Upload
gsmlina-r-panyalai
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/14/2019 Cara Sadar Menyikapi Perubahan Iklim
1/4
CARA SADAR MENYIKAPI PERUBAHAN IKLIM
Oleh : Gusmailina
I. PENDAHULUAN
Peringatan Hari Bumi tahun ini mengangkat tema Solusi Perubahan Iklim. Tema ini
dipilih karena perubahan iklim merupakan masalah lingkungan hidup terbesar yang
mungkin pernah dihadapi bumi akibat berbagai aktivitas manusia. Tema ini dipilih
karena meski kesadaran mengenai perubahan iklim perlahan mulai tumbuh, namun
solusi-solusi konkret masih minim. Indonesia dengan bentuk negara kepulauan dan
banyaknya penduduk yang mengandalkan sumber daya alam untuk matapencaharian
sangat rentan terhadap perubahan iklim. Diangkatnya solusi bagi perubahan iklim
menjadi tema Hari Bumi Internasional merupakan momentum yang baik untuk
mengingkatkan kembali ancaman laten perubahan iklim. Solusi-solusi bagi dampak
perubahan iklim, terutama bagi Indonesia yang rentan terhadap dampak-dampkanya,perlu mulai mendapat perhatian yang lebih serius. Dua solusi yang bisa kita lakukan
adalah mengurangi emisi dari berbagai aktivitas kita serta menyiapkan strategi adaptasi
terhadap perubahan yang sudah mulai terjadi (Soejachmoen, Direktur Eksekutif
Yayasan Pelangi Indonesia, 2009).
II. STRATEGI SOLUSI
1. Kurangi emisi gas rumah kaca
a. Untuk menahan laju perubahan iklim, perlu segera melakukan usaha-usaha
mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hasil aktivitas manusia. Ini bisa dilakukan
dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil minyak bumi, batubara, dan gas.
Dua cara yang bisa dilakukan adalah dengan beralih ke bahan bakar yang memiliki
emisi yang lebih rendah seperti penggunaan gas dan energi dari sumber terbarukan,
atau melakukan program efisiensi energi. Ini efektif dilakukan di sektor industri dan
pembangkit listrik. Kedua sektor ini termasuk penghasil emisi GRK utama di
Indonesia, dan memiliki konsumsi energi per kapita yang tinggi.
b. Mengganti penggunaan batubara atau diesel menjadi gas bisa menghasilkan
penurunan emisi GRK yang signifikan. Penelitian pada satu industri manufaktur diCilegon menunjukkan beralih penggunaan bahan bakar diesel ke gas alam dapat
menurunkan emisi GRK pabrik tersebut sebanyak 31%.
c. Beralih menggunakan sumber energi terbarukan bisa mengurangi emisi GRK dalam
jumlah yang lebih besar. Dan dengan semakin tingginya harga minyak bumi, sumber
energi terbarukan menjadi pilihan yang semakin menarik. Saat ini biodiesel menjadi
alternatif yang perlu dipertimbangkang dengan serius. Penggunaan biodiesel, yang
sekarang mulai berkembang untuk bahan bakar transportasi, tipe B10 (10%
biodiesel, 90% diesel) juga bisa digunakan sebagai bahan bakar industri bisa
mengurangi emisi GRK tanpa perlu modifikasi peralatan.
8/14/2019 Cara Sadar Menyikapi Perubahan Iklim
2/4
d. Sedangkan untuk pembangkitan listrik, Indonesia memiliki 40% dari total potensi
geotermal dunia, yaitu 27 MW yang tersebar di 151 lokasi namun saat ini baru 270
ribu Watt yang dimanfaatkan. Ada keengganan menggunakan geotermal untuk
pembangkitan listrik karena kendala lokasi dan harganya yang masih relatif tinggi;
harga listrik hasil pembangkit panas bumi adalah 6,6 sen dollar/KWh, batubara 4,3
sen dollar /KWh, minyak bumi 5,2 sen dollar/KWh. Namun, bila biaya lingkunganuntuk pembangkitan listrik sebesar 3 sen dollar/KWh dimasukkan, geotermal akan
menjadi pilihan yang lebih menarik.
