Cara Memperbaiki Akhlak

Embed Size (px)

Citation preview

Cara Memperbaiki Akhlak Akhlak, menurut para pemikir Muslim, menunjuk pada kondisi jiwa yang menimbulkan perbuatan atau perilaku secara spontan. Dikatakan, orang yang memiliki mental penolong, ketika melihat kesulitan-kesulitan yang dialami orang lain, akan memberikan pertolongan secara spontan, tanpa banyak mempertimbangkan atau memikirkan untung-rugi. Jadi, akhlak menunjuk pada hubungan sikap batin dan perilaku secara konsisten. Apakah akhlak yang merupakan watak dari manusia itu dapat diubah? Jawabnya adalah bisa. Menurut Al Ghazali, akhlak bisa diubah dan diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu, ia selalu terbuka dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan. Al Ghazali menambahkan, perbaikan harus dilakukan melalui pendidikan dan pembinaan pada sikap dan perilaku konstruktif. Pembiasaan tersebut dilakukan melalui metode berbalik. Sebagai contoh, sifat bodoh harus diubah dengan semangat menuntut ilmu, kikir dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, dan rakus dengan puasa. Proses pembiasaan ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara instant tapi membutuhkan waktu, perjuangan, dan kesabaran yang tinggi. Ibnu Maskawaih, dalam buku Tahdzub Al Akhlaq mengusulkan metode perbaikan akhlak melalui lima cara. Pertama, mencari teman yang baik. Banyak orang terlibat tindak kejahatan karena faktor pertemanan. Kedua, olah pikir. Kegiatan ini perlu untuk kesehatan jiwa, sama dengan olahraga untuk kesehatan tubuh. Ketiga, menjaga kesucian kehormatan diri dengan tidak mengikuti dorongan nafsu. Keempat, menjaga konsistensi antara rencana baik dan tindakan. Kelima, meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari kelemahankelemahan diri. Di samping itu, perbaikan akhlak memerlukan idealisme, yaitu komitmen yang tinggi untuk selalu berpihak kepada yang baik dan yang benar. Perbaikan akhlak berbeda dengan perbaikan pada sektor-sektor lain. Perbaikan akhlak tidak dapat diwakilkan karena keputusan untuk berpihak kepada yang baik dan benar itu harus datang dan lahir dari kita sendiri. Idealisme seperti itu menjadi lebih penting lagi, karena daya tarik kebaikan pada umumnya dikalahkan oleh daya tarik keburukan dan kesenangan duniawi. Pemihakan pada kebaikan sebagai inti dari ajaran akhlak benar-benar membutuhkan komitmen dan tekad yang kuat agar kita sanggup melawan dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan nafsu. Inilah sesungguhnya makna sabda Nabi SAW, Surga dipagari oleh kesulitan-kesulitan, sedangkan neraka dipagari oleh kesenangan-kesenangan. Betatapun tingkat kesulitan yang dihadapi, perbaikan akhlak harus tetap kita upayakan. Soalnya, agama itu pada akhirnya adalah akhlak. Dalam perspektif ini, seseorang tak dapat disebut beragama jika ia tidak berakhlak. Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya aku tidak diutus kecuali untuk membangun kualitas-kualitas moral. (HR Malik). Wallahualam.

