Upload
serepenk-telah
View
262
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan
terbayang alam yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra
negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini
kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum
terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura
identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan
masyarakat mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan.
Upaya tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari
Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang
positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan. Nilai-nilai
tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam ungkapan-ungkapan
Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’. (nasehat-nasehat baik).
Dalam tulisan kali ini saya akan mengupas sedikit tentang budaya carok dalam
masyarakat Madura dengan judul “Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir
Mempertahankan Harga Diri”. Saya membagi pembahasan ke dalam 3 kelompok.
Pertama, Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit Dalam Budaya
Madura, kedua mengenai benar atau tidaknya carok adalah kebiasaan orang Madura.
ketiga mengenai bagaimana Menyikapi Nila – Nilai Negatif Budaya Madura.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui sejarah mengenai kemunculan carok dan celurit dalam masyarakat
Madura.
1.2.2 Mengetahui benar atau tidaknya carok adalah kebiasaan orang Madura untuk
mengatasi semua masalah.
1.2.3 Mengetahui bagaimana kita menyingkapi nilai-nila negative budaya Madura.
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Budaya Carok Dalam Masyarakat Madura
Di Indonesia, carok telah dianggap sebagai ciri khas kelompok etnik Madura.
Hanya di dalam etnis Bugis saja yang dianggap mempunyai pola perilaku yang hampir
menyerupai carok, yaitu fenomena yang disebut sebagai siri’ (Pelras 1996). A. Latief
Wiyata menyatakan bahwa pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur,
yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama
berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan,
dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi
pemenangnya.
Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh, terbanyak (60,4%) berlatar belakang
gangguan terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham
(16,9%); masalah tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%); dan masalah lain
di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya (6,8%).
2.2 Metafisika Substansi Yang Relasionalistik
Metafisika substansi yang dipakai sebagai "clurit analisis" dalam hal ini
dikhususkan pada metafisika substansi yang bersifat relasionalistik. Konsep metafisika
substansi yang relasionalistik mengacu pada pemikiran Immanuel Kant tentang substansi
yang menekankan pada relasi sebagai hal yang fundamental dalam realitas. Substansi
sebagai salah satu kategori merupakan aturan yang mengatur setiap pengalaman manusia
yang menghendaki sensasi tersebut diatur sedemikian rupa sehingga kita mengalami objek
material. Di sinilah jawaban Kant untuk para rasionalis dan empirisis (Solomon &
Higgins, 2002: 413).
Pemikiran Kant tentang konsep substansi hanya mengenai substansi fenomenal, ia
tidak dapat diterapkan pada dunia di luar pengalaman, seperti Tuhan, kebebasan dan jiwa.
Mengenai tata hubungan antara substansia dan aksidensia, I. Kant mengatakan bahwa
keduanya bukan merupakan relasi metafisik, tetapi relasi empiris dan temporal yang
menggejala dalam dunia penampakan. Adanya relasi yang terjadi pada ruang dan waktu
dalam dunia penampakan, dimungkinkan hanya karena adanya substratum (substansi
metafisik). Sebagai substratum substansi sekurang-kurangnya memiliki dua karakteristik
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
3
utama, yaitu substansi senantiasa menjadi subjek dan tidak pernah menjadi predikat dan
substansi bersifat permanen, tidak pernah berubah (Joko Siswanto, 1995: 132-135).
2.2 Yang Tetap dan Yang Berubah Dalam Tradisi Carok
Tradisi carok sebagai simbol akan selalu terlekat dan tetap kepada masyarakat
Madura, sebagai suatu karakter yang khas dari suatu ras dalam ke- Bhinneka Tunggal Ika-
an. Hal ini tercermin dalam ungkapan: "Jika laki-laki Madura tidak berani melakukan
carok, maka dia selain dianggap sebagai penakut (tako'an) juga bukan sebagai laki-laki (lo'
lake' atau ta' lalake' ). Perempuan pun mencemoohkannya yang diungkapkan dalam
sebuah kalimat, "Sayang saya perempuan, seandainya saya memiliki buah zakar sebesar
cabai rawit, saya yang akan melakukan carok” (Imron, 1986: 12). Bahkan ada pula yang
mengatakan:"Mon lo' bangal acarok ja' ngako oreng Madura" (jika tidak berani
melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura) (Latief Wiyata, 2002: 194).
