 39:921-930.

2. Walton RE, Torabinejad M. Prinsip &

Praktik Ilmu Endodonsia, edisi 3. Jakarta:

EGC. 2008: hal 1, 258.

3. Pizzo G, Giammanco GM, Cumbo E,

Nicolosi G, Gallina G. In vitro

antibacterial activity of endodontic

Page 19: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

9

sealers. Journal of Dentistry 2006; 34:

35-40.

4. Estrela C, Sydney GB, Figueiredo JAP,

Estrela CRDA. Antibacterial efficacy of

intracanal medicaments on bacterial

biofilm: a critical review. J Appl Oral Sci

2009; 17(1):1-7.

5. Dumani A, Yoldas O, Yilmaz S, Akcimen

B, Seydaoglu G, Kipalev A, et.al. In vitro

suspectibility of E. faecalis and C.

albicans isolates from apical periodontitis

to common antimicrobial agents,

antibiotics and antifungal medicaments. J

Clin Exp Dent 2012; 4(1):1-7.

6. Gomes BPFA, Souza SFC, Ferraz CCR,

Teixeira FB, Zaia AA, Valdrighi L,

Souza-Filho FJ. Effectiveness of 2%

chlorhexidine gel and calcium hydroxide

against E. faecalis in bovine root dentine

in vitro. Int Endo J 2003; 36:267-275.

7. Daulay HH. Aktivitas Antibakteri Ekstrak

Propolis Alami dari Sarang Lebah

terhadap Pertumbuhan Enterococcus

faecalis. Banda Aceh: Universitas Syiah

Kuala. Skripsi 2013; hal 4.

8. Suchitra U, Kundabala. M. Enterococcus

faecalis: an endodontic pathogen. Ind End

Soc 2006; 18(2):11-13.

9. Patidar RK, Gupta MK, Singh V.

Phenotypic detection of virulence traits

and antibiotic susceptibility of endodontic

Enterococcus faecalis isolated. American

Journal of Microbiological Research

2013; 1(1):4-9.

10. Halkai R, Hegde MN, Halkai K.

Enterococcus faecalis can survive

extreme challenges – overview. Nitte

University Journal of Health Science

2012; 2(3):49-53.

11. Kim SH, Chang SW, Baek SH, Han SH,

Lee Y, et al. Antimicrobial effect of

alexidine and chlorhexidine against

E. faecalis Infection. International

Journal of Oral Science 2013; 5: 26-31.

12. Chai WL, Hamimah H, Cheng SC,

Sallam AA, Abdullah M. Susceptibility of

E. faecalis biofilm to antibiotics and

calcium hydroxide. Journal of Oral

Science 2007; 49(2):161-166.

13. Evans M, Davies JK, Sundgvist G, Figdor

D. Mechanisms involved in the resistance

of E. faecalis to calcium hydroxide. Int

Endod J 2002; 35(3):221-228.

14. Kayaoglu G, Ørstavik D. Virulence

factors of E. faecalis: relationship to

endodontic disease. Crit Rev Oral Bio

Med 2004; 15(5):308-320.

15. Mulyawati E. Peran bahan disinfeksi pada

perawatan saluran akar. Maj Ked Gi

2011; 18(2): 205-209.

16. Oktaviani W. Perbedaan Efektivitas Daya

Antibakteri antara Klorheksidin

Diglukonat 2% dengan Berbagai

Konsentrasi Ekstrak Etanol Buah

Mahkota Dewa (Phaleriamacrocarpa

[Scheff.] Boerl) (tinjauan terhadap E.

faecalis). Yogyakarta: Universitas

Muhammadiyah. 2012.

17. Dhubiab BEA. Pharmaceutical

applications and phytochemical profile of

Cinnamomum burmannii. Pubmed 2012;

6(12):125-131.

18. Inna M, Atmania N, Prismasari S.

Potential use of Cinnamomum burmannii

essential oil-based chewing gum as oral

antibiofilm agent. Journal of Dentistry

Indonesia 2010; 17(3):80-86.

19. Rachma LN. Daya anti fungal dekok kayu

manis (Cinnamomum burmannii)

terhadap C. albicans secara in vitro. El-

Hayah 2012; 3(1):29-34.

20. Apriani R. Uji Penghambatan Aktivitas

α-Glukosidase dan Identifikasi Golongan

Senyawa dari Fraksi yang Aktif pada

Ekstrak Kulit Batang Cinnamomum

burmannii (Nees & T.Ness) blume.

Depok: Universitas Indonesia. Skripsi

2012.

21. Shan B, Cai YZ, Brooks JD, Corke H.

Antibacterial properties and major

bioactive components of cinnamon stick

(Cinnamomum burmannii): activity

against foodborne pathogenic bacteria.

Journal of Agricultural and Food

Chemistry 2007; 55(14):5484-5490.

22. Rajsekhar S, Kuldeep B, Chandaker A,

Upmanyu N. Spices as antimicrobial

agents: a review. International Research

Journal of Pharmacy 2012; 3(2).

23. Magetsari R. Effectiveness of cinnamon

oil coating on K-wire as an antimicrobial

agent against Staphylococcus epidermidis.

Malaysian Orthopaedic Journal 2013;

7(4).

24. Tim Mikrobiologi FKH UNSYIAH. Buku

Ajar Mikrobiologi. Banda Aceh:

Universitas Syiah Kuala. 2012: hal 58.

25. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Dasar.

Purwokerto: Laboratorium Mikrobiologi

Universitas Jendral Sudirman, 2008.

Page 20: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

10

26. Tarigan JB, Zuhra CF, Sihotang H.

Skrinning fitokimia tumbuhan yang

digunakan oleh pedagang jamu gendong

untuk merawat kulit wajah di kecamatan

Medan Baru. Jurnal Biologi Sumatera

2008; 3(1):1-6.

27. Mustikasari K, Ariyani D. Skrinning

fitokimia ekstrak methanol biji kalangkala

(Litsea angulata). Sains dan Terapan

Kimia 2010; 4(2):131-136.

28. Tim Asisten Kimia Organik. Penuntun

Praktikum Kimia Bahan Alam Laut.

Laboratorium Pendidikan Kimia FKIP

Unsyiah. 2013: 3-9.

29. Kudom AA, Mensah BA, Botchey MA.

Aqueous neem extract versus neem

powder on Culex quinque fasciatus

implications for control in anthropogenic

habitats. J Insect Sci 2011; 11(142):1-9.

30. Hegde MN, Niaz F. Case reports on the

clinical use of calcium hidroxide points as

intracanal medicament. Endodontology. p.

23-27.

31. Fava LRG, Saunders WP. Calcium

hydroxide pastes : classification and

clinical indications. International

Endodontic Journal 1999; 32: 257-282

32. Radeva E, Indjov B, Vacheva R.

Antibacterial activity of intaracanal

medicaments against bacterial isolates in

cases of acute periapical periodontitis

(nonexudatiive form). Journal of IMAB.

2005; 34-37.

33. Anonymous. Enterococcus faecalis.

Available at: http://microbewiki.kenyon.

edu/index.php/Enterococcus_faecalis,

Accessed on August 21st, 2013.

34. Silva FB, Almeida JM, Sousa SMG.

Natural medicaments in endodontics – a

comparative study of the inflamatory

action. Braz Oral Res. 2004; 18(2):

174-179.

35. Wang Q, Zhang CF, Chu CH, Zhu XF.

Prevalence of E. faecalis in saliva and

filled root canal of teeth associated with

apical periodontitis. Int J Oral Sci 2012;

4:19-23.

36. Mathew S, Boopathy. Enterococcus

faecalis – an endodontic challenge. J Ind

Aca Dent Spec 2010; 1(4):46-48.

37. Bergenholtz G, Horsted-Bindslev P, Relt

C. Textbook of Endodontology. 2nd

ed.

United Kingdom: Wiley-Blackwell. 2010:

p. 175, 193, 301.

Page 21: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

11

PERBEDAAN EFEKTIFITAS MENYIKAT GIGI DENGAN

METODE ROLL DAN HORIZONTAL PADA ANAK

USIA 8 DAN 10 TAHUN DI MEDAN

Ayudia Rifki*, T. Hermina

**

*Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Unsyiah

**Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU

ABSTRAK

Penyebab utama terjadinya penyakit karies gigi dan periodontal adalah plak. Plak dapat dibersihkan

dengan cara menyikat gigi. Salah satu yang mempengaruhi keberhasilan penyikatan gigi adalah

metode penyikatan gigi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan penurunan indeks

plak pada anak umur 8 dan 10 tahun dengan penyikatan gigi metode roll dan horizontal. Rancangan

penelitian ini adalah eksperimental sederhana, yaitu pre and post test design. Sampel penelitian ini

adalah anak usia 8 dan 10 tahun dari SDN 060880 Medan, anak usia 8 tahun sebanyak 40 orang dan

anak usia 10 tahun sebanyak 40 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang

bermakna antara menyikat gigi dengan metode roll dan horizontal terhadap penurunan indeks plak

pada anak usia 8 tahun begitu juga pada anak usia 10 tahun (p<0,05). Penurunan indeks plak pada

metode horizontal lebih besar daripada metode roll. Kemampuan menyikat gigi pada anak usia 10

tahun lebih baik daripada anak usia 8 tahun. Anak usia 8 dan 10 tahun lebih efektif menyikat gigi

dengan metode horizontal. Pemilihan metode menyikat gigi harus disesuaikan dengan usia dan

motorik anak.

Kata kunci: Karies, plak, metode roll, metode horizontal

ABSTRACT

The main cause of dental caries and periodontal disease is plaque. Plaque can be cleaned by brushing

teeth. One that affects the success of tooth brushing is a method of brushing teeth. The aim of this

study was to analyze the differences decrease plaque index in children aged 8 and 10 years old with

teeth brushing and horizontal roll method. This was an experimental study design is simple, namely

pre and post test design. Samples were children aged 8 and 10 years of SDN 060880 Medan, children

aged 8 years as many as 40 people and children aged 10 years as many as 40 people. The results

showed that significant difference between brushing with horizontal roll and a method to decrease

plaque index in children 8 years of age as well as in children aged 10 years (p<0.05). A decrease in

the plaque index on horizontal methods of outweight the roll method. Ability brushing teeth in

children aged 10 years better than children aged 8 years. Children aged 8 and 10 years are more

effective brushing with horizontal method. Selection method of brushing the teeth should be tailored

to the age and the child's motor.

Key words: Caries, plaque, roll method, horizontal method

Page 22: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

12

PENDAHULUAN

Kondisi kesehatan gigi dan mulut di

Indonesia masih sangat memprihatinkan

sehingga perlu mendapatkan perhatian serius

dari tenaga kesehatan. Hal ini terlihat bahwa

penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh

90% penduduk Indonesia.1 Berdasarkan

laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) DepKes RI 2001, di antara penyakit

yang dikeluhkan dan yang tidak dikeluhkan,

prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah

tertinggi meliputi 60% penduduk. Karies gigi

dan penyakit periodontal merupakan penyakit

yang paling banyak dijumpai di rongga mulut

sehingga merupakan masalah utama kesehatan

gigi dan mulut.2 Karies gigi dan penyakit

periodontal dapat dicegah melalui penerapan

kebiasaan memelihara kesehatan gigi dan

mulut pada anak sejak dini dan secara

kontinu.3 Di Indonesia sebanyak 89% anak di

bawah 12 tahun menderita penyakit gigi dan

mulut. Penyakit gigi dan mulut, akan sangat

berpengaruh pada derajat kesehatan, proses

tumbuh kembang bahkan masa depan anak.

Anak-anak rawan kekurangan gizi. Rasa sakit

pada gigi dan mulut jelas menurunkan selera

makan mereka. Dampak lainnya, kemampuan

belajar mereka pun turun sehingga jelas akan

berpengaruh pada prestasi belajar hingga

hilangnya masa depan anak.4 Karies gigi dan

radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit

gigi dan jaringan pendukung gigi yang banyak

dijumpai pada anak-anak sekolah dasar di

Indonesia, serta cenderung meningkat setiap

dasawarsa.5 Penyebab utama terjadinya

penyakit karies dan periodontal adalah plak.

Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri

atas kumpulan mikroorganisme yang

berkembang biak di atas suatu matriks yang

terbentuk dan melekat erat pada permukaan

gigi yang tidak dibersihkan.6 Plak sangat tipis,

baru terlihat setelah dilakukan pewarnaan, dan

plak tidak dapat dibersihkan hanya dengan

berkumur-kumur, semprotan air atau udara,

tetapi plak dapat dibersihkan secara mekanis

yaitu membersihkan plak dengan menyikat

gigi.7 Menyikat gigi sebagai salah satu

kebiasaan dalam upaya menjaga kesehatan

gigi dan mulut anak dibutuhkan selama proses

sosialisasi dan sebaiknya dilakukan sejak usia

dini. Peran serta orang tua diperlukan dalam

membimbing, memberikan pengertian,

mengingatkan, serta menyediakan fasilitas

agar anak dapat memelihara kesehatan gigi

dan mulutnya.3,8

Keberhasilan pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut juga dipengaruhi

oleh faktor penggunaan alat, metode menyikat

gigi, lamanya menyikat gigi serta frekuensi

dan waktu penyikatan gigi yang tepat.8

BAHAN DAN METODE

Alat yang digunakan adalah sikat gigi,

tiga serangkai, masker, sarung tangan, model

gigi dan gelas kumur sedangkan bahan yang

digunakan adalah kapas, dettol/antiseptik,

pasta gigi dan disclosing solution.

Cara kerja: Penelitian dilaksanakan pada

dua kali kunjungan untuk umur 8 tahun dan

dua kali kunjungan untuk umur 10 tahun.

Kunjungan pertama pengajaran metode sikat

gigi, pertemuan kedua dilakukan pemeriksaan

plak gigi sebelum dan sesudah penyikatan gigi

dengan metode yang telah diajarkan. Orang

tua anak diberikan surat yang berisikan cara

menyikat gigi dengan metode roll dan

horizontal dan jadwal sikat gigi anak, untuk

mengontrol anak dalam menyikat gigi. Sampel

yang telah diperoleh dikelompokkan

berdasarkan umur 8 dan 10 tahun, kemudian

masing masing kelompok umur dibagi menjadi

dua kelompok, kelompok I mendapatkan

pengajaran menyikat gigi dengan metode roll

dan kelompok II mendapatkan pengajaran

menyikat gigi dengan metode horizontal.

Sebelum dilakukan penelitian, kalibrasi

dilakukan pemeriksa untuk penyamaan

persepsi gambaran skor plak yang digunakan.

TEMPAT PENELITIAN Lokasi penelitian adalah di SDN 060880

Medan, yang ditentukan berdasarkan data anak

usia 8 dan 10 tahun berdasarkan penyikatan

gigi dengan metode roll dan horizontal.

Populasi yang diambil dalam penelitian ini

dilakukan pada anak usia 8 dan 10 tahun di

SDN 060880 Medan.

HASIL PENELITIAN

Hasil Perhitungan Nilai Mean Indeks Plak

Sebelum Penyikatan Gigi Hasil penelitan menunjukkan rata-rata

indeks plak sebelum penyikatan gigi anak usia

8 tahun antara metode roll dan horizontal

terlihat tidak adanya perbedaan yang

bermakna (p>0,005), dan pada anak usia

10 tahun rata-rata indeks plak sebelum

penyikatan gigi antara metode roll dan

horizontal juga tidak terlihat ada perbedaan

yang bermakna (p>0,005) (Tabel 1).

Page 23: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

13

Tabel 1. Rata-rata indeks plak sebelum penyikatan gigi pada kelompok umur 8 dan 10 tahun

Umur Metode Jumlah

Sampel (N)

Indeks Plak Sebelum

Penyikatan Gigi p

X ± SD

8 tahun Roll 20 3,96 ± 0,73

0,527 Horizontal 20 4,09 ± 0,54

10 tahun Roll 20 4,15 ± 0,41

0,620 Horizontal 20 4,10 ± 0,28

Tabel 2. Hasil pengukuran indeks plak sebelum dan sesudah penyikatan gigi pada anak umur 8 dan 10 tahun

Umur Metode Jumlah

Sampel (N)

Indeks Plak

p Sebelum

Menyikat Gigi

Sesudah

Menyikat Gigi

X ± SD X ± SD

8 tahun Roll 20 3,96 ± 0,73 2,53 ± 0,59 0,0001*

Horizontal 20 4,09 ± 0,54 1,48 ± 0,39 0,0001*

10 tahun Roll 20 4,15 ± 0,41 1,86 ±0,65 0,0001*

Horizontal 20 4,10 ± 0,28 1,16 ±0,38 0,0001* * Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05

Tabel 3. Penurunan rata-rata indeks plak pada anak umur 8 dan 10 tahun dengan metode roll dan horizontal

Umur Metode Jumlah

Sampel (N)

Penurunan Indeks Plak p

X ± SD

8 tahun Roll 20 1,43 ± 0,28

0,0001* Horizontal 20 2,61 ± 0,46

10 tahun Roll 20 2,29 ± 0,40

0,0001* Horizontal 20 2,93 ± 0,44

* Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05

Hasil Pengukuran Indeks Plak Sebelum dan

Sesudah Penyikatan Gigi Hasil analisis statistik dengan uji-t

berpasangan, indeks plak sebelum dan sesudah

penyikatan gigi pada anak 8 tahun pada

metode roll menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0,05), demikian juga pada

metode horizontal, indeks plak sebelum dan

sesudah penyikatan gigi menunjukkan

perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada anak

umur 10 tahun dengan metode roll

menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p<0,05), demikian juga pada metode

horizontal, indeks plak sebelum dan sesudah

penyikatan gigi menunjukkan perbedaan yang

bermakna (p<0,05) (Tabel 2).

Hasil Pengukuran Penurunan Rata-Rata

Indeks Plak pada Anak Umur 8 dan 10

Tahun antara Metode Roll dan Horizontal Hasil analisis secara statistik dengan

uji-t tidak berpasangan menunjukkan adanya

perbedaan yang bermakna pada p=0,0001

antara metode roll dan horizontal anak usia

8 dan 10 tahun (Tabel 3) penurunan indeks

plak lebih besar pada metode horizontal dari

pada metode roll.

Hasil Perhitungan Penurunan Rata-Rata

Indeks Plak pada Metode Roll dan

Horizontal antara Anak Umur 8 dan 10

Tahun Hasil analisis secara statistik dengan

uji-t tidak berpasangan menunjukkan adanya

perbedaan penurunan indeks plak antara anak

usia 8 dan 10 tahun yang menyikat gigi

dengan metode roll dan horizontal dan terlihat

adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05)

(Tabel 4).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada Tabel 1

memperlihatkan rata-rata indeks plak awal

dilihat dari kelompok umur 8 dan 10 tahun,

Page 24: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

14

terlihat tidak adanya perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan Tabel 4. Penurunan rata-rata indeks plak pada metode roll dan horizontal antara anak umur 8 dan 10 tahun

Metode Umur Jumlah

Sampel (N)

Penurunan Indeks Plak p

X ± SD

Roll 8 tahun 20 1,43 ± 0,28

0,0001* 10 tahun 20 2,29 ± 0,40

Horizontal 8 tahun 20 2,61 ± 0,46

0,028* 10 tahun 20 2,93 ± 0,44

* Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05

bahwa populasi yang homogen, mempunyai

indeks plak awal yang sama. Hasil analisis

dengan uji-t berpasangan pada Tabel 2

menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna antara rata-rata indeks plak sebelum

dan sesudah penyikatan gigi baik pada metode

roll maupun metode horizontal pada anak

umur 8 dan 10 tahun (p<0,05). Sehingga dapat

dikatakan kedua metode tersebut dapat

menghilangkan plak dengan efektif, baik pada

anak umur 8 tahun maupun 10 tahun. Hasil

analisis dengan uji-t tidak berpasangan pada

Tabel 3, anak umur 8 tahun menunjukkan

penurunan indeks plak pada pada metode

horizontal sebesar 2,61 dengan standar deviasi

0,46 lebih besar daripada penurunan indeks

plak rata-rata pada penyikatan gigi dengan

metode roll sebesar 1,43 dengan standar

deviasi 0,28.

Kedua metode ini menunjukkan

perbedaan yang bermakna (p<0,05). Demikian

juga pada anak umur 10 tahun, penurunan

indek plak rata-rata pada penyikatan gigi

metode horizontal sebesar 2,93 dengan standar

deiasi 0,44 lebih besar daripada penurunan

indeks plak rata-rata pada penyikatan gigi

dengan metode roll sebesar 2,29 dengan

standar deviasi 0,40. Kedua metode ini pada

usia 10 tahun juga menunjukkan perbedaan

yang bermakna (p<0,05). Ini sesuai dengan

hasil penelitian Anaise dan pendapat Tan HH

yang menunjukkan bahwa teknik horizontal

dianggap sebagai teknik tebaik untuk

menghilangkan plak dan mudah ditiru atau

dipelajari oleh anak.12,13

Dan satu cara

menyikat gigi yang diusulkan pada kegiatan

UKGS adalah menyikat gigi secara horizontal

dengan gerakan pendek-pendek sepanjang tepi

gusi, sehingga anak-anak mudah

melakukannya.14

Perbedaan penurunan indeks plak pada

penyikatan gigi metode horizonatal lebih besar

daripada metode roll, karena pada metode

horizontal, sikat ditempatkan secara horizontal

pada permukaan bukal dan lingual, kemudian

digerakkan kebelakang dan kedepan dengan

gerakan menggosok. Metode ini sederhana,

mudah ditiru dan dilatih pada anak. Berbeda

dengan metode roll, teknik ini meletakkan

sikat gigi pada daerah rahang dengan bulu

sikat yang terletak pada mukosa alveolar,

menghadap keluar dari permukaan oklusal.

Sisi-sisi sikat menekan attach gingival dan

daerah sulkus, kemudian bulu sikat diputar

melewati gingival kearah oklusal dengan tetap

mempertahankan sisi sikat menyapu daerah

embrasure, apabila daerah bukal telah disikat,

penyikatan dapat dilanjutkan kedaerah lingual

dan diulangi untuk seluruh rahang.

Selanjutnya permukaan oklusal disikat dengan

gerakan kedepan dan kebelakang.

Penyikatan gigi dengan metode roll

lebih sulit daripada metode horizontal dalam

pelaksanaannya. Karena itu anak umur 8 dan

10 tahun lebih dapat membersihkan plak

dengan metode yang lebih mudah yaitu

metode horizontal. Hasil penelitian ini berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Natalia Ekaputri dan Sri Lestari yang

menunjukkan penurunan indeks plak pada

teknik roll lebih besar dibandingkan teknik

horizontal.15

Perbedaan ini dapat disebabkan

karena perbedaan umur anak yang dijadikan

sampel penelitian, pada penelitian sebelumnya

sampel yang diambil berusia 12–14 tahun.

Kemampuan motorik dan intelektual anak

umur 12–14 tahun lebih baik daripada anak

umur 8 dan 10 tahun. Hasil penelitian ini

menunjukkan metode menyikat gigi dapat

berpengaruh terhadap penyingkiran plak, oleh

karena itu pemilihan metode menyikat gigi

perlu diketahui oleh anak dan orang tua,

sehingga dengan pemilihan metode yang tepat

hasil penyingkiran plak dapat lebih optimal.

Hasil analisis dengan uji-t pada Tabel 4

menunjukkan pada teknik roll penurunan

indeks plak umur 10 tahun sebesar 2,29

dengan standar deviasi 0,40 lebih besar

Page 25: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

15

dibandingkan penurunan indeks plak pada

anak umur 8 tahun, sebesar 1,43 dengan

standar deviasi 0,28, dan menunjukkan

perbedaan yang bermakna (p<0,05). Demikian

juga pada teknik horizontal, penurunan plak

pada anak usia 10 tahun sebesar 2,93 dengan

standar deviasi 0,44 lebih besar dibandingkan

penurunan plak pada anak usia 8 tahun sebesar

2,61 dengan standar deviasi 0,46, dan juga

menunjukkan perbedaan yang bermakna

(p<0,05)

Penurunan indeks plak anak usia

10 tahun lebih besar dibandingkan pada anak

usia 8 tahun pada metode roll maupun

horizontal kemungkinan disebabkan oleh

perbedaan kemampuan motorik anak yang

berbeda. Ini didukung oleh penelitian John H.

Unkel dkk menyatakan umur kronologis

merupakan prediktor yang beralasan untuk

kemampuan menyikat gigi. Pada anak usia

lebih muda dari umur 10 tahun, kurang

memiliki kemampuan keterampilan fisik untuk

menyikat gigi. Keterampilan menyikat gigi

lebih baik pada anak mendekati dewasa sekitar

umur 10 tahun.16

Pada penelitian ini anak

umur 10 tahun memiliki keterampilam fisik

yang lebih baik dibandingkan anak umur

8 tahun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan

selain metode menyikat gigi dapat

berpengaruh terhadap penyingkiran plak,

faktor usia juga sangat berpengaruh terhadap

kemempuan anak dan penyikatan gigi,

semakin meningkat umur anak semakin baik

kemampuan motoriknya dan semakin baik

pula gerakan dalam penyikatan gigi. Oleh

karena itu pemilihan metode menyikat gigi

perlu diketahui, sesuai dengan kemampuan

motorik dan umur anak sehingga dengan

pemilihan metode yang tepat hasil

penyingkiran plak dapat lebih optimal. Dengan

demikian kebersihan mulut juga lebih baik.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian perbedaan

efektifitas menyikat gigi dengan metode roll

dan horizontal tehadap pengurangan plak anak

usia 8 an 10 tahun di Sekolah Dasar Negeri

060880 Medan disimpulkan bahwa:

1. Adanya perbedaan yang bermakna antara

menyikat gigi dengan metode roll dan

horizontal terhadap penurunan indeks plak

pada anak usia 8 tahun, penurunan rata-rata

indeks plak pada metode horizontal lebih

besar dari dibandingkan pada metode roll.

2. Adanya perbedaan yang bermakna antara

menyikat gigi dengan metode roll dan

horizontal terhadap penurunan indeks plak

pada anak usia 10 tahun, penurunan rata-

rata indeks plak pada metode horizontal

lebih besar dari dibandingkan pada metode

roll.

3. Adanya perbedaan yang bermakna antara

anak umur 8 dan 10 tahun terhadap

penurunan indeks plak baik pada

penyikatan gigi dengan metode roll

maupun horizontal. Penurunan rata-rata

indeks plak pada anak usia 10 tahun lebih

besar daripada anak usia 8 tahun.

SARAN

1. Hasil penelitian ini didapati metode yang

dapat menurunkan indeks plak paling besar

pada anak umur 8 dan 10 tahun adalah

metode horizontal, kemungkinan hasil ini

masih depengaruhi oleh kebiasaan anak

yang menyikat gigi dengan metode

horizontal. Disarankan dilakukan penelitian

lebih lanjut dengan waktu penyuluhan yang

lebih lama dan kontrol yang ketat oleh

peneliti pada anak sehingga anak bisa

melatih gerakan menyikat gigi dengan

metode roll dengan benar.

2. Kepada peneliti selanjutnya disarankan

melakukan penyuluhan yang berulang agar

dapat mengetahui perbedaan efektifitas

penurunan plak setelah penyuluhan metode

penyikatan gigi yang berulang.

3. Melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai efektifitas metode penyikatan

gigi dengan metode yang lain, agar dapat

melihat metode penyikatan gigi yang

efektif pada anak pada usia tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anita S, Liliwati. Pengaruh frekuensi

menyikat gigi terhadap tingkat kebersihan

gigi dan mulut siswa-siswi sekolah dasar

negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya

Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.

Dentika Dent J 2005; 10(1):22.

2. Situmorang N. Dampak karies gigi dan

penyakit periodontal terhadap kualitas

hidup. Pidato pengukuhan jabatan guru

besar tetap USU 2005; 3-4.

3. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan

kesehatan gigi anak sejak dini. Seminar

sehari kesehatan psikologi anak 2005.

4. Zatnika I. 89% Anak menderita penyakit

gigi dan mulut. Available at: http://www.

Page 26: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

16

depkes.go.id/inex.php?option=article&ite

mid=3, Accessed on August 25th, 2009.

5. Dwiati L. Pengaruh model pencegahan

karies gigi dan gingivitis terhadap status

kesehatan gigi anak sekolah dan efisiensi

sumber daya program UKGS di Provinsi

DKI Jakarta tahun 2002. Available at:

http://www.pdpersi.co.id/?show=mail,

Accessed on August 25th, 2009.

6. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan

mulut sehat. Medan: USU Press. 2008:

5-6, 28-29, 74-81.

7. Farani W, Sudarso ISR. Pengaruh

perbedaan menyikat gigi dengan metode

horizontal dan vertikal terhadap

pengurangan plak pada anak perempuan

usia 12 tahun. Dentika Dent J 2008;

13(2):108-111.

8. Riyanti E, Chemiawan E, Rizalda RA.

Hubungan pendidikan penyikatan gigi

dengan tingkat kebersihan gigi dan mulut

siswa-siswi sekolah dasar Islam terpadu

(SDIT) Imam Bukhari. Bandung, 2005:

1-8.

9. Octiara E., Rosnawi Y. Karies gigi, oral

higiene dan kebiasaan membersihkan gigi

pada anak-anak panti Karya Pungai di

Binjai. Dentika Dental J 2001; 6(1):

18-23.

10. Situmorang N. Perilaku pencarian

pengobatan dan pemeliharaan kesehatan

gigi pengunjung poliklinik gigi

puskesmas di dua kecamatan Kota

Medan. Dentika Dent J 2005; 10 (1):1-7.

11. Forrest JO. Pencegahan penyakit mulut.

Alih bahasa: Yuwono L. Hipokrates.

1993.

12. McDonald RE, Avery DR. Dentistry for

the Child and Adolescent. 8th ed. St Louis:

Mosby. 2004: 239-248

13. Tan HH. Ilmu kedoktern gigi pencegahan.

Alih bahasa: Suryo S. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press. 1993: 275-298.

14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman

pelaksanaan usaha kesehatan gigi

sekolah. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI. 1996.

15. Ekaputri N, Lestari S. Perbedaan

efektivitas penyikatan gigi antara teknik

roll dan horizontal scubbing terhadap

penyingkiran plak. MI Kedokteran Gigi

2003; 18(53):93-97.

16. Unkel JH, dkk. Toothbrushing ability is

related to age in children. Journal of

dentistry for children 1995; 346.

17. Praktiknya AW. Dasar-dasar metodologi

penelitian kedokteran dan kesehatan.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008:

70, 129-132.

Page 27: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

17

HUBUNGAN ANTARA PERIODONTITIS DENGAN KELAHIRAN BAYI PREMATUR

BERBERAT BADAN LAHIR RENDAH DITINJAU DARI ASPEK DESTRUKSI

PERIODONTAL

Khairiyah Ulfah*, Irma Ervina

**

*Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

**Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Kelahiran bayi prematur berberat badan lahir rendah merupakan masalah kesehatan masyarakat baik

di negara maju maupun negara berkembang. Kejadian bayi berat badan lahir rendah di Indonesia

tahun 2003 sebesar 90 per 1000 kelahiran. Kelahiran prematur ini meningkatkan risiko angka

kematian dan kesakitan bayi, yang mencakup ketidakmampuan perkembangan saraf, kelemahan

kognitif, masalah pernafasan, anomali kongenital dan gangguan tingkah laku. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui hubungan antara periodontitis dengan kelahiran bayi prematur BBLR khususnya

ditinjau dari aspek destruksi periodontal dan perbedaan tingkat destruksi periodontal antara ibu yang

melahirkan bayi prematur BBLR dengan ibu yang melahirkan bayi normal. Penelitian dilakukan

secara observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Sampel dalam penelitian ini diambil dari

Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik, Rumah Sakit Umum dr.Pirngadi, Rumah Sakit Umum Haji,

Klinik Bersalin Tri Putri, dan Klinik Bersalin Yakin Sehat dengan total sampel 45 orang, terdiri dari

ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR sebanyak 17 orang dan ibu yang melahirkan bayi normal

sebanyak 28 orang. Pemeriksaan gigi meliputi kedalaman saku dan kehilangan perlekatan klinis

dengan menggunakan prob dan kaca mulut dengan pencahayaan senter. Tidak ada hubungan antara

periodontitis dengan kelahiran bayi prematur BBLR dan terdapat perbedaan tingkat destruksi

periodontal antara ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR dan ibu yang melahirkan bayi normal.

Rata-rata kedalaman saku ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi daripada ibu yang

melahirkan bayi normal, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Sedangkan rata-

rata kehilangan perlekatan klinis ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi daripada ibu

yang melahirkan bayi normal dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Periodontitis pada ibu

hamil merupakan salah satu faktor risiko kelahiran bayi prematur BBLR.

Kata kunci: Periodontitis, prematur, berat badan lahir rendah

ABSTRACT Preterm low birth weight (PLBW) infants is a public health problem both in advanced and developed

countries. The occurence of low birth weight infants in Indonesia in 2003 is 90 per 1000 births.

Preterm birth increases the risk of mortalitiy and morbidity of infants, including neurodevelopmental

disabilities, cognitive weakness, respiratory problems, congenital anomalies and behavioral changes.

This study aims to review the relationship between periodontitis and PLBW particularly considered

by periodontal destruction aspect and periodontal destruction level differences among mothers who

gave birth to a PLBW infants and mothers who gave birth to normal birthweight infants. This study is

using observational cross sectional design. The samples taken from Haji Adam Malik General

Hospital, Pirngadi General Hospital, Haji General Hospital, Tri Putri Maternity Clinic, and Yakin

Sehat Maternity Clinic with 45 samples, consist of 17 mothers of PLBW infants and 28 mothers who

gave birth to normal weight infants. Dental examination included pocket depth and clinical loss

attachment using prob and mouth glass with a flashlight lighting. There is no association between

periodontitis to PLBW infants, but there is differences in periodontal destruction level among them.

Most mothers who gave birth to PLBW infants have higher pocket depths, however this discrepancy

does not give significant statistical meaning. Whereas the loss of clinical attachment is higher mostly

in mothers of PLBW infants compared to those who gave birth to normal birthweight infants and this

difference has statisctical meaning. Periodontitis in pregnant women is one of the risk factors of

preterm birth of low birthweight infants.

