59
Laporan Kasus II Seorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang I. IDENTITAS PASIEN Nama pasien : An. AR Umur : 5 tahun 4 bulan Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : Karangbroto 02/03 Genuk, Kota Semarang Nama ayah : Tn. S Umur : 31 tahun Pekerjaan : Karyawan bengkel Pendidikan : SMA Nama ibu : Ny. W Umur : 30 tahun Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMA Ruang : Poli Anak No. CM : 2637xx Periksa di Poli : 15 Oktober 2015 II. DATA DASAR 1. Anamnesis Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 1

Case 3 Anak Tb Paru Primer Gizi Kurang Bill

Embed Size (px)

DESCRIPTION

CASE 3 ANAK TB PARU PRIMER GIZI KURANG BILL

Citation preview

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

I. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : An. AR

Umur : 5 tahun 4 bulan

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Karangbroto 02/03 Genuk, Kota Semarang

Nama ayah : Tn. S

Umur : 31 tahun

Pekerjaan : Karyawan bengkel

Pendidikan : SMA

Nama ibu : Ny. W

Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Ruang : Poli Anak

No. CM : 2637xx

Periksa di Poli : 15 Oktober 2015

II. DATA DASAR

1. Anamnesis

Alloanamnesis dengan ayah pasien dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2015

pukul 11.00 WIB di ruang Poli Anak dengan didukung catatan medis.

Keluhan utama : Batuk terus menerus.

Keluhan tambahan : Nafsu makan turun, ada benjolan di leher.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

1

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke Poli Anak RSUD Kota Semarang karena

mengalami batuk terus menerus lebih dari 2 minggu. Batuk yang dialami berdahak, namun

anak belum dapat mengeluarkan dahak. Batuk berlangsung terus menerus sepanjang hari dan

lebih sering pada malam hari. Terkadang pasien terdengar mengik dan sesekali merasa sesak.

Selain itu, pasien juga mengalami demam yang timbul bersamaan dengan timbulnya batuk.

Demam sudah berlangsung sekitar lebih dari 2 minggu. Demam dirasakan tidak tinggi hanya

semlenget, tidak naik turun, pasien tidak sampai menggigil. Sebelumnya, ayah pasien sudah

membawa pasien ke dokter dan mendapatkan obat untuk keluhan batuk dan demamnya,

namun keluhan tidak kunjung membaik.

Ibu pasien juga mengeluh anaknya tampak lebih kurus. Ibu mengaku anaknya tidak

nafsu makan sejak sakit dan hanya mau makan sedikit. Pasien tidak mual, tidak sakit perut,

buang air besarnya normal, tidak mencret, buang air kecil juga seperti biasa, tidak sakit saat

pipis dan tidak ada darah. Selain itu anaknya selalu lemas dan kurang aktif. Selain itu pada

leher sebelah kanan anaknya timbul mrongkol atau benjolan. Benjolan yang timbul berukuran

kurang lebih satu ruas jari tangan ibu, jumlahnya satu, dapat digerakan, tidak terasa sakit

ketika ditekan dan tidak tampak merah. Ibu khawatir anaknya mengalami gondongan. Selain

di leher, tidak ada benjolan yang timbul di daereah ketiak maupun pangkal paha pasien.

Selain itu ibu juga mengaku tidak ada bengkak pada tulang maupun sendi seperti pada lutut

atau pada jari-jari anaknya.

Karena orang tua pasien khawatir sakit anaknya tidak kunjung sembuh akhirnya

pasien dibawa berobat ke dokter di Jawa Timur dan mendapatkan pengobatan flek paru untuk

bulan pertama. 3 minggu kemudian pasien baru dibawa ke Poli Anak RSUD Kota Semarang

untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

Pasien memiliki riwayat alergi (gatal-gatal pada kulit), pasien tidak punya riwayat

asma.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

2

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Riwayat Penyakit Keluarga

Kakek pasien mengalami batuk yang sudah lama dan tidak kunjung sembuh, namun

mengaku tidak pernah mau memeriksakan penyakitnya ke dokter.

