18
Skenario Tn. B usia 40 tahun datang dengan keluhan batuk darah sejak 1 hari lalu. Darah  yang keluar sebanyak 1/4 gelas, berwarna merah segar dan tidak ada sisa makan an. Diagnosis Banding 1. TB Paru Menurut WHO insidensi TB Paru di indonesia sekitar 220 per 100.000  pertahun 2. Pneumonia Di Indonesia berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Dep. Kes 1992 merupakan penyebab kematian tersering terutama pada balita dan manula, serta menempati urutan ke 4 di Indonesia. 3. Bronchiectasis Data epidemiologi di Indonesia belum tersedia 4. Carcinoma paru Di Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah Ca servix dan Ca Mamae 5. Bronchitis Kronis 6. Absces Paru 7. Hipertensi pulmonal 8. Congestif Heart Failure 9. COPD 10. Mitral Stenosis Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada pasien 1. Apakah pernah batuk menegluarkan sputum? Atau Langsung batuk darah? 2. Riwayat pasien terdahulu 3. Riwayat penyakit dalam keluarga 4. Apa pekerjaan Tn.B? 5. Bagaimana lingkungan kerja Tn B? 6. Dimana tepat tinggal Tn. B? 7. Bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal Tn.B? 8. Ada demam atau tidak? Bagaimana karakteristik demamnya? 9. Apa ada nyeri pada dada? 10. Apakah ada sesak? 11. Apakah Tn.B merokok? 12. Apakah di keluarga ada yang merokok? 13. Berapa berat badan Tn.B? 14. Apakah pasien memiliki alergi terhadap sesuatu? 15. Apakah ada keluhan lain yang belum disampaikan? Pemeriksaan fisik 1. Bagaimana karakteristik sputum 2. Auskultasi 3. Perkusi

CBL TB Paru Pert 2

Embed Size (px)

Citation preview

  • Skenario

    Tn. B usia 40 tahun datang dengan keluhan batuk darah sejak 1 hari lalu. Darah

    yang keluar sebanyak 1/4 gelas, berwarna merah segar dan tidak ada sisa makanan.

    Diagnosis Banding

    1. TB Paru

    Menurut WHO insidensi TB Paru di indonesia sekitar 220 per 100.000

    pertahun

    2. Pneumonia

    Di Indonesia berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Dep. Kes

    1992 merupakan penyebab kematian tersering terutama pada balita dan

    manula, serta menempati urutan ke 4 di Indonesia.

