Upload
alfredoibc
View
40
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Skenario
Tn. B usia 40 tahun datang dengan keluhan batuk darah sejak 1 hari lalu. Darah
yang keluar sebanyak 1/4 gelas, berwarna merah segar dan tidak ada sisa makanan.
Diagnosis Banding
1. TB Paru
Menurut WHO insidensi TB Paru di indonesia sekitar 220 per 100.000
pertahun
2. Pneumonia
Di Indonesia berdasarkan survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Dep. Kes
1992 merupakan penyebab kematian tersering terutama pada balita dan
manula, serta menempati urutan ke 4 di Indonesia.
3. Bronchiectasis
Data epidemiologi di Indonesia belum tersedia
4. Carcinoma paru
Di Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah Ca servix dan Ca Mamae
5. Bronchitis Kronis
6. Absces Paru
7. Hipertensi pulmonal
8. Congestif Heart Failure
9. COPD
10. Mitral Stenosis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada pasien
1. Apakah pernah batuk menegluarkan sputum? Atau Langsung batuk darah?
2. Riwayat pasien terdahulu
3. Riwayat penyakit dalam keluarga
4. Apa pekerjaan Tn.B?
5. Bagaimana lingkungan kerja Tn B?
6. Dimana tepat tinggal Tn. B?
7. Bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal Tn.B?
8. Ada demam atau tidak? Bagaimana karakteristik demamnya?
9. Apa ada nyeri pada dada?
10. Apakah ada sesak?
11. Apakah Tn.B merokok?
12. Apakah di keluarga ada yang merokok?
13. Berapa berat badan Tn.B?
14. Apakah pasien memiliki alergi terhadap sesuatu?
15. Apakah ada keluhan lain yang belum disampaikan?
Pemeriksaan fisik
1. Bagaimana karakteristik sputum
2. Auskultasi
3. Perkusi
4. Fremitus
5. Respiratory rate
6. Tekanan darah
7. Denyut nadi
8. Tanda vital lain
Pemeriksaan Penunjang
1. Sputum BTA (sebanyak 3x)
2. Pemeriksaan complete blood count (CBC)
3. Hitung jenis (differential count)
Hasil pembacaan rontgen thorax
1. Pada apex kanan paru terjadi peningkatan radio lusen (ada cavitas)
2. di seluruh paru terdapat infiltrat (lunak) terbaca seperti bercak putih
3. Terdapat perbesaran kelenjar getah bening
4. CTR normal
5. Tidak ada kalsifikasi
6. Tidak ada efusi pleura terlihat dari cardiofrenikus yang masih lancip
Skenario (hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik)
Tn.B sudah batuk berdahak sejak 2 bulan lalu hyang hilang timbul dan sudah minum
obat (OBH), namun batuk darah sejak 1 hari lalu. Sempat demam subfebril. Ada
nyeri dada. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 hari 1 bungkus. Pasien adalah
karyawan kantoran. Berat badan pasien menurun drastis dan nafsu makan
berkurang. Saat ini di keluarga ada yang sedang minum obat selama 6 bulan akibat
infeksi paru. Tiap pulang kerja di malam hari pasien selalu berkeringat.
Bedasarkan hasil pemeriksaan fisik & penunjang Tn. B
Auskultasi: bronchovesikuler, ronchi basah kasar di Apex kanan paru
Perkusi: redup pada apex paru kanan
Fremitus: meningkat di apax paru kanan
Resiratory rate: 30x/menit
Denyut nadi: 100x permenit, teraba kuat
Tekanan darah 100/60 mmhg
Sputum BTA (3x): +/+/-
Hb 12,4 ; Ht 36% ; LED 55 mL/jam
Leu 7800
trombosit 180.000
Berdasarkan skenario di atas, diagnosa kerja yang kami berikan terhadap pasien ialah
Tuberkulosis Paru. Alasan nya ialah sebagai berikut:
1. Pada pemeriksaan sputum BTA hasil menunjukan 2x positif dari 3x
pemeriksaan
2. Hasil rontgen thorax menunjukan adanya cavitas pada apex paru kanan dan
adanya bercak infiltrat pada paru kiri dan kanan
3. Pada pemeriksaan fisik terdapat peningkatan fremitus, terdengar
bronchovesicular dan ronchi basah kasar pada apex paru kanan, serta suara
redup di apex paru kanan saat perkusi.
4. Terjadi peningkatan LED yang dianalisa sebagai hasil dari infeksi. Pasien juga
mengalami demam, hal itu terjadi akibat infeksi juga.
5. Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus 1 hari yang menambah
predisposisi TB Paru
6. Berat badan pasien turun drastis & nafsu makan berkurang
Patogenesis
Batuk darah atau hemoptisis terjadi karena adanya darah yang dikeluarkan
saat batuk. Biasanya berwarna merah terang dan berasal dari saluran napas bawah.
Batuk darah dapat bervariasi jumlahnya mulai dari blood-streaked sputum hingga
batuk darah masif.
Batuk darah masif biasanya terjadi akibat adanya pelebaran pembuluh darah
atau pecahnya sisem sirkulasi bronkial. Pada penderita tuberkulosis hal ini dapat
terjadi karena infeksi kuman tersebut merusak parenkim paru dan pembuluh darah
paru sehingga dapat menyebabkan ruptur pada pembuluh darah sehingga
mengakibatkan batuk darah. Keadaan yang dapat menyebabkan kematian adalah
ketika darah terkumpul kemudian menyebabkan asfiksia sehingga terjadi gagal napas.
Patogenesis Infeksi Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberculosis umumnya terjadi lewat paparan terhadap
droplet / aerosol yang mengandung M. tuberculosis. Infective dose yang diperlukan
untuk menginisiasi terjadinya infeksi M. tuberculosis adalah 10 bakteri yang masih
hidup. Saat terhirup, droplet terdeposisi di bagian bronkiolus terminal dari paru.
Disana M. tuberculosis berkembang biak sampai mencapai 1000-10000 bakteri yang
kemudian dapat menginduksi respon imun seluler yang dapat dideteksi dengan tes
Tuberkulin.
Saat terinfeksi oleh M. tuberculosis ada beberapa kemungkinan yang dapat
terjadi, diantaranya sistem imun berhasil membasmi M. tuberculosis, infeksi laten,
Tuberkulosis primer dan juga bisa terjadi reaktifasi penyakit Tuberkulosis bertahun-
tahun kemudian. Pada indivisdu yang sehat, saat terjadi infeksi laten hanya 5-10%
saja yang mengalami reaktifasi. Jumlah ini meningkat secara bermakna pada pasien
dengan HIV/AIDS.
Tuberkulosis Primer
Bakteri M. tuberculosis yang berhasil mencapai bronkiolus terminalis melalui
inhalasi droplet kemudian akan berkolonisasi dan mencapai alveolus. Bila sistem
imun dari individu tersebut gagal membasmi pathogen tersebut, maka M. tuberculosis
akan berproliferasi di dalam makrofag alveolus (dust cell) dan kemudian membunuh
sel tersebut. Makrofag yang terinfeksi memproduksi sitokin dan kemokin yang
mengundang sel fagosit lain ke area tersebut yang pada akhirnya akan membentuk
struktur granuloma noduler yang disebut tuberkel.
Bila perkembangbiakan bakteri tidak terkontrol maka tuberkel akan membesar
dan M. tuberculosis dapat masuk ke peredaran limfa dan berlanjut menyebar secara
limfogen ke nodus limfa terdekat yang kemudian akan menyebabkan limfadenopati
yang merupakan karakteristik dari manifestasi klinis TB primer. Lesi yang terbentuk
dari pembesaran tuberkel di parenkim paru dan nodus limfa yang terkena disebut
dengan kompleks Ghon dan dapat juga diikuti bakteremia setelahnya. Pada lesi juga
terlihat adanya fibrosis dan terdapat sel raksasa Langerhans.
M. tuberculosis terus berproliferasi sampai respons imun seluler yang effektif
terbentuk. Proses ini memakan waktu sekitar 2-6 minggu setelah infeksi. Kegagalan
host dalam membentuk respon imun seluler yang efektif dan perbaikan jaringan yang
rusak kemudian dapat menyebabkan penghancuran jaringan paru yang progresif.
TNF-alfa, ROS, NOS, serta enzim yang terkandung dalam sel sitotoksik (granzymes,
perforin) berkontribusi dalam terjadinya nekrosis kaseosa yang menjadi cirri khas lesi
tuberculosis. M. tuberculosis juga dapat menyebar secara hematogen ke organ-organ
lain dan menimbulkan manifestasi klinis pada organ tersebut. Biasanya infeksi organ
lain yang sering adalah nodus limfa, meninges, GIT, mata dan bisa juga menyebabkan
lesi TB di kulit dan tulang. Bila respon imun penderita turun atau memburuk, maka
dapat terjadi reaktifasi infeksi TB, dan kemudian akan terbentuk daerah nekrosis
perkijuan. Tetapi bedanya pada reaktifasi biasa sifatnya lebih terlokalisasi, berbeda
dengan TB primer yang biasanya menyebar.