Riwayat Persalinan dan Kehamilan

Anak laki-laki ke 1 dari ibu G1P1A0 , hamil 39 minggu, lahir spontan per-vaginam

ditolong bidan di puskesmas. Bayi langsung menangis saat lahir. Berat badan lahir 3200

gram, panjang badan lahir 47 cm , ibu mengaku lupa lingkar kepala dan lingkar dada pasien

saat lahir.

Riwayat Pemeliharaan Prenatal

Ibu rutin memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan terdekat. Pemeriksaan

dilakukan sejak ibu mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan 7 bulan, 1 kali setiap

bulan. Saat memasuki usia kehamilan 8 bulan, pemeriksaan dilakukan 2 kali. Selama hamil,

ibu tidak pernah menderita penyakit. Riwayat perdarahan saat hamil disangkal. Riwayat

trauma disangkal.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan postnatal dilakukan di Posyandu dan anak dalam keadaan sehat.

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan:

Berat badan lahir 3200 gram. Panjang badan lahir 47 cm. Berat badan sekarang 14,5

kg. Panjang badan sekarang 109 cm. Setiap kontrol di posyandu anak selalu dalam keadaan

sehat dan kondisi anak dicatat pada KMS.

Perkembangan

Tengkurap: 3 Bulan

Duduk: 7 Bulan

Mengoceh: 7 Bulan

Berdiri: 9 Bulan

Bicara: 1 Tahun

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

3

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Berjalan: 1 Tahun

Riwayat Makan dan Minum Anak

ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.

Sejak usia 6 bulan, sudah mulai ditambah dengan bubur susu dan bubur saring

2x/hari.

Sejak usia 7 bulan mulai makan biskuit bayi

Sejak usia 12 bulan makan 3x/hari: nasi lembek, bubur tim, sayur sop dan buah-

buahan seperti pisang dan pepaya.

Saat ini pasien makan makanan menu keluarga yang dimasak oleh ibunya 3x/hari,

namun porsi makan pasien sedikit, dan sejak sakit semakin tidak nafsu makan.

Riwayat Imunisasi

Ibu pasien lupa jenis imunisasi yang diberikan, namun mengaku pasien telah

mendapat imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal dan mendapatkan sertifikat.

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai karyawan di bengkel motor, sedangkan ibu pasien

bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan ayah tidak diketahui. Menanggung 1 orang

anak. Biaya pengobatan ditanggung sendiri oleh orang tua pasien (Umum)

Riwayat Lingkungan

Daerah tempat tinggal pasien dan keluarganya cukup padat. Tidak ada tetangga yang

mengalami sakit seperti pasien, hanya kakek pasien yang mengalami batuk lama. Sumber air

dirumah adalah air sumur yang dimasak untuk diminum. Sumber pencahayaan di rumah

cukup. Setiap hari jendela rumah dibuka sehingga sinar matahari dapat masuk ke rumah.

Barang-barang perabotan di rumah ditata dengan rapih dan rutin dibersihkan.

2. Pemeriksaan Fisik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

4

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Anak laki-laki usia 5 tahun 4 bulan, BB 14,5 Kg, Panjang badan 109cm.

Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang, batuk dan tampak lemas, status gizi

kurang.

Tanda vital :

HR : 88x/menit, reguler.

RR : 20x/menit, reguler.

Suhu : 37,6o C (axilla)

Status Internus

Kepala : Normocephali, rambut hitam tebal, tidak mudah dicabut.

Mata :Konjungtiva fleknularis tidak ditemukan.

Hidung : Tidak ada sekret, tidak ada NCH, bentuk normal.

Telinga : Tidak ada sekret, tidak ada tanda peradangan, bentuk normal.

Mulut : Tonsil T1/T1, faring hiperemis, bentuk bibir normal, tidak sianosis.

Leher : Tampak benjolan pada regio colli dextra di bawah mandibula, pada

palpasi teraba satu buah benjolan pada regio colli dextra di bawah mandibula,

ukuran kurang lebih1-2 cm, konsistensi lunak, dapat digerakan, tidak nyeri, warna

sesuai warna kulit di sekitarnya.

