52
1 Skenario 5 Cara Kerja Obat Seorang pasien dengan riwayat asma berobat ke dokter karena asmanya kambuh dan obatnya habis. Oleh dokter yang memeriksanya, ia diberikan obat salbutamol inhaler yang digunakan jika sesaknya timbul, bromhexin diminum sehari 3x1 tablet, dan loratadin diminum sehari 2x1 tablet. Dokter mengatakan bahwa obat-obatan tersebut tidak membuat ngantuk dan aman dikonsumsi pada waktu yang bersamaan. STEP I a. Loratadin Loratadin merupakan salah satu antihistamin yang mengurangi efek histamine dalam tubuh untuk mengurangi alergi yang mempunyai selektifitas tinggi terhadap reseptor histamin seperti bersin, mata berair dan sebagainya. b. Salbutamol inhaler Salbutamol inhaler merupakan obat yang melebarkan jalan napas, berupa alat seperti alat yang berisi oksigen. c. Bromhexin Bromhexin adalah obat untuk mengencerkan secret pada saluran napas agar dahak mudah keluar. d. Asma

cara kerja obat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Seorang pasien dengan riwayat asma berobat ke dokter karena asmanya kambuh dan obatnya habis. Oleh dokter yang memeriksanya, ia diberikan obat salbutamol inhaler yang digunakan jika sesaknya timbul, bromhexin diminum sehari 3x1 tablet, dan loratadin diminum sehari 2x1 tablet. Dokter mengatakan bahwa obat-obatan tersebut tidak membuat ngantuk dan aman dikonsumsi pada waktu yang bersamaan.

Citation preview

Page 1: cara kerja obat

1

Skenario 5

Cara Kerja Obat

Seorang pasien dengan riwayat asma berobat ke dokter karena asmanya kambuh

dan obatnya habis. Oleh dokter yang memeriksanya, ia diberikan obat salbutamol

inhaler yang digunakan jika sesaknya timbul, bromhexin diminum sehari 3x1

tablet, dan loratadin diminum sehari 2x1 tablet. Dokter mengatakan bahwa obat-

obatan tersebut tidak membuat ngantuk dan aman dikonsumsi pada waktu yang

bersamaan.

STEP I

a. Loratadin

Loratadin merupakan salah satu antihistamin yang mengurangi efek

histamine dalam tubuh untuk mengurangi alergi yang mempunyai selektifitas

tinggi terhadap reseptor histamin seperti bersin, mata berair dan sebagainya.

b. Salbutamol inhaler

Salbutamol inhaler merupakan obat yang melebarkan jalan napas, berupa

alat seperti alat yang berisi oksigen.

c. Bromhexin

Bromhexin adalah obat untuk mengencerkan secret pada saluran napas

agar dahak mudah keluar.

d. Asma

Asma adalah peradangan kronis umum pada saluran napas yang ditandai

dengan sulitnya bernapas.

e. Obat

Obat merupakan senyawa yang digunakan untuk mendiagnosis, mencegah

dan mengobati gangguan pada tubuh.

STEP II

1. Apa saja sifat dasar obat?

2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?

Page 2: cara kerja obat

2

3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?

4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?

5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?

6. Antihistamin?

STEP III

1. Apa saja sifat dasar obat?

a. Padat

b. Cair

c. Gas

d. Asam lemah

e. Basa lemah

f. Agonis (penggiat, mengaktivator)

g. Antagonis (inhibitor, penghambat)

h. Sasarannya reseptor

i. Berat molekulnya antara 100-1000 BM

2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?

a. Absorpsi

b. Distribusi

c. Metabolisme

d. Ekskresi

e. Obat spesifik

f. Obat selektif

3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?

a. Interaksi farmakodinamika

1) Interaksi absorpsi

2) Interaksi distribusi

3) Interaksi metabolism

b. Interaksi farmakokinetika

1) Tingkat reseptor

Page 3: cara kerja obat

3

4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?

a. Faktor luar

Diri sendiri dalam menyikapinya

b. Faktor dalam

Sistem tubuh mengabsorpsi obat

5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?

a. Akan terpengaruhi

b. Adanya antagonism obat

6. Antihistamin?

Dihasilkan oleh sel Mast, adanya peningkatan permeabilitas antihistamin ini

merupakan histaminnya. Penggolongan antihistamin ada CTM, Loratadin dan

sebagainya.

STEP IV

1. Apa saja sifat dasar obat?

a. Padat

Contohnya seperti tablet, kapsul, pil. Pemberiannya secara oral. Reseptor

obat seperti lock and key. Dibawa kehati terlebih dahulu → organ tubuh

yang lain

b. Cair

Contohnya seperti bahan injeksi, obat sirup. Pemberiannya dengan cara

injeksi yang dimasukan ke dalam intravena ataupun intraarteri, bisa juga

melalui oral seperti obat sirup.

c. Gas

Contohnya seperti inhaler, rebulize. Pemberiannya melalui hidung atau jalan

napas.

d. Asam lemah dan Basa lemah

Contohnya seperti obat maag, pemberiannya melalui oral.

e. Agonis (penggiat, mengaktivator)

Sebagai aktivator, yang sudah berikatan dengan reseptor.

f. Antagonis (inhibitor, penghambat)

Tidak berikatan dengan reseptor. Antagonis terdiri atas:

Page 4: cara kerja obat

4

1) Antagonis kompetitif, berdasarkan konsentrasi

2) Antagonis irreversible, reseptor tinggi sehingga agonis tidak berikatan

g. Sasarannya reseptor

h. Berat molekulnya antara 100-1000 BM

2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?

1) Absorpsi, penyerapan obat yang masuknya dalam darah

2) Distribusi, berikatan dengan protein plasma, albumin terdiri dari asam dan

basa. CBS (CBG), SSBG.

3) Metabolisme

Metabolisme berlangsung di hati di bagian retikulum endoplasma.

Ekstrahepatik, metabolisme untuk mengubah non polar → polar → keluar

melalui ginjal. Oksidasi reduksi, obat yang dibubuhi gugus polar → reaksi

endogen (fase 2) → polar

4) Ekskresi, di ekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urin, usus dalam

bentuk feses, paru, saliva, keringat

5) Obat spesifik

6) Obat selektif

3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?

a. Interaksi farmakodinamika, pengaruh obat terhadap tubuh

Tingkat reseptor diluar antagonistik

Interaksi fisiologi dengan reseptor dalam tubuh

Obat → sawar tubuh (menembus secara difusi)

1) Interaksi absorpsi

2 obat, waktu pengosongan lambung, flora normal

2) Interaksi distribusi, pendistribusian obat yang sudah mengalami

penyerapan di hati akan di distribusikan melalui vena menuju organ yang

reseptornya cocok (lock and key)

3) Interaksi metabolisme

a. Obat menjadi lebih polar dengan bantuan sitokrom P-450

b. Metabolik dengan gugus tertentu. Menjadi hidrofilik, larut dalam air

untuk disekresi melalui ginjal.