Kerukunan Antar Umat BeragamaIslam adalah Agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk kebahagian mereka di dunia dan di akhirat. Islam bukanlah suatu agama baru. Semua agama-agama yang dibawa oleh para Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga adalah agama yang pada prinsipnya mengajarkan untuk meng-Esakan Allah SWT, beriman kepada zat dan sifat-sifatNya, beriman kepada kitabkitabNya, beriman kepada rasul-rasul dan hari akhirat, serta mentaati seluruh perintah Nya dan larangan Nya. Dalam kehidupan yang plural, Islam mengajarkan setidaknya empat hal pokok, pertama, sebagai agama tauhid, Islam mengajarkan adanya kesatuan penciptaan yaitu Allah SWT. Kedua, Sebagai agama tauhid, Islam mengajarkan kesatuan kemanusiaan. Ketiga, sebagai agama tauhid Islam mengajarkan kesatuan petunjuk, yaitu al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Keempat, sebagai konsekwensi logis dari ketiga pokok tersebut, maka bagi umat manusia hanya ada satu tujuan dan makna hidup yaitu kebahagian di dunia dan kebahagian di akhirat. Untuk mewujudkan kesatuan fundamental tersebut, maka setiap individu muslim harus berpegang teguh pada ajaran agamanya dengan jalan mentaati peraturan-peraturan Allah yang dirumuskan di dalam al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Terjadinya peristiwa penusukan terhadap Asia Sihombing dan Tiur Lindah (pengurus Gereja HKBP Bekasi), bukan merupakan tindakan spontan yang dilakukan oleh 10 pelaku. Artinya, para pelaku penusukan dan pemukulan itu bukan disebabkan rasa iri dan dengki melihat orang lain melakukan ibadah sesuai keyakinannya, tetapi lebih disebabkan ekses dari tidak dipenuhinya peraturan pemerintah yang dituang dalam Peraturan Bersama Menteri- bahwa untuk membangun sebuah rumah ibadah harus memenuhi kretaria yang telah baku di negri ini, yang ketentuannya juga disepakati oleh seluruh pimpinan agama-agama yang ada di negri ini, termasuk pimpinan Gereja HKBP. Jika kemudian tidak atau belum terpenuhinya Peraturan Bersama Menteri yang tertuang dalam Nomor 8 dan Nomor 9 tentang kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, seharusnya pimpinan Gereja HKBP dan jemaatnya tidak secara emosional dan memaksakan diri melangsungkan kebaktiannya setiap minggu di pemukiman yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Semua orang di Negara ini, dijamin keberagamaannya, tapi tidak lantas semaunya, yang kemudian secara massal melakukan kebaktian di pemukiman yang pemeluk nya berlainan agama. Pemaksaan pelaksanaan peribadatan seperti itu menunjukkan arogansi agama, yang tidak cuma menganggap remeh agama lain, tetapi juga melecehkan pemerintah dengan tidak mengacuhkan peraturan yang sudah disepakati bersama.

Pengertian Kerukunan Antar Umat BeragamaKerukunan umat beragama yaitu hubungan sesame umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah. Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya.

Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah. Dalam praktek, ketegangan yang sering timbul intern umat beragama dan antar umat beragama disebabkan oleh: 1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau missi 2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama lain. Arti keberagamannya lebih keoada sikap fanatisme dan kepicikan ( sekedar ikut-ikutan). 3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain. 4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. 5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. 6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalh perbedaan pendapat.

Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama Menurut IslamKerukunan umat beragama dalam islam yakni Ukhuwah Islamiah. Ukhuah islamiah berasl dari kata dasar Akhu yang berarti saudara, teman, sahabat, Kata Ukhuwah sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan Islaiyah berasal dari kata Islam yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat Ukhuwah, sehingga jika dipadukan antara kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti persaudaraan islam atau pergaulan menurut islam. Dapat dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa hubungan persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang berarti bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain. Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru artinya diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi yang obyektif. Ibadah seperti zakat, sedekah, dan lain-lain mempunyai hubungan konseptual dengan cita ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah itu sendiri bukanlah tujuan, Ukhuwah Islamiyah adalah kesatuan yang menjelmakan kerukunan hidup umat dan bangs, juga untuk kemajuan agama, Negara, dan kemanusiaan. Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah menjinakan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara (QS. Ali Imran: 103) Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai dan berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang0orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran 105).

Kendala-Kendala1. Rendahnya Sikap Toleransi Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masingmasing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik. 2. Sikap Fanatisme Dalam kamus besar Indonesia, fanatisme diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dsb). Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satusatunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah. Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada di luar untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandanganpandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan. Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan; 1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama 2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu 3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan 4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah. Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Manfaat Kerukunan Antar Umat Beragama

Umat Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara. Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa. Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara, katanya dalam Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu. Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini masih sering muncul. Menurut dia, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terusmenerus, tidak boleh berhenti, katanya. Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk kemiskinan dan kebodohan. Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama, katanya Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar, katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di masingmasing kelompok masyarakat. Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang mengarah pada terbentuknya penilaian negatif, katanya. Senada dengan Maruf, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM. Cap mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama. Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah theologis, ritus dan cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah

kemanusiaan. Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas, etika dan nilai spiritual, katanya. Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog antar-umat beragama mesti sepi dari latar belakang agama yang eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. Sebab untuk itu butuh relasi harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan. Yang harus dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk mendominasi dan eksklusif, katanya. Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda agama-agama ke depan sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar yang selama ini menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi masyarakat. Energi dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal mulia itu, demikian Budi S Tanuwibowo.