Key words: Periodontitis, preterm, low birthweight

Page 28: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

18

PENDAHULUAN

Kelahiran bayi prematur berberat badan

lahir rendah atau prematur BBLR merupakan

masalah kesehatan masyarakat utama baik di

negara maju maupun negara berkembang.1

Kejadian bayi BBLR di Indonesia tahun 2003

sebesar 90 per 1000 kelahiran.2 Kelahiran

prematur ini meningkatkan risiko angka

kematian dan angka kesakitan bayi, yang

mencakup ketidakmampuan perkembangan

saraf, kelemahan kognitif, masalah pernafasan,

anomali kongenital dan gangguan tingkah

laku.1,3

Di Indonesia tahun 2001 kematian

neonatal 47% dari angka kematian bayi dan

29% dari kematian neonatal disebabkan oleh

bayi berat lahir rendah.4 Angka kematian dan

kesakitan ini juga telah meningkat di seluruh

dunia, mencapai 12% Amerika Serikat dan

5–10% di negara-negara Eropa.5 Menurut

World Health Organization (WHO), kelahiran

prematur diartikan sebagai kelahiran sebelum

37 minggu usia kehamilan dihitung dari hari

pertama siklus menstruasi terakhir. Sedangkan

bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan

berat lahir kurang dari atau sama dengan 2500

gram.6

Beberapa faktor risiko yang

dihubungkan dengan bayi prematur BBLR

mencakup usia ibu hamil yang kurang dari

17 tahun atau lebih dari 34 tahun, campuran

Afrika-Amerika (etnis), status sosial ekonomi

yang rendah, perawatan prenatal tidak adekuat,

pemakai obat-obatan, pemakai alkohol dan

tembakau, hipertensi, diabetes, kehamilan

anak kembar, status nutrisi, stress dan

infeksi.1,7

Selain itu, adanya peningkatan bukti

yang menyatakan bahwa proses infeksi yang

terjadi dimanapun dalam tubuh dapat

menyebabkan kelahiran prematur. Penyakit

periodontal merupakan salah satu contoh

infeksi.3

Kelahiran bayi prematur BBLR terjadi

sebagai akibat dari infeksi dan dimediasi

secara tidak langsung, terutama oleh

perpindahan produk bakteri seperti endotoksin

(lipopolisakarida atau LPS) dan aktivasi dari

mediator inflamasi pada kehamilan.9 Molekul

aktif biologis seperti prostaglandin E2 (PGE2)

dan tumor necrosis factor (TNF) terlibat

dalam proses kelahiran normal. Dengan

adanya proses infeksi, level sitokin dan PGE2

menjadi meningkat yang dapat menstimulasi

terjadinya kelahiran prematur.16

Produk bakteri

seperti endotoksin yang dihasilkan bakteri

gram negatif, menstimulasi produksi sitokin

dan prostaglandin.14

Sitokin tertentu seperti

interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),

tumor necrosis factor alpha (TNF-α)

menstimulasi sintesa PGE2 dari plasenta dan

chorioamnion.15

Sitokin ini dapat mencapai

peredaran darah, melewati membran plasenta,

masuk ke cairan amnion. Pada kehamilan

normal, mediator pada intra amnion meningkat

secara fisiologis sampai batas ambang tercapai

pada titik kelahiran, menyebabkan dilatasi

servikal dan kelahiran. Produksi abnormal dari

mediator pada infeksi meningkat pada saat

yang tidak tepat sewaktu kehamilan

menyebabkan kontraksi uterin dan ruptur

prematur dari membran memicu terjadinya

kelahiran bayi prematur BBLR.11

Penelitian yang dilakukan oleh Lopez

dkk menunjukkan penyakit periodontal

berhubungan dengan kelahiran prematur

BBLR.8 Penelitian Dwi Retnoningrum yang

dilakukan di RS. DR. Kariadi Semarang

diperoleh bahwa ibu dengan periodontitis

mempunyai risiko 8,75 kali mengalami

kelahiran bayi prematur BBLR daripada ibu

dengan rongga mulut yang sehat.2 Sebaliknya,

penelitian Davenport dkk melaporkan tidak

adanya hubungan antara periodontitis dengan

kelahiran bayi prematur berberat badan lahir

rendah.7

Atas dasar tersebut penulis merasa

perlu untuk meninjau lebih lanjut hubungan

penyakit periodontal pada ibu dengan

kelahiran bayi prematur BBLR, khususnya

ditinjau dari aspek destruksi periodontal.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan secara

observasional dengan pendekatan Cross

Sectional. Penelitian bertempat di Rumah

Sakit Umum Haji Adam Malik, Rumah Sakit

Umum dr.Pirngadi, Rumah Sakit Haji, Klinik

Bersalin Tri Putri dan Klinik Bersalin Yakin

Sehat pada bulan November 2010 sampai

dengan Januari 2011. Populasi penelitian

adalah ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR dan ibu yang melahirkan bayi normal.

Sampel yang diambil adalah ibu yang

melahirkan bayi prematur BBLR sebanyak

17 orang dan ibu yang melahirkan bayi normal

sebanyak 28 orang yang memenuhi kriteria

inklusi: ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR; ibu yang melahirkan bayi normal; usia

ibu 17–34 tahun; dan usia bayi kurang dari

1 bulan. Kriteria eksklusi: perokok dan

pengguna obat-obatan; penderita penyakit

sistemik; ibu dengan bayi kembar; jumlah gigi

Page 29: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

19

geligi yang ada kurang dari gigi Ramfjord; dan

penyakit infeksi pada organ lain. Penelitian

menggunakan alat prob periodontal UNC-15

(Kohler, German); kaca mulut merk Crown-G

3; pinset merk Franzy; sonde merk Smic dan

senter. Bahan yang digunakan: handscoon

disposable, masker, kapas, alkohol 70% dan

povidon iodine.

Bayi prematur berberat badan lahir

rendah adalah bayi dengan berat badan lahir

kurang dari 2500 gram dan lahir sebelum 37

minggu usia kehamilan. Periodontitis adalah

keadaan dimana terdapat saku periodontal dan

adanya kehilangan level perlekatan klinis.

Kedalaman Saku Untuk mengukur kedalaman saku

digunakan prob periodontal. Cara probing

untuk pemeriksaan saku adalah: selipkan prob

ke dalam saku sedapat mungkin sejajar dengan

poros panjang gigi dengan tetap menjaga prob

berkontak dengan permukaan gigi sampai

dirasakan ada tahanan. Bila terasa ada tahanan,

kedalaman saku yang terukur dibaca pada

kalibrasi prob seberapa milimeter yang masuk

ke dalam saku. Probing dilakukan pada enam

gigi Ramfjord yaitu gigi 21, 24, 36, 41, 44,

dan 16. Probing dilakukan mulai dari

interproksimal distal dan mesial gigi pada

permukaan vestibular dicatat sebagai saku

mesial, kemudian dilanjutkan pada sebelah

interproksimal distal dan mesial permukaan

oral dicatat sebagai saku distal, setelah itu

dilakukan pada bagian tengah gigi pada

permukaan vestibular dan oral dicatat sebagai

saku bukal. Kedalaman saku yang diambil

adalah saku yang paling dalam. Kriteria

kedalaman saku: Ringan 1–3 mm; Sedang 4–5

mm; dan Berat ≥ 5 mm.

Kehilangan Perlekatan Klinis Level perlekatan adalah jarak yang

diukur dari dasar saku ke batas sementum

enamel. Cara pengukuran level perlekatan

adalah tergantung pada level krista gingiva

bebas (KGB): apabila KGB setentang dengan

batas sementum enamel (BSE), maka level

perlekatan adalah sama dengan kedalaman

saku; apabila BSE tersingkap karena KGB

migrasi ke apikal, maka perlekatan didapat

dengan mengukur jarak dari dasar saku ke

BSE; apabila KGB berada koronal dari BSE,

maka pertama-tama diukur adalah kedalaman

saku. Besarnya level perlekatan adalah

kedalaman saku dikurang dengan jarak dari

KGB ke BSE. Kriteria kehilangan perlekatan

klinis: ringan 1–2 mm; sedang 3–4 mm; dan

parah ≥ 5 mm.

HASIL PENELITIAN Sampel penelitian berjumlah 45 orang

dan dengan rentang usia 15–34 tahun. Sampel

terbanyak pada ibu yang melahirkan bayi

prematur BBLR maupun normal adalah pada

rentang usia 30–34 tahun yaitu masing-masing

sebanyak 7 orang (41%) dan 15 orang (53%).

Rerata usia ibu yang melahirkan bayi normal

lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang

Tabel 1. Data Demografis Sampel Penelitian

Kelahiran (N) Rentang Usia Jumlah (%) Rerata Standar Deviasi

Prematur

BBLR (17)

15–19 1 (6)

26.94 4.38 20–24 4 (24)

25–29 5(29)

30–34 7 (41)

Normal (28)

15–19 0 (0)

28.79 4.23 20–24 5 (18)

25–29 8 (29)

30–34 15 (53)

Tabel 2. Data Demografis Berat Badan Lahir Bayi Prematur BBLR dan Bayi Normal

Kelahiran (N) Berat Lahir Bayi (gr) Jumlah (%) Rerata Standar Deviasi

Prematur

BBLR (17)

<1000 2 (12)

1758.82 421.395 1000–1500 1 (6)

1500–2000 9 (53)

2000–2500 5 (29)

Normal (28)

2500–3000 13 (47)

3110.71 406.739 3000–3500 11 (39)

3500–4000 4 (14)

Page 30: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

20

melahirkan bayi prematur BBLR, namun

perbedaan tersebut tidak bermakna secara

statistik (p>0,05) seperti yang tertera pada

Tabel 1 di atas.

Ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR paling banyak sampel melahirkan bayi

dengan berat lahir 1500–2000 gram yaitu

sebanyak 9 orang (53%). Pada ibu yang

melahirkan bayi normal paling banyak sampel

melahirkan bayi dengan berat lahir 2500–3000

gram yaitu sebanyak 13 orang (47%)

(Tabel 2).

Ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR maupun normal menderita periodontitis

yaitu 16 orang (94%) dan 25 orang (89%).

Perbedaan tersebut tidak bermakna secara

statistik (p>0,05) (Tabel 3).

Tabel 3. Kondisi Periodonsium Ibu yang Me-

lahirkan Bayi Prematur BBLR dan Ibu

yang Melahirkan Bayi Normal

Kondisi

Periodonsium

Kelahiran

p Prematur

BBLR (%)

Normal

(%)

Tidak

Periodontitis 1 (6) 3 (11)

0.511

Periodontitis 16 (94) 25 (89)

Rerata kedalaman saku ibu yang

melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi

dibandingkan dengan ibu yang melahirkan

bayi normal, namun perbedaan tersebut tidak

bermakna secara statistik (p>0,05) (Tabel 4).

Tabel 4. Rerata Kedalaman Saku pada Ibu yang

Melahirkan Bayi Prematur BBLR dan Ibu

yang Melahirkan Bayi Normal

Kelahiran

(N)

Kedalaman Saku

p Rerata

Standar

Deviasi

Prematur

BBLR (17) 2.4494 0.49870

0.072

Normal (28) 2.1836 0.39756

Distribusi kehilangan perlekatan klinis

ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR

sampel terbanyak memiliki kehilangan

perlekatan klinis ringan dan sedang yaitu

sebanyak 8 orang (47%). Pada ibu yang

melahirkan bayi normal sampel terbanyak

memiliki kehilangan perlekatan klinis ringan

yaitu sebanyak 23 orang (82%). Perbedaan

kehilangan perlekatan ibu yang melahirkan

bayi prematur BBLR dan normal tersebut

bermakna secara statistik (p<0,05) (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi Kehilangan Perlekatan Klinis

Ibu yang Melahirkan Bayi Prematur

BBLR dan Ibu yang Melahirkan Bayi

Normal

Kehilangan

Perlekatan

Kelahiran

p Prematur

BBLR (%)

Normal

(%)

Tidak Ada 1 (6) 3 (11)

0.006 Ringan 8 (47) 23 (82)

Sedang 8 (47) 2 (7)

Parah 0 (0) 0 (0)

Rerata kehilangan perlekatan klinis ibu

yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih

tinggi dibandingkan dengan ibu yang

melahirkan bayi normal. Perbedaan tersebut

bermakna secara statistik (p<0,05) (Tabel 6).

Tabel 6. Rerata Kehilangan Perlekatan Klinis Ibu

yang Melahirkan Bayi Prematur BBLR

dan Ibu yang Melahirkan Bayi Normal

Kelahiran

(N)

Kehilangan Perlekatan

p Rerata

Standar

Deviasi

Prematur

BBLR (17) 2.5918 1.01955

0.000

Normal (28) 1.4686 0.74385

PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan

bahwa mayoritas sampel pada ibu yang

melahirkan bayi prematur BBLR maupun ibu

yang melahirkan bayi normal menderita

periodontitis. Hasil penelitian ini tidak

bermakna secara statistik. Rata-rata kedalaman

saku ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR lebih tinggi daripada ibu yang

melahirkan bayi normal namun perbedaan

tersebut tidak bermakna secara statistik.

Sedangkan rata-rata kehilangan perlekatan

klinis ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR lebih tinggi daripada ibu yang

melahirkan bayi normal dan perbedaan

tersebut bermakna secara statistik.

Tidak adanya hubungan yang bermakna

antara periodontitis dengan kelahiran bayi

prematur BBLR ini kemungkinan disebabkan

oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit serta

jumlah sampel antara ibu yang melahirkan

bayi prematur BBLR dan ibu yang melahirkan

bayi normal yang tidak seimbang. Hasil ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Davenport dkk yang menemukan tidak ada

hubungan antara penyakit periodontal dengan

kelahiran bayi prematur BBLR.7 Penelitian

Page 31: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

21

Lohsoonthorn dkk juga menemukan tidak

adanya hubungan antara penyakit periodontal

dengan kelahiran bayi prematur BBLR.3 Selain

itu, penelitian Nabet dkk juga menemukan

tidak adanya hubungan antara periodontitis

dengan kelahiran bayi prematur, sebaliknya

penelitian Nabet dkk ini menemukan bahwa

periodontitis meningkatkan risiko kelahiran

prematur bersama-sama dengan pre-

eklampsia.5 Tidak adanya hubungan yang

bermakna pada kedalaman saku kemungkinan

menunjukkan bahwa kedalaman saku hanya

dilihat sebagai indikator dari banyaknya

inflamasi.18

Hasil ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Lunardelli dan Peres yang

menemukan bahwa saku periodontal tidak

berhubungan dengan kelahiran bayi prematur

BBLR.19

Hasil penelitian ini menunjukkan

adanya perbedaan bermakna antara kehilangan

perlekatan klinis ibu yang melahirkan bayi

prematur BBLR dan ibu yang melahirkan bayi

normal. Kehilangan perlekatan klinis

merupakan jarak yang diukur dari batas

semento enamel ke dasar saku. Jarak tersebut

menunjukkan seberapa banyak jaringan

pendukung yang hilang dan merupakan

penentu penting untuk melihat terjadi tidaknya

suatu penyakit periodontal.20

Kelahiran bayi

prematur BBLR terjadi sebagai akibat dari

infeksi dan dimediasi secara tidak langsung,

terutama oleh perpindahan produk bakteri

seperti endotoksin (lipopolisakarida atau LPS)

dan aktivasi dari mediator inflamasi pada

kehamilan. Molekul aktif biologis seperti

prostaglandin E2 (PGE2) dan tumor necrosis

factor (TNF) terlibat dalam proses kelahiran

normal. Dengan adanya proses infeksi, level

sitokin dan PGE2 menjadi meningkat yang

dapat menstimulasi terjadinya kelahiran bayi

prematur BBLR.16

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara periodontitis dengan kelahiran bayi

prematur BBLR dan terdapat perbedaan

tingkat destruksi periodontal antara ibu yang

melahirkan bayi prematur BBLR dan ibu yang

melahirkan bayi normal. Rata-rata kedalaman

saku ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR lebih tinggi daripada ibu yang

melahirkan bayi normal, namun perbedaan

tersebut tidak bermakna secara statistik.

Sedangkan rata-rata kehilangan perlekatan

klinis ibu yang melahirkan bayi prematur

BBLR lebih tinggi daripada ibu yang

melahirkan bayi normal dan perbedaan

tersebut bermakna secara statistik.

Untuk menjaga dan meningkatkan

tingkat kebersihan rongga mulut pada ibu

hamil dapat dilakukan melalui program

kebersihan rongga mulut selama kehamilan.

Program kebersihan rongga mulut pada ibu

hamil dapat membantu menjaga kesehatan

rongga mulut selama kehamilan dan mencegah

timbul serta berkembangnya penyakit

periodontal sehingga menurunkan risiko

terjadinya kelahiran bayi prematur BBLR.

Sebagai bahan pertimbangan untuk peneliti

selanjutnya, sebaiknya sebelum melakukan

penelitian, terlebih dahulu dilakukan

penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut

dan hubungannya dengan bayi yang

dilahirkan. Dokter gigi juga dapat melakukan

kerjasama dengan dokter ahli kandungan,

sehingga dokter ahli kandungan dapat

memberikan nasehat serta motivasi kepada ibu

hamil untuk menjaga kesehatan rongga

mulutnya. Dengan ini, ibu hamil lebih

termotivasi untuk menjaga kesehatan gigi dan

mulutnya sehingga bayi yang akan dilahirkan

dapat terhindar dari risiko kelahiran bayi

prematur BBLR.

DAFTAR PUSTAKA

1. Marakoglu I, Gursoy UK, Marakoglu K,

Cakmak H, Ataoglu T. Periodontitis as a

risk factor for preterm low birth weight.

Yonsen Med J 2008; 49(2):200-203.

2. Retnoningrum D. Gingivitis pada ibu

hamil sebagai faktor risiko terjadinya

bayi berat badan lahir rendah kurang

bulan di RS dr. Kariadi Semarang.

Available at: http://eprints.undip.ac.id/

20545/1/Dwiretno.pdf. Accessed on

October 23rd

, 2010.

3. Lohsoonthorn V, Kungsadalpipob K,

Chanchareonsuk P, Limpongsanurak S,

Vanichjakvong O, Sutdhibhisai S, et al. Is

maternal periodontal disease a risk factor

for preterm delivery?. Am J Epidemiol

2009; 169(6):731-739.

4. Paska HD. Kelainan periodontal

maternal sebagai faktor risiko terjadinya

bayi berat lahir rendah kurang bulan.

Available at: http://eprints.undip.ac.id/

20556/1/PAska.pdf. Accessed on October

23rd

, 2010.

Page 32: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

22

5. Nabet C, Lelong N, Colombier ML,

Sixou M, Musset AM, Goffinet F,

Kaminski. Maternal periodontitis and

causes of preterm birth: the case–control

epipap study. J Clin Periodontol 2010;

37:37-45.

6. Green TP, Franklin WH, Tanz RR, eds.

Pediatrics just the facts. Singapore: Mc

Graw Hill. 2005: 93-94.

7. Davenport ES, Williams CECS, Sterne

JAC, Murad S, Sivapaathasundram V,

Curtis MA. Maternal periodontal disease

and preterm lowbirth weight: case-control

study. J Dent Res 2002; 81(5):313-318.

8. Lopez NJ, Smith PC, Gutierrezz J. Higher

risk of preterm birth and low bitrh weight

in women with periodontal disease. J Den

Res 2002; 81(1):58-63.

9. Jeffcoat MK, Geurs NC, Reddy MS,

Cliver SP, Goldenberg RL, Hauth JC.

Periodontal infection and preterm birth.

American Dental Association 2001;

132:875-880.

10. McGaw T. Periodontal disease and

preterm delivery of low birth weight

infants. J Can Dent Assoc 2002;

68(3);165-169.

11. Lee HTT. Maternal periodontal disease

and preterm birth. Thailand: Mahidol

University. Thesis 2007: 16-35.

12. Johansson S. Very preterm birth -

etiological aspects and short and long

term outcomes. Stockholm: Karolinska

Institutet. Thesis 2008: 9-12.

13. Zubardiah L, Dewi MD. Kelahiran

prematur dan berat bayi lahir rendah pada

perempuan hamil dengan penyakit

periodontal. J Dentika 2003; 8:113-118.

14. Mokeem SA, Molla GN, Al-Jewair TS.

The prevalence and relationship between

periodontal disease and preterm low birth

weight infants at king khalid university

hospital in riyadh, saudi arabia. JCDP

2004; 5(2):1-12.

15. Yeo BK, Lim LP, Paquette DW, Williams

RC. Periodontal disease-the emergence of

a risk for systemic conditions: pre-term

low birth weight. Ann Acad Med

Singapore 2005; 34:111-116.

16. Rose LF, Genco RJ, Cohen DW, Mealey

BL. Periodontal medicine. London: B.C

Decker Inc. 2000: 156-157.

17. Armitage GC. Development of a

classification system for periodontal

disease and conditions. Ann Periodontol

1999; 4(1):1-6.

18. Watts TLP. Periodontics in practice.

United Kingdom: Martin Dunitz Ltd.

2000: 106-107.

19. Lundardelli AN, Peres MA. Is there an

association between periodontal disease,

prematurity and low birth weight?: a

population based study. J Clin

Periodontol 2005; 32(9):938-946.

20. Scheid RC. Woelfel’s dental anatomy: it’s

relevant to dentistry. 7th edition. USA:

Lippincott Williams & Wilkins. 2002:

291.

Page 33: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

23

POLA ASUPAN NUTRISI PADA PASIEN YANG KEHILANGAN GIGI SEBAGIAN

DI POLI GIGI DAN MULUT RSUDZA BANDA ACEH

Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya memiliki dampak, yaitu dampak emosional, sistemik,

dan fungsional. Terganggunya proses pengunyahan akibat kehilangan gigi dapat mempengaruhi

pemilihan makanan sehingga terjadi perubahan pada asupan nutrisi. Perubahan pada gambaran asupan

nutrisi memiliki dampak bagi tubuh, seperti terjadinya penyakit kronis, penurunan kemampuan

fungsional, dan peningkatan kejadian infeksi sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran asupan nutrisi akibat kehilangan gigi

sebagian berdasarkan jumlah gigi yang hilang pada pasien di Poli Gigi dan Mulut Rumah Sakit

Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Banda Aceh yang berkunjung pada bulan Juni–Juli 2010.

Penelitian ini adalah penelitian Non Eksperimental dan bersifat deskriptif analitik melalui wawancara

secara langsung menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Teknik sampling yang digunakan

adalah teknik penarikan sampel nonpropabiliti secara purposive, dengan jumlah sampel 120 orang

yang terdiri dari 53 orang laki-laki (44,17%) dan 67 orang perempuan (55,83%). Sampel yang

digunakan adalah pasien dengan kriteria berusia lebih dari 20 tahun, yang kehilangan gigi sebagian

dan belum pernah menggunakan gigi tiruan. Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan

Program SPSS menggunakan uji Chi-Square dan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan pola

asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada pasien dirasakan berubah lebih dari setengah

jumlah pasien dengan persentase tertinggi pada perasaan kesulitan memakan makanan yang

mengandung protein dan lemak, sedangkan persentase terendah pada perasaan kesulitan memakan

makanan yang mengandung vitamin C. Pola asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada

pasien berdasarkan jumlah gigi yang hilang secara keseluruhan dirasakan berubah paling tinggi

tingkat kesulitannya pada kelompok jumlah gigi yang hilang 22–28 gigi (76,2%) dan terendah yang

merasa kesulitan pada kelompok jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi (46,8%).

Kata kunci: Asupan nutrisi, pasien, kehilangan gigi sebagian, tingkat kesulitan.

ABSTRACT

Lose of partial tooth or completely have the effects that are emotional impact, systemic and

functional. The disturbing of mastication process caused of tooth lose can influence the food selection

so that happened of nutrient intake. Change illustration of nutrient intake has impact for body such as

happening of chronic disease, degradation of functional ability and increasing of infection occurrence

so that can influence the quality life the patient. This research objective is to know the illustration of

nutrient intake impact of partial tooth lose based on missing tooth amount at patient in dental and oral

part of Zainal Abidin Hospital Area Banda Aceh visited at June–July 2010. This research is Non-

Experimental Research and has the analytic descriptive character through direct interview used

questioner with the Likert scale. Sampling technique used is non-probability sampling purposive

method with the amount of samples were 120 patients, who consisted of 53 men (44,17%) and

67 women (55,83 %). Sample used is patient with the criterion have age more than 20 years old, who

partial tooth lose and never used denture. Data processing conducted statistically with the Program

SPSS use the test of Chi-Square and Kruskal-Wallis. Result of the research show the illustration of

nutrient intake impact of partial tooth lose at patient felt to change more than half patients amount

with the highest percentage at difficulty level eat contain food of protein and fat, while lowest

percentage at difficult level eat contain food of vitamin C. The Illustration of Nutrient Intake Impact

of Partial Tooth Lose at Patient based on missing tooth amount as a whole felt to change highest

difficulty level at group sum up the tooth lost 22–28 tooth (76,2 %) and lowest difficulty level at

group sum up the tooth lost 1–7 tooth (46,8%).

Key words: Nutrient intake, patient, partial tooth lose, difficulty level

Page 34: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

24

PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi

kedokteran gigi memungkinkan gigi geligi

dipertahankan selama mungkin di dalam

mulut. Walaupun demikian ternyata kasus

kehilangan gigi masih cukup tinggi.

Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh

berbagai hal. Pada beberapa kasus, kehilangan

gigi dapat disebabkan oleh trauma, baik pada

gigi yang bersangkutan maupun pada jaringan

sekitarnya.1,2

Kehilangan gigi juga sering

dihubungkan dengan usia, gaya hidup, dan

kondisi emosional. Hasil penelitian Casanova-

Rosado dkk. menunjukan adanya hubungan

antara kehilangan gigi dan gaya hidup serta

tingkat stres yang tinggi. Hubungan usia dan

kehilangan gigi terkait pada buruknya kondisi

kesehatan rongga mulut.3

Karies dan penyakit periodontal adalah

penyebab terbanyak kasus kehilangan gigi

akibat buruknya kondisi rongga mulut. Hal ini

dapat terjadi pada satu atau beberapa gigi dan

dapat pula menyebar ke seluruh gigi apabila

tidak dirawat. Kondisi yang buruk ini dapat

berakhir pada hilangnya gigi, baik sebagian

maupun seluruhnya pada kedua rahang.1-4

Kehilangan gigi sebagian maupun

seluruhnya memiliki dampak, yaitu dampak

emosional, sistemik, dan fungsional.5-9

Dampak emosional dapat berupa kehilangan

kepercayaan diri, keterbatasan aktivitas seperti

mengunyah dan bicara, serta perubahan pada

penampilan.5 Dampak sistemik dapat berupa

penyakit kardiovaskular, osteoporosis, dan

keganasan pada gastrointestinal terkait dengan

status kesehatan rongga mulut yang buruk.6-9

Secara fungsional, kehilangan gigi dapat

berdampak pada proses bicara dan

mengunyah.4-7

Pada proses bicara, kehilangan

gigi akan mengganggu pengucapan beberapa

huruf sehingga proses komunikasi akan

terganggu.4 Terganggunya pengunyahan dapat

terjadi karena kemampuan mengunyah dan

kekuatan gigit secara fisik yang berkurang

sehubungan dengan berkurangnya jumlah gigi

di dalam rongga mulut.5-7

Keterbatasan dalam pengunyahan

mempunyai pengaruh langsung terhadap

pemilihan makanan yang biasa dikonsumsi.

Adanya kesulitan dalam mengkonsumsi

makanan setelah kehilangan gigi

menyebabkan terjadi perubahan dalam

pemilihan makanan. Perubahan kebiasaan

dalam pemilihan makanan ini dapat dikatakan

sebagai suatu perubahan pada pola konsumsi

makanan yang selanjutnya akan

mempengaruhi gambaran asupan nutrisi.

Berubah atau tidaknya gambaran asupan

nutrisi sehubungan dengan keadaan gigi-geligi

bergantung pada beberapa faktor, diantaranya

jumlah gigi yang hilang, daerah gigi yang

hilang, dan ada atau tidaknya oklusi.10

Seseorang yang kehilangan gigi pada bagian

posterior dan memiliki jumlah gigi yang

sedikit, cenderung memilih makanan yang

lebih mudah dikunyah.7,10-13

Pada penelitian

yang dilakukan Hung dkk. ditemukan proporsi

yang lebih kecil dalam konsumsi makanan

yang sulit dikunyah seperti apel, pir, dan

wortel pada subjek yang memiliki jumlah gigi

sedikit dibandingkan dengan subjek yang

memiliki seluruh gigi.7

Makanan bernutrisi adalah makanan

yang cukup kualitas dan kuantitasnya serta

mengandung unsur gizi yang dibutuhkan tubuh

dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.15

Zat gizi terdiri dari karbohidrat, protein,

lemak, vitamin, dan mineral. Kekurangan

maupun ketidakseimbangan konsumsi

makanan dari masing-masing zat gizi, baik

dari segi jumlah maupun kualitasnya, akan

mempengaruhi asupan nutrisi pada tubuh

manusia.15,16

Ketidakseimbangan pemenuhan

kebutuhan nutrisi menyebabkan dampak bagi

tubuh, seperti terjadinya penyakit kronis,

penurunan kemampuan fungsional dan

peningkatan kejadian infeksi sehingga dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien.7,12-17

Kasus kehilangan gigi berhubungan

dengan penambahan usia.3 Oleh sebab itu,

banyak peneliti melakukan penelitian

mengenai kasus kehilangan gigi pada

komunitas usia lanjut. Beberapa peneliti yang

menggunakan sampel berusia lanjut dalam

penelitiannya adalah Sheiham dkk dan

Marshall dkk.11,13

Kedua peneliti ini

menghubungkan kondisi kesehatan mulut,

termasuk kehilangan gigi dengan asupan

nutrisi pada usia lanjut. Sehubungan

banyaknya dijumpai kasus kehilangan gigi dan

belum adanya data mengenai kasus kehilangan

gigi pada usia dewasa muda, khususnya

kehilangan gigi sebagian maka peneliti ingin

mengadakan penelitian sesuai dengan karakter

usia pasien, yaitu dari usia dewasa muda

sampai usia dewasa tua, khususnya di daerah

Banda Aceh.

Terganggunya asupan nutrisi bagi tubuh

akibat kehilangan gigi akan mempengaruhi

kesehatan tubuh secara umum dan kesehatan

Page 35: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

25

rongga mulut secara khusus. Kesehatan rongga

mulut yang buruk akan menimbulkan masalah

dalam perawatan gigi termasuk dalam

pembuatan gigi tiruan. Pentingnya peranan

nutrisi tersebut menyebabkan perlu diadakan

penelitian mengenai Pola Asupan Nutrisi

Akibat Kehilangan Gigi Sebagian pada Pasien

di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda

Aceh pada bulan Juni–Juli 2010 berdasarkan

jumlah gigi yang hilang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan desain

penelitian Non Eksperimental dan bersifat

Deskriptif Analitik melalui wawancara secara

langsung menggunakan kuesioner. Penelitian

dilakukan di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA

Banda Aceh pada Bulan Juni–Juli 2010.

Populasi penelitian adalah pasien di Bagian

Gigi dan Mulut RSUDZA Banda Aceh yang

berkunjung pada Bulan Juni–Juli 2010. Teknik

penarikan sampel adalah Non Probability

secara Purposive, yaitu dengan mengadakan

studi pendahuluan untuk mengidentifikasi

karakteristik populasi dan kemudian

menetapkan sampel berdasarkan pertimbangan

pribadi.18

Sampel adalah pasien di Bagian Gigi

dan Mulut RSUDZA Banda Aceh Bulan Juni–

Juli 2010 dengan kriteria inklusi antara lain:

pasien berusia 20 tahun ke atas yang datang ke

Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA, telah

mengalami kehilangan gigi namun tidak

seluruhnya. Selain itu, pasien belum pernah

memakai gigi tiruan, bersedia untuk diperiksa

giginya yang telah hilang dan pasien bersedia

untuk mengisi kuesioner dan diwawancara.

Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien

berusia di bawah 20 tahun, belum mengalami

kehilangan gigi, dan sudah memakai gigi

tiruan. Pasien tidak bersedia untuk mengisi

kuesioner, diwawancara dan diperiksa giginya.

Sesuai angka minimum yang ditetapkan

Bailey dan Gay untuk penelitian analisis

statistik, ukuran sampel minimal 30 orang.19

Adapun jumlah populasi pasien yang berusia

lebih dari 20 tahun yang kehilangan gigi

sebagian per bulan di Bagian Gigi dan Mulut

RSUDZA rata-ratanya adalah 170 orang, maka

dengan menggunakan rumus slovin jumlah

sampel diperoleh dengan tingkat kepercayaan

95% atau tingkat kesalahan 5% adalah sebesar

120 sampel.

Alat dan bahan penelitian antara lain,

alat pemeriksaan rongga mulut yaitu kaca

mulut, sarung tangan, masker, alat tulis dan

lembar kuesioner. Penelitian diawali dengan

terlebih dahulu memberikan lembar

persetujuan menjadi subjek, kemudian

dilanjutkan dengan pengisian kuesioner,

wawancara dan pemeriksaan. Kuesioner

diberikan untuk pertanyaan yang diajukan dan

jawaban diberikan secara tertulis yang

dijadikan sebagai data nantinya. Wawancara

bertujuan untuk menggali informasi lebih

dalam dari pasien serta memberikan

penjelasan terhadap pertanyaan yang dirasa

kurang dimengerti oleh pasien. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan mulut pasien untuk

melihat jumlah gigi yang hilang.

Pengolahan data dilakukan dengan

coding card. Data disajikan dengan

menghitung frekuensi distribusi. Karena

distribusi jawaban tidak merata untuk setiap

tingkatan pada skala likert, maka jawaban

pasien mengenai gambaran asupan nutrisi

dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu

tidak merasa kesulitan dan merasa kesulitan

(1–3 tidak merasa kesulitan, 4–5 Merasa

kesulitan). Kemudian dilakukan uji statistik

Chi-Square melalui Program SPSS (Statistical

Product and Service Solution).

HASIL PENELITIAN Pasien yang kehilangan gigi sebagian

dikelompokkan menjadi tiga karakteristik,

yaitu umur, jenis kelamin dan keadaan gigi

geligi.