e. Upaya-upaya penurunan emisi GRK seakan tidak berarti manakala pemerintah
berencana menandatangani investasi membangun pembangkit listrik sebesar 10.000
MW berbahan bakar batubara. Untuk tiap MWh listrik yang dihasilkan, pembangkit
batubara dapat menghasilkan 934kg CO2, maka total emisi CO2 yang dihasilkan
tidak kurang dari 21 juta ton setiap tahunnya total proyeksi emisi CO2 Indonesia
dari berbagai sektor untuk tahun 2005 sebesar 245,89 juta ton. Nasrullah Salim,
peneliti energi Yayasan Pelangi Indonesia, menegaskan, Pilihan untuk
pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar yang murah seharusnyaditinjau kembali. Pertimbangan lingkungan perlu mendapat porsi yang seimbang
dengan ekonomi dalam rencana pembangunan.
f. Cara lain mengurangi emisi GRK adalah dengan efisiensi energi. Ada peluang bagi
industri untuk mengefisiensikan penggunaan listrik sebanyak 11% dengan
mengurangi listrik pada motor dengan menggunakan teknologi yang lebih efisien.
2. Beradaptasi terhadap perubahan
Perubahan iklim sudah mulai terjadi dengan berbagai dampaknya dan kita harus bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi sesegera mungkin.
Perubahan pola musim hujan dan kering telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir musim hujan semakin singkat dengan intensitas
lebih tinggi, dan musim kemarau yang semakin panjang. Perubahan-perubahan ini ikut
berperan meningkatnya insiden banjir dan kekeringan di Indonesia. Hal ini sudah
dirasakan beberapa desa di Cisarua, Jawa Barat, hulu Sungai Ciliwung yang
mengganggu pertanian lokal. Untuk beradaptasi, telah dibuat pengelolaan resapan air
dengan bendungan-bendungan kecil di daerah hulu untuk menyimpan air sehingga
mengurangi risiko banjir di daerah hilir sekaligus meningkatkan persediaan air dimusim kemarau.
Naiknya permukaan air laut merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang juga
sudah dirasakan di Indonesia. Penduduk di beberapa desa di Kepulauan Raja Ampat,
Papua, sudah merasakan berubahnya garis pantai yang semakin masuk ke darat
setidaknya 10 meter dalam 10 tahun terakhir, serta semkin luasnya intrusi air laut ke air
tanah. Ini memaksa mereka untuk mencari lokasi tempat tinggal baru.
Terus meningkatnya emisi GRK hasil aktivitas manusia cenderung akan meningkatkan
bencana yang terkait dengan iklim. Untuk mengantisipasi dampak-dampak perubahan
iklim, diperlukan kajian untuk mengidentifikasi daerah dan sektor mana yang rentanterhadap perubahan iklim kemudian menentukan strategi adaptasi yang paling sesuai.
8/14/2019 Cara Sadar Menyikapi Perubahan Iklim
3/4
Kegiatan adaptasi perlu dimasukkan ke dalam rencana pembangunan, terutama di
bidang yang rentan dampak perubahan iklim seperti pertanian, perikanan, kesehatan,
kehutanan, dan sumberdaya air. Kegiatan-kegiiatan rehabilitasi lahan kritis dengan cara
reforestasi, melarang illegal logging, penangkapan ikan dengan racun, serta hemat air,
sebenarnya sudah termasuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Kegiatan-kegiatan ini
sekarang menjadi semakin penting dengan adanya ancaman perubahan iklim.
3. Utamakan Adaptasi
Hasil pemantauan BMG terhadap kenaikan suhu di berbagai kota di Indonesia
diterbitkan secara resmi. Memanfaatkan momentum pertemuan akbar COP ke-13
UNFCCC (Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim) di Bali, melalui hasil pemantuan
ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah benar-benar terimbas
perubahan iklim, bukan hanya hitung-hitungan perkiraan tapi nyata dan fakta. Dampak
buruk dari perubahan iklim terus akan dialami oleh Indonesia, tapi dana adaptasi masih
saja tidak ada. Konsep Protokol Kyoto, hanya mengutamakan pengurangan emisi
karbon negara-negara maju tapi tidak memperhatikan secara khusus alokasi danaadaptasi buat negara berkembang, yang lebih parah terimbas perubahan iklim.
