43
CASE REPORT SEORANG LAKI-LAKI USIA 42 TAHUN DENGAN EPISTAKSIS ET CAUSA HIPERTENSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing: KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp. THT-KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL Diajukan Oleh: Rahma Lionita L, S.Ked J 510 155 092 1

Case Tht Manda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jhh

Citation preview

Page 1: Case Tht Manda

CASE REPORT

SEORANG LAKI-LAKI USIA 42 TAHUN DENGAN

EPISTAKSIS ET CAUSA HIPERTENSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu

Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing:

KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp. THT-KL (K), MBA., MARS., M.Si,

Audiologist

DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL

Diajukan Oleh:

Rahma Lionita L, S.Ked

J 510 155 092

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2015

1

Page 2: Case Tht Manda

CASE REPORT

EPISTAKSIS

Diajukan Oleh:

Rahma Lionita L J510155092

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari ,tanggal

Pembimbing

KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, (.................................)

Sp. THT-KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist

Pembimbing

DR.dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp.THT-KL (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :

dr.Dona Dewi Nirlawati (.................................)

2

Page 3: Case Tht Manda

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Bp. S

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kebak Kramat

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 2 Oktober 2015

No.RM : 348977

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan di bangsal Kanthil 2 RSUD Karanganyar pada tanggal 2 Oktober

2015.

Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keluhan keluar darah dari

lubang hidung sebelah kanan sejak ± 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah yang

keluar berwarna merah segar, perdarahan yang terjadi secara spontan, sulit berhenti,

kira-kira perdarahannya terjadi sekitar 10 menitan, darah juga dirasa mengalir ke

tenggorokan, dan berulang lebih dari 3 kali. Total darah yang keluar ±¼ gelas

belimbing. Darah tidak berhenti keluar walaupun pasien sudah memencet hidungnya.

Pasien mengaku tidak pernah mengalami trauma benturan maupun mengorek-

ngorek hidung. Pasien merasakan badan pasien lemas, pusing cekot-cekot setelah

mimisan. Selain itu, pasien juga mengeluh leher terasa cengeng, mual(-), dan muntah

(-). Keluhan pilek, hidung tersumbat, rasa gatal atau panas pada hidung serta

perdarahan pada bagian tubuh lain tidak dikeluhkan oleh pasien.

3

Page 4: Case Tht Manda

Pasien tidak mengekuhkan nyeri telinga, telinga berdenging disangkal,

penurunan pendengaran disangkal, telinga gatal disangkal, telinga terasa penuh

disangkal, keluar cairan dari telinga disangkal.

Keluhan lain seperti batuk, nyeri tenggorok, nyeri telan, sulit menelan, rasa gatal

ditenggorokan, rasa mengganjal ditenggorokan dan sakit gigi juga disangkal oleh

pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat keluhan serupa sebelumnya : diakui (sekitar 3 bulan yang lalu)

Riwayat batuk pilek sebelumnya : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal (pasien tidak pernah

memeriksakan diri)

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Kejang waktu kecil : disangkal

Riwayat trauma : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Kejang waktu kecil : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis :

1. Keadaan Umum : Tampak Lemas

2. Kesadaran : Compos Mentis

3. Tinggi Badan : 165 cm

4

Page 5: Case Tht Manda

4. Berat Badan : - kg.

5. Vital Sign

Tekanan Darah : 180/100

Nadi : 90x/menit

Respirasi : 24x/menit

Suhu : 36,8

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Leher : Deviasi trachea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar

limfe (-), palpasi nyeri tekan

Abdomen : Simetris, distended (-), bekas operasi (-)

Ekstremitas : Edema (-)

Thorax

Paru Hasil pemeriksaan

Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan

gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-), bentuk dada

normal

Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada

kanan dan kiri sama

Perkusi Sonor (+/+)

Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing

(-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung Hasil pemeriksaan

Inspeksi Dinding dada pada daerah pericordium tidak

cembung / cekung, tidak ada memar maupun

sianosis, ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V linea

mid clavicula sinistra

Perkusi Bunyi : redup

Batas Jantung :

Batas Kiri Jantung

5

Page 6: Case Tht Manda

^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis

sinistra.

^ Bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra

Batas Kanan Jantung

^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra

^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra

Auskultasi HR= 90 x/menit BJ I/II murni reguler, bising

systole (-), gallop (-)

B. Status Lokalis:

1. Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring

a. Inspeksi : Mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), palatum mole dalam

batas normal, tonsil T1-T1, tonsil hiperemi (-), kripte melebar (-), detritus (-),

perlengkatan (-), uvula letak ditengah, gigi caries(-).

b. Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)

2. Pemeriksaan Hipofaring dan Laring

Laringoskopi Indirect:

- Epiglotis : dalam batas normal

- Aritenoid : dalam batas normal

- Gerak plika vokalis : dalam batas normal

- Tumor : tidak ada

3. Pemeriksaan Telinga

Inspeksi

- Telinga Kanan : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),

bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-)

- Telinga Kiri : Bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-), bengkak

(-), hiperemis (-), sekret (-)

Palpasi

- AD : Tragus pain (-), manipulasi auricula tidak sakit

- AS : Tragus pain (-), manipulasi auricula tidak saki

Otoskopi:

6

Page 7: Case Tht Manda

Teliga Kanan : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani

utuh, disc (-)

Telinga Kiri : CAE udem (-), hiperemis (-), serumen minimal, membran timpani

utuh, disc (-)

Telinga Kanan Telinga Kiri

Tes Rinne : AD/AS (+/+) Tes Rinne : AD/AS (+/+)

Tes Weber : tidak ada

lateralisasi

Tes Weber : tidak ada

lateralisasi

Tes Swabach : sama dengan

pemeriksa

Tes Swabach : sama dengan

pemeriksa

Kesimpulan : Tidak ada kelainan pendengaran

4. Pemeriksaan Hidung

a. Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), sekret (-), edema(-)

b. Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)

c. Rinoskopi Anterior :

- ND: Kavum nasi lapang (+), sekret darah mengalir (+), sumber

perdarahan sulit dievaluasi, mukosa hiperemis (+), concha media dan

inferior hipertrofi (-), septum deviasi (-), discharge (-), udem (-), masa di

rongga hidung (-).

- NS: Kavum nasi lapang (+), mukosa hiperemis (-), concha media dan

inferior hipertrofi (-), concha inferior hiperemis (-), septum deviasi (-),

udem (-), massa dirongga hidung (-)

d. Rinoskopi Posterior

- Dinding belakang : tidak ada kelainan

- Muara tuba eustachii : tidak ada kelainan

- Adenoid : tidak ada kelainan

- Tumor : tidak ada

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

7

Page 8: Case Tht Manda

Laboratorium

2 Oktober 2015

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 9,2 (L) 14,00 – 18,00 g/dl

Hematokrit 28,5 (L) 42,00 – 52,00 %

Leukosit 9,58 5-10 103/ ul

Trombosit 269 150-300 103/ ul

Eritrosit 3,89 4,50 – 5,50 103/ ul

MPV 7,7 6,5 – 12,00 fL

PDW 15,3 9,0 – 17,0

INDEX

MCV 71,6 (L) 82,0 – 92,0 fL

MCH 23,1 (L) 27,0 – 31,0 Pg

MCHC 32,3 32,0 – 37,0 g/dl

HITUNG JENIS

Limfosit% 26,8 25,0 – 40,0 %

Monosit% 2,5 (L) 3,0 – 9,0 %

Eosinofil% 1,1 0,5 – 5,0 %

Basofil% 0,6 0,0 – 1,0 %

Gran% 57,7 50,0 – 70,0 %

GULA DARAH

Glukosa Darah

Sewaktu

84 70-150 mg/dl

Endoskopi

8

Page 9: Case Tht Manda

9

Page 10: Case Tht Manda

Dari hasil endoskopi di dapatkan sumber perdarahan berasal dari a.spenopalatina

D. DIAGNOSIS KLINIS

10

Page 11: Case Tht Manda

Epistaksis Posterior et causa Hipertensi stage II

E. TATALAKSANA

1. Tindakan penghentian perdarahan: tampon perdarahan

2. Medikamentosa

- Inf. RL 20 tpm

- Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam

- Inj. Asam traneksamat 500mg/ 12 jam

- Inj. Norages 1amp / 8 jam

- Amlodipin 1x10mg

- Captopril 2x25mg

Observasi KU dan Vital sign serta epistaksis berulang

F. PROGNOSIS

Ad vitam : Ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Ad fungtionam : Ad bonam

BAB II

11

Page 12: Case Tht Manda

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Perdarahan Hidung

a. Hidung luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan puncak di bagian atas dan dasar di bawah.

Bagian-bagiannya yaitu (Soetjipto dkk, 2007):

Pangkal hidung (nasal bridge)

Batang hidung (dorsum nasi)

Puncak hidung (tip)

Ala nasi

Kolumela

Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan kartilago yang dilapisi kulit,

jaringan ikat, dan otot-otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Bagian 1/3 atas hidung luar merupakan kerangka

tulang yang terdiri dari dua tulang hidung (os. nasal) yang bertemu di bagian tengah

12

Page 13: Case Tht Manda

dan bertumpu pada prosesus nasalis dari tulang frontalis yang juga bertumpu pada

prosesus frontalis dari tulang maksila (Soetjipto dkk, 2007).

Bagian 2/3 bawah merupakan kerangka kartilago yang terdiri dari kartilago

lateralis atas dan bawah.(kartilago alar), kartilago lesser alar (sesamoid), dan kartilago

septum. Kartilago lateralis atas membentang dari batas bawah kerangka tulang hingga

kartilago alar di bagian bawah. Keduanya berfusi dengan batas atas kartilago septum

di bagian tengah. Masing-masing kartilago alar berbentuk U, dengan krus lateral yang

membentuk ala nasi, dan krus medial yang berjalan sepanjang kolumela. Terdapat 2-4

kartilago lesser alar yang masing-masing dihubungkan oleh perichondrium dan

periosteum, dan terletak di lateral dari kartilago alar. Kartilago septum terbentang dari

batas bawah kerangka tulang hingga ke puncak hidung (tip). Ia berfungsi sebagai

penyangga kerangka kartilago dari dorsum nasi (Soetjipto dkk, 2007).

Gambar 2. Kerangka tulang dan kartilago hidung

b. Hidung dalam

Hidung dalam dibagi menjadi 2 kavum oleh septum nasal. Masing-masing

kavum berhubungan dengan lingkungan melalui nares di bagian anterior dan

berhubungan dengan nasofaring melalui koana di bagian posterior. Tepat di belakang

nares, terdapat area berlapiskan kulit yang dinamai vestibulum yang mengandung

banyak kelenjar sebaseus dan bulu hidung atau vibrise. Bersambung ke belakang, area

berlapiskan mukosa yaitu kavum nasi.

13

Page 14: Case Tht Manda

Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior, dan superior. Pada dinding lateral terdapat 3 buah konkha atau turbinatum

yaitu proyeksi tulang berbentuk gulungan ke arah medial dilapisi oleh membran

mukosa. Ruang dibawah setiap konkha dinamakan meatus.

i. Konkha Inferior

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila

dan labirin etmoid. Di bagian bawahnya terdapat meatus inferior yang merupakan

muara dari saluran nasolakrimalis yang dijaga pada ujungnya oleh katup mukosa,

katup Hasner.

ii. Konkha Media

Konka media merupakan bagian dari tulang etmoid, dan menempel ke dinding

lateral hidung oleh lamella tulang dinamakan lamella basal. Di bagian bawah terdapat

meatus media, yang merupakan muara dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus

etmoid anterior (Soetjipto dkk, 2007).

iii. Konkha Superior

Konka superior juga masi merupakan bagian dari tulang etmoid, dan terletak

di posterosuperior dari konka media. Di bagian bawah terdapat meatus superior yang

merupakan muara dari sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

14

Page 15: Case Tht Manda

Gambar 3. Dinding lateral kavum nasi

c. Perdarahan hidung

Kedua sistem arteri karotis eksterna dan interna mendarahi hidung, baik

septum dan dinding lateral. Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika

yang kemudian bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior.