Thoraks :

Jantung

Inspeksi :Tidak terlihat pulsasi ictus cordis

Palpasi :Ictus cordis teraba di ICS V 2cm medial linea midklavikularis

sinistra

Perkusi :Batas jantung kanan di linea parasternal dextra, pinggang

jantung di linea parasternal sinistra ICS III

Auskultasi :Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-), gallop(-)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

5

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Paru - paru

Inspeksi :Pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi,

retraksi (-)

Palpasi :Stem fremitus simetris kanan dan kiri.

Perkusi :Sonor di kedua lapang paru.

Auskultasi :Suara nafas vesikuler +/+ , hantaran +/+, wheezing +/+, rhonki

-/-.

A bdomen

o Inspeksi : Datar

o Auskultasi : Bising usus (+) normal

o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

o Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen.

Genitalia : Laki-laki, tidak ada tanda peradangan

Anus : Tidak ada tanda-tanda peradangan.

Kulit : Sklofluroderma tidak ditemukan.

Ekstremitas :

Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di axilla maupun di inguinal.

Tidak ada pembengkakan di lutut maupun sendi-sendi jari tangan dan

kaki pasien.

Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Akral sianosis -/- -/-

Oedem -/- -/-

CRT <2’’ <2’’

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji Tuberkulin Hasil: negatif

b. Foto Thorax Gambaran TB paru primer

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

6

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Usul:

Pemeriksaan darah LED

Pemeriksaan sputum BTA bila pasien sudah dapat mengeluarkan dahak

4. Pemeriksaan Khusus

Data antropometri : Anak perempuan berusia 5 tahun 4 bulan, Berat badan 14,5 kg,

Tinggi Badan 109 cm.

WAZ = (14.5-19.3) / 2.20 = -2.18 (Berat Badan Rendah)

HAZ = (109-112,1) / 4.70 = -0.66 (Normal)

WHZ = (14.5 – 18.3) / 1.5 = -2.53 (Gizi Kurang)

Kesan: Gizi kurang, perawakan normal

Scoring TB Miller:

Riwayat Kontak: 2

Uji Tuberkulin: 0

Status Gizi: 1

Demam: 1

Batuk: 1

Pembesaran kelenjar: 1

Pembengkakkan tulang/sendi: 0

Foto Thorak: 1

Scoring TB: 7 diagnosis TB dapat ditegakkan.

III. RESUME

Telah diperiksa seorang anak laki-laki usia 5 tahun 4 bulan dengan berat badan 14.5

kg dan tinggi badan 109 cm. Dibawa orang tuanya ke Poli Anak RSUD dengan keluhan

utama batuk terus menerus dan keluhan tambahan nafsu makan anak turun dan timbul

benjolan di leher.

Riwayat Penyakit Sekarang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

7

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Pasien datang diantar kedua orang tuanya ke Poli Anak RSUD Kota Semarang karena

mengalami batuk terus menerus lebih dari 2 minggu. Batuk yang dialami berdahak, namun

anak belum dapat mengeluarkan dahak. Batuk berlangsung terus menerus sepanjang hari dan

lebih sering pada malam hari. Terkadang pasien terdengar mengik dan sesekali merasa sesak.

Selain itu, pasien juga mengalami demam yang timbul bersamaan dengan timbulnya batuk.

Demam sudah berlangsung sekitar lebih dari 2 minggu. Demam dirasakan tidak tinggi hanya

semlenget, tidak naik turun, pasien tidak sampai menggigil. Sebelumnya, ayah pasien sudah

membawa pasien ke dokter dan mendapatkan obat untuk keluhan batuk dan demamnya,

namun keluhan tidak kunjung membaik.

Ibu pasien juga mengeluh anaknya tampak lebih kurus. Ibu mengaku anaknya tidak

nafsu makan sejak sakit dan hanya mau makan sedikit. Pasien tidak mual, tidak sakit perut,

buang air besarnya normal, tidak mencret, buang air kecil juga seperti biasa, tidak sakit saat

pipis dan tidak ada darah. Selain itu anaknya selalu lemas dan kurang aktif. Pada leher

sebelah kanan anaknya timbul mrongkol atau benjolan. Benjolan yang timbul berukuran

kurang lebih satu ruas jari tangan ibu, jumlahnya satu, dapat digerakan, tidak terasa sakit

ketika ditekan dan tidak tampak merah. Ibu khawatir anaknya mengalami gondongan. Selain

di leher, tidak ada benjolan yang timbul di daereah ketiak maupun pangkal paha pasien.

Selain itu ibu juga mengaku tidak ada bengkak pada tulang maupun sendi seperti pada lutut

atau pada jari-jari anaknya.

Karena orang tua pasien khawatir sakit anaknya tidak kunjung sembuh akhirnya

pasien dibawa berobat ke dokter di Jawa Timur dan mendapatkan pengobatan flek paru untuk

bulan pertama. 3 minggu kemudian pasien baru dibawa ke Poli Anak RSUD Kota Semarang

untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

Pasien memiliki riwayat alergi (gatal-gatal pada kulit), pasien tidak punya riwayat

asma.

Riwayat Penyakit Keluarga

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

8

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Kakek pasien mengalami batuk yang sudah lama dan tidak kunjung sembuh, namun

mengaku tidak pernah mau memeriksakan penyakitnya ke dokter.

Pemeriksaan Fisik

Anak laki-laki usia 5 tahun 4 bulan, BB 14,5 Kg, Panjang badan 109cm.

Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang, batuk dan tampak lemas, status gizi

kurang.

Tanda vital :

HR : 88x/menit, reguler.

RR : 20x/menit, reguler.

Suhu : 37,6o C (axilla)

Status Internus

Kepala : Normocephali, rambut tebal, tidak mudah dicabut.

Mulut : Tonsil T1/T1, faring hiperemis.

Leher : Tampak benjolan pada regio colli dextra di bawah mandibula, pada

palpasi teraba satu buah benjolan pada regio colli dextra di bawah mandibula,

ukuran kurang lebih1-2 cm, konsistensi lunak, dapat digerakan, tidak nyeri, warna

sesuai warna kulit di sekitarnya.

Thoraks :

Paru - paru

Inspeksi :Pergerakan dinding dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi,

retraksi (-)

Palpasi :Stem fremitus simetris kanan dan kiri.

Perkusi :Sonor di kedua lapang paru.

Auskultasi :Suara nafas vesikuler +/+ , hantaran +/+, wheezing +/+, rhonki

-/-.

Ekstremitas :

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

9

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di axilla maupun di inguinal.

Tidak ada pembengkakan di lutut maupun sendi-sendi jari tangan dan

kaki pasien.

Pemeriksaan Penunjang

a. Uji Tuberkulin Hasil: negatif

b. Foto Thorax Gambaran TB paru primer

Usul:

Pemeriksaan Gen XPERT

Pemeriksaan sputum BTA bila pasien sudah dapat mengeluarkan dahak

Pemeriksaan Khusus

Data antropometri : Anak perempuan berusia 5 tahun 4 bulan, Berat badan 14,5 kg,

Tinggi Badan 109 cm.

WAZ = (14.5-19.3) / 2.20 = -2.18 (Berat Badan Rendah)

HAZ = (109-112,1) / 4.70 = -0.66 (Normal)

WHZ = (14.5 – 18.3) / 1.5 = -2.53 (Gizi Kurang)

Kesan: Gizi kurang, perawakan normal

Scoring TB Miller:

Riwayat Kontak: 2

Uji Tuberkulin: 0

Status Gizi: 1

Demam: 1

Batuk: 1

Pembesaran kelenjar: 1

Pembengkakkan tulang/sendi: 0

Foto Thorak: 1

Scoring TB: 7 diagnosis TB dapat ditegakkan.

IV. DIAGNOSA BANDING

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

10

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

o Demam > 7 hari:

TBC

Typhoid fever

ISK

Malaria

o Batuk kronik:

o TB paru

o Asma

o Bronkiektasis

o Benda asing

o Status gizi kurang

V. DIAGNOSA SEMENTARA

1. TB Paru primer

2. Status gizi kurang

V. TERAPI

o OAT:

o Fase Intensif 2 bulan + Fase Lanjutan 4 bulan 2 RHZ + 4 RH

Rifampisin (R) 10-15mg/kgBB/hari 150mg 1x1

Isoniazid (H) 5-15mg/kgBB/hari 75mg 1x1

Pirazinamid (Z) 25-35mg/kgBB/hari 375mg 1x1

o Vitamin penambah nafsu makan, misalnya Curvit 1x1 cth

o PCT syr 3x1 cth prn suhu >38.

o Diet: Tinggi kalori tinggi protein, jika anak tidak nafsu makan beri makanan yang

disukai anak. Konsul Sp.GK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

11

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

VII. PROGNOSA

o Quo ad vitam : Bonam

o Quo ad fungtionam : Dubia

o Quo ad sanationam : Dubia

VIII. NASEHAT

Menjelaskan kepada orang tua mengenai penyakit yang diderita pasien, cara

pengobatan, komplikasi, dan pencegahan penyakit tersebut.