Tabel 1. Persentase Distribusi Karakteristik Pasien

di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA

Banda Aceh

Karakteristik Pasien

Jumlah

Sampel

(Orang)

Persentase

1. Usia

- 20–39 Tahun

- 40–59 Tahun

- 60 Tahun ke atas

52

51

17

43,33%

42,50%

14,17%

Jumlah 120 100%

2. Jenis Kelamin

- Laki-laki

- Perempuan

53

67

44,17%

55,83%

Jumlah 120 100%

3. Jumlah Gigi yang

Hilang

- 1–7 gigi

- 8–14 gigi

- 15–21 gigi

- 22–28 gigi

91

20

6

3

75,83%

16,67%

5,00%

2,50%

Jumlah 120 100%

Page 36: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

26

Tabel 2. Persentase Gambaran Asupan Nutrisi Akibat Kehilangan Gigi Pasien di Bagian Gigi dan Mulut

RSUDZA Banda Aceh Berdasarkan Tingkat Kesulitan

Gambaran Asupan Nutrisi

Akibat Kehilangan Gigi

n = 120 Orang

Tidak Merasa

Kesulitan

Merasa

Kesulitan

N % N %

1. Kesulitan Konsumsi Makanan

2. Kesulitan Mengunyah

3. Keterbatasan Pemilihan Makanan

4. Kesulitan Memakan Makanan Tertentu

5. Kesulitan Memakan Makanan Berkarbohidrat

6. Kesulitan Memakan Makanan Berprotein

7. Kesulitan Memakan Makanan Berlemak

8. Kesulitan Memakan Makanan Bermineral

9. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin A

10. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin B

11. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin C

12. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin D

13. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin E

14. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin K

42

42

32

26

96

15

25

39

46

110

116

113

36

81

35,0

35,0

26,7

21,6

80,0

12,5

20,9

32,5

38,3

91,7

96,7

94,2

30,0

67,5

78

78

88

94

24

105

95

81

74

10

4

7

84

39

65,0

65,0

73,3

78,4

20,0

87,5*

79,1

67,5

61,7

8,3

3,3**

5,8

70,0

32,5

*= nilai tertinggi; **= nilai terendah

Berdasarkan umur, dijumpai tiga

kelompok umur, yaitu pasien yang berumur

20–39 tahun sebanyak 52 orang (43,33%),

yang berumur 40–59 tahun sebanyak 51 orang

(42,50%), dan 60 tahun ke atas sebanyak

17 orang (14,17%). Berdasarkan jenis

kelamin, pasien yang berjenis kelamin laki-

laki ada 53 orang (44,17%), dan jenis kelamin

perempuan ada 67 orang (55,83%) (Tabel 1).

Tabel 2 menunjukkan persentase

distribusi gambaran asupan nutrisi akibat

kehilangan gigi sebagian berdasarkan tingkat

kesulitan mengkonsumsi makanan akibat

kehilangan gigi dibedakan atas dua kelompok

yaitu tidak merasa kesulitan dan merasa

kesulitan.

Gambaran Asupan Nutrisi Akibat

Kehilangan Gigi Sebagian pada Pasien di

Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda

Aceh Berdasarkan Jumlah Gigi yang

Hilang Tingkat keterbatasan pemilihan

makanan dan jumlah pasien yang merasakan

kesulitan memakan makanan tertentu setelah

giginya hilang, persentase rata-rata paling

tinggi adalah pada kelompok yang merasa

kesulitan yaitu 84,4% dan 87%. Sedangkan

persentase tingkat kesulitan untuk kelompok

makanan yang mengandung karbohidrat,

protein, lemak dan mineral rata-rata paling

tinggi yang merasa kesulitan yaitu pada

makanan yang mengandung protein dengan

persentase sebesar 91%. Persentase rata-rata

tingkat kesulitan untuk konsumsi makanan

yang mengandung vitamin yang merasa

kesulitan tertinggi adalah konsumsi vitamin E

yaitu sebesar 83,3%, sedangkan yang merasa

kesulitan terendah adalah konsumsi vitamin C

(11,1%).

Dari hasil uji statistik untuk penelitian

ini uji Chi-Square menunjukkan hubungan

yang signifikan (p<0,05) antara jumlah gigi

yang hilang dengan perubahan gambaran

asupan nutrisi secara kesuluruhan. Sedangkan

hubungan antara jumlah gigi yang hilang

dengan kesulitan memakan makanan yang

mengandung karbohidrat, mineral, vitamin B,

vitamin D dan vitamin E tidak dapat hanya

dilakukan uji Chi-Square. Hal ini dikarenakan

nilai Chi-Square tabel lebih besar dari nilai

Chi-Square hitung dan nilai probabilitas

>0,05, oleh sebab itu dilanjutkan dengan uji

Kruskal-Wallis yang terlihat pada Tabel 3.

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan studi deskriptif

untuk mengumpulkan data-data tentang pola

asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian

di bagian gigi dan mulut RSUDZA Banda

Aceh. Selanjutnya dilakukan studi analitik

untuk mengamati hubungan antara

karakteristik pasien berdasarkan keadaan gigi

geligi yaitu jumlah gigi yang hilang dengan

Page 37: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

27

Tabel 3. Uji Chi-Square dan Kruskal-Wallis antara Jumlah Gigi yang Hilang dengan Gambaran Asupan Nutrisi

Akibat Kehilangan Sebagian Gigi pada Pasien di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda Aceh

Gambaran Asupan Nutrisi Probabilitas (p)

1. Kesulitan Konsumsi Makanan

2. Kesulitan Mengunyah

3. Keterbatasan Pemilihan Makanan

4. Kesulitan Memakan Makanan Tertentu

5. Kesulitan Memakan Makanan Berkarbohidrat

6. Kesulitan Memakan Makanan Berprotein

7. Kesulitan Memakan Makanan Berlemak

8. Kesulitan Memakan Makanan Bermineral

9. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin A

10. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin B

11. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin C

12. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin D

13. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin E

14. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin K

0,012*

0,012*

0,024*

0,005*

0,210a

0,001*

0,000*

0,094**

0,030*

0,200a

0,020*

0,215**

0,156**

0,011*

a = uji Kruskal Wallis

* = menunjukkan hubungan yang signifikan (uji Chi-Square)

** = menunjukkan hubungan yang signifikan (uji Kruskal Wallis)

asupan nutrisi, yakni perubahan asupan nutrisi

secara keseluruhan, kesulitan saat mengunyah,

terbatasnya pemilihan makanan, kesulitan

memakan makanan tertentu, kesulitan

memakan makanan yang mengandung

karbohidrat, kesulitan memakan makanan

yang mengandung protein, kesulitan memakan

makanan yang mengandung lemak, kesulitan

memakan makanan yang mengandung

mineral, kesulitan memakan makanan yang

mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C,

vitamin D, vitamin E, dan vitamin K.

Pasien yang kehilangan gigi sebagian di

bagian gigi dan mulut RSUDZA Banda Aceh

memiliki karakteristik terbanyak berumur

20–39 tahun, berjenis kelamin perempuan

sebanyak 67 orang, dan kehilangan gigi 1–7

gigi sebanyak 91 orang. Hal ini sesuai dengan

penelitian Casanova-Rosado dkk (2005) yang

menunjukkan adanya hubungan antara

kehilangan gigi dengan gaya hidup pada usia

dewasa muda. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa sampel berjenis kelamin

perempuan memiliki persentase tertinggi.

Hasil penelitian ini sama halnya dengan

pernyataan Hugo dkk (2007) pada

penelitiannya di Brazil bahwa jenis kelamin

perempuan merupakan salah satu predisposisi

kehilangan gigi sebagian sehingga pada

penelitiannya ditemukan sampel lebih banyak

berjenis kelamin perempuan.6

Predisposisi yang menyebabkan

perempuan pada umumnya lebih rentan

terhadap masalah kesehatan gigi adalah

dikarenakan adanya perubahan hormonal yang

mereka alami. Ada lima fase dalam hidup

seorang perempuan di mana terjadi perubahan

hormonal yang dapat mengakibatkan dirinya

menjadi lebih rentan terhadap masalah

kesehatan gigi. Lima fase tersebut adalah

1) meningkatnya produksi hormon estrogen

dan progesteron selama pubertas, 2) perubahan

hormonal (terutama meningkatnya proges-

terone) yang terjadi pada siklus menstruasi,

3) konsumsi pil kontrasepsi yang mengandung

progesteron, 4) obat-obatan yang dikonsumsi

untuk melawan penyakit dan perubahan

hormonal akibat menopause serta

5) menurunnya jumlah hormon estrogen yang

terjadi pada masa menopause menyebabkan

perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk

menderita penyakit periodontal dan lama-

kelamaan dapat mengakibatkan pasien

kehilangan gigi-geliginya.20

Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa persentase pasien

antara merasa kesulitan dan tidak merasakan

kesulitan yang paling berbeda antara lain

dalam memakan makanan yang mengandung

vitamin C yaitu tidak merasakan kesulitan

88,9%, vitamin B yang tidak merasakan

kesulitan 86,3%, vitamin D yang tidak

merasakan kesulitan 84,2% dan memakan

makanan yang mengandung karbohidrat yang

tidak merasakan kesulitan 64,6%. Kesulitan

lebih banyak dirasakan pada saat memakan

makanan yang mengandung protein 91,0% dan

Page 38: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

28

lemak 88,3%, sedangkan untuk makanan yang

mengandung vitamin B, vitamin C, vitamin D,

dan makanan yang mengandung karbohidrat

kesulitan lebih banyak tidak dirasakan.

Kesulitan dirasakan dalam memakan makanan

yang mengandung protein dan lemak

kemungkinan disebabkan konsistensi makanan

yang mengandung protein dan lemak seperti

daging sapi, daging ayam, tetelan, dan kacang-

kacangan cukup sulit untuk dikunyah oleh

pasien, terutama untuk pasien yang telah

kehilangan gigi posterior, sedangkan untuk

jenis makanan dengan kandungan zat gizi

lainnya kesulitan tidak dirasakan karena

konsistensinya yang masih dapat dikunyah

dengan mudah menggunakan gigi anterior.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah

dilakukan, diketahui bahwa pasien cenderung

lebih memilih makanan yang lebih mudah

dikunyah. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Sheiham dkk (2001) pada penelitiannya

tentang hubungan kesehatan gigi, asupan

nutrisi dan status nutrisi pada orang tua di

Brazil bahwa status kesehatan gigi

berhubungan dengan asupan nutrisi.11

Perubahan pada gambaran asupan

nutrisi secara keseluruhan pada pasien yang

kehilangan gigi sebagian berdasarkan jumlah

gigi yang hilang lebih tinggi ditunjukkan oleh

kelompok jumlah gigi yang hilang 22–28 gigi

yaitu 76,2% dengan jumlah pasien pada

kelompok ini 2,5% dari jumlah sampel. Data

secara umum memperlihatkan bahwa semakin

banyak jumlah gigi yang hilang, semakin besar

tingkat kesulitan pasien terhadap perubahan

pada gambaran asupan nutrisinya, yaitu pada

kelompok jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi

sebanyak 46,8%, 8–14 gigi sebanyak 64,6%,

15–21 gigi sebanyak 61,9% dan 22–28 gigi

sebanyak 76,2% yang merasakan perubahan

pada gambaran asupan nutrisinya.

Kehilangan 1–7 gigi tingkat kesulitan

tertinggi dirasakan pada saat memakan

makanan berprotein sebanyak 85,7%, pada

kehilangan 8–14 gigi tingkat kesulitan

tertinggi dirasakan sebanyak 95% pada saat

mengkonsumsi makanan, mengunyah,

memakan makanan berprotein, dan memakan

makanan berlemak. Untuk kehilangan 15–21

gigi tingkat kesulitan tertinggi dirasakan pada

saat mengkonsumsi makanan dan pada saat

mengunyah yaitu sebanyak 100%. Untuk

kehilangan 22–28 gigi tingkat kesulitan

tertinggi dirasakan pada saat pemilihan

makanan, kesulitan memakan makanan

tertentu, kesulitan dalam memakan makanan

berprotein, berlemak, bermineral, bervitamin

A, dan bervitamin E yaitu mencapai 100%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Jones dkk

(2003) di Boston bahwa semakin banyak gigi

(25 gigi) yang ada dalam mulut maka

kesehatan mulut lebih baik dibandingkan

dengan yang tidak mempunyai gigi, memakai

gigi tiruan dan yang mempunyai 1–24 gigi.21

Pasien dengan jumlah gigi yang hilang

1–7 gigi diketahui dari hasil wawancara

cenderung merasa kesulitan dalam

mengkonsumsi protein seperti daging

ayam/sapi karena sering menekan daerah gigi

yang hilang sehingga kelompok ini lebih

memilih menghindari makanan tersebut.

Pasien dengan jumlah gigi yang hilang 8–14

gigi merasakan kesulitan tertinggi dalam

mengkonsumsi protein dan lemak. Pasien yang

kehilangan 15–21 gigi merasakan kesulitan

tertinggi dalam konsumsi makanan dan

mengunyah. Pasien dengan jumlah gigi yang

hilang 22–28 gigi merasakan kesulitan

tertinggi dalam konsumsi protein, lemak,

mineral, vitamin A dan vitamin E yang dapat

disebabkan oleh karena terganggunya oklusi

gigi-geligi akibat kehilangan gigi sehingga

sulit untuk mengunyah makanan dengan

konsistensi keras.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

Karakteristik pasien yang kehilangan gigi

sebagian di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA

Banda Aceh pada Bulan Juni–Juli 2010 yang

terbanyak berumur 20–39 tahun. Pasien

berjenis kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan dengan laki-laki dan kehilangan

gigi-geligi yang terbanyak adalah pasien

dengan jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi.

Gambaran asupan nutrisi akibat kehilangan

gigi sebagian pada pasien dirasakan berubah

lebih dari setengah jumlah pasien yang diteliti.

Persentase tertinggi dirasakan pada kesulitan

memakan makanan yang mengandung protein

dan lemak, sedangkan persentase terendah

pada kesulitan memakan makanan yang

mengandung vitamin C. Gambaran asupan

nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada

pasien berdasarkan jumlah gigi yang hilang

secara keseluruhan dirasakan berubah.

Persentase tertinggi pada kelompok jumlah

gigi yang hilang 22–28 gigi (76,2%) dan

terendah dirasakan berubah pada kelompok

Page 39: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

29

jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi (46,8%). Hal

ini menunjukkan semakin banyak jumlah gigi

yang hilang, semakin besar tingkat kesulitan

pasien terhadap asupan nutrisinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Missing Teeth. Available at:

http://www.docshop.com/education/dental

/problems-solution/missing-teeth/.

Accessed on 2008.

2. Briones D. Most Common Causes of

Adult Tooth Loss. Available at:

http://www.docshop.com/most-common-

causes-of-adult-tooth-loss/. Accessed on

October, 2008.

3. Casanova-Rosado JF, Solis CEM,

Sanchez AAV, Rosado AJC, Maupome

G, Burgos LA. Lifestyle and Psychosocial

Factors Associated with Tooth Loss in

Mexican Adolescents and Young Adult.

J Contemporary Dent Practice 2005;

6(3):70-77.

4. Wikipedia. Edentulism. Available at:

http://en.wikipedia.org/wiki/Edentulism.

Accessed on November, 2009.

5. Davis DM, Fiske J, Scott B, Radford DR.

The Emotional Effects of Tooth Loss:

A Preliminary Study. Br Dent J 2000;

188(9):503-506 (ISSN: 0007-0610).

6. Hugo FN, Hilgert JB, de Sousa Mda L, da

Silva DD, Pucca GA Jr. Correlates of

Partial Tooth Loss and Edentulism in

Brazilian Elderly. Community Dent Oral

Epidemiol 2007; 35(3):224-232.

7. Hung HC, Willett W, Ascherio A, Rosner

BA, Joshipura KJ. Tooth Loss and

Dietary Intake. J Am Dent assoc 2003;

134(9):1185-1192.

8. Stolzenberg-Solomon RZ, Dodd KW,

Blaser MJ, Virtamo J, Taylor PR, Albanes

D. Tooth Loss, Pancreatic Cancer and

Helicobacter Pylory. American Journal of

Clinical Nutrition 2003; 78(1):176-181.

9. Abnet CC, Qiao YL, Dawsey SM, Dong

ZW, Taylor PR, Mark SD. Tooth Loss is

Associated with Increased Risk of Total

Death and Death Upper Gastrointestinal

Cancer Heart Disease and Stroke in a

Chinese Population Based Cohort. Int J

Epidemiol 2005; 34(2):467-474.

10. Goiato MC, Ribeiro PDP, Garcia AR,

Dos Santos DM. Complete Denture

Masticatory Efficiency: A Literature

Review. CDA Journal 2008; 36(9).

11. Iacopino AM. Relation Between Nutrition

and Oral Health. CDA Journal 2008;

74(9).

12. Mojon P, Budtz-Jorgensen E, Rapin CH.

Relationship Between Oral Health and

Nutrition in very Old People. British

Geriatrics Society 1999; 28:463-468.

13. Marshall TA, Warren JJ, Hand JS, Xie

XJ, Stumbo PJ. Oral Health, Nutrient

Intake an Dietary Quality in The Very

Old. J Am Dent Assoc 2002; 133(10):

1369-1379.

14. Paath, Erna Francin, dkk. Gizi Dalam

Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.

2004: 4-24.

15. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004:

3, 9, 28-29, 42-44, 60-61, 77, 96-100,

152, 162-163, 172, 183-184, 189, 193-

194, 197, 200-207, 211-217, 228-234,

245-247.

16. Siswono. Nutrisi Terbaik Bagi Paruh

Baya. Available at: http://www.gizi.net/

cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid105601

2996,91990. Accessed on June, 2003.

17. Zarb GA, Bolender CL, Hickey JC,

Carlsson GE. Buku Ajar Prostodonti

untuk Pasien Tak Bergigi Menurut

Boucher. Ahli bahasa: Mardjono D,

Koesmaningati H, Edisi 10. Jakarta: EGC.

2002: 83-91.

18. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2002:

89.

19. Hasan MI. Pokok-Pokok Materi

Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002: 60,68.

20. The Smile Center, Wanita dan Kesehatan

Gigi. Available at: http://www.wanita-

kesehatangigi.com/smile-center.htm.

Accessed on March, 2009.

21. Jones JA, Orner MB, Spiro A, Kressin

NR. Tooth Loss and Denture: Patients

Perspectives. Int Dent J 2003; 53:327-

334.

Page 40: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

30

OVATE PONTIC SEBAGAI ALTERNATIF PERAWATAN

GIGI TIRUAN JEMBATAN

Pocut Aya Sofya

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Kehilangan gigi anterior merupakan hal yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri pasien. Oleh

karena itu, pasien sangat membutuhkan rehabilitasi kehilangan gigi tersebut dengan estetik yang

optimal. Restorasi untuk kehilangan gigi anterior dengan menggunakan gigi tiruan jembatan

merupakan alternative perawatan yang dapat digunakan karena memenuhi estetik, kenyamanan dan

hasil jangka panjang. Gigi tiruan jembatan yang menggunakan ovate pontic merupakan pilihan yang

estetik karena desain ovate pontic berbentuk mahkota klinis anatomis dengan dasar pontik yang lebih

luas berkontak dengan jaringan di bawahnya sehingga menghasilkan restorasi akhir dan gingival yang

estetik menyerupai gigi asli. Pasien akan merasa puas dan percaya diri ketika berbicara dan

tersenyum. Perawatan dengan ovate pontic dapat menjadi pilihan yang paling efektif pada pasien

yang membutuhkan nilai estetik tinggi dan tampilan yang alami dari restorasi.

Kata kunci: Ovate pontic, gigi tiruan jembatan, estetik

ABSTRACT

The loss of an anterior teeth will greatly affect the confidence of patient. Thus, the patient is in dire

need of a rehabilitation that will provide an optimal aesthetic. Restoration for anterior tooth loss using

a rigid fixed bridge is an alternative treatment that can be used to fulfill the aesthetic, comfort, and

long-term durability requirements. Rigid fixed bridge that uses an ovate pontic is an aesthetic choice

for its anatomically shaped clinical crown along with the pontic’s broader base in contact with the

underlying tissue. It produces the final restoration and gingival aesthetic resembling natural tooth. The

patient will feel satisfied and confident while speaking and smiling. Treatment with an ovate pontic

can be the most effective option in patients who require a high aesthetic value and natural appearance

of the restoration.

Key words: Ovate pontic, bridge, aesthetic

Page 41: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

31

PENDAHULUAN

Kehilangan gigi permanen pada rongga

mulut dapat menyebabkan perubahan estetik,

dan fonetik sehingga dapat menurunkan

kepercayaan diri pasien. Hal ini menjadi

tantangan tersendiri bagi dokter gigi untuk

membuat restorasi dengan fungsional dan

estetik yang optimal.1 Kebutuhan terhadap

restorasi yang menyerupai gigi asli saat ini

semakin meningkat sehingga dokter gigi harus

mampu menghadapi tantangan terhadap

permintaan gigi tiruan yang estetik.

Alternative perawatan dapat dilakukan antara

lain gigi tiruan lepas, gigi tiruan implant dan

gigi tiruan jembatan dengan berbagai desain

pontik sesuai kasus.2

Restorasi dengan gigi tiruan jembatan

pada kasus kehilangan gigi merupakan pilihan

yang sering dilakukan karena kenyamanan dan

hasil yang jangka panjang.2 Untuk

memperoleh estetik yang baik, ada beberapa

faktor yang harus diperhatikan agar

mendapatkan tampilan pontik yang alami

diantaranya adalah ukuran, bentuk, warna, dan

posisi pontik.3 Gigi tiruan jembatan dengan

ovate pontic merupakan pilihan yang tepat

karena ovate pontic memiliki anatomi seperti

mahkota klinis dengan dasar pontik berkontak

lebih luas, selain itu ovate pontic menduplikasi

emergence profile gigi asli sehingga akan

diperoleh kesan estetik optimal menyerupai

gigi asli yang seolah-olah keluar dari gingival.

Ovate pontic dapat digunakan pada regio

anterior maupun regio posterior dengan

tingkat kesuksesan yang sama.4

Ovate pontic ditemukan oleh Abrams

pada tahun 1980 dan mulai diperkenalkan oleh

Dewey dan Zugsmith pada tahun 1993,2

namun baru akhir-akhir ini ovate pontic di

pertimbangkan secara klinis sebagai pontik

yang dapat mengatasi kelemahan pontik-

pontik jenis lain serta memiliki estetik yang

optimal. Dahulu penggunaan pontik ini masih

dibatasi karena dapat menyebabkan inflamasi

kronis, namun dengan perkembangan estetik

membuktikan bahwa ovate pontic tidak

mengganggu kesehatan gingiva.1

Hal yang paling penting untuk

keberhasilan perawatan estetik dengan ovate

pontic adalah rencana perawatan yang diteliti

dengan mempertimbangkan beberapa faktor

antara lain dimensi jaringan lunak,

pembedahan atraumatik, restorasi sementara

yang fungsional dan estetik yang merupakan

prinsip dasar ovate pontic. Ada beberapa tipe

pontik yang dapat digunakan dalam perawatan

gigi tiruan jembatan antara lain:2

Pontik Sanitary (Hygienic)

Pontik sanitary atau hygienic tidak

berkontak dengan ridge edentulous dan

menciptakan ruang yang lebar untuk

mempertahankan kebersihan mulut.1

Bagaimanapun, walaupun pontik ini

memfasilitasi pembersihan yang efektif antara

protesa dan jaringan, banyak pasien

mengeluhkan makanan terjebak di antara

ruang tersebut dan pontik terasa melawan

lidah. Pontik ini jarang digunakan sekarang

dan tidak estetik.

Pontik Ridge Lap

Desain ridge lap memberikan estetik

yang baik; namun jika ridge mengalami

resorbsi di bagian fasial, dapat terlihat

artifisial.2 Permukaan pontik yang menghadap

jaringan yang cekung dan luas, membuat

pembersihan plak agak sulit.3,4

Inflamasi dan

ulserasi jaringan lunak sering dihubungkan

dengan pontik tipe ini.

Pontik Modified Ridge Lap

Desain modified ridge lap merupakan

tipe pontik yang paling polpuler. Pontik ini

biasanya menyebabkan sedikit inflamasi di

area ridge dibandingkan dengan pontik ridge

lap karena permukaan yang cekungnya lebih

kecil dan mudah dibersihkan.2,5,6

Namun, tetap

terdapat permukaan cekung di tengah

permukaan jaringan yang sulit dilewati benang

gigi dan/atau sikat gigi.7 Jika ridge edentulous

tidak resopsi parah, biasanya estetik cukup

baik.

Ovate Pontic

Pontik ovate ditemukan oleh Abrams

pada tahun 1980.8 Walaupun permukaan

jaringan berbentuk cekung, pontik ovate

dibuat berbentuk cembung untuk mengatasi

kelemahan ridge lap atau modified ridge lap.

Hasilnya, pontik ini lebih mudah dibersihkan.

Namun, karena tinggi kontur permukaan

cembung didesain dekat dengan dasar,

terkadang benang gigi tidak dapat

melewatinya, khususnya pada periodonsium

yang tipis, dimana jarak papila tertinggi

dengan margin gingiva tidak jauh.2,9,11

Kecembungan ovate pontic dibuat untuk

untuk menciptakan profil kemunculan yang

benar. Pontik ini berkontak dengan jaringan

Page 42: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

32

Tabel 1. Karakteristik dari Lima Tipe Pontik

Karakteristik Sanitary Total Ridge

Lap

Modified Ridge

Lap Ovate Modified Ovate

Indikasi Gigi posterior Gigi anterior

dan posterior

Gigi anterior dan

posterior

Gigi anterior dan

posterior; garis

senyum tinggi

Gigi anterior dan

posterior; garis

senyum tinggi

Kontraindikasi Gigi anterior - - Ridge tipis dan

knife-edge -

Pertimbangan

estetik

Tidak

digunakan di

zona estetik

Estetik cukup

baik

Estetik cukup

baik

Estetik sangat

baik dan tercipta

profil

kemunculan

Estetik sangat

baik dan tercipta

profil

kemunculan

Permukaan

pontik yang

menghadap

mukosa

Cembung;

tidak

berkontak

Cekung;

sisanya

berada di atas

jaringan

Cekung Cembung Cembung

Pembersihan/

higiene Efektif Sulit

Lebih mudah

dibanding total

ridge lap

Lebih mudah

dibanding

modified ridge

lap; terkadang

floss tidak dapat

melewati titik

tengah pontik

Lebih mudah

Kemampuan

berbicara - -

Tidak cukup

seal udara untuk

berbicara

Seal udara lebih

efektif dibanding

modified ridge

lap

Seal udara lebih

efektif dibanding

modified ridge

lap

Kerugian

Terjebaknya

makanan;

terasa aneh

saat terkena

lidah (jarang

digunakan

sekarang)

Terjebaknya

makanan;

tidak dapat

dibersihkan;

menyebabkan

penyakit

periodontal

Terjebaknya

makanan di area

yang terbuka di

segitiga lingual;

saliva terdorong

keluar saat

berbicara

Ridge

augmentasi

secara bedah

dibutuhkan jika

ridge lemah

Mungkin

meninggalkan

bayangan di area

apikal gigi-

margin gingiva

pada defek ridge

Kelas I dan

tingginya garis

senyum pasien

Keuntungan - - -

Menciptakan

ilusi dari margin

gingiva bebas

dan papila;

Meminimalkan

“segitiga hitam”

Menciptakan

ilusi dari margin

gingiva bebas

dan papila;

meminimalkan

"segitiga hitam";

membutuhkan

ridge augmentasi

yang lebih

sedikit daripada

pontik ovate

Penemu,

peneliti - - Stein, 1966

5 Abrams, 1980

8 Liu, 2003

lunak di bawahnya dan memberikan sangat

sedikit tekanan.2,12

Keuntungan ovate pontic adalah estetik

maksimum dan mudah dibersihkan dibanding

tipe ridge lap. Kerugian utamanya adalah

pontik ini membutuhkan lebar fasiolingual dan

ketebalan apikoronal yang cukup pada ridge

edentulous. Ridge knife-edge yang tipis

merupakan kontraindikasi untuk pontik ovate.

Jika dimensi fasiolingual dan apikoinsisal

tidak adekuat, diindikasikan prosedur

augmentasi dengan pembedahan. Berbagai

Page 43: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

33

teknik tersedia untuk tujuan ini, tergantung

tipe dan perluasan defek pada ridge.2

Modified Ovate Pontic

Desain modified ovate pontic dibuat

untuk mengatasi masalah pada ovate pontic.

Modifikasi pontik ovate yaitu pergeseran

kontur tertinggi pada permukaan pontik yang

menghadap jaringan dari posisi tengah dasar

ke posisi lebih ke labial. Pontik modified ovate

tidak membutuhkan banyak ketebalan

fasiolingual untuk menciptakan profil

kemunculan. Pontik ini lebih mudah

dibershkan dibanding dengan ovate pontic

karena memiliki desain yang kurang cembung.

Keuntungan utama tipe ovate adalah sedikit

atau tidak memerlukan augmentasi dengan

pembedahan.2

Ketinggian dari kontur ke permukaan

jaringan adalah 1 atau 1,5 mm apikal dan

palatal ke margin gingiva labial. Benang gigi

dapat melewati gingiva labial dan

membersihkan permukaan jaringan dengan

mudah, hal ini kontras dengan tipe pontik

lainnya. Permukaan pontik modified ovate

yang menghadap jaringan kurang cembung

dibanding pontik ovate.

OVATE PONTIC

Di awal abad dua puluh, desain pontik

untuk gigi tiruan jembatan dibuat dengan

kontak yang luas dan dasar pontik yang

meluas masuk ke dalam soket. Anjuran

berikutnya penggunaan pontik harus memberi

jarak sedikit dengan soket, sehingga mukosa

dapat sembuh dan berepitelisasi di bawah

pontik. Namun hal ini dapat memberi efek

yang buruk pada kondisi mulut, seperti terjadi

inflamasi, pembengkakan mukosa dan infeksi.

Dengan perkembangan jaman gigi tiruan

jembatan tidak hanya menuntut kesehatan

rongga mulut saja, estetik yang maksimal

merupakan hal yang penting diperhatikan.4,5

Pada pertengahan 1960-an, penelitian

klinis oleh Stein menunjukkan bahwa pontik

harus terhindar dari kontak dan tekanan pada

mukosa, sehingga pontik modified ridge lap

menjadi desain pilihan. Namun apabila

ditinjau dari kesehatan mukosa dan

penumpukan plak sehingga perlu me-

modifikasi desain pontik dan berkembanglah

desain pontik yang higienis dan estetik yaitu

ovate pontic.4,14

Ovate pontic telah diperkenalkan oleh

Dewey dan Zugsmith melalui penelitian yang

menggunakan pontik yang masuk 1–2 mm ke

dalam soket sisa pencabutan gigi. Penelitian

ini membuktikan bahwa epithelium melapisi

permukaan luka dan soket kosong yang di isi

oleh pontik porselen. Oleh karena itu mereka

menyatakan bahwa tidak terdapat alasan untuk

menolak penggunaan ovate pontic karena

pontik tersebut terbukti dapat mencegah

terjadinya resesi gingival dan resorpsi tulang,

bahkan terbukti memiliki keunggulan estetik

dan hygiene.4,11,12

Ovate pontic yang dipoles dengan baik

dapat berfungsi sebagai indeks untuk

pembentukan epitel berlapis skuamosa.

penyembuhan servikal dapat diatur oleh

bagian apical pontik sesuai dengan panjang

pontik. Emergence profile, embrasure-

embrasure dan estetik serta akses untuk

kebersihan harus diperhatikan oleh dokter gigi

karena detail yang jelas harus dicatat dan

dikirim ke laborarorium dental.2,4

Banyak artikel yang menyarankan

penggunaan kontak pasif ridge untuk pontik,

namun ternyata data dan penelitian terkini

membuktikan bahwa kontak aktif lebih baik.

Tripodakis dan Constantinides mengevaluasi

respons jaringan terhadap pontik konveks

yang menekan jaringan dapat mempengaruhi

kebersihan mulut. Tekanan yang diberikan

adalah tekanan maksimal yang dimungkinkan

oleh tahanan jaringan sehingga fit abutment

tidak terganggu. Penelitian klinis dan

histologis menunjukkan bahwa tekanan pontik

metal keramik yang halus, dipoles dan di-

glazed, apabila didukung kontrol plak yang

baik tidak akan menyebabkan peradangan

pada jaringan di sekitar. Tapi apabila flossing

tidak dilakukan pada daerah pontik, maka akan

terjadi peradangan. Stimulasi kontak aktif dan

gaya oklusal dapat meningkatkan tonus dan

kesehatan jaringan, dan kontur aksial pontik

harus mencegah impaksi makanan pada ridge,

dan memungkinkan aksi pemijatan pada

gingiva.14,15,16

Apabila pencabutan gigi akan

dilakukan, kontak proksimal protesa

temporary (baik gigi tiruan cekat maupun

lepas) harus segera dipertahankan untuk

mempertahankan bentuk gingival dan

menghambat timbulnya daerah segitiga hitam

pada interdental (black triangles). Apabila

jarak dari bagian atas papilla interproksimal ke

crest tulang crestal yang berada di bawahnya

lebih dari 5 mm, akan terlihat kolaps jaringan

lunak. Gingival yang tebal dan rata lebih tahan

Page 44: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

34

terhadap resesi dibandingkan jaringan yang

tipis dan scallop. Apabila pasien telah

menderita periodontitis dan telah terjadi

kehilangan tulang pada gigi yang akan

diekstraksi dan pada gigi-gigi abutment,

keberhasilan perawatan akan menurun.8,9,10,15

Teknik ekstraksi yang atraumatik juga

diperlukan untuk memperoleh hasil yang ideal.