Kalau kita mau menoleh sejenak pada sejarah carok sebelum kemerdekaan
dibandingkan pengertian carok pada saat ini, jelas telah mengalami perubahan. Pada
zaman sebelum kemerdekaan orang Madura yang akan melakukan carok didahului oleh
perjanjian tentang kapan dan dimana carok akan dilaksanakan serta senjata tajam jenis apa
yang akan digunakan. Bahkan ketika carok berlangsung orang-orang desa dapat
menyaksikannya. Pada saat itu, carok merupakan suatu perang tanding untuk menguji
keperkasaan seseorang, sehingga carok lebih mirip suatu pertandingan. Pemenangnya
dianggap sebagai seorang jagoan, sedangkan pihak yang kalah secara ksatria mengakui
kekalahannya tanpa ada keinginan untuk membalas dendam (Latief Wiyata, 2002: 201).
Cara melakukan carok seperti ini sekarang sudah tidak ada lagi. Simbol selalu "berkaki
dua", sebuah kaki berakar pada bahasa dan kaki yang lain berakar dalam kenyataan
kehidupan. Oleh karena itu simbol tidak mungkin ditafsir sampai tuntas (Dibyasuharda,
1990: 239). Carok sebagai simbolisasi masyarakat Madura dapat dipahami dan
direfleksikan sebagaimana pemahaman simbol di atas. Dengan kata lain, selama orang
Madura tetap memaknai carok sebagai suatu proses pelampiasan kepuasan dan
kebanggaan bahkan dendam, kemudian mewujudkannya dalam simbol berupa benda-
benda yang erat kaitannya dengan peristiwa carok itu sendiri, maka selama itu pula orang
Madura tidak akan pernah terlepas dari tindakan kekerasan, dalam upaya mencari penyele
saian konflik yang bersumber pada pelecehan harga diri (LatiefWiyata, 2002: 215).
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
4
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit Dalam Budaya Madura
3.1.1 Awal Kemunculan
Pada saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12 M) dan
di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum dikenal oleh
masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari
Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ditemukan catatan sejarah
yang menyebutkan istilah senjata celurit dan budaya carok. Senjata yang seringkali
digunakan dalam perang dan duel satu lawan satu selalu pedang, keris atau tombak.
(Zulakrnain, dkk. 2003). Pada masa-masa tersebut juga masih belum dikenal istilah
carok.
Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada masa ini,
dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. (Abdurachman, 1979). Pak
Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang
menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang
kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan,
beliau selalu membawanya setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.
Pak Sakerah merupakan seorang mandor yang jujur dan taat menjalankan ibadah
sehingga disukai oleh para buruh. Namun pada suatu ketika, dia dijebak dan difitnah
oleh bos-nya sendiri. Untuk mengembalikan citra dirinya, Pak Sakerah kemudian
membunuh bos beserta kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah,
Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh
Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.:
“Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah
epate’e, saebu sakerah tombu pole” (Guperman keparat, jangan bersenang-senang,
saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak
saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
5
kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak
Sakerah.
Untuk mengatasi perlawanan rakyat Madura, Belanda kemudian berupaya untuk
merusak citra Pak Sakerah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan seorang
pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama
Islam sehingga banyak perlawanan rakyat Madura yang terispirasi oleh kisah
kepahlawan beliau. Belanda kemudian sengaja mempersenjatai golongan blater
(jagoan) yang menjadi kaki tangan Belanda, dengan senjata celurit yang bertujuan
merusak citra Pak Sakerah sebagai tokoh yang mempopulerkan senjata tersebut.
Mereka kemudian diadu domba dengan sesama bangsanya sebagai perwujudan politik
devide et impera.