    3. Bronchiectasis

    Data epidemiologi di Indonesia belum tersedia

    4. Carcinoma paru

    Di Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah Ca servix dan Ca Mamae

    5. Bronchitis Kronis

    6. Absces Paru

    7. Hipertensi pulmonal

    8. Congestif Heart Failure

    9. COPD

    10. Mitral Stenosis

    Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada pasien

    1. Apakah pernah batuk menegluarkan sputum? Atau Langsung batuk darah?

    2. Riwayat pasien terdahulu

    3. Riwayat penyakit dalam keluarga

    4. Apa pekerjaan Tn.B?

    5. Bagaimana lingkungan kerja Tn B?

    6. Dimana tepat tinggal Tn. B?

    7. Bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal Tn.B?

    8. Ada demam atau tidak? Bagaimana karakteristik demamnya?

    9. Apa ada nyeri pada dada?

    10. Apakah ada sesak?

    11. Apakah Tn.B merokok?

    12. Apakah di keluarga ada yang merokok?

    13. Berapa berat badan Tn.B?

    14. Apakah pasien memiliki alergi terhadap sesuatu?

    15. Apakah ada keluhan lain yang belum disampaikan?

    Pemeriksaan fisik

    1. Bagaimana karakteristik sputum

    2. Auskultasi

    3. Perkusi

  • 4. Fremitus

    5. Respiratory rate

    6. Tekanan darah

    7. Denyut nadi

    8. Tanda vital lain

    Pemeriksaan Penunjang

    1. Sputum BTA (sebanyak 3x)

    2. Pemeriksaan complete blood count (CBC)

    3. Hitung jenis (differential count)

    Hasil pembacaan rontgen thorax

    1. Pada apex kanan paru terjadi peningkatan radio lusen (ada cavitas)

    2. di seluruh paru terdapat infiltrat (lunak) terbaca seperti bercak putih

    3. Terdapat perbesaran kelenjar getah bening

    4. CTR normal

    5. Tidak ada kalsifikasi

    6. Tidak ada efusi pleura terlihat dari cardiofrenikus yang masih lancip

    Skenario (hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik)

    Tn.B sudah batuk berdahak sejak 2 bulan lalu hyang hilang timbul dan sudah minum

    obat (OBH), namun batuk darah sejak 1 hari lalu. Sempat demam subfebril. Ada

    nyeri dada. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 hari 1 bungkus. Pasien adalah

    karyawan kantoran. Berat badan pasien menurun drastis dan nafsu makan

    berkurang. Saat ini di keluarga ada yang sedang minum obat selama 6 bulan akibat

    infeksi paru. Tiap pulang kerja di malam hari pasien selalu berkeringat.

    Bedasarkan hasil pemeriksaan fisik & penunjang Tn. B

    Auskultasi: bronchovesikuler, ronchi basah kasar di Apex kanan paru

    Perkusi: redup pada apex paru kanan

    Fremitus: meningkat di apax paru kanan

    Resiratory rate: 30x/menit

    Denyut nadi: 100x permenit, teraba kuat

    Tekanan darah 100/60 mmhg

    Sputum BTA (3x): +/+/-

    Hb 12,4 ; Ht 36% ; LED 55 mL/jam

    Leu 7800

    trombosit 180.000

    Berdasarkan skenario di atas, diagnosa kerja yang kami berikan terhadap pasien ialah

    Tuberkulosis Paru. Alasan nya ialah sebagai berikut:

    1. Pada pemeriksaan sputum BTA hasil menunjukan 2x positif dari 3x

    pemeriksaan

  • 2. Hasil rontgen thorax menunjukan adanya cavitas pada apex paru kanan dan

    adanya bercak infiltrat pada paru kiri dan kanan

    3. Pada pemeriksaan fisik terdapat peningkatan fremitus, terdengar

    bronchovesicular dan ronchi basah kasar pada apex paru kanan, serta suara

    redup di apex paru kanan saat perkusi.

    4. Terjadi peningkatan LED yang dianalisa sebagai hasil dari infeksi. Pasien juga

    mengalami demam, hal itu terjadi akibat infeksi juga.

    5. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus 1 hari yang menambah

    predisposisi TB Paru

    6. Berat badan pasien turun drastis & nafsu makan berkurang

    Patogenesis

    Batuk darah atau hemoptisis terjadi karena adanya darah yang dikeluarkan

    saat batuk. Biasanya berwarna merah terang dan berasal dari saluran napas bawah.

    Batuk darah dapat bervariasi jumlahnya mulai dari blood-streaked sputum hingga

    batuk darah masif.

    Batuk darah masif biasanya terjadi akibat adanya pelebaran pembuluh darah

    atau pecahnya sisem sirkulasi bronkial. Pada penderita tuberkulosis hal ini dapat

    terjadi karena infeksi kuman tersebut merusak parenkim paru dan pembuluh darah

    paru sehingga dapat menyebabkan ruptur pada pembuluh darah sehingga

    mengakibatkan batuk darah. Keadaan yang dapat menyebabkan kematian adalah

    ketika darah terkumpul kemudian menyebabkan asfiksia sehingga terjadi gagal napas.

    Patogenesis Infeksi Tuberkulosis

    Infeksi Mycobacterium tuberculosis umumnya terjadi lewat paparan terhadap

    droplet / aerosol yang mengandung M. tuberculosis. Infective dose yang diperlukan

    untuk menginisiasi terjadinya infeksi M. tuberculosis adalah 10 bakteri yang masih

    hidup. Saat terhirup, droplet terdeposisi di bagian bronkiolus terminal dari paru.

