Upload
bernand-kabul-gamaliel
View
30
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
anestesi
Citation preview
LAPORAN KASUS
GENERAL ANESTESI PADA MASTEKTOMI
DENGAN ARITMIA
Pembimbing :
Dr. Ratna E. Hutapea, Sp.An
Disusun oleh :
Gracia Fensynthia (1061050089)
Febriana Venita Banjarnahor (1061050092)
Agustina Anggraeni Purnomo (1061050099)
Josua Hisar Simanjuntak (1161050132)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
PERIODE 11 MEI – 13 JUNI 2015
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
BAB I
STATUS PASIEN
1.1 Identitas pasien
Nama : Ny. SC
No. RM : 00066802
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 57 tahun
Alamat : Jl. Blok Sawo RT.002/RW.005 No. 58
Jakarta Timur
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Golongan Darah : A
Diagnosis preoperatif : Tumor Mammae Dextra
Tindakan operasi : Mastektomi
Jenis anestesi : Anestesi umum
Tanggal operasi : 29 Mei 2015
1.2 Anamnesis
Keluhan utama
Benjolan di payudara kanan dirasakan kurang lebih 10 bulan
Riwayat penyakit sekarang
Seorang wanita, 57 tahun datang ke poli bedah RS. UKI dengan keluhan
terdapat benjolan di payudara kanan sejak kurang lebih 10 bulan yang lalu.
Benjolan awalnya dirasakan sebesar telur puyuh, nyeri (+), luka (-), keluar
1
cairan dari puting (-), dan lama kelamaan membesar sampai seukuran telur
ayam kampung. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat badan
hingga 10 kg dalam beberapa bulan terakhir.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : + (tidak terkontrol tidak minum
amlodipin 5 mg selama 3 bulan)
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Operasi : insisi biopsi benjolan mammae dextra
tahun 2014
Riwayat penyakit keluarga
Ayah kandung pasien menderita sakit hipertensi dan jantung.
1.3 Pemeriksaan fisik
KU : tampak sakit ringan, compos mentis
Vital Sign : TD : 130/90 mmHg RR : 20x/menit
HR : 88x/menit Suhu : 36,50C
Airway/Respirasi : Airway clear, BND vesikuler, Rhonki -/-,
Wheezing -/-, Mallampati II, Gigi palsu (-),
Gigi goyang (-)
Sirkulasi : Akral hangat, CRT <2”, Konjungtiva anemis -/-,
BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (+),
Hipertensi (+) tidak terkontrol (tidak minum
amlodipin 5 mg selama 3 bulan)
EKG : VPC (+), RVH (+) HHD (Hipertensi
Heart Disease), Foto Thorax : Cardiomegali
Echocardiografi : LVH konsentrik dengan normal
fungsi RV dan LV, TR mild-moderate, MR mild
2
Saraf : GCS E4M6V5, Kesadaran kompos mentis,
Pupil isokor 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+
GIT : Mual (-), Muntah (-), Maag disangkal, BAB tidak
ada keluhan
Renal : BAK tidak ada keluhan, Nyeri ketok CVA -/-
Metabolik : DM disangkal
Hati : Ikterik, Hepatitis disangkal
1.4 Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Hb : 13,2 g/dl
Leukosit : 6,1 ribu/ul
Hematokrit : 42 %
Trombosit : 271 ribu/ul
Eritrosit : 4,66 juta/ul
Basofil : 0 %
Eosinofil : 2 %
Neutrofil : 71 %
Limfosit : 14 %
Monosit : 10 %
Masa perdarahan : 1,5 menit
Masa pembekuan : 4,0 menit
SGOT : 25 U/L
SGPT : 9 U/L
Ureum : 26 mg/dl
Creatinin : 0,6 mg/dl
GDS : 90 mg/dl
1.5 Status ASA : 3
1.6 Tatalaksana Anestesi
3
1. Persiapan Pre-operasi
Cek surat persetujuan operasi dan anestesi
O2 3 lpm
N2O 2 lpm
Isofluranse 1,75 vol%
IVFD 1 line : RL (total cairan masuk 300 ml)
Premedikasi:
Dormikum 2 mg
Fentanyl 100 mcg
2. Di kamar operasi
Scope : Stetoskop, Laringoskop
Tubes : ETT (cuffed) size 6 kink, fix di tepi bibir
Airway : Oropharyngeal airway
Tape : Plester untuk fiksasi
Introducer : Untuk memandu agar pipa ETT mudah
dimasukkan
Connector : Penyambung antara ETT dan alat anestesi
Suction : Memastikan tidak ada kerusakan pada alat
suction
3. Medikasi
Propofol 200 mg
Fentanyl 75 mcg
Atracurium 30 mg
Sulfas Atropin 0,2 mg
Lidokain 80 mg
Dexamethason 5 mg
Ephedrin 10 mg
Asam tranexamat 500mg
Ondansetron 4 mg
4
Ketesse 50 mg
4. Langkah Tindakan Anestesi
Persiapan alat :
a. Menyiapkan meja operasi dan aksesorisnya
b. Menyiapkan mesin dan alat anestesi
c. Menyiapkan komponen STATICS
d. Menyiapkan obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Menyiapkan obat-obat resusitasi; adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat, dll
f. Menyiapkan tiang infus, cairan infus, plester, dll
Persiapan pasien :
Jam 06.30 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor
dipasang
Jam 07.05 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur
sebagai berikut :
- Pasien berbaring posisi supine, monitor dipasang.