Karena provokasi Belanda itulah, seringkali terjadi pertarungan antara golongan
blater yang merupakan kaki tangan belanda dengan golongan blater dari kalangan
yang memberontak kepada Belanda. Pertarungan sampai mati inilah yang kemudian
dikenal sebagai carok. Pada saat melakukan carok mereka tidak menggunakan senjata
pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu,
akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Celurit digunakan Pak
Sakerah sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan
penjahat.
De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang
menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun
1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi
hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan
polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.
Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling
tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu
itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama,
masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau
konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok.
Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan
membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan
banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
6
kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura
sangat memperihatinkan saat itu.
3.1.2 Pergeseran Nilai
Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan
celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak
Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun,
keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur
blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah
melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya
praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan
kembali persepsi yang salah ini.
Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya
berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah
hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan
penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan
celurit.
Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok
dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di
Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura terjebak
pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan agresivitas semata-mata
atas nama menjujunjung harga diri tanpa memandang nilai luhur yang terkandung di
dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan
falsafah hidup mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.
Dengan demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak
Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan disukai banyak
orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak lagi melambangkan figur
seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak Sakera ketika dengan gagah berani
melawan Belanda dan kaki tangannya, tetapi lebih melambangkan figur premanisme
dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka
untuk melakukan carok.
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan.
Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh
keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
7
pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka
sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan
secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit
merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka.
Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan
lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang
carok dan kebanggan sebagai keturunan blater.
Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep
maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan
kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di
pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam
terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo.
Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam
lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan
posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan).
Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari
tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-
mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.
Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan
orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat). Bagi
seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap
kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa
orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja,
sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan
diri.
3.2 Benar Atau Tidaknya Carok Adalah Kebiasaan Orang Madura
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku)
masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain,
temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan
kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut
balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
8
Semua itu, tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya,
salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya.
Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka, tuturnya ketika
menyampaikan makalah Lingkungan Sosial Budaya Madura dalam Seminar Prakarsa
Masyarakat dalam Kerangka Pembangunan Daerah Madura di Universitas Bangkalan,
beberapa waktu lalu.
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa
termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya
terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati
senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa
terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras
bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Contohnya, suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung, Perak,
ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh orang lain, ia
ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu berang? Ternyata tidak. Spontan ia
mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku
tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok. Nyo'on sapora, sengko' ta' tao (Minta maaf,
saya tidak tahu, Red), katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan
lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia
dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya
tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. "Wah, Pak Polisi ini
bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak. Tak iya, ..." Dalam konteks ini berarti
bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih
transparan. Bahkan, secara sosial pun setiap individu tidak ditabukan untuk
mengungkapkan perasaan, keinginan atau kehendaknya.
Bila kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok Madura
-- masyarakat dan nilai-nilai sosbudnya -- hasilnya akan menjadi lebih proporsional dan
lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan, kehendak, dan semacamnya, akan
makin memperlihatkan sosok Madura asli bila menyangkut masalah harga diri. Karena,
bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi sosio-kultural yang berkaitan erat
dengan posisi dirinya dalam struktur sosial. Posisi sosio-kultural ini menentukan status
serta peran-peran diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
9
mencakup berbagai jenis dimensi lain -- pada tingkat praktis -- tidak cukup hanya disadari
oleh yang bersangkutan.
Dalam kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus sebagai
penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini ini benar-benar terjadi, orang Madura akan
merasa tada' ajina (seperti manusia yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada
gilirannya muncul perasaan malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan
sosbud mereka. Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta ekspresi
reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga,
kampung, desa atau kesukuan).
3.2.1 Tak Mau Dilecehkan dan Dipermalukan
Cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang
cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam
tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan.
Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan
perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya Tolang, Etembhang
Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan
menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai
sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan
perilaku andhap asor.
Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara
kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng
dadi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan
diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama
ini kurang dipahami oleh orang luar.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum
tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga
carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri.
Misalnya, menyangkut soal pagar ayu, ujar Fathur yang namanya di Bangkalan cukup
dikenal dengan panggilan Jimhur ini. Jimhur lebih rinci mengatakan, carok itu bisa
terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut
garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan,
maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan.
