79
RESUME SKENARIO 2 TRAUMA Oleh 1. Ni Putu Ricca Tiara (04) 2. Rendra Rizki Amalia (05) 3. Putu Ngurah Arya (06) 4. Anindita P (07) 5. Jualita Heidy (08) 6. Pulong Wijang P (09) 7. Ainun Amaliyah (10) 8. NurnisaPrimardiah (11) 9. Ayu Munawaroh A (12) 10. Elanda M (13) 11. RR Okiningtyas (14) 12. Rizaldo Bagoes D (15) 14. Nurci Efrilia (16)

Cedera Kepala Kel A

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Cedera Kepala Kel A

Citation preview

RESUME SKENARIO 2TRAUMAOleh

1. Ni Putu Ricca Tiara

(04)2.Rendra Rizki Amalia

(05)

3.Putu Ngurah Arya

(06)

4.Anindita P

(07)

5.Jualita Heidy

(08)

6.Pulong Wijang P

(09)

7.Ainun Amaliyah

(10)

8.NurnisaPrimardiah

(11)

9.Ayu Munawaroh A

(12)10. Elanda M

(13)11.RR Okiningtyas

(14)

12. Rizaldo Bagoes D

(15)

14.Nurci Efrilia

(16)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2010

CEDERA KEPALA / TRAUMA KAPITIS

FISIOLOGI

A. Tekanan Intrakanial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan hasil akhir yang buruk.

B. Doktrin Monro-Kellie

Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan. Hal ini jelas karena pada dasarnya rongga kranium merupakan rongga yang rigid tidak mungkin mekar. Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi, TIK secara cepat akan meningkat.

C. Aliran Darah ke Otak (ADO)

ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per 100 gr jaringan otak per menit. Pada anak ADO bisa lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1 tahun ADO hampir sebesar dewasa, tapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90 mL/100 gr /menit dan secara gradual akan menurun sebesar ADO dewasa saat mencapai pertengahan sampai akhir masa remaja. Cedera otak berat sampai koma dapat menurunkan 50% dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma. ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti bahwa ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga akan mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh.

Sebagai tambahan untuk mempertahankan ADO tetap konstan, pembuluh darah prekapiler otak memiliki kemampuan untuk berkonstriksi ataupun dilatasi (autoregulasi berdasar rangsang tekanan). Pembuluh darah ini juga mampu berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perubahan kadar PO2 atau PCO2 darah (autoregulasi kimiawi). Cedera otak berat dapat mengganggu kedua mekanisme autoregulasi tersebut.

Konsekuensinya penurunan ADO karena trauma akan mengakibatkan iskemi dan infark otak. Iskemi yang terjadi dapat dengan mudah diperberat dengan adanya hipotensi, hipoksia atau hipokapnia karena hiperventilasi yang agresif. Oleh karena itu semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara menurunkan TIK, mempertahankan volume intravaskuler, mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan mengembalikan oksigenasi dan normakapnia. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP - TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan ADO.

Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan eksponensial TIK, perfusi otak akan terganggu, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Oleh karena itu adanya hematoma intrakranial harus segera dievakuasi dan dan tekanan darah sistemik yang adekuat harus dipertahankan.

KLASIFIKASI

A. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

B. Beratnya Cedera

GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam penilaian GCS jika terdapat asimetri ekstremitas kiri/kanan maka yang dipergunakan adalah respon motorik pada yang terbaik. Dalam hal ini respon motorik pada kedua sisinya harus dicacat.

C. Morfologi

1. Fraktur Kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.

Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (Raccon eyes sign), ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), paresis nervus fasialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.

Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian, sementra prognosis pemulihan nervus VIII buruk. Fraktur dasar tengkorak yang menyilang kanalis karotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan arteriografi.

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.

Adanya fraktur tengkorak tidakdapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Pada penderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intrakranial pada fraktur linier adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi.

2. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan.

a. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi biasanya penderita kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

Cedera otak yang difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi, dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih jarang biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multiple di seluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas are putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis buruk. Penelitian secara mikroskopik menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

b. Perdarahan epidural

Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang mengalami koma. Hematoma epidural terletak diluar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a. meningia media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar.

c. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk dibandingkan pada perdarahan epidural.

d. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat dalam waktu beberapa jam atau hari berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12-24 jam setelah CT scan pertama.

PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK RINGAN (GCS 14-15)

Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang lainnya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol.

Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun lebih kurang 3% mengalami perburukan yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologia yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.

Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS98%). Tindakan hiperventilasi harus dilakuka n secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

2. Sirkulasi

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkinan penyebab lain seperti trauma medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau tamponade jantung dan tension pneumothorax.

Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang. DPL (Diagnostik Peritoneal Lavage) atau pemeriksaan ultrasonografi (bila tersedia) merupakan pemeriksaan rutin terhadap penderita hipotensi yang mengalami koma dimana pemeriksaan klinis tidak mungkin menentukan tanda-tanda adanya akut abdomen.

Pemeriksaan neurologis pada pnderita hipotensi tidak dapat dipercaya kebenarannya dan bahkan bila terdapat cedera otak berat, hipotensi terbukti menyebabkan cedera otak sekunder. Penderita hipotensi yang tidak bereaksi terhadap stimulasi apapun dapat memberi respon normal segera setelah tekanan darahnya normal.

B. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang /mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi yang digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (dolls aye phenomena, refleks okulosefalik), tes kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.

Pemeriksaan Dolls eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular) dan refleks kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal.

Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka panjang tidak dianjurkan. Succinylcholine, vecuronium atau dosis kecil pancuronium dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila diperlukan analgesia sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.

C. Secondary Survey

Pemeriksaan neurologis serial (DCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit. Bagaimanapun dalam hal ini pemikiran terhadap adanya trauma otak harus dipikirkan terlebih dahulu.

D. Prosedur Diagnostik

Pemeriksaan CT scan harus segera dilakukan secepat mungkin, segera setelah hemodinamik normal. Pemeriksaan CT scan ulang harus juga dapat dikerjakan bila terjadi perubahan status klinis penderita dan secara rutin 12-24 jam setelah trauma bila dijumpai gambaran kontusio atau hematoma pada CT scan awal.

Pada hasil pemeriksaan CT scan, kulit kepala pada tempat benturan biasanya mengalami pembengkakan atau dijumpai hematoma subgaleal. Retak atau garis fraktur dapat tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window walaupun kadang-kadang dapat tampak juga pada CT scan teknik jaringan lunak. Penemuan penting dalam CT scan kepala adalah adanya perdarahan intrakranial dan pergeseran garis tengah (efek massa). Septum pelusidum, yang terletak di antara kedua ventrikel lateralis seharusnya terletak di tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara krista galli di bagian anterior dan inion di bagian posterio. Derajat pergeseran septum pelusidum terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala yang tertera di samping hasil scan. Pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih umumnya merupakan indikasi tindakan pembedahan untuk mengevakuasi gumpalan darah.

Ventrikulografi atau arteriografi pada penderita dengan kelainan neurologis dapat dilakukan bila tidak terdapat CT scan. Pada penderita dimana tekanan darah dapat dinormalkan, setiap usaha harus dilakukan untuk pemeriksaan CT kepala sebelum penderita dibawa ke kamar operasi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK CEDERA OTAK

Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali.

a. Cairan intravena

b. Hiperventilasi

c. Manitol

d. Furosemid (Lasix)

e. Steroid

f. Barbiturat

g. Antikonvulsan

MATI BATANG OTAK

Diagnosis mati batang otak berarti tidak ada lagi kemungkinan pulihnya funsi otak. Kebanyakan ahli sependapat bahwa kriteria berikut harus dipenuhi untuk mendiagnosis sebagai mati otak :

1. Skor GCS = 3

2. Pupil yan tidak reaktif

3. Hilangnya refleks batang otak (misalnya refleks okulosefalik, kornea, dolls eye dan batuk)

4. Tidak ada usaha nafas spontan

Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis mati otak adalah :

1. EEG : tidak ada aktivitas pada high gain

2. Pemeriksaan aliran darah otak (CBF) : tidak ada CBF (misalnya dengan pemeriksaan isotop, pemeriksaan Doppler, pemeriksaan CBF xenon)

3. TIK : melebihi MAP selama 1 jam atau lebih

4. Tidak ada perubahan irama jantung dengan pemberian atropin

Beberapa kondisi yang reversibel dapat menyerupai keadaan mati otak misalnya hipotermia atau koma barbiturat. Karena itu diagnosis hanya ditegakkan bila semua parameter fisiologis dinormalkan dan fungsi SSP tidak dalam pengaruh medikasi. Kemampuan anak untuk pulih dari cedera otak yang berat harus benar-benar diperhatikan sebelum mendiagnosis mati otak pada anak-anak. TINDAKAN EMERGENCY PADA KASUS CEDERA KEPALA1. Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan pada pederita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan suction, intubasi, trakeostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema serebri.

2. Blood

Meliputi pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb dan leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mecirikan adanya suatu peningkatan TIK, sebaliknya tekanan darah menurun dan cepatnya nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.

3. Brain

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon mata, motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan atau perburukan cedera kepala tersebut, dan bila pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai keadaan pupil meliputi bentuk, ukuran, dan reaksi terhadap cahaya serta gerakan bola mata.

4. Bladder

Perlu selalu dikosongkan dengan pemasangan kateter mengingat bahwa kandung kemih penuh merupakan rangsangan untuk megedan sehingga TIK cenderung meningkat.

5. Bowel

Usus yang penuh juga cenderung meningkatkan TIK

6. Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi, dan infeksi sekunder.

CEDERA OTAK BERAT

Definisi : Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)

Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE

Primary Survey dan resusitasi

Secondary Survey dan riwayat AMPLE

Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan definitif Bedah saraf Reevaluasi neurologis: GCS Respon buka mata Respon motorik

Respon verbal

Refleks cahaya pupil

Obat-obatan

Manitol

Hiperventilasi sedang (PCO2 100 mmHg setelah-dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua.

Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu massa intracranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.4. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.

5. Pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau thorakotomi.

Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

CEDERA OTAK RINGAN (GCS 14-15)

Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang lainnya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol.

Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun lebih kurang 3% mengalami perburukan yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neurologia yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.

Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera otak disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS30cc, tanpa melihat GCS.

EDH dengan volume 50 ml

Pasian dengan ICH yang tidak menunjukkan tanda tanda neurologis yang menjelek dan telah dilakukan control tehadap TIK dan tidak menunjukkan efek massa yang bermakna pada CCT-scan, dapat dilakukan penatalaksanaan non operatif dengan monitor yang intensif dan foto serial.

Waktu dan metode

Kraniotomi dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas

Kraniektomi dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema difus dan hipertensi intracranial membandel dengan pengobatan.

Prosedur dekompresi, termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi, dan kraiektomi dekompresi hemisfer, merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi intracranial yang membandel dan trauma parenkimal difus dengan klinis dan radiologis adanya impending hernias transtentorial.

SUBDURAL HEMATOM (SDH)

Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:

1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.

2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Etiologi

1. Trauma kepala.

2. Malformasi arteriovenosa.

3. Diskrasia darah.

4. Terapi antikoagulan

Klasifikasi

1. Perdarahan akut

Gejala yang timbul biasanya segera hingga berjam-jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT-Scan didapatkan lesi hiperdens

2. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.

Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

PatofisiologiVena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Gejala

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan nervus III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

Terapi

Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).SUBARAKNOID HEMATOM/PERDARAHAN SUBARAKNOID (PSA)

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).

Etiologi

PSA memiliki 2 kasus utama: rupturnya suatu aneurisma vaskular dan trauma kepala. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah.

Patofisiologi

Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. PSA lebih sering disebabkan karena pecahnya aneurisma.

Perdarahan pada PSA dapat bersifat masif dan ekstravasasi darah dalam ruang subaraknoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka kematian ini disebabkan karena adanya empat penyuli utamat:

1. Vasospasme eaktif disertai infark ( vasispasme ini adljadiah penyulit yang ter 3-12 hari setelah perdarahan awal. Seberapa luas spasme arteri menyebabkan iskemia dan infark bergantung pada keparahan dan distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat

2. Ruptur ulang ( kadangkala pecahan kedua terjadi, biasanya dalam waktu seminggu.

3. Hiponatremia

4. Hidrosefalus ( dalam waktu 24 jam. Darah dari subarachnoid hemorrhage bisa menggumpal. Darah yang menggumpal bisa mencegah cairan di sekitar otak (cairan cerebrospinal) dari kekeringan seperti normalnya. Akibatnya, penumpukan darah di dalam otak, meningkatkan tekanan di dalam tengkorak. Hydrocephalus bisa menyebabkan gejala-gejala seperti sakit kepala, mengantuk, pusing, mual, dan muntah dan bisa meningkatkan resiko pada koma dan kematian.

Alat yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan PSA adalah Hunt and Hess Classification Grading Scale :

Derajat I ( Asimptomatis, atau nyeri kepala ringan minimal dan kaku kuduk ringan

Derajat II ( Nyeri kepala sedang sampai dengan parah, kaku kuduk, tidak ada defisit neurologis kecuali kelumpuhan nervus kranialis

Derajat III ( Mengantuk, defisit neurologis minimal

Derajat IV ( Stupor, hemiparesis sedang sampai berat, mungkin rigiditas deserebrasi dini dan gangguan vegetatif

Derajat V ( Koma dalam rigiditas deserebrasi, penampakan parah

Gejala

Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang aneurisma menekan saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. . Beberapa penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan bingung dan mengantuk. Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan neurologis, yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.

Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, yang bisa menunjukkan lokasi dari perdarahan. Jika diperlukan, bisa dilakukan pungsi lumbal untuk melihat adanya darah di dalam cairan serebrospinal. Angiografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis dan sebagai panduan jika dilakukan pembedahan. Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15% penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.

Terapi

Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk mengurangi tekanan. Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala. Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.HIFEMADefinisi

Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan. Dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.

Patofisiologi

Gaya kontusif(merobek pembuluh darah iris & rusak sudut kamera okuli anterior ( darah membentuk lapisan dalam cairan (hifema) ( fibrin dan bekuan menyebabkan tersumbatnya trabekular & pupil ( glaukoma akut

Gejala klinis

Pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruangan bilik mata depan. Kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.

Pengobatan

Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi penyulit glaukoma.

Biasanya hifema akan hilang dengan sendirinya dengan sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan demikian maka sebaiknya penderita dirujuk.

Hifema yg mengisi >5% kamera anterior ( tirah baring, tetes steroid, sikloplegik 5 hari( periksa berkala liat apa ada perdarahan sekunder, glaukoma, bercak darah di ornea. Penggunaan asam aminokaproat oral menstabilkan pembentukan bekuan & menurunkan resiko perdarahan ulang. Jika terjadi glaukoma beri timolol 0,25% atau 0,5% 2X1; asetazolamid 250mg peroral 4X1; obat hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol). Jika TIO selama 7 hari >35mmHg atau >50mmHg selama 5 hari (bedah untuk hindari kerusakan saraf optikus dan pewarna kornea, jika mengidap hemiglobinopati tindakan bedah lebih awal.

Kadang kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.

Komplikasi

Zat besi yang terbentuk dari pecahan Hb(haem (hemosiderin/ besi) + globin akan menempel pada kornea yang menimbulkan hemosederosis atau siderosis bulbi yang bilamana didiamkan akan dapat menimbulkan kebutaan ftisis bulbi.

Hifema spontan pada anak-anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP KARENA EKTOPIA LENTIS ANTERIORBatasan

Kelainan mata yang terjadi karena TIO meningkat dengan cepat sebagai hasil dan tertutupnya sudut akibat sublukasi lensa anterior.

Patofisiologi

Trauma atau penyakit sindroma ( lensa tidak pada posisi normal tetapi sublukasi atau dislokasi anterior ( blok pupil oleh lensa dan mungkin juga terjadi vitreous ( timbul iris bombans, iris perifer kontak dengan TM sudut tertutup, TIO meningkat.

Diagnosis

Riwayat trauma atau adanya tanda-tanda dari penyakit sindroma tertentu, BMD dangkal dan tampak lensa yang sublukasi anterior TIO tinggi, sudut tertutup.

PenatalaksanaanA. Posisi terlentang (lensa bergerak ke posterior)Hiperosmotik : vitreous mengkerut sehingga lensa lebih mudah untuk bergerak ke posterior, blok pupil lepas.

Timolol dan Topikal Prednisolone atau Dexamethasone

B. Bila kornea sudah jernih, lakukan Laser PI atau bedah PIPilocarpine sehingga pupil kontriksi untuk cegah lensa yang sudah di posterior tidak kembali sublukasi anterior. Bila TIO tetap tinggi dan BMD dangkal pasca Laser PI (atau bedah PI) maka ekstraksi lensa harus dilakukanPNEUMOTHORAX

Pneumothorax taumatik dapat terjadi pada cedera tumpul atau tembus dan dapat disertai hemothorax. Udara masuk ke ruang pleura dari trakea, bronkus, atau paru jika organ-organ tersebut rusak atau jika dinding dada mengalami luka tembus. Jumlah re;atif udara dalam ruang pleura perlu dipastikan dan ditetapkan apakah ruangan ini mengalami tegangan. Pneumothorax dapat digolongkan sebagai pneumothorax sederhana, pneumothorax tension, atau pneumothorax terbuka. Pneumothorax tension, dan pneumothorax terbuka cepat menjadi fatal. Pneumothorax sederhana

Pleura parietal dan visceral seharusnya dipertahankan agar tetap berkontak karena ada gabungan antara tekanan intrapleura yang negatif dan tarikan kapiler oleh sejumlah kecil cairan pleura.