- Oksigen 3 lpm mulai dialirkan ke hidung pasien.
- Dilakukan premedikasi anestesi dengan pemberian dormikum 2
mg, fentanyl 100 mcg.
- Dilakukan induksi anestesi dengan propofol 200 mg intravena.
- Periksa refleks bulu mata pasien untuk mengecek kesadaran
pasien, pasang guedel setelah pasien dipastikan tidak sadar.
- Cuff dipasang dan dilakukan bantuan nafas dengan bagging.
- Oksigen 3 lpm, N2O 2 lpm, dan isoflurane 1,75% dialirkan
melalui cuff untuk rumatan anestesi.
- Dilakukan intubasi endotrakeal dengan ETT nomor 6.
- Jam 07.40 operasi dimulai, selama operasi dilakukan bagging.
- Monitoring terhadap tanda vital dan saturasi O2 tiap 15 menit.
5
- Jam 10.15 operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan.
- Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi Sa02
07.00 140/90 86 100
07.15 180/100 82 100
07.30 170/100 78 100
07.45 160/90 80 100
08.00 130/80 78 100
08.15 135/90 84 100
08.30 125/90 87 100
08.45 135/95 83 100
09.00 120/80 87 100
09.15 130/90 91 100
09.30 140/100 86 100
09.45 135/90 82 100
10.00 135/90 78 100
10.15 140/90 76 100
10.30 140/90 74 100
5. Monitoring cairan yang masuk dan keluar
a. Cairan Masuk
6
i. Pre operasi : RL 300 ml
ii. Durante Operasi : RL 500 ml
b. Cairan Keluar
i. Pre operasi : 150 ml
ii. Durante operasi :
1. Perdarahan : ±150 cc
2. Urin : 350 ml
6. Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1 : Airway paten (ekstubasi), napas spontan, RR 18 x/menit, Rh (-),
Wh (-)
B2 : Akral hangat,nadi 88 x/menit, reguler, kuat angkat, TD 140/90
mmHg, CRT< 2”, BJ I&II regular, murmur (-), gallop (+)
B3 : Kontak (+), compos mentis
B4 : Terpasang kateter, urin (+) 350cc warna kuning jernih
B5 : BU (+), luka operasi bersih
B6 : Mobilitas (+), mampu menggerakkan kedua ekstremitas atas,
sedangkan ekstremitas bawah masih belum bisa digerakkan,
edema (-), sianosis (-), anemis(-), ikterik (-), CRT<2detik
7. Post Operasi
Bila kesakitan : Ketesse 2 x 25 mg i.v
Bila mual/muntah : Ondansetron 4mg i.v
Antibiotik : sesuai instruksi operator (DPJP)
Obat-obatan lain : sesuai instruksi operator (DPJP)
Infus : sesuai instruksi operator (DPJP)
Makan/minum : bertahap bila pasien sadar penuh, bising usus (+)
Monitoring : tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan tiap
15 menit selama 2 jam
BAB II
7
PEMBAHASAN
Pada pasien Ny. SC, 57 tahun yang di diagnosa tumor mammae dextra
dengan tindakan pembedahan mastektomi, setelah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta penunjang pada kunjungan preoperatif dapat disimpulkan
status prognosisnya adalah ASA 3 dikarenakan adanya gangguan penyakit
jantung akibat hipertensi yang tidak terkontrol (Hipertention Heart Disease /
HHD) yang menyebabkan aritmia, hal ini berdasarkan pada didapatkannya
riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, adanya bunyi gallop (+) pada auskultasi
jantung, gambaran foto thorax cardiomegali, gambaran abnormal pada
elektrokardiografi (EKG) yaitu VPC (+), RVH (+), dan pada ekokardiografi
LVH konsentrik dengan normal fungsi RV dan LV, TR mild-moderate dan MR
mild. Pada saat proses anestesi umum dimulai, terlihat pada monitor frekuensi
jantung bradikardia serta gambaran EKG adanya AV blok. Sehingga pada
medikasi diberikan sulfas atropine untuk mengatasi bradiakardia dan diberikan
lidokain sebagai anti aritmia.
