27
Pohon Jejawi Cerpen Budi Darma (Kompas, 26 Desember 2010) JANGAN buka peta Surabaya hari ini, tapi, bukalah peta Surabaya pada akhir tahun 1920-an, atau paling muda awal tahun 1930-an, ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Waktu itu, jalan dan kampung bernama “kedung” tidak sebanyak sekarang. Hanya ada satu pada waktu itu, yaitu Kedung Gang Buntu. Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan “kedung” karena di situ ada sebuah “kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan “buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat. Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan, Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu. Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa. Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari

cerpen terbaik kompas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

berisi cerpen-cerpen terbaik kompas

Citation preview

Pohon   Jejawi

Cerpen Budi Darma (Kompas, 26 Desember 2010)

JANGAN buka peta Surabaya hari ini, tapi, bukalah peta Surabaya pada akhir tahun 1920-an, atau paling muda awal tahun 1930-an, ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Waktu itu, jalan dan kampung bernama “kedung” tidak sebanyak sekarang. Hanya ada satu pada waktu itu, yaitu Kedung Gang Buntu.

Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan “kedung” karena di situ ada sebuah “kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan “buntu”, karena memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno, dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air bersih ada sebuah hutan lebat.

Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan, Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di hadapan mulut Kedung Gang Buntu.

Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda. Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada, lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah dibuntingi siapa.

Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari tempat-tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa apa lagi pasti ada. Seharusnya ada kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya bunuh diri dapat dicegah

***

Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal Amsterdam turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua malam di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah insinyur ini tampan tapi sombong, tampak pandai tapi konyol pula, jalannya digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip pemain sepak bola, tapi bukan sepak bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja.

Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan wali kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit tuberkulosis. Dalam hati Henky van Kopperlyk berkata garang: “Vini, Vidi, Vici,” dengan lagak Julius Caesar ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum Masehi dengan mudah mengalahkan Raja Parnaces II di Zile, wilayah Turki sekarang.

Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih menyembunyikan istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai istrinya, tapi juga, dan inilah yang penting, dia agak malu. Nanti-nanti sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang, istrinya akan diselundupkan ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota.

Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan, pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih dari empat ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer sambil merentangkan tangan mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup. Dua puluh orang pun mungkin masih kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin bagian selatan, pohon jejawi dianggap keramat.

Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang suka berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi, meletakkan sesaji dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling berbisik.

Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang Perang Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan Sitti Margopoh di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun 1908-1910, serta perkelahian antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas Roemeltje pada tanggal 4 Februari 1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya.

Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang ke tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda. Memang, akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut hukum internasional diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk berunding, dan sesuai dengan kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian, sama sekali tanpa pengawal. Ternyata Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding, tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai, kemudian dibuang ke Makassar.

Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan berbisik-bisik. Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik itu datang dari berbagai suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang menyangkut semua suku bangsa di Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang Jawa. Tidak sama pula dengan pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku bangsa Minang di Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an.

Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai sesajen dan doa-doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun sebelum Henky van Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki Belanda yang tiba-tiba kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini bertualang di Kalimantan, menginap di tempat tinggal kepala suku, lalu meminang anak perempuan kepala suku. Malam itu juga keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke Surabaya.

Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia memperdaya kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Tidak ada peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya. Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan kencing, barulah dia tahu bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa.

Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky van Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon jejawi itu sampai ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi.

Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak buahnya, baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju. Berbahaya. Maka, setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van Kopperlyk memberi tahunya terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba linglung, ada pula pembesar yang tampak sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas anak laki-lakinya lumpuh, dan banyak contoh lain.

Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia tidak mau diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya mengenai masalah-masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan matanya terbuka, dia sengaja tidak melihat apa-apa.

Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan beberapa orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys, pengarang Indo Belanda kelahiran Semarang.

Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang menurut dia “inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan karenanya sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis. Dalam suratnya kepada Rob Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya sebagai wartawan, dia akan berjuang mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai dengan terompet tanda kiamat ditiup para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia. Bangsa inlander ini, tegas Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.

Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama bangsa Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada jantungnya, tapi pada punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih, perempuan pribumi asal Jawa Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina ini. Kawin resmi, bukan kawin bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan nyai, sebutan resmi gundik-gundik Belanda.

“Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon penghuni neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru sambil tersenyum, seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya. Henky van Kopperlyk merasa menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia berhadapan dengan perempuan pribumi, jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya untuk mengawini pribumi ini hampir-hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan mempunyai istri pribumi. Karena setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau gambarnya, langsung jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir setiap hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari Perak, lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal Mojokerto, atau mungkin Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo.

Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak, yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi istrinya, Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap menginjak-injak kepala suaminya.

Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja Henky van Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya perempuan pribumi, dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan seorang joki gagah perkasa, dia tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang joki benaran di atas kuda pada pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke kiri sambil melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan dan ke

kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil menjerat perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran besar.

***

Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk datang ke kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak digagah-gagahkan. Bahkan, beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van Kopperlyk sempat menggumamkan lagu “Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-kincir angin, babat habislah pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin sumber ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar sebelum menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua. Gumam Henky van Kopperlyk benar-benar bersemangat.

Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus didatangkan. Dalam waktu paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh akar dan udara yang mengelilinginya, serta burung-burung jahat yang menghuninya, harus sudah selesai.

Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan berat, lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang Henky van Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu burung pun yang terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga, tidak ada satu burung pun yang tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari kendaraan berat, memberi aba-aba: “satu… dua… tiga!”

Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung.

Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi, dengan sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang mula-mula bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit, memuntahkan sumpah serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua burung di seluruh Surabaya dan sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang menggantung.

Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya untuk mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah.

Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya, dan Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura memuji-mujinya. Istri Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara sembunyi-sembunyi, seorang perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya dengan bumbu kata-kata “sejak dulu saya sudah tahu kamu goblok.”

Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya, Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah untuk mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati: “Inilah Henky van Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kolonialisme Belanda!”

Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh Jawa dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur Jenderal. Hari dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli 1927, tepat pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun dirancang dengan sangat teliti: tempat duduk Gubernur Jenderal, para gubernur, para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara lengkap dengan lagu-lagu marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah siap.

Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah dibersihkan dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan bangunan lain. Gedung-gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang Belanda, ruang tunggu khusus untuk orang Belanda di tiga stasiun kereta api Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar: “Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk”.

Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia yang tidak memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat kepada dia. Henky van Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapa pun, tidak pula oleh Anneke von Hubertus, istrinya.

Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya benar, dan orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus, di mana-mana berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal Tilburg, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman. Hubertus nama Jerman, tapi dalam darahnya justru mengalir kebencian terhadap Jerman.

Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah iklan rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan rokok merek Ogden. Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten kapal perang Inggris yang terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain, adalah nenek moyang Jenderal Angkatan Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty Ship Centurion, mengobrak-abrik angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I.

Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi, dan merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama Henricus von Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara, keponakan, dan apa pun juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang akan menangis, tapi tahu bagaimana memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke von Hubertus satu-satunya anak Henricus von Hubertus, dan karena itu, tidak ada orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang untuk menerima harta karun warisan kecuali Anneke.

***

Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering naik kuda dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di tempat-tempat ramai dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan dalam sebuah parade, sambil mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikan tangan kepada khalayak ramai.

Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang mencolok, atau tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-papan “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok. Kisah tentang Belanda kehilangan kemaluannya dan pengalamannya sendiri dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya terbakar. Pribumi harus dihina, dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar hidup-hidup.

Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi. Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus berbuat baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia kepada Belanda dan makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan membuktikan bahwa para bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya.

Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali. Dia tahu orang-orang

akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok karena tidak mampu mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang mempunyai hak penuh untuk mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya berantakan, dan kalau berbicara kadang-kadang seperti anjing geladak sedang menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun Gubernur Jenderal, Henky van Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya, tanpa istri. Bagi pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah perbuatan bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani mempertontonkan istrinya di depan umum.

Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai mercon meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana kemari, menyebarkan potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu, pidato-pidato pun dimulai.

Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan udara. Lalu, senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh dari bola. Pistol pertama meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk makin siap menendang, menunggu pistol ketiga meledak. Begitu pistol ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van Kopperlyk lari menuju ke arah bola.

Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang, bukan bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang terlepas, lalu melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin menggedor-gedor pintu surga. Bola tetap berada di tempatnya semula. (*)

Macan   Lapar

Cerpen Danarto (Kompas, 5 September 2010)

KETIKA saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.

Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.

John adalah seorang arkeolog. Perkenalannya dengan dunia Timur ketika ia melancong ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk memelototi candi-candi. Waktu itu ia masih berusia 23 tahun, sedang giat-giatnya menjaring ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Candi Borobudur sudah tentu, Prambanan, Mendut, Sukuh, Panataran, semuanya, sudah pindah ke benaknya. Tentu banyak lagi. Setelah John menjadi profesor di usia 25, ia sadar bahwa tak ada gunanya seorang profesor yang jomblo. Ia merasa sangat kesepian. John sebenarnya sudah menjalin hubungan dengan sejumlah mahasiswinya. Tapi semuanya menolak untuk dinikahi, yang membuat John uring-uringan.

