49
BAB I PENDAHULUAN 1.1. JUDUL KAJIAN TEKNIS GEOMETRI PEMBORAN DAN PELEDAKAN PADA OPERASI CAST BLASTING UNTUK MEMAKSIMALKAN PROSENTASE PRIME DI TAMBANG BATUBARA PT.BERAU COAL 1.2. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Penambangan Batubara dengan mengupas terlebih dahulu overburden diatasnya adalah system yang lebih disukai saat ini. Lapisan overburden biasanya terdiri dari lapisan batupasir (sandstone), batulanau (siltstone) dan jenis batuan sediment lain yang secara fisik cukup keras. Melihat sifat fisik overburden yang demikian, tidak mungkin pengupasannya dilakukan langsung dengan oleh peratan mekanis, seperti dragline, excavator atau shovel. Peledakan adalah cara pertama yang harus ditempuh, kemudian fragmentasinya dipindahkan oleh dragline kelokasi tumpukan yang telah direncanakan, sehingga lapisan batubara dapat tersingkap. Masalah yang kemudian muncul adalah bagaimana pengupasan overburden itu dapat berlangsung cepat, ekonomis, effisien dan ramah lingkungan.

Cast Blasting

Embed Size (px)

DESCRIPTION

blasting

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. JUDUL

KAJIAN TEKNIS GEOMETRI PEMBORAN DAN PELEDAKAN

PADA OPERASI CAST BLASTING UNTUK MEMAKSIMALKAN

PROSENTASE PRIME DI TAMBANG BATUBARA PT.BERAU COAL

1.2. ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Penambangan Batubara dengan mengupas terlebih dahulu overburden

diatasnya adalah system yang lebih disukai saat ini. Lapisan overburden biasanya

terdiri dari lapisan batupasir (sandstone), batulanau (siltstone) dan jenis batuan

sediment lain yang secara fisik cukup keras. Melihat sifat fisik overburden yang

demikian, tidak mungkin pengupasannya dilakukan langsung dengan oleh peratan

mekanis, seperti dragline, excavator atau shovel. Peledakan adalah cara pertama yang

harus ditempuh, kemudian fragmentasinya dipindahkan oleh dragline kelokasi

tumpukan yang telah direncanakan, sehingga lapisan batubara dapat tersingkap.

Masalah yang kemudian muncul adalah bagaimana pengupasan overburden itu dapat

berlangsung cepat, ekonomis, effisien dan ramah lingkungan.

Apabila pada operasi peledakan jenjang lemparan fragmen batuan diusahakan

berkumpul tidak jauh dari bidang bebas, tetapi pada peledakan overburden diatas

lapisan batubara justru sebaliknya, hasil peledakan diusahakan terlempar jauh

daribidang bebas dan jatuh diluar batas lapisan batubara. Cast Blasting merupakan

suatu metoda peledakan lapisan overburden dengan memperhitungkan lemparan

projektil sejauh mungkin, sehingga prosentase prime dapat diraih. Prime adalah

tumpukan hasil peledakan yang terpisah dari lapisan batubara dan tidak memerlukan

pemindahan kembali oleh dragline. Dengan demikian makin besar prime akan

meringankan pekerjaan dragline untuk memindahkan hasil peledakan yang tersisa

diatas lapisan batubara.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melakukan kajian secara

teknis terhadap rancangan geometri pemboran dan peledakan pada opersi cast

blasting agar hasil lemparan projektil dapat sejauh mungkin, sehingga prosentase

prime dapat diraih.

1.4. RUMUSAN MASALAH

Dengan pola pemboran dan peledakan yang diterapkan pada perusahaan saat

ini, akan dikaji secara teknis sehingga dapat diketahui sejauh mana keefektifan dari

pola tersebut terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada area kerja. Sehingga

dari sini diharapkan dapat menghasilkan pola pemboran dan peledakan yang optimal

untuk pengupasan overburden, dengan memperhatikan parameter-parameter pada

cast blasting.

BAB II

ANALISIS MASALAH

2.1. DASAR TEORI

Cast Blasting merupakan suatu metode peledakan lapisan overburden dengan

memperhitungkan lemparan projektil sejauh mungkin, sehingga prosentase prime

dapat diraih. Prime adalah tumpukan hasil peledakan yang terpisah dari lapisan

batubara dan tidak memerlukan pemindahan kembali oleh dragline. Dengan

demikian, makin besar prime maka akan meringankan pekerjaan dragline untuk

memindahkan hasil peledakan yang tersisa diatas lapisan batubara.

2.1.1. PARAMETER TETAP PADA CAST BLASTING

Parameter tetap adalah parameter yang dipengaruhi oleh kondisi alamiah

batuan, misalnya struktu geologi, sifat fisik dan mekanik mbatuan, tinggi jenjang dan

ketebalan serta kemiringan lapisan batubara.

2.1.1.1 Karakteristik Batuan

Terdapat tiga faktor geologi yang penting untuk diperhitungkan, yaitu spasi

retakan vertical (retakan yang tidak tersemen), Modulus elastisitas atau Young’s

Modulus dan density batuan.

1. Spasi Retakan Vertikal

Pengaruh spasi retakan vertical karena dapat menahan pergerakan awal

batuan setelah terdetonasi akibat pengurangan energi kinetic dalam proses gesekan

antar partikel. Efek ini akan bertambah bila spasi retakan relative sama dengan pola

pemboran, sehingga jarak lemparan fragmentasi tidak jauh. Untuk mempermudah

estimasi intensitas spasi retakan vertical, maka spasi tersebut dibandingkan dengan

rancangan burden. Berikut ini tabel pengaruh spasi retakan terhadap kondisi

lemparan fragmentasi :

Tabel 2.1

Pengaruh Spasi Retakan Terhadap Kondisi Lemparan Fragmentasi

Spasi retakan horizontal tidak begitu kritis terhadap jarak lemparan

fragmentasi, tetapi pengaruhnya terhadap pelepasan energi gas premature dari kolom

lubang tembak yang dapat mengurangi daya dorong fragmen batuan.

Pada massa batuan yang kompeten (kompak) sangat penting untuk

mempertahankan ukuran burden yang sama pada deret lubang tembak bagiandepan.

Massa batuan yang tidak kompak sangat mudah terjadeinya fragmentasi yang besar

atau berbentuk lembaran, sehingga jarak lemparan akan dekat dengan bidang bebas.

Disamping itu pada kondisi batuan yang kompak besar kemungkinan juga terjadi toe,

yang akan memperlebar burden dibagian bawah bidang bebas. Apabila hal ini terjadi,

perlu dilakukan prespliting terlebih dahulu agar bagian muka (front) bidang bebas

relative rata, sehingga ukuran burden akan sama disepanjang front.

2. Modulus Elastisitas

Harga Modulus Elastisitassebagai salah satu indicator sempurna tidaknya

energi bahan peledak digunakan untuk menghancurkan dan mendorong fragmentasi.

Energi kejut akan menghancurkan batuan sehingga terjadi fragmentasi dan energi gas

akan mendorong fragmentasi tersebut terlempar keudara bebas.

Spasi Retakan Batas Lemparan

< 0,5 x burden Tidak terkontrol

0,5 – 1,5 x burden Cukup berarti

> 1,5 x burden Minimal

Modulus Elastisitas rendah berarti massa batuan lunak akan banyak menyerap

energi kejut yang berakibat ukuran fragmentasi besar-besar. Hal ini jelas akan

memperberat energi gas untuk melemparkan hasil peledakan tersebut. Sebaliknya

pada harga Modulus Elastisitas tinggi, batuan akan lebih elastis dan cenderung

menahan tekanan bahan peledak. Hasilnya tekanan energi akan optimal dan

fragmentasi pun akan terlempar jauh. Berikut ini tabel pengaruh Modulus Elastisitas

terhadap kondisi lemparan fragmentasi.

Tabel 2.2

Pengaruh Modulus Elastisitas Terhadap Kondisi Lemparan Fragmentasi

3. Density Batuan

Density adalah berat batuan per volume artinya makin besar density akan

semakin berat batuan tersebut dibandingkan density yang rendah untuk volume yang

sama. Sehingga dapat diekuivalensikan bahwa kecepatan permukaan proposional

dengan density batuan. Batuan dengan density tinggi cenderung memiliki powder

factor yang tinggi untuk melemparkan fragmentasi hasil peledakan.

2.1.1.2 Tinggi Jenjang

Parameter ini biasanya dikontrol oleh faktor geologi atau pertimbangan

keselamatan kerja. Sebenarnya makin tinggi jenjang akan memberikan lemparan

fragmentasi yang lebih baik, alasannya sebagai berikut :

1. Tinggi jenjang akan menambah jarak lempar projektil batuan

Modulus Elastisitas Batas Lemparan

< 8 Gpa Lemparan terbatas

8 – 30 Gpa Lemparan masih dapat diterima

> 30 Gpa Lemparan memuaskan

2. Kenyataanya efek tahanan dari bagian dasar terhadap seluruh kolom

lubang tembak relative kecil

3. Jenjang yang tinggi sudah mempunyai porsi yang cukup berarti terhadap gaya

tarik karena kurangnya tahanan lateral, sehingga memungkinkan tekanan

peledakan seolah-olah bekerja secara alami

Pengertian jenjang yang mampu meraih jarak lemparan yang baik dinyatakan

dengan ratio yinggi jenjang/ burden (L/B), diberikan oleh tabel 3.

Tabel 2.3

Less of bench height charged Greater effect of toe drag Reduced trajectory

Ground in partial tension Greater trajectory

(b) jenjang yang rendah

(a) jenjang yang tinggi

Gambar 2.1

Efek Tinggi Jenjang Terhadap Lemparan Fragmentasi

Ratio L/B Lemparan Relatif

< 1,5 Jelek

1,5 – 2,5 Sedang

> 2,5 Baik

2.1.2. PARAMETER BERUBAH PADA CAST BLASTING

Parameter berubah maksudnya adalah parameter parameter teknis dari

rancangan geometri pemboran dan peledakan.

2.1.2.1. Geometri Pemboran

Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang

tembak, kemiringan lubang tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.

1. Diameter lubang tembak.

Di dalam menentukan diameter lubang tembak tergantung dari volume massa

batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang diinginkan,

mesin bor yang dipergunakan, dan kapasitas alat muat yang akan dipergunakan untuk

kegiatan pemuatan material hasil pembongkaran..

Untuk diameter lubang tembak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang

dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan

yang akan diledakkan, sedang jika lubang tembak terlalu besar maka lubang tembak

tidak cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang

banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang tinggi. Ketika kekar membagi

burden dalam blok-blok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi bila masing-

masing terjangkau oleh suatu lubang tembak. Hal seperti ini menghendaki diameter

lubang tembak yang kecil.

Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau hancuran

yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming, di

mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga akan semakin besar

dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang, sedangkan jika

menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi.

2. Kedalaman lubang tembak

Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang

diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya

kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana kelebihan

daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.

3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)

Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak dan

arah pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk

menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi dalam geometri

peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan

menerima gelombang tekan yang besar, sehingga menimbulkan tonjolan pada lantai

jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagian akan dipantulkan pada bidang

bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.

Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk bidang

bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan karena

gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang tekan yang diteruskan

pada lantai jenjang lebih kecil (Gambar 3.1)

Adapun keuntungan dan kerugian dari masing-masing lubang adalah :

Untuk lubang tembak tegak (vertikal) adalah :

Keuntungannya :

Untuk tinggi jenjang yang sama panjang lubang ledak lebih pendek jika

dibandingkan dengan lubang ledak miring.

Kemungkinan terjadinya lontaran batuan lebih sedikit.

Lebih mudah dalam pengerjaannya.

Kerugiannya :

Penghancuran sepanjang lubang tidak merata

Fragmentasi yang dihasilkan kurang bagus terutama di daerah stemming.

Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai jenjang ( toe ).

Dapat menyebabkan retakan ke belakang jenjang ( backbreak ) dan getaran

tanah.

Untuk lubang tembak miring adalah :

Keuntungannya :

Bidang bebas yang terbentuk semakin besar

Fragmentasi yang dihasilkan lebih bagus

Dapat mengurangi terjadinya backbreak dan permukaan jenjang yang dihasilkan

lebih rata.

Dapat mengurangi bahaya kelongsoran pada jenjang.

Kerugiannya :

Kesulitan untuk menempatkan sudut kemiringan yang sama antar lubang.

Biaya operasi semakin meningkat.

Gambar 2.2

Pengaruh Arah Lubang Tembak

4. Pola pemboran

Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya

menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :

Pola pemboran segi empat (square pattern)

Pola pemboran selang-seling (staggered)

Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubang-lubang

tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk segi empat

( Gambar 3.2). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden dengan

panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern (Gambar3.3).

Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan

lubang ledak pada baris yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 3.4), dan untuk

pola pemboran selang-seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang

spasi disebut staggered rectangular pattern (Gambar 3.5).

Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena

lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu

fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih

efektif.

Bidang Bebas

B

● S ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S = B

Gambar 2.3.

Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)

Bidang Bebas

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S ≠ B

Gambar 2.4. Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)

Bidang Bebas

B

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1

S

● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S = B

Gambar 2.5.

Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)

Bidang Bebas

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1

● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2

● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3

● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4

S ≠ B

Gambar 2.6.

Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)

2.1.2.2.Geometri Peledakan

Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan

dapat dinyatakan seperti pada (gambar 3.6). Sedangkan geometri peledakan terdiri

dari :

1. Burden (B)

Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat,

dan arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah

yang terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang

baik adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak keluar

dari kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan

yang cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi penghancuran.

Nilai burden yang optimum akan menghasilkan fragmentasi yang sesuai dan

perpindahan dari pecahan batuan sesuai dengan yang diinginkan. Jarak burden yang

terlalu kecil dapat menyebabkan terjadinya batuan terbang dan suara yang keras.

Sedangkan jarak burden yang terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang

kurang baik, dan akan menyebabkan batuan di sekitar burden tidak akan hancur.

Menurut R.L. Ash, harga burden tergantung pada harga burden ratio dan diameter

lubang bor. Besarnya burden ratio antara 20 – 40 dengan harga Ks standard adalah

30. Sedangkan harga Ks standard sebesar 30 terjadi pada kondisi sebagai berikut :

Densitas batuan = 160 lb/cuft

Specific gravity bahan peledak = 1,20

Kecepatan detonasi bahan peledak = 12.000 fps

Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang berbeda,

maka harga Ks turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Ks perlu dihitung

terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan bahan peledak

yang berbeda

a. Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak (AF1) adalah :

Af1 =

Di mana :

SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan

Ve = kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan

SGstd = berat jenis bahan peledak standard, 1,20.

Vestd = kecepatan detonasi bahan peledak standard, 12.000 fps.

b. Faktor penyesuaian terhadap batuan (AF2) adalah :

Af2 =

Di mana

Dstd = kerapatan batuan standard, 160 lb/cuft

D = kerapatan batuan yang diledakkan

Sehingga harga Kb yang terkoreksi adalah :

Kb = Kbstandard x Af1 x Af2

Di mana :

Kb = burden ratio yang telah dikoreksi

Kbstd = burden ratio standard

Untuk menentukan burden, maka menggunakan rumus :

Kb x DeB = meter

39,3

Di mana :

B = burden

Kb = burden ratio

De = diameter lubang tembak, inchi

39,3 = faktor perubah kedalam satuan meter

2. Spasi (S)

Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak

yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan

spasi adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan. Besar spasi

dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

S = B x Ks

Di mana :

S = spasi, meter.

B = burden, meter.

Ks = spacing ratio

Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan spasi yaitu apakah ada interaksi antar

muatan yang berdekatan. Bila masing-masing lubang tembak diledakkan sendiri-

sendiri, dengan interval waktu yang panjang, maka tidak akan terjadi interaksi

gelombang energi antar muatan yang berdekatan sehingga memungkinkan setiap

lubang tembak akan meledak dengan sempurna. Jika interval waktu diperpendek atau

lubang tembak diledakkan secara serentak akan terjadi efek ledakan yang kompleks.

Besar Ks menurut interval waktu yang dipergunakan adalah :

long interval delay Ks = 1

short interval delay Ks = 1 – 2

normal Ks = 1,2 – 1,8

Berdasarkan cara urutan peledakannya penentuan spasi adalah sebagai berikut 6) :

Untuk pola peledakan serentak maka S = 2B

Untuk pola peledakan beruntun dengan delay interval lama maka S = B

Untuk pola peledakan dengan ms delay, maka S antara 1B sampai 2B

Jika terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, maka S antara 1,2B sampai

1,8B

3. stemming (T)

Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom

isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress balance dan untuk

mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan dengan kekuatan yang

besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang perlu diperhatikan adalah

panjang stemming dan ukuran material stemming.

Panjang stemming

Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian atas,

tapi mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju

atmosfir dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock,

overbreak pada bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast. Panjang

stemming dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :

T = B x Kt

dimana :

T = stemming, meter

Kt = stemming ratio (0,75 – 1,00)

Ukuran material stemming

Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap hasil peledakan, apabila

bahan stemming terdiri dari butiran-butiran halus hasil pemboran, kurang

memiliki gaya gesek terhadap lubang tembak sehingga udara yang bertekanan

tinggi akan dengan mudah mendorong material stemming tersebut, sehingga

energi yang seharusnya untuk menghancurkan batuan, banyak yang hilang keluar

melalui lubang stemming.

Untuk mencegahnya maka digunakan bahan yang berbutir kasar 15remature.

Bahan ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :

o Mempunyai bentuk susunan butir yang saling berkait dengan kuat.

o Membentuk sambungan pasak dengan dinding lubang tembak, sehingga

mencegah keluarnya gas secara 15remature.

Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material stemming

optimum7) adalah sebagai berikut :

Sz = 0,05 Dh

dimana :

Sz = ukuran material stemming optimum

Dh = diameter lubang tembak

4. Sub drilling (J)

Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai

jenjang yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan lantai

yang dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan

efek getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka akan

mengakibatkan problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak akan

terpotong sebatas lantai jenjangnya. Panjang subdrilling dapat ditentukan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

J = B x Kj

di mana :

J = subdrilling, meter

Kj = subdrilling ratio (0,2 – 0,3)

5. Tinggi jenjang (L)

Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang

bor dan alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan

alat bor dan diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter

lubang yang kecil, dan sebaliknya. Secara praktis hubungan diantara lubang bor

dengan tinggi jenjang diformulasikan sebagai berikut :

K = 0,1 – 0,2 d

Dimana : K = tinggi jenjang (m)

d = diameter lubang bor (mm)

6. Kedalaman lubang tembak (H)

Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas

produksi yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat. Sedangkan untuk menentukan

kedalaman lubang tembak dapat digunakan rumus sebagai berikut :

H = Kh x B

dimana :

H = kedalaman lubang tembak, meter

Kh = Hole depth ratio (1,5 – 4,0)

7. Kolom isian (PC)

Panjang kolom isian dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

PC = H – T

dimana :

PC = panjang kolom isian, meter

H = kedalaman lubang tembak, meter

T = stemming, meter

Keterangan :

B = Burden

S • S = Spasi

T = Stemming

B T PC = Kolom isian

J = Sub Drilling

L PC H = Kedalaman

H lubang tembak

L = Tinggi jenjang

J P = Primer

P

Gambar 2.7.

Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash

8. Pola peledakan

Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang

tembak dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan

ditentukan tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar 3.7)

Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang

cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk terdesak,

pecah, mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam pola

peledakan adalah sebagai berikut :

a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu

penundaan atau beruntun dalam satu baris.

b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu

dengan baris yang lain.

Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan dapat

dikurangi sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan syarat lokasi

dua bidang bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang tembak.

Bidang bebas

1 1 1 1 1 1

2 2 2 2 2

3 3 3 3

Pola peledakan tunda antar baris dan serentak dalam satu baris

Bidang bebas

3 2 1 0 1 2 3

4 3 2 1 2 3 4

5 4 3 2 3 4 5

Pola peledakan tunda dalam satu baris

Gambar 2.8.

Pola Peledakan

9. Waktu tunda

Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara

beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :

- Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik

- Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah

- Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.

Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris depan

menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan tersembur

kearah 19ertical dan membentuk tumpukan. Tetapi bila waktu tundanya terlalu lama,

maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta kemungkinan besar

akan mengakibatkan flyrock. Hal ini disebabkan karena tidak ada dinding batuan

yang berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di belakangnya.

Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan

tidak lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan di bawah ini dapat digunakan

untuk menentukan besarnya interval waktu antar baris.

Tr = Tr x B

Di mana :

tr = interval waktu antar baris, ms

Tr = konstanta waktu antar baris (Tabel 3.1)

B = burden, m

Tabel 2.4.Interval Waktu Antar Baris

Tr Constant (ms / m ) Result

7 Violent excessive airblast, backbreak, etc.7 – 10 High pile close to face, moderate airblast, backbreak

10 – 20 Average pile height, average airblast and backbreak.

20 – 23 Scattered pile with minimum backbreak.

23 – 42 Blast casting

10. Pengisian bahan peledak

Fragmentasi batuan sangat tergantung pada jumlah bahan peledak yang

digunakan. Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan berat bahan

peledak yang digunakan untuk menghancurkan batuan (kg/m3). Nilai powder factor

sangat dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola peledakan,

dan struktur geologi.

Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin kecil

sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila pengisian

ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan menyebabkan

boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.

Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah bahan

peledak yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.

a. Loading density dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

de = 0,508 De2 (SG)

dimana :

de = loading density, kg/m

De = diameter lubang tembak, inchi.

SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.

b. Jumlah bahan peledak yang digunakan dihitung menggunakan rumus :

E = de Pc N

Di mana :

de = loading density, kg / m.

Pc = panjang muatan/ panjang kolom isian lubang tembak, m.

N = jumlah lubang tembak.

E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.

11. Powder Factor dan Volume Setara

Powder factor (Pf) adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material

yang diledakkan atau dibongkar oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dapat

dinyatakan dalam ton/kg atau kg/ton. Untuk menghitung powder factor harus

diketahui luas daerah yang diledakkan (A), tinggi jenjang (L), panjang muatan dari

seluruh lubang ledak (Pc), loading density (de), dan densitas batuan (dr).

Rumus untuk menentukan powder factor adalah :

Pf = W / E

dimana :

Pf = powder factor, ton / kg.

W = jumlah batuan yang diledakkan, ton.

E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.

Sedangkan jumlah batuan yang diledakkan dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut :

W = A L dr

Di mana :

A = luas batuan yang akan diledakkan, m3.

L = tinggi jenjang, meter.

dr = densitas batuan, ton / m3.

Volume setara adalah suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet

pemboran setara dengan sejumlah volume material atau batuan yang diledakkan,

yang dinyatakan dalam m3/meter, cuft/ft, atau ton.meter, ton/ft. Volume setara sangat

berguna untuk memperkirakan kemampuan dari alat bor yang digunakan untuk

membuat lubang tembak. Volume setara dihitung dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut :

Veq =

dimana :

Veq = volume setara, m3/m

A = luas daerah yang akan diledakkan, m2

L = tinggi jenjang, m

n = jumlah lubang tembak dalam pola peledakan

H = kedalaman lubang tembak, m

W = batuan yang akan diledakkan

Tabel 2.5.

Harga Powder Factor untuk beberapa jenis batuan

Type of Rock Powder Factor (kg/m3)

Massive high strength rocks 0,6 – 1,5

Medium strength rock 0,3 – 0,6

Highly fissured rocks, weathered or soft 0,1 – 0,3

12. Arah peledakan

Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan

akan dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi

oleh struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan

biasanya adalah kekar.

Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang mengandung kekar

sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan demikian energi yang

digunakan untuk memecah batuan akan berkurang sehingga fragmentasi batuan akan

menjadi tidak seragam.

Menurut R.L. Ash arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi

yang seragam yaitu arah peledakan menuju sudut tumpul yang merupakan

perpotongan antara arah umum, dengan demikian penggunaan energi bahan peledak

akan lebih baik karena tidak terjadi penerobosan energi. (Gambar 3.8)

Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi

penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan

yang ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan

untuk menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang

berbentuk blok-blok

Arah Peledakan

Free face

• • • •• • • • •

• • • •• • • • • = Arah peledakan menuju sudut tumpul

Gambar 2.9.

Arah peledakan menuju sudut tumpul

2.1.3 ESTIMASI BENTUK TUMPUKAN (MUCK PILE)

Tumpukan fragmentasi pada cast blasting diharapkan serendah mungkin

dengan memperhitungkan prosentase prime yang memungkinkan. Umumnya

berkisar antara 20 – 35 % sudah cukup memuaskan, sebab saat ini masih sangat sulit

diharapkan prime lebih besar dari 35 % dengan sekali peledakan. Beberapa faktor

harus diperhatikan untuk mendapatkan prosentase hasil peledakan sebagai prime,

yaitu :

1. Volume material hasil peledakan

2. Jarak terdekat antara dinding permukaan bidang bebas dengan tumpukan

yang sudah terbentuk sebelumnya (spoil pile)

3. Kecepatan permukaan awal dari projektil untuk meraih jarak optimum

2.1.4 KECEPATAN LEMPARAN PERMUKAAN

Lemparan permukaan sangan menentukan keberhasilan operasi cast blasting,

oleh sebab itu harus diperhitungkan lemparan maksimum projektil batuan.

Uraian secara vektoris akan membantu perhitungan tersebut, sehingga dapat

diestimasi kecepatan lemparan projektil batuan dan jarak titik jatuh yang terpanjang.

Ilustrasi pola lemparan projectile dari titik 0 (diujung atas permukaan bidang bebas)

sampai lemparan terjauh P terlihat pada gambar 2.10. Sedangkan persamaan umum

untuk menghitung kecepatan lemparan projectile adalah sebagai berikut :

Vy = (Vy)0 + a.t

Y = (Vy)0.t + ½ a.t

X = (Vx)0.t

Dimana : Vy = kecepatan ke arah vertical

(Vy)0 = kecepatan vertical pada titik awal (0)

(Vx)0 = kecepatan horizontal pada titik awal (0)

Y = jarak vertical dari titik 0 ke titik P

X = jarak horizontal dari titik 0 ke titik P

a = percepatan gravitasi 9,8 m/s2

t = waktu yang diperlukan lemparan dari titik 0 ke titik P

= sudut tangensial lemparan pada titik 0

(Vy) 0 V0 (m/s) V0 (m/s)

a a

0 0 (Vx) 0

Y

P P

X

(a) komponen vektoris (b) komponen vektoris gerakan vertical gerakan horizontal

Gambar 2.10.

Ilustrasi pola gerakan projektil dari titik awal 0 ketitik akhir P

2.1.4.1 Gerakan Vertikal dan Horizontal

Gerakan vertical dan horizontal dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan sudut

tangensial lemparan. Kecepatan gerakan pada titik mawal, baik yang kearah vertical

(Vy)0, maupun horizontal (Vx)0, dapat dihitung melalui gambar 2.10.a dan 2.10.b

sebagai berikut :

(Vy) 0 = V0. Sin

(Vx) 0 = V0. Cos

Dengan mengkombinasikan kedua persamaan diatas dapat diketahui kecepatan

maksimum lemparan projektil batuan.

2.1.4.2 Perhitungan Burden Berdasarkan Kecepatan Awal Projektil

Terdapat korelasi antara muatan bahan peledak di dalam kolom lubang

tembak dengan, kecepatan permukaan awal, burden dan kekerasan batuan. Larson

(1987) melakukan hipotesa tentang korelasi tersebut dan hasilnya seperti pada

persamaan berikut :

K Vo = x L 0,39

B 1,17

Di mana : Vo = Kecepatan permukaan awal, m/ s

K = Konstanta tergantung kekerasan batuan, yaitu :

15 untuk batuan yang lunak

33 untuk batuan yang keras

L = Muatan bahan peledak, Kg/ m

B = Burden, m

Untuk mengetahui jumlah muatan bahan peledak di dalam kolom lubang tembak

tergantung pada density bahan peledak itu sendiri. Tabel 2.6. dapat digunakan untuk

mengetahui muatan bahan peledak per meter kolom berdasarkan diameter lubang

tembak dan density bahan peledak.

Tabel 2.6.