Laserasi atau luka pada margin gingival pada

daerah ekstraksi dapat menganggu

penyembuhan dan menyebabkan terbentuknya

kontur jaringan yang kurang baik selama

penyembuhan jaringan. Kehilangan tulang

alveolar secara traumatik pada saat pencabutan

gigi juga dapat menyebabkan kegagalan

estetik, karena bentuk jaringan lunak sangat

dipengaruhi oleh tulang crestal yang berada di

bawahnya. Menurut DiTolla, setelah ekstrasi

gigi dilakukan, pasien tidak boleh menggigit

kasa karena tekanan kasa dapat menyebabkan

kolaps pada gingival. Karena pencabutan

menyebabkan papilla interdental tidak

mempunyai dukungan. Oleh karena itu, bridge

temporary harus segera dipasang supaya

papilla interdental kembali memiliki dukungan

dan sebaiknya pencabutan dilakukan dengan

menggunakan periotome.4,11,16

Indikasi dan Kontraindikasi Ovate Pontic

Ovate pontic digunakan terutama pada

regio anterior atas, walaupun pada dasarnya

pontik tipe ini dapat digunakan pada regio

manapun di dalam mulut selama pasien dapat

menjaga kebersihan mulutnya dengan baik.

Ovate pontic diletakkan pada edentulous ridge

yang ideal, tapi juga dapat digunakan pada

ridge yang hipertrofi dengan bantuan

penambahan graft.6

Indikasi ovate pontic adalah gigi yang

fraktur pada crest jaringan karena trauma,

karies gigi atau defek struktur, dengan tulang

bukal yang utuh dan gigi abutment yang sehat.

Selain itu indikasi ovate pontic adalah pasien

yang tidak menginginkan terapi implant atau

pada daerah pontik yang membutuhkan

emergence profile yang baik. Sedangkan

kontraindikasi ovate pontic adalah tinggi ridge

bagian fasial/lingual atau koronal/apikal yang

tidak cukup untuk menyerupai kompleks

dentogingiva dan telah terjadi resorbsi yang

besar.3

Desain Ovate Pontic

Desain ovate pontic memerlukan

kerjasama yang baik antara dokter gigi dan

laboratorium dental dan sangat dipengaruhi

oleh ridge pasien, kebutuhan estetik, fonetik

dan fungsi. Proses desain bervariasi tergantung

keadaan apakah desain ini dibuat pada

ekstraksi imediat atau pada endentulous ridge

yang telah sembuh, tapi prinsip dasarnya

masih tetap sama. Bagian apikal dari ovate

pontic dapat dibayangkan seperti akar yang

ada dipotong 1–2 mm di bawah crest gingiva

dengan pemolesan yang baik (highly-

polished), konveks dan "egg" shaped finish.

Perluasan ke apikal ditentukan oleh bentuk

jaringan yang telah ada dan jarak crest tulang.

Jarak ke crest tulang harus lebih dari 1–1,5

mm dan hal ini ditentukan oleh probe.6

Desain pontik harus direncanakan

dengan baik dengan pengukiran wax pada

model kerja yang ditanam pada artikulator.

Hal ini akan membantu penentuan tinggi,

lebar, emergence profile, ukuran dan bentuk

embrasure, kontur apikal, kontur lingual, dan

oklusi gigi-gigi artifisial. Pontik temporary ini

kemudian dicoba ke dalam mulut pasien dan

diperiksa estetik, fonetik, kemudahan pem-

bersihan dan kenyamanan pontik tersebut.3

KESIMPULAN

Ovate pontic merupakan pilihan terbaik

bagi dokter gigi dan pasien dengan tuntutan

estetik dan fungsi serta preservasi jaringan

yang optimal. Ovate pontic dapat

mempertahankan kesehatan rongga mulut

apabila pontik ini didesain dan dipelihara

dengan baik. Prosedur pembersihan rutin akan

menyebabkan kesehatan jaringan yang optimal

dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sopamitsatian Thiraphorn, Leevalloj C.

Restoration of maxillary anterior bridge

with ovate pontic design. Mahidol Dental

Journal 2012; 71-80.

2. Liu CS. Use of modified ovate pontic in

areas of ridge defect: A report of two

cases. J Esthet Restor Dent 2004; 16:

273-283.

3. Nixon PJ, Robinson S, Chan MF. The

ovate pontic for fixed bridgework. Dent

Update 2012; 39:407-415.

4. Dylina TJ. Contour determination of

Ovate Pontics. J Prosthet Dent 1999;

82(2):136-142.

5. Edeihoff D, Spiekermann H, Yildirim M.

A review of esthetic pontic design

Page 45: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

35

options. Quintessence Int 2002; 33:

736-746.

6. Ruiz JL. Esthetic Fixed Partial Dentures:

Rationale and Technique for Ovate

Pontics. Oral Health Journal April 2005.

7. Modi K, Kohli S, Bhatia S. Anterior

esthetic restoration of a patient using

modified ovate pontic design. Annals of

Dental Speciality 2014; 2:158-160.

8. McArdle BF. Creating natural gingival

profil using the ovate pontic technique.

J Am Dent Assoc; 133:742-743.

9. Dykema RW, Goodacre CJ, Phillips RW.

Johnston’s Modern Practice in Fixed

Prosthodontics. 4th Ed. Philadelphia: WB

Saunders Co.1986.

10. Ewing JE. Fixed Partial Prostheses. 2nd

Ed. Philapdelphia: Lea & Febiger. 1959.

11. Robert DH. Fixed Bridge Prostheses.

Bristol: John Wright & Sons Ltd. 1973.

12. Malone WFP, Koth DL. Tylman’s Theory

and Practice od Fixed Prosthodontics. 8th

Ed. St Louis: Ishiyaku EuroAmerica Inc.

1989.

13. Douglas RD. Pontic Design. Capitol

Carte Corpuri de Punte.pdf. 2008: 513-

543.

14. Rosential SF, Land MF, Fujimoto J.

Contemporary Fixed Prosthodontics. 4th

Ed. St Loius: Mosby Elsevier. 2006: 616-

631.

15. Becker CM, Kaldhal WB. Current

theories of crown contour, margin

placement and pontic design. J Prosthet

Dent 2005; 93:107-115.

16. Zuckerman GR. A hygienic multiple-

pontic design. Quintessence Int

1997;28:259-262.

Page 46: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

36

UJI AKTIVITAS ANTIFUNGAL EKSTRAK KULIT PISANG BARANGAN

(Musa paradisiaca L) TERHADAP Candida albicans

Ridha Andayani, Afrina

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Candida albicans (C. albicans) adalah jamur oportunistik yang pada keadaan tertentu dapat menjadi

patogen di rongga mulut dan menyebabkan kandidiasis oral. Penanganan kandidiasis oral umumnya

menggunakan obat-obatan antifungal sintetik yang dapat menimbulkan efek samping. Kulit pisang

barangan (Musa paradisiaca L.) adalah bagian yang sering dianggap tidak bermanfaat namun

mengandung banyak komponen antifungal seperti alkaloid, saponin, steroid, triterpenoid, kuinon,

polifenol dan flavonoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antifungal ekstrak

kulit Musa paradisiaca L. terhadap pertumbuhan C. albicans. Pada penelitian ini, kulit Musa

paradisiaca L. diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Ekstrak kulit

Musa paradisiaca L. yang telah diuji fitokimia, diuji aktivitas antifungalnya menggunakan metode

dilusi dengan Standard Plate Count (SPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit Musa

paradisiaca L. berpengaruh terhadap pertumbuhan C. albicans dengan konsentrasi hambat minimum

(KHM) sebesar 12,5% dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) sebesar 100%.

Kata kunci: Candida albicans, kandidiasis oral, antifungal, kulit pisang barangan

(Musa paradisiaca L.)

ABSTRACT

Candida albicans (C. albicans) is an opportunistic fungi that in certain circumstances may be

pathogens in the oral cavity and causes oral candidiasis. Treatment of oral candidiasis commonly

used synthetic antifungal drugs that can cause side effects. Musa paradisiaca L. peels are often

considered as useless part but contains many antifungal components such as alkaloids, saponins,

steroids, triterpenoids, quinons, poliphenols and flavonoids. This study was aimed to determine the

antifungal activity of Musa paradisiaca L. peels extract against C. albicans. In this study, Musa

paradisiaca L. peels was extracted by maceration method using 96% ethanol as solvent. Musa

paradisiaca L. peels extract that has been tested phytochemical, was tested its antifungal activity

using dilution method with Standard Plate Count (SPC). Results showed that Musa paradisiaca L.

peels extract have effects on the growth of C. albicans with 12,5% as Minimum Inhibitory

Concentration (MIC) and has no growth in 100% concentration.

Key words: Candida albicans, oral candidiasis, antifungal, Musa paradisiaca L. peels

Page 47: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

37

PENDAHULUAN

Jamur merupakan mikroba yang dapat

tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat

termasuk di rongga mulut. Salah satu jamur

yang paling banyak terdapat di rongga mulut

sebagai flora normal adalah Candida albicans

(C. albicans).1 Di sisi lain, apabila terjadi

ketidakseimbangan antara Candida dengan

mikroba lainnya di rongga mulut jamur ini

dapat menimbulkan suatu keadaan patogen

yang disebut kandidiasis oral.2 Beberapa faktor

predisposisi kandidiasis oral antara lain akibat

pemakaian gigi tiruan, merokok, penggunaan

antibiotik dan kortikosteroid serta sistem imun

tubuh yang menurun akibat radiasi atau

kemoterapi, kondisi sistemik seperti leukemia

kekurangan nutrisi dan pada penderita Human

Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune

Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).3,4

Pada rongga mulut orang dewasa sehat

terdapat sekitar 30–40% spesies C. albicans,

50–65% pada pasien yang menggunakan gigi

tiruan lepasan, 65–88% pada orang yang

mengkonsumsi antibiotik berspektrum luas

dalam jangka panjang, dan 95% pada

penderita HIV/AIDS.5 Menurut penelitian

Murwaningsih (2012), C. albicans ditemukan

pada 40% isolat rongga mulut penderita HIV

yang terinfeksi kandidiasis.6 Data yang

didapatkan dari RSUP dr. Kariadi Semarang

juga menunjukkan bahwa 45% pasien

HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring

terinfeksi jamur C. albicans.7

Penanganan kandidiasis oral umumnya

menggunakan obat antifungal sintetik antara

lain nistatin, klotrimazol, mikonazol,

ketokonazol dan flukonazol.8

Obat-obatan sintetik yang digunakan

tentunya dapat menyebabkan resistensi dan

efek samping.9 Pemanfaatan bahan-bahan

alami untuk mengatasi jamur ini sudah

seharusnya dikembangkan sebagai salah satu

solusi untuk mengurangi efek samping yang

ditimbulkan antijamur sintetik tersebut.

Tanaman pisang (Musa spp.) adalah

salah satu tanaman yang cukup banyak

ditemukan di daerah beriklim tropis seperti

Indonesia. Pada tahun 2006, Indonesia

memproduksi pisang sebanyak 5.037.472

ton.10

Salah satu jenis pisang yang sering

ditemui dan dikonsumsi di kalangan

masyarakat adalah pisang barangan (Musa

paradisiaca L.). Penelitian Karadi et al (2011)

dan Chabuck (2013) menunjukkan bahwa

setiap bagian dari pisang memiliki efek yang

baik untuk kesehatan tubuh, termasuk kulitnya

yang selama ini terkesan tidak bermanfaat dan

hanya menjadi limbah ternyata mengandung

lebih banyak komponen antibiotik dan

antifungal seperti alkaloid, tanin, flavonoid,

saponin dan steroid dibandingkan dengan

bagian tanaman pisang yang lain.11-13

Penelitian Someya (2002) menyatakan bahwa

kandungan zat polifenol pada kulit pisang

adalah sebesar 158 mg/ 100 gr (0,158%)

sedangkan pada buah pisang hanya sebesar

29,6 mg/ 100 gr (0,0296%).14

Berdasarkan penelitian Ighodaro (2012),

ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan

konsentrasi 100 mg/ml (10%) dan 50 mg/ml

(5%) telah dibuktikan dapat menghambat

pertumbuhan mikroba baik dari jenis bakteri

seperti Staphylococcus aureus maupun dari

jenis jamur seperti Aspergillus niger.15

Karadi

(2011) dalam penelitiannya menunjukkan

bahwa ekstrak kulit Musa paradisiaca L. pada

konsentrasi 100 µg/ml (0,01%) menunjukkan

zona hambat yang kuat sebesar 24 ± 0,3 mm

terhadap pertumbuhan jamur C. albicans, lebih

besar dibandingkan dengan obat antifungal

yang biasa digunakan, yaitu flukonazol yang

menunjukkan zona hambat sebesar 23 mm.12

Di sisi lain, menurut penelitian Chabuck

(2013) ekstrak kulit Musa paradisiaca L.

justru sama sekali tidak memiliki daya hambat

terhadap pertumbuhan C. albicans.11

Berdasarkan uraian di atas, maka

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek

antifungal ekstrak kulit pisang barangan (Musa

paradisiaca L.) terhadap C. albicans.

BAHAN DAN METODE

Penelitian bersifat eksperimental

laboratoris dengan desain postest only control

design. Proses ekstraksi dilakukan di

Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unsyiah,

Laboratorium Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (FKIP) Unsyiah untuk uji

fitokimia serta di Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah

untuk proses pengujian Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM) dari ekstrak kulit pisang

barangan (Musa paradisiaca L.) terhadap

pertumbuhan C. albicans. Sampel yang

digunakan untuk penelitian ini adalah

C. albicans strain ATCC 10231 yang

diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah

Page 48: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

38

dan bahan uji yang digunakan adalah kulit

pisang barangan (Musa paradisiaca L.) dari

perkebunan pisang di Kecamatan Seulimum,

Kabupaten Aceh Besar.

Semua alat dan bahan yang digunakan

harus dalam keadaan steril. Media agar yang

digunakan untuk pertumbuhan C. albicans

dibuat dengan cara mencampurkan bubuk

SDA dengan akuades dan didihkan sampai

seluruh campuran homogen. Selanjutnya

ditambahkan ciprofloxacin dan masukkan ke

dalam autoklaf dengan suhu 121°C selama 15

menit.49

Kulit Musa paradisiaca L. yang belum

matang sebanyak 3 kilogram dikeringkan dan

dipotong kecil-kecil. Kemudian kulit tersebut

dieksktraksi dengan metode maserasi dengan

cara direndam menggunakan pelarut etanol

96% dalam labu erlenmeyer dan diaduk

sesekali setiap hari. Setelah itu dilakukan

penyaringan dengan kertas Whatman No. 1

sampai didapatkan filtrat. Filtrat tersebut

selanjutnya diuapkan dengan rotary

evaporator sampai didapatkan ekstrak kental.15

Uji fitokimia adalah uji kalibrasi untuk

melihat adanya kandungan alkaloid, tanin,

flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid,

kuinon dan polifenol dalam ekstrak kulit Musa

paradisiaca L.15,32,33

a) Uji alkaloid dilakukan dengan

menambahkan beberapa tetes pereaksi

Dragendorf dan Burchad ke dalam ekstrak

kulit Musa paradisiaca L. Dikatakan

mengandung alkaloid jika terbentuk endapan.38

b) Uji tanin dapat dilakukan dengan

menggunakan 10% gelatin yang ditambahkan

ke dalam ekstrak kulit Musa paradisiaca L.

Senyawa tanin ditandai dengan terbentuknya

endapan putih.38

c) Uji flavonoid dilakukan dengan

menambahkan serbuk magnesium (Mg), HCl

dan amil alkohol ke dalam ekstrak kulit Musa

paradisiaca L. Jika mengandung flavonoid

maka akan terlihat warna ungu kemerahan.50

d) Uji saponin dilakukan dengan

menggunakan HCl yang dituangkan pada

ekstrak kulit Musa paradisiaca L. kemudian

dikocok selama 15 detik. Timbulnya buih yang

menetap menunjukkan adanya kandungan

saponin dalam ekstrak.31,38

e) Uji steroid dan triterpenoid dilakukan

dengan menambahkan asam asetat dan H2SO4

ke dalam ekstrak kulit Musa paradisiaca L.

Jika mengandung steroid maka akan terbentuk

warna biru atau ungu.51

f) Uji kuinon dilakukan dengan

penambahan NaOH ke dalam ekstrak kulit

Musa paradisiaca L. Terbentuknya warna

kuning kemerahan menunjukkan adanya

senyawa kuinon.52

g) Uji polifenol dilakukan dengan

menambahkan FeCl3 ke dalam ekstrak kulit

Musa paradisiaca L. Ekstrak mengandung

polifenol apabila membentuk senyawa

berwarna biru kehitaman.38

Ekstrak kental kulit Musa paradisiaca

L. diencerkan dengan menggunakan akuades

steril hingga diperoleh konsentrasi yang

diperlukan dan dihomogenkan dengan

menggunakan vortex.

Candida albicans diambil dengan

menggunakan jarum ose dan dikultur dengan

menggunakan media Sabouroud Dextrose

Agar (SDA) dan diinkubasi dalam inkubator

pada suhu 37°C selama 24 jam.53

Spesies

C. albicans akan menghasilkan koloni halus

berwarna krem keputihan dan mengeluarkan

bau khas seperti ragi.

Konfirmasi dilakukan dengan pe-

warnaan Gram dengan cara mengambil

C. albicans yang dioleskan ke kaca preparat

dan difiksasi dengan cara dilewatkan di atas

api spiritus. Kemudian sediaan ditetesi zat

kristal violet selama 1 menit selanjutnya

dibilas dengan air. Lalu sediaan diteteskan

larutan lugol selama 1 menit kemudian ditetesi

dengan alkohol 96% selama 5 detik sampai zat

warna hilang, setelah itu dicuci dengan air

mengalir. Selanjutnya sediaan ditetesi dengan

larutan safranin selama 30 detik lalu dibilas

dengan air mengalir kemudian dibiarkan

hingga kering. Setelah itu dilakukan

pengamatan dibawah mikroskop dengan

pembesaran 1000x. Candida albicans akan

terlihat berwarna ungu dan berbentuk budding

(tunas) (Gambar 1).45

Gambar 1. Candida albicans - Budding Cells

Page 49: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

39

Kemudian dilakukan uji fermentasi

terhadap bahan pembenihan karbohidrat

(glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa) yang

sudah ditambahkan bromkresol blue sebagai

indikator. Terbentuknya asam saat fermentasi

ditandai dengan adanya perubahan warna pada

indikator. Untuk mengetahui terbentuknya gas

digunakan tabung Durham yang diletakkan

terbalik di dalam tabung reaksi. Ruang kosong

pada tabung Durham menunjukkan adanya gas

yang terbentuk. Konfirmasi C. albicans

didapatkan dari hasil uji fermentasi

karbohidrat dan pembentukan gas dalam

tabung Durham. Spesies C. albicans

menunjukkan terbentuknya asam dan gas pada

glukosa dan maltosa sedangkan pada sukrosa

hanya menunjukkan adanya asam dan laktosa

tidak menghasilkan asam maupun gas.55

Candida albicans yang sudah dikultur

pada media SDA diambil dengan jarum ose

selanjutnya diinokulasi ke dalam pepton

water. Tingkat kekeruhannya disesuaikan

dengan larutan Mc. Farland 1 yang setara

dengan jumlah mikroorganisme 3 x 108

CFU/ml. Selanjutnya dilakukan pengenceran

bertingkat sampai didapatkan 30–300 koloni

saat penanaman pada SDA.

Pengenceran bertingkat dilakukan

dengan cara mengambil 1 ml suspensi

C. albicans yang telah setara dengan larutan

Mc. Farland 1 kemudian dicampurkan dengan

9 ml NaCl pada tabung 1, selanjutnya pada

tabung 2 ambil 1 ml larutan pada tabung 1 dan

dicampurkan dengan 9 ml NaCl, ambil 1 ml

larutan pada tabung 2 dan dicampurkan

dengan 9 ml NaCl pada tabung 3, begitu

seterusnya sampai tabung 7. Kemudian setelah

dihomogenkan dengan vortex dari masing-

masing tabung diambil 0,1 ml suspensi lalu

disebarkan dan diratakan pada cawan petri

yang berisi media SDA dengan menggunakan

batang sebar. Selanjutnya diinkubasi selama

24 jam pada suhu 37°C kemudian amati dan

hitung jumlah koloninya. Cawan petri yang

dipilih adalah yang memiliki jumlah koloni

30–300 koloni.47

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)

pada penelitian ini didapatkan dengan

menggunakan kelompok yang terdiri dari

empat kelompok perlakuan, satu kelompok

kontrol positif (nistatin) dan satu kelompok

kontrol negatif (akuades). Pengulangan dalam

uji ini dilakukan sebanyak tiga kali.

Kelompok perlakuan 1 (P1) terdiri atas

1 ml ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan

konsentrasi 12,5% kemudian ditambahkan

suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.

Kelompok perlakuan 2 (P2) terdiri atas 1 ml

ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan

konsentrasi 25% kemudian ditambahkan

suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.

Kelompok perlakuan 3 (P3) terdiri atas 1 ml

ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan

konsentrasi 50% kemudian ditambahkan

suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.

Kelompok perlakuan 4 (P4) terdiri atas 1 ml

ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan

konsentrasi 100% kemudian ditambahkan

suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.15

Kelompok kontrol negatif (K-) terdiri atas

1 ml akuades dan ditambahkan dengan

suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.

Kelompok kontrol positif (K+) terdiri atas 1

ml nistatin dan ditambahkan dengan suspensi

C. albicans sebanyak 0,1 ml.

Kemudian masing-masing tabung

diambil 0,1 ml suspensi dengan menggunakan

pipet Eppendorf dan ditanam dengan metode

spread plate pada media SDA, kemudian

ratakan dengan batang sebar untuk selanjutnya

diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C.

Setelah 24 jam, koloni akan terbentuk dan

pertumbuhannya dihitung dengan colony

counter. Konsentrasi Hambat Minimum

(KHM) dari ekstrak kulit Musa paradisiaca L.

adalah yang menunjukkan jumlah koloni

C. albicans paling sedikit pada SDA dan

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) adalah

pada SDA yang sama sekali tidak terdapat

pertumbuhan C. albicans.

Penelitian ini menggunakan metode

analisis data dengan one way ANOVA

dilanjutkan dengan uji beda rata-rata LSD

(Least Significant Different) untuk melihat

konsentrasi hambat minimum (KHM) dan

konsentrasi bunuh minimum (KBM) dengan

bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical

Package for The Social Sciences).

HASIL PENELITIAN

Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kulit pisang barangan

yang diekstraksi dengan metode maserasi

menggunakan pelarut etanol 96%. Hasil

ekstraksi diperoleh ekstrak kental sebanyak

14,81 gram.

Uji fitokimia menunjukkan hasil bahwa

ekstrak kulit Musa paradisiaca L.

mengandung senyawa alkaloid, saponin,

Page 50: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

40

polifenol, flavonoid, kuinon, steroid,

triterpenoid dan tidak mengandung tanin

(Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kulit Pisang

Barangan (Musa paradisiaca L.)

Uji Fitokimia Keterangan

Alkaloid +

Saponin +

Tanin -

Polifenol +

Flavonoid +

Kuinon +

Steroid +

Triterpenoid +

Hasil kultur C. albicans pada media

SDA yang telah diinkubasi dalam inkubator

selama 24 jam menunjukkan koloni berwarna

krem keputihan (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil Kultur Candida albicans pada

Media SDA

Hasil pewarnaan Gram menunjukkan

koloni berbentuk budding (tunas) berwarna

Gambar 3. Hasil Uji Pewarnaan Gram Candida

albicans

ungu yang diamati menggunakan mikroskop

cahaya dengan pembesaran 1000x (Gambar 3).

Hasil uji fermentasi karbohidrat dengan

media gula-gula yang ditambahkan brom-

kresol blue sebagai indikator menunjukkan

adanya perubahan warna dari biru menjadi

kuning pada glukosa, maltosa dan sukrosa,

sedangkan pada laktosa tidak terjadi

perubahan warna. Gelembung udara terbentuk

pada glukosa dan maltosa, sedangkan pada

sukrosa dan laktosa tidak menunjukkan adanya

gelembung udara (Gambar 4).

Gambar 4. Hasil Uji Fermentasi Candida albicans

(a) Laktosa, (b) Glukosa, (c) Maltosa,

(d) Sukrosa

Gambar 5. Hasil Penyetaraan Kekeruhan Suspensi

(a) Larutan Mc Farland 1, (b) Suspensi

Candida albicans

Suspensi C. albicans dibuat dengan cara

mengambil 1 ose koloni C. albicans

dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi

Koloni

C. albicans

Budding

(Tunas) Sel

a b c d

a b

Page 51: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

41

pepton water, diinkubasi selama 24 jam

kemudian dihomogenkan dengan cara di-

vortex. Tingkat kekeruhan suspensi tersebut

disetarakan dengan Mc. Farland 1 yang setara

dengan 3 x 108 CFU/ml (Gambar 5).

Hasil pengenceran bertingkat yang

dilakukan sebanyak 6 kali menghasilkan

jumlah koloni seperti yang terlihat pada

Tabel 2. Berdasarkan hasil tersebut maka

pengenceran 10-3

yang layak digunakan untuk

uji karena memiliki jumlah koloni 30–300

koloni/cawan.

Tabel 2. Jumlah Koloni Candida albicans Setelah

Pengenceran Bertingkat

Tingkat

Pengenceran

Pertumbuhan Koloni

(koloni/cawan)

10-1

2255

10-2

532

10-3

112

10-4

16

10-5

1

10-6

1

Pengujian aktivitas antifungal ekstrak

kulit pisang barangan (Musa paradisiaca L.)

terhadap pertumbuhan C. albicans dilakukan

pada media SDA dan setiap perlakuan diulang

sebanyak 3 kali. Pada konsentrasi 12,5%, rata-

rata jumlah koloni yang tumbuh sebanyak

39 x 104 CFU/ml, lebih sedikit daripada yang

tumbuh pada kelompok kontrol negatif

(akuades) yaitu sebanyak 225 x 104 CFU/ml.

Jumlah koloni ini terus menurun seiring

dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.

Pada konsentrasi tertinggi, yaitu 100%, tidak

ada koloni C. albicans yang tumbuh sama

seperti yang dihasilkan oleh kelompok kontrol

positif (nistatin). Jumlah rata-rata koloni yang

dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.

Uji statistik penelitian ini menggunakan

one way ANOVA dengan syarat terdiri atas

lebih dari dua kelompok, sebaran data normal,

dan varians data harus sama. Kelompok

penelitian ini terdiri dari 4 kelompok

perlakuan, 1 kelompok kontrol negatif

(akuades) dan 1 kelompok kontrol positif

(nistatin). Uji normalitas menggunakan

Shapiro-Wilk menghasilkan sebaran data pada

konsentrasi 12,5%, 25% dan akuades adalah

normal dengan nilai p>0,05, sedangkan pada

konsentrasi 50%, 100% dan nistatin sebaran

datanya diabaikan hasilnya karena jumlah data

dari setiap perlakuannya konstan. Uji

homogenitas menunjukkan data tidak

homogen (p<0,05) oleh sebab itu dilakukan

transformasi data. Hasil uji menunjukkan

bahwa data tidak dapat ditransformasi, maka

dilakukan uji alternatif menggunakan uji

Kruskal-Wallis dengan post hoc uji Mann-

Whitney.

Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai

p=0,005, artinya bahwa hipotesis diterima

Tabel 3. Jumlah Rata-Rata Koloni Candida albicans Setelah Dilakukan Uji Menggunakan Ekstrak Kulit Pisang

Barangan (Musa paradisiaca L.)

Konsentrasi

Bahan Uji

Jumlah Koloni (CFU/ml) Jumlah Rata-Rata

Koloni (CFU/ml) P1 P2 P3

12,5% 40 x 104 35 x 10

4 42 x 10

4 39 x 10

4

25% 21 x 104 32 x 10

4 24 x 10

4 26 x 10

4

50% 1 x 104 1 x 10

4 1 x 10

4 1 x 10

4

100% 0 0 0 0

Akuades 234 x 104 212 x 10

4 230 x 10

4 225 x 10

4

Nistatin 0 0 0 0

Tabel 4. Hasil Uji Mann-Whitney Ekstrak Kulit Musa paradisiaca L. Terhadap Pertumbuhan Candida albicans

Kelompok Perlakuan 12,5% 25% 50% 100% Akuades Nistatin

12,5% - 0,050* 0,037* 0,037* 0,050* 0,037*

25% 0,050* - 0,037* 0,037* 0,050* 0,037*

50% 0,037* 0,037* - 0,025* 0,037* 0,025*

100% 0.037* 0,037* 0,025* - 0,037* 1,000

Akuades 0,050* 0,050* 0,037* 0,037* - 0,037*

Nistatin 0,037* 0,037* 0,025* 1,000 0,037* -

Keterangan : * = p≤0,05 ; terdapat perbedaan bermakna

Page 52: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

42

dengan nilai Konsentrasi Hambat Minimum

(KHM) pada 12,5% dan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM) pada 100%. Pada

konsentrasi 12,5% pertumbuhan C. albicans

menunjukkan perbedaan yang bermakna

dibandingkan dengan akuades dengan nilai

p=0,05 sedangkan untuk konsentrasi 100%

dibandingkan dengan nistatin memiliki nilai

p=1,00 yang berarti tidak ada perbedaan yang

bermakna.

PEMBAHASAN

Kulit Musa paradisiaca L. kering

diekstrak dengan metode maserasi

menggunakan etanol 96%. Tujuan dari

ekstraksi ini adalah untuk menarik seluruh

bahan aktif yang terdapat dalam simplisia.

Metode maserasi dipilih dalam penelitian ini

karena metode ini adalah metode yang paling

sederhana, murah, dan mudah. Prinsip

ekstraksi dengan metode ini adalah dilakukan

di wadah tertutup dengan cara merendam dan

mengaduk simplisia dalam pelarut.56

Pelarut akan masuk melewati dinding

sel dan menyebabkan isi sel akan larut, hal ini

dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi

antara larutan di dalam dan di luar sel.40

Pemilihan pelarut juga mempengaruhi jumlah

senyawa aktif yang tersari. Pelarut yang

digunakan dalam penelitian ini adalah etanol

96%. Pemilihan etanol sebagai pelarut karena

etanol merupakan pelarut yang bersifat polar,

tidak toksik, absorbsinya baik, dan lebih

selektif sehingga mikroorganisme sulit untuk

tumbuh dalam etanol 20% ke atas.56

Uji fitokimia ekstrak kulit Musa

paradisiaca L. menunjukkan adanya kan-

dungan alkaloid, saponin, polifenol, flavonoid,

kuinon, steroid, triterpenoid dan tidak

mengandung tanin. Hal ini tidak sesuai dengan

penelitian Ighodaro (2012) yang menyatakan

bahwa terdapat tanin dalam ekstrak Musa

paradisiaca L.15

Tidak adanya tanin dalam

ekstrak diduga karena kandungan senyawa

tanin pada ekstrak terlalu sedikit, hal ini

disebabkan perbedaan lingkungan pertum-

buhan tanaman sehingga saat pengujian

menunjukkan hasil negatif.38

Kultur C. albicans dilakukan di media

SDA yang merupakan media selektif untuk

pertumbuhan jamur karena konsentrasi

dekstrosa yang tinggi dan pH nya yang bersifat

asam. Kandungan lain dalam SDA seperti

cernaan enzimatik kasein dan cernaan

enzimatik hewan berfungsi sebagai penyedia

nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino

yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Penambahan antibiotik seperti ciprofloxacin

dilakukan agar media lebih selektif sehingga

sangat baik digunakan untuk isolasi jamur.57

Konfirmasi dengan pewarnaan Gram

dan uji fermentasi dilakukan untuk

memastikan bahwa hasil kultur C. albicans

tidak mengalami kontaminasi. Pewarnaan

Gram pada C. albicans dilakukan karena

C. albicans memiliki struktur dinding sel yang

mirip dengan bakteri Gram-Positif yang

memiliki peptidoglikan dan kitin yang mampu

menahan zat warna kristal violet. Kayser

(2005) mengatakan bahwa spesies C. albicans

menunjukkan gambaran berwarna ungu dan

berbentuk tunas (budding) saat diamati

dibawah mikroskop.58

Uji fermentasi terhadap C. albicans

menggunakan glukosa, maltosa, sukrosa dan

laktosa menunjukkan hasil yang sama seperti

pada penelitian Bhavan (2010) yaitu positif

pada glukosa, maltosa dan sukrosa, sedangkan

pada laktosa menunjukkan hasil yang

negatif.55

Uji fermentasi ini dilakukan untuk

memastikan spesies C. albicans yang di-

ketahui dari kemampuan spesies tersebut

dalam memfermentasi karbohidrat tertentu

sehingga menurunkan pH indikator. Hal ini

terlihat dari berubahnya warna bromkresol

blue sebagai indikator dan terbentuknya gas

pada tabung Durham.59

Uji aktivitas antifungal ekstrak kulit

Musa paradisiaca L. dilakukan dengan metode

dilusi standard plate count (SPC) dengan cara

melakukan pengenceran bertingkat C. albicans

dan nantinya suspensi yang digunakan adalah

yang memiliki jumlah 30–300 koloni. Tujuan

penggunaan metode ini adalah untuk

memudahkan penghitungan nilai konsentrasi

hambat dan bunuh minimum ekstrak terhadap

C. albicans. Nilai tersebut diperoleh dengan

menghitung jumlah koloni yang tumbuh

setelah diberikan ekstrak dengan colony

counter.47

Hasil uji ekstrak kulit Musa paradi-

siaca L. menunjukkan bahwa ekstrak tersebut

mampu menghambat dan membunuh

C. albicans. Kemampuan ini disebabkan oleh

kandungan zat-zat aktif dalam ekstrak yang

berperan sebagai antifungal. Zat-zat tersebut

antara lain adalah alkaloid, steroid, tri-

terpenoid, saponin, kuinon, polifenol dan

flavonoid.

Page 53: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

43

Pelczar dan Chan (2006) menyebutkan

bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu zat

antimikroba maka semakin besar pula

kemampuannya untuk menghambat per-

tumbuhan mikroba.60

Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang menunjukkan jumlah

koloni C. albicans terus menurun seiring

dengan meningkatnya nilai konsentrasi

ekstrak. Konsentrasi Hambat Minimum

(KHM) dalam penelitian ini adalah konsentrasi

terendah dengan jumlah koloni C. albicans

yang paling sedikit jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol negatif (akuades) yaitu

12,5%, sedangkan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM) dalam penelitian ini adalah

100% karena pada konsentrasi tersebut tidak

terdapat pertumbuhan koloni C. albicans.

Hasil ini adalah akibat interaksi maksimal

antar zat antifungal yang dimiliki ekstrak

tersebut karena menggunakan ekstrak kulit

Musa paradisiaca L. murni tanpa

pengenceran.