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
10
Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala
keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisadipastikan sang anak ketika kejadian
masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengansi pembunuh
orangtuanya. Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas
dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi
sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi
antar keluarga secara berkepanjangan, ujar Jimhur.
Hal seperti itu, lanjut Jimhur, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai
melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi
carokmassal, Pak Noer -- H Mohammad Noer, mantan Gubernur Jatim yang juga
sesepuh Madura -- turun tangan langsung. Alhamdulillah,akhirnya terselesaikan, tutur
tokoh muda yang tinggal di kawasan jalan HOS Cokroaminoto ini.
Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, katadia lebih pas kalau
dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan tak mau
dilecehkan atau dipermalukan.
Berdasar catatan Jawa Pos, beberapa bulan terakhir ini di Sampang dan
Bangkalan memang sering terjadi kasus pembunuhan. Ada Kades dibunuh warganya
lantaran anaknya dikawinkan dengan pria lain, ada juga lantaran balas dendam, seperti
pembunuhan terhadap Mat Sawi, 16 tahun, remaja asal Desa Serambeh, Kecamatan
Proppo, Pamekasan.
Madholi nekat membunuh korban, karena Pak Sin, ayahnya, 20 tahun lalu,
dibunuh H Wahab yang juga kakek Mat Sawi. Kasus pembunuhan seperti ini biasanya
orang awam mengatakan korban mati dicarok. Padahal, menurut Drs Suroso dari
LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Madura), pengertian itu amat
menyimpang dari arti dan makna carok.
Sebab, kata dia, arti carok itu sendiri adalah persambungan diri sebagai
komunikasi akhir dengan mempergunakan senjata tajam yang berupaya menjatuhkan
lawan masing-masing untuk merebutkan sosial prestise sabagai imbalan dari simpanan
tekanan perasaan yang dimiliki masing-masing pelaku. "Jadi carok itu perkelahian
satu lawan satu atau kelompok lawan kelompok. Waktunya direncanakan bersama dan
membawa senjata serta tidak ada wasit," katanya.
Mengapa mereka melakukan carok? Menurut Suroso, masyarakat Madura
mempunyai pandangan adat bahwa carok itu lambang kepahlawanan dan kebanggaan.
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
11
"Pelaku carok bermaksud menghilangkan aib akibat pola tingkah laku seseorang yang
mungkin dianggap mencemarkan martabat harga diri keluarga dan pribadi," katanya.
3.3 Menyikapi Nila – Nilai Negatif Budaya Madura.
Budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang
positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian
orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura, dan lahir citra
yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat
dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.
Kenyataan ini tampaknya memang sulit dielakkan karena dua faktor yaitu geografis
dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura
mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat
dan berhadapan langsung dengan Pulau Jawa-tempat orang Jawa mengalami proses yang
sama. Setiap bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau
pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh
karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan
Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant culture) maka dalam
ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi
tersubordinasi sekaligus termarginalkan.
Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik hampir
tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas
posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya,
mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan
mengimplementasikan nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka
akan selalu cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.
Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan
oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk
melakukan upaya ini tentu tidak terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar
budaya serta orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara
bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali
secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi
luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab, tidak mustahil banyak nilai-nilai
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
12
budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai
“terlupakan”.
Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura akan
tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura dalam hal
berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih ketika mereka harus membangun dan
menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di luar kebudayaan Madura.
Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus, sehingga
masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi termarginalkan. Bahkan, ke depan
tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru
akan muncul sebagai salah satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.
3.3.1 Mengangkat Nilai Positif Madura Melalui Nilai – Nilai Luhur Celurit
Seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang
religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya dimana sesuai
dengan julukan pulau Madura sebagai pulau seribu pesantren. Akan tetapi
keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian orang Madura tidak mengejawantah
karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti
sikap serba sangar, mudah menggunakan celurit dalam menyelesaikan masalah,
pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akibatnya,
timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.
Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang
orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan
diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra orang Madura
yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura,
ternyata hampir semua pandangannya tentang orang Madura berubah 180 derajat.
Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Madura ternyata santun,
ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Nilai-nilai positif ini perlu diangkat
untuk dilestarikan dan dikembangkan guna memperbaiki citra Madura.
3.3.2 Redefinisi, Reinterpretasi, dan Revisi Ungkapan – Ungkapan
Mengangkat nilai-nilai positif celurit ini dapat juga dilakukan dengan
meredefinisi atau mereinterpretasi ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan
keberadaan celurit dimana selama ini berkonotasi kurang baik. Ungkapan ini
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
13
contohnya yaitu Are’ kancana shalawat, dimana selama ini diartikan bahwa orang
Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan saja, sehingga membutuhkan
senjata yaitu celurit untuk menjaga diri. Secara harfiah pengertian ini memang
benar adanya, terutama menurut pandangan islam. Senjata memang merupakan alat
pertahan diri untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal ini
dicontohkan pada masa kepemimpinan rasul dan para sahabat (khalifah) dimana
dilakakukan serangkaian peperangan terbuka dengan mengangkat senjata guna
berjihad menegakkan syari’at islam.
Sayangnya semangat jihad ini tidak masuk dalam persepsi masyarakat Madura
terhadap ungkapan “are’ kancana shalawat”. Keberadaan celurit selalu dimaknai
sebagai sarana melindungi diri secara horisontal yang kenyataanya cenderung
anarkis, dan egois, bahkan brutal. Untuk itu ungkapan tersebut perlu mendapat
tambahan “….gabay ajihad” menjadi “are’ kancana shalawat gabay ajihad”.
(Celurit merupakan teman shalawat demi kepentingan jihad/berjuang di jalan
Allah). Dengan ini tentu jelas bagi masyarakat Madura yang mayoritas
penduduknya adalah muslim bahwa celurit tidak lagi dapat diartikan sebagai alat
untuk menyabet orang secara sembarangan. Penggunaan celurit harus dilandasi
oleh semangat keislaman yaitu untuk kepentingan dakwah dan demi menegakkan
syariat islam.
Contoh ungkapan lainnya yang perlu direvisi yaitu yang berhubungan dengan
persetujuan sosial terhadap tindak kekerasan di Madura melalui carok. Misalnya :
“Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. (Dibandingkan putih mata lebih baik
putih tulang = dibanding menanggung malu lebih baik mati). Ini kita berikan
penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau
tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas,
sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote
mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid”.
3.3.2 Perubahan Perilaku
Upaya membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan
perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura di manapun
berada). Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang
lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau
dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
14
membangun citra. Diantara sikap-sikap dan kebiasaan yang perlu ditinggalkan
adalah kebiasaan nyekep.
Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan
dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban
yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-
anak mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu
ulama dan para pemimpin formal.
Hal tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan silat
di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para muridnya juga
diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah perguruan pencak silat yang
cukup terkenal di Indonesia karena telah banyak mengorbitkan atlet pencak silat
nasional berprestasi, perguruan Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya
untuk memiliki jiwa ksatria karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama
seorang ksatria dari daerah Sumenep.
Perguruan silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan
clurit tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit
setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama.
(Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Karena itulah celurit harus dipandang
sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak dilakukan untuk menyabet
orang sembarangan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi
Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan lagi dilihat
semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang,
akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas
ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. (Kadarisman, 2006). "roh-roh
bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang
ditempa dari jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan
yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia jadi mengerti: wangi
yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena
celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada
halaman-halaman kitab suci. celurit itu punya siapa? amin!"
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri
Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang
15
Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan
tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar
keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran
bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura,
sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi:
“Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang
mengerti bahasa madura). Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus
diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam
kumpulan puisi Celurit Emas-nya: "Bila musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi
kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk
logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak
sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang
memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek
moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu".
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa
termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya
terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati
senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa
terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras
bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.
Carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu
seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok.
yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri.
Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri