9
CEKUNGAN DAN FORMASI DI KALIMANTAN TENGAH Geologi Kalimantan Tengah tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan geologi Kalimantan secara umum. Kalimantan Tengah terbentuk dari endapan atau batuan yang terjadi dalam cekungan-cekungan sedimen dan daerah pegunungan yang terbentuk oleh kegiatan magma ataupun proses malihan (metamorfosa). Cekungan-cekungan yang ada di Kalimantan Tengah terdiri dari :  1. Cekungan Melawi (perbatasan dengan Kalimantan Barat)  2. Cekungan Barito (bagian Tengah   Selatan - Timur Kalimantan Tengah)  3. Cekungan Kutai (bagian Utara - Timur Laut Kalimantan Tengah).  Berdasarkan tatanan tektonik regional daerah penyelidikan merupakan perbatasan kerangka geologi Cekungan Kutai dengan Cekungan Barito yang terbentuk pada zaman Tersier.  Batuan dasar Cekungan Barito adalah batuan Pra-Tersier terdiri dari batuan beku bersifat granitik dan andesitik serta batuan malihan terdiri dari perselingan batulanau dengan batupasir halus sampai kasar dengan sisipan konglomerat dan breksi. Diatas batuan Pra-Tersier ini diendapkan batuan sedimen Tersier yang terdiri dari tua ke muda yaitu:  1. Formasi Tanjung 2. Formasi Berai 3. Formasi Warukin 

cekungan-dan-formasi-di-kalimantan-tengah

Embed Size (px)

Citation preview

  • CEKUNGAN DAN FORMASI DI KALIMANTAN TENGAH

    Geologi Kalimantan Tengah tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan

    bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan geologi Kalimantan secara umum.

    Kalimantan Tengah terbentuk dari endapan atau batuan yang terjadi dalam

    cekungan-cekungan sedimen dan daerah pegunungan yang terbentuk oleh

    kegiatan magma ataupun proses malihan (metamorfosa).

    Cekungan-cekungan yang ada di Kalimantan Tengah terdiri dari :

    1. Cekungan Melawi (perbatasan dengan Kalimantan Barat)

    2. Cekungan Barito (bagian Tengah Selatan - Timur Kalimantan Tengah)

    3. Cekungan Kutai (bagian Utara - Timur Laut Kalimantan Tengah).

    Berdasarkan tatanan tektonik regional daerah penyelidikan merupakan

    perbatasan kerangka geologi Cekungan Kutai dengan Cekungan Barito yang

    terbentuk pada zaman Tersier.

    Batuan dasar Cekungan Barito adalah batuan Pra-Tersier terdiri dari

    batuan beku bersifat granitik dan andesitik serta batuan malihan terdiri dari

    perselingan batulanau dengan batupasir halus sampai kasar dengan sisipan

    konglomerat dan breksi. Diatas batuan Pra-Tersier ini diendapkan batuan

    sedimen Tersier yang terdiri dari tua ke muda yaitu:

    1. Formasi Tanjung

    2. Formasi Berai

    3. Formasi Warukin

  • 4. Formasi Dahor

    5. Endapan Kuarter (Aluvium).

    Kontak antara batuan Pra-Tersier dan batuan sedimen Tersier ialah kontak

    ketidakselarasan umur, tetapi di beberapa tempat tertentu terdapat kontak

    ketidakselarasan tektonik. Umur dari batuan sedimen Tersier adalah Eosen

    sampai Pleistosen formasi yang terdapat pada cekungan barito, yaitu:

    1. Formasi Tanjung yang terdiri atas batupasir kuarsa berselingan dengan

    batulempung dengan sisipan batubara. Formasi Tanjung berumur Eosen.

    2. Formasi Berai yang terdiri atas batugamping, berlapis baik setempat kaya

    akan koral, foraminifera, dan ganggang, bersisipan napal, padat dan berlapis

    baik, serta batulempung. Formasi Berai berumur Miosen Awal.

    3. Formasi Warukin disusun oleh batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, dan

    konglomerat di bagian bawahnya serta sisipan batubara dan lensa

    batugamping. Formasi Warukin berumur Miosen Tengah sampai Miosen

    Akhir.

    4. Formasi Dahor yang terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat yang

    mengandung kepingan kuarsit dan basal, berselingan dengan batupasir

    berbutir sedang - sangat kasar, setempat berstruktur silang-siur, dengan

    sisipan batulempung setempat karbonan hingga gambut dan batulempung.

    Formasi Dahor berumur Plio sampai Plistosen.

    Formasi Tanjung merupakan formasi paling tua yang terdapat didalam

    Cekungan Barito, berumur Eosen yang terdiri dari (atas ke bawah)

    batulempung, batulanau, batupasir, batubara dan konglomerat sebagai

    komponen utama. Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-tersier.

    Selanjutnya diikuti fase transgrasi yang menghasilkan Formasi Berai. Hasil

    erosi dari paparan Sunda dibarat dan Pegunungan Meratus di timur

    diendapkan dalam cekungan ini sebagai Formasi Warukin dan Formasi

    Dahor.

  • Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F.

    Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F.

    Selorejo, dan F. Lidah.

    Formasi Kujung

    Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa

    batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam

    sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

    Formasi Tuban

    Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan

    berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam Panduan

    Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.

    Formasi Tawun

    Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi

    ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat

    batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong.

    Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada

    Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip

    GMB 2006).

  • Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan

    dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949).

    Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari

    Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi

    Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan

    antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta

    batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan Orbitoidae seperi

    Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini,

    tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan

    batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal

    30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan

    umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides

    diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan

    kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan

    pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah

    atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala

    struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.

    Formasi Ngrayong

    Anggota ini juga disebut Upper Orbitoiden-Kalak oleh Trooster (1937), Van

    Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota

    Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa

    Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir dengan intercalation

    batubara dan sandy clay.

    Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dari

    orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation

    batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area

    N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam

    singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada

    bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas

  • dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan

    haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari

    lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian selatan dan

    timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).

    Formasi Bulu

    Semula formasi ini disebut sebagai PlatenComplex oleh Trooster (1937). Tersusun

    oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan

    sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang

    berukuran sangat besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus

    berasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983)

    menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi

    tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur

    dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

    Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama

    di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat,

    mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai

    Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan

    fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada

    Kala Miosen Tengah Awal Miosen Akhir (N 13 N 15).

    Formasi Wonocolo

    Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit

    dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006)

    lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada

    Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).

  • Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina

    oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan

    ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal

    lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada

    bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan

    dengan ketebalan bervariasi antara 520 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama

    pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983)

    menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir

    kisaran umur N 14 N 16. (lihat tabel III.1).

    Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya

    Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah

    fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik

    pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung

    pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.

    Formasi Ledok

    Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937)

    menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para

    peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983).

    Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan

    kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N

    16N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

    Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah

    antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai

    160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan

    glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir

  • tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan

    sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung

    tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan

    kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-

    upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok

    ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.

    Formasi Mundu

    Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937).

    Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh

    Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal

    masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara

    stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok,

    penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m300 m di daerah antiklin Cepu area, ke

    arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen

    Akhir hingga Pliosen (N 17N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).

    Formasi Selorejo

    Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah

    diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan

    Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan

    ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota

    Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan

    terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit.

    Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.

  • Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds.

    Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya

    sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo

    ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo

    dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping

    keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.

    Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah

    sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya

    berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik,

    umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).

    Formasi Lidah

    Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan

    batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai

    Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan TuriDomas.

    Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu

    Formasi Lidah (tabel III.1).

    Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga

    neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih

    mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti

    pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal

    ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya

    akan moluska.

    I.1.7 Formasi Paciran

  • Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone.

    Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan

    singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai

    karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan

    menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit

    piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian

    utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada

    tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono

    (1983) menempatkannya pada Kala PliosenAwal Pleistosen, yang secara lateral

    setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti

    umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat

    pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.