Cara Menjaga Kerukunan Hidup Antar Umat BeragamaIndonesia yang multikultural terutama dakam hal agama membuat Indonesia menjadi sangat rentang terhadap konflik antar umat beragama. Maka dari itu menjaga kerukunan antar umat beragama sangatlah penting. Dalam kaitannya untuk menjaga kehidupan antar umat beragama agar terjaga sekaligus tercipta kerukunan hidup antar umat beragama dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia misalnya dengan cara sebagai berikut: Menghilangkan perasaan curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain yaitu dengan cara mengubah rasa curiga dan benci menjadi rasa penasaran yang positf dan mau menghargai keyakinan orang lain. Jangan menyalahkan agama seseorang apabila dia melakukan kesalahan tetapi salahkan orangnya. Misalnya dalam hal terorisme. Biarkan umat lain melaksanakan ibadahnya jangan olok-olok mereka karena ini bagian dari sikap saling menghormati. Hindari diskriminasi terhadap agama lain karena semua orang berhak mendapat fasilitas yang sama seperti pendidikan, lapangan pekerjaan dan sebagainya. Dengan memperhatikan cara menjaga kerukunan hidup antar umat beragama tersebut hendaknya kita sesama manusia haruslah saling tolong menolong dan kita harus bisa menerima bahwa perbedaan agama dengan orang lain adalah sebuah realitas dalam masyarakat yang multikultural agar kehidupan antar umat beragma bisa terwujud

1.

2. 3. 4.

Budaya yang Belum Islami di Lingkungan Kampus Robert L. Gullick Jr., dalam bukunya, Muhammad, The Educator, menyatakan: Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantangHanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karenadari sudut pragmatisseorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik. Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siysah) yang diartikan sebagai riyah asy-syun al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara. Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siysah at-talm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan. Pendidikan yang sekular-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya. Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni: (1) lembaga pendidikan formal yang lemah; tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif. Asas yang sekular mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Guru/dosen sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan, tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian, karena memang kepribadian guru/dosen sendiri tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akhirnya, rusaklah pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Para orangtua juga tidak secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Masyarakat, yang semestinya menjadi media pendidikan yang real, juga berperan sebaliknya, yaitu menegasikan hampir seluruh proses pendidikan di rumah dan persekolahan. Sebab, dalam masyarakat berkembang sistem nilai sekular; mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun tata pergaulan sehari-hari; berita-berita pada media masa juga cenderung mempropagandakan hal-hal negatif. Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula

secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam. Politik Pendidikan Islam Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi/akidah Islam. Secara pasti, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti, cara berpikirnya harus didasarkan pada nilai-nilai Islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Metode pendidikan dan pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak. Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi, dan berkesinambungan dengan tujuan di atas. Kurikulum dibangun di atas landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqfah Islm dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsikonsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia. Pada jenjang PT tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman ataupun jurusan lainnya seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik, dll. Dengan begitu, peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dengan model sistem pendidikan Islam seperti ini, kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekularkapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Generasi yang akan terbentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai Islam serta berkepribadian Islam yang utuh. Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan dalam Islam adalah sebagai berikut: 1. Prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan didasarkan pada akidah Islam. Tujuannya adalah membentuk sumberdaya manusia terdidik dengan aqliyah islmiyah (pola berpikir islami) dan nafsiyah islmiyah (pola sikap islami). 2. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan sehingga melahirkan amal salih dan ilmu yang bermanfaat. Perhatikan bagaimana al-Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shlihan (amal yang terbaik atau amal shalih). 3. Pendidikan ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimaliasi aspek buruknya.

4. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Teladan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian, Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. 5. Adapun strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita lihat dalam kerangka berikut ini: 6. Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah Swt. sebagai al-Khaliq, mengagungkan-Nya, serta mensyukuri seluruh nikmat yang telah diberikan-Nya. 7. Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah Swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu. 8. Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta. 9. Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam rangka ibadah kepada Allah Swt. karena Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia. 10. Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri manusia itu sendiri. Demikianlah konsep pendidikan di dalam Islam. Sebuah system yang memang layak digunakan dan telah terbukti kajayaannya dalam mengatasi masalah pendidikan dan melahirkan para ilmuwan yang pandai dan berkeprbadian luhur. Seperi, Al-khawarizmi, Alkindi, Ibnu Sina, dan masih banyak lagi ilmuwan lainnya. Akankah muncul para Ilmuwan seperti mereka. Hanya system Islamlah yang akan dan mapu melahirkan Ilmuwan kembali seperto mereka. Wallahualam bish shawwab.