Menjelaskan kepada orang tua mengenai pentingnya kepatuhan untuk minum obat

setiap hari sesuai aturan terutama karena pengobatan yang diberikan adalah

pengobatan jangka panjang.

Menjelaskan kepada orang tua untuk memberikan makanan yang baik dan bergizi

dan mengusahakan agar anak mau makan sehingga status gizi anak dapat

membaik.

Menjelaskan kepada orang tua mengenai bahaya penularan, dan menyarankan

agar anggota keluarga ataupun tetangga yang memiliki keluhan seperti batuk lama

untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

12

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Tinjauan Pustaka

Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan

TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan

TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf

pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ

tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB

milier atau TB ekstrapulmoner.

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak

<15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan

dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,

rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei

Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan

paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya

terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta

didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika

terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen

toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita

TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke

udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman

TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan

sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia

sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi

sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan

membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh

seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang

sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

13

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Epidemiologi

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga

penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi

di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah

yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap

merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara

berkembang maupun di negara maju.

Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan

171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6

% dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%

dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah

583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah

seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun

(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan

(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi

dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara

lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah

endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti

asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-

faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor

risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari

negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais,

diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.

Etiologi

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan

patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum

menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

14

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari

penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus,

bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis

varian humanus.

M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,

nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran

panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal

pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara

optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel

yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan

komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan

arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan

kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap

asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada

dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin,

auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah

karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi

kembali.

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma

makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat

aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung

oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2

pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.

M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan

glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu

generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid

membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan

tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3

minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas

terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

15

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

PATOGENESIS

Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai

alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme

imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag

alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian

kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag,

dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat

tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan

kompleks primer.

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama

2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi

TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh

terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih

negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil

kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler

spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi

secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

16

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,

tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi

di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan

ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau

membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke

dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah

yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai

berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman

di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.

Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami

reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

17

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)

biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru

pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik.

Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam

fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi

sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB

pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem

skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi

dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun

setelah infeksi primer.

Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga

dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai

organ.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

18

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif

dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,

dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini

berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada

tahap ini.

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6

bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura

terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada

tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal

biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar

manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan

90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.

Manifestasi klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

19

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan

gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok

dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.

Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang

dapat dialami anak yaitu:

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai

keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB

berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak

bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Manifestasi Spesifik Paru.

TB Asimptomatis

Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan

dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan

manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,

walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan

pada onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes

tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto

thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.

TB Paru Primer

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

20

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis

regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar

berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan

dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.

Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas

apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe

membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut

kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan

oleh aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran

nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non

produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda

adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.

TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks

primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan

stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent

membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,

merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis

kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke

seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam

tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan

penurunan bunyi nafas.

TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang

ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai

strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang

lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan

gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan

kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,

penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.

Efusi pleura

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

21

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,

unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan

hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung

cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi

dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung

beberapa minggu.

Pemeriksaan penunjang

Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik

yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB,

maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux

dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar

lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan

terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan

sebagai negatif.

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh

infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.

atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan

uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin

disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena

infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.

Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada

pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.

Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi

dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

22

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB.

Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada

TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental/lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma

Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,

Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada

satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.

Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik

apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan

pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung

didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan

positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan

untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.

Patologi Anatomik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

23

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,

terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut

mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.

Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan

diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda

klinis yang dijumpai.