Manifestasi Klinis Tuberkulosis
Ada beberapa manifestasi klinis yang umum terdapat pada pasien dengan tuberculosis
yang aktif:
a. Batuk non produktif
b. Penurunan berat badan yang signifikan / anoreksia
c. Demam
d. Berkeringat saat malam hari
e. Hemoptysis
f. Nyeri dada
g. Kelelahan
Pemeriksaan fisik yang terkait TB tergantung dari organ yang terlibat, pada pasien
dengan TB paru biasa dapat ditemukan
a. Bunyi napas yang abnormal, terutama pada lobus atas atau daerah yang
terkena
b. Ronchi basah kasar (Rales) atau bunyi napas bronchial yang menandakan
adanya konsolidasi
c. Stem Fremitus meningkat
d. Perkusi redup
Screening dengan menggunakan Tes Tuberkulin / Mantoux (pada pasien di Indonesia
sangat sulit digunakan sebagai uji screening karena tingkat infeksi TB di Indonesia
sangat sering, sehingga seringkali hasilnya positif) atau dapat juga menggunakan
IGRA (Interferon Gamma Release Assay) untuk infeksi laten.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah:
Specific enzyme-linked immunospot (ELISpot)
Nucleic acid amplification tests
Kultur bakteri dari darah pasien
Pemeriksaan BTA sputum
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah bakteri tersebut MDR / XDR- TB:
- Direct DNA sequencing analysis
- Automated molecular testing
- Microscopic-observation drug susceptibility (MODS)
- Thin-layer agar (TLA) assays
- Rapid test (BACTEC-460, ligase chain reaction, luciferase reporter
assays, FASTPlaque TB-RIF)
Pada foto toraks dapat didapati gambaran seperti berikut:
a. Terbentuknya kavitas b. Infiltrat berbentuk bulat yang tidak terkalsifikasi (kadang sulit dibedakan
dengan Ca Paru)
c. Nodul yang homogeny dan telah terkalsifikasi (infeksi lama) d. TB primer: seperti pneumonia, infiltrate di bagian tengah atau bawah paru e. Reaktifasi: Lesi di lobus atas f. TB Laten : kumpulan nodul yang padat pada hilus atau lobus atas g. TB Milier : banyak lesi nodular yang kecil memenuhi lapang pandang h. TB Pleura: bisa terdapat Empyema dan diasosiasikan dengan efusi pleura
Bila dengan foto toraks belum cukup meyakinkan maka dapat dilakukan biopsi
(jarang), CT Scan, bronchoscopy dan juga bila ada organ lain yang ikut terlibat dapat
dilakukan MRI / CT scan dari organ yang dicurigai
Teknik pemeriksaan sputum
Sputum yang keluar dari paru-paru merupakan bahan pemeriksaan yang sering
digunakan untuk pemeriksaan laboratorium, yang disebut dengan sputum
mukopurulen, berupa sputum yang kental, keruh, berwarna putih sampai kuning
kehijauan.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS). Cara pengumpulan sputum SPS yaitu dengan pot yang bersih
dan steril, tidak mudah pecah, mulut lebar, dan berulir. Kemudian pot diberi label,
identitas pasien secara lengkap. Setelah didapatkan sputum SPS, baru diadakan
pemeriksaan laboratorium.
1. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua
2. P (Pagi) dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
3. S (Sewaktu) dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan
radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktivitas penyakit.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, pada TB paru:
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
Pewarnaan BTA metode Kinyoun-Gabbett-Tan Thiam Hok
1. Tuangi sediaan sputum yang telah direkatkan (preparat apusan sputum)
dengan larutan Kinyoun selama 3 menit
2. Cuci sediaan dengan air mengalir selama menit, sampai tidak ada zat warna
yang mengalir di atas sediaan
3. Tuangi sediaan dengan larutan Gabbett selama 1 menit
4. Cuci sediaan dengan air dan keringkan di udara
5. Lihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x
Hasil:
BTA akan berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bakteri yang tidak
tahan asam berwarna biru, dengan latar belakang biru.