Alkaloid bekerja sebagai antifungal

dengan cara menghambat biosintesis asam

nukleat pada jamur.34

Senyawa alkaloid ini

juga bersifat basa karena memiliki pH>7 yang

diduga dapat menekan pertumbuhan

C. albicans karena biasanya C. albicans

tumbuh pada keadaan pH asam.61

Steroid dan

triterpenoid mengganggu membran sel dan

menghambat sintesis protein jamur sehingga

pertumbuhannya terhambat.37

Saponin

memiliki tingkat toksisitas yang tinggi

terhadap jamur. Saponin akan mengganggu

permeabilitas membran sterol dinding sel

C. albicans sehingga pemasukan zat-zat yang

diperlukan untuk perkembangan terganggu,

akhirnya sel membengkak dan pecah.36

Polifenol mampu mendenaturasi protein

dinding sel jamur sehingga menjadi rapuh dan

mudah ditembus oleh zat aktif lainnya yang

juga bersifat antifungal.37

Proses denaturasi

protein dapat mengakibatkan kerusakan sel

secara permanen sehingga tidak dapat

diperbaiki lagi.60

Kuinon bekerja dengan cara

mengikat adhesin pada jamur.38

Flavonoid, meskipun lebih banyak

dikenal sebagai antioksidan, juga mampu

bekerja sebagai antifungal. Cara kerjanya

adalah dengan mengikat fosfolipid dan

mengganggu permeabilitas membran sel

jamur.35

Permeabilitas akan meningkat karena

terganggunya fungsi membran sel akibat

perubahan komposisi protein, akibatnya terjadi

kerusakan sel dan lama kelamaan

menyebabkan kematian jamur C. albicans.62

Kelompok kontrol pada penelitian ini

menggunakan nistatin sebagai kontrol positif

dan akuades sebagai kontrol negatif. Akuades

digunakan sebagai kontrol negatif karena tidak

mengandung zat antifungal sehingga tidak

memiliki daya hambat terhadap C. albicans.

Nistatin digunakan sebagai kontrol positif

karena merupakan obat antifungal sintetis

yang bersifat fungisidal dan sering digunakan

dalam pengobatan kandidiasis oral.63

KESIMPULAN

Ekstrak kulit pisang barangan (Musa

paradisiaca L.) dapat menghambat per-

tumbuhan Candida albicans dengan KBM

sebesar 100% dengan rata-rata jumlah koloni

0 CFU/ml, KHM sebesar 12,5% dengan rata-

rata jumlah koloni 39 x 104 CFU/ml.

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS. Burket’s Oral Medicine

Diagnosis and Treatment. 10th ed.

Ontario: BC Decker Inc. 2003: 94.

2. Gravina HG, Moran EGD, Zambrano O.

Oral Candidiasis in Children and

Adolescents with Cancer Identification of

Candida spp. Med Oral Patol Oral Cir

Bucal 2007; 12(6).

3. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral

Pathology Clinical Pathologic

Correlations. 4th ed. USA: Elsevier

Science. 2003: 100-102.

4. Neville WB, Doughlas DD, Carl MA,

Jerry EB. Oral and Maxilofacial

Pathology. 2nd

ed. Philadelphia: W.B

Saunders Company. 2002: 189-194.

5. Akpan A, Morgan R. Oral Candidiasis.

Postgrad Med J 2002; 78:455-459.

6. Murwaningsih A. Resistensi Candida

albicans dan Candida non-albicans

Terhadap Flukonazol Studi Pada Isolat

Rongga Mulut Penderita Infeksi Human

Immunodeficiency Virus di RSUP Dr.

Sardjito. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada. 2012.

7. Sofro MUA, Anggita I, Isbandrio B.

Karakteristik Pasien HIV/AIDS dengan

Kandidiasis Orofaringeal di RSUP Dr.

Kariadi Semarang. Med Hosp 2013;

164-168.

8. Kurniawan A, Wahyuningsih R, Susanto

L. Infeksi Parasit dan Jamur Pada Pasien

terinfeksi HIV. Majalah Kedokteran FK

UKI 2008; 35.

Page 54: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

44

9. Kusumaningtyas, Lusi S, Astie A.

Penentuan Golongan Bercak Senyawa

Aktif Ekstrak n-heksan Alpina galanga

terhadap Candida albicans dengan

Bioautografi dan Kromatografi Lapis

Tipis. Jakarta: Universitas Pancasila.

2008: 1-2.

10. Mulyanti N, Suprapto, Hendra J.

Teknologi Budidaya Pisang. Bandar

Lampung: Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 2008: 1.

11. Chabuck ZAG, Al-Charrakh AH, Hindi

NKK, Hindi SKK. Antimicrobial Effect

of Aqueous Banana Peel Extract. Iraq

Pharmaceutical Sciences 2013; 1:73-75.

12. Karadi RV, Shah A, Parekh P, Azmi P.

Antimicrobial Activities of Musa

paradisiaca and Cocos nucifera.

International Journal Research

Pharmaceutical and Biomedical Sciences

2011; 2(1):264-266.

13. Kumar KPS, Bhowmik D, Duraivel S,

Umadevi M. Traditional and Medicinal

Uses of Banana. Journal Pharmacognosy

and Phytochemistry 2012; 1(3):51-53.

14. Someya S, Yoshiki Y, Okubo K.

Antioxidant Compounds From Bananas

(Musa cavendish). Food Chemistry 2002;

79(3):351-354.

15. Ighodaro O. Evaluation Study on

Nigerian Species of Musa paradisiaca

Peels: Phytochemical Screening,

Proximate Analysis, Mineral

Composition and Antimicrobial

Activities. Nigeria: Lead City University.

2012: 17-20.

16. Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell

M. Introductory Mycology. 6th ed. New

York: John Wiley & Son. 1996.

17. Tjampakasari CR. Karakteristik Candida

albicans. Jakarta: Bagian Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2006.

18. Simatupang MM. Candida albicans.

Medan: Departemen Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran. 2009: 4.

19. Anonymous. Availabe at: http://netsains.

net/2011/02/mekanisme-resistensi-

terhadap-agen-antifungal/. Accessed on

August 22nd

, 2014.

20. Cotter G, Kavanagh K. Adherence

Mechanisms of Candida albicans. Br J

Biomed Science 2000; 57(3):24-29.

21. Atni MHBM. Daya Hambat Infusum

Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan

Candida albicans Diisolasi Dari Denture

Stomatitis Penelitian In Vitro. Sumatera

Utara: Fakultas Kedokteran Gigi. 2010:

10.

22. Gani BA. Keragaman Virulensi Faktor

Candida albicans Sebagai Penentu

Infeksi. Cakradonya Dent J 2011;

3(1):252-331.

23. Gandolfo S, CBE CS, Carrozzo M. Oral

Medicine. Toronto: Elsevier. 2006: 50-70.

24. Tarcin BG. Oral Candidosis: Aetiology,

Clinical Manifestations, Diagnosis and

Management. Journal of Marmara

University Institute of Health Science

2011; 1(2):140-148.

25. Tyasrini E, Winata T, Susantina.

Hubungan antara Sifat dan Metabolit

Candida spp. dengan Patogenesis

Kandidiasis. Jurnal Kedokteran

Maranatha 2006; 6:52-67.

26. McCullough MJ, Savage NW. Oral

Candidosis and The Therapeutic Use Of

Antifungal Agents in Dentistry. Aust Dent

Journal 2005; 50(2):36-39.

27. Muzyka BC. Oral Fungal Infections. Dent

Clin N Am 2005; 49:49-65.

28. Prasanna KR. Oral Candidiasis - a review.

Scholarly Journal of Medicine 2012;

2(2):26-30.

29. Natalina F. Analisis Komparasi Usaha

Tani Pisang Barangan Antara Sistem

Konvensional Dengan Sistem Double

Raw. Studi Kasus: Kecamatan STM Hilir

dan Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten

Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

2009: 9.

30. Rukmana R. Usaha Tani Pisang.

Yogyakarta: Kanisius. 2006.

31. Anhwange BA, Ugye TJ, Nyiaatagher

TD. Chemical Composition of Musa

sapientum (Banana) Peels. Electronic

Journal of Environmental, Agricultural

and Food Chemistry 2009; 8(6):438-442.

32. Okorondu SI, Akujobi CO, Nwachukwu

IN. Antifungal properties of Musa

paradisiaca (Plantain) peel and stalk

extracts. International Journal of

Biological and Chemical Sciences 2012;

6(4):1529-1530.

33. Fitrianingsih SP, Purwanti L. Uji Efek

Hipogilkemik Ekstrak Air Kulit Buah

Pisang Ambon Putih [Musa (AAA

Group)] Terhadap Mencit Model

Hiperglikemik Galus Swiss Webster.

Page 55: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

45

Paper presented at: Seminar Nasional

Penelitian dan PKM Sains, Teknologi,

dan Kesehatan. Bandung. 2012

34. Zafar IM, Saleha A, Hoque MME, Sohel

RM. Antimicrobial and Cytotoxic

Properties of Different Extracts of Musa

sapientum L. Subsp. sylvesteris.

International Research Journal of

Pharmacy 2011; 2(8):62-65.

35. Watson RR, Preedy VR. Botanical

Medicine in Clinical Practice.

Cambridge: Cromwell Press. 2007.

36. Luning HU, Waiyaki BG, Schlosser E.

Role of Saponins in Antifungal

Resistance. Journal of Phytopathology

2008; 92:338-345.

37. Septiadi T, Pringgenies D, Radjasa OK.

Uji Fitokimia dan Aktivitas Antijamur

Ekstrak Teripang Keling (Holoturia atra)

Dari Pantai Bandengan Jepara Terhadap

Jamur Candida albicans. Journal of

Marine Research 2013; 2:76-84.

38. Tiwari P, Kumar B, Kaur M, Kaur H.

Phytochemical Screening and Extraction.

Int Pharm Sci 2011; 1(1):98-106.

39. Emilan T, Kurnia A, Utami B, Diyani

LN, Maulana A. Konsep Herbal

Indonesia: Pemastian Mutu Produk

Herbal. Depok: Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Depatemen

Farmasi. 2011: 10.

40. Anonymous. Metode Ekstraksi. Available

at: http://farmasi.unand.ac.id/RPKPS/

Metoda_ekstraksi.pdf. Accessed on June

12th, 2014.

41. Purba N. Skrining Fitokimia, Uji

Aktivitas Antimikroba dan Antifungi

Ekstrak Metanol Dari Daun Tuba Saba

(Polygonum caespitosum Blume)

Terhadap Mikroba Penyebab Penyakit

Kulit. Medan: Program Ekstensi Sarjana

Farmasi Fakultas Farmasi. Skripsi 2008.

42. Chismirina S, Andayani R, Susanti SM.

Efek Antifungal Ekstrak Etanol 60%

Kayu Siwak (Salvadora persica)

Terhadap Pertumbuhan Candida albicans.

Cakradonya Dent J 2011; 3(1):252-331.

43. Dzen SM, Roekistiningsih, Santoso S,

et al. Bakteriologi Medik. Malang:

Bayumedia Publishing. 2003: 24-25, 132.

44. Goldman E, Green LH. Practical

Handbook of Microbiology. New York:

CRC Press. 2009: 16-18.

45. Benson. Microbiological Applications

Laboratory Manual in General

Microbiology. 8th ed. New York: The Mc

Graw-Hill Companies. 2001: 93, 96.

46. Harley JP, Presscott LM. Laboratory

Exercises in Microbiology. 5th ed. New

York: The Mc Graw-Hill Companies.

2002: 79, 369, 374.

47. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Dasar.

Purwokerto: Universitas Jenderal

Soedirman. 2008.

48. Buku Ajar Mikrobiologi. Banda Aceh:

Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Hewan. 2012: 58.

49. Chandra R, Winata T, Evacuasiany E.

The Antifungal Activity of Celery Herb

Extracts (Apium graveolens L.) Against

Candida albicans Invitro. Jurnal Medika

Planta 2011; 1(3):1.

50. Mulyani S. Analisis Flavonoid. Majalah

Obat Tradisional 2013; 110.

51. Ismaini L. Aktifitas Antifungi Ekstrak

Centella asiatica L. Urban terhadap Fungi

Patogen pada Daun Anggrek

(Bulbophyllum flavidiflorum Carr).

Jurnal Penelitian Sains 2011; 14(1).

52. Anonymous. Penapisan dan Analisis

Kualitatif Senyawa Metabolit Sekunder.

Available at: https://www.academia.edu/

7213211/penapisan_dan_analisis_kualitat

if_senyawa_metabolit_sekunder_f.

Accessed on October 11th, 2014.

53. Rahmawati A, Al-anwary N,

Sasongkowati R. Pengaruh Pemberian

Infusa Jintan Hitam (Nigella sativa)

Terhadap Pertumbuhan Candida albicans.

Analis Kesehatan Sains 2012; 1(1):17.

54. Anonymous. Available at: http://live-

well.net.au/do-you-feel-tired-bloated-is-

your-immune-low-youve-checked-

everything-else-could-it-be-candida/.

Accessed on August 22nd

, 2014.

55. Bhavan PS, Rajkumar R, Radhakrishnan

S, Seenivasan C, Kannan S. Culture and

Identification of Candida albicans from

Vaginal Ulcer and Separation of Enolase

on SDS-PAGE. International Journal of

Biology 2010; 2(1):84-93.

56. Voigt R. Buku Pelajaran Teknologi

Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press. 1994.

57. Conda. Sabouraud Dextrose Agar

(European Pharmacopoeia). Pronadisa

Micro and Molecular Biology p. 1-2.

58. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J,

Zinkernagel RM. Medical Microbiology.

New York: Thieme. 2005: 362-364.

Page 56: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

46

59. Wahyuningsih R, Eljannah SM, Mulyati.

Identifikasi Candida spp. dengan Medium

Kromogenik. J Indon Med Assoc 2012;

62:83-89.

60. Pelczar MJ, Chan ECS. Dasar Dasar

Mikrobiologi. Jakarta: UI Press. 2006:

456-458.

61. Rahayu T. Uji Antijamur Kombucha

Coffee Terhadap Candida albicans dan

Tricophyton mentagrophytes. Jurnal

Penelitian Sains dan Teknologi 2009;

10:10-17.

62. Wahyuningtyas E. Pengaruh Ekstrak

Graptophyllum pictum Terhadap

Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat

Gigi Tiruan Akrilik. Indonesian Journal

of Denstistry 2008; 15(3):187-191.

63. Kee J, Hayes E. Farmakologi. In:

Pendekatan Proses Keperawatan (Asih

Y, eds). Jakarta: EGC. 1996: 358.

Page 57: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

47

HUBUNGAN ANTARA DURASI HEMODIALISIS DENGAN PERIODONTITIS

PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK

Sri Rezeki*, Sunnati

*, Dara Mauliza

**

*Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

**Dokter Gigi di Banda Aceh

ABSTRAK

Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan dunia, dengan jumlah penderita yang bertambah

setiap tahun. Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara perlahan yang berkaitan

dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pasien gagal ginjal kronik biasanya diberikan terapi

hemodialisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta mengeluarkan produk

sisa metabolisme. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis sering terjadi

periodontitis akibat kondisi kebersihan mulut yang buruk, dan menjadi semakin parah seiring

bertambahnya durasi hemodialisis yang dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara durasi hemodialisis dengan periodontitis. Penelitian analitik cross sectional ini dilakukan di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek penelitian sebanyak 99 orang

dengan usia 20–59 tahun. Dilakukan pemeriksaan kedalaman poket periodontal dan pemeriksaan

OHI-S terhadap subjek penelitian. Berdasarkan hasil uji chi-square terdapat hubungan yang bermakna

antara durasi hemodialisis dengan periodontitis (p<0,05). Pada penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara durasi hemodialisis dengan periodontitis.

Kata kunci: Durasi hemodialisis, periodontitis, gagal ginjal kronik

ABSTRACT

Chronic renal failure is a world’s health problem, with a number of patients growing rapidly each

year. Chronic renal failure is a progressive decline in the renal function associated with a reduced

glomerular filtration rate. Patients with chronic renal failure are usually treated by hemodialysis to

maintain fluid and electrolyte balance and eliminate metabolic waste products. In chronic renal failure

patients who are undergoing hemodialysis teraphy, they often experiencing periodontitis as a result of

poor oral hygiene, and periodontitis can be more serious along with the increasing of undergoing

hemodialysis duration. This study was aimed to analyze the relationship between hemodialysis

duration and periodontitis. This cross sectional study was done in Regional General Hospital dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh. The subjects of this study was 99, aged between 20–59 years old.

Subject was clinically examined in periodontal pocket depth and oral hygiene. Based on chi-square

test, it found that there was significant relationship between hemodialysis duration and periodontitis

(p<0,05). It can be concluded that in this study, there was significant relationship between

hemodialysis duration and periodontitis.

Key words: Hemodialysis duration, periodontitis, chronic renal failure

Page 58: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

48

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik merupakan

penurunan fungsi ginjal secara progresif dan

ireversibel yang berkaitan dengan penurunan

laju filtrasi glomerulus. Hipertensi kronik,

diabetes melitus dan glomerulonefritis

merupakan penyebab paling sering dari gagal

ginjal kronik.1 Hemodialisis menjadi salah satu

terapi yang sangat dibutuhkan oleh penderita

gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan sisa-

sisa metabolisme dalam darah.2

Gagal ginjal kronik telah menjadi

masalah kesehatan di seluruh dunia.1

Penderita

gagal ginjal kronik setiap tahun di Amerika

terus meningkat, hingga pada tahun 2010,

terdapat sekitar 383.992 pasien yang menjalani

terapi hemodialisis.3 Menurut Yayasan Ginjal

Diatrans Indonesia (YGDI) tahun 2012, angka

penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai

70 ribu lebih, dengan prevalensi 200–250 per

1 juta penduduk.4 Berdasarkan data Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh, hingga Juli 2012, terdapat 200 pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani perawatan

hemodialisis di rumah sakit tersebut.

Gagal ginjal kronik serta hemodialisis

dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut.

Diperkirakan 90% pasien gagal ginjal kronik

mengalami perubahan pada jaringan lunak

mulut serta tulang rahang.5 Manifestasi oral

yang dapat timbul salah satunya adalah

periodontitis.

Periodontitis dapat disebabkan

oleh produksi vitamin D yang tidak adekuat

pada ginjal sehingga terjadi resorbsi tulang,

keadaan serostomia, dan buruknya kebersihan

mulut yang biasanya ditemukan pada penderita

gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis akibat kurangnya menjaga

kebersihan gigi dan mulut.6 Pasien

hemodialisis cenderung lebih fokus terhadap

penyakitnya dan terapi hemodialisis yang

sangat menyita waktu menjadi alasan

kurangnya menjaga kesehatan mulut.7

Marakoglu dkk (2003) melakukan

penelitian untuk melihat kondisi gigi dan

jaringan periodontal pasien hemodialisis dan

ditemukan perbedaan kedalaman poket

periodontal yang tidak signifikan antara pasien

yang telah menjalani terapi hemodialisis

kurang dari 1 tahun, 1–3 tahun, dan lebih dari

3 tahun.8 Hasil penelitian tersebut berbeda

dengan penelitian Bayraktar dkk (2007) yang

menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman

poket periodontal signifikan pada pasien yang

telah menjalani terapi hemodialisis kurang dari

tiga tahun dibandingkan dengan pasien yang

telah menjalani terapi lebih dari tiga tahun.9

Poket periodontal merupakan suatu tipe

poket yang terjadi karena kondisi patologis

atau adanya destruksi jaringan pendukung.10

Poket periodontal merupakan tanda klinis dari

periodontitis. Metode yang dapat dilakukan

untuk mengetahui keberadaan poket peri-

odontal serta seberapa besar kedalamannya

adalah dengan melakukan probing.11

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian analitik

cross sectional, yang dilaksanakan di Instalasi

Dialisis Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dalam

penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani terapi hemodialisis di Instalasi

Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh. Kriteria inklusi

adalah bersedia menjadi subjek penelitian, usia

20 sampai dengan 59 tahun, memiliki salah

satu gigi insisivus sentralis di setiap rahang,

salah satu gigi insisivus lateralis di regio dua

dan empat, salah satu gigi premolar di regio

dua dan empat, dan gigi molar satu atau molar

dua di setiap regio. Kriteria eksklusi adalah

sedang menjalani perawatan periodontal,

sedang mengkonsumsi antibiotik, pasien

dengan kondisi yang sangat lemah, sehingga

tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan,

pasien yang memakai alat ortodonti cekat, dan

pasien yang memiliki tambalan overhanging.

CARA KERJA

Pemeriksaan poket periodontal dilaku-

kan pada bagian mesial gigi. Gigi yang akan

diperiksa yaitu gigi 16, 21, 24, 36, 41, dan 44.6

Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan

prob periodontal ke dalam sulkus gingiva gigi

yang akan diperiksa.11

Kemudian diukur

kedalaman poket periodontal, yaitu jarak dari

margin gingiva sampai ke dasar sulkus gingiva

atau poket periodontal.12

Hasilnya dicatat pada

formulir pemeriksaan.

Pemeriksaan oral hygiene diperiksa

dengan menggunakan Oral Hygiene Index-

Simplified dari Green dan Vermilion (1964).13

Pengukuran dilakukan dengan cara men-

jumlahkan Indeks Debris dan Indeks Kalkulus.

Pengukuran dilakukan pada gigi 16, 11, 26,

36, 31, dan 46.6

HASIL PENELITIAN

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi

Page 59: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

49

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Variabel Jumlah (N) Persentase (%)

Durasi Hemodialisis (tahun)

< 1 33 33,3

1–3 33 33,3

> 3 33 33,3

Usia (tahun)

20 – 29 7 7,1

30 – 39 13 13,1

40 – 49 28 28,3

50 – 59 51 51,5

Jenis Kelamin

Laki-laki 65 65,7

Perempuan 34 34,3

Merokok

Merokok 0 0

Tidak merokok 99 100

Diabetes Melitus

Diabetes Melitus 22 22,2

Tidak Diabetes Melitus 77 77,8

OHI-S

Baik 0 0

Sedang 33 33,3

Buruk 66 66,7

Periodontitis

Tidak periodontitis 18 18,2

Periodontitis moderat 39 39,4

Periodontitis parah 42 42,4

dalam penelitian ini berjumlah 99 orang.

Status subjek penelitian dapat dilihat pada

Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui

bahwa jumlah subjek untuk ketiga kelompok

durasi hemodialisis adalah sama, yaitu

sebanyak 33 subjek (33,3%) pada setiap

kelompok. Kelompok usia subjek terbanyak

adalah usia 50–59 tahun, yaitu sebanyak 51

subjek (51,5%). Subjek penelitian yang

berjenis kelamin laki-laki lebih banyak

dibandingkan dengan perempuan, yaitu 65

subjek (65,7%).

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa

seluruh subjek penelitian, yaitu 99 subjek

(100%) tidak merokok. Jumlah subjek yang

tidak menderita diabetes melitus lebih banyak

dibandingkan dengan yang menderita diabetes

melitus, yaitu 77 subjek (77,8%). Tidak ada

subjek yang memiliki OHI-S yang baik, dan

lebih banyak subjek yang memiliki OHI-S

buruk dibandingkan dengan yang memiliki

OHI-S sedang, yaitu 66 subjek (66,7%).

Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat

bahwa jumlah subjek yang mengalami

periodontitis parah lebih banyak dibandingkan

dengan yang mengalami periodontitis moderat,

yaitu 42 subjek (42,4%).

Tabulasi Silang Durasi Hemodialisis

dengan Periodontitis

Gambar 1. Diagram Batang Tabulasi Silang

Durasi Hemodialisis dengan Peri-

odontitis.

Keterangan:

• Tidak ada periodontitis = poket < 4 mm

• Periodontitis moderat = poket 4–6 mm

• Periodontitis parah = poket > 6 mm

0

5

10

15

20

25

<1 1-3 > 3

Ju

mla

h S

ub

jek

Durasi Hemodialisis (tahun)

Tidak

periodontitis

Periodontitis

moderat

Periodontitis

parah

Page 60: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

50

Pada Gambar 1 terdapat hasil tabulasi

silang antara durasi hemodialisis dengan

periodontitis yang menunjukkan bahwa

periodontitis parah paling banyak dialami oleh

kelompok dengan durasi hemodialisis > 3

tahun.

Tabulasi Silang Durasi Hemodialisis

dengan OHI-S

Gambar 2. Diagram Batang Tabulasi Silang Du-

rasi Hemodialisis dengan OHI-S.

Keterangan:

• OHI-S baik = skor 0,0–1,2

• OHI-S sedang = skor 1,3–3,0

• OHI-S buruk = skor 3,1–6,0

Pada Gambar 2 terdapat hasil tabulasi

silang antara durasi hemodialisis dengan

OHI-S yang menunjukkan bahwa OHI-S

buruk paling banyak dialami oleh kelompok

dengan durasi hemodialisis > 3 tahun.

Tabulasi Silang Periodontitis dengan OHI-S Pada Tabel 2 terdapat hasil tabulasi

silang antara periodontitis dengan OHI-S yang

menunjukkan bahwa periodontitis lebih

banyak terjadi pada kelompok subjek dengan

OHI-S buruk dibandingkan kelompok subjek

dengan OHI-S sedang.

Tabulasi Silang Periodontitis dengan

Diabetes Melitus Pada Tabel 3 terdapat hasil tabulasi

silang antara periodontitis dengan diabetes

melitus yang menunjukkan bahwa tidak ada

subjek yang tidak menderita periodontitis pada

kelompok pasien yang memiliki riwayat

diabetes melitus.

Tabulasi Silang Periodontitis dengan Usia Pada Tabel 4 terdapat hasil tabulasi

silang antara periodontitis dengan usia yang

menunjukkan bahwa periodontitis paling

banyak dialami oleh kelompok subjek yang

berusia 50–59 tahun.

Tabel 2. Tabulasi Silang Periodontitis dengan OHI-S

OHI-S

Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Sedang 11 33,3 13 39,4 9 27,3 33 100

Buruk 7 10,6 26 39,4 33 50,0 66 100

Tabel 3. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Diabetes Melitus (DM)

DM

Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Ya 0 0 16 72,7 6 27,3 22 100

Tidak 18 23,4 23 29,9 36 46,8 77 100

Tabel 4. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Usia

Usia

(tahun)

Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

20–29 6 85,7 1 14,3 0 0 7 100

30–39 7 53,8 5 38,5 1 7,7 13 100

40–49 5 17,9 16 57,1 7 25,0 28 100

50–59 0 0 17 33,3 34 66,7 51 100

0

5

10

15

20

25

30

< 1 1-3 > 3

Ju

mla

h S

ub

jek

Durasi Hemodialisis (tahun)

OHI-S baik

OHI-S sedang

OHI-S buruk

Page 61: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

51

Tabel 5. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Jenis Kelamin

Jenis

Kelamin

Tidak periodontitis Periodontitis Total

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Laki-laki 14 21,5 51 78,5 65 100

Perempuan 4 11,8 30 88,2 34 100

Tabel 6. Tabulasi Silang OHI-S dengan Jenis Kelamin

Jenis

Kelamin

OHI-S Sedang OHI-S Buruk Total

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Jumlah

(N)

Persentase

(%)

Laki-laki 23 35,4 42 64,6 65 100

Perempuan 10 29,4 24 70,6 34 100

Tabulasi Silang Periodontitis dengan Jenis

Kelamin Pada Tabel 5 terdapat hasil tabulasi

silang antara periodontitis dengan jenis

kelamin yang menunjukkan bahwa

periodontitis lebih banyak terjadi pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Tabulasi Silang OHI-S dengan Jenis

Kelamin Pada Tabel 6 terdapat hasil tabulasi

silang antara OHI-S dengan jenis kelamin

yang menunjukkan bahwa OHI-S buruk lebih

banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan

dengan perempuan.

Tabel 7. Analisis Hubungan Durasi Hemodialisis

dengan Periodontitis (1)

Variabel Nilai p

Durasi Hemodialisis -

Periodontitis 0,012*

Keterangan: * = Uji chi-square, signifikansi: p<0,05

Diabetes melitus merupakan faktor

risiko yang sangat mempengaruhi terjadinya

periodontitis, di pihak lain diabetes melitus

merupakan salah satu etiologi tersering dari

penyakit gagal ginjal kronik. Pada penelitian

ini diabetes melitus tidak diekslusikan. Oleh

karena itu dilakukan uji analisis hubungan

durasi hemodialisis dengan periodontitis tanpa

memasukkan subjek yang memiliki riwayat

diabetes melitus dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Hubungan Durasi Hemodialisis

dengan Periodontitis (2)

Variabel Nilai p

Durasi Hemodialisis -

Periodontitis 0,024*

Keterangan: * = Uji chi-square, signifikansi: p<0,05

Berdasarkan hasil uji chi-square pada

Tabel 7 dan Tabel 8 antara durasi hemodialisis

dengan periodontitis menunjukkan hubungan

yang bermakna (p<0,05).

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, subjek

yang mengalami periodontitis pada setiap

kelompok durasi hemodialisis adalah 72,8%

untuk durasi < 1 tahun, 81,8% untuk durasi 1–

3 tahun, dan 90,9% untuk durasi > 3 tahun.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sekiguchi dkk (2012) dan

Cengiz dkk (2009) yang menunjukkan bahwa

prevalensi periodontitis lebih banyak terjadi

pada kelompok dengan durasi hemodialisis > 3

tahun, karena perjalanan penyakit yang

semakin kronik dan oral hygiene yang

semakin buruk seiiring bertambahnya durasi

hemodialisis.14,15

Pada penelitian ini,

periodontitis parah terbanyak terjadi pada

kelompok dengan durasi hemodialisis > 3

tahun, yaitu 52,4%, periodontitis moderat

terbanyak terjadi pada kelompok dengan

durasi hemodialisis 1–3 tahun, yaitu 41,0%,

sementara subjek yang tidak mengalami

periodontitis paling banyak terjadi pada

kelompok dengan durasi hemodialisis < 1

tahun, yaitu sebesar 50,0%.

Periodontitis dapat terjadi pada pasien

hemodialisis akibat kombinasi beberapa

faktor, yaitu produksi vitamin D yang tidak

adekuat akibat kerusakan ginjal yang dialami,

kondisi serostomia, serta kondisi oral hygiene

yang buruk.6,16

Pada penderita gagal ginjal

kronik, terjadi penurunan produksi vitamin D,

sehingga kelenjar paratiroid terstimulasi untuk

mensekresi hormon paratiroid. Akan tetapi,

kadar vitamin D tidak dapat bertambah karena

kerusakan nefron yang dialami, akibatnya

Page 62: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

52

hormon paratiroid, TNF dan IL-I kemudian

mengaktivasi terjadinya remodeling tulang.17

Pada lain pihak, kondisi serostomia

berkontribusi terhadap terjadinya periodontitis

akibat penurunan kadar Imunoglobulin A pada

saliva yang berfungsi sebagai pertahanan

terhadap mikroorganisme yang berperan

penting dalam terjadinya periodontitis.18

Oral hygiene merupakan faktor penting

dalam terjadinya periodontitis. Pasien

hemodialisis memiliki prioritas yang rendah

terhadap kesehatan dan kebersihan rongga

mulut, baik dikarenakan oleh stres psikologis

yang dialami pasien maupun karena terapi

hemodialisis yang dijalani sangat menyita

waktu.14

Sebagaimana hasil penelitian ini yang

menunjukkan bahwa tidak ada subjek yang

memiliki OHI-S baik. Jumlah subjek

terbanyak adalah yang memiliki OHI-S buruk,

yaitu 66,7%. Kelompok yang memiliki OHI-S

buruk terbanyak adalah kelompok dengan

durasi hemodialisis > 3 tahun, yaitu 37,9%.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Bhatsange dkk (2012),

Sekiguchi dkk (2012) dan Cengiz dkk (2009)

bahwa OHI-S buruk paling banyak terjadi

pada pada kelompok dengan durasi

hemodialisis > 3 tahun.6,14,15

Berdasarkan hasil penelitian ini,

periodontitis terdapat pada 66,7% subjek

dengan kelompok OHI-S sedang, dan 89,4%

terdapat pada kelompok OHI-S buruk. Hal ini

serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Bhatsange dkk (2012) bahwa periodontitis

ditemukan lebih banyak pada kelompok

OHI-S buruk dibandingkan dengan OHI-S

sedang.6 Pada penelitian ini, periodontitis

moderat dan periodontitis parah lebih banyak

terjadi pada OHI-S buruk, yaitu sebesar 59,0%

untuk periodontitis moderat dan 85,7% untuk

periodontitis parah.

Diabetes melitus merupakan faktor

risiko periodontitis, di sisi lain diabetes

melitus merupakan salah satu etiologi dari

gagal ginjal kronik.19,20

Pada penelitian ini

diabetes melitus tidak dieksklusikan untuk

menghindari kurangnya subjek penelitian

akibat diabetes melitus merupakan penyebab

paling sering dari gagal ginjal kronik, oleh

karena itu diabetes melitus menjadi faktor

pengganggu dalam penelitian ini. Riwayat

diabetes melitus ditentukan dari diagnosis

dokter bagian penyakit dalam di Rumah Sakit

Umum dr. Zainoel Abidin sebagaimana yang

tertera pada rekam medik pasien. Dari 99

subjek terdapat 22 subjek dengan riwayat

diabetes melitus dan seluruhnya mengalami

periodontitis. Hal ini serupa dengan penelitian

yang dilakukan oleh Mittal dkk (2011) bahwa

seluruh pasien yang memiliki riwayat diabetes

menderita periodontitis.21

Subjek dalam penelitian ini berusia

antara 20–59 tahun dan dibagi menjadi empat

kelompok usia. Periodontitis moderat dan

periodontitis parah paling banyak terjadi pada

kelompok usia 50–59 tahun, yaitu sebesar

43,6% untuk periodontitis moderat dan 81,0%

untuk periodontitis parah. Sementara

periodontitis moderat dan periodontitis parah

paling sedikit terjadi pada kelompok usia

20–29 tahun, yaitu sebesar 2,6% untuk

periodontitis moderat dan tidak ada subjek

yang mengalami periodontitis parah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ragghianti dkk

(2004) di Brazil dan Chen dkk (2006) di

Taiwan menunjukkan bahwa kedalaman poket

periodontal bertambah dengan bertambahnya

usia dan periodontitis paling banyak dialami

oleh kelompok usia lebih dari 50 tahun.22,23

Pada penelitian ini, periodontitis juga paling

banyak terjadi pada kelompok usia 50–59

tahun, yaitu seluruh subjek (100%) mengalami

periodontitis.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa

oral hygiene buruk lebih banyak pada jenis

kelamin laki-laki, yaitu sebesar 63,6%, namun

persentase perempuan yang mengalami

periodontitis lebih banyak dibandingkan

dengan laki-laki. Laki-laki yang mengalami

periodontitis sebesar 78,5%, sedangkan

perempuan sebesar 88,2%. Hal ini

bertentangan dengan penelitian Ragghianti

dkk (2004) yang menunjukkan bahwa

persentase periodontitis lebih banyak pada

laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Pada penelitian tersebut periodontitis lebih

banyak dialami oleh laki-laki karena laki-laki

memiliki oral hygiene yang lebih buruk

daripada perempuan dan jarang berkunjung ke

dokter gigi.