Masyarakat Madani yang Belum Tampak Masyarakat madani yang sedang dikembangkan sekarang ini mempunyai sejarah tersendiri. Di sini akan diselidiki konsep tersebut sebagai suatu bentuk dialog Islam dengan modernisasi. Selanjutnya dilihat juga posisi masyarakat dan negara dalam Islam. Masyarakat madani kadang dipahami sebagai masyarakat sipil, karena diterjemahkan dari konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya, pada zaman Yunani Kuno sudah dikenal societies civilis, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Civil society dimaksudkan mencegah lahirnya pemerintahan otoriter melalui kontrol dari masyarakat. Berdasarkan projecting back theory (melihat sejarah awal Islam sebagai patokan), umat Islam menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Karena ciri-ciri kehidupan yang ideal pada masa Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Hal tersebut merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas sesuai dengan hukum dialektika. Dialog tersebut bersifat aktif karena Barat mengembangkan konsep civil society tersebut berdasarkan sejarah awal Islam Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory. 1. Pendahuluan Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata madani berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada halhal yang ideal dalam kehidupan. Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan. Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Quran dan Hadits (Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat diislamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain,

masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik. Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problemproblem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu. Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis indeed there are many specific references to the Quran and to the Islamic law in the writing of Montesquieu (Azizi, 2000: 94). 2. Masyarakat Madani dan Negara Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113). Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113).

Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar. Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis--vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras. Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48): the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu: how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism. Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar

keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu: (1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani. Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville the people can be trusted to rule themselves (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern. 3. Masyarakat Madani di Indonesia Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasiorganisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partaipartai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negaranegara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsipprinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Masoed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris. Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan. Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan tradisionalis (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan modernis (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat nonnegara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan

dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17). Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541). Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bidah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv).

Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas nonnegara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi negara itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai polisi yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164). 4. Kesimpulan Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis-vis masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi

SISTEM POLITIK ISLAMistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu

S

perkara yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara. Hanya saja pesan-pesan syara yang sifatnya ilahi itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara (khalifah) dan tidak dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan

seluruh kaum muslimin di depan syara (baik dari segi hukum maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada khalifah, tidak menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya. Kekuasaan khalifah adalah kekuasaan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam. Kontrol pelaksanaan hukum dan mekanismenya yang mudah serta tolok ukur yang jelas (yakni nash-nash syara) telah menjadikan daulah ini kokoh dan tegak menjadi rahmat bagi seluruh dunia selama berabad-abad. Sepakatlah semua pemikir muslim bahwa Madinah adalah negara Islam yang pertama, dan apa yang dilakukan Rasulullah setelah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah memimpin masyarakat Islam dan memerankan dirinya bukan hanya sebagai Rasul semata tetapi juga sebagai kepala negara Islam Madinah.

Landasan Politik di Masa RasulullahLangkah-langkah Rasulullah dalam memimpin masyarakat setelah hijrahnya ke Madinah, juga beberapa kejadian sebelumnya, menegaskan bahwa Rasulullah adalah kepala sebuah masyarakat dalam apa yang disebut sekarang sebagai negara. Beberapa bukti bisa disebut, diantaranya:

1. Baiat AqabahPada tahun kesebelas kenabian, enam orang dari suku Khajraz di Yathrib bertemu dengan Rasululah di Aqabah, Mina. Mereka datang untuk berhaji. Sebagai hasil perjumpaan itu, mereka semua masuk Islam. Dan mereka berjanji akan mengajak penduduk Yathrib untuk masuk Islam pula. Pada musim haji berikutnya, dua belas laki-laki penduduk Yathrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka, selain masuk Islam, juga mengucapkan janji setia (baiat) kepada Nabi untuk

tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berdusta, serta tidak mengkhianati Nabi. Inilah Baiat Aqabah Pertama. Kemudian pada musim haji berikutnya sebanyak tujuh puluh lima penduduk Yathrib yang sudah masuk Islam berkunjung ke Makkah. Nabi menjumpai mereka di Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat juga, yang isinya sama dengan baiat yang pertama, hanya saja pada yang kedua ini ada isyarat jihad. Mereka berjanji akan membela Nabi sebagaimana membela anak istri mereka, baiat ini dikenal dengan Baiat Aqabah Kedua. Kedua baiat ini menurut Munawir Sadjali (Islam dan Tata Negara, 1993) merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Baiat tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yathrib kepada Rasulullah, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul, sebab pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui baiat melainkan melalui syahadat. Dengan dua baiat ini Rasulullah telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar baiat ini pula Rasulullah meminta para sahabat untuk hijrah ke Yathrib, dan beberapa waktu kemudian Rasulullah sendiri ikut Hijrah bergabung dengan mereka.

2. Piagam MadinahUmat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Yathrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di Madinahlah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi Muhammad, Penduduk Madinah ada tiga golongan. Pertama kaum muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Kharaj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri dari empat kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Banu Qunaiqa. Tiga kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Banu Nadlir, Banu Quaraizhah, dan Yahudi Khibar. Jadi Madinah adalah masyarakat majemuk. Setelah sekitar dua tahun berhijrah Rasulullah memaklumkan satu piagam yang mengatur hubungan antar komunitas yang ada di Madinah, yang dikenal dengan Piagam (Watsiqah) Madinah.Inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piadam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.

3. Peran Sebagai Kepala Negaraa. Dalam negeri

Sebagai Kepala Negara, Rasulullah sadar betul akan arti pengembangan sumber daya manusia, dan yang utama sehingga didapatkan manusia yang tangguh adalah penanaman aqidah dan ketaatan kepada Syariat Islam. Di sinilah Rasulullah, sesuai dengan misi kerasulannya memberikan perhatiaan utama. Melanjutkan apa yang telah beliau ajarkan kepada para sahabat di Makkah, di Madinah Rasul terus melakukan pembinaan seiring dengan turunnya wahyu. Rasul membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan Rasulullah melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT. Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan Rasulullah mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul mengangkat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sebagai wajir. Juga mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin wilayah Islam, diantaranya Muadz Bin Jabal sebagai wali sekaligus qadhi di Yaman. b. Luar Negeri Sebagai Kepala Negara, Rasulullah melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari (Negara Hukum, 1992) Rasulullah mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, diantaranya kepada Al Muqauqis Penguasa Mesir, Kisra Penguasa Persia dan Kaisar Heraclius, Penguasa Tinggi Romawi di Palestina. Nabi mengajak mereka masuk Islam, sehingga politik luar negeri negara Islam adalah dakwah semata, bila mereka tidak bersedia masuk Islam maka diminta untuk tunduk, dan bila tidak mau juga maka barulah negara tersebut diperangi.

Hubungan Rakyat dan NegaraPeran RakyatDalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (mana saadah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.

Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).

Aspirasi RakyatDalam persoalaan hukum syara, kaum muslimin bersikan sami na wa athana. Persis sebagaimana ajaran al Quran, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri untuk mengetahui hukum syara atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syaranya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan. Di luar masalah tasyri, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.

Penegakkan HukumHukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun. Kesimpulan 1. Madinah adalah negara Islam pertama dengan Muhammad Rasulullah sebagai kepala negara. Praktek kenegaraan di segala bidang berjalan dengan baik

2. Tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara. Keduanya adalah pilar penopang tegaknya hukum Allah dan penentu tegaknya Izzul Islam wa al muslimin 3. Yang disebut sebagai aspirasi rakyat dalam negara Islam adalah terlaksananya serta terselenggaranya pemerintah dengan sebaik-baiknyademi tercapainya tujuan dakwah Islam. Di luar masalah tasyri, menjadi tuntunan Islam keputusan diambil dengan musyawarah baik berdasarkan suara terbanyak atau pendapat yang paling benar. Demi terselenggaranya praktek kenegaraan dengan baik, penting sekali peran muhasabah (koreksi) dari rakyat kepada penguasa 4. Hukum dijalankan atas semua warga, tanpa kecuali. Tidak ada grasi, amnesti, dispensasi, banding atau kasasi. Keputusan qadhi adalah tinggal yang wajib dilaksanakan