Laringoskopi dan intubasi endotrakheal merupakan tindakan yang banyak
dilakukan pada anestesi umum. Tindakan laringoskopi dan intubasi ini selain
dapat menimbulkan trauma, juga dapat menimbulkan gejolak kardiovaskuler
berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung dan disritmia. Hal
ini disebabkan oleh refleks simpatis yang berlebihan. Pada orang sehat respon ini
sebagian besar dapat ditoleransi, tetapi bisa berbahaya bagi penderita dengan
faktor risiko seperti hipertensi, coronary artery disease, cerebrovascular disease
dan aneurisma intrakranial.
Pemberian lidokain merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk
mengurangi gejolak kardiovaskuler. Selain pemberian lidokain ada beberapa cara
lain yang biasa digunakan untuk menekan gejolak kardiovaskuler antara lain
dengan pemberian opioid (fentanil, alfentanil, remifentanil, sufentanil),
vasodilator (sodium nitroprusid, nitrogliserin), calcium channel blocker
(diltiazem), magnesium sulfat, dan alfa 2 adrenergik agonis (clonidin,
8
deksmedetomidin). Telah banyak dilakukan penelitian bahwa lidokain intravena
terbukti bisa mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi dan
intubasi endotrakheal. Dosis lidokain yang sering digunakan adalah 1-1,5
mg/KgBB cukup efektif untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan
laringoskopi dan intubasi.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
I. Ca Mammae
Ca Mammae merupakan sekelompok sel tidak normal yang terus
tumbuh di dalam jaringan mammae(Tapan, 2005). Ca Mammae adalah kanker
yang menyerang jaringan payudara yang menyebabkan sel dan jaringan payudara
berubah bentuk menjadi abnormal dan bertambah banyak secara tidak terkendali
(Mardiana, 2004). Kanker bisa tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu,
jaringan lemak, maupun jaringan ikat pada payudara (Wijaya, 2005). Penyebab Ca
Mammae sampai saat ini belum diketahui. Namun, banyak faktor yang dapat
meningkatkan kejadian Ca Mammae, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan
hormonal.
Sel-sel kanker dibentuk sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi yang disebut inisiasi dan promosi. Menurut Price & Wilson,
pada Ca Mammae terjadi proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus
atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasia sel dengan
perkembangan sel-sel atipikal. Sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi karsinoma
in-situ dan menginvasi stroma.
Klasifikasi penyebaran TNM
T
TX : tumor primer tidak dapat ditentukan
TIS : Karsinoma insitu dan penyakit Paget pada papilla tanpa teraba tumor
TO : tidak ada bukti adanya tumor primer
T1 : tumor < 2 cm
T2 : tumor 2-5 cm
T3 : tumor >5 cm
T4 : tumor dengan penyebaran langsung ke dinding toraks atau ke kulit
dengan tanda udem, tukak, peau d’ orange
N
NX : kelenjer regional tidak dapat ditentukan
10
NO : tidak teraba kelenjer aksila
N1 : teraba kelenjer aksila homolateral yang tidak melekat
N2 : teraba kelenjer aksila homolateral yang melekat satu sama lain atau
melekat pada jaringan sekitarnya
N3 : terdapat kelenjer mamaria internal homolateral
M
MX : tidak dapat ditentukan metastasis jauh
MO : tidak ada metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh termasuk ke kelenjer supraklavikular
Keterangan:
Lekukan pada kulit, retraksi papilla atau perubahan lain pada kulit kecuali yang
terdapat pada T4 bisa terdapat pada T1, T2, atau T3 tanpa mengubah klasifikasi.