Menurut John, masa bahagia adalah ketika kuliah di Solo, ia menginap di rumah saya di bilangan Notosuman, bertetangga dengan kedai Srabi Notosuman yang termasyhur itu. Bagaimana ia tidak berbahagia, segalanya tersedia dengan gampang. Tidak seperti di Amerika yang segalanya harus ia lakukan sendiri, di Solo jika lapar bisa langsung makan, bila pengin ngopi tinggal pesan, bila pakaian kotor tinggal dilemparkan. Jika nonton pertunjukan, pergi kuliah, maupun piknik, cukup dengan naik sepeda.

Di universitasnya, UCLA, John berkenalan dengan Eko, seorang penari dari Solo yang sedang melakukan tur ke 30 universitas Amerika untuk menari. Eko menyarankan supaya John menikah dengan gadis Solo saja. Di samping gemi, nastiti, ngati-ati (irit, terperinci, berhati-hati), putri Solo gaya berjalannya persis macan lapar yang bisa membekukan waktu.

Tetapi, menurut Fafa Dyah Kusumaning Ayu, seorang DJ yang menjelma sejarawan yang mbaurekso (mengayomi) kota Solo, putri Solo yang gaya berjalannya persis macan lapar itu sudah tidak ada lagi. Menurut dia, dari satu artikel yang dibacanya, putri Solo yang demikian, yang terakhir terlihat di zaman penjajahan Jepang, yaitu di tahun 40-an. Mendengar ini, Eko dari Boston kirim SMS: Fafa, lo jangan bikin John pesimistis. Fafa pun menjawab: Eko, lo jangan mengada-ada.

Di bandara Adi Sumarmo, Solo, saya dan anak-anak, Ning, Nong, dan Nug, menjemput John yang datang lewat Bali. Di rumah, ibunya anak-anak menyiapkan nasi goreng ikan asin kesukaan John. Ia tinggal di rumah penginapan penduduk yang banyak bertebaran di kampung-kampung. Serta-merta ia diminta mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) untuk mata pelajaran arkeologi budaya.

Menurut Fafa, gaya berjalan Macan Lapar adalah gaya berjalan yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Jika melangkah, sebagaimana orang berjalan, pinggul kanan berkelok muncul keluar

dari garis tubuh, maka pundak kiri lunglai ke depan. Begitu bergantian, pinggul kiri mencuat, pundak kanan lunglai ke depan. Irama ini dalam paduan langkah yang pelan. Gaya berjalan begini akhirnya diadopsi oleh para art director fashion show menjadi gaya berjalan yang kita kenal sekarang oleh para peragawati di seluruh dunia di atas cat-walk. Megal-megol-nya para peragawati Eropa, Amerika, maupun Asia, menurut Fafa sangat teknis. Hal itu tampak ketika para peragawati sudah tidak di atas cat-walk lagi, mereka ternyata berjalan biasa saja, sebagaimana orang-orang biasa berjalan. Artinya, megal-megol mereka di atas cat-walk belum merupakan kekayaan budaya fashion show. Padahal macan laparnya putri Solo itu tulen, alamiah, menyatu dengan tubuh yang hidup dalam budaya tradisinya. Meski cuma berjalan di dalam rumahnya, gaya berjalan Putri Solo tetap persis macan lapar. Sehingga Putri Solo jauh lebih gandes, luwes, kewes, dan sensuous.

Pada suatu hari di siang yang panas, ketika saya dan Nug selesai jumatan di Masjid Gede, lalu bergabung dengan Ning, Nong, dan ibunya anak-anak untuk menikmati tengkleng, semacam sop tetelan daging sapi atau kambing khas Solo di gerbang Pasar Klewer, tiba-tiba menghambur John di sela kerumunan orang yang antre tengkleng, sambil berkata mantap:

“Saya sudah dapat si Macan Lapar.”

“Alhamdulillah,” sahut saya.

Lepas ashar di gerbang Keraton Susuhunan, sejumlah orang berkumpul: John, Fafa, mas Rahayu Supanggah (komponis), mas Modrik Sangidu (aktivis), Sadra (komponis), Slamet Gundono (dalang), Suprapto Suryodarmo (guru spiritual), dan pak Jokowi (wali kota Solo) sedang berharap-harap cemas sambil mencereng menatap jalanan. Kami semua diundang John untuk menerima kejutan.