Perhatian harus dialihkan dari mitigasi penurunan emisi karbon ke dana adaptasi buat
negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena dampak buruk perubahan iklim
terjadi saat ini juga tidak menunggu hingga emisi berhasil diturunkan. Di sisi lain juga
agar sektor transportasi sebagai sumber emisi karbon terbanyak di Jakarta turut
bertanggungjawab atas kenaikan suhu kota. Tiap tahunnya para produsen motor dan
mobil haya mengumumkan target penjualan mereka, tanpa bisa menunjukkan upaya
penghijauan kota yang sepadan. Menjelaskan bahwa selain menambah ruang terbuka
hijau, Pemprov DKI Jakarta juga bertugas membenahi sektor transportasi, jika ingin
temperatur kota tidak terus melonjak naik. Pemprov harus memperhatikan aspek
pengendalian moda transportasi pribadi, sembari memperbaiki transportasi umum yang
harus dibuat nyaman, aman, dan tepat waktu.
III. Indonesia Pembuang Emisi Terbesar Kedua Setelah AS dan China
Indonesia sudah menjadi negara pembuang emisi terbesar ketiga setelah Amerika
Serikat dan China dengan jumlah emisi yang dibuang mencapai 3.014 MtCO2e. Hal itu
dikatakan Pakar Lingkungan Prof Dr Emil Salim dalam orasi pengangkatannya sebagai
Perekayasa Utama Kehormatan bidang Teknologi Lingkungan dan Kebumian Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Hanya saja jika AS dan China menjadipembuang emisi terbesar masing-masing total sebesar 6.005 dan 5.017 MtCO2e akibat
pemanfaatan energi fosil secara besar-besaran, sumber emisi Indonesia adalah
kebakaran hutan. Akibat kebakaran hutan ini Indonesia melepas emisi sampai 2.563
MtCO2e, sementara dari energinya Indonesia hanya membuang emisi 275 MtCO2e,
dari pertanian sebesar 141 dan dari limbahnya 35 MtCO2e, sehingga total emisi 3.014
MtCO2. Di peringkat keempat negara pembuang emisi terbesar adalah Brazil sebesar
2.316 MtCO2e yang kondisinya mirip di Indonesia di mana sebagian besar sumber
emisinya adalah permasalahan hutan. Di peringkat lima dan enam terbesar pembuang
emisi adalah Rusia disusul India yang masing-masing menyumbang emisi 1.745 dan
1.577 MtCO2e yang sumbangan terbesarnya berasal dari pemanfaatan energi fosil.
Dalam Konvensi Perubahan Iklim 1992 yang ditandatangani 154 Kepala Negaradisepakati stabilisasi konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat
8/14/2019 Cara Sadar Menyikapi Perubahan Iklim
4/4
yang bisa mencegah intervensi anthropogenic pada sistem iklim bumi. Pada Kyoto
Protokol yang operasional pada 1997 ditargetkan pengurangan emisi global ke tingkat
5,2 persen di bawah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 1990 untuk dicapai negara-negara
maju pada 2012. Karena itu dibangun mekanisme perdagangan emisi, implementasi
bersama dan mekanisme pembangunan bersih (CDM). Di sini negara maju mengurangi
emisi GRK dengan membangun proyek penyerap karbon di negara berkembang.Negara berkembang yang membangun belakangan ini tidak wajib mengurangi emisi
atau menyerap karbon, malahan mereka bisa menawarkan proyek-proyek penyerap
karbon dengan imbalan dari negara maju, meski kesepakatan ini ditentang oleh AS dan
Australia. Indonesia pada 2008-2012, bisa menawarkan 24 juta ton CO2 per tahun dari
sektor energi dan 23 juta ton CO2 per tahun dari sektor kehutanan, di mana harga
karbon sekitar 1,5-5,5 dollar AS per ton CO2e per tahun.
*) Penulis adalah Staf peneliti pada Puslitbang Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu PO.Box 184, Bogor, Tel/fax.(0251) 8633378/8633314
E-mail:;[email protected];[email protected];
**) disadur dari Soejachmoen, KH Direktur Eksekutif Yayasan Pelangi Indonesia;
Jakarta (ANTARA News); Orasi prof Dr. Emil Salim; Millis Lingkungan.
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]