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB  Tidak jelas  -

 

 Laporan

keluarga (BTA

negatif atau

tidak jelas)

 BTA(+)

Uji Tuberkulin

 

Negatif - - Positif (≥ 10 mm

atau ≥ 5 mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan /

Status Gizi

- BB/TB < 90% 

atau

BB/U < 80%

 

Klinis gizi

buruk

atau BB/TB <

70%

atau BB/U <

60%

-

Demam tanpa

sebab yang jelas

- ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran

kelenjar koli,

aksila, inguinal

- ≥ 1 cm, jumlah

> 1, tidak nyeri

- -

Pembengkakan

tulang / sendi

- Ada

pembengkakan

- -

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

24

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

panggul, lutut,

falang

Foto Thorak Normal/kelainan

tidak jelas

Gambaran

sugestif TB

- -

 

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka

sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus

dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau

terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran

serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

25

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis

PENATALAKSANAAN

Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain

(second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,

ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,

ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif

saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif

(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

26

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam

1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi

di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.

Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi

yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan

isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2

bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu

pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala

dan tanda klinis.

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin

diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

27

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,

menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi

oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,

siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin

umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai

digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan

dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada

saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan

dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana

asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid

aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek

samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi

klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,

anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan

diberikan bersamaan makanan.

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat

ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

28

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20

mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam

waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol

ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu

tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan

meningitis.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak

dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau

sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,

etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat

lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada

keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat

ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting

penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar

puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan

cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika

terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan

pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

29

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,

buta warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan

sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase

intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).

Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.

Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada

anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

30

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah

panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,

isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan

isoniazid.

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,

meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat

macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu

meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis

TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida

dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

Prednison

Gambar 5.2. Paduan Obat Antituberkulosis

Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2

bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak

jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

31

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah

evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada

pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya

batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka

pengobatan dilanjutkan.

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,

kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura

atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1

bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto

rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana

evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa

tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau

resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka

pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang

dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum

obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah

pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto

rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi

persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan

mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6

bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda

bermakna dengan pengobatan 6 bulan.

Evaluasi efek samping pengobatan

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering

terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,

hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksisitas.

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi

10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

32

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic

Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali

tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin

total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun

yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.

Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.

Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi

(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan

peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala

memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi

mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya

penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin

cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan

pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas

normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim

transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali

apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara

memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus

dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul

kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-

dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu.

Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang

kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus.

Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.

Multi Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua

atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

33

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen

TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada

beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,

penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak

dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak

rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa

MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap

menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di

Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB

mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan

strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya

1,6% saja.

Nonmedikamentosa

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai

dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat

ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah

satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung

terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours

(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program

penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan

TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai

berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

34

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB.

Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang

dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan

sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,

yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang

kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan

tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang

yaitu uji tuberkulin.

Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya

yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi

kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,

pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi

ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang

disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.

Pencegahan

Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis

untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah

insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus

tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

35

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang

mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,

jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi

BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada

anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,

TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif

telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi

umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah

ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi

imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,

gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat

badan optimal.

Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis

sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan

uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

36

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,

menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik

dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun

waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12

bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan

untuk menilai respon dan efek samping obat.

Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke

ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang

menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada

pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan

pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada

pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon

buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple

terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter

meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam

menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka

kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama

isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi

OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

37

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Kesimpulan

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan

Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain

dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena

dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi

sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau

berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak

naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe

superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu,

diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi,

tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.

Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB

Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan

dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat

TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid

merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan

streptomisin.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis, osteomielitis,

arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit

dapat terjadi.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

38

Laporan Kasus IISeorang anak dengan TB Paru dan Status Gizi Kurang

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta:

Depkes RI; 2007

2. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson

JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th edition.

New York: McGraw Hill; 2012nization, 2004: 46–50.

3. Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and

monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization

4. http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm Pediatrics in Review Vol. 18,

1997, No. 2, hal. 50 -58

5. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, 1996 hal. 1028 – 1043

6. 2000 Redbook, Report of the Committee on Infectious Diseases, AAP, hal. 593–

613

7. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for

Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical

Assistance, 2009.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

39