Page 5: cara kerja obat

5

4) Eliminasi

Ginjal untuk memperpanjang efek, menghambat melalui empedu →

menghambat sekresi

b. Interaksi farmakokinetika, pengaruh tubuh terhadap obat

1) Tingkat reseptor

4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?

a. Faktor luar

Diri sendiri dalam menyikapinya. Penderita menyikapi obat, kualitas obat

yang diberikan.

b. Faktor dalam

Sistem tubuh mengabsorpsi obat

1) Farmakokinetika : kecepatan, jumlah obat, berikatan

2) Farmakodinamika : reseptor, fungsi jaringan

5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?

a. Antagonis

1) Kimiawi : 2 obat gabung dalam larutan obat aktif efeknya hilang

2) Farmakokinetika : mengurangi kerja reseptor untuk berikatan

3) Non kompetitif : blokade respon dalam tubuh

4) Fisiologi : interaksi 2 obat yang berlawanan (efeknya akan ditiadakan

pada salah satu obat), menimbulkan kegagalan terapi

b. Sinergi : bekerja bersama 2 obat atau lebih

6. Antihistamin?

Dihasilkan oleh sel Mast, adanya peningkatan permeabilitas antihistamin ini

merupakan histaminnya. Penggolongan antihistamin ada CTM, Loratadin dan

sebagainya. Menimbulkan efek samping ngantuk

Page 6: cara kerja obat

6

Bagan:

STEP V

1. Bagaimana sifat dasar obat?

2. Bagaiman interaksi obat – tubuh?

3. Hubungan reseptor dan farmakodinamika serta farmakokinetika?

4. Bagaimana biotransformasi obat? (mekanisme dan cara kerja)

5. Antihistamin? (penggolongan, penggunaan, cara kerja)

OBAT

Cara Kerja Obat Metabolisme

Eksresi

Sifat Dasar Obat

Bentuk

Ukuran

Interaksi obat -Tubuh

Faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap obat

Penggolongan Obat

DistribusiAbsorpsi

Derajat keasaman

Antihistamin

Farmakokinetika

Farmakodinamika

Efek pada terapiCara kerjaPenggolongan

Page 7: cara kerja obat

7

STEP VI

Belajar Mandiri

STEP VII

1. Bagaimana sifat dasar obat?

a. Sifat Obat

Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan

dalam fungsi biologik melalui efek kimiawinya. Molekul obat berinteraksi

sebagai suatu agonis (penggiat, aktivator) atau antagonis (inhibitir,

menghambat) dengan molekul spesifik dalam sistem biologik yang memiliki

peran regulatorik. Molekul sasarannya dinamai reseptor. Obat yang dikenal

sebagai antagonis kimiawi dapat berinterakasi secara tidak langsung dengan

obat lain, sementara beberapa obat (obat osmotik) berinteraksi hampir hanya

dengan molekul air. Obat dapat disintesis didalam tubuh atau mungkin

berupa bahan kimia yang tidak disintesis oleh tubuh seperti xenobiotik.

Racun merupakan obat yang hampir hanya menimbulkan efek merugikan.

Agar dapat berinteraksisecara kimiawi dengan reseptornya, molekul

suatu obat harus memiliki ukuran, muatan listrik, bentuk, dan komposisi

atim yang sesuai. Selain itu, obat sering diberikan dilokasi yang jauh dari

tempat kerja yang diinginkan. Oleh karena itu, obat harus memiliki sifat-

sifat yang diperlukan agar dapat diangkuta dari tempat pemberiannya ke

tempat kerjanya. Terakhir, obat harus diaktifkan atau dielskreskan dari

tubuh dengan kecepatan yang tepat sehingga lama kerjanya sesuai (Katzung,

2014).

b. Sifat Fisik Obat

Obat terdiri dari bentuk pada, cairan dan gas. faktor initergantung

pada rute pemberian obat. Berbagai kelas senyawa organik-karbohidrat,

protein serta lemak. Sejumlah obat yang berguna atau berbahaya adalah

unsure inorganic. Banyak bahan organik dalam asam atau basa lemah.

Kenyataan ini memiliki dampak pentung terhadap cara obat ditangani oleh

tubuh, karena perbedaan pH diberbagai komponen tubuh dapat mengubah

derajat ionisasi obat-obat tersebut (Katzung, 2014).

Page 8: cara kerja obat

8

c. Ukuran Obat

Ukuran molecular obat berbeda dari sangat kecil hingga sangat besar.

Namun sebagian obat memiliki berat molekul antara 100-1000 BM. Batas

bawah dari kisaran sempit ini mungkin ditentukan oleh kebutuhan akan

spesifitas kerja. Agar benar-benar “pas” ke salah satu tipe reseptor, molekul

obat harus memiliki bentuk, muatn dan sifat lain yang unik, untuk mencegah

berikatan dengan reseptor lain. Untuk mencapai pengkaytan yang selektif

tersebut, tampaknya suatu molekul umumnya harus memiliki ukuran paling

sedikit 10 BM. Batas atas berat molekul ditentukan oleh kebutuhan bahwa

obat harus mampu berpindah didalam tubuh. Obat yang berat molekulnya

lebih besar dari 1000 BM tidak mudah berdifusi antara kompartemen-

kompartemen tubuh. Karena itu, obat yang sangat besar sering harus

diberikan secara langsung kedalam kompartemen tempat mereka berefek

(Katzung, 2014).

d. Reaktvitas obat dan ikatan obat-reseptor

Obat bereaksi dengan respetor nya melalui gaya atau ikatan kimia.

Ikatan ini terdiri dari 3 tipe utama, yakni:

1) Ikatan kovalen, ikatan kovalen sangat kuat dan sulit untk dilepaskan pada

kondisi biologic. Karena itu, ikatan kovalen terbentuk antara gugus asetil

asam asetilsalisilat (aspirin) dan siklo-oksigenase, enzim sasarannya di

trombosit, tidak mudah dilepaskan. Efek aspirin yang menghambat agresi

trombosit bertahan lama setelah asam asetilsalisilat bebas telah lenyap

dari aliran darah dan dikembalikan hanya oleh sintesis enzim baru di

trombosit baru, suatu proses yang memerlukan waktu beberapa hari.