Dinding thorak adalah iga, otot interkostal, dan m. seratus anterior tanpa otot
pektoralis.
Penderita biasanya datang dengan keluhan adanya benjolan di payudara
yang dapat berupa nodul single maupun multiple, dan biasanya ada perubahan
warna pada kulit payudara atau putting susu. Pemeriksaan laboraturium yang
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Selain itu, dapat dilakukan
mammografi pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. USG biasanya
digunakan bersama mammografi, tujuannya untuk membedakan kista yang berisi
cairan atau solid. Untuk mengetahui stadium kanker digunakan pemeriksaan foto
thoraks, USG abdomen, CT Scan. Pemeriksaan biopsi jarum halus dilakukan
untuk mengetahui secara sitologi dan keganasan.
Tatalaksana Ca Mammae terdiri dari terapi pembedahan (mastektomi)
dan non pembedahan (radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormon). Pengobatan
Ca Mammae disesuaikan dengan stadium kankernya. Indikasi pembedahan yaitu
Ca Mammae stadium dini, Ca Mammae stadium lanjut lokal, keganasan jaringan
lunak pada payudara.
II. General Anestesi
11
Anestesi umumadalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan
yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan
rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor
respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.
1. Tujuan anestesi umum
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom.
2. Syarat, kontraindikasi dan komplikasi anestesi umum
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM
tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.
Sedangkan komplikasi kadang–kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik–baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular
12
berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 %
dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada
periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan
khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan
– kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau
infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah
setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu
tubuh.
PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUM
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi
sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.
Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan
buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil
pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang
dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain.
ASA III: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab.
ASA IV: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA V: Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak.
13
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam.
Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan
memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam
lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis
reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong
sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi
saliva dan saluran napas.
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
Gol. Antikolinergik: Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar
ludah, antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan
menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 –
15 menit.
Gol. Hipnotik – sedative: Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).
Diberikan untuk sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini
dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan
anak 3 – 5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang
dan efek depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.
Gol. Analgetik narkotik: Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan
ketegangan menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian
14
penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus
pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin
juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
Gol. Transquilizer: Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine.
Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.
STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia
sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai
henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian
zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss
bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan
ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya
(+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan
15
spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri
dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal.
Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman
anestesi yang berlebihan.
TANDA REFLEKS PADA MATA
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila
anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan
baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal
menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.
Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium
1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan
untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita
tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah
masuk stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon
saat kita beri rangsangan cahaya.
TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
16
Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I – II)
Lambung harus kosong
Prosedur :
Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat
penenang) efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid,
non opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi lama,
sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil
dgn durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia > 5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
17
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah
operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita
akhiri efek anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
OBAT – OBAT DALAM ANESTESI UMUM
18
Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau
inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan :
Untuk induksi
Obat tunggal pada operasi singkat
Tambahan pada obat inhalasi lemah
Tambahan pada regional anestesi
Sedasi
Cara pemberian :
Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
Suntikan berulang (intermiten)
Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a. Benzodiazepine
Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas
otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 –
0,45 mg/kg IV.
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat
menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat
secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5
mg/kg IV.
c. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic. Indikasi
pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang
sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma.
19
Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM
3 – 10 mg/kgBB.
d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi
anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi
kejang. Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.
2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu
kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan
inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar
optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% .gas ini
sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu
kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan
kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah terjadinya
hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten untuk
mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan gigi.
N2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi
dengan zat lain
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi
dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan
plastic. Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen
tidak sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut
fluotec. Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang
20
ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit untuk
induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4 volume %).
Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Secara kimiawi
mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau
tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh
penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian
medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan
sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi
otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab
isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan pemberian
propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg
fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang
dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada
pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar
labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai
untuk induksi inhalasi.
SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau
masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete Score
21
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
22
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
III. Laringoskopi dan Intubasi
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea adalah suatu tindakan untuk
menjaga jalan nafas dengan cara memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea
melalui mulut atau hidung dengan bantuan laringoskop. Pada tahun 1880 Sir
William Mac. Ewen ahli bedah Scotlandia yang pertama kali melakukan intubasi
endotrakhea tanpa melalui trakeostomi. Tahun 1895 Kirstein pertama kali
melakukan intubasi endotrakhea dengan bantuan laringoskop. Intubasi
endotrakeal merupakan hal yang rutin dilakukan oleh ahli anestesi, terutama pada
anestesi umum. Perkembangan peralatan dan pemakaian pelumpuh otot yang
disertai ketrampilan ahli anestesi menjadikan intubasi endotrakheal adalah
tindakan yang aman dan umum dilakukan dalam dunia anestesi.
Tindakan laringoskopi dan intubasi sering menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan. Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri tenggorokan,
obliterasi trakea total, pada sistem kardiovaskuler (disritmia, peningkatan tekanan
darah), sistem respirasi (spasme laring, spasme bronkus, hipoksia, hiperkarbia),
susunan saraf pusat (peningkatan tekanan intrakranial), mata (peningkatan tekanan
intraokuler), saluran pencernaan (muntah dan teraspirasinya isi lambung), dan
lain-lain. Respon tersebut terjadi akibat adanya peningkatan rangsangan simpatis
oleh karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren
laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakhea. Peningkatan
rangsangan simpatis ini akan menyebabkan kelenjar adrenal mensekresi hormone
adrenalin dan noradrenalin sehingga pada sistem kardiovaskuler akan terjadi
peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan disritmia. Cork dkk, dalam
penelitiannya mendapatkan, terjadinya peningkatan signifikan kadar plasma
23
(epinefrin, norepinefrin, dopamin) dan beta endorfin akibat tindakan laringoskopi
dan intubasi endotrakhea. Peningkatan rangsangan simpatis terhadap jantung
berupa peningkatan kecepatan timbulnya impuls pada nodus SA, peningkatan
kecepatan rangsang terhadap semua bagian jantung, serta peningkatan kekuatan
kontraksi otot jantung. Rangsangan terhadap saraf simpatis akan menyebabkan
kelenjar adrenal mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin, di mana hormon
ini akan meningkatkan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion
natrium dan ion kalsium, terhadap nodus SA akan berakibat meningkatnya
frekuensi denyut jantung. Peningkatan permeabilitas terhadap kalsium akan
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Peningkatan tekanan darah sebagai
respon sistem kardiovaskuler terhadap laringoskopi dan intubasi baik terhadap
tekanan sistolik maupun diastolik terjadi mulai 5 detik sejak tindakan
laringoskopi, mencapai puncaknya dalam 1-2 menit, dan akan kembali seperti
sebelum tindakan laringoskopi dalam waktu 5 menit. Pada orang sehat rata-rata
peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik masing-masing
lebih dari 53 dan 34 mmHg. Laju jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit.
Respon peningkatan laju jantung pada laringoskopi saja bervariasi, meningkat
pada 50% kasus. Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG
(biasanya extrasystole atau premature contraction), tetapi lebih sering terjadi pada
tindakan intubasi. Respon ini secara klinis mungkin kurang berarti pada pasien
yang sehat, tetapi dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovasculer
disease. Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik terjadi gangguan
keseimbangan antara oxygen demand and supply. Kenaikan tekanan darah dan
laju jantung akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung dan hal ini bisa
berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung. Beberapa peneliti
mengatakan pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat infark miokard,
kejadian reinfark setelah operasi lebih tinggi daripada pasien yang pada periode
intraoperatif terjadi peningkatan tekanan darah dan laju jantung. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa pengurangan gejolak kardiovaskuler akan
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
24
IV. Lidokain
Lidokain merupakan obat anestesi golongan amida, selain sebagai obat
anestesi lokal lidokain juga digunakan sebagai obat antiaritmia kelas IB karena
mampu mencegah depolarisasi pada membran sel melalui penghambatan
masuknya ion natrium pada kanal natrium.
Pemakaian lidokain di klinik antara lain sebagai: anestesi lokal, terapi aritmia
ventrikuler, mengurangi fasikulasi suksinilkolin dan untuk mengurangi gejolak
kardiovaskuler serta menekan batuk pada tindakan laringoskopi dan intubasi
endotrakheal. Dosis yang diberikan pada terapi aritmia ventrikuler (takikardi
ventrikel) adalah 1-1,5 mg/kgBB bolus intravena kemudian diikuti infus 1-4
mg/kgBB/menit.Cara ini biasanya menghasilkan kadar dalam plasma 2-6 mg/L,
bila tidak diikuti dengan infus, kadar dalam plasma akan menurun dalam 30 menit
setelah dosis bolus. Hal ini memerlukan bolus lanjutan 0,5 mg/kgBB. Untuk
mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi biasanya diberikan
dosis 1-2 mg/kgBB bolus intravena sebelum tindakan. Efek ini sebagian
disebabkan oleh efek analgesik dan efek anestesi lokal dari lidokain. Sebagai obat
anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila ditambahkan
adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB. Lidokain menyebabkan
penurunan tekanan intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek
sekunder peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak.
Farmakodinamik
Sebagai obat antiaritmia kelas IB (penyekat kanal natrium) lidokain dapat
menempati reseptornya pada protein kanal sewaktu teraktivasi (fase 0) atau
inaktivasi (fase 2), karena pada kedua fase ini afinitas lidokain terhadap
reseptornya tinggi sedangkan pada fase istirahat afinitasnya rendah. Bila
resptornya ditempati maka ion Na+ tidak dapat masuk ke dalam sel (Gambar 2-b).
Lidokain menempati reseptornya dan terlepas selama siklus perubahan
konformasi kanal Na+. Kanal sel normal yang dihambat lidokain selama siklus
aktivasi-inaktivasi akan cepat terlepas dari reseptornya pada dalam fase istirahat.
Sebaliknya kanal yang dalam keadaan depolarisasi kronis yaitu potensial
25
istirahatnya (Vm) lebih positif, bila diberi lidokain (atau penyekat kanal Na+
lainnya) akan pulih lebih lama. Dengan cara demikian, maka lidokain
menghambat aktivitas listrik jantung berlebihan pada keadaan misalnya takikardi.
Pada sistem kardiovaskuler lidokain merupakan stabilisator membrane
dengan efek elektrofisiologinya meliputi pengurangan durasi aksi potensial,
periode refrakter efektif, respon dan otomatisasi membran sistem his-purkinje dan
otot ventrikel secara bermakna, tetapi kurang berefek pada atrium. Pada penderita
26
dengan gangguan konduksi atrioventrikuler sebelumnya dapat menginduksi
blokade otot jantung total atau henti jantung. Pada blok total atrioventrikuler,
lidokain dapat menyebabkan bradikardi berat sampai asistol. Lidokain
mempunyai efek elektrofisiologi yang kecil pada jaringan jantung normal.
Sebaliknya, sebagian kanal natrium yang terdepolarisasi tetap terhambat selama
diastolik. Lidokain menekan aktivitas listrik jaringan aritmigenok yang
terdepolarisasi, sehingga lidokain dapat untuk menekan aritmia yang berhubungan
dengan depolarisasi, tetapi kurang efektif terhadap aritmia yang terjadi pada
jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium). Lidokain menekan masa kerja
potensial aksi dan masa refrakter efektif pada serabut otot ventrikel dan serabut
purkinje secara bermakna tetapi tidak berefek pada atrium. Lidokain meninggikan
nilai ambang fibrilasi ventrikel pada serabut purkinje. Lidokain meninggikan
konduksi ion K+ transmembran tetapi tidak mempengaruhi potensial istirahat.
Pada depolarisasi parsial awal potensial membran, lidokain menurunkan respon
ion Na+ pada kanal cepat yang disebabkan oleh peningkatan aliran ion K+ keluar.
Hal ini merupakan pengaruh langsung konsentrasi ion kalium ekstrasel. Sebagai
obat anestesi lokal lidokain menstabilisasi membran sel saraf dengan cara
mencegah depolarisasi pada membran sel saraf melalui penghambatan masuknya
ion natrium. Lidokain berdifusi menembus membrane yang merupakan matriks
lipoprotein terdiri dari 90% lemak dan 10% protein masuk ke dalam aksoplasma
kemudian memasuki kanal natrium dan berinteraksi dengan reseptor di dalamnya.
Lidokain bekerja pada penghambatan transmisi (salah satu rangkaian proses nyeri)
yaitu proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A delta dan serabut C tak
bermielin dari perifer ke medula spinalis.
Farmakokinetik
Lidokain hanya efektif bila diberikan intravena. Pada pemberian peroral
kadar lidokain dalam plasma sangat kecil dan dicapai dalam waktu yang lama.