Pewarnaan BTA metode Ziehl-Neelsen
1. Sediaan sputum yang telah direkatkan dengan api dituangi karbol fuksin
2. Dipanasi sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) selama 5 menit
3. Dicuci dengan air selama menit
4. Ditetesi H2SO4 5% selama 2 detik
5. Dicuci dengan alkohol 70% selama 30 detik
6. Dicuci dengan air
7. Diwarnai dengan biru metilen 1%, selama 10-20 detik
8. Dibilas dengan air, keringkan
9. Amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x
Hasil:
BTA berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bakteri tidak tahan asam
berwarna biru dengan latar belakang biru.
Tatalaksana Tuberkulosis
1. Pendidikan penderita dan peran serta keluarga 2. Pencegahan penularan dan perbaikan lingkungan sekitarnya 3. Penduan pengobatan
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase:
- fase intensif (2-3 bulan) - fase lanjutan 4 atau 7 bulan.
Obat Anti Tuberkulosis
1. Jenis obat utama yang digunakan adalah : a. Rifampisin b. INH c. Pirazinamid d. Streptomisin e. Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap ( Fixed dose combination )
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 4 obat antituberkulosis, yaitu rifamsinin,
INH, pirazinamid dan etambutol dan 3 obat antituberkulosis, yaitu rifampisin,
INH dan pirazinamid.
3. Jenis obat tambahan lainnya a. Kanamisin b. Kuinolon c. Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amaksilin + asam klavulanat d. Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
1. Rifampisin 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x / minggu atau BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg/ kali
2. INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, - 10 mg/kg BB 3 x seminggu, - 15 mg/kg BB 2 x seminggu - 300 mg/hari untuk dewasa. - Intermiten : 600 mg / kali 3. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 x seminggu, 50
mg/kg BB 2 x seminggu atau :
BB > 60 Kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol : fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutkan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg BB 3 x seminggu, 45 mg/kg BB 2 x seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB /kali
5. Streptomisin : 15 mg/kg BB/kali BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40-60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kon\mbinasi dosis tetap
Efek samping OAT :
1. Isoniazid (INH) - Efek samping ringan: tanda-tanda keracunan pada syarat tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian
piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks.
Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin ( syndrom pellagra)
- Efek samping berat : hepatitis. Hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin a. Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan b. Efek samping yang berat tapi jarang:
Hepatitis
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat. Air mata,
air liur. karena proses metabolisme obat
3. Pirazinamid Efek samping utama: hepatitis, Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan sarangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan sisebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbuhan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain.
4. Etambutol Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk
warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin Efek samping utama: kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Gejala efekya samping yang terlibat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.
Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan
pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Panduan Obat Anti Tuberkulosis
- Kategori I ( 2 HRZE/4H3R3 atau 2 HRZE/4HR atau 2 HRZE/6HE ) ~ Penderita baru TBC Paru BTA (+)
~ Penderita TBC Paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat dan ~ Penderita TBC Ekstra Paru berat
- Kategori II ( 2 HRZES/HRZE/5H3R3E3 atau 2 HRZES/HRZE/5HRE)
~ Penderita kambuh (relaps)
~ Penderita gagal ( failure )
~ Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
- Kategori III ( 2HRZ/4 H3R3 atau 2HRZ/4HR atau 2HRZ/6HE ) ~ Penderita baru BTA (-) dan Rontgen (+) sakit ringan
~ Penderita Ekstra Paru ringan
- Kategori IV ( Sesuai Uji Resistensi atau INH seumur hidup ) ~ Penderita TB Paru kasus kronik
KETERANGAN
R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, H = INH, E = Etambutol
S = Streptomisin.
Pada kasus dengan resistensi kuman, pilihan obat ditentukan sesuai hasil
uji resistensi.
Kategori
Pengobatan Penderita TB
Panduan Obat Alternatif
Intensif Lanjutan
I Kasus baru, BTA (+)
Kasus baru, BTA (-)
Kelainan luas
Kasus baru, TB diluar paru
yang berat
2RHZE (RHZS)
6HE
4RH
4R3H3
II Kasus kambuh, gagal
Putus berobat, BTA (+)
2RHZES/1RHZE
2RHZES/1RHZE
5R3H3B3
6RHE
III Kasus baru, BTA (-) kasus
diluar paru ringan 2RHZ
6HE
4RH
4R3H3
IV Kasus kronik Rujuk ke Spesialis Paru
Dosis obat berdasarkan berat badan :
Jenis obat BB < 30 kg BB 30 50 kg BB > 50 kg
R
H
Z
S
E
300 mg
300 mg
750 mg
500 mg
500 mg
450 mg
300 mg
1000 mg
750 mg
750 mg
600 mg
400 mg
1500 mg
750 mg
1000 mg
Pengobatan Suportif / Simtomatik
a. Makan-makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis)
b. Bila demam obat penurunan panas/demam c. Bila perlu obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
Indikasi rawat inap :
Batuk darah (profus)
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB ekstra paru yang mengancam jiwa :
TB paru milier
Meningitis TB
Evaluasi Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah
sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah
mikroskopi BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopi BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.