Mendadak muncul seorang gadis yang berpakaian lengkap mengesankan seorang penari. Kami terperangah melihat gaya jalannya yang Macan Lapar. Ketika pinggul kanan mencuat ke samping, pundak kanan tertarik ke belakang, sedang pundak kiri mencuat ke depan. Begitu bergantian. Sungguh cara berjalan yang menggetarkan. Langkah yang pelan, yang pasti, yang terkonsentrasi penuh. Namun gaya ini—sekali lagi–tulen. Gadis itu melenggang ke pintu masuk keraton ketika tiba-tiba John meloncat mengejarnya. Fafa mencoba menahan John. Saya dan Modrik serta pak Jokowi ikut berlari mengejar. Prapto, Sadra, dan Panggah terbahak. Gundono berteriak dan tertawa, “Kejar! Kejar!” sambil mencakar cukelelenya keras-keras membangun ketegangan.

Ketika John mencapai teras keraton, kami melihat pemandangan yang mengerikan: John jadi Cleret Gombel! Menyaksikan John yang bermetamorfosis jadi sebangsa bunglon yang bisa terbang itu, gadis yang dikejar itu berteriak-teriak ketakutan lalu meloncat ke dalam ke halaman dalam keraton. Kami berloncatan meringkus John si Cleret Gombel. Saya dan pak Jokowi terlempar. Fafa menjerit karena si Cleret Gombel menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Mas Modrik yang persis Samson itu dengan kuat meringkus John hingga roboh. John terus meronta menggeram-geram sambil unjuk taringnya yang putih berkilat. Kemudian dengan mobil hardtop mas Modrik, ramai-ramai John kami serahkan kepada pak Oei Hong Djien, guru spiritual yang khusus menangani keseimbangan pikiran dan perasaan, dari komunitas kebatinan Sumarah. Kami sepakat membantu John untuk melamar penari Macan Lapar itu yang kemudian ketahuan namanya Intan Paramaditha.

Belakangan pak Jokowi melakukan rapat maraton dengan para budayawan Solo untuk membahas tentang rencananya melakukan revitalisasi gaya melenggok ala Macan Lapar ini. Kota Solo diyakini menjadi satu-satunya kota di dunia yang punya gaya berjalan putri-putrinya yang elegan itu. (*)

 Kota Tangerang Selatan, 10 Juni 2010

Dodolitdodolitdodolibret

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 26 September 2010)

KIPLIK sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.

“Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, “karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.

Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.

Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

“Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, “untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”

Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.

Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.

Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.

Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.

“Izinkan kami mengikutimu, Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.

Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.

“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”

Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.

Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.

Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.

“Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.

Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya? Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Danau seluas lautan,” pikirnya, “apalagi yang masih bisa kukatakan?”

Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.

Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.

“Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.

Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!

“Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, “mereka berdoa dengan cara yang salah.”

Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.

Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.

Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!

“Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.

Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.

“Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.

Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.

Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.

“Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.

Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.

Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.

“Guru! Lihat!”

Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!

Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?

Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.

“Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!” (*)

 

 

Ubud, Oktober 2009 / Kampung Utan, Agustus 2010

Cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi.

Anjing-anjing Menyerbu Kuburan . Cerpen karya : Kuntowijoyo IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.

Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya.Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah.

Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.

“Ke mana, Kang?” Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.

“Ronda”.

“Bukan harinya kok ronda?”

“Hh”

Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.

Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kepala itu.

“Mati kau! Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.

“Rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.

Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.

***

IA menunggu sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu,” katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap.

Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya.

Ia mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.

Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya! Kuburan orang yang meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia perlu bekal beras kuning dari guru.

Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya. Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. Ia akan membelikan truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.

Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.

Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.

Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.

***

DITERANGI bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.

Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu. Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.

Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.

Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan. Anjing-anjing itu menepi dari mayat.

Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan “sh sh sh” ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.

Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.

Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan.

Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.

“Pencuri!” kata seorang.

“Penyelamat!” kata yang lain.

Pelajaran Mengarang

      

Pelajaran mengarang sudah dimulai.

Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.

Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.

Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***

    

Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”

Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.

Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.

“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.

Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.

“Anak siapa itu?”

“Marti.”

“Bapaknya?”

“Mana aku tahu!”

Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.

“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”

“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”

Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

***

Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.

Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.

“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”

Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”

Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa

bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.

“Mama kerja apa, sih?”

Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.

Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”

Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”

“Seperti Mama?”

“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”

Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …

Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.

     

DITUNGGU DI MANDARINKAMAR: 505, PKL 20.00

     

Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.

***

Empat puluh menit lewat sudah.

“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.

Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.

Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.

“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.

Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.

Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.

“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.

Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:

Ibuku seorang pelacur…

                     

Palmerah, 30 November 1991

*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992.  Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993.