    Disana M. tuberculosis berkembang biak sampai mencapai 1000-10000 bakteri yang

    kemudian dapat menginduksi respon imun seluler yang dapat dideteksi dengan tes

    Tuberkulin.

    Saat terinfeksi oleh M. tuberculosis ada beberapa kemungkinan yang dapat

    terjadi, diantaranya sistem imun berhasil membasmi M. tuberculosis, infeksi laten,

    Tuberkulosis primer dan juga bisa terjadi reaktifasi penyakit Tuberkulosis bertahun-

    tahun kemudian. Pada indivisdu yang sehat, saat terjadi infeksi laten hanya 5-10%

    saja yang mengalami reaktifasi. Jumlah ini meningkat secara bermakna pada pasien

    dengan HIV/AIDS.

  • Tuberkulosis Primer

    Bakteri M. tuberculosis yang berhasil mencapai bronkiolus terminalis melalui

    inhalasi droplet kemudian akan berkolonisasi dan mencapai alveolus. Bila sistem

    imun dari individu tersebut gagal membasmi pathogen tersebut, maka M. tuberculosis

    akan berproliferasi di dalam makrofag alveolus (dust cell) dan kemudian membunuh

    sel tersebut. Makrofag yang terinfeksi memproduksi sitokin dan kemokin yang

    mengundang sel fagosit lain ke area tersebut yang pada akhirnya akan membentuk

    struktur granuloma noduler yang disebut tuberkel.

  • Bila perkembangbiakan bakteri tidak terkontrol maka tuberkel akan membesar

    dan M. tuberculosis dapat masuk ke peredaran limfa dan berlanjut menyebar secara

    limfogen ke nodus limfa terdekat yang kemudian akan menyebabkan limfadenopati

    yang merupakan karakteristik dari manifestasi klinis TB primer. Lesi yang terbentuk

    dari pembesaran tuberkel di parenkim paru dan nodus limfa yang terkena disebut

    dengan kompleks Ghon dan dapat juga diikuti bakteremia setelahnya. Pada lesi juga

    terlihat adanya fibrosis dan terdapat sel raksasa Langerhans.

    M. tuberculosis terus berproliferasi sampai respons imun seluler yang effektif

    terbentuk. Proses ini memakan waktu sekitar 2-6 minggu setelah infeksi. Kegagalan

    host dalam membentuk respon imun seluler yang efektif dan perbaikan jaringan yang

    rusak kemudian dapat menyebabkan penghancuran jaringan paru yang progresif.

    TNF-alfa, ROS, NOS, serta enzim yang terkandung dalam sel sitotoksik (granzymes,

    perforin) berkontribusi dalam terjadinya nekrosis kaseosa yang menjadi cirri khas lesi

    tuberculosis. M. tuberculosis juga dapat menyebar secara hematogen ke organ-organ

    lain dan menimbulkan manifestasi klinis pada organ tersebut. Biasanya infeksi organ

    lain yang sering adalah nodus limfa, meninges, GIT, mata dan bisa juga menyebabkan

    lesi TB di kulit dan tulang. Bila respon imun penderita turun atau memburuk, maka

    dapat terjadi reaktifasi infeksi TB, dan kemudian akan terbentuk daerah nekrosis

    perkijuan. Tetapi bedanya pada reaktifasi biasa sifatnya lebih terlokalisasi, berbeda

    dengan TB primer yang biasanya menyebar.

  • Manifestasi Klinis Tuberkulosis

    Ada beberapa manifestasi klinis yang umum terdapat pada pasien dengan tuberculosis

    yang aktif:

    a. Batuk non produktif

    b. Penurunan berat badan yang signifikan / anoreksia

    c. Demam

    d. Berkeringat saat malam hari

    e. Hemoptysis

    f. Nyeri dada

    g. Kelelahan

    Pemeriksaan fisik yang terkait TB tergantung dari organ yang terlibat, pada pasien

    dengan TB paru biasa dapat ditemukan

    a. Bunyi napas yang abnormal, terutama pada lobus atas atau daerah yang

    terkena

    b. Ronchi basah kasar (Rales) atau bunyi napas bronchial yang menandakan

    adanya konsolidasi

    c. Stem Fremitus meningkat

    d. Perkusi redup

    Screening dengan menggunakan Tes Tuberkulin / Mantoux (pada pasien di Indonesia

    sangat sulit digunakan sebagai uji screening karena tingkat infeksi TB di Indonesia

    sangat sering, sehingga seringkali hasilnya positif) atau dapat juga menggunakan

    IGRA (Interferon Gamma Release Assay) untuk infeksi laten.

    Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah:

    Specific enzyme-linked immunospot (ELISpot)

    Nucleic acid amplification tests

    Kultur bakteri dari darah pasien

    Pemeriksaan BTA sputum

    Pemeriksaan untuk mengetahui apakah bakteri tersebut MDR / XDR- TB:

    - Direct DNA sequencing analysis

    - Automated molecular testing

    - Microscopic-observation drug susceptibility (MODS)

    - Thin-layer agar (TLA) assays

    - Rapid test (BACTEC-460, ligase chain reaction, luciferase reporter

    assays, FASTPlaque TB-RIF)

  • Pada foto toraks dapat didapati gambaran seperti berikut:

    a. Terbentuknya kavitas b. Infiltrat berbentuk bulat yang tidak terkalsifikasi (kadang sulit dibedakan

    dengan Ca Paru)

    c. Nodul yang homogeny dan telah terkalsifikasi (infeksi lama) d. TB primer: seperti pneumonia, infiltrate di bagian tengah atau bawah paru e. Reaktifasi: Lesi di lobus atas f. TB Laten : kumpulan nodul yang padat pada hilus atau lobus atas g. TB Milier : banyak lesi nodular yang kecil memenuhi lapang pandang h. TB Pleura: bisa terdapat Empyema dan diasosiasikan dengan efusi pleura

    Bila dengan foto toraks belum cukup meyakinkan maka dapat dilakukan biopsi

    (jarang), CT Scan, bronchoscopy dan juga bila ada organ lain yang ikut terlibat dapat

    dilakukan MRI / CT scan dari organ yang dicurigai

    Teknik pemeriksaan sputum

    Sputum yang keluar dari paru-paru merupakan bahan pemeriksaan yang sering

    digunakan untuk pemeriksaan laboratorium, yang disebut dengan sputum

    mukopurulen, berupa sputum yang kental, keruh, berwarna putih sampai kuning

    kehijauan.

    Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

    pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan

  • diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

    yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-

    Pagi-Sewaktu (SPS). Cara pengumpulan sputum SPS yaitu dengan pot yang bersih

    dan steril, tidak mudah pecah, mulut lebar, dan berulir. Kemudian pot diberi label,

    identitas pasien secara lengkap. Setelah didapatkan sputum SPS, baru diadakan

    pemeriksaan laboratorium.

    1. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

    pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

    mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua

    2. P (Pagi) dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

    bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

    3. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

    menyerahkan dahak pagi.

    Diagnosis TB paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

    kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

    dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

    biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang

    sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

    pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

    khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan

    radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktivitas penyakit.

    Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, pada TB paru:

    1. TB paru BTA positif

    a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

    positif

    b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

    menunjukkan gambaran tuberkulosis

    c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB

    positif

    d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak

    SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

    perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT

    2. TB paru BTA negatif

  • Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik

    TB paru BTA negatif harus meliputi:

    a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

    b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

    c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT

    d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

    Pewarnaan BTA metode Kinyoun-Gabbett-Tan Thiam Hok

    1. Tuangi sediaan sputum yang telah direkatkan (preparat apusan sputum)

    dengan larutan Kinyoun selama 3 menit

    2. Cuci sediaan dengan air mengalir selama menit, sampai tidak ada zat warna

    yang mengalir di atas sediaan

    3. Tuangi sediaan dengan larutan Gabbett selama 1 menit

    4. Cuci sediaan dengan air dan keringkan di udara

    5. Lihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x

    Hasil:

    BTA akan berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bakteri yang tidak

    tahan asam berwarna biru, dengan latar belakang biru.

    Pewarnaan BTA metode Ziehl-Neelsen

    1. Sediaan sputum yang telah direkatkan dengan api dituangi karbol fuksin

    2. Dipanasi sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) selama 5 menit

    3. Dicuci dengan air selama menit

  • 4. Ditetesi H2SO4 5% selama 2 detik

    5. Dicuci dengan alkohol 70% selama 30 detik

    6. Dicuci dengan air

    7. Diwarnai dengan biru metilen 1%, selama 10-20 detik

    8. Dibilas dengan air, keringkan

    9. Amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x

    Hasil:

    BTA berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bakteri tidak tahan asam

    berwarna biru dengan latar belakang biru.

    Tatalaksana Tuberkulosis

    1. Pendidikan penderita dan peran serta keluarga 2. Pencegahan penularan dan perbaikan lingkungan sekitarnya 3. Penduan pengobatan

    Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase:

    - fase intensif (2-3 bulan) - fase lanjutan 4 atau 7 bulan.

    Obat Anti Tuberkulosis

    1. Jenis obat utama yang digunakan adalah : a. Rifampisin b. INH c. Pirazinamid d. Streptomisin e. Etambutol

    2. Kombinasi dosis tetap ( Fixed dose combination )

  • Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 obat antituberkulosis, yaitu rifamsinin,

    INH, pirazinamid dan etambutol dan 3 obat antituberkulosis, yaitu rifampisin,

    INH dan pirazinamid.

    3. Jenis obat tambahan lainnya a. Kanamisin b. Kuinolon c. Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amaksilin + asam klavulanat d. Derivat rifampisin dan INH

    Dosis OAT

    1. Rifampisin 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x / minggu atau BB > 60 kg : 600 mg

    BB 40-60 kg : 450 mg

    BB < 40 kg : 300 mg

    Dosis intermiten 600 mg/ kali

    2. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, - 10 mg/kg BB 3 x seminggu, - 15 mg/kg BB 2 x seminggu - 300 mg/hari untuk dewasa. - Intermiten : 600 mg / kali 3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x seminggu, 50

    mg/kg BB 2 x seminggu atau :

    BB > 60 Kg : 1500 mg

    BB 40-60 kg : 1000 mg

    BB < 40 kg : 750 mg

    4. Etambutol : fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutkan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg BB 3 x seminggu, 45 mg/kg BB 2 x seminggu atau:

    BB > 60 kg : 1500 mg

    BB 40-60 kg : 1000 mg

    BB < 40 kg : 750 mg

    Dosis intermiten 40 mg/kg BB /kali

    5. Streptomisin : 15 mg/kg BB/kali BB > 60 kg : 1000 mg

    BB 40-60 kg : 750 mg

    BB < 40 kg : sesuai BB

    6. Kon\mbinasi dosis tetap

    Efek samping OAT :

    1. Isoniazid (INH) - Efek samping ringan: tanda-tanda keracunan pada syarat tepi, kesemutan, rasa

    terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian

    piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks.

    Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah

    menyerupai defisiensi piridoksin ( syndrom pellagra)

    - Efek samping berat : hepatitis. Hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

    2. Rifampisin a. Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan

    pengobatan simtomatik ialah :

  • Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

    Sindrom perut

    Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan b. Efek samping yang berat tapi jarang:

    Hepatitis

    Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.

    Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat. Air mata,

    air liur. karena proses metabolisme obat

    3. Pirazinamid Efek samping utama: hepatitis, Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)

    dan kadang-kadang dapat menyebabkan sarangan arthritis Gout, hal ini

    kemungkinan sisebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbuhan asam urat.

    Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang

    lain.

    4. Etambutol Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk

    warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam

    beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan

    pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.

    5. Streptomisin Efek samping utama: kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan

    keseimbangan dan pendengaran. Gejala efekya samping yang terlibat ialah

    telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.

    Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba

    disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara

    dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang

    mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.

    Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan

    pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

    Panduan Obat Anti Tuberkulosis

    - Kategori I ( 2 HRZE/4H3R3 atau 2 HRZE/4HR atau 2 HRZE/6HE ) ~ Penderita baru TBC Paru BTA (+)

    ~ Penderita TBC Paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat dan ~ Penderita TBC Ekstra Paru berat

    - Kategori II ( 2 HRZES/HRZE/5H3R3E3 atau 2 HRZES/HRZE/5HRE)

    ~ Penderita kambuh (relaps)

    ~ Penderita gagal ( failure )

    ~ Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

    - Kategori III ( 2HRZ/4 H3R3 atau 2HRZ/4HR atau 2HRZ/6HE ) ~ Penderita baru BTA (-) dan Rontgen (+) sakit ringan

    ~ Penderita Ekstra Paru ringan

    - Kategori IV ( Sesuai Uji Resistensi atau INH seumur hidup ) ~ Penderita TB Paru kasus kronik

    KETERANGAN

    R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, H = INH, E = Etambutol

  • S = Streptomisin.

    Pada kasus dengan resistensi kuman, pilihan obat ditentukan sesuai hasil

    uji resistensi.

    Kategori

    Pengobatan Penderita TB

    Panduan Obat Alternatif

    Intensif Lanjutan

    I Kasus baru, BTA (+)

    Kasus baru, BTA (-)

    Kelainan luas

    Kasus baru, TB diluar paru

    yang berat

    2RHZE (RHZS)

    6HE

    4RH

    4R3H3

    II Kasus kambuh, gagal

    Putus berobat, BTA (+)

    2RHZES/1RHZE

    2RHZES/1RHZE

    5R3H3B3

    6RHE

    III Kasus baru, BTA (-) kasus

    diluar paru ringan 2RHZ

    6HE

    4RH

    4R3H3

    IV Kasus kronik Rujuk ke Spesialis Paru

    Dosis obat berdasarkan berat badan :

    Jenis obat BB < 30 kg BB 30 50 kg BB > 50 kg

    R

    H

    Z

    S

    E

    300 mg

    300 mg

    750 mg

    500 mg

    500 mg

    450 mg

    300 mg

    1000 mg

    750 mg

    750 mg

    600 mg

    400 mg

    1500 mg

    750 mg

    1000 mg

    Pengobatan Suportif / Simtomatik

    a. Makan-makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis)

    b. Bila demam obat penurunan panas/demam c. Bila perlu obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

    Indikasi rawat inap :

    Batuk darah (profus)

    Keadaan umum buruk

    Pneumotoraks

    Empiema

    Efusi pleura masif / bilateral

    Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

    TB ekstra paru yang mengancam jiwa :

    TB paru milier

  • Meningitis TB

    Evaluasi Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah

    sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah

    mikroskopi BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopi BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan

    setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan

    sembuh.

    Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus

    TB milier

    1. Rawat inap 2. Paduan obat : 2 RHZE / 4 RH 3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan

    evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang samapi

    dengan 7 bulan 2RHZE / 7 RH

    4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan a. tanda / gejala meningitis b. sesak napas c. Tanda / gejala toksik d. Demam tinggi

    5. Kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7, lama pemberian 4-6 minggu

    Pleuritis Eksudativa Tb ( Efusi Pleura Tb )

    Paduan obat : 2 RHZE / 4RH

    Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita.

    Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan dan berikan kortikosteroid.

    TB Ekstra Paru

    Paduan obat 2 RHZE / 10 RH

    TB Paru + Diabetes Melitus

    1. Paduan obat : 2 RHZ (E-S) / 4 RH dengan regulasi baik / gula darah terkontrol 2. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ (E-S) / 7 RH 3. DM harus dikontrol 4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke

    mata : sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada

    mata

    5. Perlu diperlihatkan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehinggga dosisnya perlu ditingkatkan

    6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

    TB paru dengan HIV / AIDS

    1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE / RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak

  • 2. Menurut WHO paduam obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV / AIDS

    3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada kulit

    4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin 5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH,

    rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati

    6. INH diberikan terus menerus seumur hidup 7. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

    TB pada kehamilan dan menyusui

    1. Tidak ada infeksi pengguguran pad penderita TB dengan kehamilan 2. OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping

    streptomisin pada gangguan pendengaran janin

    3. Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi

    konsentrasinys kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi

    4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi

    tidak mendapat dosis berlebihan

    5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat

    terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal

    berkurang.

    TB paru gagal ginjal

    1. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin 2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang

    dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol

    dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin

    3. Sedapat mungkin dosis disesuikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreum, Kreatnin)

    4. Rujuk ke ahli Paru

    TB paru dengan kelainan hati

    1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan

    2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan 3. Paduan obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO : 2 SHRE / 6 RH atau 2

    SHE / 10 HE

    4. pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat

    diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya

    menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH

    5. Sebaiknya rujuk ke ahli paru

    Hepatitis Imbas Obat

    1. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)

    2. Penatalaksanaan

  • a. Bila klinik (+) (Ikterik [ +], gejala / mual, muntah [+]) OAT Stop b. Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan : c. Bilirubin > 2 OAT stop

    SGOT, SGPT 5 X : OAT Stop SGOT, SGPT 3 X, gejala (+) : OAT stop SGOT, SGPT 3 X, gejala (-) teruskan pengobatan dengan pengawasan

    Paduan OAT yang dianjurkan : 1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) 2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium

    normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)

    desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). sela ma itu perhatikan

    klinik dan periksa laboratorium normal tambahkan rifampisin, desensitisasi

    samapi dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat

    menjadi RHES

    DOTS mengkombinasikan lima unsur :

    1. Komitmen politik

    2. Pelayanan mikroskopik

    3. Penyediaan obat

    4. System monitoring

    5. Pengawasan langsung pada pengobatan ( PMO ).

    PMO dapat terdiri dari :

    1. Paramedis

    2. Anggota keluarga yang disegani

    3. Sukarelawan

    4. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)

  • Referensi

    1. Fitzgerald DW, Sterling TR, Haas DW. Mycobacterium tuberculosis. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolan R, eds. Mandell, Douglas, and Bennetts Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia, PA:

    Elsevier Churchill-Livingstone; 2009

    2. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Localzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th edition. New York: McGrawHill; 2012.

    3. Centers for Disease Control and Prevention. Managing Drug Interactions in the Treatment of HIV-Related Tuberculosis. CDC. Available

    at http://www.cdc.gov/tb/TB_HIV_Drugs/default.htm.

    4. CDC. Trends in Tuberculosis United States, 2011. Available athttp://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6111a2.htm?s_cid=mm6

    111a2_w.

    5. Ellner JJ. Tuberculosis. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011

    6. Knechel NA. Tuberculosis: Pathophysiology, Clinical Features, and Diagnosis. Critical Care Nurse. 2009 Apr 1;29(2):3443.

    7. Shi R, Sugawar I. Pathophysiology of Tuberculosis. In: Mahboub B, editor. Tuberculosis - Current Issues in Diagnosis and Management [Internet].

    InTech; 2013 [cited 2014 Apr 9]. Available from:

    http://www.intechopen.com/books/tuberculosis-current-issues-in-diagnosis-

    and-management/pathophysiology-of-tuberculosis

    8. Kementrian Kesehatan, R. I. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Jakarta. 2013