Pengobatan tuberkulosis pada keadaan khusus
TB milier
1. Rawat inap 2. Paduan obat : 2 RHZE / 4 RH 3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang samapi
dengan 7 bulan 2RHZE / 7 RH
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan a. tanda / gejala meningitis b. sesak napas c. Tanda / gejala toksik d. Demam tinggi
5. Kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7, lama pemberian 4-6 minggu
Pleuritis Eksudativa Tb ( Efusi Pleura Tb )
Paduan obat : 2 RHZE / 4RH
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita.
Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan dan berikan kortikosteroid.
TB Ekstra Paru
Paduan obat 2 RHZE / 10 RH
TB Paru + Diabetes Melitus
1. Paduan obat : 2 RHZ (E-S) / 4 RH dengan regulasi baik / gula darah terkontrol 2. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ (E-S) / 7 RH 3. DM harus dikontrol 4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke
mata : sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada
mata
5. Perlu diperlihatkan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehinggga dosisnya perlu ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
TB paru dengan HIV / AIDS
1. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomondasi ATS yaitu : 2 RHZE / RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
2. Menurut WHO paduam obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa HIV / AIDS
3. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada kulit
4. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin 5. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. INH diberikan terus menerus seumur hidup 7. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi
TB pada kehamilan dan menyusui
1. Tidak ada infeksi pengguguran pad penderita TB dengan kehamilan 2. OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi
konsentrasinys kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi
tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat
terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal
berkurang.
TB paru gagal ginjal
1. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin 2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang
dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol
dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreum, Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru
TB paru dengan kelainan hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan 3. Paduan obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO : 2 SHRE / 6 RH atau 2
SHE / 10 HE
4. pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli paru
Hepatitis Imbas Obat
1. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)
2. Penatalaksanaan
a. Bila klinik (+) (Ikterik [ +], gejala / mual, muntah [+]) OAT Stop b. Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan : c. Bilirubin > 2 OAT stop
SGOT, SGPT 5 X : OAT Stop SGOT, SGPT 3 X, gejala (+) : OAT stop SGOT, SGPT 3 X, gejala (-) teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan : 1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) 2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). sela ma itu perhatikan
klinik dan periksa laboratorium normal tambahkan rifampisin, desensitisasi
samapi dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadi RHES
DOTS mengkombinasikan lima unsur :
1. Komitmen politik
2. Pelayanan mikroskopik
3. Penyediaan obat
4. System monitoring
5. Pengawasan langsung pada pengobatan ( PMO ).
PMO dapat terdiri dari :
1. Paramedis
2. Anggota keluarga yang disegani
3. Sukarelawan
4. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
Referensi
1. Fitzgerald DW, Sterling TR, Haas DW. Mycobacterium tuberculosis. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolan R, eds. Mandell, Douglas, and Bennetts Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier Churchill-Livingstone; 2009
2. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Localzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th edition. New York: McGrawHill; 2012.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Managing Drug Interactions in the Treatment of HIV-Related Tuberculosis. CDC. Available
at http://www.cdc.gov/tb/TB_HIV_Drugs/default.htm.
4. CDC. Trends in Tuberculosis United States, 2011. Available athttp://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6111a2.htm?s_cid=mm6
111a2_w.
5. Ellner JJ. Tuberculosis. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011
6. Knechel NA. Tuberculosis: Pathophysiology, Clinical Features, and Diagnosis. Critical Care Nurse. 2009 Apr 1;29(2):3443.
7. Shi R, Sugawar I. Pathophysiology of Tuberculosis. In: Mahboub B, editor. Tuberculosis - Current Issues in Diagnosis and Management [Internet].
InTech; 2013 [cited 2014 Apr 9]. Available from:
http://www.intechopen.com/books/tuberculosis-current-issues-in-diagnosis-
and-management/pathophysiology-of-tuberculosis
8. Kementrian Kesehatan, R. I. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Jakarta. 2013