Cabang etmoidalis anterior dan posterior menyuplai sinus palatina mayor menyuplai

sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan arteri sfenopalatina dan

arteri palatina mayor merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna yang

menyuplai darah pada konka, meatus dan septum nasalis (Soetjipto dkk, 2007).

Pada bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,

a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut pleksus

Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach terletak superfisial sehingga mudah

cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis pada anak.

15

Page 16: Case Tht Manda

Tabel 1. Perdarahan pada septum dan dinding lateral kavum nasiSistem arteri karotis Septum Dinding lateral

Interna Cabang dari a. ophtalmika:

- A. etmoid anterior

- A. etmoid posterior

Cabang dari a. ophtalmika:

- A. etmoid anterior

- A. etmoid posterior

Eksterna - A. sfenopalatina, cabang

dari a. maksilaris

- Cabang septal dari a.

palatina mayor (cabang a.

maksilaris)

- Cabang septal dari a.

labial superior (cabang a.

fasial)

- cabang nasal

posterolateral dari a.

sfenopalatina

- A. palatina mayor dari a.

maksilaris

- Cabang nasal dari dental

anterosuperior dari cabang

infraorbital dari a.

maksilaris

- Cabang dari a. fascialis

ke vestibulum nasal

16

Page 17: Case Tht Manda

Gambar 4. Perdarahan pada septum2

17

Page 18: Case Tht Manda

Gambar 5. Perdarahan pada dinding lateral kavum nasi

d. Persarafan hidung

i. Nervus Olfaktorius (CN I)

Saraf ini membawa sensasi bau dan menyuplai daerah olfaktorius dari

hidung. Ia merupakan filamen-filamen sentral dari sel-sel olfaktorius dan tersusun

sebanyak 12-20 buah yang turun melalui lamina kribriformis dan berakhir pada

bulbus olfaktorius. Saraf ini dapat membawa lapisan duramater, arachnoid dan

18

Page 19: Case Tht Manda

piamater ke rongga hidung sehingga cedera pada saraf ini dapat menimbulkan

kebocoran pada ruang cairan serebrospinal sehinga menyebabkan rinorrea cairan

serebrospinal dan meningitis.

ii. Persarafan sensoris

- N. Etmoidalis anterior

- Cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina

- Cabang-cabang dari nervus infraorbita

Sebagian besar yaitu 2/3 bagian posterior hidung baik dinding lateral dan

septum dipersarafi oleh cabang-cabang dari ganglion sfenopalatina. Saraf ini dapat

diblok dengan meletakkan kapas yang direndam larutan anestesi di dekat foramen

sfenopalatina, di belakang konka media. Saraf etmoidalis anterior mempersarafi

bagian superior dan anterior rongga hidung baik dinding lateral dan septum yang

dapat diblok dengan meletakkan kasa tinggi ke dalam tulang hidung tempat

masuknya saraf tersebut.

iii. Persarafan otonom

Serat-serat saraf parasimpatis mempersarafi kelenjar-kelenjar di hidung

dan mengontrol sekresi hidung. Mereka berasal dari n. petrosal superfisial mayor,

berjalan dalam saraf dari kanal pterygoid (n. vidian) dan mencapai ganglion

sfenopalatina hingga kavum nasi. Mereka juga menyuplai pembuluh darah dari

hidung dan menyebabkan vasodilatasi.

Serat-serat saraf simpatis berasal dari korda spinalis dari 2 segmen thoraks

atas, berjalan melalui ganglion servikal superior, ke dalam n. petrosal dan

bergabung dengan serat saraf parasimpatis dan kemudian membentuk saraf dari

kanal pterygoid (n. vidian). Meraka mencapai kavum nasi tanpa masuk ke dalam

19

Page 20: Case Tht Manda

ganglion sfenopalatina. Mereka mengkonstriksikan pembuluh darah. Rinorrea

eksesif pada kasus rhinitis vasomotor dan alergi dapat dikontrol oleh n. vidian.2

Gambar 6. Persafaran hidung

20

Page 21: Case Tht Manda

2. Epistaksis

A. Definisi

Istilah ‘epistaksis’ adalah bahasa latin yang berasal dari bahasa Yunani,

epistazen (epi-diatas, stazein-menetes) (Sarhan dan Algamal, 2015). Epistaksis adalah

keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain,

penyebabnya bisa lokal maupun sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan

bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal

dari bagian depan atau bagian belakang hidung (Mangunkusumo, 2007).

B. Epidemiologi

Epistaksis diperkirakan terjadi pada 7 – 14% populasi umum tiap tahun.

Prevalensi sebenarnya tidak diketahui disebabkan kebanyakan kasus dapat sembuh

sendiri dan tidak dilaporkan. Angka kejadian epistaksis meningkat pada anak-anak

umur dibawah 10 tahun, dan dewasa di atas 50 tahun. Laki-laki lebih sering

mengalami epistaksis dibanding wanita. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada

anak-anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada

usia yang lebih tua, terutama pada laki-laki dekade 50 dengan penyakit hipertensi dan

arteriosklerosis. Epistaksis lebih sering terjadi pada musim dingin. Hal ini mungkin

disebabkan peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering

akibat pemakaian pemanas. Epistaksis juga sering terjadi pada iklim yang panas

dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung, dan

penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis karena mukosanya lebih mudah kering

dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi (Nguyen, 2015).

C. Klasifikasi

Epistaksis dibedakan menjadi 2 atas dasar sumber pendarahan, yaitu :

Epistaksis Anterior

Kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior dan

merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Bisa juga

berasal dari a. etmoidalis anterior. Perdarahan ini disebabkan karena keadaan mukosa

yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung. Perdarahan ini biasanya ringan tapi

21

Page 22: Case Tht Manda

sering berulang dan dapat berhenti sendiri (spontan) atau dikendalikan dengan

tindakan sederhana seperti memencet hidung (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

Epistaksis Posterior

Dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

Perdarahan cenderung lebih hebat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat

menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan

kelainan kardiovaskuler seperti hipertensi, atau arteriosklerosis (Mangunkusumo dan

Wardani, 2007).

D. Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya.

Namun kadang-kadang jelas disebabkan oleh trauma. Perdarahan hidung diawali

dengan pecahnya pembuluh darah di selaput mukosa hidung. Sebanyak 80% kasus

perdarahan berasal dari pembuluh darah pleksus Kiesselbach (Mangunkusumo dan

Wardani, 2007).

Secara umum epistaksis dapat disebabkan oleh sebab-sebab lokal seperti

trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital dan bisa juga disebabkan oleh

keadaan umum atau kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan

darah, infeksi, perubahan tekanan atmosfir dan gangguan endokrin (Mangunkusumo

dan Wardani, 2007).

1. Lokal

a. Trauma

Biasanya karena usaha mengeluarkan sekret dengan menghembus kuat,

bersin terlalu sering, mengorek hidung, atau trauma seperti terpukul, operasi

intranasal, fraktur pada 1/3 wajah dan dasar tengkorak. Selain itu iritasi oleh gas

yang merangsang dan trauma pada pembedahan bisa juga menyebabkan

epistaksis.

b. Infeksi

Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis, serta

granuloma spesifik seperti tuberkulosis, sifilis, lepra, dan lupus dapat

menyebabkan epistaksis.