Pada pemberian intravena kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 3-5
27
menit dan waktu paruh 30-120 menit. Lidokain hampir semuanya dimetabolisme
di hati menjadi monoethylglycinexylidide melalui proses dealkylation, kemudian
diikuti dengan hidrolisis menjadi xylidide. Monoethylglycinexylidide mempunyai
aktivitas 80% dari lidokain sebagai antidisritmia, sedangkan xylidide mempunyai
aktivitas antidisritmia hanya 10%. Xylidide diekskresi dalam urin sekitar 75%
dalam bentuk hydroxy-2,6-dimethylaniline. Lidokain sekitar 50% terikat dengan
albumin dalam plasma. Pada penderita payah jantung atau penyakit hati, dosis
harus dikurangi karena waktu paruh dan volume distribusi akan memanjang.
Indikasi utama pemakaian lidokain selain sebagai anestesi lokal juga dipakai
untuk mencegah takikardi ventrikel dan mencegah fibrilasi setelah infark miokard
akut. Lidokain tidak efektif pada aritmia supraventrikuler kecuali yang
berhubungan dengan sindroma wolf parkinson white atau karena keracunan obat
digitalis.
Efek Samping
Lidokain terutama bersifat toksik pada susunan saraf pusat. Efek yang
terjadi akibat toksisitas dapat berupa kejang, agitasi, disorientasi, euforia,
pandangan kabur, dan mengantuk. Kejang berlangsung singkat dan berespon baik
dengan pemberian diazepam. Secara umum bila kadar dalam plasma tidak
mencapai 9 mg/ml, maka lidokain dapat ditoleransi dengan baik.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2009.
2. Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc,
1995.
3. Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi
dan Terapi FK UI. Jakarta
4. Mallick A, Klein H, Mosse E. Prevention of cardiovascular response to
tracheal intubation. Br J Anesth; 1996: 296-77
5. Flemming DC, Orkin Fk, Kirby RR. Hazards of tracheal intubation. In:
Nikolous G, Robert RK. Complication in anesthesiology. 2nd ed.
Philadelphia: Lippincottraven; 1996: 229-37
6. Shribman AJ, Achola KJ. Cardiovascular and catecholamine responses to
laryngoscopy with and without tracheal intubation. Br J Anesth; 1997: 59:295-
99
7. Madi A, Keszler H, Yacoub JM. Cardiovascular reaction to laryngoscopy and
intubation following small and large doses of lidocaine. Can J Anesth; 1977:
24:12-90
8. Fuji Y, Saitoh Y, Shinji. Combined diltiazem and lidocaine reduces
cardiovascular response to tracheal extubation and anesthesia emergence in
hyperternsive patients. Can J Anesth; 1999: 46:952-6
9. Hung O, Understanding hemodynamic response to tracheal intubation. Can J
Anesth; 2001: 48:723-26
10. Singh M. Stress response and anesthesia altering the pre and post-operative
management. Indian J Anesth; 2003: 47:427-34
11. Stoelting RK. Cardiac antidysrhythhmic drugs. In: Stoelting RK.
Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins; 2006: 370-86
29
12. Glaaser IW, Clancy CE. Cardiac Na+ channel as therapeutic targets for
antiarrhythmic agents. In: Kass RS, Clancy CE. Basis and treatment of cardiac
arrhythmias. Berlin: Springer; 2006: 99-120
13. Takita K, Morimoto Y, Kemmotsu O. Tracheal lidocaine attenuates the
cardiovascular response to endotracheal intubation. Canadian Journal of
Anesthesia; 2001: 48:732-736
14. Muchtar A, Suyatna FD. Obat antiaritmia. Dalam: Ganiswarna S, Setiabudy
R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafriadi, editor. Farmakologi dan terapi. Edisi
4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
Gaya Baru; 1995: 289-314
15. Mardiyanto B, Moeslichan S, Satroasmoro S. Perkiraan besar sampel. Dalam:
Sastroasmoro S. Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Edisi 2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2002: 259-86
16. Sukron. Perbandingan Efek Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB Intravena dengan
Lidokain 1,5 mg/kgBB terhadap Respon Kardiovaskuler Akibat Tindakan
Laringoskopi dan Intubasi. Semarang: Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, 2009. 56 pp. Tesis.
30