Dalam penelitian ini jumlah subjek laki-

laki dan perempuan tidak seimbang. Subjek

laki-laki sebanyak 65,7% sedangkan

perempuan sebanyak 34,3%. Jumlah yang

tidak seimbang ini dikarenakan pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin lebih banyak berjenis

kelamin laki-laki dibandingkan dengan yang

berjenis kelamin perempuan.

Page 63: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

53

Merokok juga merupakan salah satu

faktor risiko dari periodontitis. Akan tetapi

pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada

subjek yang memiliki kebiasaan merokok. Hal

ini diakui pasien bahwa mereka berhenti

merokok semenjak didiagnosis menderita

gagal ginjal kronik oleh dokter bagian

penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Berdasarkan hasil uji chi-square, pada

penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara durasi

hemodialisis dengan periodontitis pada pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (p<0,05).

Pengujian dilakukan kembali dengan

mengekslusikan subjek yang memiliki riwayat

penyakit diabetes melitus, kemudian

didapatkan hasil yang serupa. Hasil penelitian

ini sesuai dengan penelitian Bayraktar dkk

(2007), Bhatsange dkk (2012), dan Sekiguchi

(2012) yang menunjukkan bahwa durasi

hemodialisis berhubungan dengan peri-

odontitis. Durasi hemodialisis dikaitkan

dengan oral hygiene yang buruk sebagai salah

satu faktor penyebab terjadinya periodontitis.

Oral hygiene ditemukan semakin buruk seiring

dengan bertambahnya durasi hemodialisis

akibat perilaku yang mengabaikan kebersihan

gigi dan mulut pada pasien hemodialisis.6,9,14

Hasil penelitian yang serupa juga dilaporkan

oleh Cengiz dkk (2009) bahwa durasi

hemodialisis berhubungan dengan kedalaman

poket periodontal.15

Penelitian yang dilakukan

oleh Duran dkk (2004) juga melaporkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara durasi hemodialisis dengan peri-

odontitis.24

Hasil penelitian ini bertentangan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Naugle

dkk (1998), Marakoglu dkk (2003), dan Parkar

dkk (2012) yang menyatakan tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara durasi

hemodialisis dengan periodontitis.8,25,26

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara durasi hemodialisis dengan

periodontitis pada pasien gagal ginjal kronik di

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D,

Porter S. Oral and Dental Aspect of

Chronic Renal Failure. Journal of Dental

Research 2005; 84(3):199-208.

2. Cerveró AJ, Bagán JV, Soriano YJ, Roda

RP. Dental Management in Renal Failure:

Patient on Dialysis. Med Oral Patol Oral

Cir Bucal 2008; 13(7):E419-426.

3. United States Renal Data System. USRD

Annual Data Report 2012. Minneapolis.

2012.

4. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia.

Dialife. Jakarta. 2012.

5. DeRossi SS, Cohen DL. Renal Disease.

In: Burket’s Oral Medicine (Greenberg

MS, Glick M, Ship JA, eds). 11th ed.

Hamilton: BC Decker. 2008: 363-365.

6. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of

Periodontal Health Status in Patients

Undergoing Renal Dialysis: A

Descriptive, Cross-sectional Study.

Journal of Indian Society of

Periodontology 2012; 16(1):41.

7. Gavalda C, Bgan JV, Scully C, Silvestre

FJ, Milian MA, Jimenez Y. Renal

Hemodialysis Patients: Oral, Salivary,

Dental and Periodontal Findings in 105

adult cases. Oral Disease 1999; 5:

300-301.

8. Marakoglu I, Gursoy UK, Demirer S,

Sezer H. Periodontal Status of Chronic

Renal Failure Patients Receiving

Hemodialysis. Yonsei Medical Journal

2003; 44(4):648-652.

9. Bayraktar G, Kurtulus I, Duraduryan A,

Cintan S, Kazancioglu R, Yildiz A, et al.

Dental and Periodontal Findings in

Hemodialysis Patients. Oral Disease

2007; 13:395.

10. Carranza FA, Camargo PM. The

Periodontal Pocket. In: Carranza’s

Clinical Periodontology (Newman MG,

Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA,

eds). 10th ed. Philadelphia: Saunders

Elsevier. 2006: 434-435.

11. Eickholz P. Clinical Periodontal

Diagnosis: Probing Pocket Depth,

Vertical Attachment Level and Bleeding

on Probing. Perio 2004; (1):75-80.

12. Wilkins EM. Clinical Practice of the

Dental Hygienist. 10th ed. Lippincot:

Williams and Walkins. 2009: 292-305,

305-307.

Page 64: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

54

13. Dalimunthe SH. Periodonsia:

Epidemiologi Penyakit Gingiva dan

Periodontal. Medan: USU Press. 2008:

45-77, 138.

14. Sekiguchi RT, Pannuti CM, Silva HT,

Pestana JO, Rumito GA. Decrease in Oral

Health may be Associated with Length of

Time Since Beginning Dialyisis. Spec

Care Dentist 2012; 32(1): 7-9.

15. Cengiz MI, Sumer P, Cengiz S, Yavuz U.

The Effect of the Duration of the Dialysis

Patients on Dental and Periodontal

Findings. Oral Disease 2009; 15:339-340.

16. Akar H, Akar GC, Carrero JJ, Stenvinkel

P, Lindholm B. Systemic Consequences

of Poor Oral Health in Chronic Kidney

Disease Patients. Clin J Am Soc Nephrol

2011; 6: 218-226.

17. Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus

NL. Dental Management of Medically

Compromised Patient. 6th ed. Missouri:

Mosby. 2002: 149.

18. Marcotte H, Lavole MC. Oral Microbial

Ecology and the Role of Salivary

Immunoglobulin A. Microbiology and

Molecular Biology Review. 1998; 71.

19. Yogiantoro M, Pranawa, Irwanadi C,

Santoso D, Mardiana N, Thaha M, dkk.

Pengantar Kuliah Nefrologi. Dalam: Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga Rumah

Sakit Pendidikan dr. Soetomo Surabaya.

Surabaya: Airlangga University Press.

2007: 193-196.

20. Novak KF, Novak MJ. Risk Assessment.

In: Carranza’s Clinical Periodontology

(Newman MG, Takei HH, Klokkevold

PR, Carranza FA, eds). 10th ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006:

602-604.

21. Mittal M, Teeluckdharry. Prevalence of

Periodontal Disease in Diabetic and Non-

diabetic Patients - A Clinical Study.

Journal of Epidemiology 2011; 10(1).

22. Ragghianti MS, Greghi SL, Lauris JR,

Santana AC, Passanezi E. Influence of

Age, Sex, Plaque, and Smoking on

Periodontal Conditions in a Population

from Bauru, Brazil. J Appl Oral Sci 2004;

12(4):274-277.

23. Chen LP, Chiang CK, Chan CP, Hung

KY, Huang CS. Does Periodontitis

Reflect Inflammation and Malnutrition

Status in Hemodialysis Patients?.

American Journal of Kidney Disease

2006; 47(5):818-821.

24. Duran I, Erdemir EO. Periodontal

Treatment Needs of Patients with Renal

Disease Receiving Haemodialysis.

International Dental Journal 2004; 54:

275-277.

25. Naugle K, Darby ML, Bauman DB,

Lineberger LT, Powers R. The Oral

Health Status of Individuals on Renal

Dialysis. Ann Periodontol 1998; 3(1):

203.

26. Parkar SM, Ajithkrishnan CG.

Periodontal Status in Patients Undergoing

Hemodialysis. Indian J Nephrol 2012;

22(4): 24, 248-249.

Page 65: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

55

BENTUK RESIDUAL RIDGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN RETENSI

GIGI TIRUAN PENUH

SilviaPridana*, Ismet Danial Nasution

**

*Program Studi Prostodonsia, PPDGS Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara

**Departemen Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Resorpsi tulang alveolar dipengaruhi berbagai faktor yang menyebabkan perubahan bentuk tulang

alveolus. Pada pembuatan gigi tiruan penuh, dukungan tulang alveolus diperlukan karena

mempengaruhi retensi dan stabilisasi. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui hubungan bentuk

tulang alveolus dengan retensi gigi tiruan penuh. Klasifikasi bentuk tulang alveolus terus mengalami

penyempurnaan. Faktor-faktor retensi pada gigi tiruan penuh adalah adhesi, kohesi, tekanan atmosfer,

muskular, tegangan permukaan, gravitasi, daerah gerong, rotasi arah pasang, dan kesejajaran dinding.

Bentuk tulang alveolus yang membulat, rata, dan lereng yang sejajar memberikan retensi yang baik

karena kemampuannya menahan gaya vertikal dan lateral yang terjadi serta menambah luas

permukaan antara gigi tiruan dan mukosa sehingga dapat menambah faktor fisika retensi gigi tiruan.

Terdapat hubungan antara bentuk tulang alveolus dengan retensi gigi tiruan penuh.

Kata kunci: Tulang alveolus, Retensi, Gigi Tiruan Penuh

ABSTRACT

Residual ridge resorption influenced by various factors resulting residual ridge shape alteration.

Residual ridge is important in complete denture fabrication related to support, which will influence

retention and stability.The purpose of this literature review was to analyze the relationship between

residual ridge shapes with complete denture retention.Residual ridge shape classification was

continuously reviewed and completed. Interfacial force, adhesion, cohesion, muscular, atmospheric

pressure, gravity, undercuts, rotational insertion,and parallel walls are complete denture retention

factors. Rounded, flat crest andparallel slopes residual ridge shape provided significant retention with

strong resistance to vertical and lateral forces.There are also present additional surface area between

denture and mucosa that will increase physical retention factor. There are relationships between

residual ridge shape with complete denture retention.

Key words: Residual ridge, retention, complete denture

Page 66: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

56

PENDAHULUAN

Pasca pencabutan gigi geligi, tulang

alveolar mengalami resorpsi yang

menyebabkan perubahan bentuk dan

berkurangnya ukuran tulang alveolus secara

terus-menerus.1Perubahan bentuk tulang

alveolus tidak hanya terjadi pada permukaan

tulang alveolus dalam arah vertikal saja tetapi

juga dalam arahlabio-lingual/palatal dari posisi

awal yang menyebabkan tulang alveolus

menjadi rendah, membulat, atau datar.2

Fenomena perubahan yang terjadi

pada tulang alveolar ini sering disebut dengan

residual ridge resorption (RRR)1-3

. Resorpsi

residual ridge menyebabkan beberapa bentuk

tulang alveolus yang dipengaruhi oleh faktor-

faktor etiologi yang berbeda pada setiap

individu1-3

. Klasifikasi bentuk tulang alveolus

dinyatakan oleh beberapa peneliti diantaranya

Atwood, Cawood dan Howel yang

mengklasifikasikan atas 6 kelas ,Zarb dkk.

mengklasifikasikan atas 4 kelas.1,4-5

Bentuk

tulang alveolus dapat memberikan dukungan

terhadap gigi tiruan disebabkan

kemampuannya menahan gaya vertikal dan

lateral yang terjadi pada gigi tiruan.1 Resorpsi

tulang alveolar juga dapat menyebabkan

berkurangnya ukuran tulang alveolus sehingga

luas daerah dukungan gigi tiruan penuh

menjadi lebih kecil. Luas permukaan

dukungan gigi tiruan penuh berkorelasi positif

dengan faktor-faktor retensi yang terjadi pada

gigi tiruan. Berkurangnya luas jaringan

pendukung gigi tiruan dapat mempengaruhi

faktor-faktor retensi gigi tiruan penuh yaitu

adhesi, kohesi, tegangan permukaan, tekanan

atmosfer, terjadi pada permukaan basis gigi

tiruan penuh.1,3,5

Tujuan penulisan ini untuk

menjelaskan tentang hubungan bentuk tulang

alveolus terhadap retensi gigi tiruan penuh.

Etiologi resorpsi tulang alveolus

Proses resorpsi tulang alveolus

dipengaruhi beberapa faktor etiologi, Zarb dkk

(2012) membaginya atas tiga kategori

yaitu1:Faktor anatomis yang terdiri dari

resorpsi pada mandibula empat kali lebih besar

daripada pada maksila, wajah yang pendek dan

persegi, yang disebabkan besarnya beban

pengunyahan dan alveoloplasti; Faktor

prostodontik yaitu penggunaan gigitiruan

secara intensif, keadaan oklusi yang tidak

stabil dan penggunaan gigi tiruan imediat;

Faktor sistemik yaitu Penyakit yang

mempengaruhi proses pembentukan tulang

seperti osteoporosis, defisiensi vitamin D,dan

kelainan metabolisme fosfat/ kalsium1.

Jagadeesh dkk menyebutkan bahwa

wanita memiliki resiko yang lebih besar

dibanding pria, dan lebih signifikan pada

wanita yang sudah mengalami menopause.6

Selain itu pada umur empat puluh tahun

kepadatan tulang mulai menurun ditambah

dengan berkurangnya aktivitas fisik,

kurangnya aliran estrogen, asupan makanan,

ras dan keadaan herediter yang

keseluruhannya merupakan hal-hal yang

mempengaruhi terjadinya resopsi tulang

alveolus yang berhubungan dengan umur.2

Perubahan bentuk ini berlangsung

paling besar pada enam bulan pasca

pencabutan sampai satu tahun penggunaan gigi

tiruan dan terus akan berlangsung dalam porsi

yang lebih sedikit.5 Pada Gambar 1 dapat

dilihat proses resorpsi tulang alveolus1: (a)

Tinggi tulang alveolus pasca pencabutan; (b)

Tinggi tulang alveolus beberapa tahun

kemudian.

Gambar 1. Proses resorbsi alveolar 1

Proses resorpsi menyebabkan

permukaan tulang tidak rata, dan pada tulang

knife edge ditandai dengan jaringan lunak

yang berlebih.1-3

Oleh karena itu, diperlukan

palpasi pada saat pemeriksaan intra oral untuk

memastikan bentuk tulang alveolus.

Radiografi sefalometri memberikan data yang

akurat untuk menentukan besarnya kehilangan

tulang.2 Selain itu, terdapat beberapa cara

untuk menganalisa besarnya resorpsi pada

tulang, yaitu menggunakan kaliper untuk

melihat tinggi tulang, dento-counthograph,

perbandingan dengan model, metode

photogrammetric, dan skala visualanalog.2,6

Klasifikasi bentuk tulang

Sephalogram arah lateral

menunjukkan perubahan yang signifikan pada

bagian labial, puncak dan lingual dari tulang

pasca pencabutan gigi-geligi. Terdapat

Page 67: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

57

beberapa klasifikasi bentuk tulang alveolus,

Atwood (1963) membaginya atas enam

kelas,yaitu7; tulang sebelum pencabutan,

tulang pasca pencabutan, high, well-rounded,

knife edge, low well-rounded, depressed

(Gambar 2).

Gambar 2 . Klasifikasi tulang menurut Atwood

4

Cawood dan Howel melakukan

penyempurnaan terhadap klasifikasi tulang

Atwood yaitu : Klas I : Bergigi, Klas II :

Segera pasca pencabutan, Klas III : Bentuk

tulang well rounded, adekuat tinggi dan

lebarnya, Klas IV : Bentuk tulang knife edge,

adekuat tinggi tetapi tidak adekuat secara lebar

nya, Klas V : Bentuk tulang flat , danKlas VI

: Bentuk tulang depressed, dengan kehilangan

daerah basal.6

Nallaswamy (2005) membagi tiga

kategori tulang menurut bentuknya yaitu

tulang dengan tinggi yang cukup, puncak yang

rata dan kedua dinding yang parallel, tulang

yang rata, tulang knife edge (Gambar 3).8

Gambar 3. Kategori tulang menurut nalaswamy.

8

Nallaswamy (2005) juga membagi

klasifikasi yang memisahkan klasifikasi

bentuk tulang alveolus pada rahang atas dan

rahang bawah. Pada rahang atas8 : Klas I,

bentuk tulang alveolus persegi atau atau bulat;

Klas II yaitu bentuk tulang alveolus V terbalik;

Klas III, bentuk tulang alveolus rata / flat.

Pada rahang bawah : Klas I yaitu bentuk

tulang alveolus U terbalik, dengan dinding

yang sejajar dan tinggi maksimal maupun

medium; Klas II yaitu bentuk tulang alveolus

U terbalik dengan tinggi tulang alveolus

minimal (Gambar 4); Klas III, bentuk tulang

alveolus yang kurang diinginkan pada

pembuatan gigi tiruan, yaitu (Gambar 5) :

Bentuk huruf w terbalik, bentuk huruf v

terbalik dengan tinggi minimal, Bentuk huruf

v terbalik dengan tinggi optimal , bentuk

tulang dengan undercut.

Gambar 4. Bentuk tulang pada rahang bawah

menurut nalaswamy.8

Gambar 5: Bentuk tulang alveolus klas III pada

rahang bawah menurut Nalaswamy. 8

Zarb dkk (2012) mengklasifikasikan

bentuk tulang alveolus atas 4 kelas yaitu : Klas

I yaitu tinggi tulang alveolus rahang bawah

21mm atau lebih dengan hubungan rahang

klas 1, keadaan ini memiliki prognosa yang

baik keberhasilan perawatan gigi tiruan; Klas

II yaitu tinggi tulang alveolus rahang bawah

16-20 mm dengan hubungan rahang klas I.

Bentuk tulang alveolus ini dapat menahan

gaya vertikal dan horizontal pada gigi tiruan

penuh; Klas III, tinggi tulang alveolus rahang

bawah 11-15mm. Pasien hubungan rahang

klas I, II ataupun III dengan posisi perlekatan

jaringan lunak dapat mempengaruhi retensi

dan stabilitas gigi tiruan penuh, pada keadaan

ini dibutuhkan intervensi perawatan bedah

berupa tindakan pembedahan preprostetik atau

insersi implan untuk mencapai keberhasilan

fungsi gigi tiruan; Klas IV yaitu tinggi tulang

alveolus rahang bawah yang tidak adekuat dan

pasien memiliki hubungan rahang klas I, II

dan III dengan posisi perlekatan jaringan lunak

sangat mempengaruhi retensi dan stabilitas

gigi tiruan. Tulang tidak memiliki kemampuan

dalam menahan gaya horizontal dan vertikal.

Tindakan bedah merupakan indikasi tapi

seringkali tidak dapat dilakukan dikarenakan

kesehatan, kemauan, riwayat kesehatan rongga

mulut, dan keadaaan keuangan pasien.1

Faktor-faktor retensi pada gigitiruan penuh

Retensi adalah kemampuan gigi tiruan

menahan gaya yang melepasakan dari arah

(A) (B) (C)

(A) (B)

(A) (B) (C) (D)

Page 68: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

58

vertikal atau dari arah yang berlawanan dari

arah pasang.Sedangkan stabilisasi adalah daya

tahan terhadap gerakan horizontal dan

tekanan.yang menyebabkan perubahan

hubungan antara basis gigi dengan tiruan dan

daerah pendukung dalam arah horizontal atau

rotasi1,3,10

.

Pada gigi tiruan penuh, retensi yang

terjadi merupakan hasil serangkaian

mekanisme yang terdiri atas faktor-faktor

retensi.Yang termasuk dalam faktor retensi

gigitiruan penuh adalah3,10-12

: Adhesi, yaitu

merupakan mekanisme ketertarikan fisik

antara molekul yang berbeda.

Adhesi yang terjadi antara saliva

dengan mukosa dan basis gigi tiruan terjadi

akibat tekanan ion antara c glikoprotein saliva

dan permukaan epitel atau resin akrilik;

Kohesi, yaitu mekanisme ketertarikan fisik

antara molekul yang sama.

Kekuatan retensi ini dihasilkan dari

lapisan cairan saliva yang terdapat diantara

basis gigi tiruan dan mukosa yang bekerja

mempertahankan integritas permukaan cairanl;

Tekanan atmosfer, yaitu ketika suatu gaya

tegak lurus terjadi searah dari daerah

dukungan gigi tiruan, maka tekanan antara gigi

tiruan dan mukosa menurun dibandingkan

dengan keadaan sekitarnya, hal inilah yang

menahan gaya yang dapat melepaskan

gigitiruan.

Otot-otot oral dan wajah merupakan

kekuatan retensi tambahan yang didapatkan

jika (1) posisi anasir yang tepat pada neutral

zone antara otot pipi dan lidah (2) permukaan

gigi tiruan yang halus dengan bentuk yang

tepat. Apabila kedua hal diatas tercapai maka

otot-otot secara otomatis dapat menahan

gigitiruan.

Tegangan permukaan antar fasial

adalah daya tahan dua permukaan yang

merekat dengan perantaraan selapis tipis

cairan terhadap gaya yang memisahkannya.

Semua bahan basis mempunyai tegangan

permukaan yang lebih besar jika dibandingkan

dengan mukosa rongga mulut, tetapi setelah

dilapisi oleh pelikel saliva maka tegangan

permukaan semakin menurun yang dapat

memaksimalkan luas permukaan antara saliva

dan basis gigitiruan (Gambar 5); Gravitasi

yang terjadi pada saat pasien berada dalam

posisi berdiri gaya gravitasi berfungsi sebagai

kekuatan retensi pada gigi tiruan penuh

mandibula dan kekuatan yang melepaskan

pada gigi tiruan penuh maksila

Gambar 5. Tegangan permukaan yang terjadi pada

gigitiruan penuh.11

Undercut, rotasi arah pasang dan

kesejajaran dinding merupakan faktor retensi

karena kelenturan mukosa dan submukosa

pada permukaan daerah pendukung gigi tiruan

memungkinkan adanya sedikit undercut yang

dapat menambah retensi gigitiruan.Pada

undercut yang diduduk terlebih dahulu pada

saat arah pasang, biasanya pada arah

berlawanan dari arah vertikal dibutuhkan

rotasi pada saat pemasangan maka gigi tiruan

akan memiliki ketahanan terhadap gaya

vertikal yang melepaskan.3

Darvel dan Lark, 2010 menyatakan

dalam tulisannya bahwa adhesi, kohesi,

gravitasi dan muskular bukanlah bagian dari

faktor retensi dan yang merupakan faktor

retensi adalah viskositas, waktu, adaptasi

basis, batas tepi dan seating force.12

DISKUSI

Resorpsi tulang alveolar terjadi lebih

besar pada arah horizontal (29-63%; 3,79mm)

dibandingkan dalam arah vertikal (11-22%;

1,24mm pada bukal, 0,84mm pada mesial, dan

0,80 pada distal) pada enam bulan pasca

pencabutan. Ashman menyatakan tinggi tulang

alveolus berkurang 40-60% pada 2-3 tahun

pasca pencabutan.13

Pada rahang bawah resorpsi terjadi

empat kali lebih besar dibanding pada rahang

atas.Atwood dan Co menyatakan rata-rata

mengalami resorpsi sebesar 0,4 mm pada

rahang bawah dan 0,1 mm pada rahang

atas.Daerah posterior rahang bawah juga

memiliki resiko resorbsi terbesar yang

disebabkan oleh konsentrasi besarnya tekanan

oklusal.2

Zarb dkk menyatakan Luas daerah

pendukung pada tulang alveolus berkisar pada

22,96 cm2 dan 12,25 cm

2. Besarnya

kehilangan tulang alveolus memerlukan

perhatian khusus karena luas dukungan

jaringan yang minimal.3,14

Pada penelitiannya Koshino

menemukan bahwa pada wanita tinggi tulang

alveolus lebih rendah dibandingkan pria

Page 69: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

59

pernyataanini sesuai dengan hernyataan

sebelumnya yang mengatakan bahwa resorpsi

tulang alveolus lebih besar terjadi pada

wanita.15

Berkurangnya ukuran dari tulang

dapat mempengaruhi daerah dukungan

gigitiruan penuh dan mempengaruhi ukuran

basis gigi tiruan penuh. Faktor-faktor retensi

pada gigi tiruan penuh seperti tegangan

permukaan adhesi, kohesi, tegangan

permukaan, tekanan atmosfer berhubungan

langsung dengan luas daerah dukungan gigi

tiruan.5

Saliva merupakan faktor yang sangat

perperan pada mekanisme kerja faktor retensi.

Adanya lapisan saliva diantara basis gigi

tiruan dan mukosa bekerja pada proses adhesi

dan kohesi dan tekanan kapiler. Tegangan

permukaan atau kemampuan cairan

membasahi permukaan, dapat dijelaskan oleh

hukum law, yaitu tegangan permukaan melalui

gaya ion antara cairan disekitar permukaan

(adhesi) dan gaya yang menahan masing

masing molekul (kohesi). Tekanan atmosfer

dapat menahan kekuatan yang dapat

melepaskan jika terdapat seal yang efektif

pada basis gigi tiruan. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa mekanisme kerja tekanan pada basis

lebih rendah dibandingkan tekanan udara

diluar. Border moulding serta teknik

pencetakan selectif presure merupakan faktor

penting untuk mendapatkan efek dari

mekanisme ini.3

Palpasi pada daerah pendukung gigi

serta pemeriksaan radiografi sefalometri dan

panoramic memberi informasi keadaan tulang

alveolus. Kedua hal ini penting diketahui

untuk menentukan rencana perawatan pasien

edentulous yang akan dilakukan.2.Tulang

alveolus yang sangat datar dapat menahan

gigitiruan terhadap kekuatan permukaan yang

tegak lurus dengan kedudukan basis gigitiruan

dikarenakan tegangan permukaan dan tekanan

atmosfer. Tetapi terhadap gaya yang sejajar

dengan kedudukan basis gigi tiruan tulang

datar akan sangat rentan.1-3

Ribeiro dkk dalam penelitiannya

menyatakan bahwa bentuk tulang alveolus

rahang bawah tidak mempengaruhi kekuatan

retensi tetapi kelenturan mukosa tulang

alveolus yang mempengaruhi retensi. Bentuk

tulang alveolus rahang bawah lebih

berpengaruh terhadap stabilitas gigi tiruan dan

kelenturan mukosa tulang alveolus tidak

mempengaruhi stabilisasi gigi tiruan.7

Ruby dkk dan Yanikoglu dkk

menyatakan bentuk tulang alveolus pasti

mempengaruhi retensi dan stabilisasi. Bentuk

tulang yang baik adalah berbentuk U karena

memiliki tinggi yang mampu menahan gaya

lateral dan kesejajaran dinding yang dapat

menahan seal dengan jarak yang tepat untuk

menahan gaya yang melepaskan dari arah

vertikal. Sedangkan pada tulang dengan

bentuk V hanya memiliki sedikit kemampuan

terhadap gaya vertikal yang melepaskan

karena terbukanya seal pada seluruh sisi secara

terus menerus.5,16

Maller dkk menyatakan bentuk tulang

alveolus yang baik pada gigitiruan adalah

tulang dengan puncak yang rata dan sejajar

pada kedua sisi dinding labial/bukal dan

lingual/palatal.17

Zarb dkk menyatakan bentuk

tulang alveolus yang ideal untuk memberi

dukungan pada gigi tiruan penuh adalah tulang

yang memiliki tulang yang berbentuk

membulat dan sedikit persegi pada region

labial, bukal, lingual serta ditutupi oleh

perlekatan mukosa yang baik. Bentuk tulang

alveolus dengan dinding bukal dan

lingual/palatal yang sejajar dapat menambah

retensi karena memperbesar daerah permukaan

antara gigi tiruan dan mukosa oleh karena

kemampuanya meningkatkan tegangan

permukaan dan tekanan atmosfer. Tinggi

tulang alveolus yang cukup juga dapat

menahan gerakan gigitiruan dengan cara

membatasi ruang gaya yang melepaskan dan

dinding lateral tulang alveolus yang tertutupi

oleh basis gigi tiruan dapat menahan gerakan

lateral serta membentuk peripheral seal.1,3

KESIMPULAN

Bentuk tulang alveolus membulat

dengan permukaan yang rata serta lereng yang

sejajar merupakan bentuk tulang alveolus yang

dapat memberi retensi terbaik pada gigitiruan

penuh. Retensi pada gigitiruan penuh

disebabkan kemampuan menahan gaya

vertikal dan lateral yang terjadi pada gigitiruan

serta menambah luas permukaan antara

gigitiruan dan mukosa. Luas permukaan yang

lebih besar dapat menambah faktor fisika

retensi gigitiruan penuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zarb, Hobkirk, Eckert, Jacob, Fenton,

Finner, Chang, Koka . Prosthodontic

treatment for edentulous patients;

Complete denture and implant supported

Page 70: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

60

prostheses. 13th ed. St. Louis: MO:

Mosby; 2012: 4-10,161-163

2. Kumar TA, Naeem A, Verma AK,

Mariyam A, Krisna D, Kumar PK.

Residual ridge resorption : the

unstoppable” J app Res 2016: 2(2) :169-

17

3. Zarb, Bolender, Eckert, Jacob, Fenton,

Meriskhe S. Prosthodontic treatment for

edentulous patients. Complete denture

and implant supported prostheses. 12th ed.

St. Louis: MO: Mosby; 2005: 437-441

4. Gupta A, Tiwari B, Goel H, Shekawat H.

Residual ridge resorption : a review “

Indian j dent sci 2010 : 3 (2): 7-11

5. Yanikoglu N, Ceylan G, Aladag I. A

comparison of the basal seat areas of the

maxillary and mandibular according to

arch shapes” Attaturk oniv des hek. 2005

: 29-33

6. Jagadeesh MS, Patil RA, Kattimani PT. “

Clinical evaluation of mandibular height

in relation to aging and legth of

edentulism” IOSR-JDMS 2013:3(4):44-

47

7. Ribeiro JA, Resende CM, Lopes AL,

Neto AF, Carreiro AD. The influence of

mandibular ridge anatomy on treatment

outcome with conventional complete

denture. Acta odontol latinoam

2014:27(2) :53-5

8. Nalaswamy D. Textbook of

prosthodontic” Jaypee brothers medical

publishers. 2003 1 :23-24.

9. Sachdeva S, Noor R, Mallick R, Perwez

E. Role of saliva in complete denture: an

overview. Ann dent spec 2014 2(2):51-

54.

10. Basker RM, Davenport V. “Prosthetic

treatment of the edentulous patient” 4th

Ed, Blackwell Munksgaard

11. Lakhyani R, Wagdargi SS. Saliva and its

importance in complete denture

prosthesis. Natl J integr med

2012:3(1):139-146

12. Darvell DW, Clark RK. The physical

mechanism of complete denture

retention.BDJ 2000 189(5):248-252

13. Pagni G, Pallegrini G, Gianobile WV,

Rasperini G. Post extraction alveolar

ridge preservation: Biological basis and

treatments. Int J Dent 2012.

14. Jedrzejewski K, Ledzion S, Zmylowska

E. “Factors affecting mandibular residual

ridge resorption inedentulous patient: a

preliminary report” Via Medica 2007 : 66

(3) : 346-352.

15. Koshino H, Hirai T, Yokohama Y,Tanaka

M, Toyoshita M, Iwasaki K, et al.

Mandibular ridge shape and the

masticatory ability in complete denture

weares” J Jpn prosthodont 2008

(52):488-493

16. Ruby, Kumar M, Chaudary H, Sigh AK,

Yadaf SK, Yadaf AB. Evaluation of stress

distribution in U shaped and V shaped

maxillary edentulous residual alveolar

ridge by using finite element analysis. Int

j enhanc res med dent care. 2015

2(12):15-21.

17. Maller SV, Karthik KS, Maller US. A

review on diagnosis and treatment

planning for completely edentulous

patients. JIADS 2010 1(2):15-20

Page 71: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

61

STUDI PELEPASAN MONOMER SISA DARI RESIN AKRILIK HEAT CURED

SETELAH PERENDAMAN DALAM AKUADES

Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi

Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Resin akrilik heat cured merupakan campuran monomer metil metakrilat dan polimer polimetil

metakrilat yang dipolimerisasi dengan cara pemanasan. Proses polimerisasi tidak sempurna dan

menghasilkan monomer sisa. Kandungan monomer sisa yang tinggi dapat menyebabkan iritasi atau

alergi terhadap jaringan rongga mulut. Pengurangan jumlah monomer sisa dapat dilakukan dengan

perendaman resin akrilik heat cured dalam akuades. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat cured dalam akuades terhadap pelepasan monomer

sisa. Penelitian ini menggunakan resin akrilik QC-20 berbentuk disk (ukuran d = 50 mm, t = 3 mm)

sebanyak 10 spesimen direndam dalam akuades dengan durasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 hari pada suhu

37°C. Perendaman setiap 24 jam dilakukan pergantian akuades (tiap perlakuan menggunakan

spesimen yang sama). Pengukuran jumlah monomer sisa dilakukan setiap 24 jam menggunakan alat

Spektrofotometer UV-VIS. Perhitungan jumlah monomer sisa dalam bentuk konsentrasi

menggunakan persamaan garis lurus y = 9.2543x - 0.0027. Persamaan garis lurus didapat dari kurva

absorban dan konsentrasi larutan standar metil metakrilat 0.1%, 0.075%, 0.050%, 0.025%, dan

0.010%. Analisis statistik data hasil penelitian dilakukan dengan uji Friedman dan uji lanjut Wilcoxon

(p<0.05). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p=0.000) antara

durasi perendaman terhadap jumlah monomer sisa. Hasil uji lanjut Wilcoxon menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan bermakna pada perendaman resin akrilik selama 24 jam (hari ke-1) dibandingkan

dengan hari berikutnya (perendaman hari ke-1 melepaskan monomer sisa dengan jumlah tertinggi).