Muatan bahan peledak per meter kolom

DIAMETER MASS PER METRE (Kg/ m) OF COLUMN FOR GIVEN DENSITIES (g/ cm3)

(mm) (in) .7 .8 .85 .90 1 1.1 1.15 1.2 1.25 1.3 1.35 1.4

323845

1 ¼1 ½1 ¾

0.560.791.11

0.640.911.27

0.680.961.35

0.721.021.43

0.801.131.59

0.881.251.75

0.921.361.91

0.971.361.91

1.011.421.99

1.051.472.07

1.091.522.15

1.131.592.23

515764

22 ¼2 ½

1.431.792.25

1.632.042.57

1.742.172.73

1.842.302.90

2.042.553.22

2.252.813.54

2.352.933.70

2.453.063.86

2.553.194.02

2.663.324.18

2.763.444.34

2.863.574.50

7689102

33 ½4

3.184.355.72

3.634.986.54

3.865.296.95

4.085.607.35

4.546.228.17

4.996.848.99

5.227.159.40

5.447.479.81

5.677.7810.21

5.908.0910.62

6.128.4011.03

6.358.7111.44

108114121

4 ¼4 ½4 ¾

6.417.148.05

7.338.179.20

7.798.689.77

8.249.1910.35

9.1610.2111.50

10.0811.2312.65

10.5411.7413.22

10.9912.2513.80

11.4512.7614.37

11.9113.2714.95

12.3713.7815.52

12.8314.2916.10

127130152

55 ½6

8.879.2912.70

10.1310.6214.52

10.7711.2815.42

11.4011.9516.33

12.6713.2718.15

13.9314.6019.96

14.5715.2620.87

15.2015.9321.78

15.8316.5922.68

16.4717.2623.59

17.1017.9224.50

17.7318.5825.40

159165187

6 ¼6 ½

7 3/8

13.9014.9719.23

15.8817.1121.97

16.8818.1823.34

17.8719.2424.72

19.8621.3827.46

21.8423.5230.21

22.8324.5931.58

23.8325.6632.96

24.8226.7334.33

25.8127.8035.70

26.8128.8737.08

27.8029.9438.45

203210229

88 ¼9

22.6624.2528.83

25.8927.7132.95

27.5129.4435.01

29.1331.1737.07

32.3734.6441.19

35.6038.1045.31

37.2239.8347.37

38.8441.5649.42

40.4643.3051.48

42.0845.0353.54

43.6946.7655.60

45.3148.4957.66

251267270

9 7/810 ½

10 5/8

34.6439.1940.08

39.5844.7945.80

42.0647.5948.67

44.5350.3951.53

49.4855.9957.26

54.4361.5962.98

56.9064.3965.84

59.3867.1968.71

61.8569.9971.57

64.3372.7974.43

66.8075.5077.30

69.2778.3980.16

279286311381432

1111 ¼12 ¼1517

42.8044.9753.1879.81102.60

48.9151.3960.7791.21117.26

51.9754.6164.5796.91124.59

55.0257.8268.37102.61131.92

61.1464.2475.96114.01146.57

67.2570.6783.56125.41161.23

70.3173.8887.36131.11168.56

73.3677.0991.16136.81175.89

76.4280.3094.96142.51183.22

79.4883.5298.75148.21190.55

82.5386.73102.55153.91197.88

85.5989.94106.35159.61205.20

2.2. DATA PENDUKUNG

Yang dimaksud dengan data pendukung adalah data-data yang dapat

mendukung data-data dari lapangan guna menganalisa permasalahan yang ada untuk

mencari alternatif penyelesaian masalah.

Data pendukung dapat diambil antara lain dari data hasil pengamatan di

lapangan, laporan penelitian terdahulu dari perusahaan, brosur--brosur dari

perusahaan, data dari instansi yang terkait dan dari literatur-literatur.

2.3. URUTAN KERJA PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, dilakukan dengan menggabungkan antara teori

dengan data-data dilapangan, sehingga dari keduanya didapatkan pendekatan

penyelesaian masalah.

Adapun urutan pekerjaan penelitian :

1. Observasi terhadap kegiatan penambangan.

2. Penentuan tempat pengamatan langsung untuk pengambilan data.

3. Pengambilan data primer (langsung dari lapangan) dan data sekunder dari

laporan bulanan perusahaan.

4. Pengelompokan data, pengujian data.

5. Pengolahan data penelitian.

6. Analisa hasil penelitian dan memberikan alternatif pemecahan masalah.

2.4. ANALISA PENYELESAIAN MASALAH

Permasalahan yang ada di lapangan selanjutnya dipelajari dan dikaji

berdasarkan data yang ada, baik data yang dikumpulkan dari hasil penyelidikan

maupun data penunjang dan didukung berbagai teori yang menunjang permasalahan

tersebut, selanjutnya dicarikan alternatif penyelesaiannnya.

Adapun rincian dari analisa penyelesaian masalah adalah :

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data, geometri dari pola pemboran

dan peledakan yang dipakai pada saat ini dan dasar-dasar teknis penyusunan

perancangan yang digunakan.

2. Tahap Penyelidikan pendahuluan

Pengumpulan data-data geologis area kerja yang mempengaruhi dalam

perancangan seperti struktur batuan, kekuatan batuan (rock strength), berat jenis

dan parameter lainnya.

3. Tahap Penyelidikan Terinci

Tahap penyelidikan terinci dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang

diperlukan untuk penyelesaian masalah , adapun data yang akan diambil, yaitu :

i. Pengukuran terhadap geometri pemboran dan peledakan, berat primer per

lubang, berat muatan column

ii. Fragmentasi yang dihasilkan serta jarak lemparan hasil peledakan dari

dinding permukaan bidang bebasdengan tumpukan yang sudah terbentuk

sebelumnya.

iii. Pengukuran terhadap volume hasil peledakan

iv. Pengukuran sudut tangensial dari pergerakan fragmentasi

Sehingga dengan mengetahui parameter-parameter diatas diharapkan didapatkan

alternative penyelesain masalah

Setelah melalui tahap ini maka dilanjutkan dengan :

a. Analisis secara teknis terhadap rancangan pola pemboran yang ada saat

ini

Disini dilakukan perhitungan teoritis hasil yang akan dicapai serta

pemaparan prosentase prime hasil peledakan serta kecepatan lemparan dari

projektil.

b. Perencanaan perubahan terhadap pola pemboran yang perlu dilakukan

Penentuan rancangan yang paling sesuai serta perbandingannya terhadap

rancangan semula dikaitkan dengan keefektifan pemboran dan hasil

peledakan.

BAB III

PENELITIAN DI LAPANGAN

3.1. METODOLOGI PENELITIAN

Didalam melaksanakan penelitian permasalahan ini, penulis menggabungkan

antara teori dengan data-data lapangan, sehingga dari keduanya didapat pendekatan

penyelesaian masalah. Adapun urutan pekerjaan penelitian yaitu :

1. Study literatur, brosur-brosur, laporan penelitian terdahulu dari perusahaan.

2. Pengamatan langsung di lapangan, dilakukan dengan cara peninjauan lapangan

untuk melakukan pengamatan langsung terhadap semua kegiatan di daerah

yang akan diteliti

3. Pengambilan Data, dengan pengukuran langsung di lapangan maupun

penelitian di laboratorium.

4. Akuisisi Data

a. Pengelompokan data

b. Jumlah data

3.2. RENCANA JADWAL PENELITIAN

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

1. STUDI LITERATUR

2. PENGAMATAN

3. PENGAMBILAN DATA

4. PENGOLAHAN DAN

ANALISIS DATA

5.PEMBUATAN

LAPORAN

3.3. RENCANA DAFTAR ISI

RINGKASAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB

I PENDAHULUAN

1.1 Tinjauan Masalah

1.2 Perumusan dan Penyelesaian Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

II TINJAUAN UMUM

2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah

2.2 Keadaan Geologi dan Topografi

2.3 Iklim dan Curah Hujan

2.4 Peralatan yang digunakan

2.5 Kegiatan Penambangan

III DASAR TEORI

3.1 Parameter Tetap Pada Cast Blasting

3.1.1 Karakteristik Batuan

3.1.2 Tinggi Jenjang

3.2 Parameter Berubah Pada Cast Blasting

3.2.1 Geometri Pemboran

3.2.2 Geometri Peledakan

3.3 Estimasi Bentuk Tumpukan (Muckpile)

3.4 Kecepatan Lemparan Permukaan

IV KONDISI LAPANGAN

4.1 Kegiatan Pemboran

4.2 Kegiatan Peledakan

4.3 Jarak Lemparan Hasil Peledakan

4.4 Prosentase Prime serta Bentuk Tumpukan Fragmentasi

V PEMBAHASAN

5.1 Upaya untuk peningkatan Prime

5.2 Memaksimalkan Kecepatan Lemparan Permukaan

5.3 Penilaian Terhadap Geometri Pemboran Dan Peledakan Yang Diterapkan

Oleh Perusahaan saat ini

VI KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

3.4. RENCANA DAFTAR PUSTAKA

1. Hemphill b., Gary, “Blasting Operation”, First Edition, Mc. Graw Hill Inc.,

New York

2. Langefors U., and Kihlstrom, B., “The Modern Technique of Rock Blasting”,

Second Edition, A Heelsted Press Book John Willey & Sons, New York,1973

3. Moelhim Karthodharmo, Irwandy Arif, Suseno Kramadibrata., “Teknik

Peledakan”, Diktat Kuliah Jilid I, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas

Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, 1984

4. Koesnaryo, S., “Bahan Peledak dan Metode Peledakan”, Jurusan Teknik

Pertambangan, UPN “Veteran” Yogyakarta, 1985

5. Samhudi, “ Teknik Peledakan “, Departemen Pertambangan dan Energi,

Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Tenaga

Pertambangan, 1994.

6. Ir. Edy Purwanto ME. (2002), Diktat Kursus Perencanaan Tambang Terbuka,

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.