22

Page 23: Case Tht Manda

c. Neoplasma

Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan

intermiten, kadang-kadang disertai mukus yang bernoda darah. Hemangioma,

karsinoma,dan angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah

teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis

Osler’s Disease). Pasien ini juga menderita teleangiektasis di tangan, wajah, atau

bahkan di traktus gastrointestinal atau di pembuluh darah paru.

e. Benda asing dan perforasi septum

Perforasi septum dan benda asing hidung dapat menjadi predisposisi

perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau

perforasi akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan

aliran sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha pelepasan krusta

dengan jari dapat menimbulkan trauma. Pengeluaran krusta berulang

menyebabkan erosi membran mukosa septum yang menyebabkan perdarahan.

f. Faktor lingkungan

Misalnya tinggal di daerah tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan

udaranya sangat kering.

2. Sistemik

a. Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis, misalnya trombositopenia, hemofilia

dan leukemia. Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon

dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.

b. Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,

nefritis kronis, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan

epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan

prognosinya kurang baik.

23

Page 24: Case Tht Manda

c. Infeksi sistemik

Paling sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah dengue,

selain itu juga morbili, demam tifoid dan influensa dapat juga disertai adanya

epistaksis.

d. Gangguan endokrin

Wanita hamil, menarche dan menopause sering juga dapat menimbulkan

epistaksis.

e. Perubahan udara dan tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang

cuacanya sangat dingi atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat

kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa, juga karena

perubahan tekanan atmosfir seperti pada Caisson Disease pada penyelam.

(Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

E. Penegakan diagnosis

Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab

perdarahan. Keadaan umum, tensi, pernafasan dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang

diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat

penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu

pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis (Mangunkusumo dan Wardani,

2007).

a. Anamnesis

Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang

cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut (Adams dkk, 1997):

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir kedalam tenggorokan (posterior) ataukah

keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecenderungan perdarahan

6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

7. Hipertensi

24

Page 25: Case Tht Manda

8. Diabetes mellitus

9. Penyakit hati

10. Penggunaan antikoagulan

11. Trauma hidung yang belum lama

12. Obat-obatan, misal: aspirin, fenilbutazon (butazolidin)

Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh

mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat

pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma

terperinci.

Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.

Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan

penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.

Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin

ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan

senyawa lain yang banyak digunakan yang mengubah fungsi pembekuan secara

bermakna.

b. Pemeriksaan Fisik

Pertama hidung harus dibersihkan dari bekuan darah atau debris secara

memuaskan dengan alat penghisap. Kedua harus dioleskan senyawa vasokonstriktif

seperti efedrin atau kokain 5% yang akan mengerutkan mukosa hidung sehingga

memberikan evaluasi yang lebih baik dan bahkan menghentikan perdarahan

sementara waktu.

Pemeriksaan harus dilakukan dalam cara teratur dari anterior ke posterior.

Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan concha

inferior harus diperiksa cermat. Pemeriksaan hidung tidak lengkap jika tidak

dilakukan nasofaringoskop tak langsung. Pemeriksaan rhinoskopi posterior kadang-

kadang akan memperlihatkan sumber epistaksis posterior.

Bila tempat perdarahan dikenali, ia harus didokumentasi dalam rekam medis

dengan gambaran sederhana. Bila mungkin, kemudian dokter seharusnya mencoba

mengendalikan perdarahan dengan tindakan lokal: yaitu kauterisasi atau penempatan

senyawa hemostatik atau tampon hidung anterior.

25

Page 26: Case Tht Manda

Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.

Tes diagnostic seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat

perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika kemungkinan adanya koagulopati

sistemik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini

abnormal, maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika masa terlihat

pada pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan atau CT-scan untuk

menggambarkan luas lesi ini.

F. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah

berulangnya perdarahan.

Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,

pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya

dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,

perlu dibersihkan atau dihisap (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

a. Menghentikan Perdarahan

Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan

tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis

berhenti dengan sendirinya.

Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya

dengan menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan

sebuah cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang

menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat

dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan

(metode Trotter) (Pope dan Hobs, 2005).

Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa

dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan

meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.

Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk

membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah

dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke

26

Page 27: Case Tht Manda

dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri

pada waktu tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan

cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior

atau di bagian posterior (Mangungkusumo dan Wardani, 2007).

i. Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak

berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba

dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali

berhasil. Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi

kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang

bekuan darah dapat di aspirasi (Anton, 2007). Bila sumbernya terlihat tempat asal

perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam

Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada

kedua sisi septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua

sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah

yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan

pembentukkan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa

saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus.

Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang

sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien

kemudian akan mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai

lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan

mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi

septum.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan

pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau

salap antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin,

berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga

keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna

27

Page 28: Case Tht Manda

agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon

dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.

Gambar 7. Pemasangan tampon anterior

Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus

dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Jika lokasi perdarahan telah ditemukan,

vasokonstriktor harus diberkan bersamaan dengan obat-obat topikal seperti larutan

kokain 4% atau oxymetazolin atau phenylephrine. Perdarahan yang lebih aktif perlu

diberikan anestesi topikal yang adekuat. Obat-obat intravena bisa diberikan pada

kasus yang sulit atau pada penderita yang cemas.

ii. Perdarahan Posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau

tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan usuran 3x2x2 cm dengan mempunyai 3 buah

benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus

menutup koana(nares posterior).

28

Page 29: Case Tht Manda

Gambar 8. Pemasangan tampon Bellocq

Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares

anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.

Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi

tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar

melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu

mendorong tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu

dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang

diletakkan didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak

bergerak. Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon

Bellocq, diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui

mulut estela 2-3 hari.

Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan

pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri

etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat

kantus medialis dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding

medial orbita. Ligasi arteri maksila interna yang tetap difosa pterigomaksila dapat

dilakukan melalui operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior

sinus maksila.

G. Komplikasi

Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha

penanggulangannya. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.

Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi

koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan

pemberian infus atau transfusi darah. Komplikasi lain terjadi aspirasi yaitu darah

tersedak masuk ke dalam paru-paru (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).

Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinustis, otitis media, bahkan

septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberikan

antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meskipun akan dipasang tampon baru

29

Page 30: Case Tht Manda

bila masih berdarah.1,8 Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum sebagai akibat

mengalirnya darah retrograd melalui tuba Eustachius dan air mata yang berdarah

(bloody tears) sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus

nasolakrimalis. Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi

palatum mole dan sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.

H. Prognosis

Sebanyak 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien

hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh

dan prognosisnya buruk.

30

Page 31: Case Tht Manda

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 1997. Epistaksis. Boies: Buku Ajar Penyakit THT

(Boies fundamentals of otolaryngology). Edisi ke- 6. Jakarta: EGC, hal; 224-239.

Anto, 2007. Epistaxis. RCH CPG. Diakses dari : http:// www.rch.org.au/clinicalguide

/cpg.cmf?doc_id=97 49. Tanggal akses : 19 Oktober 2015.

Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu. Dalam:

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai

Penerbit FK-UI.

Nguyen, Q.A. 2015. Epistaxis. California: Departement of Otolaryngology-Head and Neck

Surgery, University of California. http://emedicine.medscape.com/article/863220-

overview (diakses tanggal 18 Oktober 2015).

Pope L.E.R., Hobbs C.G.L., 2005. Epistaxis un update on current management. Department

of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. www.epistaxis

management.com/ent/topic 701.html

Sarhan, N.A., Algamal, A.M. 2015. Relationship between epistaxis anda hypertension: A

cause and effect or coincidence. J Saudi Heart Assoc. 2015;27-84.

31

Page 32: Case Tht Manda

Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Hidung. Dalam: Soepardi, E.A.,

Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

32