Perendaman antara hari ke-6, 7, dan 8 terdapat perbedaan yang tidak bermakna (uji Wilcoxon p>0.05).

Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat cured dalam

akuades terhadap pelepasan jumlah monomer sisa.

Kata kunci: Resin akrilik heat cured, monomer sisa, spektrofotometer UV-VIS

ABSTRACT

Heat cured acrylic resin which a mixture of methyl methacrylate monomer and polymer polymethyl

methacrylate were polymerized by heating. Polymerization process imperfect and has residual

monomer. High content of residual monomer may cause irritation or allergic to the oral tissues.

Reducing the amount of residual monomer can be done by immersion heat cured acrylic resin in

aquadest. Objective of this study is to analyze the effect of immersion duration of heat cured acrylic

resin in aquadest to residual monomers releasing. This study uses QC-20 acrylic resin in a disc (size

d = 50 mm, t = 3 mm) for 10 specimens was immersed in aquadest during 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, and 8

days at 37°C. Aquadest for immersion was replaced everyday (each treatment was used same

specimens). The amount of residual monomer was measured in each 24 hours using a UV-VIS

spectrophotometer. The amount of residual monomer in concentrations was calculated using the linear

equation y = 9.2543x - 0.0027. This equation was obtained from the absorbance and concentration of

methyl methacrylate standard solution in 0.1%, 0075%, 0050%, 0025% and 0010%. The result was

analyzed by Friedman and Wilcoxon test (p<0.05). Friedman test's result indicate that there was a

significant difference (p=0.000) between the immersion duration to the amount of residual monomer.

Wilcoxon test's results shown that there was significant differences of the amount of residual

monomer for 24 hours (day-1) was compared to the next day (in the first day of immersion was

released the highest number of residual monomer). While the immersion duration between 6th, 7

th, and

8th days there was no significant differences (Wilcoxon p>0.05). It can be concluded that there was an

effect of immersion duration heat cured acrylic resin in aquadest to residual monomer releasing.

Key words: Heat cured acrylic resin, residual monomers, UV-VIS spectrophotometer

Page 72: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

62

PENDAHULUAN

Sejak pertengahan tahun 1940-an, basis

gigi tiruan dibuat menggunakan resin polimetil

metakrilat (PMMA) yang merupakan polimer

yang sangat popular di bidang kedokteran gigi

dan menjadi pilihan utama.1,2

Sembilan puluh

lima persen basis gigi tiruan yang digunakan

berasal dari resin akrilik heat cured karena

bernilai estetis, relatif ekonomis, dan memiliki

kestabilan warna.3 Resin akrilik heat cured

merupakan campuran antara monomer metil

metakrilat dan polimer polimetil metakrilat

yang dipolimerisasi dengan cara pemanasan.3

Proses polimerisasi tidak pernah terjadi

dengan sempurna dan selalu menghasilkan

monomer sisa. Monomer sisa adalah sejumlah

monomer yang tidak habis bereaksi setelah

polimerisasi selesai. Kandungan monomer sisa

yang tinggi dapat menyebabkan iritasi atau

alergi terhadap jaringan rongga mulut.4,5

Monomer sisa meningkat jika perbandingan

antara cairan dan bubuk tidak sesuai.4,6

Monomer sisa dalam jumlah besar dapat

mempengaruhi sifat fisik polimer yang

dihasilkan karena dapat bertindak sebagai

plasticizer sehingga menyebabkan plat resin

akrilik menjadi lunak dan fleksibel.4

Pengurangan jumlah monomer sisa

dapat dilakukan dengan perendaman resin

akrilik heat cured dalam air karena monomer

sisa dapat berdifusi ke dalam air.5 Menurut

Tsuchiya et al, Vallittu et al, dan Shim dan

Watts (Cit, Golbidi) menunjukkan bahwa

terjadi penurunan jumlah monomer sisa jika

setelah polimerisasi resin akrilik direndam

dalam air.7 Berdasarkan penelitian Bural et al

yaitu perendaman resin akrilik heat cured

dalam air selama 1–2 hari dapat menjadi

rekomendasi untuk mengurangi jumlah

monomer sisa.5 Sedangkan hasil studi literatur

Jorge et al merekomendasi perendaman resin

akrilik dalam air selama 24 jam untuk

mengurangi jumlah monomer sisa.8

Berdasarkan penelitian Tsuchiya et al

(Cit, Golbidi) menunjukkan bahwa kandungan

monomer sisa dari resin akrilik heat cured

mengalami penurunan seperempat dari nilai

awal jika setelah polimerisasi resin akrilik

direndam dalam air selama 60 menit pada suhu

50°C.7 Hal ini didukung oleh penelitian Jorge

et al yang menunjukkan bahwa perendaman

resin akrilik heat cured dalam air selama

60 menit pada suhu 55°C dapat menurunkan

jumlah monomer sisa.9 Penelitian dari Mei

Huang et al yang melakukan perendaman resin

akrilik heat cured dalam air dengan durasi

perendaman selama 1, 3, dan 7 hari pada suhu

37°C menunjukkan bahwa jumlah total

monomer sisa yang terlepas relatif rendah

yaitu 492.1 ppm. Pelepasan monomer sisa

yang tertinggi dari resin akrilik heat cured

adalah setelah perendaman dalam air selama

24 jam (1 hari) yaitu sebesar 275 ppm. Pada

perendaman selama 3 dan 7 hari menghasilkan

jumlah monomer sisa yang terus menurun

yaitu sebesar 250 ppm dan 97 ppm.10

Selain

itu, penelitian Vojdani et al yang melakukan

perendaman resin akrilik heat cured dalam air

selama interval waktu 1 jam, 24 jam, 72 jam,

dan 1 minggu menunjukkan bahwa resin

akrilik tersebut menghasilkan jumlah

monomer sisa semakin rendah seiring

meningkatnya durasi perendaman.11

Perbedaan

durasi perendaman resin akrilik heat cured

dalam air menghasilkan pelepasan monomer

sisa dengan jumlah yang berbeda pula.

Berdasarkan latar belakang di atas

masih terdapat perdebatan mengenai durasi

perendaman dalam air (akuades) dan jumlah

pelepasan monomer sisa pada resin akrilik

heat cured. Selain itu juga masih terbatas

informasi mengenai jumlah pelepasan

monomer sisa pada resin akrilik heat cured

untuk durasi perendaman di atas 7 hari.

Penelitian dari Krisna et al menunjukkan

bahwa setelah melakukan perendaman resin

akrilik cold cured dalam akuades selama 12

hari terjadi penurunan jumlah monomer sisa

yang terlepas seiring dengan meningkatnya

durasi perendaman. Pada perendaman hari

ke-8 mulai menunjukkan jumlah pelepasan

monomer sisa yang konstan sampai dengan

hari ke-12.4 Oleh karena itu dilakukan

penelitian untuk mengetahui pengaruh durasi

perendaman plat resin akrilik heat cured

sebagai bahan basis gigi tiruan dalam akuades

selama 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 hari terhadap

jumlah pelepasan monomer sisa.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh durasi perendaman resin

akrilik heat cured dalam akuades terhadap

pelepasan monomer sisa.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental

laboratories yang dilakukan di Laboratorium

Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Fakultas Kedokteran Gigi dan Laboratorium

Instrumen Teknik Kimia Universitas Syiah

Kuala. Spesimen yang digunakan adalah plat

Page 73: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

63

resin akrilik heat cured (QC-20) berbentuk

disk dengan ukuran diameter 50 mm dan tebal

3 mm. Kriteria spesimen adalah tidak porus,

permukaan halus dan rata. Jumlah total

spesimen yang dipersiapkan sebanyak 10 buah

untuk dilakukan perendaman dalam akuades

pada suhu rongga mulut (37°C) selama 1, 2, 3,

4, 5, 6, 7, dan 8 hari secara berturut-turut.

Perendaman pada setiap 24 jam dilakukan

pergantian akuades dan tiap perlakuan

menggunakan spesimen yang sama.

Pembuatan plat resin akrilik diawali

dengan persiapan mold untuk pembuatan

spesimen dengan menyediakan model malam

dari potongan base plate wax. Kemudian tahap

penanaman model malam dengan cara:

permukaan dinding dalam kuvet diolesi

dengan vaselin (tipis saja) menggunakan kuas

kemudian kuvet diisi dengan adonan gips tipe

II (perbandingan air dan bubuk sebanyak

15 ml : 50 gr diaduk selama 30 detik) hingga

penuh dan digetarkan hingga rata. Model

malam ditanamkan ke dalam kuvet, masing-

masing kuvet diisi dengan dua model

spesimen, permukaan model malam rata

dengan adonan gips. Kuvet atas dicobakan

sebelum adonan gips mengeras. Setelah

adonan gips pada kuvet bawah mengeras

permukaan gips diolesi vaselin. Kuvet atas

dipasang, kemudian diisi dengan adonan gips

tipe II dan digetarkan hingga rata. Tutup kuvet

dan sekrup dipasang, kemudian menggunakan

alat press hingga rapat (metal to metal) dan

sekrup dikencangkan. Didiamkan sampai

mengeras (setting) yaitu kurang lebih selama

15 menit.

Tahap pembuangan model malam

dengan cara: air dididihkan kurang lebih

100°C, kemudian kuvet yang telah diikat

dengan tali dimasukkan selama 5 menit. Kuvet

diangkat, kemudian dibuka dan cairan malam

dibuang. Mold space dibersihkan dengan

menyiramkan air panas yang telah dicampur

dengan deterjen. Sisa-sisa malam dibersihkan

dari kuvet. Tahap pengolahan akrilik (packing)

dilakukan dengan cara: permukaan mold space

diolesi Cold Mold Seal (CMS) menggunakan

kuas kemudian tunggu hingga kering. Bubuk

polimer dan monomer dengan perbandingan

23 mg : 10 ml disiapkan di dalam pot porselen,

kemudian bubuk polimer dimasukkan sedikit

demi sedikit sampai terlihat seperti pasir basah

dan digetarkan mangkok tersebut (kelebihan

monomer akan naik ke permukaan). Bubuk

polimer ditaburi lagi sampai tidak ada

kelebihan monomer. Bila telah mencapai tahap

dough stage, seluruh adonan diambil dengan

menggunakan semen spatula dan dimasukkan

ke dalam mold space. Permukaan adonan

dilapisi dengan kertas cellophane. Kemudian

kuvet atas dipasang beserta tutupnya dan

dilakukan pengepresan ringan. Kuvet atas

dibuka dan dibuang kelebihan adonan. Hal

tersebut dilakukan sampai kuvet metal to

metal. Bila tidak ada lagi kelebihan akrilik dan

porus, kertas cellophane dilepas, sekrup

dipasang dan dilakukan pengepresan akhir

dengan menggunakan alat press.

Tahap pemasakan akrilik (curing)

dengan cara: air direbus dalam panci kurang

lebih 100°C, kemudian kuvet dimasukkan

(temperatur akan turun). Setelah air mendidih

kembali kuvet dibiarkan selama 20 menit,

kuvet diangkat dan dibiarkan selama 10 menit.

Tahap selanjutnya mengeluarkan model akrilik

dari kuvet (deflasking) dengan cara: semua

sekrup dibuka dan tutup kuvet dibuka,

kemudian kuvet bawah dilepaskan dengan cara

mengetuk bagian dasar kuvet. Kuvet

dibongkar secara hati- hati dengan pisau gips.

Spesimen dihaluskan dengan kertas pasir

waterproof no. 1000, 1500, dan 2000 sampai

permukaannya rata dan tetap dijaga

ukurannya. Kemudian spesimen dikeringkan

menggunakan desikator dan disimpan dalam

inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam.

Perendaman spesimen dalam 20 ml

akuades dilakukan menggunakan gelas yang

tertutup pada suhu rongga mulut (37°C).

Setelah dilakukan perendaman selama 24 jam

pertama (Hari ke-1), spesimen tersebut

dikeluarkan dari gelas dan dimasukkan

kembali dalam gelas yang berisi 20 ml

akuades baru untuk dilakukan perendaman

hari ke-2, sampai seterusnya pada perendaman

hari ke-8. Hasil perendaman tersebut disebut

sebagai larutan uji. Dari setiap larutan uji

diambil ± 4 ml kemudian dimasukkan ke

dalam kuvet pada alat spektrofotometer untuk

menentukan jumlah monomer sisa yang

terlepas.

Pengukuran jumlah sisa monomer pada

larutan uji dilakukan dengan beberapa tahap,

yaitu:

1) Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

(λmax)

Penentuan panjang gelombang

menggunakan larutan metil metakrilat (MMA)

murni, sedangkan akuades digunakan sebagai

blanko. Kalibrasi dilakukan terlebih dahulu

Page 74: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

64

menggunakan akuades. Kemudian untuk

penentuan nilai panjang gelombang

maksimum (λmax) dilakukan dengan cara

MMA murni dimasukkan ke dalam

spektrofotometer pada panjang gelombang

200, 210, 220, 230, 240, 250, 260, 270, 280,

290, dan 300 nm sehingga didapatkan nilai

absorbansinya. Selanjutnya dibuat kurva

hubungan antara absorban dan panjang

gelombang berdasarkan data yang diperoleh.

Panjang gelombang maksimum (λmax)

ditentukan dari nilai absorban tertinggi dari

kurva tersebut.

2) Menentukan Persamaan Garis antara Kurva

Absorbansi dan Konsentrasi

Spektrofotometer yang akan digunakan

diatur dengan panjang gelombang maksimum

yang telah diperoleh. MMA murni dilarutkan

dengan menggunakan akuades untuk

mendapatkan larutan induk 0.1% dengan

menggunakan rumus: V1.M1 = V2.M2 dimana:

V1 = Volume bahan uji (500 ml); M1 =

Konsentrasi larutan induk (0.1 %); V2 =

Volume awal bahan uji (0.5 ml); M2 =

Konsentrasi awal bahan uji (MMA murni

100%).

Konsentrasi 0.075%, 0.050%, 0.025%,

dan 0.010% didapatkan dari larutan induk

0.1% yang diencerkan dengan akuades dan

diaduk dengan menggunakan stirrer agar

didapatkan hasil yang homogen. Konsentrasi

didapatkan dengan menggunakan rumus:

M1.V1 = M2.V2 dimana: M1 = Konsentrasi

bahan uji yang ingin dibuat (%); V1 = Volume

bahan uji (10 ml); M2 = Konsentrasi larutan

induk 0.1%; V2 = Volume larutan induk (ml).

Untuk mencari volume pengencer dengan

menggunakan rumus: Vpengencer = V2 – V1

dengan keterangan: V = Volume pengencer

(ml); V2 = Volume bahan uji yang ingin dibuat

(10 ml); V1 = Volume larutan uji (ml). Larutan

MMA dengan konsentrasi 0.1%, 0.075%,

0.050%, 0.025%, dan 0.010% yang telah

disiapkan dimasukkan satu per satu ke dalam

spektrofotometer dan dicatat nilai absorb-

ansinya. Setelah itu dibuat kurva hubungan

antara absorban dengan konsentrasi larutan

MMA beserta persamaan garisnya. Persamaan

garis didapat dengan persamaan: y = mx + C

dengan keterangan: y = Absorbansi (A); m =

Gradien; x = Konsentrasi larutan uji (%); C =

Konstanta.

3) Penentuan Konsentrasi Metil Metakrilat

(MMA) pada Larutan Uji

Spektrofotometer memiliki dua kuvet

masing-masing berukuran ± 4 ml, kuvet

pertama untuk indikator pelarut yang berupa

akuades dan kuvet kedua untuk larutan yang

diuji. Terlebih dahulu larutan uji diaduk agar

didapatkan larutan uji yang homogen.

Kemudian kuvet dimasukkan ke dalam

spektrofotometer untuk diukur dengan

menggunakan panjang gelombang maksimum

yang telah diperoleh. Hasil pengukuran jumlah

monomer sisa pada durasi perendaman yang

berbeda (tiap 24 jam) dinyatakan dengan nilai

absorbansi (y). Melalui persamaan garis

y = mx + C dihitung nilai konsentrasi MMA

pada larutan uji (x) dalam satuan persentase.

Hasil pengukuran dikumpulkan dan

ditabulasi menurut masing-masing durasi

perendaman. Hasil penelitian ini merupakan

nilai rerata dari jumlah pelepasan monomer

sisa yang didapat dari tiap 24 jam perendaman.

Data yang diperoleh terdistribusi tidak normal

sehingga digunakan uji statistik Friedman

(p<0.05) dan uji lanjut dengan uji Wilcoxon.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang diperoleh berupa

nilai rerata dan standar deviasi dari jumlah

monomer sisa resin akrilik heat cured yang

direndam dalam akuades selama 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7, dan 8 hari (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1

terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah

monomer sisa seiring dengan meningkatnya

durasi perendaman resin akrilik heat cured

dalam akuades.

Tabel 1. Rerata ± Standar Deviasi Jumlah Mono-

mer Sisa Berdasarkan Durasi Perendaman

Resin Akrilik Heat Cured dalam Akuades

Durasi Perendaman Konsentrasi (%)

X ± SD

Hari ke-1

Hari ke-2

Hari ke-3

Hari ke-4

Hari ke-5

Hari ke-6

Hari ke-7

Hari ke-8

0.0101 ± 0.0040

0.0048 ± 0.0009

0.0039 ± 0.0008

0.0010 ± 0.0004

0.0009 ± 0.0003

0.0002 ± 0.0004

0.0001 ± 0.0003

0.0000 ± 0.0000

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

nilai rerata konsentrasi monomer sisa dari

resin akrilik heat cured setelah direndam

dalam akuades selama 24 jam (hari ke-1)

sangat tinggi dibandingkan dengan peren-

daman hari-hari berikutnya. Untuk mengetahui

kemaknaan perbedaan penurunan jumlah

Page 75: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

65

monomer sisa antara durasi perendaman resin

akrilik heat cured dalam akuades maka

dilakukan analisis menggunakan uji Friedman

(p<0.05). Pemilihan uji non parametrik

Friedman sebagai metode statistik dalam

analisis data hasil penelitian ini disebabkan

oleh data hasil penelitian yang diperoleh

terdistribusi tidak normal (p<0.05 uji Shapiro-

Wilk). Hasil analisis uji Friedman untuk

mengetahui pengaruh durasi perendaman resin

akrilik heat cured dalam akuades terhadap

jumlah monomer sisa diperoleh nilai p=0.000

(p<0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut

Wilcoxon untuk mengetahui durasi peren-

daman yang memberikan pengaruh signifikan

terhadap jumlah monomer sisa. Hasil analisis

uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Uji Wilcoxon

Durasi

Perendaman Nilai p

1 2

3

4

5

6

7

8

0.007*

0.005*

0.005*

0.005*

0.005*

0.005*

0.005*

2 3

4

5

6

7

8

0.087

0.004*

0.005*

0.005*

0.004*

0.004*

3 4

5

6

7

8

0.005*

0.005*

0.005*

0.004*

0.005*

4 5

6

7

8

0.564

0.011*

0.007*

0.004*

5 6

7

8

0.008*

0.005*

0.003*

6 7

8

0.317

0.157

7 8 0.317

*Perbedaan bermakna (Uji Wilcoxon p<0.05)

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini berupa konsentrasi

monomer sisa dalam satuan persentase yang

diperoleh dari hasil perhitungan persamaan

garis lurus y = mx + C. Variabel y adalah nilai

absorban yang merupakan hasil pengukuran

monomer sisa yang diperoleh dari alat

spektrofotometer UV-VIS. Variabel m meru-

pakan gradien dengan nilai 9.2543 dan

C merupakan konstanta dengan nilai -0.0027.

Variabel x adalah konsentrasi monomer sisa

yang terlepas. Persamaan garis lurus tersebut

diperoleh dari kurva nilai absorban terhadap

konsentrasi larutan standar 0.1%, 0.075%,

0.050%, 0.025%, dan 0.010%. Berdasarkan

persamaan garis lurus tersebut didapatkan

konsentrasi monomer sisa resin akrilik heat

cured seperti yang terdapat pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil analisis statistik non

parametrik uji Friedman menunjukkan bahwa

terjadi penurunan jumlah monomer sisa yang

signifikan seiring dengan meningkatnya durasi

perendaman. Hal ini diduga dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti komposisi resin akrilik

heat cured dan durasi perendaman resin akrilik

heat cured dalam akuades. Resin akrilik heat

cured bersifat hidrofilik karena mengandung

gugus ester. Sifat tersebut menyebabkan resin

akrilik mudah menyerap air (akuades) dan

monomer sisa yang terdapat dalam resin

akrilik dapat berdifusi ke dalam air (akuades).

Kemudian dengan meningkatnya durasi

perendaman menyebabkan semakin banyak

jumlah akuades yang diserap, sedangkan

jumlah monomer sisa yang terlepas akan

semakin menurun bahkan dapat mencapai

jumlah yang sangat minimal (konstan). Hal ini

didukung oleh pendapat Rao yang menyatakan

bahwa terlepasnya monomer sisa menye-

babkan banyaknya ruang kosong di dalam

resin akrilik sehingga penyerapan air

(akuades) juga tinggi.12

Jumlah monomer sisa tertinggi

diperoleh pada perendaman hari ke-1 dengan

konsentrasi sebesar 0.0101%. Hasil analisis uji

Wilcoxon menunjukkan jumlah monomer sisa

yang terlepas pada perendaman hari ke-1

berbeda signifikan dibandingkan perendaman

hari ke-2 sampai ke-8 (Tabel 2). Hasil ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh

Mei Huang et al yang melakukan perendaman

resin akrilik heat cured dalam air dengan

durasi perendaman selama 1, 3, dan 7 hari

pada suhu 37°C menunjukkan pelepasan

monomer sisa yang tertinggi pada hari ke-1

dan terus menurun sampai hari ke-7. Mei

Huang et al juga menyatakan bahwa monomer

sisa yang terlepas dari resin akrilik untuk

bahan basis gigi tiruan baik jenis heat cured

maupun cold cured paling tinggi adalah pada

perendaman 24 jam pertama sehingga

Page 76: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

66

direkomendasikan dokter gigi merendam basis

gigi tiruan resin akrilik dalam air selama

24 jam sebelum memasangkan basis gigi

tiruan resin akrilik kepada pasien.8,10

Monomer sisa tertinggi yang terlepas ke

dalam akuades pada perendaman hari ke-1

diduga oleh karena monomer sisa yang

dilepaskan berasal dari bagian permukaan

resin akrilik yang relatif lebih cepat

dibandingkan dengan bagian dalam karena

terperangkap oleh rantai polimer yang lebih

panjang. Selain itu juga diduga disebabkan

oleh proses polimerisasi resin akrilik masih

berlangsung dalam beberapa jam meskipun

resin akrilik telah mengeras. Tahap terminasi

dari polimerisasi resin akrilik belum terjadi

dalam waktu beberapa jam setelah resin akrilik

setting, dimana tahap propagasi masih

berlangsung sehingga menyebabkan monomer

yang belum terpolimerisasi berdifusi ke dalam

akuades.

Perendaman sampai hari ke-3

menunjukkan jumlah monomer sisa yang

terlepas ke dalam akuades masih cukup tinggi

meskipun terjadi penurunan dibandingkan hari

sebelumnya. Hasil analisis uji Wilcoxon

(Tabel 2) menunjukkan terdapat perbedaan

tidak bermakna terlihat pada perendaman hari

ke-2 dibandingkan dengan hari ke-3 dan pola

yang sama untuk perendaman hari ke-4

dibandingkan dengan hari ke-5. Hal ini diduga

disebabkan oleh perendaman resin akrilik heat

cured hanya berselang 1 hari sehingga jumlah

pelepasan monomer sisa yang terjadi tidak

jauh berbeda nilainya dan penurunan jumlah

monomer sisa mulai menunjukkan nilai

konstan yang diduga terjadi akibat monomer

sisa yang terlepas berasal dari dalam resin

akrilik heat cured sehingga berdifusi lambat

ke dalam akuades. Monomer sisa yang terlepas

hanya menurun sedikit jumlahnya. Hal ini

diduga karena polimerisasi telah selesai pada

perendaman hari ke-2 dan monomer sisa yang

berasal dari permukaan resin akrilik sudah

mulai habis. Monomer sisa yang terlepas ke

dalam akuades pada perendaman setelah hari

ke-3 dan seterusnya diduga berasal dari bagian

dalam rantai polimer resin akrilik sehingga

difusi monomer sisa yang dilepaskan ke dalam

akuades menjadi lebih lambat dibandingkan

hari sebelumnya. Akibatnya jumlah monomer

sisa yang terlepas setelah perendaman hari

ke-3 menjadi semakin menurun. Hasil

penelitian ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Rao PS et al, menunjukkan

bahwa analisis monomer sisa resin akrilik heat

cured yang dilakukan perendaman dalam air

(akuades) selama interval waktu 24, 48, 72,

96, dan 120 jam pada suhu ruangan

menunjukkan jumlah monomer sisa yang

tertinggi pada perendaman resin akrilik heat

cured dalam air (akuades) pada waktu 24, 48,

dan 72 jam pertama.12

Berdasarkan penelitian

Vojdani et al merekomendasikan dokter gigi

untuk merendam basis gigi tiruan resin akrilik

dalam air selama 72 jam sebelum

memasangkan basis gigi tiruan kepada

pasien.11

Hasil analisis uji wilcoxon (Tabel 2)

pada perendaman antara durasi perendaman

hari ke-2 dibandingkan dengan hari ke-4, 5, 6,

7, dan 8 menunjukkan perbedaan yang

bermakna. Perbedaan jumlah monomer sisa

yang bermakna juga terdapat antara

perendaman hari ke-4 dibandingkan dengan

hari ke-6, 7, dan 8 serta hari ke-5

dibandingkan dengan hari ke-6, 7, dan 8. Hal

ini disebabkan perendaman pada hari ke-6, 7,

dan 8 menghasilkan pelepasan monomer sisa

dalam jumlah yang konstan. Penurunan

tersebut diduga disebabkan oleh jumlah

monomer sisa yang telah habis di permukaan

dan hanya sedikit yang tersisa di dalam rantai

polimer resin akrilik.

Hasil analisis uji Wilcoxon (Tabel 2)

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

penurunan jumlah monomer sisa yang

bermakna antara ketiga hari perendaman 6, 7,

dan 8. Penurunan jumlah monomer sisa pada

perendaman hari ke-6, 7, dan 8 hari

menunjukkan nilai konstan. Hal ini diduga

disebabkan oleh monomer sisa yang terdapat

di dalam rantai polimer resin akrilik berjumlah

minimal sehingga sangat sedikit monomer sisa

yang terlepas bahkan tidak ada lagi monomer

sisa yang dilepaskan pada perendaman hari

ke-8. Selain itu juga diduga faktor penyerapan

akuades oleh resin akrilik yang mulai jenuh

setelah perendaman hari ke-5 menunjukkan

bahwa tidak ada lagi ruang kosong yang

tersisa di dalam rantai polimer resin akrilik.

Hal ini mengartikan bahwa monomer sisa

telah habis dilepaskan ke dalam akuades dan

diduga monomer sisa yang masih terdapat di

dalam resin akrilik sangat minimal atau dapat

dikatakan telah habis.

Secara keseluruhan berdasarkan Tabel 1

menunjukkan bahwa pelepasan monomer sisa

terus menurun hingga hampir konstan pada

perendaman resin akrilik heat cured dalam

Page 77: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

67

akuades setelah hari ke-3. Penurunan jumlah

monomer sisa setiap harinya diduga terjadi

akibat monomer berdifusi ke dalam akuades

(air perendaman) dan polimerisasi yang masih

berlangsung dari radikal aktif yang terdapat

dalam rantai polimer.12

Beberapa peneliti

mengatakan bahwa monomer sisa masih dapat

terdeteksi pada basis gigi tiruan yang

digunakan hingga 17 tahun. Namun sebagian

besar monomer sisa terlepas dalam 5 tahun

pertama.13

Hal ini menunjukkan bahwa

monomer sisa akan tetap ada dalam jangka

waktu yang lama. Tetapi hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa jumlah monomer sisa

dapat diminimalkan melalui perendaman basis

gigi tiruan resin akrilik di dalam akuades

selama 8 hari sebelum digunakan oleh pasien.

Sehingga dampak dari tingginya jumlah

monomer sisa pada basis gigi tiruan resin

akrilik seperti iritasi atau alergi pada jaringan

rongga mulut dapat berkurang.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa adanya

pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat

cured dalam akuades terhadap pelepasan

monomer sisa yaitu semakin meningkat durasi

perendaman resin akrilik heat cured dalam

akuades maka semakin menurun jumlah

monomer yang terlepas. Durasi perendaman

resin akrilik heat cured dalam akuades selama

24 jam (hari ke-1) menunjukkan jumlah

monomer sisa tertinggi dibandingkan hari- hari

berikutnya. Terdapat penurunan jumlah

monomer sisa yang tidak bermakna mulai

perendaman hari ke-6 sampai ke-8.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anusavice KJ. Phillips’ Science of Dental

Material. 8th

ed. St Louis: Elsevier

Science. 2003: 145, 164-166, 722-734.

2. Wardahana DW, Subianto A, Melanie

T. Efek Lama Perendaman Lempeng

Resin Akrilik Heat Cured dalam Larutan

Propolis Obat Kumur terhadap Perubahan

Warna. Journal of Prosthodontics 2010;

1(1):9-11.

3. Sunarintyas S, Irnawati D. Pengaruh Cara

Pemrosesan Resin Akrilik Terhadap Sifat

Fisik dan Mekanik. Jurnal Lembaga

Pengabdian kepada Masyarakat. ISSN

1693-1033. 2005; 19-23.

4. Krisna NKMA, Nirwana I, Yuliati A.

Perendaman dalam Air Selama 8 Hari

Menghasilkan Pelepasan Monomer Sisa

Minimal dari Bahan Denture Base Jenis

Cold Cured. Material Dental Journal

2009; 1(2):15-18.

5. Bural C, Aktas E, Deniz G, et al. Effect

of Leaching Residual Methyl

Methacrylate Concentrations On In Vitro

Cytoxicity of Heat Polimerized Denture

Base Acrylic Resin Processed with

Different Polymerization Cycles. Journal

Applied Oral Science 2010; 306-312.

6. Young BC. A Comparison of

Polymeric Denture Base Materials.

London: University of Glasgow Dental

School. Thesis 2010: 9-40.

7. Golbidi F, Asghari G. The Level of

Residual Monomer in Acrylic Denture

Base Materials. Research Journal of

Biological Sciences 2009; 4(2):244-249.

8. Jorge JH, Giampaolo ET, Machado AL.

Cytoxicity of Denture Base Acrylic

Resins: A Literature Review. The Journal

of Prosthetic Dentistry 2003; 90(2):

190-193.

9. Jorge JH, Giampaolo ET, Vergani CE,

et al. Effect of Post-Polymerization

Heat Treatments On The Cytoxicity of

Two Denture Base Acrylic Resins.

Journal of Applied Oral Science 2006;

14(3):203-207.

10. Mei Huang F, Chin Hu C, Chao Chang

Y, et al. Residual Monomer Releasing

From Acrylic Denture Base In Water.

China Dental Journal 2000; 17-21.

11. Vojdani M, Sattari M, Khajehoseini

SH, et al. Cytotoxicity of Resin-Based

Cleansers: An In Vitro Study. Irian

Red Crescent Medical Journal 2010;

12(2):158-162.

12. Rao P Srinivas, Mahesh P, Kumar HC, et

al. Comparison of Residual Monomer and

Water Absorption in Acrylic Resin

Samples Processed with Microwave and

Conventional Heat Cure Polymerization

Methods – Invitro Study. Annals and

Essence of Dentistry 2012; 4(1):25-29.

13. Hatrick CD, Eakle WS, William FB.

Dental Materials: Clinical Applications

for Dental Assistants and Dental

Hygienists. St Louis: Elsevier. 2003:

250-256.

Page 78: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

68

KONSENTRASI HAMBAT DAN BUNUH MINIMUM EKSTRAK DAUN JERUK NIPIS

(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans SECARA IN VITRO

Afrina*, Santi Chismirina

*, Risa Yulanda Magistra

**

*Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

**Program Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK

Periodontitis agresif merupakan kelainan jaringan yang progresif pada orang dewasa muda sehat yang

didominasi oleh bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Perawatan periodontitis agresif

dengan penggunaan antibiotik berkepanjangan dapat menyebabkan bakteri A. actinomycetemcomitans

menjadi resisten, oleh sebab itu alternatif perawatan dapat dilakukan dengan pemberian tanaman yang

mengandung antibakteri, salah satunya daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) merupakan obat tradisional yang sering digunakan untuk berbagai macam penyakit dan

diketahui memiliki kandungan aktif yang bersifat antibakteri. Zat aktif yang terkandung tersebut

alkaloid, polifenol, saponin, flavonoid, kuinon dan steroid. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui efek antibakteri ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap pertumbuhan

A. actinomycetemcomitans secara in vitro. Penelitian eksperimental laboratoris ini menggunakan

sampel A. actinomycetemcomitans isolat klinis yang telah diidentifikasi sebelumnya dan daun jeruk

nipis yang diekstraksi menggunakan metode maserasi. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

diuji efek antibakterinya terhadap pertumbuhan A. actinomycetemcomitans dengan metode Standard

Plate Count (SPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni pada konsentrasi 0,25%

berjumlah 386 x 103

CFU/ml dan paling sedikit ditemukan pada konsentrasi 20% berjumlah 1,5 x 103

CFU/ml. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

ditemukan pada konsentrasi 0,25% dan tidak ditemukan adanya Kosentrasi Bunuh Minimum (KBM).

Kata kunci: Aggregatibacter actinomycetemcomitans, antibakteri, periodontitis, daun jeruk nipis

ABSTRACT

Aggressive periodontitis is a progressive tissue abnormalities in healthy young which is dominated by

Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Long term antibiotic use can cause bacteria

A. actinomycetemcomitans to become resistant, therefore, alternative treatments can be done by

giving the plants that contain antibacterial, for example like lime (Citrus aurantifolia) leaves. Lime

(Citrus aurantifolia) leaves is a traditional medicine that is often used for a variety of illnesses and its

chemical compounds have known for their antibacterial activity. The chemical compound of lime

(Citrus aurantifolia) leaves are alkaloids, saponin, polyphenols, flavonoids kuinon, and steroid. The

purpose of this study was to known antibacterial effect of lime leaves againts in vitro growth of

A. actinomycetemcomitans. Lime (Citrus aurantifolia) leaves that used maseration method for

extraction as the sample. Lime (Citrus aurantifolia) leaves extract was determined their antibacterial

activity using Standard Plate Count Method. The results of this study showed that the colony growth

at concentrations of 0,25% amounting to 386 x 103 CFU/ml and the least was found in concentrations

of 20% which is amounting to 1,5 x 103 CFU/ml. Based on this study could be concluded that the

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) was found at concentrations of 0,25 % and Minimum

Bactericidal Consentration (MBC) was not found.