Jika udara masuk ruang pleura, faktor-faktor ini akan hilang.

Paru di sisi cedera mulai kolaps dan oksigenasi menjadi terganggu.

Tension pneumothorax

Jika > banyak udara masuk ruang pleura pada saat inspirasi dibanding udara yang keluar saat ekspirasi, maka akan tercipta efek bola berkatup. Tekanan intrapleura terus meningkat sekalipun paru sudah kolaps total ( tekanan menjadi sangat tinggi ( mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru sebelah juga ikut terkompresi. Hipoksia sangat berat dapat timbul. Ketika tekanan intrapleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah yang melalui sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan ( hipotensi arterial dan syok. Keadaan ini adalah gawat darurat yang dapat mematikan dalam beberapa menit kalau tidak segera dikoreksi. Pneumothorax terbuka (sucking chest wound)

Walaupun ada trauma tembus pada dinding dada, tapi udara yang masuk ke ruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak daripada dari defek dinding dadanya sendiri. Namun, jika defek pada dinding dada cukup lebar, udara dapat keluar masuk ruang pleura setiap bernapas sehingga menyebabkan paru-paru di dalamnya kolaps. Keadaan ini cepat menjadi fatal kecuali bila segera dikoreksi.

Diagnosis:

Gejala: dispneu dan nyeri dada pleuritik Pemeriksaan fisik: Pneumothorax sederhana:

Bunyi napas meredup saat auskultasi di atas sisi dada yang sakit

Ditemukan suara timpani saat perkusi

Mungkin ada emfisema sub kutan

Tanda-tanda mungkin tidak jelas bila pneumothoraxnya kecil.

Tension pneumothorax:

Distensi vena leher ( sering sulit dinilai terutama jika disertai kehilangan banyak darah.

Deviasi trakea ke sisi yang berlawanan dari pneumothorax yang terdeteksi dengan palpasi leher (terdorong ke sisi sehat).

Pergeseran jantung ke sisi berlawanan yang terdeteksi dengan perkusi dan auskultasi dada.

Lihat dan palpasi toraks ( gerak sisi sakit tertinggal

Ketuk toraks ( sisi sakit hipersonor (suara rongga)

Dengar suara nafas ( sisi sakit menghilang

Syok. Syok dengan distensi vena leher menjadi dugaan kuat Tension pneumothorax jika bunyi pernapasan meredup/ asimetrik, atau dugaan tamponade perikardium jika bunyi pernapasan normal.

Syok akibat kehilangan darah akan menyebabkan kolaps vena-vena leher.

Lakukan punksi (needle thoracostomy) tanpa tunggu foto sinar-X

Pneumothorax terbuka (sucking chest wound):

Gelembung-gelembung udara dapat terlihat bergerak melewati darah di dalam luka.

Bunyi desis yang khas dapat terdengar ketika udara melewati defek dinding dada.

Keterangan gambar:

Suara nafas menurun di sisi sakit, Suara jantung bergeser, Suara usus (usus masuk rongga dada)

Foto Thorax: Terpisahnya permukaan pleura visceral dari parietal merupakan tanda nyata pneumothorax.

Tepi paru tampak jelas di sebelah medial pleura parietal.

Gambaran garis-garis pembuluh darah paru tidak tampak di daerah antara kedua permukaan pleura.

Foto dalam keadaan ekspirasi dapat membantu menampakkan pneumothorax yang tersamar karena saat ekspirasi paru menjadi lebih kecil dengan garis-garis pembuluh darah yang lebih terkonsentrasi sedangkan jumlah udara di dalam pleura tetap konstan.

Foto tegak sangat dianjurkan jika tidak ada fraktur tulang belakang dan hemodinamik pasien stabil. Pneumothorax kecil dan sedang mungkin sulit terlihat pada foto terlentang karena udara akan membentuk lapisan di atas seluruh permukaan paru.

Petunjuk-petunjuk tentang pneumothorax berikut ini mungkin terdeteksi pada foto terlentang:

Satu lapangan paru lebih loosen dibandingkan dengan lapangan paru lainnya.

Pneumomediastinum

Pneumoperikardium

Emfisema subkutan

Keterangan foto:

Pergeseran letak trachea (raba di sternal notch)

Lebih curiga bila ada

- Patah tulang iga

- Emfisema subkutan Terapi: Observasi dilakukan untuk terapi pneumothorax spontan kecil (10mmHg, tekanan nadi