2) Ikatan elektrostatik, ikatan ini jauh lebih sering terjadi daripada ikatan

kovalen. Ikatan tersebut bervariasi dari ikatan kuat antara molekul-

molekul ionik yang bermuatan permanen hingga ikatan hydrogen yang

bermuatan lemah dan interaksi dipole yang sangat lemahseperti gaya van

der waals. Ikatan elektrostatik lebih lemah daripada ikatan kovalen.

3) Ikatan hidrofobik, biasanya cukup lemah dan mungkin penting dalam

interaksi obat-obat yang sangat larut lemak dengan lemak membran sel

Page 9: cara kerja obat

9

dan mungkin dalam interaksi obat dengan dinding internal “kantung”

reseptor.

Sifat spesifik suatu ikatan obat-reseptor relatif kurang penting

dibandingkan dengan kenyataan bahwa obat yang berikatan melalui ikatan

lemah ke reseptornya umumnya lebih selsktif daripada obat yang berikatan

melalui ikatan yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan ikatan lemah

memerlukan derajata kecocokan obat yang tinggi dengan reseptornya agar

dapat terjadi interaksi. Mungkin hanya sedikit terdapat tipe reseptor yang

sangat pas dengan struktur obat tertentu karena itu, jika kita ingin

merangsang suatu obat yang sangat selektif dan bekerja singkat untuk

reseptor tertentu, kita perlu menghindar molekul sangat reaktif yang

membentuk ikatan kovalen dan memilih molekul yang membentuk ikatan

jauh lebih lemah (Katzung, 2014).

e. Bentuk Obat

Bentuk molekul suatu obat harus sedemikian sehingga memungkinnya

berikatan dengan reseptornya melalui ikatan yang telah dijelaskan. Secara

optimal, bentuk obat bersifat komplementer, dengan bentuk reseptor seperti

lock and key. Obat dengan dua asimetrik memiliki empat diastereomer.

Salah satu dari enantiomer ini jauh lebih poten daripada enantiomer

bayangan cerminnya, yang mencerminkan tingkat kecocokan molekul lebih

tinggi. Enantiomer yang lebih aktif disuatu jenis reseptor mungkin tidak

lebih aktif di jenis reseptor lain. Enantiomer (+) adalah anestetik yang lebih

poten dan kurang toksik dibandingkan dengan enantiomer (-).

Terakhir, karena enzim stereoselektif, satu enantiomer obat sering

lebih rentan daripada yang lain terhadap enzim-enzim yang memetabolisme

obat. Akibatnya, lama kerja salah satu enantiomer mungin cukup berbeda

dari enantiomer yang lain. Demikian juga, pengangkuta obat dapat bersifat

stereoselektif.

f. Desain obat rasional

Desain obat rasional mengisyaratkan kemampuan untuk

memperkirakan struktur molekul yang sesuai dari suatu obat berdasarkan

informasi tentang reseptor bioligiknya.obat biasanya dikembangkan melalui

Page 10: cara kerja obat

10

percobaan acak bahan-bahan kimia atau modifikasi obat yang telah

diketahui memliki suatu efek. Bebrapa obat yang kini digunakan

dikembangkan melalui desain molekular yang didasarkan pada pengetahuan

tentang struktur tiga dimensi reseptor.

g. Nomenklatur reseptor

Keberhasilan spektakular tentang cara terkini yang lebih efisien untuk

mengidentifikasi dan mengenali reseptor telah menghasilkan bermacam-

macam system persamaan reseptor. Hal ini menimbulkan berbagai gagasan

mengenai metode- metode penamaan reseptor yang lebih rasional (Katzung,

2014).

2. Bagaimana interaksi obat – tubuh?

Interaksi antara obat dan tubuh secara sederhana dibagi menjadi dua kelas.

Kerja obat pada tubuh dinamai Farmakodinamika. Sifat ini menentukan

golongan ke mana obat diklasifikasikan, dan mereka berperan besar dalam

memutuskan apakah golongan tersebut sesuai untuk mengobati gejala atau

penyakit tertentu. Kerja tubuh pada obat dinamai Farmakokinetika. Proses-

proses farmakokinetika mengatur penyerapan, distribusi, dan eliminasi obat

dan sangat penting untuk memilih dan memberikan obat tertentu.

A. Farmakodinamika

Sebagian besar obat harus berikatan dengan reseptor agar dapat

menimbulkan efek.

1) Obat (O) + reseptor – efeltor (R) → kompleks obat – reseptor – efektor

→ efek

2) O + R → kompleks obat – reseptor → molekul efektor → efek

3) O + R → kompleks O – R → pengaktifan molekul penghubung /

penggabung (coupling Molecule) → molekul efektor → efek

4) Inhbisi metabolisme activator endogen → meningkatnya kerja aktivator

suatu molekul efektor → peningkatan efek

a. Jenis interaksi reseptor – obat

Obat agonis terikat dengan reseptor dan mengaktivasinya dengan cara

tertentu, sehingga secra langsung atau tidak langsung akan menimbulkan

suatu efek. Beberapa reseptor juga mengandung suatu mesin efektor

Page 11: cara kerja obat

11

dalam satu molekul yang sama, sehingga ikatan obat-reseptor akan

menimbulkan efek langsung, misalnya terbukanya kanal ion atau aktivasi

suatu enzim. Reseptor lainnya dapat mengandung mulai dari satu atau

lebih molekul pasangan (coupling molecule) hingga beberapa molekul

efektor yang terpisah. Ada lima tipe sistem pasangan ikatan obat-

reseptor-efektor. Obat-obat antagonis farmakologik terikat pada

reseptornya, lalu mencegah reseptor tersebut untuk bisa berikatan dengan

molekul-molekul lain. Misalnya, atropoine (suatu penyekat reseptor

asetilkolin) adalah suatu antagonis. Atropine akan mencegah terikatnya

atau zat agonis sejenisnya untuk bisa berikat dengan reseptor asetilokolin

sehingga sehingga mempertahankan status reseptor asetilkolin tetap

inaktif. Penyekat reseptor asetilkolin atau molekul sejenisnya dalam

tubuh (Katzung, 2014).

b. Agonis yang Menginhibisi Ikatan Molekul Reseptornya dan Agonis

Parsial

Gambar 1. Cara obat berinteraksi dengan reseptornya.

Page 12: cara kerja obat

12

Bebrapa obat memiliki fungsi yang menyerupai obat-obat agonis dengan

cara menginhibisi moleku-moleku yang dapat menterminasi kerja suatu

agonis endogen. Contohnya inhibitor asetilkolin esterase, memperlambat

destruksi asetilkolin endogen, sehinghga menimbulkan efek

kolinomimetik yang menyerupai efek yang di timbulkan oleh kerja

molekul agonis kolinoreseptor walaupun sebenarnya inhibitor

kolinesterase tidak berikatan dengan kolinoreseptor. Selain itu juga

terdapat obat yang terikat dengan reseptornya dan mengaktivasi nya

namun tidak menimbulkan respons kerja, disebut agonis sejati (Katzung,

2014).

c. Durasi kerja obat

Terminasi kerja obat di tingkat reseptor merupakan hasil dari serangkaian

proses. Dalam beberapa keadaan, efek kerja obat berlangsung hanya

selama obat menempati reseptornya sehingga lepasnya obat dari reseptor

efek kerja obat. namun biasanya kerja obat masih menetap walaupun

obat sudah terdisosiasi dari reseptornya, karena beberapa molekul

pasangan masih ada dalam bentuk aktifnya. Jika obat terikat secara

kovalen dengan reseptornya, efek akan terus berlangsung hingga

kompleks reseptor baru disintesis. Beberapa sistem efektor mempunyai

mekanisme desensitisasi untuk mencegah aktivasi yang berlebihan ketika

molekul agonis masih beredar dalam jangka yang lama (Katzung, 2014).

Page 13: cara kerja obat

13

d. Reseptor dan tempat ikatan “Inert”

Gambar 2. Model interaksi obat-reseptor.

Agar bisa berfungsi sebgaia reseptor, suatu molekul endogen pertama-

tama harus selektif memilih ligannya untuk di ikat. Suatu molekul

endogen harus mengubah fungsinya sedemikian rupa sehingga fungsi

sistem bilogik berubah. Sifat selektif dimaksudkan agar sebuah reseptor

tidak terikat ke sembarang ligan sehingga teraktivasi secara terus

menerus. Sifat yang kedua juga penting jika ligan akan menimbulkan

suatu efek farmakologik. Tubuh mengandung banyak molekul yang dapat

mengikat obat, tetapi tidak semua molekul endogen ini merupakan

molekul regulator. Terikatnya obat dengan molekul nonregulator seperti

albumin plasma perubahan fungsi sistem biologik, sehingga molekul

endogen ini dapat disebut sebagai tempat ikatan yang inert. Ikatan yang

demikian tidak sepenuhnya tidak penting. Tempat ikatan inert ini dapat

mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan menentukan jumlah obat

yang beredar bebas dalam sirkulasi (Katzung, 2014).

Page 14: cara kerja obat

14

B. Farmakokinetika

Dari segi terapeutik praktis, suatu obat harus mampu mencapai

tempat kerja yang diharapkan setelah diberikan melalui rute yang mudah.

Pada banyak kasus, molekul aktif obat relatif lebih mudah larut dalam

lemak dan stabil untuk dapat diberikan dengan cara itu. Namun, pada

sebagian, harus diberikan bahan kimia precursor inaktif yang mudah

diserap dan didistribusikan untuk kemudian diubah menjadi obat aktif oleh

proses-proses biologic di dalam tubuh. Bahan kimia precursor ini disebut

prodrug (pro-obat).

Hanya dalam beberapa situasi dapat diaplikasikan obat secara

langsung ke jaringan sasarannya, misalnya dengan aplikasi topical obat

anti-inflamasi ke kulit atau membrane mukosa yang meradang. Umumnya

obat dimasukkan ke salah satu kompartemen tubuh, missal usus, dan harus

berpindah ke tempat kerjanya di kompartemen lain, missal otak dalam

kasus obat anti kejang. Hal ini mengharuskan obat tersebut dapat diserap

ke dalam darah dari tempat kerjanya, merembes (permeate) melalui

berbagai sawar yang memisahkan kompartemen-kompartemen tersebut.

Agar suatu obat yang diberikan per oral dapat menimbulkan efek di susuan

saraf pusat, sawar-sawar tersebut mancakup jaringan yang membentuk

dinding usus, dinding kapiler yang memperdarahi usus, dan sawar darah-

otak, dinding kapiler yang memperdarahi otak. Terakhir, setelah

menimbulkan efeknyam obat harus dieliminasi dengan kecepatan yang

layak oleh proses inaktivasi metabolic, oleh ekskresi dari tubuh atau dari

kombinasi proses-proses ini (Katzung, 2014).

3. Hubungan reseptor dan farmakodinamika serta farmakokinetika?

A. Reseptor Farmakodinamika

Sifat Kimia. Protein merupakan reseptor obat yang paling penting

(misalnya reseptor, fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase,

tubulin, dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang

penting. Misalnya untuk sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa

ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, van der walls, atau kovalen, tetapi

Page 15: cara kerja obat

15

umumnya,  merupakan campuran berbagai ikatan kovalen diatas. Perlu

diperhatikan bahwa ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat seringkali,

tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang

afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.

Hubungan Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat

berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas

intrinsiknya. Sehingga perubahan kecil dalam molekul obat. Misalnya

perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar pada sifat

farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur aktivitas bermanfaat

dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya

lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.

Reseptor Fisiologik. telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah

mikromolekul seluler tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya.

Sedangkan reseptor fisiologik adalah protein seluler yang secara  normal

berfungsi sebagai reseptor  bagi ligand endogen, terutama hormoin

neurotransmitter, growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi

peningkatan ligant yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan

penghantar sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung

menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis

atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second

messenger.

Efek terapetik dan toksik obat terjadi karena interaksi mereka

dengan molekul-molekul pasien. Sebagian besar obat bekerja dengan

berikatan dengan makromolekul spesifik sedemikian sehingga aktifitas

biokimia atau biofisik makromolekul tersebut berubah. Gagasan ini, yang

berusia lebih dari seabad, tercermin dalam istilah reseptor:komponen sel

atau organisme yang berinteraksi dengan obat dan memicu rangkaian

kejadian yang berujung pada efek obat yang dapat diamati.

Reseptor telah menjadi fokus sentral penelitian tentang efek obat

serta mekanisme kerjanya (farmakodinamika). Konsep reseptor, yang

diperluas ke endokrinologi, imunologi, dan biologi molekular, terbukti

esensial untuk menjelaskan banyak dari aspek regulasi biologik. Banyak

Page 16: cara kerja obat

16

reseptor obat telah berhasil diisolasi dan diketahui karakteristiknya secara

rinci, dan hal ini membuka jalan untuk memahami secara presisi dasar

molekular obat.

Konsep reseptor memiliki konsekuesi praktis untuk pengembangan

obat dan untuk mencapai keputusan terapetik dalam praktik sehari-hari.

Konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut.

1. Reseptor terutama menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau

konsentrasi obat dan efek farmakologik. Afinitas reseptor mengikat

suatu obet menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk

menghasilkan kompleks reseptor-obat dalam jumlah signifikan, dan

jumlah total reseptor dapat membatasi efek maksimal yang dapat

ditimbulkan oleh suatu obat.

2. Reseptor menentukan seletivitas kerja obat. Ukuran, bentuk, dan

muatan listrik molekul oabt menetukan apakah-dan dengan afinitas apa-

obat itu akan berikatan dengan reseptor tertentu diantara beragam

tempat pengikatan (yang secara kimiawi berbeda-beda) disebuah sel,

jaringan, atau pasien. Karenanya, perubahan struktur kimiawi suatu

obat dapat secara drastis meningkatkan atau menurunkan afinitas obat

terhadap berbagai kelas reseptor, yang menyebabkan perubahan efek

terapetik dan toksiknya.

3. Reseptor memperantarai kerja agonis dan antagonis. Sebagian obat dan

banyak ligan alami, misalnya hormon dan neurotransmiter, mengatur

fungsi nakromolekul reseptor sebagai agonis; hal ini berarti bahwa

mereka mengaktifkan reseptor untuk memberi sinyal sebagai akibat

langsung dari pengikatan itu. Sebagai agonis mengaktifkan satu jenis

reseptor untuk menghasilkan semua efek biologik mereka, sementara

yang lain secara selektif mengaktifkan satiu fungsi reseptor lebih dari

pada yang lain.

Obat lain bekerja secara antagonis farmakologik;yaitu, mereka

berikatan dengan reseptor, tetapi tidak mengaktifkan pembentukan sinyal;

karenanya onat ini mengganggu kemampuan agonis mengaktifkan

reseptor. Efek dari apa yang disebut sebagai antagonis "murni" pada sel

Page 17: cara kerja obat

17

atau pada pasien seluruhnya bergantung pada pencegahan pengikatan

molekul agonis dan penghambatan efek biologik mereka. Antagonis lain,

selain mencegah pengikatan agonis, juga menekan aktifitas sinyal basal

("konstitutif") reseptor. Sebagian dari obat yang paling bermanfaat dalam

ilmu kedokteran klinis adalah antagonis farmakologik.

B. Reseptor Farmakodinamika

Farmakokinetika adalah bagaimana tubuh mempengaruhi obat

dengan berlalunya waktu (yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi) (Neal, 2006).Variabel farmakokinetik

a. Penyerapan

Jumlah obat yang masuk ke tubuh bergantung pada kepatuhan

pasien terhadap rejimen yang diresepkan serta pada laju dan tingkat

penyaluran dari tempat pemberian obat ke darah.

b. Klirens

Kelainan klirens dapat diantisipasi jika terjadi gangguan besar pada

fungsi ginjal, hati, atau jantung. Klirens kreatinin merupakan indikator

kuantitatif yang berguna untuk fungsi ginjal. Sebaliknya, klirens obat

mungkin dapat merupakan indikator penting dari konsekuensi

fungsional gagal jantung, ginjal, atau hati.

Penyakit hati mengurangi klirens dan memperlama waktu paruh

banyak obat. Namun bagi obat yang dieliminasi oleh proses-proses

hati, tidak ada yang perubahan yang ditemukan dalam klirens atau

waktu paruh pada penyakit hati.

Klirens merupakan parameter dasar farmakokinetik, klirens

(clearance) merupakan ukuran kemampuan tubuh untuk mengeluarkan

obat. Klirens suatu obat adalah faktor yang memperkirakan laju

eliminasi dalam hubungannya dengan konsentrasi obat :

CL = Laju eliminasi

C

Keterangan :

CL : Klirens

C : konsentrasi obat

Page 18: cara kerja obat

18

c. Volume distribusi

Volume distribusi menandakan keseimbangan antara pengikatan ke

jaringan, yang menurunkan konsentrasi plasma dan menyebabkan

volume lebih besar, dan pengikatan ke protein plasma, yang

meningkatkan konsntrasi plasma dan menyebabkan volume tampak

kecil. Perubahan pada pengikatan ke jaringan atau plasma dapat

mengubah volume distribusi yang diukur dari pengukuran konsentrasi

plasma.

Orang berusia lanjut mengalami penurunan relatif massa otot

rangka dan memiliki volume distribusi digoksin yang lebih kecil (yang

berkaitan dengan protein otot). Volume distribusi didapat berlebih

pada pasien obesitas jika didasarkan pada berat badan dan obat tidak

masuk dengan baik ke jaringan lemak seperti digoksin.

Volume distribusi (V) menghubungkan jumlah obat dalam tubuh

dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma :

V = Jumlah obat dalam tubuh

C

d. Waktu paruh

Perbedaan antara klirens dan waktu paruh, penting dalam

mendefinisikan mekanisme yang mendasari efek keadaan penyakit

pada disposisi obat.

Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang diperlukan untuk mengubah

jumlah obat dalam tubuh menjadi separuhnya sewaktu eliminasi (atau

selama infus konstan). Perjalanan waktu obat di tubuh akan bergantung

pada baik volume distribusi maupun klirens :

t1/2 = 0,7 X V

CL (Katzung, 2014)

Adapun alur dari proses kerja obat secara farmakokinetika adalah

sebagai berikut:

Page 19: cara kerja obat

19

Gambar 3. Proses farmakokinetika obat.

a. Absorpsi obat

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat

pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya,

tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan

rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting pemberian

obat adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat

absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi

yang sangat luas, yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm,

disertai vili dan mikrovili).

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat

larut dalam lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga

obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya

nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior

dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan sublingual ini

tidak mengalami metabolism lintas pertama oleh hati.

Pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang

tidak sadar atau muntah, hanya 50% darah dari rectum yang melalui

vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama oleh hati juga hanya

50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui mukosa rectum seringkali

Page 20: cara kerja obat

20

tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat menyebabkan iritasi

mukosa rectum.

Dengan suntikan intravena atau subcutan, obat langsung masuk

interstisium jaringan otot atau kulit masuk ke pembuluh darah kapiler

dengan aliran darah sistemik. Dinding pembuluh darah kapiler yang

terdiri dari satu lapis sel endotel memiliki celah antar sel yang cukup

besar untuk melewatkan obat yang kebanyakan mempunyai berat

molekul antara 100-1000. Obat yang larut lemak masuk ke dalam

darah kapiler dengan melintasi membrane sel endotel secara difusi

pasif. Hanya obat yang larut air masuk darah melalui celah antar sel

endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik

dengan besar molekulnya. Protein dan makromolekul lain masuk

darah melalui limfe.

Absorpsi menerangkan laju obat ketika meninggalkan tempat

pemberiannya dan jumlahnya. Obat yang diberikan secara oral,

diabsorpsi pertama kali dari lambung dan usus tetapi hal ini dibatasi

oleh sifat-sifat bentuk sediaan dan/atau sifat fisiokimia obat.

Selanjutnya obat akan malalui hati, tempat metabolisme dan/atau

ekskresi empedu dapat terjadi sebelum obat mencapai sirkulasi

sistemik. Dengan demikian, sejumlah fraksi obat yang diberikan dan

diabsorpsi akan mengalami inaktivasi atau penguraian sebelum obat

dapat mencapai sirkulasi darah dan terdistribusi sampai ke tempat

kerjanya. Adapun macam-macam cara pemberian obat, sebagai

berikut:

1) Pemberian oral

Penggunaan oral merupakan cara yang paling umum digunakan

dalam pemberian obat. Rute ini juga paling aman, nyaman, dan

murah. Kerugian rute oral antar lain terbatasnya absorpsi beberapa

obat karena sifat-sifat fisik seperti kelarutan dalam air, muntah

sebagai akibat iritasi pada mukosa saluran pencernaan, terurainya

obat oleh enzim pencernaan atau pH lambung yang rendah.,

absorpsi obat yang tidak teratur atau terganggu dengan adanya

Page 21: cara kerja obat

21

makanan atau obat lain, dan diperlukannya kerjasama dengan

pasien. Obat di damal saluran pencernaan dapat dimetabolisme

oleh enzim yang dihasilkan flora usus, mukosa, atau hati sebelum

mencapai sirkulasi darah.

Absorpsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberap faktor

seperti luas permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat

absorpsi, keadaan fisik obat (larutan, suspense atau bentuk sediaan

padat), kelarutannya dalam air dan konsentrasi ditempat absorpsi.

Untuk oabta yang diberikan dalam sediaan padat, laju disolusi

dapat menjadi faktor pembatas dalam proses absorpsi, terutama jika

obat memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Karena sebagian

besar absorpsi obat dari saluran pencernaan terjadi melalui proses

transport pasif, absorpsi dapat lebih mudah terjadi jika obat dalam

bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.

Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut.

Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya

timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering

muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan

rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai

oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin);

obat absorpsi tidak teratur.

Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki,

penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah,

serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami

perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien

muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat,

penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai.

2) Sublingual

Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah. Tujuannya

supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah

merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung.

Keuntungan cara ini efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran

Page 22: cara kerja obat

22

cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari

(tidak lewat vena porta).

3) Inhalasi

Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal obat

asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen,

kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat

diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan

alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi

epitel paru – sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung.

Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang akan

diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran

mukosa pada perjalanan pernafasan.

4) Rektal

Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya

mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral

sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di

lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol,

indometasin, teofilin, barbiturat.

5) Parentral

Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat

dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya tanpa

melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah.

Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran.

Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering

muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif;

dapat untuk obat yang mengiritasi lambung; dapat menghindari

kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis

ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien,

berbahaya (suntikan – infeksi).

Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara

parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi,

atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat

Page 23: cara kerja obat

23

dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua steril

untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.

6) Topikal atau lokal

Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes telinga, salep.

7) Injeksi

Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna serta

dibutuhkan kerja cepat.

1. Suntikan intravena

2. Suntikan subkutan

3. Suntikan intrakutan

4. Suntikan intramuscular

5. Suntikan intratekal

6. Suntikan intraarterial

7. Suntikan intraperitoneal

Cara Pemberian Bentuk Sediaan Utama Oral Tablet, kapsul, larutan (sulotio), sirup, eliksir,

suspensi, magma, jel, bubuk Sublingual Tablet, trokhisi dan tablet hisap Parentral Larutan, suspensi Epikutan/transdermal

Salep, krim, pasta, plester, bubuk, erosol, latio, tempelan transdermal, cakram, larutan, dan solutio

Konjungtival Salep Introakular/intraaural

Larutan, suspensi

Intranasal Larutan, semprot, inhalan, salep Intrarespiratori Erosol Rektal Larutan, salep, supositoria Vaginal Larutan, salep, busa-busa emulsi, tablet, sisipan,

supositoria, spon Uretral Larutan, supositoria

Tabel 1. cara pemberian obat dan sediaannya.

Page 24: cara kerja obat

24

b. Distribusi obat

Setelah absorpsi atau pemberian obat secara sistemik ke dalam

darah, suatu obat akan terdistribusi ke dalam cairan intertisial dan

cairan intrasel.

Laju penghantaran dan jumlah obat yang terdistribusi ke dalam

jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah regional, dan

volume jaringan. Hati, ginjal, otak, dan organ lain yang menerima

aliran darah dengan baik akan menerima sebagian besar obat lebih

awal, sementara penghantaran ke otot, sebagian besar visera, kulit,

dan jaringan lipid terjadi lebih lambat.

Fase distribusi terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa jam

hingga terjadinya kesetimbangan konsentrasi obat di dalam jaringan

dan di dalam darah. Fase ini melibatkan fraksi massa tubuh yang jauh

lebih besar dibandingkan fase awal dan umumnya bertanggung jawab

untuk sebagian besar obat yang terdistribusi secara ekstravaskular.

Distribusi obat ke dalam jaringan ditentukan oleh partisi obat antara

darah dan jaringan tersebut.

Obat berikatan protein plasma , seperti obat yang bersifat asam

berikatan dengan albumin plasma dan obat yang bersifat basa akan

berikatan dengan alpa-1-asam glikoprotein. Ikatan tersebut bersifat

reversibel, kadang terjadi ikatan kovalen pada obat yang reaktif seperti

pengalkilasi.

Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai

ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals, hydrogen dan ionik). Ada

bebearapa macam protein plasma :

a) Albumin : mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya

steroid) serta bilirubin dan asam-asam lemak. Albumin mempunyai

2 tempat ikatan, yakni :

Site I mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valproate,

tolbutamid, sulfonamide, dan bilirubin (disebut warfarin site).

Page 25: cara kerja obat

25

Site II mengikat diazepam dan benzodiazepine lainnya, dan asam-

asam karboksilat (kebanyakan AINS), penisilin dan derivatnya

(disebut diazepam site)

b) α-glikoprotein : mengikat obat-obat basa.

c) CBG (corticosteroid-binding globulin) : khusus mengikat

kotikosteroid.

d) SSBG (sex steroid-binding globulin) : khusus mengikat hormone

kelamin.

Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke

seluruh tubuh, Kompleks obat-protein terdiosiasi dengan sangat cepat.

Obat bebas akan keluar ke luar ke jaringan (dengan cara yang sama seperti

cara masuknya, lihat di atas) : ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat

depotnya, ke hati (dimana obat mengalami metabolism menjadi metabolit

yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke

ginjal (dimana obat/ metabolitnya diekskresi ke dalam urin).

Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di

cairan interstisial), sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi

melintasi membrane sel dan masuk ke dalam sel, tetapi karena perbedaan

pH di dalam sel (Ph = 7) dan diluar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam

lebih banyak di luar sel dan obat-obat basa banyak di dalam sel.

c. Metabolisme obat

Sifat lipofilik obat yang mendorong pelintasannya melewati

membran biologis dan kemudian masuk ke tempat kerja, merintangi

ekskresi obat dari dlaam tubuh.

Reaksi biotransformasi obat diklasifikasikan menjadi reaksi

fungsionalisasi fase I, dan rekasi biosintesis (konjugasi) fase II.

Reaksi fase I merupakan pemasukan gugus fungsi pada molekul

induk. Reaksi fase ini mengakibatkan hilangnya aktivitas

farmakologis obat.

Reaksi konjugasi fase II menyebabkan pembentukan ikatan

kovalen antara gugus fungsi pada senyawa induk atau metabolit fase I

dengan turunan endogen asam glukoronat, sulfat, glutation, asam-

Page 26: cara kerja obat

26

asam amino, atau asetat. Konjugat yang sangat polar ini tidak aktif

dan dengan cepat diekskresi melalui urin dan feses (Hardman, 2008).

d. Ekskresi obat

Obat dieliminasi dari tubuh dalam bentuk molekul utuh atau

bentuk metabolitnya melalui proses ekskresi. Organ ekskresi selain

paru-paru, mengeliminasi senyawa polar lebih efisien dibanding

senyawa yang memiliki kelarutan tinggi dalam lipid. Karena itu obat

yang larut dalam lipid belum dapat dieliminasi sampai termetabolisme

menjadi senyawa yang lebih polar.

Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat dan

metabolitnya. Senyawa yang diekskresi melalui feses terutama adalah

senyawa yang tidak diabsorpsi dari pemberian oral atau metabolit

yang diekskresi melelui empedu atau diekskresi langsung ke dalam

saluran usus dan tidak direabsorpsi. Ekskresi melalui paru-paru untuk

eliminasi anestetik berupa gas dan zat yang menguap; atau obat atau

metabolit dalam jumlah kecil.

Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin mengikuti tiga

tahapan, yaitu : filtrasi glomerulus, sekresi aktif melalui tubulus, dan

reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Jumlah obat yang masuk kedalam

lumen tubulus melalui proses filtrasi sangat bergantung pada laju

filtrasi glomerulus dan jumlah obat yang berikatan dengan protein

plasma; dan hanya obat yang tidak berikatan yang dapat mengalami

filtrasi.

Page 27: cara kerja obat

27

4. Bagaimana biotransformasi obat? (mekanisme dan cara kerja)

Gambar 4. Metabolisme obat

Reaksi metabolisme terdiri dari fase I dan reaksi fase II. fase I terdiri dari

oksidasi,reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat menjadi polar dengan

akibat lebih aktif atau kurang aktif. Sedangkan fase II terdiri dari konjungasi

dengan substar endogen glukoronat asam sulfat. Obat dapat mengalami fase I

saja atau fase II saja atau berurutan.

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang tadinya non polar

menjadi polar agar dapat di ekresi di gijal atau empedu. Dengan perubahan ini

obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi

lebih aktif ( jika asalnya prodrug ) kurang aktif menjadi toksik.

Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di endoplasmic reticulum

(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolism yang lain (ekstrahepatik)

adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga lumen kolon

(oleh flora usus).

Page 28: cara kerja obat

28

Reaksi metabolisme terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochorome

P450 (CYP) yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MI-O (mixed-

function oxidase), dalam endoplasmi reticulum (mikrosom) hati. Ada sekitar 50

jenis isoenzim CYP yang atif pada manusia, tetapi hanya beberapa yang

penting untuk metabolisme obat, enzim- enzim tersebut (- 70% dari total CYP

dalam hati).

a. CYP3A4/5 (-30% dari total VYP dalam hati) memetabolisme -50% obat

untuk manusia. jadi merupakan enzim metabolisme yang terpenting ini juga

terdapat di epitek usus halus (-70% dari total CYP) dan di ginjal.

b. CYP2D6 (-2-4% daro total CYP dalam hati) merupakan CYP yang

pertama dikenal dengan nama debrisoquene hydroxylase, memetabolisme -

15-25% obat

c. CYP2C (-20%) memetabolisme -15% obat

d. CYP1A/2 (-12-13%) dulu disebut dengan cytoschrome P448,

memetabolisme -5% obat

e. CYP2E1 (-6-7%) memetabolisme -205 obat

Selanjutnya reaksi fese II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui

enzim UDP-glukoronitransferasi (UGT) yang terutama terjadi di dalam

mikrosom hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus

halus,ginjal,paru,kulit) reaksi konyugasi yang lain terjadi di dalam sitosol.

Jika enzim metabolisme mengalami kejenuhan pada kisaran dosis terapi

maka peningkatan dosis obat akan terjadi lonjakan adar obat darah plasma

yang disebut farmakokinetik non linea sebagai contoh fenitonin untuk epilepsi

dan aspirin untuk antiinflamasi.

Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim

metabolisme, terutama enzom CYP induksi berarti peningkatan sintesis enzim

metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan

metabolisme obat yang terjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya

Page 29: cara kerja obat

29

diperlukan peningkatan dosis obat itu,berarti terjadi toleransi farmakokinetik.

Karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu pajanan beberapa

hari sebelum mencapai puncak efek yang maksimal. induksi yang dialami oleh

semua enzim mikrosomal, jadi enzim CYP (kecuali 2D6) dan UGT.

5. Antihistamin? (penggolongan, penggunaan, cara kerja)

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi dan menghalangi efek

histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Berdasarkan

penemuan, antihistamin dibagi dalam 2 kelompok, yakni H1-blockers dan H2-

blockers.

a. H1-blockers mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di

otot polos dari dinding pembuluh, bronchi, saluran cerna, kandung kemih

dan rahim. Begitu pula melawan efek histamin di kapiler dan ujung saraf.

Efeknya adalah simtomatis, antihistamin tidak dapat menghindarkan

timbulnya reaksi alergi.

Terdapat 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni obat

generasi ke-1 dan ke-2.

Gambar 5. Struktur umum obat Antagonis H1 dan contoh subgolongan

pertama.

Page 30: cara kerja obat

30

I. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin,

feniramin, difenhidramin, klemastin, siproheptadin, azelastin, sinarizin,

meklozin, hidroksizin, ketotifen dan oksatomida.

Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki

efek antikolinergis.

II. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, fexofenadin, akrivastin,

setirizin, loratidin, levokabastin dan emedastin. Zat-zat ini bersifat

hidrofil dan sukar mencapai CCS, maka pada dosis terapeutis tidak

bekerja sedatif. Keuntungan lainnya adalah plasmanya lebih panjang,

sehingga dosissnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti alerginya

selain bedasarkan khasiat antihistaminnya, juga berkat dayanya

menghambat sintesis mediator radang, seerti prostaglandin, leukotrien

dan kinin.

b. H2-blockers menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang

meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor H2

di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga

mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak

digunakan pada terapi tukak lambung-usus guna mengurangi sekresi HCL

dan pepsin, juga sebagai zat-pelindung tambahan pada terapi dengan

kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator

motilitas lambung pada penderita reflux.

Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,

ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidin yang merupakan senyawa-

senyawa heterosiklis dari histamin.

Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses

fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek

histamine. Epinefrin merupakan antagonis fisiologis pertama yang digunakan.

Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian

digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak berbeda. Antihistamin misalnya

antergan, neoantergan, difenhidramin, dan tripelenamin dalam dosis terapi

efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan

efek hypersekresi asam lambungn akibat histamin. Antihistamin tersebut

Page 31: cara kerja obat

31

digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) (Gunawan,

2012).

Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu

burimamid, metiamid, simetidin, yang dapat menghambat sekresi asam

lambung akibat histamine.

Kedua jenis histamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan

menghambat antihistamin dan reseptor histamine H1 atau H2 (Gunawan, 2012) .

Antagonis reseptor H1 (AH1)

Secara kimia, AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat dilihat

pada tabel dibawah ini (Gunawan, 2012).

contoh obat Dosis

dewasa

Masa

kerja

Aktiv

itas

antik

oline

rgik

komentar

Etanolamin

Karbinoksamin

Difenhidramin

Dimenhidrinat

(Garam

difenhidramin)

4-8mg

25-50mg

50mg

3-4 jam

4-6 jam

4-6 jam

+++

+++

+++

Sedasi ringan sampai

sedang

Sedasi kuat, anti

motion sicknes

Sedasi kuat, anti

motion sicknes

Etilenediamin

Pirilamin

Tripelenamin

25-50 mg

25-50 mg

4-6 jam

4-6 jam

+

+

Sedasi sedang

Sedasi sedang

Piperazin

Hidroksizin

Siklizin

meklizin

25-100 mg

25-50 mg

25-50 mg

6-24 jam

4-6 jam

12-24 jam

?

-

-

Sedasi ringan, anti

motion sicknes

Page 32: cara kerja obat

32

Sedasi ringan, anti

motion sicknes

Alkilamin

Klorfenilamin

Bromfenilamin

4-8 mg

4-8 mg

4-6 jam

4-6 jam

+

+

Sedasi ringan,

komponen obat flu

Sedasi ringan

Derivate fenotiazin

Prometazin 10-25 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat, anti emetic

Lain-lain

Siproheptadin

Mebhidrolin

napadisilat

4 mg

50-100 mg

6 jam

6 jam

+

+

Sedasi sedang, juga

anti serotonin

Tabel 2. Antihistamin generasi I.

Contoh obat Dosis

dewasa

Masa kerja Aktivita

s

antikoli

nergik

komentar

Astemizol

Feksofenadin

10 mg

60 mg

<24 jam

12-24 jam

-

-

Mulai kerja

lambat

Risiko aritmia

rendah

Lain-lain

Loratadin

setirizin

10 mg

5-10 mg

24 jam

12-24 jam

-

-

Masa kerja

lebih lama

Tabel 3. Antihistamin generasi II.

Page 33: cara kerja obat

33

Farmakodinamik

Antagonisme terhadap histamine, AH1 menghambat efek histamine pada

pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1

bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas ata keadaan lain yang

disertai penglepasan histamine endogen berlebihan (Gunawan, 2012).

Otot polos, secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada

otot polos, usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat hisamin, dapat dihambat

oleh AH1 (Gunawan, 2012).

Permeabilitas kapiler, peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat

histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1 (Gunawan, 2012).

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik,

efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2

jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-

6 jam (Gunawan, 2012).

Penyakit alergi

AH1 berguna untuk mengobati penyakit tipe alergi eksudatif akut,

misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat faliatip, membatasi dan

menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi

terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen antibody

yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat

diatasi hanya dengan menghindari allergen, desensitisasi atau menekan reaksi

tersebut dengan kortikosteroid (Gunawan, 2012).

Page 34: cara kerja obat

34

Daftar Pustaka

Ganiswara, S G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Gilman, A G. 2008. Dasar farmakologi Terapi Volume 1. Jakarta: EGC.

Katzung, B G. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi XII. Jakarta: EGC.

Neal, M J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi V. Jakarta: EGC.