Key words: Aggregatibacter actinomycetemcomitans, antibacterial, periodontitis, lime leaves

Page 79: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

69

PENDAHULUAN

Penyakit periodontal merupakan

penyakit infeksi kronis yang paling umum

terjadi pada manusia.1 Angka kejadian

periodontitis bervariasi pada berbagai negara

di dunia. Prevalensi di Amerika tahun 2009–

2010 menunjukkan total periodontitis pada

usia 30 tahun ke atas sebesar 47,2% (mewakili

sekitar 64,7 juta orang dewasa berusia 30

tahun ke atas).2 Menurut hasil survei kesehatan

gigi dan mulut tahun 2009, di Indonesia

penyakit periodontal terjadi pada 459 orang

diantara 1000 penduduk.3 Salah satu bentuk

penyakit periodontal adalah periodontitis

agresif.4 Periodontitis agresif merupakan

penyakit inflamasi pada jaringan pendukung

gigi yang perkembangan penyakitnya cepat,

ditandai dengan hilangnya perlekatan jaringan

ikat dan kerusakan tulang alveolar secara cepat

pada lebih dari satu gigi permanen.5,6

A. actinomycetemcomitans merupakan bakteri

patogen yang dominan pada penderita

periodontitis agresif.5

Aggregatibacter actinomycetemcomi-

tans (A. actinomycetemcomitans) adalah

bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasil

dengan ukuran 0,4–0,5 m x 1,0–1,5 m, non-

motile dan bersifat anaerob fakultatif.7

A. actinomycetemcomitans memiliki beberapa

faktor virulensi seperti Leukotoksin, Cyto-

lethal Distending Toxin (CDT), Chemotactic

Inhibitor Factor, Lipopolisakarida dan

Kolagenase yang berperan pada dalam

merusak jaringan dan resorpsi tulang pada

periodontitis agresif.8

Perawatan periodontitis agresif berupa

scaling dan root planning, pemberian anti-

biotik dan tindakan pembedahan.9 Antibiotik

yang digunakan untuk perawatan periodontitis

agresif ini adalah tertrasiklin, metronidazole

dan amoksisilin.10

Penggunaan antibiotik yang

berulang-ulang dan tidak tepat adalah

penyebab utama peningkatan jumlah bakteri

yang resisten terhadap obat. Oleh sebab itu

alternatif yang dapat dilakukan adalah

memanfaatkan tanaman yang mengandung

antibakteri sebagai pengganti obat.11

Salah

satu dari tanaman tersebut adalah Daun jeruk

nipis (Citrus aurantifolia).

Tumbuhan jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) dikenal sebagai salah satu jenis

tanaman yang digunakan sebagai bumbu

masakan maupun obat-obatan, contohnya

dalam mengatasi masalah disentri, sembelit,

jerawat, pusing, batuk, bau badan, menambah

nafsu makan, mencegah rambut rontok,

ketombe, flu, demam, kegemukan, amandel,

dan peradangan hidung, bronkitis, asma dan

herpes.12-14

Pada daun jeruk nipis terdapat

kandungan bioaktif seperti alkaloid, polifenol,

saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid yang

berfungsi sebagai antibakteri.12,13

Penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Reddy dkk (2012) menyatakan bahwa

ekstrak daun jeruk nipis pada konsentrasi 20%

efektif sebagai antimikroba dalam membunuh

bakteri Gram-negatif, diantaranya Salmonella

paratyphi, Escherichia coli, Proteus vulgaris,

Pseudomonas aeruginosa, Serratia marces-

cens, Klebsiella pneumoniae dan juga dapat

membunuh bakteri Gram-positif, yaitu

Bacillus cereus, Enterobacter faecalis, dan

Staphylococcus aureus. Sedangkan daya

hambat minimum pada bakteri rata-rata adalah

0,25%.12

Penelitian daya hambat minyak atsiri

pada daun jeruk nipis juga telah dilakukan

oleh Pertiwi (2013) dimana terdapat aktivitas

hambatan terhadap bakteri Staphylococcus

aureus, pada konsentrasi 20%, 40%, dan 80%

(cit. Razak, 2009).14

Berdasarkan uraian di atas maka

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak

daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap

pertumbuhan A. actinomycetemcomitans se-

cara in vitro.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental laboratoris dengan desain post-

test only control grup. Penelitian ini dilakukan

di Laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Syiah

Kuala (Unsyiah) untuk proses ekstraksi dan uji

fitokimia daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

dan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh untuk pengujian hasil

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

terhadap A. actinomycetemcomitans.

Sampel pada penelitian ini adalah daun

jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang berasal

dari daerah Perkebunan Sekolah Pertanian

Menengah Atas (SPMA) Seulawah Aceh

Besar dan sampel A. actinomycetemcomitans

diambil dari isolat klinis penderita perio-

dontitis agresif yang telah diidentifikasi

sebelumnya di Laboratorium Mikrobiologi

Page 80: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

70

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)

Universitas Gadjah Mada (UGM).

Semua alat dan bahan yang digunakan

pada penelitian ini disterilisasi terlebih dahulu.

Kemudian dilakukan pembuatan ekstrak daun

jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Sebanyak

1 kg daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

berwarna hijau tua, segar dan permukaannya

mengkilat dicuci, dikeringkan dan dihaluskan

hingga menjadi serbuk. Selanjutnya proses

ektraksi dilakukan dengan metode maserasi,

serbuk daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

direndam dengan pelarut etanol 96%,

kemudian dilakukan penyaringan sampai

didapat filtrate dan ampas. Filtrat dipekatkan

dengan rotary evaporator pada suhu 50oC

sehingga diperoleh ekstrak pekat dan tidak

mengandung etanol.15

Dilakukan uji fitokimia

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

untuk mengetahui adanya kandungan alkaloid,

polifenol, saponin, tanin, flavonoid dan

triterpenoid.16-19

Ekstrak daun jeruk nipis

(Citrus aurantifolia) diencerkan dengan aqua-

dest sampai diperoleh konsentrasi 0,25%,

0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20%. Akuades tanpa

dicampur ekstrak daun jeruk nipis digunakan

sebagai kontrol negatif dan ciprofloxacin 10

µg digunakan sebagai kontrol positif.

Bakteri A. Actinomycetemcomitans di-

kultur di media AaGM agar dengan suasana

anaerob kemudian diinkubasi di dalam

inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC.

15

Setelah koloni bakteri tumbuh, dilakukan uji

konfirmasi dengan pewarnaan Gram.20

Bakteri

yang telah tumbuh di media AaGM diambil

kemudian dimasukkan kedalam NaCl 0,9%

5 ml, dihomogenkan dan disetarakan ke-

keruhannya dengan larutan Mc Farland 0,5

(1,5 x 108 CFU/ml).

21 Kemudian dilakukan

pengenceran bertingkat (serial dilution).

Setelah itu, diambil sebanyak 0,1 ml dari

semua tabung diteteskan ke media MHA

dengan metode spread plate dengan

menggunakan batang L, dan diinkubasi dalam

inkubator selama 24 jam dengan suhu 37oC

pada suasana anaerob. Pengamatan dilakukan

setelah 24 jam dengan melakukan peng-

hitungan koloni A. actinomycetemcomitans

menggunakan colony counter dengan syarat

jumlah koloni yang tumbuh pada media adalah

30–300 CFU/ml.22

Penentuan KHM dan KBM diawali

dengan menyiapkan 8 tabung reaksi. Tabung 1

diisi dengan 1 ml ciprofloxacin 10 µg/ml

(kontrol positif), tabung 2 diisi 1 ml akuades

steril (kontrol negatif), selanjutnya tabung 3

diisi ekstrak daun jeruk nipis konsentrasi

0,25%, tabung 4 diisi ekstrak daun jeruk nipis

konsentrasi 0,5%, tabung 5 diisi ekstrak daun

jeruk nipis konsentrasi 1%, tabung 6 diisi

ekstrak daun jeruk nipis konsentrasi 5%,

tabung 7 diisi ekstrak daun jeruk nipis

konsentrasi 10% dan tabung 8 diisi ekstrak

daun jeruk nipis konsentrasi 20%. Masing-

masing tabung tersebut diisi sebanyak 1 ml

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia).

Kemudian semua tabung diisi 1 ml Trypticase

Soy Broth (TSB), dan 0,1 ml suspensi

A. actinomycetemcomitans dimasukkan ke

dalam masing-masing tabung lalu dihomo-

genkan.

Selanjutnya diambil 0,1 ml suspensi dari

masing-masing tabung, dikultur dimedia MHA

dengan metode sebar (spread plate) dibuat

dalam suasana anaerob dan diinkubasi dalam

inkubator selama 24 jam dengan suhu 37oC.

Setelah koloni tumbuh, dilakukan peng-

hitungan koloni dan penentuan KHM dan

KBM. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

dari ekstrak daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) adalah cawan petri yang

memiliki jumlah koloni bakteri yang lebih

sedikit dibandingkan cawan petri kelompok

kontrol negatif. Konsentrasi Bunuh Minimum

(KBM) dari ekstrak daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) adalah cawan petri yang tidak

terdapat pertumbuhan koloni bakteri.21

Analisis data hasil penelitian dilakukan

dengan metode one way ANOVA untuk

mengetahui apakah terdapat pengaruh atau

tidak pada tiap kategori perlakuan. Jika

terdapat pengaruh maka dilanjutkan dengan uji

lanjut Least Significant Difference (LSD)

untuk mengetahui kelompok yang memiliki

perbedaan yang bermakna.

Gambar 1. Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus

aurantifolia)

Page 81: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

71

HASIL PENELITIAN Daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

ditimbang sebanyak 1 kg yang diekstrak

dengan metode maserasi menggunakan 2 liter

pelarut etanol 96% selama 3 hari, didapatkan

ekstrak kental sebanyak 10 mg seperti yang

terlihat pada Gambar 1 di atas.

Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

mengandung alkaloid, saponin, polifenol,

flavonoid, kuinon, dan steroid (Tabel 1).

Hasil kultur koloni A. actinomycetem-

comitans yang dilakukan pada media AaGM

agar kemudian diinkubasi selama 48 jam pada

suhu 37oC dalam suasana anaerob, menunjuk-

kan morfologi koloni berbentuk bulat

cembung, permukaan kasar, dan berwarna

krem, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Kultur Koloni A. actinomycetem-

comitans pada Media AaGM Agar

Hasil pewarnaan Gram dengan

menggunakan mikroskop cahaya dengan

pembesaran 10x100, terlihat morfologi

A. actinomycetemcomitans berbentuk koko-

basilus dengan warna merah muda seperti

Gambar 3. Hal ini membuktikkan bahwa

bakteri tersebut adalah bakteri Gram-negatif.

Gambar 3. Hasil Pewarnaan Gram A. Actinomyce-

temcomitans

Pada penelitian ini pengujian aktivitas

antibakteri ekstrak daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) terhadap pertumbuhan A. actino-

mycetemcomitans dilakukan sebanyak 2 kali

pengulangan. Jumlah rata-rata koloni A. acti-

nomycetemcomitans setelah dilakukan peng-

ujian menunjukkan pertumbuhan koloni yang

paling banyak pada akuades (469,5 x 103

CFU/ml) dan paling sedikit adalah pada

Ciprofloxacin (0,5 x 103

CFU/ml). Jumlah

rata-rata koloni bakteri juga telihat menurun

pada setiap kenaikan konsentrasi dapat dilihat

pada Tabel 2.

Uji statistik yang digunakan pada

penelitian ini adalah One Way ANOVA yang

memiliki syarat lebih dari dua kelompok,

distribusi dan homogenitas varian data sama.

Penelitian ini memiliki 8 kelompok yang

terdiri dari 6 kelompok perlakuan (0,25%,

0,5%, 1%, 5%, 10%, 20%) dan 2 kelompok

kontrol (ciprofloxacin) sebagai kontrol positif

dan (akuades) sebagai kontrol negatif. Hasil

uji normalitas menunjukkan distribusi dan

homogenitas varian data penelitian adalah

normal dengan nilai p>0,05. Hasil uji ANOVA

menunjukkan nilai p<0,05, membuktikan

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)

No Uji Perubahan Reaksi Hasil

1. Alkaloid Terjadi perubahan warna +

2. Saponin Terbentuk gelembung +

3. Tanin Tidak terbentuk larutan putih keruh -

4. Polifenol Larutan hijau kehitaman +

5. Flavonoid Larutan coklat +

6. Kuinon Larutan putih +

7. Steroid Larutan biru hijau +

8. Triterpenoid Larutan biru hijau -

Page 82: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

72

Tabel 2. Jumlah Rata-Rata Koloni A. actinomycetemcomitans Setelah Diuji dengan Ekstrak Daun Jeruk Nipis

(Citrus aurantifolia)

Konsentrasi Bahan Uji

Jumlah Koloni A. actinomycetemcomitans

Setelah Diuji dengan Ekstrak Daun Jeruk

Nipis (Per Pengulangan ) Rata-Rata Jumlah

Koloni (CFU/ml)

1 2

0,25% 390 x 103 382 x 10

3 386 x 10

3

0,5% 93 x 103 80 x 10

3 86,5 x 10

3

1% 17 x 103 21 x 10

3 19 x 10

3

5% 11 x 103 9 x 10

3 10 x 10

3

10% 3 x 103 5 x 10

3 4 x 10

3

20% 1 x 103 2 x 10

3 1,5 x 10

3

Akuades 475 x 103 464 x 10

3 469,5 x 10

3

Ciprofloxacin 10 µg/ml 0 x 103 1 x 10

3 0,5 x 10

3

Tabel 3. Uji Least Significant Difference (LSD)

Kelompok

Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 Akuades Cipro

P1 - 0,000*

0,000*

0,000* 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

*

P2 0,000* - 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

*

P3 0,000* 0,000

* - 0,102 0,015

* 0,007

* 0,000

* 0,005

*

P4 0,000* 0,000

* 0,102

- 0,253 0,119 0,000

* 0,087

P5 0,000* 0,000

* 0,015

* 0,253 - 0,622 0,000

* 0,493

P6 0,000* 0,000

* 0,007

* 0,119 0,622

* - 0,000

* 0,843

Akuades 0,000* 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

* 0,000

* - 0,000

*

Cipro 0,000* 0,000

* 0,005

* 0,087 0,493 0,843 0,000

* -

*= p<0,05; terdapat perbedaan bermakna

terdapatnya pengaruh dari kelompok uji

terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-

mitans. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-

mitans ditunjukkan pada konsentrasi 0,25%,

dan tidak ditemukan Konsentrasi Bunuh

Minimum (KBM) pada penelitian ini. Hasil uji

lanjut Least Significant Difference (LSD)

0,25%, 0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20% dengan

kontrol negatif menunjukkan nilai p<0,05,

sehingga dapat disimpulkan adanya perbedaan

yang bermakna dari konsentrasi ekstrak

tersebut dengan kontrol negatif (akuades).

Hasil uji lanjut LSD dapat dilihat pada

Tabel 3.

PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan teknik

maserasi untuk proses ekstraksi komponen zat

aktif. Metode ini dipilih karena relatif

sederhana dan mudah, dan tidak memerlukan

proses pemanasan yang dapat merusak

komponen aktif dari simplisia.23,24

Proses

maserasi dilakukan menggunakan pelarut

etanol. Pelarut etanol digunakan karena

memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan

aktif yang bersifat polar, semi polar, ataupun

nonpolar. Selain itu, pelarut etanol diketahui

tidak bersifat toksik. Berbagai peneliti

menyebutkan kelebihan pelarut etanol untuk

mengekstraksi senyawa aktif tumbuhan, baik

yang bersifat antioksidan maupun yang

bersifat sebagai antibakteri.23,25

Setelah proses maserasi, dilakukan uji

fitokimia untuk membuktikan bahwa pada

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

terkandung alkaloid, polifenol, saponin, tanin,

flavonoid dan triterpenoid yang berfungsi

sebagai antibakteri. Dari hasil uji fitokimia ini

juga ditemun adanya kuinon dan steroid, hal

ini diduga karena kuinon termasuk golongan

fenol dan steroid termasuk golongan saponin

Sehingga tidak disebutkan secara terpisah.26

Namun dari hasil uji fitokimia pada penelitian

ini tidak ditemukan adanya kandungan tanin

dan triterpenoid, hal ini disebabkan karena

bahan uji yaitu daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) yang digunakan pada penelitian

ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Komposisi senyawa yang terkandung dalam

tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Page 83: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

73

Baik faktor internal maupun eksternal. Faktor

internal seperti adanya pengaruh pada

varietas/gen dan yang termasuk faktor

eksternal yaitu, adanya pengaruh cahaya

matahari, curah hujan, struktur tanah, maupun

iklim di daerah tersebut sehingga terdapat

perbedaan terhadap kandungan daun jeruk

nipis.

Pada penelitian ini morfologi koloni

A. actinomycetemcomitans terlihat berbentuk

bulat cembung, permukaan kasar, dan

berwarna krem. Media selektif yang

digunakan pada penelitian ini adalah

A. actinomycetemcomitans Growth Medium

(AaGM) agar. Media AaGM mengandung

yeast extract yang dapat meningkatkan

pertumbuhan A. actinomycetemcomitans.

Yeast extract digunakan untuk enumerasi

mikroorganisme dalam air bersih yang

menyediakan sumber nitrogen, asam amino,

vitamin, dan karbon yang diperlukan untuk

pertumbuhan organisme.6,27

Hal ini didukung

dengan penelitian Reddy dkk (2012) yang

menyatakan bahwa pada media selektif,

A. actinomycetemcomitans diisolasi dari

rongga mulut membentuk koloni sirkuler

dengan diameter 1–2 mm, memiliki

peninggian yang cembung, tepi yang irreguler,

translusen, serta struktur internal berbentuk

seperti bintang.27,28

Hasil pewarnaan Gram-negatif yang

dilakukan pada penelitian ini menunjukkan

bentuk koloni bakteri kokobasilus dan

berwarna merah muda sehingga dapat

disimpulkan A. actinomycetemcomitans meru-

pakan bakteri Gram-negatif yang berbentuk

kokobasilus. Bakteri Gram-negatif memiki

kandungan lipid yang lebih banyak pada

dinding selnya, sementara bakteri Gram-positif

memiliki dinding sel dengan lapisan pepti-

doglikan yang lebih tebal. Akibat perbedaan

tersebut, bakteri yang ditetesi kristal violet dan

iodin memiliki ketahanan yang berbeda.

Bakteri Gram-positif cenderung dapat mem-

pertahankan kompleks kristal violet dan iodin

setelah ditetesi etanol 96%, akibat kandungan

peptidoglikan yang lebih tebal pada dinding

selnya.26

Kompleks kristal violet dan iodin juga

dapat meningkatkan aktivitas pengikatan suatu

zat warna oleh bakteri, sehingga pada saat

ditetesi dengan safranin, bakteri Gram-positif

tetap memperlihatkan tampilan berwarna

ungu. Bakteri Gram-negatif tidak dapat

mempertahankan kompleks tersebut karena

dinding selnya mengandung lipid yang lebih

banyak. Senyawa lipid akan larut setelah

ditetesi etanol, sehingga dapat menyebabkan

permukaan dinding sel bakteri akan

membentuk pori. Terbentuknya pori tersebut

mengakibatkan tidak dapat ditahannya

komplek kristal violet dari permukaan dinding

sel bakteri setelah ditetesi etanol, sehingga

bakteri Gram-negatif dapat menyerap warna

safranin, dan tampilan koloni bakteri Gram-

negatif akan terlihat berwarna merah muda.29,30

Hasil uji aktivitas antibakteri daun jeruk nipis

terhadap A. actinomycetemcomitans menun-

jukkan bahwa ekstrak daun jeruk nipis tersebut

secara signifikan mampu menghambat

pertumbuhan A. actinomycetemcomitans. Ke-

mampuan tersebut terjadi karena di dalam

daun jeruk nipis terkandung zat-zat antibakteri

seperti alkaloid, tanin, polifenol, saponin,

flavonoid dan triterpenoid. Replikasi DNA

dari A. actinomycetemcomitans dihambat oleh

alkaloid dan tanin yang terdapat pada daun

jeruk nipis. Selain itu, rusaknya permeabilitas

dinding sel A. actinomycetemcomitans di-

sebabkan oleh flavonoid dan terganggunya

stabilitas serta proses pembentukan membran

dan dinding sel A. actinomycetemcomitans

dibantu oleh saponin dan triterpenoid sehingga

dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuh-

an A. actinomycetemcomitans. Sedangkan

A. actinomycetemcomitans dapat mengalami

kematian sel saat fungsi fisiologis bakteri

terganggu oleh polifenol.31,32

Pada penelitian ini pemilihan

konsentrasi berdasarkan penelitian Reddy

(2012). Hasil uji aktivitas antibakteri daun

jeruk nipis menunjukkan pengaruh yang

signifikan terhadap pertumbuhan A. actino-

mycetemcomitans. Secara statistik, pertumbuh-

an koloni pada konsentrasi 0,25% terdapat

perbedaan bermakna dengan kontrol negatif

(akuades). Ini menjelaskan bahwa Konsentrasi

Hambat Minimum (KHM) terdapat pada

konsentrasi 0,25%. Hal ini disebabkan jumlah

rata-rata koloni yang tumbuh pada konsentrasi

0,25% lebih sedikit dibandingkan dengan

akuades. Perbedaan jumlah koloni yang

bermakna antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol negatif (akuades) terlihat

pada semua konsentrasi yaitu 0,25%, 0,5%,

1%, 5%, 10% dan 20%, sedangkan

Konsentrasi Bunuh Minimum pada penelitian

ini tidak dapat diamati. Hal ini diduga karena

konsentrasi yang digunakan hanya sampai

pada konsentrasi 20%. Penelitian ini didukung

Page 84: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

74

oleh penelitian Reddy (2012) dengan

menggunakan konsentrasi ekstrak daun jeruk

nipis 0,25%, 0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20%

pada bakteri Bacillus cereus, Enterobacter

faecalis, Salmonella paratyphi, Escherichia

coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugi-

nosa, Serratia marcescens, Staphylococcus

aureus and Klebsiella pneumoniae. Penelitian

tersebut menunjukkan KHM (Konsentrasi

Hambat Minimum) rata-rata pada bakteri

adalah 0,25%, sedangkan KBM (Konsentrasi

Bunuh Minimum) pada 20% efektif sebagai

antimikroba dalam membunuh bakteri.12

Berbeda dengan penelitian Reddy

(2012), pada penelitian ini KBM tidak

ditemukan disebabkan bakteri masih mampu

bertahan pada konsentrasi 20% dengan rata-

rata jumlah koloni 1,5 x 103

CFU/ml, begitu

juga pada Ciprofloxacin, bakteri masih mampu

bertahan dengan rata-rata koloni 0,5 x 103

CFU/ml. Ini disebabkan oleh bakteri Gram-

negatif, selnya dikelilingi oleh membran

tambahan (outer membrane), sehingga per-

mukaan bakteri menjadi hidrofilik. Hal ini

dapat berfungsi sebagai permeability barrier

untuk agen eksternal lainnya. Efek ini juga

dapat disebabkan oleh adanya molekul

lipopolisakarida (LPS) pada outer membrane

tersebut, sehingga bakteri Gram-negatif akan

resisten terhadap antibiotik yang bersifat

hidrofobik. Selain itu, juga disebabkan karena

adanya Outer Membrane Vesicle (OMV) yang

terdapat pada bakteri A. actinomycetemco-

mitans memperlihatkan kemampuan untuk

membawa berbagai protein, termasuk CDT

kedalam sel host. Cytolethal Distension Toxin

(CDT) yang dihubungkan dengan OMV juga

terlihat pada isolat A. actinomycetemcomitans

serotip b dan c. Peneliti lainnya juga

menyebutkan OMV tidak hanya berperan

dalam mengeluarkan CDT, namun juga faktor

virulensi lain dari bakteri.29

Pola resistensi

bakteri Gram-negatif juga diketahui dapat

terjadi akibat penutupan celah/pori (loss of

porion) pada dinding sel bakteri, sehingga

menurunkan jumlah agen antimikroba yang

melintasi membran sel. Bakteri Gram-negatif

juga memperlihatkan peningkatan aktivitas

pompa keluar (efflux pumps), sehingga agen

antimikroba tidak dapat berinteraksi dengan

tempat target.33

Kemampuan daun jeruk nipis (Citrus

aurantifolia) dalam menghambat pertumbuhan

bakteri A. actinomycetemcomitans tidak

terlepas dari senyawa aktif yang bersifat

antibakteri yang terdapat pada daun jeruk

nipis. Alkaloid dikaitkan dengan kemam-

puannya dalam menghambatan replikasi

Deoxyribonucleic Acid (DNA) dengan cara

dengan menghambat aktivasi enzim yang

berperan pada proses pengarahan nukleotida

pada pita DNA. Adanya gangguan replikasi

DNA juga dapat menyebabkan gangguan

pembelahan sel.34

Polifenol mempunyai

aktivitas denaturasi protein dengan cara

berikatan dengan protein melalui ikatan

hidrogen sehingga struktur protein sel bakteri

menjadi rusak. Hal tersebut akan mengganggu

fungsi fisiologis bakteri yang lambat laun akan

menyebabkan kematian sel bakteri, sedangkan

saponin adalah substansi bersabun yang

memiliki efek pembersihan.34

Flavonoid

mempunyai mekanisme membentuk kompleks

dengan protein ekstraselular dan dinding sel

bakteri, menyebabkan berhentinya aktivitas

metabolisme bakteri, dan kematian sel.35

Steroid mempunyai kemampuan berinteraksi

dengan membran fosfolipid sel yang bersifat

impermeabel terhadap senyawa-senyawa

lipofilik sehingga menyebabkan integritas

membran menurun, morfologi membran sel

berubah, dan akhirnya dapat menyebabkan

membran sel rapuh dan lisis. Kuinon

mempunyai kemampuan sebagai antibiotik

dan penghilang rasa sakit serta merangsang

pertumbuhan sel baru pada kulit.35

KESIMPULAN Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-

mitans adalah pada konsentrasi 0,25%,

sedangkan Konsentrasi Bunuh Minimum

(KBM) tidak dapat ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kler S, Malik R. An update on the

virulence factors of Actinobacillus

actinomycetemcomitans – a systematic

review. STM Journals 2010; 1(1):1-10.

2. Eke P, Dye B, Wei L. Prevalence of

periodontitis in adult in the United State:

2009-2010. J Dent Res 2012; 91(10):

914-920.

3. Wahyukundari M. Perbedaan kadar

matrix etalloproteinase-8 setelah scalling

dan pemberian tetrasiklin pada penderita

periodontitis kronis. JURN PDGI 2009;

58(1): 1-6.

Page 85: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

75

4. Roshna T, Nandakumar K. Generalized

aggressive periodontitis and its treatment

options: case reports and review of the

literature. Case Report in Medicine 2011;

2012:1-17.

5. Novak KF, Novak MJ. Aggressive

Periodontitis. In: Carranza’s clinical

periodontology (Newman MG, Takei HH,

Klickkevold PR, Carranza FA, eds). 11th

ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2012:

169-171.

6. Noack B, Hoffman T. Aggressive

Periodontitis. Clinical and Research

Reports 2004; 1(4): 335-344.

7. Henderson B, Ward JM, Ready D.

Aggregatibacter (Actinobacillus) actino-

mycetemcomitans: a triple A* perio-

dontophatogen. Periodontology 2010;

54:78-105.

8. Kler S, Malik R. An update on the

virulence factors of Actinobacillus

actinomycetemcomitans – a systematic

review. STM Journals 2010; 1(1):1-10.

9. Mi Hwa Jung, Jin Woo Park, Jo Young,

Jae Mok Lee. Clinical case report on

treatment of generalized aggressive

periodontitis. J Periodontal Implant Scl

2010: 40:249-253

10. Ardila CM, Lopez MA, Guzman IC. High

resistance against clindamycin, metro-

nidazole, and amoxicillin in Porphyro-

monas gingivalis and Aggregatibacter

actinomycetemcomitans. Med Oral Patol

Oral Cir Bucal 2010; 1(15):947-951.

11. Anonymous. Use antibiotics rationally.

WHO. 2011.

12. Reddy L, Jalli D, Jose B, Gopu S.

Evaluation of antibacterial & antioxidant

activities of the leaf essential oil & leaf

extracts of Citrus aurantifolia. Asian

Journal of Biochemical and Pharma-

ceutical Research 2012; 2(2):346-354.

13. Khan PR, Gali PR, Pathan P. In vitro

antimicrobial activity of Citrus

aurantifolia and its phytochemical

screening. Life Sciences Feed 2012; 1(2):

13-16.

14. Razak A, Djamal A, Revilla G. Uji daya

hambat air perasan buah jeruk nipis

(Citrus aurantifolia s.) terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus

Aureus Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan

Andalas 2013; 2(1):5-8.

15. Ar Rasyid KH. Aktivitas antibakteri

ekstrak kulit manggis (Garcinia

mangostana L) terhadap pertumbuhan

A. actinomycetemcomitans sebagai agen

penyebab periodontitis agresif. Banda

Aceh: Universitas Syiah Kuala. Skripsi

2012: 21.

16. Rija’I H, Syafnir L, Uji aktifitas

antioksidan ekstrak bertingkat daun sirih

hitam (Piper acre blume) dengan radikal

bebas dpph (1,1-difenil-2-pikril hidrazil).

Prosiding Penelitian SPeSIA 2015; 58-64.

17. Putra A, Bogoriani W. Ekstraksi zat

warna alam dari bonggol tanaman pisang

(musa paradiasciaca) dengan metode

maserasi, refluks, dan sokletasi. JURNAL

KIMIA 2014; 8(1):113-119.

18. Dent M, Uzelac VD, Penic M, Brncic M.

The effect of extraction solvent,

temperature, and time on the compotition

and mass fraction of polyphenol in

dalmation wild sage (Salvia officinalis L.)

extract. Biotechnol 2013; 51(1):84-91

19. Rakesh DD, Longo G, Khanuja SPS,

Handa SS. Ekstraction Technologies for

medicinal and Aromatic Plants.

International Centre For Science And

High Technology Trieste 2008; 22-23.

20. Miranti M, Prasetyorini. Perbandingan

aktivitas antibakteri ekstrak etanol 30%

dan 96% kelopak bunga rosella (Hibiscus

sabdariffal) terhadap bakteri staphylo-

coccus aureus. Ekologia 2013; 13(1):

9-18.

21. Tsuzukibashi O, Takada K, Saito M,

Kimura C, Yoshikawa T, Makimura M,

Hirasawa M. A novel selective medium

for isolation of Aggregatibacter

(Actinobacillus) actinomycetemcomitans.

J Periodont Res 2008; 43:544–548.

22. European Committee For Antimicrobial

Suspectibolity Testing (EUCAT).

Determination of minimum inhibitory

concentration (MIC) of antibacterial

agents by agar dilution. Clinical

microbiology and infection 2000; 6(9):

1-8.

23. Dent M, Uzelac VD, Penic M, Brncic M.

The effect of extraction solvent,

temperature, and time on the compotition

and mass fraction of polyphenol in

dalmation wild sage (Salvia officinalis L.)

extract. Biotechnol 2013; 51(1):84-91.

24. Rakesh DD, Longo G, Khanuja SPS,

Handa SS. Ekstraction Technologies for

medicinal and Aromatic Plants.

Page 86: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah

Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76

76

International Centre For Science And

High Technology Trieste 2008: 22-23

25. Pasaribu F, Sitorus P, Bahri S. Uji

Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia

mangostana L) terhadap Penurunan Kadar

Glukosa Darah. Journal of Pharmaceutics

and Pharmacology 2012; 1(1):1.

26. Paul G Engelkirk, Janet Duben-Engelkirk.

Laboratory diagnosis of infectious

disease. Baltimore: LWW. 2008: 126-

132.

27. Henderson B, Ward JM, Ready D.

Aggregatibacter (Actinobacillus) actino-

mycetemcomitans: a triple A* perio-

dontophatogen. Periodontology 2010;

54:78-105.

28. Mythireyi D, Krishnababa MG.

Aggregatibacter actinomycetemcomitans,

an aggressive oral bacteria – a review.

International Journal of Health Sciences

and Research 2012; 2:105-117.

29. Robert W. Bauman. Microbiology with

disease by taxonomy. 3rd

ed. San

Francisco: Pearson. 2011: 97-105.

30. Isdaryanti, Abdullah A, Nawir NHA.

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri

Pendegradasi Lignoselulosa Asal Rumen

Sapi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas

Hasanuddin.

31. Zahro L, Agustini R. Uji efektivitas

antibakteri ekstrak kasar saponin jamur

tiram putih (Pleurotus ostreatus) terhadap

Staphylococcus aureus dan Escherichia

coli. UNESA Jurnal of Chemistry 2013;

2(3):120-122.

32. Liantari D, Effect of wuluh starfruit leaf

extract for Streptococcus mutans growth.

J Majority 2014; 3(7):27-33.

33. Bockstael K, Aerschot AV. Antimicrobial

resistance in bacteria. Review Article

2006; 1-16.

34. Winarsih S, Andini KR, Primivanny K.

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol

Daun Pandan Wangi (Pandanus Amaryl-

lifolius Roxb.) Terhadap Streptococcus

mutans Strain 2302-UNR Secara In Vitro.

Universitas Brawijaya. 2011: 1-7.

35. Siregar AF, Sabdono A, Pringgenies D.

Potensi antibakteri ekstrak rumput laut

terhadap bakteri penyakit kulit

Pseudomonas aeruginosa, Staphylo-

coccus epidermidis, dan Micrococcus

luteus. Journal of Marine Research 2012;

1(2):152-160.

Page 87: CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah